Anda di halaman 1dari 42

Presentasi Kasus Kepada Yth

Inggrit Anggraini Bapak/Ibu dr…………………


Sabtu, 30 November 2013
ANEMIA DEFISIENSI BESI

Pendahuluan
Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan anemia yang paling sering
ditemukan di seluruh dunia.1,2,3 Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita
anemia dan lebih dari setengahnya menderita ADB. 1 Prevalensi ADB yang tinggi
1,4,5
terjadi di negara yang sedang berkembang, disebabkan kemampuan ekonomi
yang terbatas, masukan protein hewani yang rendah dan infestasi parasit. 6 Data
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalensi
ADB pada bayi 0-6 bulan adalah 61,3%, bayi 6-12 bulan 64,8%, dan anak balita
48,1%.7,8 Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalensi ADB pada anak balita
di Indonesia sekitar 40-45%.8
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan
zat besi yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin sehingga konsentrasi
hemoglobin menurun dibawah 95% dari nilai hemoglobin rata-rata pada umur dan
jenis kelamin yang sama.6,9 Kebutuhan besi yang direkomendasikan oleh
Committee on Nutrition of the American Academy of Pediatric adalah 1
mg/kgbb/hari untuk bayi cukup bulan, 2 mg/kgbb/hari sampai maksimal 15
mg/kgbb/hari untuk bayi berat lahir rendah, bayi dengan kadar hemoglobin yang
rendah dan dengan riwayat kehilangan darah yang signifikan, 10 mg/hari untuk
umur 4-10 tahun dan meningkat 18 mg/hari pada umur 11 tahun keatas.2,10
Anemia defisiensi besi dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi
antara lain berupa gangguan fungsi kognitif, penurunan daya tahan tubuh, tumbuh
kembang yang terlambat, penurunan aktivitas, dan perubahan tingkah laku. 11,12
Penelitian Lozoff, dkk di Kosta Rika mendapatkan bayi yang menderita ADB
mempunyai nilai tes mental dan motorik berdasarkan skala Bayley yang rendah
dibandingkan bayi normal. Penelitian lanjutan terhadap bayi-bayi tersebut pada
usia 11 sampai 14 tahun, didapatkan nilai yang masih rendah terhadap fungsi
motorik dan mental. Hal ini membuktikan bahwa dampak ADB dapat berlangsung

1
lama dan mungkin bersifat permanen, dan tidak dapat dikoreksi meskipun telah
diberikan terapi besi.12 Penelitian Eric K, dkk mendapatkan defisiensi besi pada
84% anak usia 4-14 tahun dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder
(ADHD).13 Penelitian lain di Taiwan menyimpulkan bahwa defisiensi besi
meningkatkan risiko terjadinya gangguan psikiatri yang meliputi gangguan mood,
autisme, ADHD, dan gangguan perkembangan.14
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan
gejala klinis yang sering tidak khas.6 Pemeriksaan fisik biasanya hanya ditemukan
pucat tanpa tanda-tanda perdarahan maupun organomegali. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin yang rendah, jumlah leukosit,
hitung jenis dan trombosit normal, kecuali apabila disertai infeksi.6,15 Diagnosis
pasti ditegakkan melalui pemeriksaan kadar besi atau feritin serum yang rendah
dan pewarnaan besi jaringan sumsum tulang.1,15
Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya, serta memberi terapi pengganti dengan preparat besi. Sekitar 80-
85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan
dengan tepat. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia yang sangat
berat (Hb ≤ 4 g/dL) atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respon
terapi. Pemberian preparat besi dapat secara peroral atau parenteral.6
Pencegahan terhadap defisiensi besi dapat dilakukan dengan pemberian
diet besi yang adekuat, skrining rutin, diagnosis yang cepat, dan pengobatan
defisiensi besi yang tepat. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2011
merekomendasikan pemberian suplementasi besi kepada semua anak dengan
prioritas usia balita (0-5 tahun) terutama usia 0-2 tahun.16
Tujuan penulisan kasus ini adalah untuk mengingat kembali tentang
etiologi, patogenesis, diagnosis, tatalaksana dan pencegahan anemia defisiensi
besi untuk meningkatkan penanganan pada anak dengan anemia defisiensi besi.

2
KASUS
Seorang anak laki-laki, umur 5 tahun 2 bulan, kiriman RSUD Batusangkar dengan
keterangan anemia kronis DD/ leukemia, talasemia, dirawat di bangsal anak
RSUP Dr. M. Djamil Padang selama 10 hari (15-25 Mei 2013).

ANAMNESIS (Alloanamnesis diperoleh dari ayah dan ibu kandung pasien)

Keluhan utama:
Tampak pucat sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit

Riwayat penyakit sekarang


Tampak pucat sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, semakin lama semakin
bertambah pucat. Demam sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, tidak
tinggi, hilang timbul, tidak menggigil dan tidak berkeringat. Anak terlihat lemas
dan mudah lelah sejak sakit. Batuk tidak ada, pilek tidak ada. Sesak nafas tidak
ada. Mual muntah tidak ada. Perdarahan pada kulit, hidung, gusi, saluran cerna
dan tempat lain tidak ada. Anak mendapat air susu ibu sejak lahir sampai usia 2
tahun, frekuensi menyusu ± 6-8 kali perhari selama ± 15-20 menit perkali,
mendapat bubur susu sejak usia 5 bulan sampai usia 8 bulan, diberikan 2-3 kali
perhari sebanyak 2-3 sendok makan perkali, mendapat nasi tim sejak usia 8 bulan
sampai usia 12 bulan, diberikan 3 kali perhari sebanyak 4-6 sendok makan
perkali, dan mendapat nasi biasa sejak usia 12 bulan sampai sekarang, 2-3 kali
perhari dengan porsi ½ porsi dewasa, ikan 3-4 kali seminggu dengan porsi 1
potongan sedang perkali, telur 2-3 kali seminggu dengan porsi 1 butir telur
perkali, tahu atau tempe 2-3 kali seminggu dengan porsi 1 potongan sedang
perkali, sayuran setiap hari, buah-buahan berupa pisang 1-2 kali seminggu, dan
tidak suka makan hati ayam ataupun hati sapi. Saat ini anak sudah bisa
mengucapkan kata-kata dengan jelas. Anak suka bermain di tanah tanpa memakai
alas kaki. Riwayat konsumsi obat-obatan dan jamu-jamuan tidak ada. Riwayat
mendapat penyinaran tidak ada. Riwayat mendapat transfusi darah sebelumnya
tidak ada. Buang air kecil jumlah dan warna biasa. Riwayat nyeri buang air kecil
tidak ada. Buang air besar warna dan konsistensi biasa. Riwayat buang air besar

3
berwarna hitam tidak ada. Riwayat keluar cacing saat buang air besar disangkal.
Anak telah dibawa berobat ke RSUD Batusangkar dan dirujuk ke RS M Djamil
Padang dengan keterangan anemia kronis DD/ leukemia, talasemia.

Riwayat penyakit dahulu


Tidak pernah menderita pucat sebelumnya

Riwayat penyakit dalam keluarga


Tidak ada keluarga yang menderita pucat dan kelainan darah lainnya

Riwayat kehamilan dan persalinan


Pasien merupakan anak kedua dari dua orang bersaudara, lahir spontan, ditolong
bidan, berat badan lahir dan panjang badan lahir lupa, langsung menangis kuat.
Kesan: Riwayat kelahiran dalam batas normal.

Riwayat imunisasi
Tidak pernah mendapat imunisasi dasar

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan


Gigi pertama tumbuh pada usia 6 bulan, tengkurap usia 5 bulan, duduk usia 7
bulan, berdiri usia 9 bulan, berjalan usia 12 bulan, bicara usia 13 bulan, saat ini
anak belum sekolah.
Kesan: Pertumbuhan terganggu dan perkembangan dalam batas normal.

Riwayat nutrisi
Pasien mendapat air susu ibu (ASI) sejak lahir sampai usia 2 tahun, bubur susu
usia 5-8 bulan, nasi tim usia 8-12 bulan, nasi biasa sejak usia 12 bulan, 2-3 kali/
hari dengan porsi ½ porsi dewasa, ikan 3-4 kali seminggu, telur 2-3 kali
seminggu, tahu atau tempe 2-3 kali seminggu
Kesan: Asupan makanan kurang secara kualitas dan kuantitas

4
Riwayat sosial ekonomi dan kondisi lingkungan
Ayah berusia 62 tahun, pendidikan SD, bekerja sebagai petani dengan penghasilan
Rp.900.000/ bulan, tinggi badan ayah 158 cm. Ibu berusia 40 tahun, tidak sekolah,
sebagai ibu rumah tangga, tinggi badan ibu 154 cm. Saat ini pasien tinggal di
rumah semi permanen dengan dinding papan/ kayu dan lantai tanah bersama
kedua orang tua, rumah berada di kawasan pertanian, sumber air minum dari mata
air, jamban keluarga di sungai, sampah dibakar, halaman cukup luas.
Kesan: Pasien berasal dari keluarga kelas sosial ekonomi rendah dengan higien
dan sanitasi lingkungan kurang.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum tampak sakit sedang, sadar, tekanan darah 90/60 mmHg,
frekuensi laju nadi 96 kali per menit, frekuensi nafas 36 kali per menit, suhu tubuh
37,20C. Tampak anemis, tidak ada edem, ikterik dan sianosis. Berat badan (BB) 11
kg (< P3 kurva CDC-NCHS 2000), tinggi badan (TB) 93 cm (< P3 kurva CDC-
NCHS 2000). Berat badan menurut umur (BB/U) 57,89%, tinggi badan menurut
umur (TB/U) 84,54%, berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 78,57%, status
gizi kurang
Kulit teraba hangat, tampak pucat, tidak ditemukan ptekie, purpura dan
hematom. Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening. Kepala tampak bulat
simetris. Rambut hitam, tidak mudah rontok. Wajah: facies cooley tidak ada.
Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor diameter 2 mm, reflek
cahaya +/+ normal. Telinga tidak ditemukan kelainan. Hidung tidak ditemukan
kelainan. Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis. Mukosa mulut dan
bibir basah.
Pemeriksaan dada tampak normochest, simetris, retraksi tidak ada,
fremitus kiri sama dengan kanan, perkusi sonor, suara nafas vesikuler di kedua
lapangan paru, ronki dan wheezing tidak ada. Iktus tidak terlihat, iktus teraba 1
jari medial linea midklavkularis kiri ruang intercostal V, batas jantung dalam batas
normal, irama jantung teratur, terdengar bising sistolik grade 3/6 di semua ostium.
Abdomen tidak distensi, teraba supel, hepar dan lien tidak teraba, perkusi timpani,
bising usus normal. Punggung tidak ditemukan kelainan. Alat kelamin tidak

5
ditemukan kelainan, Status pubertas A1P1G1. Akral hangat, pengisian kapiler
baik, sianosis tidak ada. Reflek fisiologis normal, reflek patologis tidak ada.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar hemoglobin 3,4 gr/dl, leukosit
12.100/mm3, hitung jenis 0/4/1/59/35/1, trombosit 488.000/mm3, Eritrosit 2,2
juta/mm3, retikulosit 20 ‰, hematokrit 12 vol %, Mean Corpuscular Hemoglobin
(MCH) 15 pg (27-32 pg), Mean Corpuscular Volume (MCV) 54,5 fl (76-96 fl),
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) 28 % (32-37%). Kesan
anemia mikrosittik hipokrom. Gambaran darah tepi didapatkan eritrosit yang
hipokrom, anisositosis dan polikromasi, leukositosis dengan eosinofilia,
ditemukan limfosit atipik, trombosit dengan kesan jumlah meningkat. Urinalisis:
protein negatif, reduksi negatif, leukosit positif (7-8/LPB), eritrosit 0-1/LPB,
bilirubin negatif, urobilinogen positif. Analisis feses: warna kuning, konsistensi
lunak, leukosit 5-6/ LPB, eritrosit 1-2/ LPB, darah samar negatif, ditemukan telur
cacing ankilostoma.

DAFTAR MASALAH
1. Anemia mikrositik hipokrom ec susp defisiensi besi
2. Suspek infeksi saluran kemih
3. Ankilostomiasis
4. Gizi kurang
5. Tidak mendapat imunisasi
6. Asupan nutrisi kurang secara kualitas dan kuantitas

DIAGNOSIS KERJA
1. Anemia mikrositik hipokrom ec susp defisiensi besi
2. Suspek infeksi saluran kemih
3. Ankilostomiasis
4. Gizi kurang

TATALAKSANA
1. Anemia mikrositik hipokrom ec susp defisiensi besi

6
a. Diagnostik :
Anamnesis, pemeriksaan fisik, darah lengkap, Serum Iron (SI), Total Iron
Binding Capacity (TIBC), saturasi transferin, feritin
b. Terapeutik :
Transfusi Packed Red Cell (PRC) bertahap
c. Edukasi :
Diet tinggi besi
2. Suspek infeksi saluran kemih
a. Diagnostik :
Urinalisis, kultur urin
b. Terapeutik :
Belum diberikan
c. Edukasi :
Mengenai diagnosis, tatalaksana dan prognosis
3. Ankilostomiasis
a. Diagnostik :
Analisis feses
b. Terapeutik :
Albendazol 400 mg po dosis tunggal.
c. Edukasi :
Menjaga kebersihan diri, tidak bermain di tanah tanpa alas kaki
4. Gizi kurang
a. Diagnostik :
Analisis diet, antropometri berdasarkan grafik CDC-NCHS 2000
b. Terapeutik :
MB TKTP 1100 kkal
c. Edukasi :
Cara pemberian makan, pemilihan jenis makanan

Pemantauan
Hari kedua rawatan

7
Anak masih tampak pucat. Tidak ditemukan demam, sesak nafas, muntah dan
perdarahan. Nafsu makan baik, anak menghabiskan porsi makan yang diberikan.
Buang air kecil jumlah dan warna biasa, nyeri buang air kecil tidak ada. Buang air
besar belum ada. Anak telah mendapat transfusi PRC 35 cc. Keadaan umum
sedang, sadar, laju nadi 106 kali permenit, laju nafas 30 kali permenit, suhu 37 ºC.
Kulit masih tampak pucat. Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik. Pemeriksaan
jantung masih ditemukan bising sistolik grade 3/6 terdengar di semua ostium, paru
tidak ditemukan kelainan. Abdomen tidak distensi, hepar dan lien tidak teraba,
bising usus normal. Akral hangat, perfusi baik. Kesan : masih anemis. Rencana :
transfusi PRC 50 cc.
Hasil pemeriksaan SI 28,7 ug/dl (N: 80-180 ug/dl), TIBC 329 ug/dl
(N:112-320 ug/dl), SI/ TIBC (saturasi transferin) 8,7 % (N: 20-50%), feritin 3,24
ug/ml (N: 13-400 ug/dl). Kesan sesuai dengan anemia defisiensi besi. Sikap :
berikan ferosulfat sirup 3x15 mg. Urinalisis ulangan: protein negatif, reduksi
negatif, leukosit (3-4/LPB), eritrosit 0-1/LPB, bilirubin negatif, urobilinogen
positif. Kultur urin sudah dikirim, hasil keluar tanggal 21 Mei 2013

Hari ketiga rawatan


Anak masih tampak pucat. Tidak ditemukan demam, sesak nafas, muntah dan
perdarahan. Nafsu makan baik, anak menghabiskan porsi makan yang diberikan.
Buang air kecil jumlah dan warna biasa, nyeri buang air kecil tidak ada. Buang air
besar warna dan konsistensi biasa. Anak telah mendapat transfusi PRC 50 cc.
Keadaan umum sedang, sadar, laju nadi 112 kali permenit, laju nafas 26 kali
permenit, suhu 36,7 ºC. Kulit masih tampak pucat. Konjungtiva anemis, sklera
tidak ikterik. Pemeriksaan jantung masih ditemukan bising sistolik grade 3/6
terdengar di semua ostium, paru tidak ditemukan kelainan. Abdomen tidak
distensi, hepar dan lien tidak teraba, bising usus normal. Akral hangat, perfusi
baik. Kesan : masih anemis. Rencana : transfusi PRC 75 cc

Hari keempat rawatan

8
Anak masih tampak pucat,berkurang dari sebelumnya. Tidak ditemukan demam,
sesak nafas, muntah dan perdarahan. Nafsu makan baik, anak menghabiskan porsi
makan yang diberikan. Buang air kecil jumlah dan warna biasa, nyeri buang air
kecil tidak ada. Buang air besar warna dan konsistensi biasa, tidak ada keluar
cacing dari buang air besar. Anak telah mendapat transfusi PRC 75 cc dan 100 cc.
Keadaan umum sedang, sadar, laju nadi 108 kali permenit, laju nafas 24 kali
permenit, suhu 36,7 ºC. Kulit masih tampak pucat. Konjungtiva anemis, sklera
tidak ikterik. Pemeriksaan jantung dan paru tidak ditemukan kelainan. Abdomen
tidak distensi, hepar dan lien tidak teraba, bising usus + normal. Akral hangat,
perfusi baik. Kesan : masih anemis. Rencana : transfusi PRC 100 cc.

Hari kelima sampai kedelapan rawatan


Anak tidak tampak pucat, tidak ditemukan demam, sesak nafas, muntah dan
perdarahan. Nafsu makan baik, anak menghabiskan porsi makan yang diberikan.
Buang air kecil jumlah dan warna biasa, nyeri buang air kecil tidak ada. Buang air
besar warna dan konsistensi biasa. Anak telah mendapat transfusi PRC 100 cc.
Keadaan umum sedang, sadar, laju nadi 98 kali permenit, laju nafas 26 kali
permenit, suhu 37 ºC. Kulit teraba hangat, tidak tampak pucat. Konjungtiva tidak
anemis, sklera tidak ikterik. Pemeriksaan jantung dan paru tidak ditemukan
kelainan. Abdomen tidak distensi, hepar dan lien tidak teraba, bising usus normal.
Akral hangat, perfusi baik. Kesan : hemodinamik stabil.
Hari keenam rawatan dilakukan pemeriksaan darah post transfusi dengan
hasil Hb 10,9 gr/dl, leukosit 17.400/mm3, hitung jenis 0/4/3/71/20/2, trombosit
211.000/mm3, retikulosit 3,8%. Kesan : peningkatan Hb dan retikulosit dari
sebelumnya.
Hari kedelapan rawatan dilakukan pemeriksaan analisis feses ulangan
didapatkan hasil : warna kuning, konsistensi lunak, leukosit 1-2/ LPB, eritrosit 1-
2/ LPB, tidak ditemukan telur cacing. Hasil kultur urin steril.

Hari kesembilan rawatan

9
Pasien dibolehkan pulang dengan diberikan terapi besi elemental 3x15 mg selama
2 bulan dan dianjurkan untuk kontrol ke poliklinik hematologi anak setelah 2
bulan untuk pemantauan selanjutnya. Anak juga diberi edukasi tentang pentingnya
imunisasi dan bahwa anak masih bisa diberikan imunisasi.

TINJAUAN PUSTAKA

10
Definisi
Anemia didefinisikan sebagai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) atau sel darah
merah dibandingkan dengan nilai normal menurut kelompok usia dan jenis
kelamin (Tabel 1).3 Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
kurang tersedianya zat besi untuk mempertahankan eritropoisis di sumsum
tulang.1 Terdapat 3 tahap kekurangan besi dari ringan sampai berat, yaitu deplesi
besi, defisiensi besi dan ADB. Anemia defisiensi besi merupakan tahap lanjut dari
kekurangan besi dimana telah terjadi penurunan kadar Hb.1,3,15

Tabel 1. Nilai normal Hb per kelompok umur dan jenis kelamin 3


Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kadar Hb Normal (g/dl)
Anak 6 – 59 bulan ≥ 11
Anak 5 – 11 tahun ≥ 11,5
Anak 12 – 14 tahun ≥ 12
Wanita > 15 tahun ≥ 12
Wanita hamil ≥ 11
Laki-laki > 15 tahun ≥ 13

Epidemiologi
Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia di seluruh dunia.1,2,3
Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih kurang 500-600
juta menderita anemia defisiensi besi.1 Prevalensi yang tinggi terjadi di negara
yang sedang berkembang,1,4,5 disebabkan kemampuan ekonomi yang terbatas,
masukan protein hewani yang rendah dan infestasi parasit. 6 Insiden anemia
defisiensi besi tinggi pada bayi,2 diperkirakan antara 20% - 25%.3 Di Amerika
Serikat anemia defisiensi besi terdapat pada 25% bayi dan 6% anak. 17 Data SKRT
tahun 2001, prevalensi ADB pada bayi 0-6 bulan sebesar 61,3%, bayi 6-12 bulan
64,8%, dan anak balita sebesar 48,1%.7,8 Data SKRT tahun 2007 menunjukkan
prevalensi ADB pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%.8 Susilowati,dkk
pada tahun 2004 dalam penelitiannya terhadap 317 bayi berusia 2-4 bulan di
Bogor dan Kabupaten Buleleng Bali mendapatkan prevalensi ADB 56,5%. 18

11
Penelitian lain yang dilakukan oleh Hellen Keller International terhadap 990 bayi
Indonesia berusia 3-5 bulan menunjukkan prevalensi ADB 71%.19

Etiologi
Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorbsi besi, diit yang
mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang.6
Kekurangan besi dapat disebabkan oleh: 2,6,15
1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis
a. Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa
remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden
ADB meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali
dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding saat
lahir.
b. Kebutuhan juga akan meningkat pada bayi berat lahir rendah, bayi prematur,
bayi kembar dan bayi dengan penyakit jantung bawaan.
2. Kurangnya besi yang diserap
a. Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat
Bayi cukup bulan akan menyerap lebih kurang 200 mg besi selama 1 tahun
pertama (0,5 mg/hari) yang terutama digunakan untuk pertumbuhannya.
Untuk mempertahankan keseimbangan besi yang positif selama masa anak
diperlukan 0,8–1,5 mg besi yang harus diabsorbsi setiap hari dari makanan.
Banyaknya besi yang diabsorbsi dari makanan sekitar 10% setiap hari,
sehingga untuk nutrisi yang optimal diperlukan diet yang mengandung besi
sebanyak 8-10 mg besi sehari.
b. Malabsorbsi besi
Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya
mengalami perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang
telah mengalami gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun
mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya
jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian atas usus
halus, tempat utama penyerapan besi heme dan non heme.
3. Perdarahan

12
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya
ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi.
Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga
kehilangan darah 3-4 ml perhari akan mengakibatkan kehilangan besi 1,5-2 mg
yang pada akhirnya dapat mengakibatkan keseimbangan negatif besi.
4. Transfusi feto maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB
pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.
5. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup jantung buatan.
Pada Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melalui
urin rata-rata 1,8-7,8 mg/hari.
6. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium
berisiko untuk menderita ADB
7. Idiopatic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi, yang ditandai dengan perdarahan paru yang hebat
dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul. Keadaan ini
dapat menyebabkan kadar Hb menurun drastis hingga 1,5-3 g/dl dalam 24 jam.

Metabolisme Besi 6,23


Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporfirin mempunyai peranan
yang penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu besi juga terdapat dalam
beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA,
neurotransmitter, dan proses katabolisme. Kekurangan besi akan memberikan
dampak yang merugikan terhadap sistem saluran pencernaan, susunan saraf pusat,
kardiovaskuler, imunitas dan perubahan tingkat seluler.
Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi
dalam makanan, bioavailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh
mukosa usus. Di dalam tubuh orang dewasa mengandung zat besi sekitar 55
mg/kgbb atau sekitar 4 gram. Lebih kurang 67% zat besi tersebut dalam bentuk
hemoglobin, 30% sebagai cadangan dalam bentuk ferritin atau hemosiderin dan

13
3% dalam bentuk mioglobin. Hanya sekitar 0,07% sebagai transferrin dan 0,2%
sebagai enzim. Bayi baru lahir dalam tubuhnya mengandung besi sekitar 0,5
gram.
Ada dua cara penyerapan besi dalam usus, yang pertama adalah
penyerapan dalam bentuk non heme (sekitar 90% berasal dari makanan), yaitu
besinya harus diubah dulu menjadi bentuk yang diserap, sedangkan bentuk yang
kedua adalah bentuk heme (sekitar 10% berasal dari makanan) besinya dapat
langsung diserap tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung
ataupun zat makanan yang dikonsumsi.
Besi non heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin
membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel
mukosa. Di dalam sel mukosa, besi akan dilepaskan dan apotransferinnya kembali
ke dalam lumen usus. Selanjutnya sebagian besi bergabung dengan apoferitin
membentuk feritin, sedangkan besi yang tidak diikat oleh apoferitin akan masuk
ke peredaran darah dan berikatan dengan apotransferin membentuk transferin
serum.

Gambar 1. Metabolisme besi di dalam tubuh


Penyerapan besi oleh tubuh berlangsung melalui mukosa usus halus,
terutama di duodenum sampai pertengahan jejunum, makin kearah distal usus
penyerapannya semakin berkurang. Besi dalam makanan terbanyak ditemukan

14
dalam bentuk senyawa besi non heme berupa komplek senyawa besi inorganik
(feri/Fe3+) yang oleh pengaruh asam lambung, vitamin C, dan asam amino
mengalami reduksi menjadi bentuk fero (Fe2+). Bentuk fero ini kemudian
diabsorbsi oleh sel mukosa usus dan didalam sel usus bentuk fero ini mengalami
oksidasi menjadi bentuk feri yang selanjutnya berikatan dengan apoferitin menjadi
feritin. Selanjutnya besi feritin dilepaskan ke dalam peredaran darah setelah
melalui reduksi menjadi bentuk fero dan didalam plasma ion fero direoksidasi
kembali menjadi bentuk feri. Yang kemudian berikatan dengan 1 globulin
membentuk transferin. Absorpsi besi non heme akan meningkat pada penderita
ADB. Transferin berfungsi untuk mengangkut besi dan selanjutnya didistribusikan
ke dalam jaringan hati, limpa dan sumsum tulang serta jaringan lain untuk
disimpan sebagai cadangan besi tubuh.

Gambar 2. Metabolisme besi

Di dalam sumsum tulang sebagian besi dilepaskan ke dalam eritrosit


(retikulosit) yang selanjutnya bersenyawa dengan porfirin membentuk heme dan
persenyawaan globulin dengan heme membentuk hemoglobin. Setelah eritrosit
berumur ± 120 hari fungsinya kemudian menurun dan selanjutnya dihancurkan
didalam sel retikuloendotelial. Hemoglobin mengalami proses degradasi menjadi
biliverdin dan besi. Selanjutnya biliverdin akan direduksi menjadi bilirubin,

15
sedangkan besi akan masuk ke dalam plasma dan mengikuti siklus seperti diatas
atau akan tetap disimpan sebagai cadangan tergantung aktivitas eritropoisis.
Bioavailabilitas besi dipengaruhi oleh komposisi zat besi dalam makanan.
Asam askorbat, daging, ikan dan ungags akan meningkatkan penyerapan besi non
heme. Jenis makanan yang mengandung asam tanat (terdapat dalam teh dan kopi),
kalsium, fitat, beras, kuning telur, polifenol, oksalat, fosfat, dan obat-obatan
(antasid, tertasiklin dan kolestiramin) akan mengurangi penyerapan zat besi.
Besi heme didalam lambung dipisahkan dari proteinnya oleh asam
lambung dan enzim proteosa. Kemudian besi heme mengalami oksidasi menjadi
hemin yang akan masuk ke dalam sel mukosa usus secara utuh, kemudian akan
dipecah oleh enzim hemeoksigenase menjadi ion feri bebas dan porfirin.
Selanjutnya ion feri bebas ini akan mengalami siklus seperti diatas.
Didalam tubuh cadangan besi ada dua bentuk, yang pertama feritin yang
bersifat mudah larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati.
Bentuk kedua adalah hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih
sedikit dibandingkan feritin. Hemosiderin ditemukan terutama dalam sel Kupfer
hati dan makrofag di limpa dan sumsum tulang. Cadangan besi ini akan berfungsi
untuk mempertahankan homeostasis besi dalam tubuh. Apabila pemasukan besi
dari makanan tidak mencukupi, maka terjadi mobilisasi besi dan cadangan besi
untuk mempertahankan kadar Hb.

Patofisiologi 1,2 ,6
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang
berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap
akan menyebabkan cadangan besi terus berkurang.
Tahap defisiensi besi :
1. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan
fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan
absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain
untuk mngetahui adanya kekurangan besi masih normal.

16
2. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau
iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk
menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai
besi serum menurun dan saturasi transferrin menurun sedangkan Total Iron
Binding Capacity (TIBC) meningkat dan Free Erythrocyte Porfirin (FEP)
meningkat.
3. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Kedaan ini terjadi
bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan
mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi
perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.

Tabel. 2. Tahapan kekurangan besi 1


Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3
Hemoglobin Normal Sedikit Menurun jelas
menurun (mikrositik/
hipokromik)
Cadangan besi (mg) < 100 0 0
Fe serum (ug/dl) Normal < 60 < 40
TIBC (ug/dl) 360-390 > 390 > 410
Saturasi transferin (%) 20-30 < 15 < 10
Ferritin serum (ug/dl) < 20 < 12 < 12
Sideroblas (%) 40-60 < 10 < 10
FEP (ug/dl sel darah merah) > 30 > 100 < 200
MCV Normal Normal Menurun

17
Gambar 3. Patofisiologi terjadinya anemia defisiensi besi 1

Manifestasi klinis
Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh
penderita dan keluarganya. Pada yang ringan diagnosis ditegakkan hanya dari
temuan laboratorium saja. Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB
dengan kadar Hb 6-10 g/dl terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga
gejala anemia hanya ringan saja. Bila kadar Hb turun < 5 g/dl gejala iritabel dan
anoreksia akan mulai tampak lebih jelas. Bila anemia terus berlanjut dapat terjadi
takikardi, dilatasi jantung dan murmur sistolik. Namun kadang-kadang pada kadar
Hb < 3-4 g/dl pasien tidak mengeluh karena tubuh sudah mengadakan
kompensasi, sehingga beratnya gejala ADB sering tidak sesuai dengan kadar
Hb.1,2,6,15

Diagnosis
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan
gejala klinis yang sering tidak khas. Anak datang dengan pucat yang kadang-
kadang tidak terlihat oleh keluarga yang berinteraksi setiap hari dengan anak dan
baru terlihat oleh orang lain yang jarang bertemu dengan anak. Ini menunjukkan
onset perlahan dari anemia. Anamnesis yang baik, yang berhubungan dengan

18
penggalian faktor penyebab, sangat penting dalam menegakkan diagnosis ADB.
Pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan pucat tanpa tanda-tanda perdarahan
(ptekie, ekimosis atau hematom) maupun hepatomegali. Kelainan fisik selain
pucat jarang ditemukan pada anak, begitu juga dengan kelainan kuku seperti
koilonikia. 2,6,15

Pemeriksaan laboratorium 1,2,6,15


1. Darah perifer lengkap
Dari pemeriksaan ini didapatkan kadar Hb yang rendah dari nilai normal
menurut umur dan jenis kelamin. Hitung leukosit biasanya normal, dengan
hitung trombosit bervariasi dari rendah (trombositopenia) sampai tinggi
(trombositosis). Trombositopenia sering ditemukan pada ADB berat, sedangkan
trombositosis berhubungan dengan perdarahan saluran cerna. Nilai MCV dan
MCH rendah (<70 fl dan < 25 pg berturut-turut) dan nilai Red Distribution
Width (RDW) yang meningkat (>14,5%). Rasio MCV/eritrosit (Indek Mentzer)
> 13% dan RDW indek (MCV/eritrosit x RDW) 220.25
2. Gambaran darah tepi
Gambaran darah tepi menunjukkan gambaran mikrositik hipokrom, anisositosis
dan poikilositosis. Kadang-kadang dapat ditemukan sel target dan sel pensil.
3. Hitung retikulosit.
Hitung retikulosit biasanya normal, namun pada keadaan ADB berat akibat
perdarahan hitung retikulosit dapat meningkat mencapai 3-4%.
4. Besi serum (SI), transferin (TIBC) dan saturasi transferin.
Defisiensi besi menyebabkan penurunan kadar SI, peningkatan TIBC, sehingga
terjadi penurunan nilai saturasi transferin (SI/TIBC). Pemeriksaan SI untuk
menentukan jumlah besi yang terikat pada transferin, sedangkan TIBC untuk
mengetahui jumlah transferin yang berada dalam sirkulasi darah. Perbandingan
antara SI dan TIBC (saturasi transferin) yang dapat diperoleh dengan cara
menghitung SI/TIBC x 100% merupakan suatu nilai yang menggambarkan
suplai besi ke eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian terbaik untuk
mengetahui pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi dalam tubuh. Bila
saturasi transferrin (ST) < 16% menunjukkan suplai besi yang tidak adekuat
untuk mendukung eritropoisis. ST < 7% diagnosis ADB dapat ditegakkan,
sedangkan pada kadar ST 7-16% dapat dipakai untuk mendiagnosis ADB bila
didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan lainnya

19
5. Feritin serum
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan biokimia yang paling spesifik
berhubungan dengan cadangan besi tubuh total. Akan tetapi kadar ferritin yang
normal dapat ditemukan pada defisiensi besi jika disertai dengan infeksi bakteri
atau parasit, keganasan atau inflamasi kronis karena feritin merupakan reaktan
fase akut yang sintesisnya meningkat pada infeksi/ inflamasi akut atau kronis.
Pada dasarnya nilai titik potong kadar feritin untuk dapat dikatakan ADB
adalah < 12 ug/l. Bila kadar ferritin < 10-12 ug/l menunjukkan telah terjadi
penurunan cadangan besi dalam tubuh.
6. Free erythrocyte protoporphyrin (FEP)
Pemeriksaan kadar FEP dilakukan untuk mengetahui kecukupan penyediaan
besi ke eritroid sumsum tulang. Pada pembentukan eritrosit akan dibentuk
cincin porfirin sebelum besi terikat untuk membentuk heme. Bila penyediaan
besi tidak adekuat menyebabkan terjadinya penumpukan porfirin didalam sel.
Nilai FEP > 100 ug/dl eritrosit menunjukkan adanya ADB. Pemeriksaan ini
dapat mendeteksi adanya ADB lebih dini. Meningkatnya FEP disertai ST yang
menurun merupakan tanda ADB yang progresif.
7. Uji terapeutik
Kriteria yang paling dapat dipercaya untuk menegakkan diagnosis ADB adalah
dengan melihat respon peningkatan Hb (meningkat >1 g/dl dalam 1 bulan)
setelah mendapat terapi besi (fero sulfat) dengan dosis 3 mg/kg/hari selama 1
bulan. Tidak adanya peningkatan Hb menunjukkan bahwa defisiensi besi bukan
sebagai penyebab anemia.

Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB: 2,3,6
1. Menurut WHO
a. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
b. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31 % (N : 32-35 %)
c. Kadar Fe serum < 50 ug/dl (N : 80-180 ug/dl)
d. Saturasi transferin < 15 % (N : 20-50 %)
2. Menurut Cook and Monsen
a. Anemia hipokrom mikrositik
b. Saturasi transferin < 16 %
c. Nilai FEP > 100 ug/dl eritrosit

20
d. Kadar feritin serum < 12 ug/dl
e. Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, feritin serum dan
FEP) harus terpenuhi
3. Menurut Lanzkowsky
a. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan
kadar MCV, MCH dan MCHC yang menurun, Red cell distribution width
(RDW) > 17 %
b. FEP meningkat
c. Feritin serum menurun
d. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 16 %
e. Respon terhadap pemberian preparat besi
1. Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian
besi
2. Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 gr/dl/hari atau PCV
meningkat 1 %/ hari
f. Sumsum tulang
1. Tertundanya maturasi sitoplasma
2. Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang

Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian
preparat besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis
dengan melihat respon hemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Prosedur ini
sangat mudah, praktis, sensitif dan ekonomis terutama pada anak yang berisiko
tinggi menderita ADB. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 3-6
mg/kgbb/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 g/dl maka
dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.6,15,20

Diagnosis banding 1,2,6


Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang menberikan gambaran
anemia hipokrom mikrositik lain. Keadaan yang sering memberi gambaran klinis
dan laboratorium yang hampir sama dengan ADB adalah talasemia dan anemia
karena penyakit kronis. Keadaan lainnya adalah lead poisioning/ keracunan timbal

21
dan anemia sideroblastik. Untuk membedakannya diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium.
Pada talasemia morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah satu cara
sederhana untuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan melihat
jumlah sel darah merah yang meningkat meski sudah anemia ringan dan
mikrositosis, sebaliknya pada ADB jumlah sel darah merah menurun sejajar
dengan penurunan kadar Hb dan MCV. Cara mudah dapat diperoleh dengan
dengan cara membagi nilai MCV dengan jumlah eritrosit, bila nilainya < 13
menunjukkan talasemia sedangkan bila > 13 merupakan ADB. Pada talasemia
minor didapatkan basophilic stippling, peningkatan kadar bilirubin plasma dan
peningkatan kadar HbA2.
Gambaran morfologi darah tepi anemia karena penyakit kronis biasanya
normokrom normositik, tetapi bisa juga ditemukan hipokrom mikrositik. Anemia
penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai sedang yang
terjadi akibat infeksi kronis, peradangan, trauma dan penyakit neoplastik yang
telah berlangsung 1–2 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal dan endokrin.
Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolism besi, sehingga terjadi
hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Secara garis besar patogenesis
anemia penyakit kronis dititikberatkan pada 3 abnormalitas utama yaitu:
ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit lebih
dini, respon sumsum tulang karena respon eritropoetin yang terganggu atau
menurun, dan gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi. Terjadinya
anemia pada penyakit kronis disebabkan terganggunya mobilitas besi dan
makrofag oleh transferin. Kadar Fe serum dan TIBC menurun meskipun cadangan
besi normal atau meningkat sehingga nilai saturasi transferin normal atau sedikit
menurun, kadar FEP meningkat. Pemeriksaan kadar reseptor transferin/ transferin
receptor (TfR) sangat berguna dalam membedakan ADB dengan anemia karena
penyakit kronis. Pada anemia karena penyakit kronis kadar TfR normal karena
pada inflamasi kadarnya tidak terpengaruh, sedangkan pada ADB kadarnya
menurun. Peningkatan rasio TfR/ feritin sensitif dalam mendeteksi ADB.

22
Tabel 3. Pemeriksaan laboratorium untuk membedakan ADB dengan talasemia
dan anemia penyakit kronis 1
Pemeriksaan lab ADB Talasemia minor Anemia penyakit kronis
MCV ↓ ↓ N, ↓
Fe serum ↓ N ↓
TIBC ↑ N ↓
Saturasi transferin ↓ N ↓
FEP ↑ N N, ↑
Feritin serum ↓ N ↓

Tabel 4. Pemeriksaan laboratorium untuk membedakan defisiensi besi, ADB,


talasemia dan anemia penyakit kronis 20

Lead poisioning memberikan gambaran darah tepi yang serupa dengan


ADB tetapi didapatkan basophilic stippling kasar yang sangat jelas. Pada
keduanya kadar FEP meningkat. Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa kadar
lead dalam darah.
Anemia sideroblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan
sintesis heme, bisa didapat atau herediter. Pada keadaan ini didapatkan gambaran
hipokrom mikrositik dengan peningkatan kadar RDW yang disebabkan populasi
sel darah merah yang dimorfik. Kadar Fe serum dan ST biasanya meningkat, pada
pemeriksaan apus sumsum tulang didapatkan sel darah merah berinti yang
mengandung granulasi besi (agregat besi dalam mitokondria) yang disebut ringed
sideroblast. Anemia ini umumnya terjadi pada dewasa.

23
Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor
penyebab dan mengatasinya, serta memberi terapi pengganti dengan preparat besi.
Sekitar 80-85 % penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat
dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat besi dapat secara peroral atau
parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan
pemberian secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan pada
penderita yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak
dapat terpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan.1,2,6,15

Pemberian preparat besi peroral


Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian
secara parenteral. Preparat yang sering dipakai adalah ferous sulfat karena
harganya lebih murah, dimana untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes
(drop). Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dipakai 3-6 mg
besi elemental/kgbb/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi
elemental yang ada dalam garam ferous. Garam ferous sulfat mengandung besi
elemental sebanyak 20 %. Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek
samping pada saluran pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang
lebih cepat. Absorbsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, yaitu
diantara dua waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan efek samping pada
saluran cerna, seperti diare yang menyebabkan orang tua sering menghentikan
pengobatan. Untuk mengatasi hal tersebut pemberian preparat besi dapat
dilakukan saat makan atau segera setelah makan meskipun akan mengurangi
absorbsi obat sekitar 40-50%. Obat diberikan dalam 2-3 dosis per hari. Preparat
besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia teratasi. Pewarnaan
gigi yang bersifat sementara dapat dihindari dengan meletakkan larutan tersebut
ke bagian belakang lidah dengan cara tetesan.
Garam ferous diabsorbsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri.
Preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinat. Yang sering
dipakai adalah ferous sulfat karena harganya yang lebih murah. Ferous glukonat,

24
ferous fumarat dan ferous suksinat diabsorbsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia
preparat besi berupa tetes (drop).
Respon terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan
dari pemeriksaan laboratorium, seperti pada tabel berikut ini :
Tabel 5. Respon terhadap pemberian besi pada ADB 15
Waktu setelah pemberian besi Respon
12-24 jam Penggantian enzim besi intraseluler;
keluhan subyektif berkurang, nafsu
makan bertambah
36-48 jam Respon awal dari sumsum tulang :
hiperplasia eritroid
48-72 jam Retikulositosis, puncaknya pada hari
ke 5-7
4-30 hari Kadar Hb meningkat
1-3 bulan Penambahan cadangan besi

Respon terapi pemberian preparat besi dapat dipantau dengan melakukan


pemeriksaan Hb dan retikulosit secara serial. Setelah pemberian preparat besi
dosis terapi secara oral akan terlihat retikulosis dalam 72 jam. Peningkatan Hb
harus terjadi 1 g/dl selama 4 minggu. Setelah didapatkan respon terapi yang
adekuat, kadar Hb harus dipantau setiap 2-3 bulan sampai tercapai kadar Hb
normal menurut usia. Pemberian suplemen besi harus diteruskan selama minimal
3 bulan setelah cadangan besi terpenuhi. 2,6,15
Menurut Lanzkowsky, respon terhadap terapi preparat besi dapat dinilai
dari terjadi nya peningkatan retikulosit dan peningkatan Hb yaitu:2
1. Puncak kadar retikulosit pada hari ke 5-10 setelah awal terapi
2. Terjadi peningkatan Hb rata-rata 0,25-0,4 g/dl/hari atau peningkatan Ht
1% selama 7-10 hari pertama
3. Selanjutnya, peningkatan Hb terjadi lebih lambat 0,1-0,15 g/dl/hari

Pemberian preparat besi parenteral 2,6


Pemberian secara parenteral sangat jarang diberikan, dilakukan hanya pada
penderita yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak
dapat terpenuhi secara oral karena ada gangguan pencernaan.

25
Pemberian besi secara intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya
mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan
untuk menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Preparat yang
sering dipakai adalah dextran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ml.
Indikasi pemberian terapi besi secara intramuscular :
1. Tidak respon atau toleransi yang rendah terhadap pemberian preparat besi
secara oral
2. Infeksi saluran cerna yang berat
3. Perdarahan kronis
4. Diare akut
5. Kondisi yang membutuhkan penggantian cadangan besi secara cepat
6. Diperlukan terapi eritropoietin
Dosis dihitung berdasarkan :
Dosis besi (mg) = BB (kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5

Transfusi darah 1,2,6,15


Pemberian transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan
pada keadaan anemia yang sangat berat (Hb ≤ 4 g/dL) atau yang disertai infeksi
yang dapat mempengaruhi respon terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi
tidak perlu secepatnya, malah akan mebahayakan karena dapat menyebabkan
hipervolemia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara bertahap
dengan jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman
sambil menunggu respon terapi besi. Secara umum, untuk penderita anemia berat
dengan kadar Hb < 4 g/dl hanya diberikan PRC dengan dosis 2-3 ml/kgBB perkali
pemberian disertai pemberian diuretik seperti furosemid.

Pencegahan
Para dokter memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya defisiensi besi
pada bayi. Pencegahan primer berupa konseling pada kunjungan rutin untuk
memastikan intake besi yang adekuat, serta pencegahan sekunder meliputi
skrining rutin, diagnosis yang cepat, dan pengobatan defisiensi besi yang tepat.

26
Pencegahan primer dari anemia defisiensi besi pada bayi tergantung pada
praktek pemberian makanan yang baik (tabel 5 dan tabel 6).21,22

Tabel 6. Konseling Diet untuk Mencegah Defisiensi Besi pada Anak 21

Usia Konseling pencegahan


Lahir 1. Mendorong ibu untuk dapat memberikan ASI eksklusif
selama 4 sampai 6 bulan setelah anak lahir dan meneruskan
pemberian ASI sampai usia 1 tahun
2. Untuk bayi yang tidak menyusui, berikan hanya susu
formula yang difortifikasi besi (10-12 mg/L)
3. Untuk bayi prematur atau berat badan lahir rendah yang
menyusui, berikan suplemen besi 2-4 mg/kg/hari dan
lakukan skrining anemia sebelum usia 6 bulan.
6 - 9 bulan 1. Berikan dua porsi atau lebih sereal yang difortifikasi besi
untuk mencukupi kebutuhan besi
2. Berikan satu porsi makanan yang mengandung vitamin C
(buah sayur atau jus) untuk meningkatkan absorbsi besi.
3. Mulai berikan daging (ayam,ikan,daging).
9 – 12 bulan 1. Jangan berikan susu sapi sebelum berusia 1 tahun.
> 12 bulan 2. Berikan makanan yang kaya akan zat besi dan vitamin C
3. Batasi pemberian susu sapi sampai 24 oz/ hari

Tabel 7. Daftar Makanan yang Mengandung Besi 22


Makanan Keterangan
Daging, ikan, ayam Hampir semua kandungan besi terserap
oleh tubuh
Sereal, tahu, sayur hijau, tomat, Membutuhkan vitamin C atau makanan di
telur, kacang-kacangan atas untuk penyerapan lebih baik

American Academy of Pediatrician merekomendasikan untuk dilakukannya


skrining rutin dengan melakukan pemeriksaan hemoglobin atau hematokrit, untuk

27
semua bayi yang berusia antara 9 sampai 12 bulan pada masyarakat yang
mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap anemia defisiensi besi. 23 Pada
masyarakat yang mempunyai prevalensi yang rendah, skrining hanya dilakukan
untuk bayi yang mempunyai faktor resiko (tabel 8). 24

Tabel 8. Faktor Risiko Defisiensi Besi pada Tahun Pertama Kehidupan 24

Diet Prenatal/perinatal Sosioekonomi Lain-lain


Susu sapi Anemia saat hamil Sosioekonomi Kenaikan berat
rendah badan yang lebih
dari normal
Susu formula Hamil ganda Diabetes yang
rendah besi tidak terkontrol
ASI tanpa Prematur
suplemen besi
Berat badan lahir
rendah

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2011 mengeluarkan lima
rekomendasi dalam penanganan ADB, yaitu:16
1. Suplementasi besi diberikan kepada semua anak, dengan prioritas usia
balita (0-5 tahun), terutama usia 0-2 tahun
2. Dosis dan lama pemberian suplementasi besi

Tabel 9. Dosis dan lama pemberian suplementasi besi 16


Usia (tahun) Dosis besi Lama pemberian
elemental
Bayi*: BBLR (<2500 g) 3 mg/kgBB/hari Usia 1 bulan sampai 2 tahun
Cukup bulan 2 mg/kgBB/hari Usia 4 bulan sampai 2 tahun
2 – 5 tahun (balita) 1 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
5 – 12 tahun (usia sekolah) 1 mg/kgbb/hari 2x/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
12 – 18 tahun (remaja) 60 mg/hari # 2x/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
Ket,: * Dosis maksimum untuk bayi 15 mg/hari, dosis tunggal
#
Khusus remaja perempuan ditambah 400µg asam folat

28
3. Saat ini belum perlu dilakukan uji tapis (skrining) defisiensi besi secara
masal
4. Pemeriksaan kadar Hb dilakukan mulai usia 2 tahun dan selanjutnya setiap
tahun sampai usia remaja. Bila dari hasil pemeriksaan ditemukan anemia,
dicari penyebab dan bila perlu dirujuk
5. Pemerintah harus membuat kebijakan mengenai penyediaan preparat besi
dan alat laboratoriun untuk pemeriksaan status besi.

Defisiensi Besi dan Gangguan Perkembangan


Letih dan lemah telah diketahui sejak lama berhubungan dengan anemia. Namun
terakhir diketahui bahwa konsekuensi buruk dapat terjadi meskipun anemia belum
terjadi akibat defisiensi besi, yaitu pada aspek: 1) kognitif, tingkah laku, dan
motorik bayi dan anak; 2) status imunitas dan kesakitan akibat penyakit infeksi; 3)
kapasitas dan kemampuan fisik remaja.25,26
Beberapa penelitian telah mencatat rendahnya skor perkembangan mental
dan motorik pada bayi yang menderita defisiensi besi dan anemia defisiensi besi.
Penelitian yang dilakukan oleh Lozoff, dkk di Costa Rika mendapatkan bayi yang
menderita ADB mempunyai nilai tes mental dan motorik skala Bayley yang
rendah dibandingkan dengan bayi normal. Pada penelitian lanjutannya terhadap
bayi-bayi tersebut pada usia 11 sampai 14 tahun, didapatkan nilai yang masih
rendah terhadap fungsi motorik dan mental. Hal ini membuktikan bahwa dampak
anemia defisiensi besi tersebut dapat berlangsung lama dan mungkin bersifat
permanen, dan tidak dapat dikoreksi meskipun telah diberikan terapi besi. 12
Anak-anak yang mengalami defisiensi besi sejak masa bayi akan
mengalami perkembangan psikomotor yang terlambat dimana nanti saat usia
sekolah akan mengalami gangguan pada perkembangan bahasa, motorik,
koordinasi, yang setara dengan penurunan IQ sebesar 5-10 poin. Mekanisme
bagaimana defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan dan fungsi otak masih
belum jelas, namun mungkin berhubungan dengan fungsi besi dalam sintesis
neurotransmiter, mielinisasi, dan diferensiasi serta pertumbuhan neuron.25,26
Angka kesakitan akibat penyakit infeksi meningkat pada populasi dengan
defisiensi besi. Pada keadaan ini leukosit mengalami penurunan kemampuan

29
untuk membunuh mikroorganisme. Limfosit juga berkurang kemampuannya
untuk bereplikasi saat berkontak dengan mitogen.

Anemia
defisiensi
Lingkungan
tidak baik
kadar besi di
dalam sel
otak
berkurang
Pola
makan

Gangguan
Hipomielinisas fungsi
i
Sistem Biologi dopaminergi Lingkungan
k

Depresi
Maturas Muda
pada ibu
i lambat h
stres

Asuhan dari
orang tua
Perubahan terbatas
pola tingkah

Pengalama Dukungan
Isolasi n belajar terhadap
fungsional menurun perkembanga
n

Keluaran
yang jelek 30
Gambar 2. Bagan pengaruh anemia defisiensi besi terhadap perkembangan 26

ANALISIS KASUS

Dilaporkan seorang pasien laki-laki usia 5 tahun 2 bulan dengan diagnosis anemia
defisiensi besi ec ancylostomiasis. Anemia defisiensi besi merupakan penyebab
yang paling sering dari anemia pada bayi dan anak.1,2 Anemia defisiensi besi
merupakan salah satu dari empat penyakit gangguan gizi utama yang ditemukan di
Indonesia. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalensi ADB pada anak
balita di Indonesia sekitar 40-45% 8
Dasar diagnosis ADB pada pasien ini adalah ditemukan kadar Hb kurang
dari normal sesuai usia yaitu < 11,5 gr/dl, nilai MCV yang rendah (< 76 fl)
didukung oleh gambaran mikrositik hipokrom pada morfologi darah tepi, kadar
serum iron (SI) < 50 ug/dl, total iron binding capacity (TIBC) yang meningkat,
saturasi transferin (ST) < 16% dan kadar feritin serum < 12 ug/dl.

31
Pasien rujukan dari RSUD Batu Sangkar dengan keterangan anemia kronis
didiagnosis banding dengan leukemia dan talasemia. Kemungkinan leukemia pada
pasien ini dapat disingkirkan karena tidak ditemukannya organomegali dan blast
pada pemeriksaan darah perifer sedangkan kemungkinan talasemia masih
dipikirkan sebelum dilakukan pemeriksaan SI, TIBC dan feritin serum. Gambaran
morfologi darah tepi talasemia minor sama dengan ADB. Salah satu cara
sederhana untuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan melihat
jumlah eritrosit, pada talasemia jumlahnya meningkat meski sudah anemia ringan
dan mikrositosis, sebaliknya pada ADB jumlah eritrosit menurun sejajar dengan
penurunan kadar Hb dan MCV. Pada pasien ini jumlah eritrosit mengalami
penurunan yaitu 2,2 juta/mm3. 1,6,15 Cara lainnya yaitu dengan membagi nilai MCV
dengan jumlah eritrosit yang disebut sebagai index Mentzer, bila nilainya <13
menunjukkan talasemia sedangkan bila > 13 merupakan ADB.27 Pasien ini
memiliki index Mentzer 24,8 (> 13) menunjukkan suatu anemia defisiensi besi.
Kemungkinan talasemia juga dapat disingkirkan dari hasil pemeriksaan SI, ST dan
feritin yang rendah, pada talasemia kadar SI, ST dan feritin biasanya dalam batas
normal. Feritin serum merupakan parameter yang sensitif untuk menilai cadangan
besi didalam tubuh normal, nilai 1 ug/l feritin serum sebanding dengan 8-10 mg
cadangan besi. Konsentrasi feritin serum dibawah 12 ug/l dapat digunakan sebagai
diagnostik defisiensi besi.15,21
Terdapat beberapa penyebab terjadinya defisiensi besi pada anak, yaitu
intake yang kurang akibat jenis makanan yang kurang besi, absorbsi yang tidak
adekuat, seperti pada pemberian atau konsumsi antasida (pH lambung alkali),
kebutuhan yang meningkat, seperti pada periode pertumbuhan yang cepat (bayi,
remaja), infeksi kronis, infeksi akut berulang, kehilangan darah akibat infeksi
parasit dan divertikulum Meckel.1,2,3,6,15 Pada pasien ini ditemukan adanya infeksi
parasit sebagai penyebab dari anemia defisiensi besi, dibuktikan dengan
ditemukannya telur cacing Ancylostoma duodenale pada pemeriksaan feses dan
eosinofilia pada pemeriksaan hitung jenis. Penelitian Avhad, dkk di India
menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara nilai MCHC dengan
jumlah telur cacing ancylostoma dalam 1 gram feses.28 Terjadinya infeksi cacing

32
pada pasien ini disebabkan oleh kondisi higine dan sanitasi lingkungan yang jelek
dan kebiasaan pasien bermain di tanah tanpa menggunakan alas kaki.
Infeksi cacing Ancylostoma duodenale dalam stadium dewasa dapat
menyebabkan terjadinya anemia hipokromik normositer serta eosinofilia. Anemia
terjadi setelah infestasi cacing dalam tubuh berlangsung selama 10-20 minggu.
Jumlah cacing dewasa yang diperlukan untuk menimbulkan gejala anemia adalah
lebih dari 500, tetapi bergantung pada keadaan gizi hospes. Eosinofilia akan jelas
terlihat pada bulan pertama infeksi cacing. Toksin cacing yang dapat
menyebabkan anemia belum dapat dibuktikan. Setiap satu cacing Ancylostoma
duodenale akan menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,16-0,34 cc setiap hari.
Diagnosis pasti ancylostomiasis ditegakkan dengan menemukan telur dalam feses
segar, dalam feses yang telah lama kemungkinan dapat ditemukan larva. Selain
dalam feses, larva dapat pula ditemukan dalam sputum.29
Prinsip tatalaksana ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi.
Pemberian transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan
pada keadaan anemia yang sangat berat (Hb ≤ 4 g/dL) atau yang disertai infeksi
yang dapat mempengaruhi respon terapi. 2,6,15 Pasien mendapat transfusi darah
karena didapatkan kadar Hb yang sangat rendah yaitu 3,4 g/dl, transfusi diberikan
secara bertahap dengan target Hb 10 gr/dl dan diikuti dengan pemberian preparat
besi. Transfusi darah diberikan secara lambat dalam jumlah yang cukup untuk
meningkatkan Hb sampai batas aman, pada kadar Hb < 4 gr/dl cukup diberikan
transfusi PRC 2-3 cc/kgbb sekali pemberian.15
Preparat besi dapat diberikan melalui oral atau parenteral. Pemberian
peroral lebih aman, murah dan sama khasiatnya dengan pemberian secara
parenteral. Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dianjurkan
adalah 4-6 mg besi elemental/kgbb/hari diberikan tiga kali sehari. 6,15 Pada pasien
diberikan terapi besi elemental 3 x 15 mg peroral.
Respon terapi pemberian preparat besi dapat dinilai dari terjadinya
peningkatan Hb dan retikulosit yaitu terjadi peningkatan Hb rata-rata 0,25-0,4
gr/dl/hari selama 7-10 hari pertama dan selanjutnya peningkatan Hb terjadi 0,1-
0,15 gr/dl/hari, puncak kadar retikulosit terjadi pada hari ke 5-10 setelah awal

33
terapi.2 Pemberian preparat besi dilanjutkan sampai minimal 3 bulan setelah
cadangan besi terpenuhi.16 Pasien mengalami peningkatan Hb dari 3,4 gr/dl
menjadi 10,9 gr/dl dan peningkatan retikulosit dari 20 permill menjadi 38 permill.
Akan tetapi peningkatan ini tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai respon dari
pemberian preparat besi karena pasien mendapat transfusi darah. Suplementasi
besi pada anak usia 2-5 tahun dapat meningkatkan hemoglobin dan feritin. 30 (level
of evidence 1a)
Zlotkin, dkk dalam uji klinik acak terkontrol membandingkan pemberian
ferro sulfat sebagai dosis tunggal dan tiga kali sehari dengan dosis total yang sama
pada bayi berusia 6-24 bulan. Kelompok pertama mendapat ferro sulfat drop 40
mg dosis tunggal, sedangkan kelompok kedua mendapat ferro sulfat drop dengan
dosis total 40 mg. Pengobatan diberikan selama 2 bulan. Keberhasilan terapi 61 %
pada kelompok pertama dan 56 % pada kelompok kedua. Nilai rata-rata kenaikan
kadar feritin dan efek samping minimal terjadi sama pada kedua kelompok. 31
(level of evidence 2b)
Widiaskara, dkk mendapatkan 65,3% anak dengan anemia di RSUD
Wangaya Denpasar adalah anemia defisiensi besi, 51,7% anak menunjukkan
status besi yang kurang dengan kadar SI 40-60 ug/dl dan terdapat peningkatan Hb
1 g/dl dan HCT 2,8% dengan pemberian sulfasferosus (besi elemental) 3
mg/kgbb/hari selama satu bulan.32 (level of evidence 2b). Penelitian lain oleh
Soemantri, dkk menunjukkan bahwa pemberian besi 3 mg/kgbb/hari selama 4
bulan pada bayi dan anak yang menderita anemia akan terjadi peningkatan kadar
Hb secara bermakna yaitu 3,8 gr/dl dari 9,5-12,3 gr/dl.33
Pengobatan terhadap Ancylostoma duodenale dapat diberikan pirantel
pamoat dosis tunggal 10 mg/kgbb atau mebendazol 100 mg dua kali sehari selama
3 hari berturut-turut atau albendazol dosis tunggal, pada anak usia diatas 2 tahun
dapat diberikan 400 mg (2 tablet) atau setara dengan 20 ml suspensi, sedangkan
pada anak yang lebih kecil diberikan dengan dosis separuhnya. Di Bangsal anak
RS Pirngadi Medan, pengobatan yang digunakan adalah gabungan pirantel
pamoat dengan mebendazol, dengan cara pirantel pamoat dosis 10 mg/kgbb
diberikan pada pagi harinya diikuti dengan pemberian mebendazol 100 mg dua
kali sehari selama 3 hari berturut-turut. Didapatkan hasil pengobatan yang sangat

34
memuaskan terutama bila dijumpai adanya infeksi campuran dengan cacing lain. 29
Ancylostomiasis pada pasien ini diterapi dengan pemberian albendazol 400 mg
dosis tunggal dan memberikan hasil yang efektif terbukti dengan tidak ditemukan
lagi telur ataupun cacing ancylostoma pada pemeriksaan feses setelah 5 hari
pemberian albendazol.
Tiangsa S, dkk, melakukan penelitian yang membandingkan efektifitas
pemberian albendazol dosis tunggal dengan kombinasi pirantel pamoat dosis 10
mg/kgbb dengan mebendazol 100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut
pada infeksi campuran soil transmitted helminthiasis, didapatkan hasil bahwa
pemberian albendazol dosis tunggal lebih efektif daripada kombinasi pirantel
pamoat-mebendazol.34 (level of evidence 2b)
Penelitian lain oleh Fereza A, dkk yang membandingkan pemberian
mebendazol dosis tunggal 500 mg dengan mebendazol dosis tunggal 500 mg
kombinasi dengan pirantel pamoat 10 mg/kgbb pada infeksi helmintiasis
didapatkan hasil pemberian kombinasi mebendazol dan pirantel pamoat lebih
efektif dibandingkan mebendazol saja.35
Pasien juga didiagnosis dengan gizi kurang berdasarkan pemeriksaan
antropometri menurut kurva CDC-NCHS 2000. Hal ini dapat disebabkan oleh
defisiensi besi kronis yang telah terjadi pada pasien akibat infeksi cacing dan
asupan besi yang juga tidak adekuat, sedangkan pasien berada dalam masa
pertumbuhan yang membutuhkan ketersediaaan besi lebih banyak. Defisiensi besi
dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang anak serta berbagai
penyimpangan perilaku (penurunan kemampuan motorik, integrasi sosial, serta
kemampuan untuk berkonsentrasi).26
Emin P, dkk mendapatkan nilai Denver II Developmental Screening Test
(DDST-II) yang abnormal pada 67,3% anak dengan anemia defisiensi besi. Nilai
yang abnormal adalah apabila anak memiliki satu atau lebih ‘delays’ atau lebih
dari dua ‘caution’.36 (level of evidence 3b). Pasien memiliki nilai Denver yang
normal.
Prognosis tumbuh kembang pasien ini secara umum adalah baik bila
defisiensi besi dapat ditatalaksana dengan baik, pemberian terapi preparat besi
diteruskan sampai cadangan besi tercukupi dan kemudian diberikan suplementasi

35
besi untuk memenuhi kebutuhan besi dan mencegah terjadinya defisiensi besi
kembali. Oleh karena penyebab defisiensi besi pada pasien ini adalah infeksi
parasit, diperlukan pencegahan agar infeksi tersebut tidak terulang kembali yaitu
dengan memberikan edukasi untuk meningkatkan kebersihan diri dan lingkungan
tempat tinggal pasien serta mengubah kebiasaan anak yang suka bermain di tanah
dan tanpa alas kaki.
Permasalahan lain pada pasien ini adalah tidak pernah mendapat imunisasi
dasar. Sesuai dengan rekomendasi IDAI tahun 2011 tentang imunisasi, dapat
dilakukan catch up imunisasi pada pasien ini yaitu dengan memberikan imunisasi
sesuai dengan yang direkomendasikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lukens JN. Iron metabolism and iron deficiency. Dalam: Miller DR, Baehner
RI, Miller LP, penyunting. Blood disease of infancy and childhood. Edisi ke-7.
St Louis: Mosby;1995.hal 1193-219.
2. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke-5.
New York: Churchill;2011.hal 38-57.
3. World Health Organization. Iron deficiency anemia: Assessment, Prevention
and Control A guide for programme managers. 2001. Diakses dari
www.who.int/nutrition/publications/en/ida_assessment_prevention_control.pd
f pada tanggal 10 September 2013.
4. Wintrobe MM dkk. Clinical Hematology. Edisi ke-8. Washington: Lea &
Febiger, 1981. hal 617-41
5. Hanafi S, Unsal O, Mustafa B, Pukrii A, Soner S. Iron deficiency and iron
deficiency anemia in infant and young children at different socioeconomic
groups in Istanbul Blood 2001; 18:19-25
6. Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Permono
HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting. Buku

36
Ajar Hematologi Onkologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2005. hal.30-43
7. Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R, Siswono. Anemia
gizi besi. Dalam: Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R,
Siswono, penyusun. Gizi dalam angka sampai dengan tahun 2003. Jakarta:
DEPKES, 2005. hal 41-4
8. SKRT Susenas, Balitbangkes, 2007.
9. Dallman PR. Nutritional anemia. Dalam: Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph
CD, penyunting. Rudolph pediatrics. Edisi ke-20. Connecticut: Appleton &
Lange; 1996.hal 1176-80.
10. Dallman PR. Iron deficiency and related nutritional anemias. Dalam: Oski FA,
Nathan GD, penyunting. Hematology of infancy and childhood. Edisi kelima.
Philadelphia: Saunders.1998.hal 413-46.
11. Weatheral DJ, Kwiatkowski D. Hematologic disorders of children in
developing countries. Pediatr Clin N Am 2002;49:1149-64.
12. Lozoff B, Jimenez E, Hagen J, et al. Poor behavioral and developmental
outcome more than 10 years after treatment for iron deficiency in infancy.
Pediatrics 2000;105(4):1-11.
13. Eric K, Michel L, Isabelle A, Marie C. Iron deficiency in children with
attention deficit/ hyperactivity disorder. Arch Pediatr Adolesc
Med.2004;158:1113-5.
14. Chen, M, Tung P, Ying S, et al. Association between psychiatric disorders and
iron deficiency anemia among children and adolescent: a nationwide
population-based study. BMC Psychiatry.2013;13:161
15. Schwartz E. Iron deficiency anemia. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia: Saunders; 2004.hal 1614-6.
16. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Suplementasi besi untuk anak. Balai penerbit
IDAI, 2011.
17. Herbert V. Anemias. Dalam: Paige DM, penyunting. Clinical nutrition. Edisi
kedua. Toronto: Mosby,1988.hal 593-607.
18. Susilowati H, Suwarti S, Ernawati F, et al. Faktor-faktor yang memperngaruhi
kejadian anemia pada bayi usia 2,3 dan 4 bulan. Bogor: Puslitbang Gizi dan
Makanan Balitbang Kesehatan Depkes; 2005.
19. Helen Keller International (Indonesia). Iron deficiency anemia in Indonesia.
Report of the policy workshop on iron deficiency anemia in Indonesia.
Jakarta: 1997,hal 1-16.
20. Elaine C et all. Diagnosis and Management of Iron Deficiency Anaemia in
Children – A Clinical Update. Proceedings of Singapore Healthcare. Vol 21.
Number 4. 2012
21. Wu AC, Lesperance L, Bernstein H. Screening for Iron Deficiency. Peds in
Rev 2002;23(5): 171-7.
22. Maine Medical Center. Iron rich diet. Diakses dari
www.mmc.org/workfiles/mmc_digestiveIronRichDiet.pdf pada tanggal 18
Juni 2013
23. American Academy of Family Physicians. Summary of Policy
Recommendations for Periodic Health Examinations. Diakses dari
http://www.aafp.org/exam pada Juli 2013.

37
24. Kazal LA. Prevention of Iron Deficiency in Infants and Toddlers. Am Fam
Physician 2002;66(7):1217-24.
25. Lena H. Iron deficiency and cognition. Scandinavian Journal of Nutrition
2003; 47(3): 152-6.
26. Lily I. Gangguan kognitif pada anemia defisiensi besi. Sari pediatri
2002;4(3):114-8.
27. Kenneth R, Howard A. Anemias and other red cell disorders. The Mc Graw-
Hill companies; 2008.hal 99-114.
28. Avhad SB, Hiware CJ, Bhattacharya M. The study correlation of hookworm
infection and mean corpuscular haemoglobin concentration in rural pre school
children population of Aurangabad (MS) India. International Journal of
Research in Biosciences 2013; 2:66-72.
29. Ankilostomiasis (Infeksi Cacing Tambang). Dalam: Sumarmo, SPS, Herry G,
Sri RSH, Hindra IS, penyunting. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012. hal.380-4.
30. Jane T, Beverly AB, Sant RP. Effect of daily iron supplementation in 2 to 5
years old children: Systemic review and Meta analysis.Pediatrics 2013; 131
(4):739-53.
31. Zlotkin S, Arthur P, Antwi KY, Yeung G. Randomized controlled trial of single
versus 3 times daily ferrous sulfate drops for treatment of anemia. Pediatrics
2001;108:613-6.
32. Widiaskara IM, Pramitha PT, Bikin S, Ugrasena IDG. Gambaran hematologi
anemia defisiensi besi pada anak. Sari pediatri 2012;3(5):362-6.
33. Soemantri AG, Pollit E, Kim I. Iron deficiency anemia and educational
achievement. The American Journal of Clinical Nutrition 1985;42:1221-8.
34. Tiangsa S, Evi K, Ernalisna, Syahril P, Chairuddin PL. Albendazole versus
combined pyrantel pamoat-mebendazole in the treatment of mixed infection of
soil-transmitted helminthiasis. Paediatrica Indonesiana 2002;42(11-12):268-
72.
35. Fereza A, Muhammad A, Syahril P. Mebendazole vs mebendazole-pyrantel
pamoat for soil-transmitted helminthiasis infection in children. Paediatrica
Indonesiana 2013;53(4):209-13.
36. Emin P, Muferet E, Sirin G, Makbule E, Tulin B. Psychomotor development in
children with iron deficiency and iron deficiency anemia. Food and Nutrition
Bulletin 2010;31(3):431-5

38
`PEDIATRIC NUTRITIONAL CARE

1. Identitas
Nama : Darmansyah
Umur : 5 tahun 2 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
No.MR : 82 85 42
Alamat : Lintau Buo
Tgl Masuk : 15 Mei 2013
Diagnosis : Anemia defisiensi besi
Masalah : Gizi kurang
2. Assessment :
BB : 11 kg
TB : 93 cm
BB Ideal :14 kg
HA : 2 tahun 9 bulan
CDC BB/U : 57,89 %

39
TB/U : 84,54 %
BB/TB : 78,57 %
Kesan : Gizi kurang
3. Requirement
RDA : 102 kkal/kgbb/hari
RDA absolut : BB x RDA = 11 kg x 102 kkal = 1122 kkal
RDA ideal : BB ideal x RDA = 14 kg x 102 kkal/kgBB/hari
= 1420 kkal
BMR : 19.6 x BB + 130.3 x TB + 414.9
: 19.6 x 11 + 130.3 x 0.93 + 414.9 = 215.6 + 121.1 + 414.9
= 751.6 kkal
Faktor stres : 1,3
BEE : BMR x Faktor stres = 751.6 kkal x 1,3 = 977 kkal

4. Kebutuhan cairan : 85 cc/kgbb/hari = 85 x 11 kg = 935 cc/hari


5. Type of Food : Makanan biasa
6. Route : oral
7. Sekarang mendapatkan: Makanan biasa 1100 kkal
 Memenuhi 112.5% dari BEE
 Memenuhi 77.46 dari RDA ideal.

Rencana: intake makanan lunak dapat ditingkatkan sampai mencapai RDA ideal

40
41
Darmansyah

42

Anda mungkin juga menyukai