Anda di halaman 1dari 79

NUSYUZ SUAMI

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM dan HUKUM POSITIF

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.sy)

Oleh:

HESTI WULANDARI
106044101400

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA


PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2010M/1431H
KATA PENGANTAR
‫ﺣﻴْ ِﻢ‬
ِ ‫ن اﻟ ﱠﺮ‬
ِ ‫ﷲ اﻟ ﱠﺮ ﺣْﻤَﺎ‬
ِ ‫ِﺑﺴْ ِﻢ ا‬

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT,

pencipta dan penguasa alam semesta yang telah melimpahkan taufiq dan hidayahnya

kepada penulis terutamanya dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Seterusnya

salawat serta salam ke atas junjungan nabi Muhammad SAW serta keluarga, para

sahabat baginda yang telah banyak berkorban dan menyebarkan dakwah Islam selama

ini yang mana telah menyelamatkan umat manusia dari alam kegelapan menuju

kealam yang terang-benderang.

Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi syarat-syarat guna memperoleh

gelar Strata Satu (S1) dalam Jurusan Ahwal Syakhsiyah, Fakultas Syari’ah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Nusyuz

Suami Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.

Untuk menyelesaikan skripsi ini penulis menyadari bahwa selesainya

penulisan skripsi ini bukan semata-mata atas usaha sendiri, namun juga karena

bantuan, motivasi, petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung

maupun tidak langsung yang terlibat dalam proses menyiapkan skripsi ini. Untuk itu,

dengan penuh rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada seluruh pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, diantaranya

yang terhormat :

iv
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Muhammad Amin Summa, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas Syari’ah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. A. Basiq Djalil, S.H., M.H., dan Drs. Kamarusdiana, S.Ag., M.A., selaku

Ketua dan Sekretaris Progam Studi Ahwal Syakhsiyah yang telah banyak

memberikan motivasi kepada penulis.

4. Drs. A. Basiq Djalil, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu bersama penulis dalam rangka menyiapkan skripsi ini. Terima

kasih juga atas segala kesabaran dalam memberi petunjuk, ajaran dan masukan

kepada penulis hingga tuntas sudah skripsi ini. Hanya Allah saja yang selayaknya

membalas jasanya.

5. Seluruh staff pengajar (dosen) Progam Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syari’ah

dan Hukum yang telah banyak menyumbangkan ilmu, petunjuk dan ajarannya

sepanjang penulis berada disini. Selain itu, terima kasih juga kepada seluruh staff

perpustakaan dan karyawan yang telah banyak memfasilitasi penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

6. Segenap pengelola perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan

perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas

kepada penulis dalam mencari data-data pustaka.

v
7. Kepada orang yang paling terkasih dan istimewa Ayahanda Bedjo Eddy Suyoto

dan Ibunda Trisnawati. Terima kasih atas segala pengorbanan mereka yang telah

memberikan curahan kasih sayang, membesarkan, mendidik serta memberikan

dorongan baik moril maupun materi kepada penulis dengan penuh kesabaran,

perhatian serta pengorbanan yang tidak terbalas, senantiasa memberikan

semangat dan harapan tanpa jemu hingga Adinda dapat menyelesaikan skripsi ini.

Segala jasa pengorbanan kalian akan senantiasa terpahat diingatan. Tiada apa

yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan hanya dengan sebuah

kejayaan yang diimpikan.

8. Kepada ahli keluarga tersayang dan tercinta kakakku Galuh Yuni Utami dan

Adikku Imam Pambudi Prabowo tidak lupa juga sanak saudara yang dikasihi

bang Iqbal Arief Kasuki yang telah banyak memotivasi dan senantiasa

memberikan semangat dan bantuan kepada penulis untuk mencapai kejayaan

yang diimpikan.

9. Kepada para sahabat seperjuangan Eli, Fitri, Sa’dah, Stephy, Lulu, Ewi, Aminah,

Anis, Arud, Eko, Fandi dan Maul serta teman-temanku yang lain dari Peradilan

Agama Fakultas Syari’ah dan Hukum angkatan 2006-2007 yang tidak sempat

penulis catatkan disini. Terima kasih atas segala partisipasi dan semangat yang

diberikan serta dukungan yang tidak putus-putus kepada penulis sepanjang

menyiapkan skripsi ini.

vi
Semoga skripsi ini dapat memberikan masukan yang positif kepada pembaca

sekalian. Penulis amat menyadari bahwa didalam penulisan skripsi ini tidak luput dari

kekhilafan dan kesalahan, maka kritikan dan saran yang sewajarnya sangat

diharapkan didalam rangka perbaikan dan kesempurnaan penulis ini.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Jakarta, 3 Juni 2010

Penulis

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... ii


KATA PENGANTAR .............................................................................................. iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah………………………………………......1


B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………................…..6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................8
D. Review Studi Terdahulu………………………………..................8
E. Metodologi Penelitian…………………………………................10
F. Sistematika Penulisan…………………………………................11

BAB II NUSYUZ SUAMI dan AKIBAT HUKUMNYA .......................... 13

A. Pengertian dan Dasar Hukum Nusyuz Suami................................13


B. Kriteria Nusyuz Suami.................................................................. 20
C. Faktor Penyebab Terjadinya Nusyuz pada Suami..........................24
D. Kaidah Penyelesaian Nusyuz Suami..............................................26
E. Akibat Nusyuz Suami................................................................... 32

viii
BAB III HAK ISTRI dan WEWENANG HAKIM
TERHADAP NUSYUZ SUAMI ................................................... 36

A. Hak Gugat Istri Ketika Suami Nusyuz.......................................... 36


B. Kompensasi Gugat Karena Nusyuz Suami................................... 39
C. Wewenang Hakim Terhadap Nusyuz Suami…………................. 43

BAB IV ANALISA PERBANDINGAN NUSYUZ SUAMI


DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM dan
HUKUM POSITIF .......................................................................... 51

A. Nusyuz Suami Dalam Perspektif Hukum Islam............................ 51


B. Nusyuz Suami Dalam Perspektif Hukum Positif...........................56
C. Persamaan dan Perbedaan Antara Nusyuz Suami
Dalam Perspektif Hukum Islam dengan Hukum Positif...............60
D. Solusi Perbandingan………………………………………..........62
E. Analisis Penulis…………………………………………….........63

BAB V PENUTUP ……………………………………………………........ 66

A. Kesimpulan……………………………………………...............66
B. Saran……………………………………………………….........67

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...68

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga

yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. 1 Pencantuman

berdasarkan ketuhanan yang maha esa adalah karena negara Indonesia

berdasarkan kepada pancasila yang sila pertamanya adalah ketuhanan yang maha

esa. Sampai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan

yang erat sekali dengan agama dan kerohanian sehingga perkawinan bukan saja

mempunyai unsur lahir atau jasmani saja tetapi juga mempunyai unsur batin atau

rohani. 2

Setelah berlangsung akad nikah maka suami dan istri akan diikad oleh

ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan dengan kehidupan suami istri.

Agama menetapkan bahwa suami bertanggung jawab mengurus kehidupan istri.

Oleh karena itu, suami diberi derajat setingkat lebih tinggi dari istrinya.

Penetapan ini menunjukkan bahwa laki-laki lebih berkuasa dari wanita tetapi

1
Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 1 ayat 2
2
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai KHI, cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2004), h. 43

1
2

hanya menunjukkan bahwa laki-laki adalah pemimpin rumah tangga disebabkan

telah terjadinya akad nikah. Allah menganugerahkan laki-laki kekuatan jasmani

untuk berusaha dan dalam menghadapi persoalan laki-laki lebih banyak

menggunakan akal fikiran dibanding wanita. 3

Di dalam perkawinan, Islam menempatkan wanita pada kedudukan yang

terhormat dan kepadanya diberikan hak-hak kemanusiaan yang sempurna. Wanita

(istri) adalah pasangan dan partner pria (laki-laki) dalam membina rumah tangga

dan mengembangkan keturunan hal ini sebagaimana yang tersirat di dalam al-

Qur’an Qs. An-Nisa ayat satu. Dalam sebuah perkawinan derajat suami istri sama,

jika ada perbedaan maka itu hanya akibat fungsi dan tugas utama yang diberikan

Allah kepada keduanya sehingga kelebihan yang ada tidak mengakibatkan yang

satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain tetapi saling melengkapi, bantu

membantu dan saling menopang. 4

Tujuan dasar setiap pembentukan rumah tangga yaitu untuk mendapatkan

keturunan yang saleh, dapat hidup tentram, tercipta suasana sakinah yang disertai

rasa kasih sayang. Ikatan pertama pembentukan rumah tangga telah dipatri oleh

ijab qabul yang dilakukan oleh calon suami dan wali nikah pada waktu akad

nikah. 5

3
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Isalam tentang Perkawinan, cet ke-1, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974), h. 27-28
4
Abd. Wahab Abd. Muhaimin, Kompilasi Jurnal Ahkam Fakultas Syariah dan Hukum UNI
Syarif Hidayatullah, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998), h. 35-36.
3

Sesuai dengan prinsip perkawinan yang dikandung dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 31 bahwa kedudukan

suami istri adalah sama dan seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga

maupun dalam pergaulan hidup bermasyarakat. 6

Kewajiban suami terhadap istrinya adalah memberikan nafkah lahir

(sandang, pangan dan papan) dan batin (menggauli istri secara baik, menjaga dan

melindungi istri, dan harus dapat mewujudkan kehidupan perkawinan yang

diharapkan Allah yaitu keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah).

Sedangkan kewajiban istri terhadap suami adalah menggauli suami dengan baik,

memberikan rasa cinta kasih yang seutuhnya untuk suami, taat dan patuh kepada

perintah suami selama suami tidak menyuruh untuk melakukan perbuatan

maksiat, menjaga diri dan harta suami jika suami tidak ada di rumah, dan

menjauhkan diri dari segala perbuatan yang tidak disenangi oleh suami. Adapun

kewajiban bersama antara suami dan istri yaitu memelihara dan mendidik anak

keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut serta memelihara kehidupan rumah

tangga bersama yang sakinah, mawaddah dan rahmah. 7

Tercapainya tujuan tersebut sangat bergantung pada eratnya hubungan

antara kedua suami istri dan pergaulan baik antara keduanya. Maka akan eratlah

5
Satria Efendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer; Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Usuliyah, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 96
6
Satria Efendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer; Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Usuliyah, h. 186
7
Lihat Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 30-34
4

hubungan antara keduanya apabila masing-masing suami dan istri tetap

menjalankan kewajibannya sebagai suami istri yang baik. 8 Hal ini sebagaimana

yang tertuang dalam firman Allah SWT Qs. al-Baqarah : 228.

Pada dasarnya perkawinan dilakukan untuk selamanya sampai matinya

salah seorang dari suami istri tersebut. Inilah yang dikehendaki agama Islam.

Namun, dalam keadaan tertentu ada hal-hal yang menghendaki putusnya

perkawinan itu dalam arti bilamana hubungan perkawinan tetap dilanjutkan maka

kemudharatan akan terjadi, dalam hal ini Islam membenarkan putusnya

perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga.

Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik. 9

Adapun kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga

yang dapat memicu terjadinya perceraian salah satunya adalah perkara nusyuz.

Secara harfiyah nusyuz adalah membangkang atau tidak tunduk kepada Tuhan.

Dalam Islam, tidak ada ketundukan selain hanya kepada Allah SWT.

Tidak bisa kita memahami nusyuz dengan baik tanpa terlebih dahulu

memahami hakikat perkawinan dalam Islam. Perkawinan harus dibangun di atas

lima prinsip dasar. Pertama, prinsip mitsaqan ghalizan (komitmen yang amat

serius). Perkawinan adalah komitmen antara dua orang yang memiliki

kesederajatan yang berjanji untuk membentuk keluarga sakinah. Kedua, prinsip

8
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. Ke-27, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 339
9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 190
5

mawaddah warahmah (cinta kasih yang tidak mengenal batas). Ketiga, prinsip

mu’asyarah bil ma’ruf (berbuat santun dan terpuji, serta jauh dari segala bentuk

kekerasan). Keempat, prinsip al-musawah (kesederajatan) dan yang Kelima,

prinsip monogami. Jadi, barang siapa yang menyimpang dari prinip-prinsip

tersebut dapat dikategorikan sebagai nusyuz. Penyimpangan terhadap komitmen

bersama ini berarti penyimpangan terhadap perintah Tuhan.

Ketika menyebut kata nusyuz, maka tergambar di fikiran kita seorang

perempuan yang durhaka atau yang tidak taat dan tidak melaksanakan

tanggungjawab mereka sebagai seorang istri. Sebenarnya nusyuz tidak hanya

berlaku pada istri namun nusyuz juga bisa berlaku pada suami. 10 Hal ini

sebagaimana yang tersirat di dalam al-Qur’an Qs. An-Nisa ayat 128 bahwa

nusyuz tidak hanya dialami atau dilakukan oleh istri tetapi dapat juga dilakukan

oleh suami. Selama ini yang selalu diangkat kepermukaan adalah nusyuz istri.

Sementara istri atau suami keduanya adalah manusia biasa yang tidak menutup

kemungkinan bisa berbuat kekeliruan atau melakukan kesalahan. 11

Kompilasi Hukum Islam telah mencoba mengatur persoalan nusyuz

sebijaksana mungkin untuk menjamin hak masing-masing suami istri

sebagaimana yang telah tercantum. Namun demikian, dalam persoalan nusyuz ini

10
Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq, dan Hakam menurut Al-Qur’an, Sunnah dan
Undang-Undang Keluarga Islam, cet ke. 1, (Kuala Lumpur: Kolej Universiti Islam Malaysia. 2007),
h.19
11
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: El-Kahfi, 2008),
h. 291
6

Kompilasi Hukum Islam masih terlihat bias gender sebab masalah nusyuz di

dalam Kompilasi Hukum Islam hanya berlaku bagi pihak perempuan saja,

sementara laki-laki yang mangkir dari tanggung jawabnya tidak diatur. Oleh

sebab itu, pasal ini terlihat mengekang kebebasan hak-hak perempuan dan tidak

mendudukkan hubungan suami istri secara seimbang.12 Bahkan di dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pun tidak ada menyinggung

hal ini.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian skripsi mengenai persinggunggan yang berlawanan yang

terjadi antara hukum Islam dan hukum positif mengenai nusyuz suami. Karena

pemahaman masyarakat yang dibangun dengan paradigma yang memarjinalkan

perempuan saja, bahkan hal ini juga didukung seperti yang tercantum dalam

Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan hal yang dikemukakan di atas tersebut,

maka penulis ingin mengangkat masalah dengan menjadikan fokus penelitian

skripsi yang berjudul ”Nusyuz Suami Dalam Perspektif Hukum Islam dan

Hukum Positif”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1 Pembatasan Masalah

Yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah mengenai

nusyuz suami yang banyak masyarakat tidak mengetahui akan hal ini, bahkan di

12
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 293
7

dalam Kompilasi Hukum Islam sendiri hanya mengatur tentang nusyuz istri saja.

Padahal di dalam al-Qur’an dinyatakan secara tegas bahwa nusyuz tidak hanya

berlaku pada wanita saja, namun laki-laki pun bisa dikatakan nusyuz. Jadi, penulis

merasa bahwa ada bias gender dalam penggunaan kata nusyuz. Apakah kata

nusyuz ini hanya diperuntukkan untuk wanita yang durhaka saja dan laki-laki

tidak. Atau apakah kedua-duanya dapat dikatakan nusyuz jika mengingat bahwa

laki-laki juga adalah manusia biasa, yang merupakan seorang mukallaf, dimana

setiap perbuatan yang dilakukan pasti ada konsekwensinya.

2 Perumusan Masalah

Mengenai nusyuz istri diperkuat di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal

84 ayat 1. Adapun mengenai nusyuz suami tidak disinggung di dalam hukum

positif baik di Kompilasi Hukum Islam atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan padahal dalam Al-Quran sudah jelas memuat akan

adanya nusyuz suami ini. Untuk itu, penulis merumuskan masalah yang terjadi

antara hukum Islam dan hukum positif mengenai nusyuz suami. Penulis merinci

rumusan diatas kedalam pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, yaitu:

1. Apakah yang dimaksud dengan nusyuz suami ?

2. Apa saja kriteria nusyuz suami dalam perspektif hukum Islam ?

3. Apakah faktor penyebab dari nusyuz suami ?

4. Apa saja akibat yang ditimbulkan dari nusyuz suami ?


8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan di atas maka yang menjadi

tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Untuk memberikan gambaran bagaimana cara menyikapi akibat dari

nusyuz suami.

b) Untuk memberikan gambaran hal-hal yang menyebabkan nusyuz suami.

c) Untuk memberikan gambaran atau penjelasan tentang pandangan hukum

Islam terhadap perkara nusyuz suami.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Hasil penelitian ini berguna bagi pengembangan studi hukum Islam di

bidang Ahwal As-Syakhsiyah mengenai nusyuz suami.

b) Hasil penelitian ini berguna bagi para pihak yang berkepentingan atas

permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan diatas.

c) Hasil penelitian ini akan berguna bagi akademisi beserta masyarakat

secara umum dalam rangka mengkaji persoalan mengenai nusyuz suami.

D. Review Studi Terdahulu

Sejauh ini penulis belum menemukan skripsi/tesis/disertasi yang secara

khusus membahas tema atau judul dan masalah yang serupa khususnya di

Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta dan di Fakultas Hukum Universitas lain pada umumnya. Hemat penulis

ada beberapa karya tulis lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini khususnya
9

di Fakultas Syari’ah dan Hukum di perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu :

1. Maisaroh, “Pencabutan Hak Hadhanah Terhadap Istri Akibat Perceraian

Karena Nusyuz (Studi Kasus di Pengadilan Agama Tangerang)”, Skripsi S1

Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2005.

Skripsi ini menjelaskan tentang alasan-alasan yang diajukan suami terhadap

tingkah laku istri yang suka merokok, keluar malam, tidak jujur karena

meminjam uang kepada orang lain tanpa sepengetahuan suami. Dengan

kelakuan istri tersebut yang dianggap nusyuz karena telah menelantarkan

anak-anak dan keluarganya, maka pengadilan mengabulkan permohonan talak

dan hak asuh anak yang jatuh kepada suami.

2. Nur Shollah , “Kekerasan karena Istri Nusyuz (Studi Kasus di Pengadilan

Agama Jakarta Selatan)”, Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008

Skripsi ini menjelaskan tentang arti sebuah pernikahan yang bertujuan untuk

memberikan rasa aman terhadap pasangan terutama istri. Seorang suami tidak

berhak melakukan tindak kekerasan dalam bentuk apapun meskipun istrinya

nusyuz. Dan terdapat saran agar suami senantiasa menjadi kepala keluarga

yang dapat membimbing keluarganya tanpa menggunakan kekerasan dan istri

sudah seharusnya mentaati semua perintah suami.


10

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan

menggunakan metode deskriptif analitis. Penelitian dengan menggunakan

pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang atau pelaku yang diamati.

Sedangkan yang dimaksud penelitian dengan menggunakan metode deskriptif

analitis yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap

kenyataan di lapangan.

2. Tehnik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat pengumpul

data melalui Library Research yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui

metode penelitian kepustakaan, yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan

mempelajari dan membaca yang terdiri dari :

• Bahan Dokumen Primer yang bersumber pada perundang-undangan yang

berhubungan dengan penelitian

• Bahan Sekunder yang bersumber dari buku-buku ilmiah, buku-buku

wajib, artikel dan majalah yang berhubungan dengan penelitian ini.

3. Tehnik Analisa Data

Teknik analisa data merupakan teknik analisa data secara kualitatif

(qualitative content analysis)


11

4. Tehnik penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini. Penulis berpedoman kepada

prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam Buku Pedoman Penulisan

Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun

2007.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapat gambaran mengenai isi dari seluruh skripsi ini maka

penulis mengurainya ke dalam lima (5) bab. Pembagian ini dibuat agar dalam

pengembangannya dapat lebih sistematis Secara garis besar isi skripsi ini adalah

sebagai berikut :

Bab pertama membahas tentang pendahuluan yang terdiri dari latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua menguraikan nusyuz suami dan akibat hukumnya yang berisi

pengertian dan dasar hukum nusyuz suami, kriteria nusyuz suami, faktor penyebab

terjadinya nusyuz pada suami, kaidah penyelesaian nusyuz suami dan akibat

nusyuz suami.

Bab ketiga merupakan kajian tentang hak istri dan wewenang hakim

terhadap nusyuz suami yang membahas tentang hak gugat istri ketika suami

nusyuz, kompensasi gugat karena nusyuz suami dan wewenang hakim terhadap

nusyuz suami.
12

Bab keempat membahas tentang analisa perbandingan nusyuz suami

dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif yang terdiri dari nusyuz suami

dalam perspektif hukum Islam, nusyuz suami dalam perspektif hukum positif,

persamaan dan perbedaan antara nusyuz suami dalam perspektif hukum Islam

dengan hukum positif, solusi perbandingan dan analisis penulis.

Bab kelima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dari apa yang

telah dikemukakan penulis dalam tulisan, beserta saran.


BAB II

NUSYUZ SUAMI dan AKIBAT HUKUMNYA

A. Pengertian dan Dasar Hukum Nusyuz Suami

a. Pengertian nusyuz :

Secara kebahasaan, nusyuz dari akar kata an-nasyz atau an-nasyaaz yang

berarti tempat tinggi atau sikap tidak patuh dari salah seorang diantara suami dan

isteri atau perubahan sikap suami atau isteri. Dalam pemakaiannya, arti kata an-

nusyuuz ini kemudian berkembang menjadi al-’ishyaan yang berarti durhaka atau

tidak patuh. Disebut nusyuz karena pelakunya merasa lebih tinggi sehingga dia

tidak merasa perlu untuk patuh. Ibnu Manzur dalam kitabnya, Lisan al-’Arab

(Ensiklopedi Bahasa Arab), mendefinisikan an-nusyuuz sebagai rasa kebencian

salah satu pihak (suami atau isteri) terhadap pasangannya. Sementara itu, Wahbah

az-Zuhaili mengartikan an-nusyuuz sebagai ketidakpatuhan salah satu pasangan

suami-isteri terhadap apa yang seharusnya dipatuhi atau rasa benci terhadap

pasangannya. 1

Para ulama memberi berbagai definisi tentang nusyuz. Menurut Imam

Syirazi, nusyuz ialah istri yang bersikap durhaka, angkuh serta ingkar terhadap

1
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam vol-4, cet. Ke-1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), h. 1353-1354

13
14

apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada mereka mengenai tanggung

jawab yang perlu dilaksanakan terhadap suami. Namun, berdasarkan nash-nash

dari al-Qur’an dan Hadits, nusyuz tidak hanya berlaku dikalangan istri bahkan ia

juga berlaku di kalangan suami. Maka nusyuz boleh dikatakan sebagai suami atau

istri yang tidak melaksanakan tanggung jawab mereka terhadap pasangan

sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Allah SWT kepada mereka. 2

Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena

meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya. Nusyuz suami terjadi apabila ia

tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya baik meninggalkan kewajiban

secara materil atau non materil. Sedangkan nusyuz yang mengandung arti luas

yaitu segala sesuatu yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk

seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental istri, tidak melakukan hubungan

badaniyah dalam jangka waktu tertentu yang sangat lama dan tindakan lain yang

bertentangan dengan asas pergaulan baik antara suami dan istri. 3

Menurut pendapat Ibnu Jarir Ath-Thabari yaitu firman Allah SWT ”Jika

seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz”, maksud ayat tersebut

adalah istri khawatir akan nusyuz dari suaminya. Firman Allah SWT ”Atau

2
Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq, dan Hakam menurut Al-Qur’an, Sunnah dan
Undang-Undang Keluarga Islam, cet ke. 1, (Kuala Lumpur: Kolej Universiti Islam Malaysia. 2007), h.
1-2
3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 193
15

bersikap tidak acuh”, artinya berpaling dengan muka atau membawa pemberian

yang pernah ia berikan kepadanya. 4

Di dalam kitab Tafsir Jalalain karangan Imam Jalaluddin al-Mahalli dan

Imam Jalaluddin as-Suyuti mengartikan nusyuzan sebagai sikap tak acuh hingga

berpisah ranjang darinya dan melalaikan pemberian nafkahnya, ada kalanya

karena marah atau karena matanya telah terpikat oleh wanita yang lebih cantik

dari istrinya. Sedangkan I’radhan (memalingkan muka darinya) 5

Nusyuz pihak suami terhadap istri lebih banyak berupa kebencian atau

ketidaksenangannya terhadap istri sehingga suami menjauh atau tidak

memperhatikan istrinya. Selain istilah nusyuz pihak suami ada juga istilah i’rad

(berpaling). Perbedaan antara keduanya adalah jika nusyuz maka suami akan

menjauhi istrinya sedangkan i’rad adalah suami tidak menjauhi istri melainkan

hanya tidak mau berbicara dan tidak menunjukkan kasih sayang kepada istrinya.

Dengan demikian maka setiap nusyuz pasti i’rad akan tetapi setiap i’rad belum

tentu nusyuz. 6 Sedangkan Nahas memberikan perbedaan arti nusyuz dan i’radh. Ia

4
Imad Zaki Al-Barudi, penerjemah: Tim Penerjemah Pena, Tafsir Al-Quran Al-Azhim Lin-
Nisa (Tafsir Qur’an Wanita), (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), h. 111
5
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti; penerjemah Bahrun Abu Bakar, Terjemahan
Tafsir Jalalain berikut asbabun nuzul jilid 1, cet. Ke-7, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007), h.
420
6
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam vol-4, cet. Ke-1, h. 1355
16

menterjemahkan nusyuz dengan menjauhkan dirinya dan i’radh dengan tidak


7
mencampurinya.

Dalam prakteknya nusyuz suami bisa berbentuk perkataan, perbuatan atau

kedua-duanya. Yang berbentuk perkataan misalnya suami suka memaki-maki dan

menghina isteri. Sedangkan yang berbentuk perbuatan misalnya suami

mengabaikan hak isteri atas dirinya, berfoya-foya dengan perempuan lain,

menganggap isterinya seolah-olah tidak ada. 8

Nusyuz adalah durhaka. Jadi, nusyuz suami adalah sikap suami yang telah

meninggalkan kewajiban-kewajibannya, bertindak keras kepada istri, tidak

menggaulinya dengan baik, tidak pula memberikan nafkah dan bersikap acuh tak

acuh kepada sitri. 9

b. Dasar Hukum Nusyuz Suami

Kemungkinan nusyuz tidak hanya datang dari istri akan tetapi dapat juga

datang dari suami. Selama ini sering disalahpahami bahwa nusyuz hanya datang

dari pihak istri saja. Padahal al-Qur’an juga menyebutkan adanya nusyuz dari

suami seperti yang termaktub dalam al-Qur’an Qs. An-Nisa 4:128 10

7
Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, (Medan: Kencana Prenada Media Group,
1962), h. 316
8
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1354
9
M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqih, cet. Ke-1, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h.
251
17

☺ ⌧
☯ ☺

⌧ ☯

☺ ☺ ⌧

Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika
kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari
nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ayat ini menerangkan bagaimana cara yang mesti dilakukan oleh suami

istri. Apabila istri merasa takut dan khawatir terhadap suaminya yang kurang

mengindahkannya atau kurang perhatian kepadanya atau mengacuhkannya. 11

Hal ini juga seperti yang tertera dalam hadits Rasulullah SAW :

:‫ل‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ؟ َﻗَﺎ‬
َ ‫ﺣ ِﺪ َﻧَﺎ‬
َ ‫ج َا‬
َ ْ‫ﻖ َزو‬
‫ﺣﱡ‬
َ ‫ﷲ ﻣَﺎ‬
ِ ‫لا‬
َ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ ﻳَﺎ َر‬: ‫ﺖ‬
ُ ْ‫ ُﻗﻠ‬: ‫ل‬
َ ‫ﻋﻦْ َا ِﺑﻴْ ِﻪ َﻗَﺎ‬
َ ‫ﻦ ُﻣ َﻌﺎِو َﻳ ِﺔ‬
ُ ْ‫ﺣ ِﻜﻴْ ِﻢ اﺑ‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬
َ

‫ﺖ‬
ِ ْ‫ﻻ ﻓِﻲ اﻟْ َﺒﻴ‬
‫ﺠ َﺮ ِا ﱠ‬
ُ ْ‫ﻻ َﺗﻬ‬
َ ‫ﻻ ُﺗ َﻘ ﱢﺒﺢْ َو‬
َ ‫ب َاﻟْ َﻮﺟْ َﻪ َو‬
ِ ‫ﻻ ﺗَﻀ ِﺮ‬
َ ‫ﺖ َو‬
َ ْ‫ﺴﻴ‬
َ ‫ﺴﻬَﺎ ِاذَا اآْ َﺘ‬
ُ ْ‫ﺖ َو َﺗﻜ‬
َ ْ‫َﺗﻄْ َﻌ ُﻤﻬَﺎ ِاذَا َا َآﻠ‬

‫)روا ﻩ اﺣﻤﺪ واﺑﻮ داود واﻟﻨﺴﺎئ واﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ وﻋﻠﻖ اﻟﺒﺨﺎري ﺑﻌﻀﻪ وﺻﺤﺤﻪ اﺑﻦ ﺣﺒﺎن‬
12
(‫واﻟﺤﺎآﻢ‬

10
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ; Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai KHI, cet. Ke-1, (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2004), h. 210
11
Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 316
18

Artinya: Dari hakim bin Mu’awiyah dari bapaknya, ia berkata : Saya bertanya:
Ya Rasulullah! Apa kewajiban seseorang dari kami terhadap istrinya?
Rasullah bersabda : ”Engkau beri makan dia apabila engkau makan,
engkau beri pakaian kepadanya apabila engkau berpakaian, jangan
engkau pukul mukanya, jangan engkau jelek-jelekkan dia dan jangan
engkau jauhi (seketiduran) melainkan di dalam rumah. (diriwayatkan
oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Buhkari
sebagiannya dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim).

Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman dalam Qs. An-Nisa 4: 129

☺ ☺ ⌧
☺ ⌧ ⌧

☺ ⌧ ⌧

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya
Allah maha pengampun lagi maha penyayang.

Dan didukung pula dengan hadits Rasulullah SAW :

‫ﻋﻨْﺪَهَﺎ‬
ِ ‫ﺐ َا َﻗَﺎ َم‬
ِ ْ‫ﻰ اﻟ َﺜﻴ‬
َ ‫ﻞ اﻟ ِﺒﻜْ َﺮﻋَﻠ‬
ُ‫ﺟ‬ُ ‫ج اﻟ َﺮ‬
َ ‫ﺴ ﱠﻨ ِﺔ ِاذَا َﺗ َﺰ ﱠو‬
‫ﻦ اﻟ ﱡ‬
ِ ‫ َﻣ‬:‫ل‬
َ ‫ﻋﻨْ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻲا‬
َ‫ﺿ‬
ِ ‫ﻚ َر‬
ِ ‫ﻦ ﻣَﺎِﻟ‬
ُ ْ‫ﺲ ﺑ‬
ٍ ‫ﻋﻦْ َا َﻧ‬
َ

‫ﺖ‬
ُ ْ‫ﺖ َﻟ ُﻘﻠ‬
ُ ْ‫ﺷﺌ‬
ِ ْ‫ﻼ َﺑ َﺔ َوَﻟﻮ‬
َ ‫ل َا ُﺑﻮْ ِﻗ‬
َ ‫ﺴ َﻢ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻼ ﺛًﺎ ُﺛﻢﱠ َﻗ‬
َ ‫ﻰ اﻟ ِﺒﻜْ ِﺮ اَﻗَﺎ َم ﻋِﻨْﺪَهَﺎ َﺛ‬
َ ‫ﺐ ﻋَﻠ‬
ُ ْ‫ج اﻟﺜﱠﻴ‬
َ ‫ﺴ َﻢ َوِاذَا َﺗ َﺰ ﱠو‬
َ ‫ﺳﺒْﻌًﺎ َو َﻗ‬
َ
13
‫ﺳﱠﻠ َﻢ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻰا‬
‫ﻲ ﺻَﻠ ﱠ‬
‫ﻰ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
َ ‫ن َاﻧَﺴًﺎ َر َﻓ َﻌ ُﻪ اِﻟ‬
‫ِا ﱠ‬

Artinya: Dari Anas bin Malik RA, dia berkata, ”Termasuk as-Sunnah, jika
seorang laki-laki menikahi gadis daripada janda, maka dia menetap
disisinya selama 7 hari, kemudian dia membagi (diantara istrinya) dan

12
Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Jami’i Adillatul
Ahkam, (Qahirah: Darul Hadits, 2003), hadits ke-955, h. 175
13
Abdullah bin Abdurrahman bin Shahih bin Ali Bassam, Taisirul-allam Syarh Umdatul-
Ahkam, (Jeddah: Maktabah As-Sawadi Lit-Tauzi’, 1992), hadits ke 307
19

jika menikahi janda, maka dia menetap di sisinya selama 3 hari


kemudian membagi (diantara istrinya)”. Abu qilabah berkata
”sekiranya aku menghendaki tentu dapat kukatakan, ”Sesungguhnya
Anas memarfu’kannya kepada nabi SAW”.

Suami dikatakan nusyuz apabila tidak adil ketika melayani istri-istrinya

seperti di dalam hadits yang telah dinyatakan sebelum ini yaitu Allah SWT akan

membangkitkan suami yang tidak adil terhadap istri-istrinya pada hari kiamat

dalam keadaan bahu yang senget sebelah. Selain itu tindakan tidak memberi

nafkah kepada istri sedangkan ia adalah seorang yang berkemampuan juga

dianggap sebagai nusyuz. Memberi nafkah kepada istri merupakan kewajiban bagi

setiap suami sebagaimana firman Allah SWT dalam Qs. At-Thalaq 65:7

Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut


kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya, Allah
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya, Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan.

Berkata dan berlaku kasar kepada istri seperti menghardik, menghina dan

memukul tanpa sebab sedangkan istri taat dan tidak durhaka kepada suaminya

juga dianggap sebagai nusyuz.


20

Berdasarkan kepada nash-nash al-Qur’an dan Sunnah diatas maka jelaslah

menunjukkan nusyuz tidak hanya berkemungkinan berlaku kepada istri saja tetapi

suami juga dapat dikategorikan nusyuz.

B. Kriteria Nusyuz Suami

Kriteria nusyuz suami ada 11 yaitu sebagai berikut :

1. Sikapnya menampakkan tanda-tanda ketidakpedulian, seperti meninggalkan

istri dari tempat tidur kecuali sekedar melakukan sesuatu yang wajib, atau

kebencian terhadap istrinya terlihat nyata dari sikapnya. Hal ini sebagaimana

yang termaktub dalam al-Qur’an Qs. An-Nisa 4: 128

2. Meninggalkan suatu kewajiban, seperti tidak memenuhi nafkah. Hal ini

banyak dibicarakan dalam fiqih imamiyah yaitu tentang pelanggaran

terhadap kewajiban nafkah yaitu tidak memberi nafkah dengan sengaja

padahal ia tahu dan ia mampu untuk menafkahi keluarganya. 14 Hal ini

sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah SWT Qs. At-Thalaq 65 : 7.

Sudah menjadi ketetapan agama bahwa suami harus memberikan belanja

untuk makan, minum dan pakaian serta tempat tinggal untuk istri dan anak-

anak yang sesuai dengan tingkat kemampuannya. 15

14
Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili; penerjemah Muhdhor Ahmad Assegaf & Hasan
Saleh. Perceraian Salah Siapa?; Bimbingan Islam Dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga,
cet ke-1, (Jakarta: Lentera, 2001), h.156-159
15
Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, cet. Ke-1, (Bandung:
Irsyad Baitus Salam, 1997), h. 33
21

3. Keangkuhan, kesewenang-wenangan, dan kesombongan seorang suami

terhadap istri. Hal ini sebagaimana nabi Rasulullah SAW bersabda :

‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻰا‬
‫ﷲ ﺻَﻠ ﱠ‬
ِ ‫لا‬
ُ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ل َر‬
َ ‫ ﻗَﺎ‬: ‫ل‬
َ ‫ﻋﻨْﻬُﻤَﺎ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻲا‬
َ‫ﺿ‬
ِ ‫ص َر‬
ِ ‫ﻦ اﻟﻌَﺎ‬
ُ ْ‫ﻋﻤْﺮُوﺑ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﷲ ﺑ‬
ِ ‫ﻋﺒْﺪِا‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫َو‬
16
(‫ت )ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ رواﻩ اﺑﻮ داود وﻏﻴﺮﻩ‬
ِ ْ‫ﻀ ﱢﻴ َﻊ َﻣﻦْ َﻳ ُﻘﻮ‬
َ ‫ َآﻔَﻰ ﺑِﺎﻟْ َﻤﺮْ ِء ِاﺛْﻤًﺎ َانْ ﱡﻳ‬: ‫ﺳﱠﻠ َﻢ‬
َ ‫َو‬

Artinya : Dari Abdullah Ibn Amr Ibn Al-’Ash dia berkata : Rasulullah

bersabda : Cukuplah dosa seseorang apabila ia menyia-nyiakan

orang yang menjadi tanggungannya. (Hadits shahih diriwayatkan

oleh Abu Dawud dan lainnya)

4. Nusyuz sebagai kedurhakaan suami yaitu yang mempunyai perangai yang

kasar atau tindakannya yang membahayakan istri. 17 Perlakuan kasar kepada

istri mencakup ucapan yang menyakitkan atau tindakan yang menyakiti

fisiknya. Bentuk tindakan yang menyakitkan perasaan istri misalnya mencari

kesalahan istri, menghianati kesanggupan janji-janji kepada istri dan lain-

lain. 18

5. Sikap tidak adil suami kepada para istrinya (khusus pelaku poligami) yaitu

suami yang beristri 2 atau sampai 4 orang terkena kewajiban untuk berlaku

adil kepada istrinya. Keadilan yang dimaksud adalah memperlakukan sama

16
Abi Zakariyah Yahya bin Syarif An-Nawawi Ad-Dasyiqiy, Riyadhus Sholihin, (Bairut:
Darul Fikr, 1994), hadits ke-6, h. 155
17
Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili; penerjemah Muhdhor Ahmad Assegaf & Hasan
Saleh. Perceraian Salah Siapa?: Bimbingan Islam Dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga, h.
152
18
Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 75-77
22

dalam hal-hal yang bersifat dhahir yaitu dalam pemberian nafkah, pergaulan

dan kebutuhan seksual. Sedangkan dalam hal cinta yang bersifat bathin,

suami tidaklah dituntut seperti halnya perlakuannya dalam urusan dhahir. 19

Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam firman Allah Qs. An-Nisa 4 : 129

dan sabda nabi Muhammad SAW :

‫ﻰ‬
َ ‫ل اِﻟ‬
َ ‫ن َﻓﻤَﺎ‬
ِ ‫ َﻣﻦْ آَﺎ َﻧﺖْ َﻟ ُﻪ اﻣْ َﺮ أَﺗَﺎ‬:‫ل‬
َ ‫ﺳَﻠ َﻢ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻰا‬
‫ن اﻟ ﱠﻨﺒِﻲ ﺻَﻠ ﱠ‬
‫ﻦ اَﺑِﻰ ُه َﺮﻳْ َﺮ َة َا ﱠ‬
ِ‫ﻋ‬َ
20
(‫ﻞ )رواﻩ اﺣﻤﺪ واﻻرﺑﻌﺔ وﺳﻨﺪﻩ ﺻﺤﻴﺢ‬
ٌ ‫ﺷ ﱡﻘ ُﻪ ﻣَﺎ ِﺋ‬
ِ ‫ِاﺣْ َﺪهُﻤَﺎ ﺟَﺎ َء َﻳﻮْ َم اﻟﻘِﻴَﺎ َﻣ ِﺔ َو‬

Artinya : Dari Abu Hurairah sesungguhnya nabi SAW telah bersabda :


Barang siapa ada baginya dua istri, lalu ia condong kepada salah
seorang, maka akan datang padanya hari kiamat dalam keadaan
sebelah dari barangnya miring atau senget. (Riwayat Ahmad dan
Imam yang empat dan sanadnya sahih)

6. Segala sesuatu yang dilakukan suami dalam menggauli istrinya dengan cara

yang buruk 21 seperti tidak memberikan kebutuhan seksual istri 22 dan

menyenggamai istri pada waktu haid 23

7. Tidak mau melunasi hutang mahar. Perintah untuk membayar mahar kepada

wanita yang menjadi istrinya tersebut sebagaimana diatur di dalam al-Qur’an

Qs. An-Nisa 4 : 4

19
Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 102-103
20
Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Jami’i Adillatul
Ahkam, hadits ke-991, h. 181
21
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan), h. 193
22
Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 57
23
Ibid, h. 67
23


Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)

sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka

menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan

senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai

makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Seorang suami yang tidak melunasi mahar istrinya yang masih dihutanginya

berarti telah menipu istrinya, maka suami yang memiliki kemampuan untuk

membayar hutang mahar kepada istri, namun tidak mau melunasinya berarti

telah berbuat durhaka terhadap istrinya. 24

8. Menarik kembali mahar tanpa keridhaan istri. Di dalam Qs. An-Nisa 4: 21


Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-
isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat.

Ayat diatas dengan tegas mencela suami yang meminta atau menarik kembali

mahar yang telah diberikan kepada istrinya baik menarik seluruhnya atau

sebagiannya karena mahar itu mutlak menjadi hak istri, maka menarik

kembali berarti merampas hak orang. Perbuatan semacam ini tidak ubahnya

24
Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, 17-20
24

orang yang melakukan perampasan. Merampas harta orang adalah suatu

perbuatan yang sudah jelas terlarang. 25

9. Mengusir istri keluar dari rumah artinya melarang istri untuk tinggal serumah

dengannya. Selama seorang wanita menjadi istri dari seorang laki-laki, ia

mempunyai hak untuk bertempat tinggal di rumah yang ditinggali suaminya.

Sekiranya suami punya masalah dengan istri, maka ia tidak boleh semena-

mena mengusir istri dari rumahnya, sehingga ia kehilangan hak untuk tinggal
26
di dalam rumahnya.

10. Menuduh istri berzina tanpa bukti yang sah. 27

11. Menceraikan istri dengan sewenang-wenang. 28

C. Faktor Penyebab Terjadinya Nusyuz pada Suami

Sebab-sebab yang melatarbelakangi nusyuz suami ada 11 yaitu sebagai

berikut:

1. Kurangnya didikan agama, sehingga suami tidak mengetahui hak dan

kewajibannya dalam berumah tangga.

2. Karena istri lebih dari satu, sedangkan syarat-syaratnya tidak mencukupi. 29

Dan suami lebih condong kepada salah satu dari istrinya sehingga

mengabaikan istrinya yang lain. 30

25
Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 24-28
26
Ibid, h. 110-111
27
Ibid, 124
28
Ibid, 134
25

3. Pihak ketiga. Dalam hal ini pihak ketiga yang dimaksud adalah adanya

wanita idaman lain suami selain istri. Suami tertarik kepada perempuan lain

sehingga dia lupa kepada istri dan keluarganya. 31

4. Cemburu yang berlebihan. Apabila kecemburuan tidak dikelola dengan baik

maka akan menimbulkan permusuhan antara suami istri.

5. Suami adalah seorang yang pemalas yang tidak senang memikul tanggung

jawab sebagai kepala keluarga. 32 Jika istri bekerja untuk menyediakan

kebutuhan ekonomi keluarga bukan berarti suami bebas secara penuh atas

nafkah yang menjadi tanggung jawabnya terhadap keluarga.

6. Rasa bosan. Hal ini akan timbul dalam sebuah hubungan jika tidak

didasarkan atas cinta yang dalam dan mulai timbul rasa jenuh. 33

7. Karena suami menganggap istrinya tersebut tidak lagi menarik atau sudah

tua atau sakit-sakitan dan tidak dapat memenuhi seleranya sehingga dia

enggan untuk memenuhi kebutuhan istrinya. 34

8. Tidak tertarik lagi kepada istrinya karena istrinya kurang memperhatikan

perawatan fisik. 35
29
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan Perkawinan),
cet. Ke-1, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 31
30
Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 37
31
Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 37
32
Ibid, h. 120
33
Mufidah, C.H., Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN-Malang
Press, 2008), h. 195-201.
34
Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 106
26

9. Emosi yang tidak stabil karena tekanan di luar keluarga. 36

10. Kesal atas perlakuan istri yang dirasakan tidak menyenangkan dirinya. 37

11. Karena pengaruh kebiasaannya yang buruk dalam pergaulan di luar rumah

tangga misalnya kebiasaan main judi, minum-minuman keras dan melakukan

akhlak buruk lainnya. 38

D. Kaidah Penyelesaian Nusyuz Suami

Syara’ telah menetapkan tindakan yang perlu diambil oleh seorang istri

dalam menangani nusyuz suami. Sekiranya nusyuz berlaku di pihak suami,

tindakan yang dilakukan oleh istri seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an ialah

dengan menasehati kemudian diikuti dengan perdamaian dan memperbaiki diri

dari pihak istri jika ada sikap istri yang tidak disukai suami atau dengan

mengurangi hak-hak daripada istri. Kaedah yang ketiga adalah membuat

pengaduan kepada hakim atau menggugat cerai. Sekiranya ketiga kaidah ini akan

dijelaskan sebagai berikut :

Kaedah pertama : nasehat

Suami istri mempunyai hak yang sama antara satu sama lain dalam

melaksanakan tugas mengajak ke arah kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Istri berhak menasehati suami agar kembali bertanggung jawab kepada keluarga

35
Ibid, h. 61
36
Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 78
37
Ibid, h. 29
38
Ibid, h. 79
27

dan mengingatkan mereka tentang azab yang bakal diterima bagi suami yang

mengabaikan dalam melaksanakan tanggung jawab terhadap istri dan

keluarganya. 39

Allah SWT telah mensifatkan suami itu sebagai pemimpin bagi istri dan

keluarga, bukan berarti istri tidak ada hak untuk menegur suami yang nusyuz.

Mereka perlu menjalankan tugas mereka sebagai istri untuk menasehati suami

agar kembali ke jalan yang benar. Semoga dengan nasehat akan menyadarkan

suami untuk dapat kembali melaksanakan tanggung jawab mereka. 40

Kaedah kedua : perdamaian

Jika seorang istri merasa suaminya kurang memerhatikannya karena

beberapa hal seperti karena urusan pekerjaan sehingga tidak ada waktu lagi bagi

suami untuk mengurus rumah tangganya terlebih lagi istrinya. Maka apabila

pihak istri merasa takut terjadi sesuatu hal yang tidak baik karena suaminya lebih

mementingkan urusan pekerjaannya daripada keluarga, lebih baik kalau istri

mengadakan perdamaian dengan suaminya. 41

Perdamaian yang dimaksud adalah istri yang mengurangi hak-haknya

yang perlu ditunaikan oleh suami seperti mengurangi kadar mahar yang

tertangguh, nafkah atau hak-hak persamaan (bagi yang berpoligami). Tindakan

39
Norzulaili Mohd. Ghazali, Nusyuz, Syiqaq, dan Hakam menurut Al-Qur’an, Sunnah dan
Undang-Undang Keluarga Islam, h. 22-23
40
Ibid, h. 25
41
Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 316
28

istri seperti ini bertujuan mengembalikan ketentraman dan keamanan dalam

kehidupan rumah tangga. Tindakan perdamaian ini juga merupakan salah satu

kaedah untuk menghadapi nusyuz di pihak suami. Sebagaimana firman Allah

SWT dalam QS. An-Nisa 4:128

☺ ⌧
☯ ☺

⌧ ☯

☺ ☺ ⌧

Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika
kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari
nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Menurut pendapat Ibnu Jarir Ath-Thabari firman Allah ”Maka keduanya

dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya”, Allah mengatakan kepada

mereka berdua, ”Tidak mengapa” maksudnya adalah istri yang khawatir

suaminya nusyuz atau berpaling darinya maka tidak mengapa jika ia memilih

mengalah dan tetap memenuhi hak suaminya agar tali perkawinan antara
42
keduanya tetap berlanjut. Firman Allah SWT ”Jika kamu memperbaiki

(pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu dari nusyuz dan sikap acuh

42
Imad Zaki Al-Barudi, penerjemah: Tim Penerjemah Pena, Tafsir Al-Quran Al-Azhim Lin-
Nisa (Tafsir Qur’an Wanita), h. 111
29

tak acuh”, artinya jika kalian telah berbuat baik terhadap istri kalian dan apabila

kalian membenci sikap dan perilaku mereka, bersabarlah dan penuhilah hak-hak

mereka. Selain itu perlakukanlah ia dengan baik dan bertakwalah kepada Allah

atas tindakan zalim mereka. 43

Menurut ayat terakhir jika terjadi satu peristiwa antara suami istri yaitu

setelah istri memerhatikan keadaan suaminya dan dia merasa khawatir dan takut

suaminya akan menyia-nyiakannya atau mengalami kekurangan belanja. Maka

baiknya kedua belah pihak melakukan perdamaian dengan cara yang baik bukan

merajuk kepada suaminya supaya gilirannya sebagai istri diserahkan saja kepada

madunya. 44 Hal ini terlihat seperti hadits yang berikut ini :

‫ﺴ ُﻢ‬
ِ ْ‫ﺳَﻠ َﻢ َﻳﻘ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻰا‬
‫ﻲ ﺻَﻠ ﱠ‬
‫ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
َ ‫ﺸ َﺔ وَآَﺎ‬
َ ‫ﺖ َزﻣْ َﻌ َِﺔ َو َه َﺒﺖْ ﻳَﻮْﻣَﻬﺎَ ﻟِﻌَﺎ ِﺋ‬
ِ ْ‫ﺳﻮْ َد َة ِﺑﻨ‬
َ ‫ن‬
‫ﺸ َﺔ َا ﱠ‬
َ ‫ﻋﻦْ ﻋَﺎ ِﺋ‬
َ
45
(‫ﺳﻮْ َد َة )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ‬
َ ‫ﺸ َِﺔ ﻳَﻮْﻣَﻬَﺎ َو َﻳﻮْ َم‬
َ ‫ِﻟﻌَﺎ ِﺋ‬

Artinya: Dari Aisyah bahwa sesungguhnya Saudah binti Zam’ah hibahkan hari

gilirannya kepada Aisyah maka nabi SAW menggilir bagi Aisyah

harinya dan hari Saudah (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

Sa’id Ibnu Manshur juga meriwayatkan dari Sa’id Ibnu Musayyib bahwa

putri Muhammad bin Maslamah adalah istri Rafi’ bin Khudaij. Lalu Rafi’

43
Imad Zaki Al-Barudi, penerjemah: Tim Penerjemah Pena, Tafsir Al-Quran Al-Azhim Lin-
Nisa (Tafsir Qur’an Wanita), h. 113
44
Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 316
45
Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Jami’i Adillatul
Ahkam, hadits ke-994, h. 181
30

menjadi tidak suka terhadapnya entah karena sudah tua atau lainnya, lalu ia ingin

menceraikannya. Maka istrinya itu berkata ”Jangan kau cerai aku, aku rela

menerima apa saja yang akan kau berikan padaku.”

Al-Hakim meriwayatkan bahwa Aisyah berkata : ”firman Allah .....dan

perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)....” turun pada seorang lelaki yang punya

seorang istri yang telah melahirkan beberapa anak untuknya, kemudian ia ingin

menceraikannya dan ingin menikah dengan yang lain. Istrinya memohon

kepadanya agar dia tetap dijadikan istrinya walaupun tidak mendapat giliran.” 46

Selain hadits tentang Saudah dan seorang istri yang habis melahirkan ada

juga hadits dari Ibnu Jarir dari Sa’id bin Jubair berkata ketika turun ayat ”Jika

seorang istri takut suaminya nusyuz atau bersikap tak acuh”, kemudian datanglah

seorang wanita kepada suaminya dan ia berkata ’Saya ingin mendapat pembagian

nafkah darimu’, sebelum itu ia telah ditinggalkan tetapi tanpa diceraikan dan tidak

pula didatanginya. 47

Imam Nawawi juga menyatakan apabila telah jelas tanda-tanda nusyuz

pada suami disebabkan umur istri telah lanjut ataupun dalam keadaan sakit dan

pada waktu itu istri berpendapat dengan mengurangi hak-haknya seperti

mengurangi nafkahnya, hak kesamarataan dan seumpamanya dapat menjernihkan

46
Jalaluddin As-Suyuthi, penerjemah Tim Abdul Hayyie, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya
Ayat Al-Qur’an, cet. Ke-1, (Jakarta: Gema Insani. 2008), h. 204-205
47
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti; penerjemah Bahrun Abu Bakar,
Terjemahan Tafsir Jalalain berikut asbabun nuzul jilid 1, h. 421
31

hubungan mereka semula, maka itu dibenarkan. 48 Maka tidak ada salahnya bagi

keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya. Perdamaian yang dilakukan

dengan merelakan haknya itu adalah dalam hal bergilir dan pemberian nafkah

demi mempertahankan keutuhan keluarga karena hal itu lebih baik daripada

perceraian dan perpisahan.

Hal ini juga didukung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

pasal 31 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: (1) ”Hakim memeriksa gugatan perceraian

berusaha mendamaikan kedua belah pihak”. dan (2) ”Selama perkara belum

diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang”.

Kaedah ketiga : membuat pengaduan kepada hakim

Sekiranya semua kaedah yang telah disebutkan diatas tadi tidak dapat

mengubah sikap suami, maka istri hendaklah mengambil alternatif untuk

membuat pengaduan atau memasukkan gugatan ke pengadilan agama. Hal ini

karena jika ia dibiarkan berlarut berkemungkinan akan memburukkan lagi

keadaan yang sudah ada.

Muhammad Uqlah juga menegaskan bahwa istri tidak seharusnya berdiam

diri apabila suaminya tetap nusyuz sekalipun kesemua kaedah yang telah

disebutkan diatas telah digunakan. Ini karena jika dibiarkan keadaan akan

48
Norzulaili Mohd. Ghazali, Nusyuz, Syiqaq, dan Hakam menurut Al-Qur’an, Sunnah dan
Undang-Undang Keluarga Islam,.h. 23-24
32

bertambah buruk. Sebaiknya istri hendaklah mengadu kepada pihak-pihak yang

dapat menyelesaikan permasalahan mereka seperti ke konsultan hukum atau

mengajukan gugatan ke pengadilan agama. Seterusnya pengadilan akan

mengambil tindakan yang sewajarnya dalam menyelesaikan nusyuz suami. 49

E. Akibat Nusyuz Suami

Di dalam melanggengkan hubungan suami dan istri diperlukan adanya

kesepahaman dan kesetaraan dalam menjalankan roda rumah tangga melalui

rambu-rambu ”hak dan kewajiban suami istri”, tanpa harus ada yang menjadi

superioritas di satu sisi tetapi muncul subordinasi di pihak lain. 50 Maka ketika

suami melalaikan kewajibannya dan istrinya berulangkali mengingatkannya

namun tetap tidak ada perubahan, al-Qur’an seperti yang terdapat dalam Qs. An-

Nisa 4:128 menganjurkan perdamaian dimana istri diminta untuk lebih bersabar

menghadapi suaminya dan merelakan hak-haknya dikurangi untuk sementara

waktu. 51 Namun jika jalan perdamaian tidak berhasil maka dapat diambil jalan

cerai baik itu cerai talak yang akan dilakukan suami atau cerai gugat yang

dilakukan istri.

49
Norzulaili Mohd. Ghazali, Nusyuz, Syiqaq, dan Hakam menurut Al-Qur’an, Sunnah dan
Undang-Undang Keluarga Islam, h. 24-25
50
Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas Adat, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), h. 18
51
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ; Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai KHI, h. 211
33

Berikut ini adalah akibat dari nusyuz suami :

1. Terlantarnya istri dan anak 52

2. Retaknya hubungan suami istri atau terjadinya ketegangan antara mereka

karena istri selalu merasa tertekan. 53

3. Istri dapat mengajukan gugatan cerai

Ketika suami nusyuz dan akibatnya istri meminta cerai maka terjadilah

khulu’. Syarat sah terjadinya khulu’ adalah adanya sesuatu yang diserahkan

kepada suami dari benda-benda yang layak untuk diberikan yang berasal dari

pemberian suami sebagai pihak yang berhak menjatuhkan talak. Akan tetapi

seorang suami tidak boleh memberikan suatu tekanan kepada istri. 54

4. Hilangnya hak untuk mendapatkan tebusan atau kompensasi

Haram hukumnya menyakiti istri supaya dia minta khulu’. Suami

diharamkan menahan dan menghalangi sebagian dari hak-hak istrinya dengan

cara menyakiti hatinya supaya nantinya istri tersebut minta lepas dan menebus

dirinya dengan khulu’. Suami yang melakukan hal demikian akan dikutuk dan

52
Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 39
53
Ibid, h. 80
54
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ; Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai KHI, h. 697
34

dilaknat oleh Allah SWT, hal ini sebagaimana didalam firman-Nya Qs. An-

Nisa 4: 19 55




☺ ⌧

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang
telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara
patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka maka
bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Menurut kelompok dari kalangan ulama salaf dan para imam khalaf yang

menyatakan bahwa tidak dibolehkan khulu’ kecuali jika terjadi perselisihan

dan nusyuz dari pihak istri. Maka pada saat itu bagi suami diperbolehkan

untuk menerima fidya (tebusan). Khulu’ tidak disyari’atkan kecuali dalam

kondisi seperti ini sehingga tidak diperbolehkan melakukan khulu’. Demikian

juga menurut Ibnu Abbas, Thawus, Ibrahim, Atha’, Al-Hasan dan jumhur

ulama. Imam Malik dan Al-Auza’i mengatakan Seandainya suami mengambil

55
Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas Adat, h. 24
35

suatu tebusan dari istrinya yang hal itu membahayakan istrinya tersebut, maka

ia harus mengembalikannya dan jenis talaknya adalah talak raj’i. 56

Menurut sebagian ulama berpendapat bahwa suami dilarang mengambil

tebusan dari istrinya kecuali jika istrinya telah nusyuz sebelumnya. 57 Jadi,

dapat diambil kesimpulan bahwa tebusan itu hanya diberikan sewaktu istri

nusyuz saja. Maka ketika terjadi nusyuz pada suami dan istri mengguggat

cerai, tebusan yang seharusnya diberikan untuk suaminya sebagai ganti dari

kebebasannya itu akan hilang atau suami yang nusyuz tidak dapat tebusan dari

istri yang meminta cerai.

56
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ; Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai KHI, h. 308-309
57
Abd. Al-‘Adzim Ma’ani dan Ahmad al- Ghundur, Hukum-hukum dari al-Qur’an dan
Hadits Secara Etimologi, Sosial dan Syari’at, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 125
BAB III

Perceraian Karena Nusyuz Suami

A. Hak Gugat Istri Ketika Suami Nusyuz

Perceraian sebagai sesuatu perbuatan yang halal namun tidak dusukai

Allah SWT. Tidak disukai perceraian karena ia memilki berbagai dampak negatif

bagi kedua belah pihak maupun anak keturunannya. Dampak tersebut antara lain

secara psikologi, moral, sosial dan ekonomis. 1

Perceraian memang tidak selamanya buruk, sebab boleh jadi dengan

perceraian seseorang kemudian akan mendapat pengganti yang lebih baik,

sehingga tujuan perkawinan diharapkan dapat tercapai. Melihat kenyataan bahwa

perceraian merupakan suatu hal yang sama sekali tidak bisa dihindari dalam

kehidupan perkawinan, maka islam pun memberikan legislasi akan adanya

perceraian. 2 Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang menegaskan bila

seseorang dihadapkan pada suatu dilema, maka dia dibenarkan untuk memilih

melakukan kemudharatan yang paling ringan di antara beberapa kemudharatan

yang sedang dihadapinya. 3

1
Hasbi Indra dkk, Potret Wanita Salehah, cet. Ke-3, (Jakarta: Penamadani, 2004), h. 224
2
Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas Adat, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), h. 5
3
Ibid, h. 6

36
37

Istri berhak untuk mengajukan gugatan manakala suami menyimpang dari

tujuan perkawinan seperti meninggalkan istri dalam waktu tertentu tanpa

persetujuan istri, melakukan pelecehan dan kekerasan atau menyengsarakan istri

atau tidak lagi mampu melaksanakan nafkah lahir batin. 4

Al-Quran Qs. an-Nisa 4 : 128 menjelaskan bahwa seorang istri berhak

menuntut cerai seandainya merasa khawatir atas kekejaman suami. 5 Dengan

demikian apabila istri khawatir suami tidak menunaikan kewajiban yang telah

ditetapkan syari’ah dalam ikatan perkawinan, istri dapat melepaskan diri dari

ikatan perkawinan dengan menyerahkan kembali seluruh atau sebagian harta

kekayaan yang diterimanya dari suaminya. Akan tetapi jika istri tidak mampu

membayar masih ada cara lain untuk memutuskan ikatan perkawinan itu melalui

mubarat yaitu tidak ada pembayaran pengganti yang harus diberikan dan

perceraian itu sendiri sah, semata-mata berdasarkan persetujuan kedua belah

pihak. 6

Seperti yang telah ditetapkan syariah yaitu diberikan hak bagi suami untuk

menceraikan istrinya maka istri juga dapat menuntut cerai kalau cukup alasannya.

Apabila suami berlaku kejam, maka istri dapat meminta cerai (khulu’). Sering

terjadi kasus-kasus penyiksaan dan perlakuan semena-mena terhadap istri karena

4
Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas Adat, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), h. 30-31.
5
A. Rahmani, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2002), h.252
6
Ibid, h. 253
38

dikalangan masyarakat dimana perceraian tidak diperkenankan. Islam dengan

sikap membolehkan cerai karena inisiatif istri telah menyelamatkan banyak

keluarga muslim serta tidak mengakibatkan anak-anak sengsara. 7

Seorang istri boleh mengajukan gugat cerai kepada suaminya karena

suaminya sering melakukan perbuatan zina, pemabuk, penjudi, penipu, perampok

dan tindakan-tindakan yang negatif lainnya yang jelas-jelas keluar dari riil yang

telah digariskan agama. 8

Hal ini juga didukung dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan pasal 39 ayat (1) yang berbunyi: ”Perceraian hanya

dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Dan

pasal 39 ayat (2) yang berbunyi: ”Untuk melakukan perceraian harus ada cukup

alasan bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai

suami istri”. 9 Serta pasal 40 (1) yang berbunyi ”Gugatan perceraian diajukan

kepada pengadilan”. Dan Kompilasi Hukum Islam pasal 132 yang berbunyi

”Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama,

7
A. Rahmani, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), h. 259
8
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet. Ke-1, (Jakarta:
Darussalam, 2004), h. 261
9
Penjelasan pasal 39: Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah 1)
Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pamadat, penjudi, 2) Salah satu pihak meninggalkan yang lain
selama 2 tahun berturut-turut, 3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun, 4) Salah satu
pihak melakukan kekejaman dan penganiayaan berat, 5) Salah satu pihak mendapat cacat badan, 6)
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran.
39

yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri

meninggalkan tempat kediaman”.

B. Kompensasi Gugat Karena Nusyuz Suami

Menurut bahasa khulu’ berarti talak tebus yaitu talak yang diucapkan oleh

suami dengan membayar atau mengembalikan mahar dari pihak istri. 10 Artinya

tebusan yang dibayarkan oleh seorang istri kepada suaminya agar suaminya itu

dapat menceraikannya. 11

Hal ini telah sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Kompilasi

Hukum Islam pasal 124 yang berbunyi : ”Khulu’ harus berdasarkan atas alasan

perceraian sesuai dengan ketentuan pasal 116”.

Kompensasi atau pembayaran ganti rugi merupakan kesepakatan suami

atau istri. Istri boleh mengembalikan semua atau sebagian akan tetapi tidak boleh

lebih dari maskawin. 12

Menentukan ganti rugi yang dianggap sesuai dan suami akan

menerimanya lalu menceraikan istrinya. Menurut para ulama pertimbangan itu

sepatutnya tidak melebihi mas kawin yang diberikan oleh si suami. 13

10
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga ; Panduan Perkawinan,
cet. Ke-1, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 2
11
Hasan Ayyub; penerjemah M. Abdul Ghoffar, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2006), h. 305
12
A. Rahmani, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), h. 253
13
Abdurrahman; penerjemah Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi, Perkawinan Dalam
Syari’at Islam, cet ke-1, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), h. 110
40

Hendaknya khulu’ itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan

penganiayaan (menyakiti istri) yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Jika

suami yang merasa tidak senang hidup bersama dengan istrinya maka suami tidak

berhak mengambil sedikit pun harta dari istrinya. 14

Para sahabat Abu Hanifah mengatakan jika kemudharatan berasal dari

pihak istri maka bagi suami diperbolehkan untuk mengambil apa yang pernah

diberikannya kepada istrinya tanpa meminta tambahan. Dan jika kemudharatan

itu berasal dari pihak suami maka ia tidak boleh mengambil sesuatu apapun. 15

Syaikh Taqiyyuddin berkata, khulu’ yang diperbolehkan dalam sunnah

rasul adalah jika seorang istri membenci kelakuan suaminya kemudian ia

menebus dirinya seperti layaknya tawanan perang. Jika suami tidak menyukai

sang istri, akan tetapi ia tetap mempertahankan istrinya dengan tujuan supaya

sang istri melepaskan dirinya dan membayar denda ganti, maka hal ini dianggap

menzalimi istri. Pada kondisi seperti ini suami dilarang mengambil uang yang

diberikan oleh istri sebab khulu’nya jadi tidak sah. Hal ini sesuai dengan firman

Allah SWT dalam Qs. An-Nisa 4 : 19 16

14
Kamil Muhammad U’waidah; penerjemah M. Abdul Goffar. EM, Fiqh Wanita, cet. Ke-1,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), h. 445
15
Ibid, h. 310
16
Saleh bin Fauzan; penerjemah Abdullah Hayyie Al-Kattani, Ahmad Ikhwani dan Budiman
Mustafa, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 695
41

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.

Ketika istri menggugat cerai suami maka ia harus memberikan tebusan

sebagai ganti kebebasannya. Masalah tebusan bagi seorang istri apabila

mengajukan cerai gugat, hal ini perlu dikaji ulang. Hal ini sebagaimana hadits

yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas

‫ﷲ‬
ِ ‫لا‬
َ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ ﻓَﻘَﺎَﻟﺖْ ﻳَﺎ َر‬: ‫ﺳﱠﻠ َﻢ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻰا‬
‫ﻲ ﺻَﻠ ﱠ‬
‫ﺖ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬
ِ ‫ﺲ َا َﺗ‬
ٍ ْ‫ﻦ َﻗﻴ‬
ِ ْ‫ﺖ ﺑ‬
ِ ‫ن اﻣْﺮَا َة ﺛَﺎ ِﺑ‬
‫س َا ﱠ‬
ٍ ‫ﻋﺒﱠﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﻦ اﺑ‬
ِ‫ﻋ‬َ

‫ﷲ‬
ِ ‫لا‬
ُ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ل َر‬
َ ‫ﻼ ِم َﻓﻘَﺎ‬
َ ْ‫ﻻﺳ‬
ِ ‫ﻦ وَﻟَﻜِﻨﱢﻲ َاآْ َﺮ ُﻩ اﻟ ُﻜﻔْ َﺮ ﻓِﻲ ا‬
ٍ ْ‫ﻻ ِدﻳ‬
َ ‫ﻖ َو‬
ِ ْ‫ﺧﻠ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ﻓِﻲ‬
َ ‫ﺐ‬
ُ ْ‫ﻋﻴ‬
ِ ‫ﺲ ﻣَﺎ َا‬
ٍ ْ‫ﻦ َﻗﻴ‬
ُ ْ‫ﺖ ﺑ‬
ُ ‫ﺛَﺎ ِﺑ‬

‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻰا‬
‫ﷲ ﺻَﻠ ﱠ‬
ِ ‫لا‬
ُ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ل َر‬
َ ‫ ﻓَﻘَﺎ‬, ْ‫ َﻧ َﻌﻢ‬: ْ‫ﺣ ِﺪﻳْ َﻘ َﺘ ُﻪ ؟ ﻓَﻘَﺎَﻟﺖ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ‬
َ ‫ﻦ‬
َ ْ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َا ُﺗ َﺮ ﱢد ﻳ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻰا‬
‫ﺻَﻠ ﱠ‬
17
(‫ﻃﱢﻠ ُﻘﻬَﺎ َﺗﻄِْﻠﻴْ َﻘ ًﺔ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري وﻓﻲ رواﻳﺔ ﻟﻪ واﻣﺮﻩ ﺑﻄﻼﻗﻬﺎ‬
َ ‫ﺤ ِﺪﻳْ َﻘ َﺔ َو‬
َ ‫ﻞ اﻟ‬
ِ ‫ َاﻗْ َﺒ‬: ‫ﺳَﱠﻠ َﻢ‬
َ ‫َو‬

Artinya : Dari Ibnu Abbas bahwa sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang
kepada nabi SAW, lalu berkata : Ya Rasulullah! Tsabit bin Qais itu
saya tidak cela dia tentang akhlak dan tidak agama, tetapi saya tidak
suka ia mengerjakan pekerjaan kufur didalam islam. Maka Rasulullah
SAW bersabda : Apakah engkau akan mengembalikan kebunnya

17
Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Jami’i Adillatul
Ahkam, (Qahirah: Darul Hadits. 2003), hadits ke-1000, h. 182
42

kepadanya? Ia menjawab : Iya. Rasulullah SAW bersabda kepada


Tsabit : Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia dengan talak satu.

Berdasarkan hadits di atas bahwa istri Tsabit mengajukan cerai bukan

karena ia mendapat tekanan, kekerasan dan penganiayaan dari suaminya tetapi

semata-mata karena ”kekufuran” yaitu banyak melakukan hal-hal yang dilarang

oleh agama atau sering melakukan kemaksiatan dan perceraian itu untuk

keselamatan dan kebaikan si suami sendiri. Hal ini memberikan pemahaman

bahwa gugat cerai dapat dikenakan iwadl 18 apabila semata-mata karena inisiatif si

istri saja, tanpa mengalami kekerasan dan penganiayaan baik secara fisik maupun

psikis. Tetapi kalau sebaliknya, dimana istri sudah ditinggalkan selama beberapa

bulan bahkan beberapa tahun, tidak diberi nafkah lahir dan batin, nafkah anak,

istri mendapat penganiayaan dan berbagai bentuk kekerasan. Maka ada

kemungkinan tebusannya akan hilang. 19

Jika seorang suami bertindak kasar, memukul, menyengsarakan atau

menolak memberikan nafkah, giliran bermalam (pelaku poligami) dan lain

sebagainya yang semuanya itu dimaksudkan agar sang istri membayar tebusan

atas dirinya, lalu istri melakukannya, maka khulu’ yang dilakukannya tersebut

tidak sah dan tebusan seperti itu sama sekali tidak dapat diterima yang demikian

itu diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Atha’, Mujahid, Sya’abi, Nakha’i, Qasim bin

18
Iwadl adalah uang tebusan atau ganti rugi atas suatu harta benda yang dirusakkan atau
dihilangkan. Hal ini dapat dilihat dalam istilah kamus fiqih oleh M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah,
Syafi’ah. AM.
19
Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas Adat, h. 32-33
43

Muhammad, Urwah, Amr bin Syu’aib, Hamid bin Abdurrahman, Zuhri, Malik,

Tsauri, Qatadah, Syafi’i, Ishak dan Ahmad. Sedangkan menurut Abu Hanifah

khulu’ tetap sah dan tebusannya tetap berlaku tetapi si suami berdosa dan

bermaksiat. 20

C. Wewenang Hakim Terhadap Nusyuz Suami

Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman. Seorang

hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil,
21
profesional dan berpengalaman di bidang hukum seorang hakim juga wajib

menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat, hal ini berdasarkan asas social justice. 22 Hal ini juga

seperti yang termaktub dalam al-Qur’an Qs. As-Syad 38: 26

⌧ ⌧

Artinya: Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di


muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan

20
Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas Adat, h. 316
21
Lihat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 31-32
22
Ibid, pasal 28 ayat 1
44

adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan


menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.

Seorang hakim dapat memberikan nasehat kepada kepada istri agar bisa

mengambil hati suaminya seperti meringankan tuntutan nafkah, giliran,

pemberian mahar dan lain-lain demi melegakan hati suami. Hal ini boleh

dilakukan sebagaimana diterangkan dalam kitab al-Jawahir. Disamping itu masih

banyak riwayat lain yang menguraikan hal tersebut. Dalam kitab Shahih al-

Habibi dijelaskan, Imam Ja’far Shadiq as pernah ditanya tentang firman Allah

SWT ”Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap berpaling

suaminya” Beliau menjawab :” Ia adalah seorang wanita yang telah bersuami

namun suaminya tidak menyukainya dengan mengatakan, ’Saya ingin

menceraikanmu.’ Kemudian ia mengatakan, ’Jangan kau lakukan hal itu karena

aku tidak suka kau mencelaku. Pikirkanlah malamku. Lakukanlah apa saja yang

kau mau. Segala milikku adalah milikmu. Biarkanlah aku dengan keberadaanku.’

Inilah yang dinamakan perdamaian. 23

Sebagai seorang hakim yang bijaksana seharusnya terlebih dahulu baginya

untuk mengetahui kewajiban dan hak suami istri, mengetahui hukum dan

beberapa tuntutan syariat. Mengetahui latar belakang kehidupan kedua belah

pihak. Dan juga harus memiliki pengalaman yang cukup banyak dalam

23
Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili; penerjemah Muhdhor Ahmad Assegaf & Hasan
Saleh, Perceraian Salah Siapa?: Bimbingan Islam Dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga,
cet. Ke-1, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 157
45

menangani masalah seperti ini, sehingga dia bisa mengambil keputusan yang

tepat. Adapun yang harus dihindari adalah menggunakan ungkapan-ungkapan

yang tidak bermanfaat seperti menganjurkan pihak yang teraniaya melakukan hal-

hal yang tidak perintahkan syariat dan tidak rasional. Karena pada dasarnya

seorang hakim harus memfokuskan diri pada satu tujuan, yaitu sebuah perbaikan

yang akan dicapai melalui upayanya dalam berijtihad. Maka sudah seharusnya dia

memahami langkah-langkah penyelesaian yang seharusnya diambil. Bahkan tidak

mustahil dia mengambil langkah untuk menceraikan demi kebaikan keduanya. 24

Apabila suami dan istri sudah tidak dapat hidup bersama dengan bahagia

dan apabila perkawinan mereka tidak lagi membawa kasih sayang, maka Allah

tidak memaksakan suami atau istri untuk tetap bertahan dalam suatu perkawinan

yang kacau. Allah SWT menganjurkan hendaklah ditunjuk seorang penengah

(hakam) dari pihak suami-istri agar dapat melanjutkan perkawinan mereka, akan

tetapi apabila perundingan untuk merukunkan keduanya tidak berhasil dan

apabila mereka tidak mungkin hidup bersama kembali, maka barulah mereka

boleh bercerai. 25

Seorang istri dapat pergi ke hakim mengadukan perihal kelakuan

suaminya dan secara resmi menuntut cerai. Apabila pengaduannya benar, hakim

24
Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili; penerjemah Muhdhor Ahmad Assegaf & Hasan
Saleh, Perceraian Salah Siapa?, h. 130-131
25
Hisahiko Nakamura, Perceraian Orang Jawa, (Jakarta: Gadjah Mada University Press.
1991), h. 31-32
46

akan memanggil suaminya dan mengurus perkaranya. Namun, jika suaminya

menolak maka hakim sendirilah yang akan menetapkan perceraian mereka

sehingga berlaku dan dianggap sah. 26

Hal ini disebabkan karena telah tersedianya seperangkat hukum positif

yang mengatur perceraian. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

Tentang Peradilan Agama telah diatur bahwa perceraian dilaksanakan melalui

sebuah lembaga, yakni Pengadilan Agama. 27 Pada pasal 65 dari aturan tersebut

dinyatakan bahwa prosedur perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

pengadilan.

Terjadinya perceraian atau tidak, biasanya setelah diputuskan oleh

Pengadilan Agama. Pengadilan Agamalah yang akan memberikan kata akhir

terjadi atau tidaknya suatu perceraian. Perceraian hanya akan terjadi apabila

majelis hakim berpendapat bahwa segala ketentuan hukum yang disyari’atkan

untuk cerai telah terpenuhi, setelah upaya mejelis hakim untuk mendamaikan

kedua belah pihak yang bertikai dipandang tidak berhasil. 28

Para ahli fiqih menyarankan sebelum hakim mengambil keputusan

seharusnya melakukan beberapa tahapan berikut ini:

26
A. Rahmani, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), h.225
27
Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas Adat, h. 26
28
Hasbi Indra dkk, Potret Wanita Salehah, cet. Ke-3, Jakarta: Penamadani, 2004, h. 222
47

1. Memaksa suami untuk memberikan nafkah dengan cara memberikan

pelajaran atau mengurung dalam tahanan. Pendapat ini dipilih oleh al-

Muhaqqin dan Ibnul Borroj.

2. Hakim memberikan nafkah kepada istri dari hasil denda yang dikenakan

kepada suaminya. Hal ini dikemukakan oleh Syekh ath-Thusi, al-Muhaqqiq

dan Shahibur Riyadh.

3. Menyewakan rumah, barang, perlengkapan dan harta milik suami. Bahkan

sebagian ulama memperbolehkan untuk menjualnya. Hal ini dikemukakan

oleh Syeikh ath-Thusi dalam kitab al-Khilaf dan al-Mabsuth, demikian

dikatakan juga al-Muhaqqiq.

Bahkan berdasarkan pendapat-pendapat yang sudah banyak berlaku

mengatakan, perlu memaksa suami agar memberi nafkah yang selama ini dia

abaikan sebelum vonis cerai dijatuhkan untuk kemudian suami dituntut untuk

menceraikan atau hakim sendiri yang akan memutuskan. 29 Hal ini juga sesuai

dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 136 (2) poin a yang berbunyi: ”Selama

berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,

Pengadilan Agama dapat menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.

Yang menjadi pegangan hakim dalam memutuskan berapa nafkah yang

harus ditanggung suami adalah disesuaikan dengan kemampuan penghasilan

mereka pada saat itu. Tingkat kesulitan yang cukup serius terjadi pada anak-anak

29
Ali Husain Muhammad Makki al-Amili; penerjemah Muhdhor Ahmad Assegaf & Hasan
Saleh, Perceraian Salah Siapa?, h. 158-159
48

korban bercerai dari ayah yang bukan PNS, karena tidak ada instrumen khusus

yang dapat digunakan untuk mengontrol pemenuhan nafkah. Sistem hukum yang

ada tidak cukup berpihak pada anak. Karena sekalipun telah ada keputusan

hukum dari pengadilan, tidak ada upaya paksa yang dapat dilakukan oleh

pengadilan untuk menekan orang tua (ayah) melaksanakan kewajibannya. Sikap

aparat penegak hukum pun belum responsif terhadap kepentingan perempuan dan

anak 30

Gugat cerai hanya dapat diminta dalam keadaan yang luar biasa dan tidak

diperkenankan dengan alasan yang lemah. Perceraian mungkin akan diberikan

oleh hakim dengan alasan sebagai berikut :

1. Perlakuan menyakitkan baik lahir maupun batin yang biasa diterima istri.

Apabila si istri seorang perempuan malang yang diperlakukan semena-mena,

dianiaya oleh sikap brutal suaminya. 31

2. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban dalam ikatan perkawinan tersebut

3. Ketidakmampuan yang tidak dapat disembuhkan

4. Karena ada bahaya. Apabila ia terhalang dengan suatu bahaya yang kritis

sehingga tidak bisa hidup dibawah perlindungan suaminya. Maka ia boleh

mengajukan permohonan cerai. Ada beberapa macam karena bahaya kritis

30
Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas Adat, h. 62
31
A. Rahmani, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), h. 253
49

seperti suami terkena penyakit kelamin yang menular dan mematikan atau

suami impoten. 32

5. Karena jelek pergaulan. Hakim menyuruh suaminya untuk membaikkan

pergaulannya dalam menggauli istri, maka hakim harus mendidiknya dengan

yang sesuai disertai dengan perintah agar suami membaikkan dalam

menggauli istri dan berhenti menjelek-jelekkan istrinya. 33

6. Suami pindah tempat tinggal tanpa memberitahu istri

7. Dan sebab-sebab lain yang untuk kemaslahatan bersama yang menurut

hukum yang berlaku dan pendapat hakim dapat dibenarkan untuk bercerai. 34

Sementara ditinjau dari segi letak keadilannya maka istri sebagai

penggugat disamping diwajibkan membayar biaya perkara di pengadilan juga

ganti rugi yang disebut iwadh. Hal ini menjadi tidak logis bila penyebab istri

mengajukan gugatan cerai karena faktor suami yang melakukan kekerasan,

menelantarkan, meninggalkan selama 6 bulan atau lebih, tidak memberi nafkah

dan sebagainya. Oleh karena itu, keberadaan khulu’ (cerai gugat) telah

membebaskan istri dari segala tekanan yang semestinya tidak boleh terjadi dalam

institusi perkawinan. Tekanan terjadi akibat dari hubungan yang tidak setara

antara istri dan suami. Selain itu, ada berbagai sebab lain sebagai pencetus cerai

32
Ibrahim Muhammad Al-Jamal; penerjemah S. ZIyad Abbas, Fiqh Wanita Islam, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 2009), h. 73
33
Ibid, h. 75
34
Abdurrahman; penerjemah Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi, Perkawinan Dalam
Syari’at Islam, h. 109-110
50

gugat. Sebagaimana tercantum di dalam Kompilasi Hukum Islam, akibat cerai

gugat, istri tidak menerima hak-hak sebagaimana terjadi pada cerai talak, seperti:

nafkah iddah, mut’ah dan sebagainya. Dalam hal istri sebagai pihak penggugat

diharuskan membayar biaya perkara, akan memunculkan celah hukum yang dapat

dimanfaatkan oleh suami. Bisa jadi, institusi cerai gugat telah dipilih oleh para

suami untuk mendesakkan para istri untuk memilih mengajukan gugat cerai agar

suami terbebas dari kewajiban membayar biaya perkara serta kewajiban lain

berkaitan dengan hak mantan istri. Dengan demikian, diasumsikan telah terjadi

manipulasi atas institusi cerai gugat. 35 Semestinya para hakim yang memutuskan

perkara memiliki keberpihakan pada pihak yang lemah yakni korban.

35
Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas Adat, h. 33
BAB IV

ANALISA PERBANDINGAN NUSYUZ SUAMI

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM dan HUKUM POSITIF

A. Nusyuz Suami Dalam Perspektif Hukum Islam

1 Dari segi pengertian nusyuz suami

Nusyuz dari akar kata an-nasyz atau an-nasyaz yang berarti tempat

yang tinggi atau sikap tidak patuh dari salah seorang atau perubahan sikap

suami atau istri. 1 Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami

kepada Allah SWT karena meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya.

Sedangkan nusyuz yang mengandung makna yang luas adalah segala

perbuatan buruk yang dilakukan suami terhadap istri. 2

2 Dari segi dasar hukum nusyuz suami

Dalil atau dasar hukum adanya nusyuz suami yaitu berdasarkan firman

Allah SWT Qs. An- Nisa 4 : 128 sebagai berikut :



⌧ ☯ ☺

1
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam vol-4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 1353
2
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ; Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 193

51
52

Artinya : Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu
menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu
secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak
acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.

3 Dari segi kriteria nusyuz suami, ada 11 yaitu sebagai berikut:

1) Sikap yang menampakkan tanda-tanda ketidakpedulian atau sikap tak

acuh

2) Meninggalkan kewajibannya sebagai seorang suami 3

3) Sikap angkuh, sombong dan sewenang-wenang suami terhadap istri.

4) Perlakuan yang buruk atau mempunyai perangai yang keras terhadap

istri baik berupa perkataan atau perbuatan. 4

5) Sikap tidak adil yang ditunjukkan suami pelaku poligami kepada para

istrinya.

6) Segala sesuatu yang dilakukan suami dalam menggauli istrinya dengan

cara yang buruk 5 seperti tidak memberikan kebutuhan seksual istri 6 dan

menyenggamai istri pada waktu haid 7

3
Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili; penerjemah Muhdhor Ahmad Assegaf & Hasan
Saleh. Perceraian Salah Siapa?; Bimbingan Islam Dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga,
cet. Ke-1, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 156-159

4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan), cet. Ke-1, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1997), h. 193
53

7) Tidak mau melunasi hutang mahar. 8

8) Menarik kembali mahar tanpa keridhaan istri.9

9) Mengusir istri keluar dari rumah 10

10) Menuduh istri berzina tanpa bukti yang sah. 11

11) Menceraikan istri dengan sewenang-wenang. 12

4 Dari segi faktor penyebab nusyuz suami ada 11 yaitu sebagai berikut:

1) Kurangnya pengetahuan agama yang dimiliki oleh suami.

2) Karena istri lebih dari satu sedangkan syarat-syarat untuk berpoligami

tidak cukup. 13

3) Karena suami menganggap istrinya tersebut tidak lagi menarik 14 atau

sudah tua atau istri yang sakit-sakitan. 15

4) Cemburu buta

5) Adanya pihak ketiga atau wanita idaman lain suami

5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan),, h. 193
6
Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 57
7
Ibid, h. 67
8
Ibid,, h. 17
9
Ibid, h. 24
10
Ibid, h. 110
11
Ibid, 124
12
Ibid, 134
13
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan Perkawinan),
cet. Ke-1, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 31
14
Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 106
15
Jalaluddin As-Suyuthi, penerjemah Tim Abdul Hayyie, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya
Ayat Al-Qur’an, cet. Ke-1, (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 204-205
54

6) Rasa bosan

7) Suami adalah seorang yang pemalas yang tidak senang memikul

tanggung jawab sebagai kepala keluarga. 16

8) Tidak tertarik lagi kepada istrinya karena istrinya kurang memperhatikan

perawatan fisik. 17

9) Emosi yang tidak stabil karena tekanan di luar keluarga. 18

10) Kesal atas perlakuan istri yang dirasakan tidak menyenangkan dirinya. 19

11) Karena pengaruh kebiasaannya yang buruk dalam pergaulan di luar

rumah tangga misalnya kebiasaan main judi, minum-minuman keras dan

melakukan akhlak buruk lainnya. 20

5 Dari segi kaidah penyelesaian nusyuz suami, ada 3 yaitu :

1) Memberikan nasehat atau memberikan masukan

2) Perdamaian 21

3) Mengadukan ke hakim atau mengugat cerai suami 22

6 Akibat nusyuz suami, ada 4 yaitu :

1) Terlantarnya istri dan anak 23

16
Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 120
17
Ibid, h. 61
18
Ibid, h. 78
19
Ibid, h. 29
20
Ibid, h. 79
21
Imad Zaki Al-Barudi, penerjemah: Tim Penerjemah Pena, Tafsir Al-Quran Al-Azhim Lin-
Nisa (Tafsir Qur’an Wanita), (Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2007), h. 113
22
Norzulaili Mohd. Ghazali, Nusyuz, Syiqaq, dan Hakam menurut Al-Qur’an, Sunnah dan
Undang-Undang Keluarga Islam, (Kuala Lumpur: Kolej Universiti Islam Malaysia, 2007),
h.24-25
55

2) Retaknya hubungan suami istri atau terjadinya ketegangan antara mereka

karena istri selalu merasa tertekan. 24

3) Sang istri dapat menggugat cerai suaminya 25

4) Suami yang nusyuz dapat kehilangan kompensasi atau uang tebusan dari

gugat cerai istri 26

7 Kompensasi

Di dalam hukum positif ketika istri mengajukan gugat cerai kepada

suaminya maka sebagai gantinya dia (istri) harus memberikan tebusan kepada

suaminya. Hal ini sebagaimana yang tertulis di dalam Kompilasi Hukum

Islam pasal 124 yang berbunyi : ”Khulu’ harus berdasarkan atas alasan

perceraian sesuai dengan ketentuan pasal 116”.

Akan tetapi menurut hukum Islam tebusan tersebut tidak boleh

diberikan kepada suami yang nusyuz. Hal ini berdasarkan hadits yang

diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwasanya istri Tsabit bin Qais meminta

cerai bukan karena ia mendapatkan tekanan, kekerasan, dan dan

penganiayaan yang dilakukan oleh suaminya akan tetapi karena

23
Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 39
24
Ibid, h. 80
25
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ; Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2004), h. 697
26
Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas Adat, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama. 2007),h. 24
56

kekufurannya. Maka jika istri mendapatkan tekanan, penganiayaan baik

secara fisik maupun batin, maka tebusan tersebut tidak berlaku dan haram

bagi suami jika menerimanya. Hal ini berdasarkan firman Allah Qs. An-Nisa

4 : 19 27

B. Nusyuz Suami Dalam Perspektif Hukum Positif

1 Dari segi pengertian

Di dalam hukum positif baik dari Kompilasi Hukum Islam maupun

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak

menyinggung masalah nusyuz suami secara khusus dan terperinci dalam

bahasa tertentu, yang ada hanya membahas tentang nusyuz istri saja yaitu di

dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 84 ayat (1) yang berbunyi: ”Istri dapat

dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban


28
sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang

sah”. Namun, menurut penulis, suami dapat dianggap nusyuz apabila di dalam

dirinya mengandung unsur-unsur suami nusyuz. Hal ini sebagaimana diatur

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 19 dan

27
Kamil Muhammad U’waidah, penerjemah M. Abdul Goffar. EM, Fiqh Wanita, cet. Ke-1,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), h. 445
28
Kompilasi Hukum Islam Pasal 83 ayat (1) berbunyi: “kewajiban utama bagi seorang istri
ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam.
57

Kompilasi Hukum Islam pasal 116 yang di dalamnya menyebutkan tentang

percerian dapat terjadi karena alasan :

1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (Dua) tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain

di luar kemampuannya.

3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (Lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain.

5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri

6) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

7) Suami melanggar taklik talak 29

2 Dari segi perdamaian

29
Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam
58

Di dalam hukum positif setiap permasalahan rumah tangga yang

diambang perceraian selalu menggunakan jalan perdamaian terlebih dahulu.

Ketika istri sudah tidak dapat mentorerir sikap dan perbuatan suami yang

nusyuz maka ia dapat mengadukannya ke pihak yang berwenang, dalam hal

ini hakim selaku pemberi keadilan. Di dalam persidangan hakim tidak serta

merta memutuskan begitu saja hubungan suami istri, karena yang pertama kali

yang dilakukan hakim adalah mengadakan perdamaian. Hal ini sebagaimana

tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

pasal 31 ayat 1 dan 2 yang berbunyi : (1) ”Hakim memeriksa gugatan

perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak”. Dan (2) ”Selama

perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap

sidang”. 30

3 Dari segi hak gugat cerai istri

Bagi masyarakat Islam Indoneisa telah tersedia seperangkat hukum

positif yang mengatur perceraian. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 Tentang Peradilan Agama telah diatur bahwa perceraian dilaksanakan

melalui sebuah lembaga, yakni Pengadilan Agama. 31 Hak gugat cerai istri

30
Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

31
Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas Adat, h. 26
59

telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan pasal 39 ayat (2) yang berbunyi: ”Untuk melakukan perceraian

harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat

hidup rukun sebagai suami istri”. Ditambah dengan pasal 40 ayat (1) yang

berbunyi: ”Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan”. Selain itu,

Kompilasi Hukum Islam juga mengatur hal yang demikian dalam pasal 132

ayat (1) yang berbunyi: ”Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya

pada pengadilan agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal

penggugat kecuali istri meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa izin

suami”. Dan pada pasal 133 ayat (2) yang berbunyi: ”Gugatan dapat diterima

apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali

ke rumah kediaman bersama”.

4 Dari segi kompensasi

Kompensasi biasa dikenal dengan khulu’ atau tebusan. Tebusan ini

berasal dari istri yang ingin menggugat cerai dari suaminya akan tetapi

dengan syarat khulu’ dapat terjadi jika berdasarkan alasan perceraian diatas. 32

Hal ini sebagaimana yang tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 124

yang berbunyi : ”Khulu’ harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai

dengan ketentuan pasal 116”.

32
Hasan Ayyub; penerjemah M. Abdul Ghoffar, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2006), h. 305
60

C. Persamaan dan Perbedaan Antara Nusyuz Suami Dalam Perspektif Hukum

Islam dengan Hukum Positif

Dalam bab-bab sebelumnya penulis telah mencoba menguraikan secara

meluas tentang nusyuz suami menurut hukum Islam dan hukum positif. Setelah

penulis mengkaji ternyata terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara

keduanya, diantaranya :

Persamaan nusyuz suami dalam perspektif hukum Islam dan hukum posotif :

1 Dari segi kriteria. Di dalam hukum Islam sangat jelas disebutkan kriteria

nusyuz suami. Namun, di dalam hukum positif sikap yang menunjukkan

nusyuz suami tidak ditemukan, akan tetapi jika kita melihat kepada alasan

perceraian di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

pasal 19 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 116 ini mengandung unsur-unsur

nusyuz suami seperti yang disebutkan diatas.

2 Dari segi perdamaian. Baik di dalam hukum Islam maupun hukum positif

sama-sama menggunakan jalan perdamaian terlebih dahulu dalam

menghadapi segala macam masalah rumah tangga. Hal ini sesuai dengan

firman Allah SWT dalam Qs. An-Nisa 4 : 128 dan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 31 ayat (1) dan (2).

3 Dari segi gugat cerai istri. Ketika cara perdamaian yang dilakukan istri tidak

dapat berhasil maka istri dapat mengajukan gugat cerai kepada hakim
61

pengadilan agama. Hal ini sebagaimana firman Allah Qs. An-Nisa 4: 128 dan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 39 ayat (2), pasal 40

ayat (1) dan Kompilasi Hukum Islam pasal 132.

Perbedaan antara nusyuz suami dalam perspektif hukum islam dengan hukum

positif adalah sebagai berikut :

NO Dari Segi Menurut Hukum Islam Menurut Hukum Positif

1. Pengertian nusyuz dari akar kata an- Di dalam hukum positif

nasyz atau an-nasyaaz yang tidak mengenal istilah

berarti tempat tinggi atau nusyuz suami. Yang

sikap tidak patuh atau termuat hanya tentang

durhaka atau perubahan sikap nusyuz istri saja yaitu

suami atau isteri. didalam Kompilasi

Hukum Islam pasal 84

ayat (1).

2. Kompensasi Didalam hukum Islam Di dalam Kompilasi

kompensasi dikenal dengan Hukum Islam pasal 124

istilah khulu’ atau tebusan. yang berbunyi : ”khulu’

Tebusan berasal dari istri harus berdasarkan atas

yang ingin bercerai dari alasan perceraian sesuai

suaminya akan tetapi dengan dengan ketentuan pasal


62

syarat bahwa yang nusyuz 116”.

berasal dari pihak istri bukan

suami dan sang istri tidak

dalam keadaan tertekan dan

teraniaya lahir maupun batin.

D. Solusi Perbandingan

Tentunya dengan pranata cerai gugat mantan istri tidak dapat menikmati

nafkah pasca perceraian, karena belum ada pranata hukum yang melindungi hal

tersebut. Jangankan untuk memperoleh nafkah, biaya perkara dan uang tebusan

pun dibebankan kepada istri, padahal penyebab terjadinya perceraian adalah

karena perbuatan suami. Realitas ini menambah panjang deretan ketidakadilan

yang harus dialami oleh istri. 33

Jika dianalisis diaturnya masalah nusyuz dalam hukum Islam adalah

sebagai upaya untuk melindungi hak-hak dan kesejahteraan kaum wanita dari

ketertindasan laki-laki/suami yang pada zaman dahulu menganggap wanita tidak

berharga. Ketika masalah nusyuz suami ini tidak diatur dalam Kompilasi Hukum

Islam maupun Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan ada kesan tidak dikenalnya istilah ini di masyarakat dan hal ini

terkesan memarjinalkan kaum wanita karena yang diungkap atau yang dibahas

33
Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas Adat, h. 55
63

hanya nusyuz istri saja di dalam Kompilasi Hukum Islam. Terlepas dari semua

yang ditimbulkan nusyuz suami bagi istri, untuk menghindari tindakan-tindakan,

penyelewengan atau perbuatan tidak menyenangkan suami terhadap istri. Hal ini

perlu ditindaklanjutin dan dikaji ulang dalam rangka mewujudkan kemaslahatan

bagi semua pihak. Kelak di masa yang akan datang perlu difikirkan dalam rangka

menciptakan hukum yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat di

Indonesia. Berkaitan dengan nusyuz suami ini agar pihak yang merasa dirugikan

dan teraniaya ini dapat dilindungi dengan adanya perlakuan dan pengakuan yang

sama di muka hukum. Jika perceraian tidak dapat dihindari maka dapatlah kita

mengambil hikmah atas hal tersebut yaitu untuk menghindari diri dari kesusahan

dan untuk membebaskannya dari hubungan pernikahan yang tidak terdapat

kebahagiaan di dalamnya.

E. Analisis Penulis

Dalam sub bab ini penulis menganalisis masalah perbedaan nusyuz suami

yang ada pada hukum Islam dan hukum positif. Pada dasarnya di dalam hukum

positif tidak ada satu hal pun yang menyinggung tentang masalah nusyuz ini.

Yang ada hanya memuat tentang nusyuz istri saja, hal ini sebagaimana yang

termuat di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 84 ayat 1 yang berbunyi: ”Istri

dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban

sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah”.

Namun, berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975


64

Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

pasal 19 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 116 yang di dalamnya menyebutkan

tentang percerian dapat terjadi karena alasan :

1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (Dua) tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain

di luar kemampuannya.

3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (Lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain.

5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri

6) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

7) Suami melanggar taklik talak

Hal yang disebut diatas menurut analisa penulis dapat dianggap dan

dikategorikan sebagai unsur-unsur nusyuz suami. Akan tetapi hal ini saja tidak

cukup karena tidak jelas bentuk pengaturan yang dapat diakui dimuka hukum
65

untuk menjamin hak-hak daripada kaum wanita yang tertindas dan diperlakukan

semena-mena oleh suaminya.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dikemukakan diatas, penulis dapat menarik

beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Secara bahasa nusyuz berasal dari akar kata an-nasyz atau an-nasyaaz yang

berarti tempat tinggi atau sikap tidak patuh atau durhaka atau perubahan

sikap dari salah seorang diantara suami dan isteri. Sedangkan menurut istilah

berarti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan

kewajibannya terhadap istrinya dan menyakiti istri baik lahir maupun batin.

2. Kriteria nusyuz suami diantaranya sikapnya menampakkan tanda-tanda

ketidakpedulian, meninggalkan kewajiban, sewenang-wenangan terhadap

istri, bersikap kasar terhadap istri, sikap tidak adil suami kepada para

istrinya, mengusir istri dari rumah, menuduh istri berzina dan lain

sebagainya.

3. Faktor penyebab terjadinya nusyuz pada suami yaitu kurangnya pendidikan

agama, tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya, berpoligami,

selingkuh, cemburu buta, bosan terhadap istri karena sudah tidak menarik

lagi, kesal terhadap istri, mempunyai kebiasaan yang buruk karena pengaruh

pergaulan di luar rumah tangga dan lain sebagainya.

55
67

4. Adapun akibat dari nusyuz suami adalah terlantarnya anak dan istri serta

dapat dapat menimbulkan keretakan dalam rumah tangga yang berakibat istri

dapat mengajukan gugat cerai kepada hakim selaku pemberi keadilan setelah

proses damai tidak berhasil. Dan hak suami atas tebusan gugat cerai dari

istrinya tidak berlaku atau tidak sah. Ketika tidak dijumpai di dalam hukum

positif mengenai nusyuz suami, maka seorang hakim harus berijtihad untuk

mengambil sebuah kemaslahatan.

B. Saran

Penulis dapat memberikan saran kepada pihak-pihak yang terkait dalam

hal ini, yaitu sebagai berikut :

1. Perlunya merevisi ulang Undang-Undang Perkawinan yang menjadi dasar

hukum perkawinan di Indonesia. Dan menambahkan sedikit pengaturan

mengenai masalah nusyuz suami. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan dan

kondisi rakyat saat ini.

2. Ada baiknya apabila perkara nusyuz suami ini dimasukkan ke dalam

kurikulum fiqih yang ada di Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah agar

dapat dikaji lebih dalam dan rinci lagi.

3. Diperlukan adanya sosialisasi sejak dini mengenai masalah nusyuz suami ini

bagi suluruh masyarakat islam di Indonesia melalui khutbah jum’ah, ceramah-

ceramah majelis ta’lim dan lain sebagainya.

67
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman; penerjemah Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi. Perkawinan Dalam
Syari’at Islam, cet ke-1. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1992.

Ad-Dasyiqiy, Abi Zakariyah Yahya bin Syarif An-Nawawi. Riyadhus Sholihin.


Bairut: Darul Fikr. 1994

Al-Barudi, Imad Zaki; penerjemah Tim Penerjemah Pena. Tafsir Al-Quran Al-Azhim
Lin-Nisa (Tafsir Qur’an Wanita). Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2007.

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan).
Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada. 2002.

Ali, Zainuddin. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, cet. Ke-1.
Jakarta: Sinar Grafika. 2006.

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. Ke-1. Jakarta: Sinar Grafika.
2006

Al-Amili, Ali Husain Muhammad Makki; penerjemah Muhdhor Ahmad Assegaf &
Hasan Saleh. Perceraian Salah Siapa?: Bimbingan Islam Dalam Mengatasi
Problematika Rumah Tangga, cet. Ke-1. Jakarta: Lentera. 2001.

Al-Asqalani, Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar. Bulughul Maram min Jami’i
Adillatul Ahkam. Qahirah: Darul Hadits. 2003.

Al-Jamal, Ibrahim Muhammad; penerjemah S. ZIyad Abbas. Fiqh Wanita Islam.


Jakarta: Pustaka Panjimas. 2009.

Al-Jumaili, Sayyid; penerjemah Zaid Husein Alhamid. Ahkamul Mar’ah Fil Qur’an
(Hukum-Hukum Wanita Dalam Al-Qur’an), cet. Ke-1. Indonesia: Dar El Fikr.
1987.

Al-Mahalli, Jalaluddin dan As-Suyuti, Jalaluddin; penerjemah Bahrun Abu Bakar.


Terjemahan Tafsir Jalalain berikut asbabun nuzul jilid 1, cet. Ke-7. Bandung:
Sinar Baru Algensindo. 2007.

Al-Munajjid, Syaikh Muhammad Shalih; penerjemah Laila Iksa. 40 Kiat Islami


Membina Rumah Ideal, cet. Ke-1. Jakarta: Cv. Pustaka Mantiq. 1994.

68
69

Al-Qur’an dan Terjemah. Surabaya: Fajar Mulya. 2002.

Ayyub, Hasan; penerjemah M. Abdul Ghoffar. Fiqih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar. 2006.

As-Suyuthi, Jalaluddin; penerjemah Tim Abdul Hayyie. Asbabun Nuzul: Sebab


Turunnya Ayat Al-Qur’an, cet. Ke-1. Jakarta: Gema Insani. 2008.

Baltaji, Muhammad; penerjemah Afifuddin Said. Kedudukan Wanita dalam Al-


Qur’an dan As-Sunnah, cet. Ke-1. Solo: Media Insani Publishing. 2007.

Bassam, Abdullah bin Abdurrahman bin Shahih bin Ali. Taisirul-allam Syarh
Umdatul-Ahkam. Jeddah: Maktabah As-Sawadi Lit-Tauzi’. 1992.

Binjai, Abdul Halim Hasan. Tafsir Al-Ahkam. Medan: Kencana Prenada Media
Group. 1962.

Djaelani, Abdul Qadir. Keluarga Sakinah, cet. Ke-1. Surabaya: P.T. Bina Ilmu
Offset. 1995.

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, cet. Ke-1. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve. 1996.

Fauzan, Saleh bin; penerjemah Abdullah Hayyie Al-Kattani, Ahmad Ikhwani dan
Budiman Mustafa. Fiqih Sehari-hari. Jakarta: Gema Insani Press. 2005

Farida, Anik., Ahmad, Haidlor Ali., Anwar, Sumarsih., MTT, Abdul Malik., Sila,
Muh.Adlin. Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di
Berbagai Komunitas Adat. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama. 2007.

G, As-Sadlani,S.; penerjemah M. Abdul Ghofar. Dlowabithuhu, halathuhu asbahuhu,


thuruqul wiqoyah minhu, wasail, lia ajihi fi dlouil qur’an was sunnah
(nusyuz, konflik suami istri dan penyelesaiannya). Jakarta: Pustaka Kautsar.
1993.

Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat, cet. Ke-2. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. 2006.

Ghazali, Norzulaili Mohd. Nusyuz, Syiqaq, dan Hakam menurut Al-Qur’an, Sunnah
dan Undang-Undang Keluarga Islam, cet. Ke-1. Kuala Lumpur: Kolej
Universiti Islam Malaysia. 2007.
70

H. Mufidah, C. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN-


Malang Press. 2008

Hasan, M.Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam. Jakarta: Siraja. 2003

Hosseini, Ziba Mir. Perkawinan Dalam Kontroversi 2 Mazhab; Kajian Hukum


Keluarga Dalam Islam, cet ke-1. Jakarta: ICIP. 2005.

Indra, Hasbi & Ahza, Iskandar & Husnani. Potret Wanita Salehah, cet. Ke-3. Jakarta:
Penamadani. 2004.

Kamaruddin, Zaleha dan Abdullah, Raihana. Kamus Istilah Undang-Undang


Keluarga Islam. Malaysia: Zebra Editions SDN.BHD. 2002

Rusdiana, Kama dan Arifin, Jaenal. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta. 2007

Kuzari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan, cet ke-1. Jakarta: P.T. Raja Grafindo
Persada. 1995.

Ma’ani, Abd. Al-‘Adzim dan Al-Ghundur, Ahmad. Hukum-hukum dari al-Qur’an


dan Hadits Secara Etimologi, Sosial dan Syari’at. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata.Islam di Indonesia, cet. Ke-2.


Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006.

M, Ridwan. Kekerasan Berbasis Gende, cet ke-1. Yogyakarta: PSG dan Fajar
Pustaka. 2006.

Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Isalam tentang Perkawinan, cet ke-1. Jakarta:
Bulan Bintang. 1974.

Muhaimin, Abd. Wahab Abd. Kompilasi Jurnal Ahkam Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: 1998.

Mujieb, M. Abdul & Tholhah, Mabruri & M.,Syafi’ah A. Kamus Istilah Fiqih, cet.
Ke-1. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1994.

Nakamura, Hisahiko. Perceraian Orang Jawa. Jakarta: Gadjah Mada University


Press. 1991.
71

Nasif, Fatima Umar; penerjemah Burhan Wirasubrata & Kundan D.Nuryakien.


Menggugat Sejarah Perempuan; Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai
Tuntutan Islam. Jakarta: Cendikia Sentra Muslim. 2001.

Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih Undnag-Undang Nomor
1 Tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam), cet. Ke-1. Jakarta: Kencana
Prenada Media. 2004.

Rahmani, A. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah). Jakarta: P.T. Raja


Grafindo Persada. 2002.

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam, cet. Ke-27. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 1994.

Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: P.T.Karya Toha Putra. 1978.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, cet. Ke-6. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2003.

Rossatria, Eri. Relasi Suami Istri Dalam Islam. Jakarta: Pusat Studi Wanita dan UIN
Syarif Hidayatullah. 2004.

Selamat, Kasmuri. Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan


Perkawinan), cet. Ke-1. Jakarta: Kalam Mulia. 1998.

Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta:


Graha Paramuda. 2008.

Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: El-Kahfi.


2008

Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: P.T.Raja
Grafindo Persada. 2005.

Sutarmadi, A dan Mesraini. Administrasi Pernikahan dan Manajeman Keluarga.


Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. 2006.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat


dan Undang-Undang Perkawinan). Jakarta: Prenada Media Kencana. 2006.
72

Taimiyah, Ibnu; penerjemah Abu Fahmi Huaidi dan Syamsuri An-Naba. Majmu’
Fatawa Tentang Nikah. Jakarta: Pustaka Azzam. 2002.

Thalib, Muhammmad. 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, cet. Ke-1.


Bandung: Irsyad Baitus Salam. 1997.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan


Kehakiman

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan


Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Citra Umbara. 2007

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Usman, Rahmadi. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia.


Jakarta: Sinar Grafika. 2006.

U’waidah, Kamil Muhammad ; penerjemah M. Abdul Goffar. EM. Fiqh Wanita, cet.
Ke-1. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 1998.

Zein, Satria Efendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer; Analisis


Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah. Jakarta: Kencana. 2004.

Anda mungkin juga menyukai