Sudjojono
Sinopsis
Sindudarsono Sudjojono atau yang lebih kenal sebagai Pak Djon dilahirkan di Kisaran,
Tebing Tinggi, Sumatra Utara 14 Desember 1913. lahir dari keluarga transmigran asal Pulau
Jawa, Pak Sindu Darmo dan Istrinya yang merupakan buruh perkebunan di Kisaran.
Sudjojono bersekolah di HIS Boedi Oetomo di Tebing Tinggi. Karena kecerdasannya ia di
angkat menjadi anak oleh gurunya yaitu Pak Yudhakusuma.
Yudhokusumo, kemudian membawanya ke Jakarta tahun 1925 saat itu ia sdang duduk di
kelas VI.
Lukisannya punya ciri khas kasar, tidak naturalistik, goresan dan sapuan bagai dituang begitu
saja ke kanvas. Dalam lukisan-lukisannya yang Nampak bukanlah alam yang disajikan
dengan halus cermat, kecermatan tidaklah dijadikan tujuan, melainkan sebagai bakal untuk
mengekspresikan kebenaran yang lebih tinggi. Objek lukisannya lebih menonjol pada
pemandangan alam, sosok manusia, serta suasana. Pemilihan objek itu lebih didasari
hubungan batin, cinta, dan simpati sehingga tampak bersahaja. Lukisannya yang monumental
antara lain berjudul: Di Depan Kelambu Terbuka, Cap Go Meh, Pengungsi Seko, dan Saya
Bukan Anjing yang merupakan salah satu lukisannya yang terkuat.
Sudjojono juga aktif dalam organisasi, Ketika Jepang datang dan memasuki kegiatan
kesenian di Indonesia Sudjojono diminta duduk membantu Bung Karno dalam organisasi
POETERA. Setelah keluar dari POETERA, ia masuk Keimin Bunka Shidosho, ia mendapat
tugas untuk memimpin bagian seni lukis. Setelah Republik Indonesia Di proklamasikan
Sudjojono bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) bersama kawan-kawan
seniman ia membentuk bagian kesenian yang aktif mengadakan kegiatan penerangan kepada
rakyat tentang cita-cita nasional, dan tentang proklamasi kemerdekaan. Ketika pemerintahan
RI hijrah ke Yogyakarta, sudjono pun meninggalakan Jakarta. Ia mula-mula bergabung
dengan Front Krawang Cikampek, lalu pergi ke Madiun membentuk Seniman Indonesia
Muda bersama Trisno Sumardjo, Kusbini, dll. Mereka menerbitkan sebuah majalah yang
berjudul seniman, yang banyak memuat karangan tentang kesenian.Sudjojono juga pernah
menerbitkan sebuah buku berjudul seni, seniman, dan senilukis (1946).
Setelah selesai perang kemerdekaan Sudjojono menyatakan bahwa seni lukis Indonesia itu
haruslah merupakan seni lukis dengan gaya realisme. Sudjojono yang semula bukanlah
seorang pelukis dengan gaya realisme namun ekspresionisme. Perubahan pandangan ini
menuai kontroversi di kalangan seniman. Para pengeritiknya berpendapat bahwa Sudjojono
menggabungkan pandangan politik dengan pandangan seni. Hal ini semakin di sokong oleh
sudjojono setelah ia secara terang-terangan menjelang pemilihan umum yang yang pertama
awal tahun 1950-an masuk kedalam Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mencalonkan diri
menjadi menjadi anggota DPR dan terpilih. Namun pada 1957, ia membelot. Salah satu
alasannya, bahwa buat dia eksistensi Tuhan itu positif, sedangkan PKI belum bisa
memberikan jawaban positif atas hal itu. Di samping ada alasan lain yang tidak
diungkapkannya yang juga diduga menjadi penyebab Sudjojono menceraikan istri
pertamanya, Mia Bustam. Lalu dia menikah lagi dengan
penyanyi Seriosa, Rose Pandanwangi. Dengan begitu berakhirlah peranan sujojono si
seniman sebagai orang politik, ia kembali menekuni kehidupan seni Nama isterinya ini lalu
diabadikannya dalam nama Sanggar Pandanwangi. Dari pernikahannya dia dianugerahi 14
anak.
Sudjojono merupakan seorang seniman yang ikut berperan serta secara fisik dalam
perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Bukan saja dengan memanfaatkan bakat dan
kepandaiannya dalam bidang seni. Tetapi juga membantu para tentara sebagai penghubung.
Dia pionir yang mengembangkan seni lukis modern khas Indonesia, dan, dijuluki Bapak Seni
Lukis Indonesia Baru
Dia salah seorang pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) di Jakarta
tahun 1937 yang merupakan awal sejarah seni rupa modern di Indonesia.
Buka yang ia tebitkan ( seni, seniman, dan senilukis) merupakan buku yang penting
artinya dalam perkembangan kesenian Indonesia.