Anda di halaman 1dari 21

METODE PENELITIAN KUANTITATIF

“HUBUNGAN RESILIENSI TERHADAP COPING STRESS PADA MAHASISWA


TINGKAT AKHIR UNIVERSITAS X

Dosen pengampu : Aulia Kirana S.Psi, M.Psi

Disusun oleh :

- Thoriqotun Najal Wahidah (46116110027)

- Enka Ristra (46114120064)

-Dwinta Anggraeni (46116110125)

- Riya Utami (46117120015)

Fakultas Psikologi

Universitas Mercubuana Jakarta 2019


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas

maupun institusi atau akademi. Individu yang terdaftar sebagai murid di perguruan

tinggi dapat disebut sebagai mahasiswa (Takwin, 2008). Monks (2007) menjelaskan

bahwa mahasiswa digolongkan sebagai remaja akhir dan dewasa awal, yaitu pada

usia 18-21 dan 22-24 tahun. Pada usia tersebut mahasiswa mengalami masa

peralihan dari remaja akhir ke dewasa awal. Remaja akhir dan dewasa awal

merupakan tahap perkembangan yang sulit dan kritis. Tugas perkembangan pada

masa tersebut menuntut perubahan besar dalam bersikap dan berperilaku sehingga

mampu mengarahkan diri dan mengambil keputusan untuk mencapai tujuan yang

diharapkan.

Saat mahasiswa telah menempuh semester akhir dan telah menyelesaikan

seluruh mata kuliahnya, mahasiswa diwajibkan untuk membuat suatu karya ilmiah

yaitu skripsi. Di setiap angkatan dapat dipastikan ada beberapa mahasiswa yang

tidak dapat menyelesaikan perkuliahan tepat waktu. Mahasiswa yang kelulusannya

tidak tepat waktu, biasanya menghadapi hambatan, antara lain hambatan membuat

judul yang menarik, pencarian bahan atau literatur yang memang tidak mudah,

kurang tekun untuk berkonsultasi dengan dosen dan ketidakmampuan mahasiswa

dalam membagi waktu dalam menyusun skripsi. Berbagai hambatan seperti

dijelaskan di atas berpotensi memberikan tekanan pada diri mahasiswa seperti

1
cemas, sulit berkonsentrasi, malas mengerjakan skripsi, menghindar, atau bahkan

meningkatnya permasalahan psikologis yang lain, misalnya stres.

Ketika individu mengalami stres seringkali tidak memiliki kemampuan dalam

mengatasi atau melakukan strategi dengan tepat, sehingga permasalahan yang

dihadapi tidak mampu terselesaikan. Reaksi stres mahasiswa dapat muncul dalam

bentuk perubahan psikologis dan fisik yang mempengaruhi rendahnya motivasi dan

berdampak pada penundaan penyusunan skripsi. Hambatan yang bersifat psikologis

biasanya menjadi penyebab yang paling berpengaruh dalam timbulnya stres

(Shenoy, 2004).

Amelia, dkk. (2014) menjelaskan, bahwa stres pada mahasiswa Fakultas

Kedokteran Universitas Riau, bersumber dari akademik maupun non akademik.

Stres yang bersumber dari akademik seperti jadwal kuliah dan praktikum yang

padat, tugas yang menumpuk, bahan ujian yang banyak, Indeks Prestasi Kumulatif

(IPK) rendah dan masalah akademik lainnya. Sedangkan stres yang berasal dari

non akademik adalah masalah keuangan, masalah keluarga, interpersonal maupun

intrapersonal. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa faktor stres yang terjadi pada

mahasiswa dipengaruhi oleh faktor di luar mahasiswa, seperti tugas yang padat,

jadwal kuliah padat, IPK rendah, masalah keuangan, dan keluarga.

Santrock (2003) menyebutkan, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan stres,

yaitu: 1) beban yang terlalu berat, konflik, dan frustrasi; 2) faktor kepribadian; dan 3)

faktor kognitif. Tipe kepribadian yang dimiliki mahasiswa berpengaruh terhadap

upaya-upaya yang dilakukan oleh mahasiswa dalam menyelesaikan skripsinya. Ada

tipe mahasiswa yang tetap optimis ketika menemui kesulitan, tetapi ada juga

2
mahasiswa yang pesimis. Mahasiswa yang memiliki kepribadian optimistis dalam

menghadapi hambatan akan berusaha untuk mengatasi hambatan dan terhindar dari

stres, sehingga penyusunan skripsi dapat diselesaikan. Sebaliknya, mahasiswa

yang memiliki kepribadian pesimis kurang berusaha dalam mengatasi hambatan

yang menjadi beban, sehingga mahasiswa dalam mengerjakan skripsi menjadi tidak

tepat waktu.

Kepribadian optimis memotivasi mahasiswa untuk memaksimalkan

kemampuannya dalam menyelesaikan skripsi. Kemampuan untuk mempertahankan

stabilitas psikologis dalam menghadapi stress disebut resiliensi (Keye & Pidgeon,

2013). Mahasiswa yang memiliki resiliensi tinggi adalah mahasiswa yang berhasil

keluar dari masalah-masalah yang dihadapi dan sukses dalam menjalani masa

studinya serta menganggap masalah tersebut adalah bagian dari tantangan masa

studinya, dan bukan hal yang harus dijadikan alasan untuk terpuruk. Widuri (2012)

dalam penelitiannya dengan subjek mahasiswa di Universitas Ahmad Dahlan

menjelaskan bahwa mahasiswa membutuhkan resiliensi agar mampu menyesuaikan

diri dan tetap dapat mengembangkan dirinya dengan baik sesuai kompetensi yang

dimiliki.

Mahasiswa yang mengalami stres perlu penanganan secepatnya, sebab

mahasiswa yang mengalami stres saat menyusun skripsi berdampak pada kelulusan

mahasiswa tingkat akhir tidak tepat waktu. Resiliensi merupakan salah satu faktor

penting bagi mahasiswa yang mengalami stres. Coping adalah dimana seseorang

yang mengalami stres atau ketegangan psikologis dalam menghadapi masalah

kehidupan sehari-hari yang memerlukan kemampuan pribadi maupun dukungan dari

3
lingkungan, agar dapat mengurangi stres yang dihadapinya (Rasmun, 2004). Coping

stress adalah cara mengatasi stress yang dapat dilakukan oleh mahasiswa tingkat

akhir yang akan menyelesaikan skripsinya tepat waktu. Studi pendahuluan (jurnal,

Miftahul Zaenal Efendi) melalui wawancara pada Mahasiswa jurusan psikologi

universitas negeri Surabaya berjenis kelamin pria berusia 24 tahun semester 14

wawancara saya lakukan pada tanggal 2 maret 2017. Hasil wawancara dengan

subjek menuturkan bahwa K mengalami kesulitan dalam pengerjaan skripsi. K

merasa kurang percaya diri akan kemampuan yang dimiliki untuk segera

menyelesaikan skripsinya. Menurut K judul yang diajukan kepada dosen

pembimbing masih belum sempurna sehingga K harus berkali – kali mengajukan

judul sehingga subjek merasa cemar jika judul yang diajukan tersebut ditolak

kembali. Hal tersebut menimbulkan sikap malas karena mendapatkan penolakan

dalam pengajuan judul skripsi tersebut. K sering menghabiskan waktu untuk bermain

dengan teman-teman sebayanya untuk menghilangkan stres saat mengerjakan

skripsi. Hal tersebut yang membuat K mengalami kesulitan dalam pengerjaan

skripsi.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa mahasiswa yang sedang

menyusun skripsi menemui berbagai macam hambatan yang membuat mahasiswa

mengalami stress berat. Mahasiswa yang mengalami stress yang tak dapat di atasi

perlu penanganan secepatnya, sebab jika mahasiswa yang mengalami stress saat

menyusun skripsi berdampak pada kelulusan mahasiswa tidak tepat waktu.

Mahasiswa akan menunda-nunda dalam pengerjaan skripsi. Resiliensi merupakan

salah satu faktor bagi mahasiswa yang mengalami stress. Berdasarkan penjelasan

4
tersebut dapat diketahui, bahwa mahasiswa yang sedang menyusun skripsi

menemui berbagai hambatan yang membuat mahasiswa membutuhkan resilisiensi

serta coping untuk mengurangi stress yang dihadapi. Oleh sebab itu, peneliti ingin

melakukan penelitian dengan judul: “Hubungan antara Resiliensi dengan coping

Stres dalam Menyusun Skripsi pada Mahasiswa Tingkat Akhir Universitas X”.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka peneliti membuat

rumusan masalah :

1. Apakah ada hubungan antara resiliensi terhadap coping stress pada

mahasiswa tingkat akhir?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara resiliensi terhadap

coping stress pada mahasiswa tingkat akhir.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 MANFAAT TEORETIS

Untuk menambah ilmu pengetahuan dalam bidang psikologi

mengenai apa itu resiliensi dan coping stress serta hubungannya.

5
1.4.2 MANFAAT PRAKTIS

Untuk memberikan pemahaman pada mahasiswa tingkat akhir

bahwa, resiliensi dan coping stress dapat dilakukan agar tugas akhir

perkuliahan dapat diselesaikan dengan tepat waktu.

6
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 COPING STRESS

2.1.1 PENGERTIAN COPING STRESS

Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan coping sebagai tingkah laku

dan cara pandang yang secara konstan berubah untuk mengatur tuntutan

internal dan/atau eksternal spesifik yang dinilai membebani atau melebihi dari

sumber daya dari seseorang. Definisi yang dijelaskan oleh Lazarus dan

Folkman (1984) memberikan batasan mengenai coping, yaitu pertama bahwa

coping tidak berorientasi pada trait melainkan berorientasi pada proses.

Orientasi proses ini didasarkan dengan pernyataan “perubahan secara konstan

dan tuntutan dan konflik yang spesifik”.

Kedua adalah definisi tersebut menekankan perbedaan antara coping

dengan tingkah laku adaptif yang otomatis dengan membatasi coping pada

tuntutan yang dinilai membebani ataupun melebihi sumber daya seseorang.

Maka dari itu, segala bentuk tingkah laku maupun ataupun pemikiran yang tidak

membutuhkan usaha tidak termasuk sebagai coping.

Ketiga adalah pernyataan bahwa coping merupakan “usaha untuk

mengatur” yang memperjelas bahwa segala tindakan dan pemikiran seseorang

dalam menghadapi situasi yang dinilai melebihi sumber daya dinilai sebagai

coping, terlepas dari hasil baik atau buruknya usaha coping tersebut. Terakhir,

dengan menggunakan kata “manage”, coping dihindarkan untuk disamakan

dengan “mastery” atau penguasaan. Dalam hal ini “manage” dapat diartikan

7
sebagai mengurangi, menghindari, menoleransi, dan menerima kondisi yang

mengakibatkan stress maupun mencoba untuk menguasai lingkungannya.

2.1.2 FAKTOR –FAKTOR YANG MEMPENGARUHI COPING STRESS

Menurut Lazarus dan Folkman (1984), terdapat beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi coping yaitu faktor individu dan faktor situasi.

1. Faktor individu yang mempengaruhi coping meliputi:

a. Komitmen

Definisi komitmen dalam faktor ini mengandung komponen kognitf

yang mengarahkan pada pilihan, nilai, dan/atau tujuan. Komitmen

juga menyatakan sesuatu yang penting dan berarti untuk individu.

Komitmen dapat mengarahkan individu untuk melakukan tindakan

tertentu dalam menghadapi keadaan stress. Selain itu, komitmen juga

menentukan tingkat kerentanan terhadap stress. Semakin tinggi

komitmen individu dalam area tertentu, maka akan semakin tinggi

pula kerentanan individu dalam menghadapi stress dalam area

tersebut.

b. Keyakinan

Keyakinan adalah konfigurasi kognitif dari budaya dan pembentukan

pribadi. Keyakinan menentukan fakta yang diyakini dan pemahaman

makna dari fakta yang ada.Terdapat dua kategori keyakinan, yaitu

keyakinan yang berhubungan dengan kontrol personal dan keyakinan

eksistensial. Keyakinan tentang kontrol personal merupakan

8
keyakinan individu mengenai kemampuan yang ia miliki dalam

menghadapi permasalahnya. Keyakinan eksistensial merupakan

keyakinan atau kepercayaan pada Tuhan, takdir, atau yang

berhubungan dengan alam. Keyakinan digunakan individu untuk

mengevaluasi apa yang sedang terjadi.

2. Faktor situasi yang mempengaruhi coping meliputi:

a. Kebaruan atau novelty. Individu yang menghadapi suatu keadaan

yang baru dan tidak memiliki pengalaman keadaan yang sama

sebelumnya, maka individu cenderung tidak siap dalam melakukan

coping.

b. Predictability. Jika keadaan yang akan muncul dapat diprediksi

sebelumnya atau memiliki tanda-tanda muncul yang akan

mengancam, maka individu dapat mempersiapkan diri dan akan lebih

kuat dalam menghadapi keadaan tersebut

c. Event uncertainity. Faktor ini mempengaruhi coping ketika terjadi

ketidakpastian atas munculnya suatu keadaan. Ketika terjadi

ketidakpastian keadaan, individu akan lebih cepat merasa stress yang

akan berdampak pada proses coping yang tidak diantisipasi

sebelumnya.

9
2.1.3 ASPEK / DIMENSI COPING STRESS

1. Problem Focus Coping

Problem focus coping adalah usaha nyata berupa perilaku individu

untuk mengatasi masalah, tekanan dan tantangan, dengan mengubah

kesulitan hubungan dengan lingkungan yang memerlukan adaptasi atau

dapat disebut pula perubahan eksternal (Lazarus dalam Effendi, 1999).

Strategi ini membawa pengaruh pada individu, yaitu perubahan atau

pertambahan pengetahuan individu tentang masalah yang dihadapinya

berikut dampak-dampak dari masalah tersebut, sehingga individu

mengetahui masalah dan konsekuensi yang dihadapinya.

Problem focus coping merupakan respon yang berusaha memodifikasi

sumber stres dengan menghadapi situasi sebenarnya (Pramadi, 2003).

Problem focus coping merupakan coping stress yang orientasi utamanya

adalah mencaridan menghadapi pokok permasalahan dengan cara

mempelajari strategi atau keterampilan-kererampilan baru dalam rangka

mengurangi stresor yang dihadapi dan dirasakan. Lebih lanjut menurut

Lazarus (dalam Hapsari, 2002) coping stress yang berpusat pada

masalah, individu mengatasi stres dengan mempelajari caracara atau

keterampilan-keterampilan baru. Individu cenderung menggunakan

strategi ini bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi.

Menurut Lazarus (dalam Aldwin dan Revenson 1987) indikator yang

menunjukkan strategi yang berorientasi pada problem focus coping yaitu:

a. Instrumental action (tindakan secara langsung).

1
Individu melakukan usaha dan merencanakan langkah-langkah yang

mengarah pada penyelesaian masalah secara langsung serta

menyusun rencana untuk bertindak dan melaksanakannya.

b. Cautiousness (kehati-hatian).

Individu berfikir, meninjau, dan mempertimbangkan beberapa

alternative pemecahan masalah, berhati-hati dalam merumuskan

masalah, meminta pendapat orang lain dan mengevaluasi strategi yang

pernah diterapkan sebelumnya.

c. Negotiation

Individu melakukan beberapa usaha untuk membicarakan serta

mencari cara penyelesaian dengan orang lain yang terlibat di dalamnya

dengan harapan masalah dapat terselesaikan. Usaha yang dapat

dilakukan untuk mengubah pikiran dan pendapat seseorang,

melakukan perundingan atau kompromi untuk mendapatkan sesuatu

yang positif dari situasi.

Bentuk-bentuk problem focus coping menurut Lazarus (dalam Effendi,

1999) yaitu preparing focus coping, agression or attack, avoidance, dan

apathy orinaction. Lebih lanjut menurut Aldwin dan Revenson (1987) problem

focus coping meliputi tindakan instrumental yaitu tindakan yang ditujukan

untuk menyelesaikan masalah secara langsung serta menyusun rencana-

rencana yang dilakukan. Sedangkan negosiasi yaitu usaha yang ditujukan

kepada orang lain yang terlibat atau menjadi penyebab masalah yang

2
sedang dihadapinya. Indikator-indikator problem focus coping yang peneliti

gunakan adalah dari Lazarus (dalam Aldwin dan Revenson 1987) yaitu

instrumental action,cautiousness, negotiation.

2. Emotion focus coping

Emotion focus coping adalah upaya untuk mencari dan memperoleh

rasa nyaman dan memperkecil tekanan yang dirasakan, yang diarahkan

untuk mengubah faktor dalam diri sendiri dalam cara memandang atau

mengartikan situasi lingkungan, yang memerlukan adaptasi yang disebut

pula perubahan internal. Emotion focus coping berusaha untuk

mengurangi, meniadakan tekanan, untuk mengurangi beban pikiran

individu, tetapi tidak pada kesulitan yang sebenarnya (Lazarus dalam

Effendi, 1999).

Menurut Lazarus dkk (dalam Aldwin dan Revenson 1987) indikator

yang menunjukkan strategi yang berorientasi pada emotion focus coping

yaitu:

a. Escapism (Pelarian diri dari masalah).

Usaha yang dilakukan individu untuk menghindari masalah dengan

cara berkhayal atau membayangkan hasil yang akan terjadi atau

mengkhayalkan seandainya ia berada dalam situasi yang lebih baik dari

situasi yang dialaminya sekarang. Cara yang dilakukan untuk

menghindari masalah dengan tidur lebih banyak, minum minuman

3
keras, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, dan menolak kehadiran

orang lain.

b. Minimalization (meringankan beban masalah).

Usaha yang dilakukan individu untuk menghindari masalah dengan cara

menolak memikirkan masalah dan menganggap seakan-akan masalah

tersebut tidak ada dan menekan masalah menjadi seringan mungkin.

c. Self blame (menyalahkan diri sendiri).

Perasaan menyesal, menghukum dan menyalahkan diri sendiri atas

tekanan masalah yang terjadi atau strategi lainnya yang bersifat pasif dan

intropunitif yang ditujukan ke dalam diri sendiri.

d. Seeking meaning (mencari arti).

Usaha individu untuk mencari makna atau mencari hikmah dari

kegagalan yang dialami dan melihat hal- hal lain yang penting dalam

kehidupan.

2.2 RESILIENSI

2.2.1 PENGERTIAN RESILIENSI

Resiliensi dapat diartikan sebagai adaptasi yang baik dibawah keadaan

khusus (snyder & Lopez, 2002). Menurut Sills dan Steins (2007) resiliensi

merupakan adaptasi yang positif dalam menghadapi stres dan trauma.

Resiliensi adalah pola pikir yang memungkinkan individu untuk mencari

pengalam baru dan untuk melihat kehidupannya sebagai suatu pekerjaan yang

mengalami kemajuan. Resilensi juga merupakan kapasitas seseorang untuk

4
tetap berkondisi baik dan memiliki solusi yang produktif ketika berhadapan

dengan kesulitan ataupun trauma, yang memungkinkan adanya stress di

kehidupannya ( Reivich & Shatte,2002).

Resilensi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk bangkit kembali atau

pulih dari stres, mampu beradaptasi dengan keadaan stres ataupun kesulitan

(Smit dkk,2008). Resilensi juga dipandang sebagai ukuran keberhasilan

kemampuan coping stress (Connor & Davidson,2003). Berdasarkan pemaparan

beberapa took mengenai resiliensi , maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi

merupakan suatu usaha dari individu sehingga mampu beradaptasi dengan baik

terhadap keadaan yang menekan, sehingga mampu untuk pulih dan berfungsi

optimal dan mampu melalui kesulitan.

2.2.2 FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESILIENSI

Menurut Everall, Allrows dan Paulson (2006) faktor-faktor yang

mempengaruhi resiliensi tersiri dari empat faktor, yakni faktor individu, keluarga,

komunitas dan faktor resiko.

a. Faktor Individu

Yang dimaksud faktor individu adalah faktor-faktor yang berasal dari

dalam diri yang mampu membuat sesorang menjadi resilien. Hal-hal yang

termasuk dalam faktor individu ini antar lain :

1) Fungsi kognitif atau intelegensi

Individu dengan intelegensi yang baik memiliki kemampuan resiliensi

yang lebih baik. Levin (2002) menyetakan kecerdasan yang dimaksud

5
tidak selalu IQ yang baik, namun bagaimana seseorang dapat

mengaplikasikan kecerdasannya untuk dapat memahami orang lain

maupun diri sendiri dalam banyak situasi.

2) Strategi coping

Penelitian mengindikasikan bahwa remaja yang resilien memiliki

kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik dan menggunakan

problem focused coping atau fokus terhadap permasalahn sebagai

strategi mengatasi masalahnya.

3) Locus of Control

Locus of control yang membuat individu menjadi resilien adalah yang

cenderung ke dalam diri yaitu internal locus of control, dimana dengan

begitu individu memiliki keyakinan dan rasa percaya, cenderung

memiliki tujuan, harapan, rencana pada masa depan dan ambisi bahwa

dirinya memilikikemampuan.

4) Konsep Diri

Beberapa penelitian juga menemukan bahwa konsep diri yang positif

dan harga diri yang baik membuat individu menjadi resilien.

b. Faktor Keluarga

Beberapa penelitian serupa menjelaskan bahwa individu yang menerima

secara langsung arahan dan dukungan dari orang tua dalam keadaan

yang buruk akan lebih merasa termotivasi, optimis dan yakin bahwa

individu tersebut mampu untuk menjadi sukses

c. Faktor Komunitas atau Eksternal

6
Pada situasi yang buruk, individu yang resilien lebih sering mencari dan

menerima dukungan juga kepedulian dari orang dewasa selain orang tua,

seperti guru, pelatih, konselor sekolah, kepala sekolah dan tetangga.

Begitupula dengan memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, juga

lingkungan yang baik.

d. Faktor Resiko

Herman, dkk (2011) menyebutkan beberapa faktor yang ada dalam factor

resiko sebagai stressor atau tekanan. Faktor tersebut berupa keadaan

kekurangan, kehilangan, peristiwa negatif dalam hidup, perperangan,

bencana alam dan sebagainya.

2.2.3 ASPEK / DIMENSI RESILIENSI

Aspek-aspek resiliensi menurut Connor dan Davidson (2003) dan telah

dimodifikasi oleh Yu dan Zhang (2007) terdiri dari tiga aspek utama, yaitu:

1. Tenacity (Kegigihan)

Menggambarkan ketenangan hati, ketetapan waktu, ketekunan, dan

kemampuan mengontrol diri individu dalam menghadapi situasi yang sulit

dan menantang

2. Strength (Kekuatan)

Menggambarkan kapasitas individu untuk memperoleh kembali dan

menjadi lebih kuat setelah mengalami kemunduran dan pengalaman di

masa lalu.

3. Optimism (Optimisme)

7
Merefleksikan kecenderungan individu untuk melihat sisi positif dari setiap

permasalahan dan percaya terhadap diri sendiri dan lingkungan sosial.

Aspek ini menekankan pada kepercayaan diri individu dalam melawan

situasi yang sulit.

Berdasarkan uraian mengenai aspek-aspek resiliensi diatas,

penelitian ini sesuai dengan teori Connor dan Davidson (2003) yang telah

dimodifikasi oleh Yu dan Zhang (2007) melihat dari kondisi atau kriteria

subjek yang digunakan yaitu pasien penderita penyakit kronis, sehingga

dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menggunakan tiga aspek utama

resiliensi yang terdiri dari tenacity, strength, dan optimism.

2.3 KERANGKA BERFIKIR

Berdasarkan landasan teori yang telah di jelaskan sebelumnya, dengan konsep

resiliensi yang dimiliki oleh mahasiswa tingkat akhir menjadikan peneliti mempunyai

ketertarikan untuk menganalisis hubungan resiliensi terhadap coping stress. Maka

dapat disusun kerangka berfikir untuk menggambarkan bahwa adanya hubungan

antara resiliensi dan coping stress pada mahasiswa tingkat akhir dalam

menyelesaikan skripsinya.

RESILIENSI (X)

- PERSONAL COMPOTENCE
- TRUST IN ONE’S INTINCTS
COPING STRESS (Y)
- POSITIVE ACCEPTANCE OF
CHANGE AND SECURE - PROBLEM FOCUS COPING
RELATIONSHIPS - EMOTION FOCUS COPING
- - CONTROL 8
- SPIRITUAL INFLUENCE
2.4 Peneliian Terdahulu

No Judul Penelitian Hasil Penelitian

1 Hubungan Coping dan Hasil penelitian ini menunjukan terdapat hubungan antara

Resiliensi pada Perempuan coping dengan resiliensi pada perempuan kepala rumah

Kepala Rumah Tangga Miskin tangga miskin. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh

(Ayu CP & Hirmaningsh correlation coefficient (r) = 0,525 dengan p = 0,000

(2016), Jurnal Psikologi, Vol (p<0,01). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan

12) positif yang signifikan antara coping dan resiliensi. Artinya,

semakin baik kemampuan coping, maka semakin baik pula

kemampuan resiliensi yang dimiliki perempuan kepala

rumah tangga miskin.

2 Hubungan antara Resiliensi Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi product moment

dengan Strategi Coping pada dapat dilihat bahwa nilai signifikansi = 0,007 < 0,05, maka

Mahasiswa yang Menempuh Ho ditolak. Jadi ada hubungan antara resiliensi dengan

Program Skripsi Di Fakultas strategi koping pada mahasiswa yang menenpuh program

Ilmu Pendidikan Universitas studi skripsi di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri

Negri Surabaya ( Miftahul Z.E Surabaya.

(2018), Jurnal Penelitian

Psikologi, Vol 05)

9
2.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin melihat adanya hubungan antara

resiliensi dengan coping stress. Hipotesis ini merupakan dugaan jawaban dari

rumusan masalah yang diajukan, maka hipotesis dari penelitian ini adalah :

Ho: Terdapat hubungan yang signifikan antara resiliensi dengan coping stress

10
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. (2013). Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktik. Rineka


Cipta, Jakarta.

Atkinson. (2000). Pengantar psikologi edisi kesebelas jilid 2. Jakarta: Interaksa

Azwar, S. (2009). Sikap manusia, teori dan pengukurannya. Jakarta : Pustaka


Pelajar.
Danim, Sudarwan. (1997). Metode penelitian untuk ilmu-ilmu prilaku. Jakarta:

Bumi Aksara.

11

Anda mungkin juga menyukai