Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Pemekaran Wilayah Pastoral Keuskupan

Surabaya
Oleh RD. Agustinus Tri Budi Utomo

Sejarah ‘plantatio Ecclesiae’ (penanaman gereja) di wilayah Nusantara ini secara resmi dapat ditelusuri
semenjak kedatangan St. Fransiskus Xaverius di Ambon, Ternate dan Halmahera pada abad ke-16.
Walaupun dalam hubungan dengan penyebaran iman Kristiani, yang kemudian terhenti karena
kemartiran para misionaris, sejak abad ke 13-14 yakni di Sumatra dan Kalimantan oleh misionaris Gereja
Nestorian. Selain Misionaris Jesuit (Fransiskus Xaveirus), terdapat pula karya misi Dominikan di Flores
dan Timor, serta Fransiskan di Jawa.

Dari jaman penjajahan VOC hingga Prefectur Apostolic Batavia


Karya misi penanaman Gereja di Nusantara terhambat dengan kedatangan Belanda di abad ke-17 yang
memaksa para misionaris Katolik terusir meninggalkan umat, larangan bagi segala kegiatan keagamaan
yang berbau Katolik dan pemaksaan untuk beralih masuk Kalvinisme. Larangan dan diskriminasi
terhadap Gereja Katolik berjalan sampai dua abad di semua wilayah yang dikuasai VOC.

Namun demikian, selama abad 17 para misionaris Fransiskan, Karmelit, Yesuit dan Teatin secara diam
diam melanjutkan pelayanan bagi warga Katolik Belanda yang berada di sekitar bandar pelabuhan yang
merek singgahi, yakni di Sumatra, Kalimantan dan Bali. Namun karena hasutan dari pihak VOC, sehingga
membuat para Sultan menjadi marah dan membunuh beberapa misionaris yang datang hendak
melayani warga Belanda yang beragama Katolik di wilayah tersebut. Di Aceh, Karmelit Dionisius dan
Redemptus dibunuh pada tahun 1683. Biarawan Teatin, Antonio Ventimiglia di bunuh Sultan
Banjarmasin pada tahun 1691. Karena situasi tersebut Paus Innosensius XII membentuk Vikariat
Apostolik Kalimantan.

Pada akhir tahun 1799 hancurlah kekuasaan VOC baik dalam perdagangan maupun pemerintahan di
Nusantara, digantikan oleh Bataafse Republiek, buah dari Revolusi Perancis yang mencita-citakan
“Kemerdekaan, Kesamaan dan Persaudaraan” bagi suatu dunia baru yang demokratis.

Berkat dekret yang memberi kebebasan beragama kepada orang Katolik di Belanda oleh Raja Louis
Napoleon, maka ada angin segar baru bagi wilayah jajahan. Misionaris Katolik diperbolehkan masuk lagi
dan warga Katolik diberi kebebasan menghayati keagamaannya dan diberi hak kewarganegaraan yang
sama dengan Protestan. Romo Jacobus Nelissen dan Romo Lambertus Prinsen diijinkan oleh Raja
Napoleon untuk pergi ke Indonesia dan bekerja sebagai imam Katolik. Mereka diijinkan dengan syarat
memiliki surat ijin radicaal, artinya sebagai pegawai negeri.

Atas perubahan baru ini, Paus Pius VII pada tangga 8 Mei 1807 mendirikan Prefektur Apostolik Batavia,
yakni wilayah penggembalaan yang meliputi seluruh wilayah Hindia Timur, untuk dikemudian hari dapat
ditingkatkan menjadi Vikariat. Romo Nelissen diangkat sebagai Prefek Apostolik Batavia yang pertama.
Pada 1817, Romo Prinsen menjadi Prefek ke-2. Pada 1831, Romo Scholten menjadi Prefek ke-3. Pada
1842, Mgr. Scolten cuti ke Belanda dan tidak kembali lagi ke Batavia, maka pejabat prefek dipegang oleh
Mgr. Cartenstat.
Stasi Surabaya dibuka, berdirinya Paroki Kepanjen- Surabaya
Sejak era masa prefektur Batavia berdiri, Surabaya sudah mendapat perhatian penting bagi misi
plantatio Ecclesiae. Pada akhir tahun 1808 atas permohonan vice-superior misi Belanda, dua romo Projo
Belanda diijinkan oleh Raja untuk pergi bermisi ke Batavia, akhirnya pada 12 Juli 1810 , Romo Philipus
Wedding dan Romo Hendrikus Waanders tiba di Jawa. Romo Wedding ditugaskan di Batavia dan Romo
Waanders diutus untuk membuka stasi Surabaya. Dia mendirikan Rumah sekaligus digunakan sebagai
gereja di jl. Gatotan. Di pastoran/kapel ini dilakukan pembaptisan pertama pada tanggal 10 Maret 1811.

Pada tahun 1815 secara resmi status Stasi Surabaya dinaikkan menjadi Paroki Surabaya. Tujuh tahun
berikutnya (1822) dibangunlah gereja yang lebih layak secara lancar mengingat jasa Romo Waanders
begitu heroik bagi masyarakat luas, membantu penanganan wabah kolera yang menyerang setahun
sebelumnya. Gereja pertama di Surabaya didirikan di tikungan antara Roomsche Kerkstraat dan
Komedieplein (sekarang di jl Cendrawasih dan Jl Merak).

Berikutnya datang pula melanjutkan karya misi di Surabaya, romo Thijssen berkarya di Surabaya, namun
kemudian dibebastugaskan dari jabatan imam terkait dengan gaya hidupnya yang menyebabkan umat
tidak bersedia menerima komuni dari romo tersebut.

Tiga dekade berikutnya, pada tanggal 3 April 1841, Paus Gregorius XVI mengesahkan berdirinya Vikariat
Apostolik Batavia, pada 20 September 1842 Mgr. Yakobus Grooff sebagai Vikaris Apostolik pertama.
Berkenaan dengan pendirian Vikariat baru ini, Romo Cartenstat menugaskan dan mengangkat dirinya
sendiri sebagai pastor di Surabaya, yang kemudian dicabut peurutusannya oleh Mgr. Grooff.

Menindaklanjuti peningkatan status wilayah Gerejani tersebut, di wilayah sebelah Utara Vikariat Batavia
didirikan Prefectur Labuan dan Kalimantan Utara pada 4 September 1855. Ursulin dikirim untuk
berkarya di Batavia pada tahun 1856.

Tiga tahun berikutnya dikirim misionaris Jesuit ke Batavia; Pada tanggal 21 Juli 1859 Pastor Martinus
van den Elzen SJ dan YB. Palinckx SJ ditempatkan di Surabaya untuk melayani wilayah Jawa Timur hingga
Indonesia Timur. Pastor Franssen ditugaskan di Ambarawa untuk membangun stasi baru yang meliputi
wilayah Salatiga, Surakarta, Madiun dan Pacitan. Sementara waktu itu, daerah Cepu, rembang dan
Bojonegoro dilayani dari Semarang. Bruder Santo Aloysius dari Oudenbosch mendirikan panti asuhan,
asrama dan sekolah di Surabaya pada tahun 1862. Suster Ursulin mulai berkarya di Surabaya pada
tahun 1863.
Sampai tahun 1865, Wilayah Vikariat Apostolik Batavia meliputi 8 stasi : (1) Batavia, (2)Semarang, (3)
Ambarawa, (4) Jogyakarta, (5) Surabaya, (6)Padang- Sumatra, (7) Sungaiselan – Bangka, (8) Flores-
Adonara-Timor.

Untuk wilayah pelayanan Stasi/Paroki Surabaya meliputi : seluruh ujung timur Jawa (karesidenan
Surabaya, Kediri, Pasuruan, Probolinggo, Besuki) dan seluruh Madura, Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Timur, Bali, Lombok dan Makassar. Seluruh Umat Katolik diperkirakan sekitar 3.500 jiwa
dimana 2.500 diantaranya ada di wilayah Karesidenan Surabaya.
Pada waktu itu Wilayah Madiun, Ngawi dan Pacitan masih masuh wilayah Paroki St Yusup Ambarawa.
Pada tanggal 28 Juli 1897 Madiun menjadi Stasi tetap, Romo Cornelis Stiphout SJ sebagai Romo Kepala
Stasi Madiun. Stasi Madiun ini meliputi wilayah Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo, Pacitan dan Kediri.
Berikutnya Romo Stiphout digantikan oleh Romo Schhweitz SJ. Pada tahun 1920 digantikan oleh Romo
H. Mulders SJ.

Wilayah karesidenan Pati dimana Rembang dan Blora ada di dalamnya, masih masuk wilayah gerejani
Paroki Gedangan Semarang.

1923; Perubahan struktur Gerejani di Jawa Timur


Pada awal 1923 terkirim berita dari Kardinal Willem Marinus van Rossum CSsR, demikian juga
Generalat Konggregasi Missi memberikan surat edaran bagi seluruh anggotanya bahwa di Jawa Timur
hendak diadakan perubahan dalam struktur Gereja Katolik. Pada bulan Desember 1922, Paus
menyerahkan wilayah misi Jesuit di Jawa Timur kepada Misionaris Lazaris (Conggregatie Missie) dan
Karmelit.

Pada hari Sabtu, tanggal 30 Juni 1923 mendaratlah 5 missionaris CM yang pertama di Batavia untuk
berkarya di di wilayah Paroki Surabaya : Rm Dr. Th De Backere CM, Rm C. Klamer CM, Rm E. Sarneel
CM, Romo J. Wolter CM dan Rm Th. Heuvelmans CM., dan pada tahun 1928 ditambahkan pula wilayah
misi Jesuit karesidenan Madiun kepada CM, yang pada tahun yang sama (15 Februari 1928) wilayah
Surabaya ditingkatkan menjadi Prefektur Apostolik, yang meliputi wilayah Karesidenan Surabaya, Kediri,
Madiun, dan Rembang. Mgr Theophilus de Backere CM sebagai Prefektur Apostolik Srabaya yang
pertama. Pada waktu itu Wilayah Prefektur Surabaya memiliki 6 paroki : Kelahiran Santa Perawan Maria
– Kepanjen, Hati Kudus Yesus – Darmo, St Yusuf Blitar, St Vincentius Kediri, St Cornelius Madiun dan St
Willibrordus – Cepu.

Dari Prefektur Apostolik hingga menjadi Keuskupan


Pada tanggal 9 Juli 1937, permohonan Mgr de Backere CM untuk meletakkan jabatan dikabulkan.
Sebagai penggantinya adalah Mgr Verhoeks CM, diresmikan sebagai prefektur Apostolik Surabaya pada
tanggal 13 Maret 1938, dengan motto : Ut Omnes Unum Sint.

Pada masa prefektur apostolik ini, status Gerejani perwilayahan Paroki bukan menjadi tekanan utama
dalam strategi misi namun lebih pada ‘tempat’ dimana misionaris berada atau berkarya, meskipun
tempat itu bukan sebagai pusat paroki. Maka dalam laporan tahunan (jaarboek) tahun 1938 disebutkan
enam tempat misi : Blitar, Kediri, Madiun, Mojokerto, Surabaya dan Cepu. Lalu pada tahun berikutnya
bertambah dua tempat misi yakni Wlingi dan Puhsarang.

Sebelum berakhirnya masa jabatan Mgr Verhoeks CM berakhir, status gerejani ditingkatkan menjadi
Vikariat Apostolik pada tanggal 16 Oktober 1941.

Pada tanggal 21 Februari 1953, Tahta Suci mengangkat Mgr Johannes Antonius Maria Klooster CM
menjadi Vikaris Apostolik Surabaya menggantikan Mgr Verhoeks CM. tahbisan dilaksanakan pada 1 Mei
1953.

Pada tanggal 3 Januari 1961, ditahun ketiga masa pontifikatnya, Paus Yohanes XXIII menerbitkan Surat
Konstitusi Apostolik “Quod Christus” , atas nasihat Konggregasi Penyebaran Iman dan mendengarkan
Mgr Caietano Alibrandi (internuntius Apostolik di Indonesia), menetapkan bahwa semua Gereja yang
masih bestatus Vikariat Apostolik ditingkatkan menjadi Keuskupan. Dan pada kesempatan yang sama
ditentukan adanya enam Provinsi Gerejani di Indonesia: Jakarta, Semarang, Ende, Medan, Pontianak,
dan Makassar. Keuskupan Surabaya masuk wilayah Provinsi Gerejadi Semarang. Dalam surat tersebut di
katakan, bahwa Saudara Johannes Klooster dari Gereja Germanicopolitana ke tahta katedral Surabaya.
Tindak lanjut dari Penetapan Status Gerejani yang baru ini, pada bulan Oktober 1962 Mgr Johannes
Klooster di lantik sebagai Uskup Surabaya. Pada tahun 1964 Mgr Klooster mengangkat Romo AJ.
Dibjakarjana sebagai Vikjen bagi beliau untuk memimpin keuskupan selama beliau sibuk mengikuti
jalannya sidang Konsili Vatikan II.

Pada saat mengikuti sidah Konsili di Roma, Mgr Klooster mengundang romo-romo Lazaris Italia untuk
bekerja di Keuskupan Surabaya. Atas respon provinsi Itali, maka para imam Lazaris yang dikirim ke
Surabaya ditempatkan di wilayah barat keuskupan: di Kabupaten Rembang (1965), di Kabupaten Blora
(1966) dan Karesidenan Madiun (1967).

Selama masa penggembalaannya, Mgr Klooster banyak mendirikan kapel stasi baru dan Gereja paroki.
Di wilayah Surabaya didirikan : Gereja St Mikael Perak, St Yohanes Pemandi Wonokromo, Santa Maria
tak Bercela Ngagel, Ratu Pecinta Damai di stasi Pogot, Gembala yang baik di Jemur Handayani. Di luar
Surabaya : Karangpilang, Sidoarjo, Jombang, Warujayeng, Kediri Timur, Tulungagung, Blitar Barat,
Wlingi, Mojorejo, Ngawi, Walikukun, Ponorogo, Magetan, Gereja Oikumene Maospati, Rembang, Lasem,
Blora dan Babad. Selama menjadi Uskup, Mgr Klooster telah menambahkan jumlah imam, dengan
menahbiskan 30 Imam CM dan 5 imam Praja.

Setelah hampir selama 30 tahun mengemban penggembalaan di keuskupan Surabaya, beliau


mengajukan pengunduran diri terkait kesehatannya. Pada 16 Desember 1982 ditahbisakan Mgr AJ.
Dibjakaryana menjadi Uskup Surabaya. Selama menjabat sebagai Uskup Mgr Dibjakarjana menahbiskan
23 imam Praja, 20 imam CM dan 3 imam SVD. Dengan meningkatnya jumlah imam, maka Uskup lebih
leluasa untuk merespon peningkatan jumlah umat di keuskupannya dengan mengembangkan paroki di
keuskupan Surabaya. Mgr Dibyakarjana menggembalakan keuskupan selama 11 tahun lalu mengajukan
pengunduran diri kepada Paus dan dikabulkan dengan balasan Surat dari Roma pada tanggal 15 Maret
1994. Uskup selanjutnya adalah Mgr J. Hadiwikarta , yang semula adalah Vikjen KA. Semarang. Beliau
ditahbiskan pada tanggal 25 Juli 1994 sebagai Uskup Surabaya.

Peta wilayah penggembalaan Keuskupan Surabaya yang semula (1928) terdiri dari 6 paroki, pada tahun
1994 menjadi 29 Paroki, pada tahun 1999 menjadi 35 Paroki dan pada tahun 2000 menjadi 36 Paroki.
Mgr J. Hadiwikarta membagi wilayah Keuskupan menjadi 4 regio , yang dinamai dengan Kevikepan Regio
I –IV.

Kevikepan Regio I meliputi 18 Paroki di wilayah Kotamadya Surabaya, Gresik dan Sidoarjo.

Kevikepan Regio II meliputi 9 Paroki di wilayah : Mojokerto, Jombang, Pare, Kediri, Tulungagung, Wlingi,
dan Blitar

Kevikepan Regio III meliputi 6 Paroki di wilayah : Madiun, Magetan, Nganjuk, Ngawi, Ponorogo dan
Pacitan.

Kevikepan Regio IV meliputi 5 Paroki di wilayah: Bojonegoro, Blora, Cepu, Rembang dan Tuban.

Berita duka menyelimuti keuskupan Surabaya selama dua tahun berturut-turut, bahwa pada tanggal 23
Januari 2oo2 Uskup Emeritus, Mgr Dibjakaryana dipanggil Tuhan. Pada tanggal 13 Desember 2003
Uskup Surabaya Mgr J Hadiwikarta juga dipanggil Tuhan karena sakit.

Setelah sekian lama (empat tahun) sede vacante (tahta kosong) di keuskupan Surabaya dipimpin oleh
Administratur Keuskupan, Rm J Haryanto CM. akhirnya Paus Benediktus XVI mengangkat Mgr Vincentius
Sutikno Wisaksono sebagai Uskup Surabaya. Diumumkan pada tanggal 3 April 2007 di saat rekoleksi
Imam oleh Mgr Leopoldo Girelli, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, sebelum misa pemberkatan
Krisma.

Dalam strategi penggembalaan wilayah seluas ini, Mgr Sutikno merasa tidak efektif lagi pembagian
wilayah menjadi 4 Regio. Apalagi pada tahun 2008 didirikan dua Paroki Baru di Wilayah Regio I, yaitu
Roh Kudus Puri Mas dan Paulus Juanda. Regio 1 sudah berkembang menjadi 21 Paroki, akan sangat sulit
untuk berkoordinasi sebagai satu kevikepan. Maka pada bulan Juli 2008 Mgr Sutikno memekarkan
wilayah menjadi 7 Kevikepan Teritorial . Pembagian wilayah ini dipertahankan sampai tahun 2018 :

1. Kevikepan Surabaya Utara : Kepanjen, Perak, Pogot, Widodaren, Ngagel, Ketabang, Kenjeran.
2. Kevikepan Surabaya Barat : Algonz, Redemptor Mundi, Yakobus Citraland, St Yusuf
Karangpilang, St Stefanus Tandes, Sakramen Maha Kudus Pagesangan dan St Maria Gresik.
3. Kevikepan Surabaya Selatan : HKY Katedral, Yohanes Pemandi Wonokromo, GYB Jemus
Andayani, Roh Kudus Purimas, Salip Suci Tropodo, Paulus Juanda dan Santa Maria Annuntiata
Sidoarjo.
4. Kevikepan Kediri : St Paulus Nganjuk, St Maria Jombang, St Yosef Mojokerto, St Yosef Kediri, St
Vincentius a Paulo Kediri dan St Mateus Pare.
5. Kevikepan Blitar : St Maria DTBA Tulungagung, St Maria Blitar, St Yusuf Blitar, St Petrus-Paulus
Wlingi, St Fransiskus Resapombo dan St Fransiskus Asisi Mojorejo.
6. Kevikepan Madiun : St Cornelius Madiun, Mater Dei Madiun, Regina Pacis Magetan, St Maria
Ponorogo, St Yosef Ngawi dan St Hilarius Klepu.
7. Kevikepan Cepu : St Petrus Paulus Rembang, St Pius X Blora, St Petrus Tuban, St Paulus
Bojonegoro dan St Willibrordus Cepu.

Disamping 7 kevikepan Teritorial, Mgr Sutikno juga mendirikan Kevikepan Religius (2008) dan Kevikepan
Kategorial (2015).

Pada bulan Februari 2018, Uskup Surabaya setelah meminta pertimbangan Dewan Imam, memutuskan
pemekaran tahap kedua wilayah pastoral Keuskupan Surabaya diberlakukan sejak 1 Maret 2018, dari
tujuh kevikepan menjadi 8 kevikepan. Keputusan ini dibuat mengingat perlunya pengaturan demi
efektifitas koordinasi dan pengembangan karya pastoral setelah jumlah paroki menjadi 44 serta
menanggapi perubahan infrastruktur di Jawa Timur dan prediksi perkembangan sosial ekonomi di
kawasan Kabupaten Lamongan maka melalui SK no.95/G.113/II/2018 pada tanggal 16 Februari 2018,
Uskup menetapkan wilayah Kevikepan sebagai berikut:

1. Kevikepan Surabaya Utara tetap.


2. Kevikepan Surabaya Selatan tetap.
3. Kevikepan Surabaya Barat dikurangi paroki St Maria Gresik.
4. Kevikepan Mojokerto meliputi Paroki : St Yosef Mojokerto, St Paulus Bojonegoro, St Maria
Gresik, St Petrus Tuban.
5. Kevikepan Kediri meliputi Paroki : St Maria Jombang, St Vincentius a Paulo Kediri, St Yosef
Kediri, St Mateus Pare, dan St Paulus Nganjuk.
6. Kevikepan Blitar : St Yusuf Blitar, St Maria Blitar, St Petrus dan Paulus Wlingi, St Maria DTNA
Tulungagung, St Fransiskus Asisi Resapombo, dan St Fransiskus Asisi Mojorejo
7. Kevikepan Madiun : St Cornelius Madiun, Mater Dei Madiun, Regina Pacis Magetan, St Maria
Ponorogo, St Hilarius Klepu dan disiapkan pula Kuasi Paroki Kristus Raja Ngrambe.
8. Kevikepan Blora : St Pius Blora, St Petrus Paulus Rembang, St Willibrordus Cepu dan St Yosef
Ngawi.

Anda mungkin juga menyukai