Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA Tn. M DENGAN CHOLELITHIASIS


RUANG : DAHLIA
RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

OLEH :
HERRY RIZALDI PO.62.20.1.17.216

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALANGKA RAYA


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI DIII KEPERAWATAN REGULER XX
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding
kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan kolesistitis akut
biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu. Sekitar 10 – 20% warga
Amerika menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya juga menderita
kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia tua dan lebih sering
terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada wanita – wanita hamil dan
yang mengkonsumsi obat – obat hormonal, insidensi kolesistitis akut lebih sering
terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini berkaitan dengan kadar progesteron yang
tinggi yang menyebabkan statis aliran kandung empedu. Di Indonesia, walaupun belum
ada data epidemiologis penduduk, insidens kolesistitis dan kolelitiasis di negara kita
relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara – negara barat. Meskipun dikatakan
bahwa pasien kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40
tahun, tetapi menuruit Lesman LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien – pasien
di negara kita. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)

Kolesistitis akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang memburuk secara
progresif. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh
spontan. Namun, seiring dengan makin parahnya serangan, nyeri kolesistitis akut makin
menjadi generalisata di abdomen kanan atas. Seperti kolik biliaris, nyeri kolesistitis
dapat menyebar ke daerah antarskapula, skapula kanan atau bahu. Tanda peradangan
peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada pernapasan dalam
dapat ditemukan. Pasien juga mengalami anoreksia dan sering mual. Kolesistitis akut
merupakan suatu penyakit yang dapat mengganggu kualitas hidup pasien. (Sudoyo W.
Aru, et al, 2009)

B. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan penulisan dari laporan asuhan keperawatan ini yaitu sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui tentang konsep penyakit cholelithiasis.


2. Mengetahui tentang konsep asuhan keperawatan pada klien dengan colelithiasis.
C. MANFAAT PENULISAN

Adapun manfaat penulisan dari laporan asuhan keperawatan ini yaitu untuk menambah
pengetahuan tentang konsep penyakit dan konsep asuhan keperawatan pada klien
dengan cholelithiasis.
BAB II
KONSEP TEORITIS

A. KONSEP PENYAKIT CHOLELITHIASIS

1. Pengertian

Cholelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah


kolelitiasis di maksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu
kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu
material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Batu yang di
temukan didalam kandung emepdu di sebut kolelitiasis, sedangkan batu didalam
saluran emepedu disebut keledokolitiasis ( Nucleus Pracise Newsletter. Edisi 72,
1011)

Cholelithiasis adalah maetial atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam
kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran kolestrol, pigmen
empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70% batu saluran empedu
adalah tipe batu pigmen, 1520% tipe batu kolestrol dan sisanya dengan komposisi
yang tidak diketahui. Di negara barat, komponen utama dari batu empedu adalah
kolestrol, sehingga sebagian batu empedu mengandung kolestrol lebih dari 80%.

Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding
kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan
demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih
belum jelas (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2. Etiologi

Cholelithiasis atau baju di dalam kandung empedu, sebagian besar tersusun dari
pigmen-pigmen empedu dan kolestrol selain itu juga tersusun oleh bilirubin,
kalsium dan protein.

Macam-macam batu yang terbentuk antara lain.

1. batu empedu kolestrol, terjadi karena : kenaikan sekresi kolestrol dan penurunan
produksi empedu.

Faktor lain yang berperan dalam pembentukanm batu :


- infeksi kandung emepdu
- usia yang bertambah
- obesitas
- wanita
- kurang makan sayur
- obat-obatan yang menurunkan kadar serum kolestrol

2. batu pigmen empedu, ada dua macam :

- batu pigmen hitam : terbentuk di dalam kandung empedu dan disertai


hemolisis kronik/sirosis hati tanpa infeksi.
- Batu pigmen coklat : bentuk lebih besar, berlapis-lapis, ditemukan
disepanjang saluran empedu, disertai bendungan dan infeksi.

3. Patofisiologi

Cholelithiasis/batu empedu hampir selalu dibentuk didalam kandung empedu dan


jarang pada saluran empedu lainnya.

Faktor pediposisi yang penting adalah.

- perubahan metabolisme yang di sebabkan oleh perubahan susunan empedu.


- Statis empedu.
- Infeksi kandung empedu.

Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling penting pada
pembentukan batu empedu. Kolestrol yang berlebihan akan mengendap dalam
kandung empedu.

Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan super saturai progresif,
perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi
kandung empedu dapat menyebabkan statis. Infeksi bakteri dalam saluran empedu
dapat memegang peranan sebagai pembentukan batu empedu dengan meningkatkan
deskuamasi seluler dan pembentukan mukus.

Batu yang bermigrasi ke duktus koledokus dapat lewat ke deudenum atau tetap
tinggal di duktus yang dapat menimbulkan ikterus obstruktif.
PATHWAY
4. Tanda dan gejala

Penderita batu saluran empedu sering mempunyai gejala-gejala kronis dan akut.

1) Gejala akut.
Tanda :
- Epigastrium kanan terasa nyeri dan spasme
- Usaha inspirasi dalam waktu di raba pada kuadran kanan atas
- Kandung empedu membesar dan nyeri
- Ikterus ringan

Gejala :
- Rasa nyeri (kolik empedu) yang menetap
- Mual dan muntah
- Febris (38,7C)

2) Gejala kronis
Tanda :
- Biasanya tak tampak gambaran pada abdomen
- Kadang terdapat nyeri di kuadran kanan atas

Gejala :
- Rasa nyeri (kolik empedu), tempat : abdomen bagian atas (mid epigastrium)
sifat : terpusat di epigastrium menyebabr kearah skapula kanan.
- Nausea dan muntah
- Intleransi dengan makanan berlemak
- Flatulensi
- Eruktasi (sendawa)

5. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis.


a. Asimptomatik
b. Obstruksi duktus sistikus
c. Kolik bilier
d. Kolesistisis akut
e. Perikolestisis
f. Peradangan pangkreas (pangkreatitis)
g. Perforasi
h. Kolesistitis kronis
i. Hidrop kantong empedu
j. Empiema kantong empedu
k. Fistel kolesis toenterik
l. Batu empedu skunder (pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu
empedu muncul lagi)
m. Ileus batu empedu ( gallstones ileus)
6. Pemeriksaan penunjang

Tes laboratorium :
- Leukosit : 12.000 – 15.000/iu ( N : 500 – 10.000 iu)
- Bilirubin : meningkat ringan, ( N : < 0,4 mg/dl)
- Amilase serum meningkat ( N : 17 – 115 unit / 100 ml
- Protrombin menurun, bila aliran dari empedu intestin menurun karena
obstruksi sehingga menyebabkan penurunan absorbsi vitamin K ( cara
kapilar : 2-6 menit)
- USG : menunjukkan adanya bendunga/hambatan, gal ini karena adanya batu
empedu dan distensi saluran empedu (frekuensi sesuai dengan prosedur
diagnostik)
- Endoscopic retrograde choledocho pancreaticography (ERCP), bertujuan
untuk melihat kandung empedu, tiga cabang saluran empedu melalui duktus
duodenum.
- PTC ( perkutaneus transhepatik cholengiografi) : pemberian cairan kontras
untuk menentukan adanya batu dan cairan pangkreas.
- Cholecystogram ( untuk cholesistitis kronik) : menunjukan adanya batu
sistem billiar
- CT scan : menunjukan gellbalder pada cysti, dilatasi pada saluran empedu,
obstruksi/obstruksi joundice.
- Foto abdomen : gambaran radiopaque (perkapuran) gallstones, pengapuran
pada saluran atau pembesaran pada gallblader

7. Penatalaksanaan

Penanganan kolelitiasis di bedakan menjadi dua, yaitu penatalaksanaan bedah dan


non bedah.

a. Penatalaksanaan bedah
a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat
terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka
mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%, indikasi
yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistitis akut.

b) Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparaskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan
sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparaskopi. 80-
90% baatu empedu di inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil
resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal)
dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu
diangkat melalui selang yang dimasukan lewat sayatan kecil di dinding
perut.

Idnikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya


kolesistitits akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli
bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut
dan pasien dengan batu duktus koledokus, secara teoritis keuntungan
tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi
perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat
kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang
belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan
insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi
lebih sering selama kolesistektomi laparoskopi.

b. Penatalaksanaan non bedah


a) Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu
sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik
dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda
dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien
memburuk.

Manajemen terapi :
- Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
- Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut
- Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
- Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok
- Pemberian antibiotik sistemik dan vitamim K (anti koagulopati)

b) Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian
obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan dari
pada chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih banyak pada
penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya diare, peningkatan amino
transfrasedan hiper kolesterolemia sedang.

c) Disolusi kontak
Terapi contact dissolutionadalah suatu cara untuk menghancurkan batu
kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung
empedu melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain
melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai adalah methyl terbutyl eter.
Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam kandung empedu
dan biasanya mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
d) Litotripsi gelombang elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang
(Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam
kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah batu
tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen. (Smeltzer & Bare, 2002)."

e) Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)


Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan,
lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam
saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada
sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang
menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi
telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000
penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga
prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja
biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih
tua, yang kandung empedunya telah diangkat
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CHOLELITHIASIS

1. Pengkajian
a. Pengumpulan data
Yaitu data demografi klien meliputi:
1) Biodata
 Nama
 Usia/Tanggal lahir
 Jenis kelamin
 Alamat
 Suku/Bangsa
 Agama/Keyakinan
 Pendidikan terakhir
 Pekerjaan/Sumber pendapatan
 Diagnostik medik
 No. Medika Record
 Tanggal masuk
 Tanggal pengkajian
2) Penanggung jawab
 Nama
 Usia
 Jenis kelamin
 Pendidikan terakhir
 Pekerjaan/sumber pendapatan
 Hubungan dengan klien
b. Keluhan utama
Keluhan klien sehingga dia membutuhkan perawatan medik.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
2) Riwayat kesehatan lalu
3) Riwayat kesehatan keluarga
d. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi
2) Tanta-tanda vital
3) Perilaku
4) Ekspresi wajah

2. Analisa Data
Mengelompokkan data berdasarkan annamnesa menjadi data subjektif dan objektif,
lalu mengkaji kemungkinan penyebab dan menetapkan masalah keperawatan.
3. Diagnosa keperawatan
1) Nyeri akut b.d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
2) Resiko infeksi b.d ketidakadekuatan pertahanan priemer (kerusakan kulit,
trauma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang).

4. Intervensi keperawatan

Nomor
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan
1. Setelah dilakukan asuhan 1) Kaji tingkat, frekuensi, 1) Untuk mengetahui
keperawatan selama 1x7 dan reaksi nyeri yang berapa berat nyeri yang
jam diharapkan nyeri dialami klien. dialami klien.
berkurang/ hilang dengan 2) Observasi tanda-tanda 2) Untuk mengetahui
kriteria hasil: vital keadaan umum klien
1) Klien mengatakan 3) Ajarkan teknik relaksasi 3) Teknik relaksasi napas
nyeri hilang atau napas dalam dalam dapat mengontrol
berkurang. 4) Kolaborasi dengan dokter pernapasan dan mampu
2) Klien tampak rileks dalam pemberian mengurangi nyeri
3) Skala nyeri berkurang analgesik. 4) Untuk mengurangi atau
(1-3) menghilangkan nyeri.
4) TTV dalam batas
normal
- TDS= 90-119 mmHg,
TDD= <80 mmHg
- S= 36,5-37,5C
-R = 16-24 x/menit
-N = 60-100 x/menit
2. Setelah dilakukan asuhan 1) Kaji apakah ada tanda- 1) Untuk mengetahui
keperawatan selama 1x7 tanda infeksi pada luka bagaimana keadaan luka
jam diharapkan klien tidak klien klien
memiliki resiko infeksi 2) Lakukan perawatan luka 2) Untuk menghindari luka
dengan kriteria hasil: dengan prinsip steril dari infeksi dan paparan
1) Klien tidak 3) Ciptakan lingkungan yang kuman atau bakteri
menunjukkan tanda- bersih dan rapi 3) Untuk mencegah
tanda infeksi 4) Kolaborasi dengan dokter penyebaran kuman
dalam pemberian penyakit
antibiotik 4) Untuk mencegah
timbulnya infeksi
BAB III
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN TN. M DENGAN PENYAKIT
CHOLELITHIASIS DI RUANGAN DAHLIA RSUD dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA
Inisial Pasien : Tn. M
No. Reg : 30.54.55

RENCANA KEPERAWATAN
Nomor Diagnosa Tujuan/Kriteria Rencana
No Tanggal Rasional
Keperawatan Hasil Keperawatan
1 12/11/2018 DX I Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat ska- 1. Mengetahui skala
Asuhan keperawa- la nyeri secara penyebab, kuali-
tan selama 1x7 jam komprehensif. tas, waktu, dan
nyeri pada bagian 2. Observasi TTV tempat.
abdomen berkurang3. Ajarkan teknik 2. Mengetahui kea-
dengan kriteria relaksasi napas daan umum klien.
hasil : dalam . 3. Napas dalam da-
1. Klien mengata- 4. Kolaborasi dalam pat mengontrol
kan nyeri berku- pemberian anal- pernapasan dan
rang. gesik. mengurangi rasa
2. Klien tampak nyeri.
rileks. 4. Mengurani atau
3. Skala nyeri ber- menghilangkan
kurang. nyeri dengan
4. TTV dalam ren- obat.
tang normal :
TD : 120/80 mmHg
N: 60-100 x/m
RR : 16-24 x/m
S : 36,5-37,5 C
2 12/11/2018 DX II Setelah dilakukan 1. Observasi luka. 1. Untuk mengeta-
asuhan keperawa- 2. Melakukan pera- hui bagaimana
tan luka selama watan luka. keadaan luka
1x1 jam diharap- sebelum di beri-
kan tidak terjadi kan perawatan
infeksi dengan luka.
kriteria hasil : 2. Untuk mengura-
1. Meningkatkan ngi resiko infeksi
penyembuhan pada luka, dan
luka dengan menjaga area
benar. luka tetap bersih.
2. Bebas dari
tanda-tanda
infeksi
(dolor, kalor,
tumor, rubor,
fungsio laesa).
BAB IV
PEMBAHASAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahapan awal dan landasan dalam proses asuhan keperawatan,
oleh karena itu diperlukan ketepatan dan ketelitian dalam mengenali masalah-masalah
yang muncul pada klien sehingga dapat menentukan tindakan keperawatan yang tepat
(Muttaqin, 2008).

Pengkajian pada Tn. M dengan diagnosa Cholelithiasis pasca operasi. Pengkajian


dilakukan dengan menggunakan metode wawancara, observasi, pemeriksaan fisik dan
catatan rekam medis.

Menurut Smeltzer & Bare (2002), masalah yang sering muncul segera setelah tindakan
pembedahan dan pasien telah sadar adalah bengkak, nyeri, keterbatasan gerak sendi,
penurunan kekuatan otot dan penurunan kemampuan untuk melakukan ambulasi. Nyeri
yang timbul tersebut akan berpengaruh terhadap proses pemulihan yang memanjang,
terhambatnya ambulasi dini, penurunan fungsi sistem, dan terlambatnya discharge
planning. Selain itu nyeri berkepanjangan akan berpengaruh terhadap peningkatan level
hormon stres yang dapat meningkatkan efek negative yang signifikan. Respon stres
dapat meningkatkan laju metabolisme dan curah jantung, kerusakan respons insulin,
peningkatan produksi kortisol, peningkatan viskositas darah dan agregrasi trombosit
sehingga berpengaruh langsung terhadap proses penyembuhan luka (Smeltzer & Bare,
2002).

Berdasarkan hasil pengkajian pola persepsi sensori pasien tidak mengalami gangguan
sensori seperti: penglihatan, pengecapan, penciuman, perabaan, dan pendengaran, akan
tetapi secara subjektif klien mengeluh nyeri pada pada tangan kanan, nyeri senut-senut
seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri 3 (rentang 0-10), nyeri hilang timbul dan
bertambah kuat ketika digerakkan. Secara objektif didapatkan data bahwa tekanan
darah 130/80 mmHg, nadi 90 kali permenit dan pernafasan sebanyak 20 kali permenit
ekspresi wajah meringis menahan rasa sakit.

Gejala yang dirasakan pada klien pasca operasi berupa kesakitan adalah hal yang wajar,
karena menurut Smeltzer&Bare (2002) masalah yang sering muncul pasien pasca
pembedahan adalah nyeri, bengkak, keterbatasan gerak sendi, penurunan kekuatan otot
dan penurunan kemampuan untuk melakukan ambulasi secara mandiri. Selain itu, dasar
pembedahan itu sendiri adalah proses fisik seperti insisi, pemotongan jaringan,
pengambilan jaringan pemasangan implant yang akan menstimulasi ujung saraf bebas
termasuk reseptor nyeri (Rowlingson, 2009).

Tindakan operasi menyebabkan terjadinya perubahan kontinuitas jaringan tubuh (Wall &
Jones, 1991). Untuk menjaga homeostasis, tubuh melakukan mekanisme untuk segera
melakukan pemulihan pada jaringan tubuh yang mengalami perlukaan. Pada proses
pemulihan inilah terjadi reaksi kimia dalam tubuh sehingga nyeri dirasakan oleh pasien
(Fields, 1987). Pada proses operasi digunakan anestesi agar pasien tidak merasakan
nyeri pada saat dibedah. Namun setelah operasi selesai dan pasien mulai sadar, ia akan
merasakan nyeri pada bagian tubuh yang mengalami pembedahan (Wall & Jones, !991).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan merupakan pernyataan yang menggambarkan respon aktual atau
potensial klien terhadap masalah kesehatan. Respon tersebut didapatkan berdasarkan
hasil pengkajian yang dilakukan serta berdasarkan catatan medis klien. Diagnosa
keperawatan yang muncul akan menjadi dasar utama perawat dalam menyusun
intervensi untuk menyelesaikan masalah kesehatan klien (Potter & Perry, 2005).

Berdasarkan data hasil pengkajian pada Tn. M didapatkan diagnosa keperawatan nyeri
akut berhubungan dengan luka post op laparatomi, pengangkatan batu empedu
(Cholelithiasis).

Diagnosa nyeri akut tersebut ditegakkan berdasarkan data subjektif dimana klien
mengeluh nyeri pada pada tangan kanan, nyeri senut-senut seperti ditusuk-tusuk dengan
skala nyeri 3-7 (rentang 0 - 10), nyeri hilang timbul dan bertambah kuat ketika
digerakkan. Secara objektif didapatkan data bahwa terdapat balutan dengan elastis
perban pada humerus sinistra, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 90 kali permenit dan
pernafasan sebanyak 20 kali permenit ekspresi wajah meringis menahan rasa sakit.

Penulis memilih nyeri akut menjadi diagnosa keperawatan dengan high priority
(prioritas pertama) yang harus diselesaikan dikarenakan nyeri merupakan kejadian yang
menekan (stress) dan dapat merubah gaya hidup dan psikologis seseorang. Hal ini
berakibat meningkatkan tanda-tanda vital, denyut jantung akan lebih cepat, tekanan
darah naik, pernafasan meningkat serta menimbulkan kecemasan. Menurut penulis jika
nyeri ini tidak segera diatasi akan mengganggu proses pelaksanaan keperawatan lainnya
dan memperlambat proses penyembuhan. Diagnosa nyeri akut ditegakkan berdasarkan
teori dalam NANDA 2012-2014 dengan kode 00132 yang diartikan sebagai suatu
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat
adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal
sedemikin rupa, kemudian awitan dinyatakan sebagai nyeri akut adalah awitan yang
tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan sedang sampai berat yang sekiranya dapat
diatasi. (Smeltzer& Bare, 2002).

C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
Intervensi keperawatan merupakan kategori perilaku perawat yang bertujuan
menentukan rencana keperawatan yang berpusat kepada pasien sesuai dengan diagnosa
yang ditegakkan sehingga tujuan tersebut terpenuhi (Potter & Perry, 2005).
Dalam penyusunan laporan asuhan keperawatan ini penulis menyusun intervensi
berdasarkan Nursing Intervension Clasification (NIC) dan Nursing Outcame
Clasifikasin (NOC).

Intervensi keperawatan yang disusun untuk mengatasi diagnosa nyeri akut berhubungan
dengan proses peradangan akibat cidera jaringan disusun berdasarkan NOC yaitu
setelah dilakukan keperawatan selama 1x7 jam maka nyeri berkurang atau hilang
dengan kriteria hasil pasien mengatakan nyeri berkurang, dan tanda tanda vital dalam
batas normal.

Intervensi keperawatan yang disusun adalah dengan managemen nyeri dimana dalam
NIC berkode 1400 yang meliputi: kaji nyeri (lokasi, durasi, karakteristik, frekuensi,
intensitas, factor pencetus), observasi tanda non verbal dari ketidaknyamanan,
memonitor tanda tanda vital, kontrol faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon pasien, ajarkan tehnik non farmakologis kepada pasien dan keluarga: relaksasi
nafas dalam, distraksi, dan kolaborasi medis (pemberian analgetik).

Tehnik relaksasi nafas dalam menjadi fokus utama penulis dalam memberikan asuhan
keperawatan terhadap masalah nyeri akut yang dialami Tn. M. Berdasarkan teori, tehnik
relaksasi nafas dalam merupakan salah satu bentuk intervensi asuhan keperawatan
untuk mengatasi masalah nyeri, terutama nyeri yang bersifat akut dan sedang
(McCloskey, 2000). Dalam intervensi ini perawat mengajarkan bagaimana cara
melakukan nafas dalam lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan
menghembuskan nafas secara perlahan melalui mulut. Selain itu tehnik relaksasi nafas
dalam dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi dalam darah
(Smeltzer &Bare, 2002). Relaksasi juga merupakan metode yang efektif dalam
mengurangi nyeri pasca operasi. Relaksasi yang sempurna dapat mengurangi
ketegangan otot, rasa jenuh kecemasan sehingga mencegah bertambahnya kualitas nyeri
(Potter & Perry, 2010). Oleh karena itu diharapkan masalah nyeri akut pasca
pembedahan segera dapat teratasi agar resiko komplikasi akibat immobilisasi tidak
terjadi dan program rehabilitasi dapat diterapkan sesuai program.

Adapun prosedur tehik relaksasi nafas dalam yang diajarkan adalah menurut Priharjo
tahun 2003 meliputi:
1. Usahakan rileks dan tenang
2. Menarik nafas yang dalam melalui hidung dengan hitungan 1, 2, 3, kemudian tahan
sekitar 5-10 detik
3. Hembuskan nafas melalui mulut secara perlahan-lahan
4. Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskannya lagi melalui mulut
secara perlahan-lahan
5. Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang
6. Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi keperawatan merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana
tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari
asuhan keperawatan yang telah dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry, 2005).
Diagnosa nyeri akut implementasi pertama dilakukan dengan mengukur kualitas nyeri
pasien dengan PQRST dan didapatkan hasil P (provoking incident) klien mengeluh
nyeri pada pada tangan kiri, Q (quality) nyeri senut-senut seperti ditusuk-tusuk, R
(region) tangan (humerus) sebelah kiri dengan S (scale) skala nyeri 3, T (time) nyeri
timbul tiba-tiba dan bertambah kuat ketika digerakkan.

Respon non-verbal nampak klien meringis menahan rasa sakit dan bertambah kesakitan
sesaat dilakukan pergerakan pada tangan sebelah kiri. Memonitor tanda-tanda vital
dengan respon tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 90 kali per menit dan pernafasan 20
kali permenit. Tanda-tanda vital tersebut dilakukan untuk memberikan gambaran
lengkap mengenai kardiovaskuler. Memonitor tanda-tanda vital merupakan suatu cara
untuk mendeteksi adanya perubahan system tubuh dan digunakan untuk memantau
perkembangan pasien (Hidayat, 2005).

Tindakan selanjutnya adalah mengajarkan tehnik relaksasi pada pasien. Respon yang
ditunjukan pasien adalah pasien mengikuti apa yang diajarkan. Tehnik relaksasi yang
diajarkan adalah dengan berdasarkan penelitian yang dilakukan Nurdin (2013) dan
Priharjo (2003),yaitu dengan menciptakan suasana lingkungan yang tenang, usahakan
pasien tetap tenang dan rileks, menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru
dengan udara melalui hitungan, perlahan-lahan udara tersebut dihembuskan melalui
mulut sambil merasakan bahwa semua tubuh terasa rileks, usahan tetap konsentrasi dan
lakukan kegiatan tersebut sampai 15 kali dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali
(Priharjo, 2003; Nurdin, 2013).

E. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi merupakan suatu proses keperawatan untuk mengukur respon pasien terhadap
kefektifan pemberian tindakan keperawatan dan kemajuan pasien terhadap tercapainya
tujuan yang telah disusun (Potter & Perry, 2005).

Pada kasus Tn. M evaluasi dilakukan pada tanggal 12 November pukul 13.15 WIB
dengan metode SOAP (subjektif, Objektif, Analisa, dan Planning). Hasil evaluasi pada
Tn. M didapatkan data bahwa klien mengatakan nyeri sudah berkurang pada bagian
abdomen (P) dengan kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk (Q), pada daerah tangan kiri
atas (humerus) (R), dengan skala berkurang menjadi 2 (S), dan nyeri datang saat akan
duduk (T). Data objektif yang didapatkan adalah pasien nampak lebih tenang dan rileks
dengan tekanan darah 120/90 mmHg, Nadi 80 kali permenit, pernafasan 20 kali
permenit dan suhu 36,2C. Berdasarkan data tersebut maka masalah keperawatan nyeri
akut pada Tn. M dinyatakan teratasi sebagian yang ditandai dengan menurunnya
intensitas nyeri dari skala 3 menjadi 2 dengan tanda-tanda vital dalam rentang normal.
Dapat dinyatakan juga bahwa tehnik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan intensitas
nyeri pada Tn. M dengan ulkus post op. Rencana tindak lanjut yang disusun adalah tetap
memonitor kualitas nyeri, motivasi untuk melakukan relaksasi jika nyeri datang dan
memberikan obat analgesin sesuai dengan anjuran.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Berdasarakan hasil pengelolaan kasus keperawatan pada Tn. M dengan masalah nyeri
akut post operasi laparatomi kolelitektomi di Ruang Dahlia RSUD dr.Doris Sylvanus
Palangka Raya, didapatkan suatu kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari pengkajian yang telah dilakukan bahwa Tn. M. adalah pasien post op
laparatomi. klien menyampaikan merasakan nyeri pada bagian perut, terasa seperti
ditusuk-tusuk dengan skala 3 (rentang 0-10) yang dirasakan timbul saat akan duduk.
2. Diagnosa keperawatan utama yang muncul pada Tn. M adalah Nyeri akut
berhubungan dengan prosedur invasif (laparatomi) dan resiko infeksi
3. Intervensi keperawatan disusun berdasarkan NIC dan NOC dimana intervensi yang
disusun untuk mengatasi masalah nyeri akut adalah dengan pain management yang
meliputi pengkajian kualitas nyeri pasien (PQRST), monitoring tanda-tanda vital,
pengajaran tehnik relaksasi nafas dalam, dan memberikan posisi nyaman serta
kolaborasi memberikan obat analgesik sesuai anjuran.
4. Implementasi keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi nyeri adalah lebih
berfokus pada monitoring kualitas nyeri, tehnik relaksasi (nafas dalam) dan
memonitor tanda-tanda vital serta memberikan obat analgesik sesuai anjuran.
5. Evaluasi menggunakan metode SOAP dimana pada masalah nyeri akut teratasi
sebagian yang ditandai dengan sudah menurunnya skala nyeri dari 3 menjadi 2 dan
tanda-tanda vital dalam rentang normal sehingga dapat disimpulkan bahwa aplikasi
tehnik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan intensitas nyeri pada pasien post
operasi laparatomi

B. SARAN
Pada pasien pasca op lapratomi sangat dibutuhkan istirahat total dan minimalkan
pengeluaran energy agar tidak terjadi resiko infeksi, dan juga makan makanan yang
kaya akan gizi agar sekiranya pemulihan luka pasca op lapratomi cepat sembuh.
Perawatan penderita lapratomi memerlukan waktu yang cukup panjang agar lukanya
cepat mengering dan juga pasien post op lapratomi sangat berisiko terjadi infeksi.
Dengan demikian, perawatan kepada penderita haruslah dilakukan dengan cermat dan
tepat.

Anda mungkin juga menyukai