Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“TEMA : PAJAK SARANG BURUNG WALET”


DESENTRALISASI FISKAL
WIDYAKANTI S.Sos., M.A.P

DISUSUN OLEH :
AULIYA PRATAMA PUTRI NIM. 1710411620004
CHAMIDATUL KUMAIROH MOCHTAR NIM. 1710411620006
ELLYA SAFITRI NIM. 1710411620009
ELMA SELINA NIM. 1710411620010
ETRINASARI NIM. 1710411620011
FEBRI ARIAINI NIM. 1710411620012
SONY APRILLA SUASNIKA NIM. 1710411610044
MANDIRI II (REGULER. B)

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam bidang perpajakan, untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah
pemerintah pusat telah memberikan bagian penerimaan yang berasal dari pajak
pusat untuk kegiatan pembiayaan dan pembangunan bagi pemerintah daerah.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, maka terjadi perubahan paradigma pemerintahan dalam
system penyelenggaraan dari sentralisasi ke desentralisasi. Sebagai konsekuensi
dari perubahan tersebut maka pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Pertumbuhan ekonomi yang penting dari suatu daerah adalah pajak. Pajak
daerah menurut UU No. 28 Tahun 2009 adalah kontribusi wajib kepada Daerah
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
oleh karena itu pemerintah daerah di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu
pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota, yang diberi kewenangan
untuk melaksanakan otonomi daerah. Namun tidak semuanya urusan pemerintah
dilaksanakan oleh pemerintah pusat, daerah sudah diberikan kewenangan untuk
mengurus sendiri rumah tangganya masing-masing. Penerimaan pajak yang
bersumber dari pendapatan daerah sendiri perlu ditingkatkan sebagai upaya untuk
mendukung perkembangan otonomi daerah dari semua sumber pembiayaan
daerah. Salah satu pajak daerah yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 yaitu pajak sarang burung wallet dan pajak bumi bangunan
perdesaan dan perkotaan, yang ditetapkan sebagai pajak Kabupaten/Kota.
Penetepan adanya pajak sarang burung wallet di dalam kategori pajak
daerah karena melihat potensi perkembangan sarang burung wallet ini di
berbagai daerah Indonesia sangat menggiurkan. Memang tidak semua daerah
yang memiliki potensi mempunyai sarang burung wallet, biasanya kebanyakan di
daerah pinggiran laut (pantai), seperti di dalam-dalam gua dan juga terlebih lagi
Indonesia terkenal sebagai negara kepulauan atau negara maritim. Indonesia juga
merupakan negara terbesar pengekspor sarang burung wallet di dunia sekitar
75%. Terlebih lagi banyak manfaat yang dapat diperoleh dari konsumsi sarang
wallet terutama untuk kesehatan, kecantikan dan makanan, maka dari itu harga
yang ditawarkan pada tahun 2000 dari penjualan sarang wallet ini bisa mencapai
15-30 juta per kilo. Daerah penghasil terbesar berada di Kalimantan 60%,
Sumatera 20%, Jawa 10%, lain-lain 10% apalagi sekarang marak berkembangnya
rumah-rumah wallet yang di dirikan para pengusaha/investor. Di sini peran
Pemerintah Daerah untuk memanfaatkan potensi yang ada dengan cara
mengenakan pajak sarang burung wallet ini berdasarkan peraturan yang berlaku.
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak daerah
contohnya seperti pembangunan jalan, jembatan, pembukaan lapangan kerja
baru, dan kepentingan pembangunan serta pemerintahan lainnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan beberapa masalah
yang penulis angkat sebagai berikut adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan pajak sarang burung wallet?
2. Bagaimana penerapan pajak sarang burung wallet?
3. Bagaimana studi kasus pajak sarang burung walet kota bitung?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Pengertian Pajak
Ada bermacam-macam batasan atau definisi tentang “pajak” yang
dikemukakan oleh para ahli. Menurut Soemahamidjaja dalam Waluyo
(2013:3) “Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut
oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya
produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan
umum”.
Menurut Soemitro dalam Waluyo (2013:3) “Pajak adalah iuran kepada
kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”, sedangkan
Menurut Resmi (2014:18) “Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.

2. Fungsi Pajak
Menurut Resmi (2014: 3) terdapat dua fungsi pajak yaitu :
a. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara).
Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah
satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik
rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan Negara,
pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas
Negara.
b. Fungsi Regularend (Pengatur).
Pajak mempunyai fungsi mengatur, artinya pajak sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang social
dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang
keuangan.

3. Jenis Pajak.
Menurut Resmi (2014:7), terdapat berbagai jenis pajak yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pengelompokan menurut golongan,
menurut sifat dan menurut lembaga pemungutnya. Menurut golongan pajak
dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
a. Pajak Langsung: pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh
Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang
lain atau pihak lain. Pajak harus menjadi beban Wajib Pajak yang
bersangkutan.
b. Pajak Tidak Langsung: pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung
terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa atau perbuatan yang
menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang atau
jasa.
Menurut Sifat Pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1) Pajak Subjektif: pajak yang pengenaannya memperhatikan keadaan
pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan
keadaan subjeknya.
2) Pajak Objektif: pajak yang pengenaannya memperhatikan objeknya
baik berupa benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang
mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa
memperhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) maupun
tempat tinggal.
Menurut Lembaga Pemungut Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1) Pajak Negara (Pajak Pusat): pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara pada
umumnya.
2) Pajak Daerah: pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah
tingkat I (pajak provinsi) maupun daerah tingkat II (pajak
kabupaten/kota) dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah
masing-masing.

4. Pengertian Pendapatan Asli Daerah


Menurut Undang-Undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pendapatan
Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh
Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pendapatan Asli Daerah bersumber dari:
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan; dan
d. Lain-lain PAD yang sah.

5. Pajak Pajak Sarang Burung Walet.


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, Pajak Sarang
Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/ atau pengusahaan
sarang burung. Burung walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia,
yaitu collocalia fuchliap harga, collocalia maxina, collocalia esculanta dan
collocalia linchi. Objek pajak sarang burung walet adalah pengambilan dan/
atau pengusahaan sarang burung walet. Yang tidak termasuk objek pajak
sarang burung walet adalah pengambilan sarang burung walet yang telah
dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan kegiatan
pengambilan sarang burung walet yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
Subjek pajak sarang burung walet adalah orang pribadi atau badan yang
melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet.
Dasar pengenaan pajak sarang burung walet adalah nilai jual sarang
burung walet. Nilai jual sarang burung walet dihitung berdasarkan pekalian
antara harga pasaran umum sarang burung walet yang berlaku di daerah yang
bersangkutan dengan volume sarang burung walet. Tarif pajak sarang burung
walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pajak Sarang Burung Walet


Pajak sarang burung walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan
dan/atau pengusahaan sarang burung walet (UU No. 28 Tahun 2009 pasal 1 ayat
35). Sedangkan burung walet adalah satwa yang termasuk marga collacilia, yaitu
collacalia fuchilap haga, collacalia maxina, collacalia escilanta, collacalia linchi.
Sarang burung wallet merupakan hasil produksi burung walet yang berfungsi
sebagai tempat untuk bersarang dan bertelur serta menetaskan anakan burung
walet. Habitat alami burung walet meliputi kawasan hutan negara, kawasan
konservasi dan gua alam dan atau di luar kawasan yang tidak dibebani hak milik
perorangan dan atau adat, selain itu diluar habitat alami meliputi bangunan,
rumah dan atau gedung yang merupakan pemilikan perorangan/badan.

1. Subjek, Objek, dan Wajib Pajak Sarang Burung Walet


Subjek pajak sarang burung walet adalah orang pribadi atau badan
yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung wallet.
Objek pajak sarang burung walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan
sarang burung walet tidak termasuk objek pajak burung walet adalah
pengambilan sarang burung walet yang telah dikenakan penerimaan negara
bukan pajak (PNPB) atau kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang
burung wallet lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Pengusaha
sarang burung walet yang dikenakan pajak yaitu yang melakukan kegiatan
pemanfaatan sarang burung walet yang berasal dari pengusahaan burung
walet yang dilakukan oleh pribadi atau badan
2. Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif Pajak
Dasar pengenaan pajak sarang burung walet adalah nilai jual sarang
burung walet. Nilai jual sarang burung wallet dihitung berdasarkan perkalian
antara harga pasaran umum sarang burung walet yang berlaku di daerah yang
bersangkutan dengan volume sarang burung walet. Tarif yang dikenakan
variatif, paling tinggi 10%. Ada juga daerah yang menerapkan tarif 5%
seperti Kota Banjarbaru dan Kabupaten Katingan selain itu tarif 7,5%
diterapkan di Kota Bengkulu, dan lain sebagainya.
3. Sistem Pemungutan
Sistem pemungutannya bersifat self assessment dengan tanggal jatuh
tempo pembayaran pajak yang terutang paling lama 30 hari kerja setelah saat
terutangnya pajak. Pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus dan lunas
dengan menggunakan SSPD di Kas Daerah melalui Bendaharawan Khusus
Penerima atau di tempat lain yang ditunjuk Walikota/Bupati dan dicatat pada
Buku Penerimaan. Apabila pembayaran pajak dilakukan di tempat lain yang
ditunjuk, hasil penerimaan pajak harus disetor ke Kas Daerah paling lama 1 x
24 (satu kali dua puluh empat) jam atau dalam waktu yang ditentukan oleh
Walikota/Bupati atau Pejabat.

B. Penerapan Pajak Sarang Burung Walet


Pajak sarang burung wallet ini memang tidak semua daerah berpotensi
dalam pemungutannya, akan tetapi kontribusi dari hasil penjualan sarang burung
wallet ini sangat menggiurkan yang mana dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah
Daerah dalam meningkatkan PAD.
Berbagai berita atau penelitian ada yang mengatakan realisasi penerimaan
pajak sarang burung wallet ini melebih dari target yang ditetapkan, seperti yang
terjadi di Kabupaten Bangka Barat pada tahun 2010 penerimaan pajak sarang
burung walet pada sebesar Rp499,7 juta atau melebihi dari target yang ditetapkan
sebesar Rp350 juta, hal ini juga terjadi di Kota Dumai sumbangan penerimaan
pajak sarang burung walet kepada pendapatan asli daerah (PAD) selama 2012
mencapai Rp253 juta atau lebih besar dari target sebesar Rp250 juta, begitu juga
dengan Kabupaten Cirebon pada tahun 2015 pajak sarang burung walet yang
mencapai 102% dari target Rp100 juta dan tersealisasi Rp102 juta. Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Pingkan Lapian, et.al (2016) di Kabupaten
Minahasa dapat dilihat dari tabel berikut:

Dapat dilihat dari table diatas pada tahun 2012-2014 realisasi penerimaan
pajak sarang burung wallet melebihi dari target yang ditetapkan. Akan tetapi,
tidak semua daerah mengalami hal tersebut banyak juga dari beberapa daerah
realisasi penerimaannya tidak melebihi target seperti di Kabupaten Kepulauan
Meranti dapat dilihat dari tabel berikut:

Hal yang sama juga dialami daerah Kabupaten Penajam Paser Utara,
Kalimantan Timur penerimaan pajak dari sarang burung wallet hanya 63% yang
terealisasi sebesar Rp 35 juta dari target yang ditetapkan sekitar Rp 55juta. Selain
itu Pemkot Banjarmasin menargetkan pendapatan daerah dari sector pajak
penerimaan sarang walet sebesar Rp 300 juta, yang ditarik dari 250 titik usaha
sarang wallet tetapi yang terealisasi hanya Rp 220 juta. Melihat dari realisasi
penerimaan pajak ini, pada umumnya kebanyakan factor tidak patuhnya WP
dalam melaksanakan sistem perpajakan yang ada, dengan berbagai alasan
penghindaran pajak seperti salah satunya mengeluh dengan tarif yang diberikan
pemerintah (terlalu tinggi) yang berbanding terbalik dengan harga jual hasil
produk yang cenderung menurun, serta ketidaktahuan bahwa usaha sarang
burung wallet ini dikenakan pajak, dan alasan lainnya.

C. Studi Kasus Pajak Sarang Burung Walet Kota Bitung


Pajak sarang burung walet juga merupakan salah satu bagian dalam pajak
daerah yang adalah sumber penerimaan dari pendapatan asli daerah. Pajak Sarang
Burung Walet yang sangat berpotensi kini telah menjadi perhatian dan sasaran
pemerintah dalam pemungutan pajak sarang burung walet. Namun sangat di
sayangkan, hingga akhir tahun 2014 ternyata penerapan pemungutan pajak
terhadap sarang burung walet belum terealisasi dengan cukup baik. Mengingat
daya jual yang terbilang cukup tinggi, penerapan pajak terhadap sarang burung
walet sangat berpotensi dapat membantu pertumbuhan pajak dan pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Kota Bitung menjadi salah satu kota perkembangan sarang
burung walet, yang merupakan menjadi salah satu penambah sumber
penerimaaan dari PAD ( pendapatan asli daerah). Pajak sarang burung walet telah
memberikan kontribusi kepada PAD kota Bitung, hal ini sangat membantu
peningkatan pajak daerahnya dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran atau belanja dari pemerintah kota Bitung. Bukan hanya itu, dengan
demikian pajak daerah dapat melaksanakan fungsinya, yaitu fungsi regulerend
menjadi alat untuk mengatur dan melaksanakan kebijakan pemerintah kota
Bitung dalam sosial dan ekonomi.
Realisasi penerimaan pajak dari sarang burung walet sudah sangat baik
memberikan kotribusi terhadap PAD di kota Bitung sendiri, hal ini pemerintahan
terus meneingkatkan pemungutan pajak tersebut agar berjalan dengan baik.
Pemerintah Kota Bitung juga melakukan beberapa langkah-langkah untuk
meningkatkan penerimaan pajak daerah :
1. Melihat potensi wajib pajak yang ada di kota Bitung.
2. Melakukan pembinaan kepada wajib pajak misalnya dengan melakukan
sosialisasi.
3. Meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia melalui penambahan
wawasan / pengetahuan di bidang pajak daerah bagi para petugas.
4. Meningkatkan pelayanan bagi para wajib pajak.
5. Meningkatkan kinerja bagi pengelola aset kekayaan daerah dalam menyerap
pajak daerah.
Langkah-langkah ini sudah berjalan dengan baik terlihat dari penerimaan
pajak daerah dari sarang burung walet. Tetapi pada beberapa tahun penerimaan
pajak dari sarang burung walet mengalami penurunan. Besarnya pajak sarang
burung walet ditetapkan sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
dimana nilai jual sarang burung walet dihitung berdasarkan perkalian antara
harga pasaran umum sarang burung walet yang berlaku di daerah dengan volume
sarang burung walet. Pada pasal 75 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
dijelaskan, tarif pajak sarang burung walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10
persen dimana tarifnya ditetapkan dengan perda. Setiap pengusaha sarang burung
walet wajib menghitung, membayar, dan melaporkansendiri pajak sarang burung
walet yang terhutang dengan menggunakan SPTPD. Ketentuan ini menunjukan
sistem pemungutan pajak sarang burung walet pada dasarnya merupakan sistem
Self assessment, yaitu wajib pajak diberikan kepercayaan penuh untuk
menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Dengan
pelaksanaan sistem pemungutan ini petugas dinas pendapatan daerah, yang
menjadi fiskus, hanya bertugas mengawasi pelaksanaan pemenuhan kewajiban
pajak oleh wajib pajak.
Penetapan pajak tidak diserahkan sepenuhnya kepada wajib pajak, tetapi
ditetapkan oleh kepala daerah. Terhadap wajib pajak yang pajaknya ditetapkan
oleh Bupati, jumlah pajak terutang ditetapkan dengan menerbitkan SKPD. Wajib
pajak terutang tetap memasukkan SPTPD, tetapi tanpa perhitungan pajak.
Pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus atau lunas. Pajak sarang burung
walet terutang dilunasi dalam jangka waktu yang ditentukan dalam peraturan
daerah. Pajak yang terutang dalam Perda No.08 tahun 2002 adalah pajak yang
harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam
bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang
penting guna membiayai pelaksanaan pemerintah daerah dalam memakmurkan
dan mensejahterakan masyarakat serta mewujudkan kemandirian daerah. Salah
satu pajak daerah, yaitu pajak sarang burung wallet dan pajak bumi bangunan
perdesaan dan perkotaan.
Pajak sarang burung wallet adalah pajak atas kegiatan pengambilan
dan/atau pengusahaan sarang burung walet. Sedangkan burung walet adalah
satwa yang termasuk marga collacilia, yaitu collacalia fuchilap haga, collacalia
maxina, collacalia escilanta, collacalia linchi. Tarif yang ditetapkan bersifat
variatif, paling tinggi 10% berdasarkan Undang-Undang. Tidak semua daerah
memiliki potensi untuk mengenakan pajak sarang burung wallet ini biasanya di
daerah pinggir pantai/laut, pegunungan, dsb.
Sistem pemungutan untuk pajak sarang burung wallet berdasarkan self
assessment, yang mana wajib pajak berkewajiban sendiri untuk menghitung
jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah daerah. Sedangkan untuk
pajak bumi bangunan perdesaan dan perkotaan menggunakan official assessment,
yaitu besaran pajaknya ditentukan oleh aparatur pajak daerah.
Pajak sarang burung walet juga merupakan salah satu bagian dalam pajak
daerah yang adalah sumber penerimaan dari pendapatan asli daerah. Pajak Sarang
Burung Walet yang sangat berpotensi kini telah menjadi perhatian dan sasaran
pemerintah dalam pemungutan pajak sarang burung walet. Namun sangat di
sayangkan, hingga akhir tahun 2014 ternyata penerapan pemungutan pajak
terhadap sarang burung walet belum terealisasi dengan cukup baik. Mengingat
daya jual yang terbilang cukup tinggi, penerapan pajak terhadap sarang burung
walet sangat berpotensi dapat membantu pertumbuhan pajak dan pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Kota Bitung menjadi salah satu kota perkembangan sarang
burung walet, yang merupakan menjadi salah satu penambah sumber
penerimaaan dari PAD ( pendapatan asli daerah).
DAFTAR PUSTAKA

Lapian, Pingkan, et.al. 2016, Analisis Efektivitas Penerapan Pajak Sarang Burung

Walet di Kabupaten Minahasa, Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis,

Universitas Sam Ratulangi, Manado. LKIP Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung

Tahun 2015.

Muhardiana, Hafsah. 2011, Kontribusi Pajak Sarang Burung Walet Dalam

Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti di Tinjau dari

Ekonomi Islam, Jurusan Ekonomi Islam, UIN Sultan Syarif Kasim, Riau.

https://www.kompasiana.com/18191050100826432/5cf0ef4418ffee30012a920b/paja

k-daerah-studi-kasus-pajak-sarang-burung-walet-kota-bitung?page=all

Anda mungkin juga menyukai