Latar Belakang
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional
serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta
didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan
penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Kurikulum 2013 mulai disosialisasikan dan dilaksanakan oleh pemerintah mulai 2013
sebagai pengganti Kurikulum 2006. Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia
Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman,
produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara dan peradaban dunia.
Kondisi ideal yang diharapkan tercapai adalah terpenuhinya 8 (delapan) Standar Nasional
Pendidikan (SNP), sehingga penyelenggaraan pendidikan yang bermutu dan hasil pendidikan yang
bermutu pula dapat tercapai. Secara rinci 8 standar nasional pendidikan (SPN) adalah sebagai
berikut:
Karakteristik KTSP bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dan satuan pendidikan dapat
mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme
tenaga kependidikan, serta sistim penilaian. Berdasarkan uraian di atas, dalam bukunya
Mulyasa[6]. (2006: 29-32) dapat dikemukakan beberapa karakteristik KTSP yaitu sebagai berikut:
KTSP memberikan otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan, disertai seperangkat
tanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kondisi setempat. Sekolah dan
satuan pendidikan juga diberi kewenangan dan kekuasaan yang luas untuk mengembangkan
pembelajaran sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik serta tuntutan masyarakat. Selain
itu, sekolah dan satuan pendidikan juga diberikan kewenangan untuk menggali dan mengelola
sumber dana sesuai dengan prioritas kebutuhan.
Dalam KTSP, pelaksanaan kurikulum didukung oleh partisipasi masyarakat dan orang tua peserta
didik yang tinggi. Orang tua peserta didik dan masyarakat tidak hanya mendukung sekolah melalui
bantuan keuangan, tetapi melalui komite sekolah dan dewan pendidikan merumuskan serta
mengembangkan program-program yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.
Dalam KTSP, pengembangan dan pelaksanaan kurikulum didukung oleh adanya kepemimpinan
sekolah yang demokratis dan profesional. Kepala sekolah dan guru-guru sebagai tenaga pelaksana
kurikulum merupakan orang-orang yang memiliki kemampuan dan integritas profesional. Dalam
proses pengambilan keputusan, kepala sekolah mengimplementasikan proses “bottom-up” secara
demokratis, sehingga semua pihak memiliki tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil
beserta pelaksanaannya.
Dalam KTSP, keberhasilan pengembangan kurikulum dan pembelajaran didukung oleh kinerja
team yang kompak dan transparan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan. Dalam
dewan pendidikan dan komite sekolah misalnya, pihak-pihak yang terlibat bekerja sama secara
harmonis sesuai dengan posisinya masing-masing untuk mewujudkan suatu sekolah yang dapat
dibanggakan oleh semua pihak. Dalam pelaksanaan pembelajaran misalnya pihak-pihak terkait
bekerjasama secara profesional untuk mencapai tujuan atau target yang telah disepakati bersama.
Dengan demikian, keberhasilan KTSP merupakan hasil sinergi (sinergistic effect) dari kolaborasi
team yang kompak dan transparan.
C. Landasan
1. Landasan filosofis
Pendidikan adalah salah satu wujud kebudayaan manusia yang selalu tumbuh dan
berkembang, tetapi ada kalanya mengalami penurunan kualitas sehingga hancur perlahan-lahan
seiring dengan perkembangan zaman. Kurikulum SMK disusun untuk mengemban misi agar dapat
turut mendukung perkembangan kebudayaan pada arah yang positif. Karena itu, kurikulum SMK
harus memperhatikan beberapa hal mendasar sebagai berikut.
1) Pendidikan harus menanamkan tata nilai yang kuat dan jelas sebagai landasan
pembentukan watak dan perkembangan kehidupan manusia.
2) Pendidikan harus memberikan sesuatu yang bermakna, baik yang ideal maupun
pragmatis, sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
3) Pendidikan harus memberikan arah yang terencana bagi kepentingan bersama peserta
didik, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pendidikan menjadi bermakna apabila secara pragmatis dapat mendidik manusia dapat hidup
sesuai dengan zamannya. Pendidikan harus dilihat sebagai wahana untuk membekali peserta didik
dengan berbagai kemampuan guna menjalani dan mengatasi masalah kehidupan pada hari esok
maupun masa depan yang selalu berubah.
Pendidikan kejuruan perlu mengajar dan melatih peserta didik untuk menguasai kompetensi
dan kemampuan lain yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan sebagai modal untuk
pengembangan dirinya di kemudian hari.
Secara filosofis, penyusunan kurikulum SMK perlu mempertimbangkan perkembangan
psikologis peserta didik dan perkembangan/kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat.
2. Landasan Pedagogis
Pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan yang menyiapkan peserta didik menjadi
manusia produktif yang dapat langsung bekerja di bidangnya setelah melalui pendidikan dan
pelatihan berbasis kompetensi. Dengan demikian, pembukaan program diklat di SMK harus
responsif terhadap perubahan pasar kerja. Penyiapan manusia untuk bekerja bukan berarti
menganggap manusia semata-mata sebagai faktor produksi karena pembangunan ekonomi
memerlukan kesadaran sebagai warganegara yang baik dan bertanggung jawab, sekaligus sebagai
warganegara yang produktif.
Pendidikan menengah kejuruan harus dijalankan atas dasar prinsip investasi SDM (human
capital investment). Semakin tinggi kualitas pendidikan dan pelatihan yang diperoleh seseorang,
akan semakin produktif orang tersebut. Akibatnya selain meningkatkan produktivitas nasional,
meningkatkan pula daya saing tenaga kerja di pasar kerja global. Untuk mampu bersaing di pasar
global, sekolah menengah kejuruan harus mengadopsi nilai-nilai yang diterapkan dalam
melaksanakan pekerjaan, yaitu disiplin, taat azas, efektif, dan efisien.
3. Landasan Yuridis
1) Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional
2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
3) Permendikbud No. 54 Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan
4) Permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses
5) Permendikbud No. 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian
6) Permendikbud No. 71 Tahun 2013 tentang Buku Teks dan Buku Panduan Guru
7) Permendikbud No. 60 Tahun 2014 tentang Struktur Kurikulum SMK
8) Permendikbud No. 61 Tahun 2014 tentang Pengembangan KTSP K 13
9) Permendikbud No. 62 Tahun 2014 tentang kegiatan Ekstrakurikuler
10) Permendikbud No. 63 Tahun 2014 tentang Kepramukaan
11) Permendikbud No. 64 Tahun 2014 tentang peminatan SMA dan SMK
12) Permendikbud No. 103 Tahun 2014 tentang Proses Pembelajaran
13) Permendikbud No. 104 Tahun 2014 tentang Penilaian Hasil Belajar
4. Landasan sosiologis
Dilihat dari substansinya faktor sosiologis sebagai landasan dalam mengembangkan kurikulum
dpat dikaji dari dua sisi yaitu dari sisi kebudayaan dan kuriklulum serta dari unsur masyarakat dan
kurikulum.
a. Kebudayaan dan Kurikulum
Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan
pertimbangan:
1) Individu lahir tidak berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan,
keterampilan, dan lain sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi
dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan tentu saja sekolah / lembaga
pendidikan. Oleh karena itu sekolah /lembaga pendidikan mempunyai tugas khusus untuk
memberikan pengalaman kepada para peserta didik dengan salah satu alat yang disebut
kurikulum.
2) Kurikulum dalam setiap masyarakat pada dasarnya merupakan refleksi dari cara orang
berpikir, berasa, bercita- cita, atau kebiasaan-kebiasaan. Karena itu dalam
mengembangkan suatu kurikulum perlu memahami kebudayaan. Kebudayaan adalah pola
kelakuan yang secara umum terdapat dalam satu masyarakat yang meliputi keseluruhan
ide, cita-cita, pengetahuan, kepercayaan, cara berpikir, kesenian, dan lain sebagainya.
3) Seluruh nilai yang telah disepakati masyarakat dapat pula disebut kebudayaan. Oleh karena
itu kebudayaan dapat dikatakan sebagai suatu konsep yang memiliki kompleksitas tinggi.
Kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia yang diwujudkan dalam tiga
gejala, yaitu:
a) Ide, konsep, gagasan, nilai, norma, peraturan dan lain- lain. Wujud kebudayaan ini
bersifat abstrak dan adanya dalam alam pikiran manusia dan warga masyarakat di
tempat kebudayaan itu berada.
b) Kegiatan, yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan ini
disebut sistem sosial. Dalam sistem sosial, aktivitas manusia sifatnya konkrit, bisa
dilihat dan diobservasi. Tindakan berpola manusia tentu didasarkan oleh wujud
kebudayaan yang pertama. Artinya sistem sosial dalam bentuk aktivitas manusia
merupakan refleksi dari ide, konsep, gagasan, nilai dan norma yang telah dimilikinya.
c) Benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan yang ketiga ini ialah seluruh fisik
perbuatan atau hasil karya manusia di masyarakat. Oleh karena itu wujud kebudayaan
yang ketiga ini adalah produk dari wujud kebudayaan yang pertama dan kedua.
Secara umum pendidikan dan khususnya persekolahan pada dasarnya bermaksud mendidik
anggota masyarakat agar dapat hidup berintegrasi dengan anggota masyarakat yang lain. Hal ini
membawa implikasi bahwa kurikulum sebagai salah satu alat mencapai tujuan pendidikan
bermuatan kebudayaan yang bersifat umum pula, seperti: nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan,
kecakapan dan kegiatan yang bersifat umum yang sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat.
Selain pendidikan yang bermuatan kebudayaan yang bersifat umum di atas, terdapat pula
pendidikan yang bermuatan kebudayaan khusus, yaitu untuk aspek-aspek kehidupan tertentu dan
berkenaan dengan kelompok yang sifatnya vokasional. Keadaan seperti itu menuntut kurikulum
yang bersifat khusus pula. Misalnya untuk pendidikan vokasional, biasanya berkenaan dengan
latar belakang pendidikan, status ekonomi, dan cita-cita tertentu, sehingga mempunyai batas waktu
dan daerah ajar tertentu pula.
b. Masyarakat dan Kurikulum
Masyarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri kedalam
kelompok-kelompok berbeda. Kebudayaan hendaknya dibedakan dengan istilah masyarakat yang
mempunyai arti suatu kelompok individu yang terorganisir yang berpikir tentang dirinya sebagai
suatu yang berbeda dengan kelompok atau masyarakat lainnya.
Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri, dengan demikian yang membedakan
masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya adalah kebudayaan. Hal ini mempunyai
implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan pemikiran seseorang, reaksi terhadap perangsang
sangat tergantung kepada kebudayaan dimana ia dibesarkan. Menurut Daud Yusuf (1982) bahwa
sumber nilai yang ada dalam masyarakat untuk dikembangkan melalui proses pendidikan ada tiga
yaitu: logika, estetika, dan etika. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah nilai-nilai yang
bersumber pada logika (pikiran)
Sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada hakikatnya adalah
hasil kebudayaan manusia, maka kehidupan manusia semakin luas, semakin meningkat sehingga
tuntutan hidup pun semakin tinggi. Pendidikan harus mengantisipasi tuntutan hidup ini sehingga
dapat mempersiapkan anak didik untuk hidup wajar sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat.
Dalam konteks inilah kurikulum sebagai program pendidikan harus dapat menjawab
tantangan dan tuntutan masyarakat. Untuk dapat menjawab tutntutan tersebut bukan hanya
pemenuhan dari segi isi kurikulumnya saja, melainkan juga dari segi pendekatan dan strategi
pelaksanaannya.
Oleh karena itu guru, para pembina dan pelaksana kurikulum dituntut lebih peka
mengantisipasi perkembangan masyarakat, agar apa yang diberikan kepada siswa relevan dan
berguna bagi kehidupan siswa di masyarakat.
Teori, prinsip, hukum, yang terdapat dalam semua ilmu pengetahuan yang ada dalam
kurikulum, penerapannya harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya di masyarakat setempat,
sehingga hasil belajar yang dicapai oleh siswa lebih bermakna dalam hidupnya.
Pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat. Tyler (1946), Taba (1963) Tanner dan Tanner (1984) menyatakan tuntutan
masyarakat adalah salah satu dasar dalam pengembangan kurikulum.Calhoun, Light, dan Keller
(1997) memaparkan tujuh fungsi sosial pendidikan, yaitu: 1) Mengajar keterampilan, 2)
Mentrasmisikan budaya, 3) Mendorong adaptasi lingkungan, 4)Membentuk kedisiplinan, 5)
Mendorong bekerja berkelompok, 6) Meningkatkan perilaku etik, dan 7)Memilih bakat dan
memberi penghargaan prestasi (Dikutip dari buku landasan pengembangan kurikulum oleh Drs.
Dadang Sukirman, M.Pd.)
5. Landasan Teoritis
Landasan teoritik memberikan dasar-dasar teoritik pengembangan kurikulum sebagai
dokumen dan proses. Kurikulum 2013 dikembangkan atas dasar teori “pendidikan berdasarkan
standar” (standard-based education), dan teori kurikulum berbasis kompetensi.
Pendidikan berdasarkan standar adalah pendidikan yang menetapkan standar nasional sebagai
kualitas minimal warganegara untuk suatu jenjang pendidikan. Standar bukan kurikulum dan
kurikulum dikembangkan agar peserta didik mampu mencapai kualitas standar nasional atau di
atasnya. Standar kualitas nasional dinyatakan sebagai Standar Kompetensi Lulusan. Standar
Kompetensi Lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan (PP nomor 19 tahun 2005).
Standar Kompetensi Lulusan dikembangkan menjadi Standar Kompetensi Lulusan Satuan
Pendidikan yaitu SKL SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA, SMK/MAK.
Kompetensi adalah kemampuan sesorang untuk bersikap, menggunakan pengetahuan dan
ketrampilan untuk melaksanakan suatu tugas di sekolah, masyarakat, dan lingkungan dimana yang
bersangkutan berinteraksi. Kurikulum berbasis kompetensi dirancang untuk memberikan
pengalaman belajar seluas-luasnya bagi peserta didik untuk mengembangkan sikap, ketrampilan
dan pengetahuan yang diperlukan untuk membangun kemampuan yang dirumuskan dalam SKL.
Hasil dari pengalaman belajar tersebut adalah hasil belajar peserta didik yang menggambarkan
manusia dengan kualitas yang dinyatakan dalam SKL.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU nomor 20 tahun 2003; PP nomor 19 tahun 2005)
untuk satu satuan atau jenjang pendidikan. Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang
dirancang baik dalam bentuk dokumen, proses, dan penilaian didasarkan pada pencapaian tujuan,
konten dan bahan pelajaran serta penyelenggaraan pembelajaran yang didasarkan pada Standar
Kompetensi Lulusan
BAB II
SMA/MA/SMK/MAK/SMALB/Paket C
Dimensi Kualifikasi Kemampuan
Sikap Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman,
berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab
dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan
alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa
dalam pergaulan dunia.
Pengetahuan Memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan
metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan
budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan,
dan peradaban terkait penyebab serta dampak fenomena dan
kejadian.
Keterampilan Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif
dalam ranah abstrak dan konkret sebagai pengembangan dari
yang dipelajari di sekolah secara mandiri.
2. Kompetensi Inti
Sejalan dengan filosofi progresivisme dalam pendidikan, Kompetensi Inti ibaratnya adalah
anak tangga yang harus ditapak peserta didik untuk sampai pada kompetensi lulusan jenjang
SMK/MAK. Kompetensi Inti meningkat seiring dengan meningkatnya usia peserta didik yang
dinyatakan dengan meningkatnya kelas. Melalui Kompetensi Inti, integrasi vertikal berbagai
kompetensi dasar pada kelas yang berbeda dapat dijaga. Sebagai anak tangga menuju ke
kompetensi lulusan multidimensi, Kompetensi Inti juga memiliki multidimensi. Untuk kemudahan
operasionalnya, kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua. Pertama, sikap
spiritual yang terkait dengan tujuan pendidikan nasional membentuk peserta didik yang beriman,
bertakwa, dan berakhlak mulia. Kedua, sikap sosial yang terkait dengan tujuan pendidikan nasional
membentuk peserta didik yang mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Kompetensi Inti bukan untuk diajarkan melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran
berbagai kompetensi dasar dari sejumlah mata pelajaran yang relevan. Dalam hal ini mata
pelajaran diposisikan sebagai sumber kompetensi. Apapun yang diajarkan pada mata pelajaran
tertentu pada suatu jenjang kelas tertentu hasil akhirnya adalah Kompetensi Inti yang harus
dimiliki oleh peserta didik pada jenjang kelas tersebut. Tiap mata pelajaran harus tunduk pada
Kompetensi Inti yang telah dirumuskan. Dengan kata lain, semua mata pelajaran yang diajarkan
dan dipelajari pada kelas tersebut harus berkontribusi terhadap pembentukan Kompetensi Inti.
Kompetensi Inti akan menagih kepada tiap mata pelajaran apa yang dapat dikontribusikannya
dalam membentuk kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh peserta didik. Ibaratnya, Kompetensi
Inti adalah pengikat berbagai kompetensi dasar yang harus dihasilkan dengan mempelajari tiap
mata pelajaran serta berfungsi sebagai integrator horizontal antar mata pelajaran. Dengan
pengertian ini, Kompetensi Inti bebas dari mata pelajaran karena tidak mewakili mata pelajaran
tertentu. Kompetensi Inti menyatakan kebutuhan kompetensi peserta didik, sedangkan mata
pelajaran adalah pasokan kompetensi. Dengan demikian, Kompetensi Inti berfungsi sebagai unsur
pengorganisasi (organising element) kompetensi dasar. Sebagai unsur pengorganisasi, Kompetensi
Inti merupakan pengikat untuk organisasi vertikal dan organisasi horizontal kompetensi dasar.
Organisasi vertikal kompetensi dasar adalah keterkaitan kompetensi dasar satu kelas dengan kelas
di atasnya sehingga memenuhi prinsip belajar yaitu terjadi suatu akumulasi yang
berkesinambungan antar kompetensi yang dipelajari siswa SMK/MAK. Organisasi horizontal
adalah keterkaitan antara kompetensi dasar satu mata pelajaran dengan kompetensi dasar dari mata
pelajaran yang berbeda dalam satu kelas yang sama sehingga terjadi proses saling memperkuat.
Urutan tersebut mengacu pada urutan yang disebutkan dalam Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa kompetensi terdiri dari kompetensi
sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Uraian tentang Kompetensi Inti untuk jenjang Sekolah Menengah Kejuruan/ Madrasah Aliyah
Kejuruan dapat dilihat pada Tabel berikut.
3. Kompetensi Dasar
Dalam mendukung Kompetensi Inti, capaian pembelajaran mata pelajaran diuraikan menjadi
kompetensi-kompetensi dasar. Pencapaian Kompetensi Inti adalah melalui pembelajaran
kompetensi dasar yang disampaikan melalui mata pelajaran. Rumusannya dikembangkan dengan
memperhatikan karakteristik peserta didik, kemampuan awal, serta ciri dari suatu mata pelajaran.
Sebagai pendukung pencapaian Kompetensi Inti, kompetensi dasar dikelompokkan menjadi empat
sesuai dengan rumusan Kompetensi Inti yang didukungnya, yaitu:
1. kelompok 1: kelompok kompetensi dasar sikap spiritual dalam rangka menjabarkan KI-1;
2. kelompok 2: kelompok kompetensi dasar sikap sosial dalam rangka menjabarkan KI-2;
3. kelompok 3: kelompok kompetensi dasar pengetahuan dalam rangka menjabarkan KI-3;
dan
4. kelompok 4: kelompok kompetensi dasar keterampilan dalam rangka menjabarkan KI-4.
Uraian kompetensi dasar yang rinci ini adalah untuk memastikan bahwa capaian
pembelajaran tidak berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke keterampilan,
dan bermuara pada sikap. Melalui Kompetensi Inti, tiap mata pelajaran ditekankan bukan hanya
memuat kandungan pengetahuan saja, tetapi juga memuat kandungan proses yang berguna bagi
pembentukan keterampilannya. Selain itu juga memuat pesan tentang pentingnya memahami mata
pelajaran tersebut sebagai bagian dari pembentukan sikap. Hal ini penting mengingat kompetensi
pengetahuan sifatnya dinamis karena pengetahuan masih selalu berkembang.
Kompetensi dasar dalam kelompok Kompetensi Inti sikap (KI-1 dan KI-2) bukan untuk
peserta didik karena kompetensi ini tidak diajarkan, tidak dihafalkan, dan tidak diujikan, tetapi
sebagai pegangan bagi pendidik bahwa dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut ada pesan-
pesan spritual dan sosial sangat penting yang terkandung dalam materinya untuk ditanamkan pada
diri peserta didik. Dengan kata lain, kompetensi dasar yang berkenaan dengan sikap spiritual
(mendukung KI-1) dan individual-sosial (mendukung KI-2) dikembangkan secara tidak langsung
(indirect teaching) yaitu pada waktu peserta didik belajar tentang pengetahuan (mendukung KI-3)
dan keterampilan (mendukung KI-4).