Oleh
ANANDA ANGGY PAMELIA
17030204090
PBU 2017
JURUSAN BIOLOGI
2019
A. Rumusan Masalah
B. Tujuan Percobaan
C. Hipotesis
D. Kajian Pustaka
Skarifikasi merupakan salah satu upaya pretreatment atau perlakuan awal pada
benih yang ditujukan untuk mematahkan dormansi dan mempercepat terjadinya
perkecambahan benih yang seragam. Skarifikasi (pelukaan kulit benih) adalah cara
untuk memberikan kondisi benih yang impermeabel menjadi permeabel melalui
penusukan; pembakaran, pemecahan, pengikiran, dan penggoresan dengan bantuan
pisau, jarum, pemotong kuku, kertas, amplas, dan alat lainnya. Kulit benih yang
permeabel memungkinkan air dan gas dapat masuk ke dalam benih sehingga proses
imbibisi dapat terjadi. Benih yang diskarifikasi akan menghasilkan proses imbibisi
yang semakin baik. Air dan gas akan lebih cepat masuk ke dalam benih karena kulit
benih yang permeabel. Air yang masuk ke dalam benih menyebabkan proses
metabolisme dalam benih berjalan lebih cepat akibatnya perkecambahan yang
dihasilkan akan semakin baik (Juhanda dkk., 2013).
Pemecahan dormansi dan penciptaan lingkungan yang cocok sangat perlu untuk
memenuhi proses perkecambahan. Benih yang mempunyai kulit biji
tidak permeable dapat dirangsang dengan mengubah kulit biji untuk
membuat permeable terhadap gas–gas dan air. Perkecambahan benih dipengaruhi
oleh 2 faktor yaitu faktor dari dalam (faktor genetic) berupa tingkat pemasakan
benih dan kulit benih dari luar (faktor lingkungan) yaitu pengaruh suhu, cahaya, air
dan media tumbuh (Haryuni dan Harjanto, 2007).
Selama perkecambahan terlihat adanya berbagai proses yaitu imbibisi air,
hidrasi organel subseluler, perubahan-perubahan organisasi subseluler dari embrio
dan endosperm atau ketik dan, perubahan aktivitas fitokroma, pengaktifan auxin,
sintesis enzim denova, persediaan bahan makanan, translokasi molekul-molekul
organik terlarut ke embrio, sintesis protein dan penyusunan sel lainnya, kenaikan
pengambilan oksigen dan aktifitas respirasi, pembesaran sel, pembelahan sel,
sintesis dan pengaktifan zat-zat tumbuh, differensiasi sel, redistribusi metabolit
dalam embrio, perubahan tingkat oksigen dan karbon dioksida (Haryuni, 2007).
Menurut Dwidjoseputro (1985), variasi umur benih suatu tanaman sangatlah
beragam, namun juga bukan berarti bahwa benih yang telah masak akan hidup
selamanya. Seperti, kondisi penyimpanan selalu mempengaruhi daya hidup benih.
Meningkatnya kelembaban biasanya mempercepat hilangnya daya hidup, walaupun
beberapa biji dapat hidup lebih lama dalam air. Penyimpanan dalam botol atau di
udara terbuka pada suhu sedang sampai tinggi menyebabkan biji kehilangan air dan
sel akan pecah apabila biji diberi air. Pecahnya sel melukai embrio dan melepaskan
hara yang merupakan bahan yang baik bagi pertumbuhan pathogen penyakit.
Tingkat oksigen normal umumnya mempengaruhi dan merugikan masa hidup biji.
Kehilangan daya hidup terbesar bila benih disimpan dalam udara lembab dengan
suhu 35°C atau lebih. Adapun tipe dormansi adalah sebagai berikut :
a) Dormansi fisik : yang menyebabkan pembatasan struktural terhadap
perkecambahan. Seperti kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi
penghalang mekanisme terhadap masuknya air dan gas pada beberapa jenis
tanaman.
b) Dormansi fisiologi : dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme, umumnya
dapat disebabkan oleh pengatur tumbuh baik penghambat atau perangsang
tumbuh, dapat juga oleh faktor-faktor dalam seperti ketidaksamaan embrio dan
sebab-sebab fisiologi lainnya
Pematahan dormansi
1. Secara mekanik
a) Dengan goncangan, kulit biji yang keras menghalangi penyerapan oksigen
dan air. Kulit biji yang keras itu biasanya terdapat pada anggota family
Fabaceae (Leguminosae) pengecualian untuk buncis dan kapri.
b) Diberi perlakuan panas, sumpal strofiolar yang terdapat pada biji dapat lepas
jika diberi panas.
c) Skarifikasi atau penggoresan, biasanya menggunakan pisau, kikir atau kertas
amplas. Di alam goresan tersebut mungkin terjadi akibat kerja mikroba,
ketika biji melewati alat pencernaan pada burung atau hewan lain, biji
terpajan pada suhu yang berubah-ubah, atau terbawa air melintasi pasir atau
cadas.
d) Tumbuhnya fungi di kulit biji, merekahkan kulit itu sehingga
perkecambahan dapat berlangsung.
2. Secara kimia
a) Merendam dengan alcohol, pelarut lemak lainnya, atau asam pekat, bertujuan
untuk menghilangkan bahan berlilin yang menghalangi masuknya air.
b) Tiourea, nitrat dan nitrit sebagai pemacu perkecambahan terutama biji spesies
rerumputan.
3. Secara fisika
a) Pendinginan awal (Prechilling), selama pendinginan awal, embrio beberapa
spesies tumbuh sangat cepat. Perlakuan pendinginan sebelum perkecambahan
yang diperlukan oleh biji-bijian untuk mnghilangkan dormansinya disebut
stratifikasi. Selama stratifikasi, beberapa perubahan terjadi terhadap hormon-
hormon. ABA yang mula-mula sangat tinggi akan menurun dengan cepat,
sedangkan sitokinin akan meningkat dan kemudian menurun kembali apabila
giberelin meningkat. Pada saat perkecambahan, semua hormon turun pada
kadar yang rendah.
b) Cahaya, jumlah klorofil yang terdapat pada embrio saat biji masak sangat
penting untuk menentukan apakah biji spesies tertentu akan bersifat
fotodorman (membutuhkan cahaya untuk perkecambahannya) atau tidak. Bila
biji yang perkecambahannya terpacu oleh cahaya terkena cahaya maka akan
berkecambah dan mampu berfotosintesis. Bagi biji yang perkecambahannya
terhambat oleh cahaya, perkecambahannya itu tak akan terjadi sampai biji
tertutup seluruhnya oleh sampah, yaitu saat mendapatkan air yang cukup untuk
tumbuh (Sasmitamihardja dan Arbiyah, 1996).
Faktor-faktor yang mempengaruhi dormansi biji
1. Faktor eksternal
a. Cahaya
Cahaya mempengaruhi dormansi dengan tiga cara, yaitu dengan intensitas
(kuantitas) cahaya, kualitas cahaya (panjang gelombang) dan fotoperiodisitas
(panjang hari). Jika dari segi kuantitas cahaya, dormansi ini terjadi karena
pengaruh dari intensitas cahaya yang diberikan kepada biji. Dari segi kualitas
cahaya dormansi disebabkan oleh panjang gelombang tertentu. Yang
menyebabkan terjadinya perkecambahan adalah daerah merah dari spektrum (red;
650 nm), sedangkan sinar infra merah (far red; 730 nm) menghambat
perkecambahan. Efek dari kedua daerah di spektrum ini adalah mutually
antagonistic (sama sekali bertentangan). Jika diberikan bergantian, maka efek
yang terjadi kemudian dipengaruhi oleh spektrum yang terakhir kali diberikan.
Dalam hal ini, biji mempunyai 2 pigmen yang photoreversible (dapat berada dalam
2 kondisi alternatif), yaitu P650 dan P730. Jika biji dikenai sinar merah (red; 650
nm), maka pigmen P650 diubah menjadi P730. P730 inilah yang menghasilkan
sederetan aksi-aksi yang menyebabkan terjadinya perkecambahan. Sebaliknya
jika P730 dikenai sinar infra merah (far-red; 730 nm), maka pigmen berubah
kembali menjadi P650 dan terhambatlah proses perkecambahan dan terjadi
dormansi (Dwidjoseputro, 1985).
b. Suhu
Perlakuan suhu rendah pada waktu sebelum memasuki musim dingin pada daerah
beriklim sedang dapat menyebabkan peningkatan dormansi, misalnya pada
tanaman aprikot (Prunus armeniaca). Kondisi udara yang lebih hangat pada musim
gugur dapat menunda dormansi, tetapi tidak menghentikan terjadinya dormansi
tunas pada tanaman buah-buahan di daerah beriklim sedang. Perlakuan suhu
rendah untuk memecahkan dormansi pada tunas akan lebih efektif jika setelah
dormansi dipecahkan segera diikuti dengan perlakuan suhu yang optimal untuk
memacu pertumbuhan.
c. Kurangnya air
Proses penyerapan air oleh benih terhadap perbedaan potensi air yang sangat nyata
antara sel-sel yang telah menyerap air dengan sel-sel yang belum menyerap air.
Terdapat batas-batas tegas antara bagian benih yang telah meningkat kadar airnya
dengan bagian yang belum terpengaruh kadar airnya. Sel-sel yang telah menyerap
air akan membesar, ukuran benih meningkat dua kali lipat setelah proses imbibisi
berlangsung (Lakitan, 2000).
2. Faktor internal
a. Kulit Biji
Kulit biji dapat berperan sebagai penghambat untuk terjadinya perkecambahan,
sehingga biji tersebut digolongkan sebagai biji tersebut digolongkan sebagai biji
yang berada dalam keadaan dorman. Hambatan kulit biji tersebut mungkin
disebabkan karena kulit biji mengandung senyawa penghambat tumbuh, kulit
menghambat difusi oksigen dan/atau air masuk ke dalam biji, dan kulit biji
memiliki resistensi mekanis yang besar radikel tidak mampu untuk tumbuh
menembusnya.
b. Kematangan embrio
Terjadinya dormansi disebabkan oleh belum matangnya atau belum sempurnanya
pembentukan embrio. Pada saat terjadi absisi atau gugurnya buah dari daun, biji
belum menyelesaikan perkembangannya. Sehingga biji terdiferensiasi sempurna,
sehingga biji membutuhkan waktu yang lebih lama untuk berkecambah karena
mempersiapkan kebutuhannya. Dalam hal ini, berarti biji melakukan penundaan
untuk tidak berkecambah dan melakukan dorman.
c. Adanya Inhibitor (penghambat)
Perkecambahan biji adalah kulminasi dari serangkaian kompleks proses-proses
metabolik, yang masing-masing harus berlangsung tanpa gangguan. Tiap
substansi yang menghambat salah satu proses akan berakibat pada terhambatnya
seluruh rangkaian proses perkecambahan. Beberapa zat penghambat dalam biji
yang telah berhasil diisolir adalah soumarin dan lacton tidak jenuh, namun lokasi
penghambatannya sukar ditentukan karena daerah kerjanya berbeda dengan
tempat di mana zat tersebut diisolir. Zat penghambat dapat berada dalam embrio,
endosperm, kulit biji maupun daging buah.
Buah asam jawa termasuk buah sejati tunggal (buah sungguhan), kering,
dan mengandung lebih dari satu biji. Buah asam jawa kotak dan digolongkan dalam
buah polong (Legumen). Panjang buah 5-15 cm, tebalnya 2,5 cm agak melengkung
dan membungkus biji. Kulit cangkang luar asam jawa lunak dan daging buahnya
asam. Pada tiap polong terdapat 1-10 biji yang dibungkus oleh daging buah yang
lengket. Biji asam jawa bentuknya tidak beraturan warna coklat tua atau hitam
mengkilat. Biji dibagi dalam tiga bagian utama yaitu kulit biji (Spermodermis),
kulit ari tali pusar (Funiculus), dan inti biji (Nukleus seminis). Kulit biji terdiri dari
lapisan luar, lapisan tengah dan lapisan kulit dalam. Inti biji asam terdiri dari
lembaga (Embrio), dan puti lembaga (albumen) yang berupa jaringan cadangan
makanan untuk permulaan pertumbuhan.
E. Variabel Penelitian
Variabel control yang digunakan adalah jenis biji asam (Tamarindus indica),
ukuran polybag yang digunakan adalah ukuran kecil, perbandingan media tanam
pupuk dan tanah yaitu 1:1. Volume media tanam yaitu setengah dari ukuran polybag.
Tempat penyimpanan biji di letakkan pada tempat yang ternaung, dan jumlah biji
asam yang digunakan adala 10 biji tiap polybag.
Variabel manipulasi yang digunakan adalah perlakuan terhadap biji asam. Pada
Polybag 1 biji asam direndam dahulu menggunakan H2SO4 pekat dan dibilas
menggunakan air. Polybag 2 biji asam dirusak secara mekanis yaitu mengamplas
salah satu sisi pada biji sampai berwarna putih. Polybag 3 adalah perlakuan control
yaitu dengan mencuci biji asam menggunakan air.
Variabel respon pada praktikum ini yaitu waktu pemecahan dormansi biji asam
sampai menjadi yang diamati selama 14 hari.
1. Alat
‒ gelas kimia 1 buah
‒ pinset 1 buah
‒ kertas amplas secukupnya
2. Bahan
‒ biji asam 30 biji
‒ asam sulfat pekat
‒ air secukupnya
‒ polybag 3 buah
‒ media tanam berupa tanah dan pasir dengan perbandingan 1:1
H. Rancangan Percobaan
Tabel 1. Hasil pengamatan pematahan dormansi biji asam (Tamarindus indica L.)
dengan berbagai macam perlakuan (H2SO4, amplas, dan air).
6
Hari ke-
0
H2SO4 Amplas Air
Perlakuan
Gambar 1. Grafik pengaruh perlakuan H2SO4, amplas, dan air terhadap rata-rata
pemecahan dormansi biji asam (Tamarindus indica L.).
Berdasarkan tabel 1 dan gambar 1, maka dapat dianalis bahwa biji asam yang
diberi perlakuan dengan merendam H2SO4 proses dormansi biji nya lebih cepat
dibandingkan dengan merusak secara mekanik (mengamplas) pada bagian yang
tidak ada lembaganya. Biji asam yang direndam dengan H2SO4 menghasilkan tunas
sebanyak 8 individu dalam waktu 14 hari sedangkan pada perlakuan dengan
mengamplas biji menghasilkan tunas sebanyak 6 individu dan dengan perlakuan
dicuci dengan air saja, biji asam belum tumbuh dalam waktu 14 hari. Perendaman
H2SO4 belum membuat bij menjadi lunak, sedangkan pada pengamplasan membuat
kulit luar biji rusak, sedangkan pada perlakuan mencuci dnegan air biji asam tetap
keras. Hal tersebut bertentangan dengan teori bahwa proses imbihisi air yang
digunakan untuk memecahkan dormansi biji lebih cepat pada biji yang lunak dan
kulit keras yang telah dirusak.
L. Hasil Analisis Data
1. Cahaya
Menurut Dwidjoseputro (1985) penyebab terjadinya perkecambahan adalah
daerah merah dari spektrum (red; 650 nm), sedangkan sinar infra merah (far
red; 730 nm) menghambat perkecambahan, sehingga kemungkinan biji pada
perlakuan H2SO4 lebih banyak menerima daerah merah dari sprektrum (red;
650 nm) apabila dibandingkan dengan perlakuan biji yang diamplas.
2. Ketersediaan air
Menurut Lakitan (2000) Proses penyerapan air oleh benih terhadap perbedaan
potensi air yang sangat nyata antara sel-sel yang telah menyerap air dengan sel-
sel yang belum menyerap air. Sel-sel yang telah menyerap air akan membesar,
ukuran benih meningkat dua kali lipat setelah proses imbibisi berlangsung
sehingga kemungkinan ketersediaan air pada perlakuan H2SO4 lebih banyak
daripada perlakuan pengamplasan biji.
3. Ketersediaan nutrisi dan hormone pertumbuhan
Selama pemecahan dormansi biji terlihat adanya berbagai proses yaitu imbibisi
air, hidrasi organel subseluler, persediaan bahan makanan, translokasi
molekul-molekul organik terlarut ke embrio, sintesis protein dan penyusunan
sel lainnya, kenaikan pengambilan oksigen dan aktifitas respirasi, pembesaran
sel, sintesis dan pengaktifan zat-zat tumbuh, differensiasi sel, redistribusi
metabolit dalam embrio, perubahan tingkat oksigen dan karbon dioksida dapat
mempercepat proses pemecahan dormansi sehingga kemungkinan pada
perlakuan H2SO4 biji yang digunakan lebih banyak ketersediaan nutrisi dan
hormone pertumbuhannya apabila dibandingkan pada perlakuan pengamplasan
biji (Haryuni, 2007).
Sedangkan faktor internal yang membuat perlakuan H2SO4 lebih cepat
pada pemecahan dormansi biji adalah kematangan embrio. Menurut Kamil (1984)
terjadinya dormansi disebabkan oleh belum matangnya atau belum sempurnanya
pembentukan embrio. Pada saat terjadi absisi atau gugurnya buah dari daun, biji
belum menyelesaikan perkembangannya. Sehingga biji terdiferensiasi sempurna,
sehingga biji membutuhkan waktu yang lebih lama untuk berkecambah karena
mempersiapkan kebutuhannya jadi kemungkinan pada perlakuan perendaman
H2SO4 embrio pada biji yang digunakan lebih matang daripada perlakuan
pengamplasan
M. Kesimpulan
N. Daftar Pustaka