A. Pendahuluan
1. Tujuan
1. Membuat sediaan galenika dengan cara infusum
2. Mengetahui kestabilan sediaan larutan infusum terhadap pertumbuhan
mikroorganisme dan jamur
3. Mengetahui kestabilan sediaan larutan infusum terhadap pembentukan kristal.
4. Mengetahui evaluasi sediaan larutan infusum secara organoleptik.
2. Latar Belakang
Orthosiphon folia mempunyai efek farmakologi yaitu daunnya mengandung kadar
kalium yang cukup tinggi. Selain itu terkandung juga glikosida orthosiphonin yang
berkhasiat untuk melarutkan asam urat, fosfat, dan oksalat dari tubuh, terutama dari
kandung kemih, empedu, dan ginjal.
Menurut Formulasi Nasional (hal 220), dosis yang diajukan adalah 0.5g/100mL
dengan pemberian 2 sampai 4 kali sehari 15 mL.
Pengguanaan sediaan diberikan secara oral untuk menangani penyakit seperti
diuretik, reumatik, diabetes, hipertensi, dan gallstone.
B. Tinjauan Pustaka
Bahan-bahan berkhasiat yang berasal dari alam dapat diekstraksi dan digunakan sebagai
sediaan galenika. Penggolongan berdasarkan derajat konsentrasi dan proses yang digunakan.
Penggolongan tersebut antara lain Dekosatum, Infusum, Ekstrak, Tinktura.
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada
suhu 90°C selama 15 menit. Pembuatan dapat dilakukan dengan mencampur simplisia dengan
derajat halus yang sesuai dengan air secukupnya, dipanaskan di atas air dan terhitung mulai suhu
mencapai 90°C. Saring selagi panas dan ditambahkan air panas secukupnya melalui ampas
hingga diperoleh volume infuse yang dikehendaki. Untuk pembuatan infusum orthosipon folium
ini, digunakan 0,5 bagian orthosipon folium dalam 100 bagian infusum (Farmakope Indonesia IV
9).
Infusum tidak stabil dari kontaminasi mikroba dan jamur sehingga dalam pembuatan
infusum yang baik, perlu ditambahkan bahan pengawet. Sediaan infus umumnya hanya bertahan
untuk waktu 12 jam.
Metode penyarian bahan aktif antara lain :
1. Metode maserasi yaitu pembuatan sediaan cair dengan proses ekstraksi sederhana dengan
cara pengocokan bahan baku didalam pembawa tertentu sampai pelarut terpenetrasi
kedalam struktur sel sehingga bagian yang terpenetrasi melunak dan zat aktif dapat larut
dalam pembawa.
2. Metode perkolasi yaitu pembuatan sediaan cair dengan proses ekstraksi dengan bahan baku
yang sudah dihaluskan atau digranulasi dengan cara mengalirkan pelarut berulang kali
untuk menarika zat aktifnya.
3. Metode digestion yaitu pembuatan sediaan cair yang prinsip kerjanya sama dengan
ekstraksi hanya saja pada proses ini suhu dinaikan.
4. Metode infusum yaitu sediaan cair dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada
suhu 90oC selama 15 menit.
5. Metode dekoktum yaitu sediaan cair dibuat dengan menyari simplisia dalam air pada suhu
90oC-98oC selama 30 menit.
Penggunaan infusum hanya efektif untuk sediaan bahan alam yang zat aktifnya larut dalam air
dan mudah diekstraksi. Sediaan infus sulit untuk distandarisasi karena zat aktifnya berasal dari
bahan alam.
1. Preformulasi zat aktif Orthosiphon folia (Farmakope Indonesia II th. 1972: 436-437)
Pemerian Bau aromatik lemah, rasa agak asin, agak pahit, dan sepat.
Daun: tunggal, bertangkai, letak berseling berhadapan, warnahijau,
rapuh; bentuk bulat telur, belah ketupat memanjang atau bentuk
lidah tombak; panjang 4 cm sampai12cm, lebat 1,5 cm sampai 8 cm.
Tangkai daun: persegi, warna agak ungu, panjang sampai 1 cm. Helai
daun: tepi bergerigi kasar tidak beraturan, kadang-kadang beringgit
tajam dan agak menggulung ke bawah; ujung daundan pangkal daun
meruncing; pendek, terutama pada permukaan bawah. Tulang daun;
menyirip halus, urat daun sedikit, warna hijau atau ungu.
Kadar air Tidak lebih dari 13%
Zat yang larut dalam air Tidak kurang dari 30%
Kadar abu Tidak lebih dari 8%
Penyimpanan Terlindung dari cahaya
Khasiat dan penggunaan Diuretik
2. Preformulasi zat tambahan atau eksipien
a. Aqua destilata (Handbook of Pharmaceutical Excipients: 802)
Nama lain purified water
Pemerian jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa
Kelarutan bercampur dengan hampir semua pelarut polar
Konstanta dielektrik 78,54
Stabilitas stabil dalam semua keadaan fisik
Penyimpanan pelarut dan pembawa
Kegunaan pada wadah tertutup rapat
cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, dengan rasa manis
Pemerian
agak pahit seperti gliserin.
Kelarutan Dapat bercampur dengan air dan etanol 95 %
Inkompabilitas Tidak kompatibel dengan oksidator seperti kalium permanganat
Stabil pada suhu dingin bila disimpan pada tempat tertutup. Pada
temperatur tinggi dan tempat terbuka akan terjadi oksidasi yang
Stabilitas akan memberikan produk propionaldehid, asam laktat, asam piruvat
dan asam asetat. Propilen glikol akan stabil saat dicampur dengan
etanol 95 %,gliserin atau air.
Kegunaan kosolven, pengental
C. Formula Percobaan
No Bahan Jumlah
1 Ekstrak ortosiphon folia 0,5 %
2 Metil Paraben 0,18 %
3 Propil Paraben 0,02 %
4 Propilen glikol 15 %
5 Sirupus simpleks 30%
6 Aquadest Ad 100%
D. Penimbangan
Daun Orthosiphon yang dibutuhkan:
Pada Formularium Nasional (hal 220) dinyatakan bahwa untuk pembuatan 100mL infus
dibutuhkan 0.5 gram ekstrak Orthosiphon folia. Menurut pemerian berdasarkan Farmakope
Indonesia III ( hal 12-13) Orthosiphon dalam Orthosiphon terdapat 30% zat yang larut air.
Maka simplisia yang dibutuhkan untuk mendapatkan ekstrak total yang dibutuhkan dapat
diperoleh dengan perincian sebagai berikut:
30% x simplisia Orthosiphon folia = ekstrak total
Namun dalam ekstrak tersebut zat aktif yang terdapat hanya sekitar 30%. Sehingga untuk
membuat sediaan 150 mL dengan dosis 0,5g/100mL maka dibutuhkan zat aktif terlarut 0.75
g . Maka ekstrak yang dibutuhkan untuk mendapatkan 0.75g zat aktif terlarut adalah
0,3 x ekstrak total = 0.75g
ekstrak total = 2.5 gram
maka simplisia Orhosiphon folia yang dibutuhkan
30% x simplisia Orthosiphon folia = ekstrak total
30% x simplisis Orthosiphon folia = 2.5 g
Simplisia Orthosiphon folia = 8.3 gram
maka untuk sediaan 150 mL, dipakai simplisia seberat 9 gram untuk mengantisipasi
kehilangan bahan/zat aktif.
Berdasarkan formulasi percobaan di atas, maka penimbangan bahan aktif dan eksipien
yang akan digunakan pada praktikum adalah sebagai berikut:
E. Prosedur Pembuatan
1. Aquades didihkan, kemudian didinginkan dalam keadaan tertutup,
untuk menghilangkan CO2.
2. Botol sediaan 60 mL ditara sejumlah 63 mL dan matkan 500 mL ditara
150 mL.
3. Dibuat sirupus simpleks sesuai ketentuan yang berlaku dalam
Farmakope Indonesia III, sebagai berikut:
Aqua destilat sejumlah 100mL dipanaskan
Sukrosa ditimbang sebanyak 65 gram
Aqua destilat ditambahkan ke dalam gelas yang berisi sukrosa sambil diaduk.
Tambahkan aqua destilat panas sampai larutan mencapai 100g.
Setelah sukrosa telah larut, maka larutan didiamkan hingga dingin pada suhu kamar
Sirupus simpleks disaring sebelum dipakai dalam sediaan.
4. Ditimbang 9 gram Orhosiphon folia dan dimasukkan ke dalam aquadest
sebanyak 100 mL kemudian dipanaskan. Saat suhu mencapai 90 oC maka simplisia
didiamkan lagi selama 15 menit sambil sekali-kali diaduk. Kemudian hasil rebusan
disaring kemudian dimasukan kedalam gelas kimia 250 mL.
5. Ditimbang 0.27 g metilparaben, 0.03 g propilparaben, dan 10 gram
propilen glikol dalam cawan penguap. Kemudian metilparaben dan propilparaben
dilarutkan dalam propilen glikol. Setelah larut, campuran dimasukan ke dalam gelas
kimia 250 mL dan bilas dengan 2 mL aquadest.
6. Ditimbang 45 gram sirupus simpleks, lalu diukur 5 mL aquades dan
dicampurkan ke dalam sirupus simpleks. Kemudian dimasukkan ke dalam gelas kimia
250 mL dan bilas dengan 2 mL aquadest.
7. Larutan di dalam gelas kimia 250mL dimasukkan ke dalam matkan yang
telah ditara 150 mL.
8. Ke dalam matkan kemudian ditambahkan aquadest hingga batas tara
150mL. Kemudian diukur sebanyak 63mL kemudian dimasukkan ke dalam dua botol
sediaan 60mL. Botol ditutup, kemudian etiket ditempelkan dan botol dimasukkan ke
dalam kemasan sekunder.
9. Sisa sediaan digunakan untuk evaluasi.
F. Hasil Percobaan
No Jenis evaluasi Prinsip evaluasi Hasil pengamatan
1 Uji organoleptis warna Coklat kehitaman
2 Uji organoleptis bau Pengamatan secara visual Bau seperti jamu tradisional
Larutan jernih tidak terdapat
3 Uji organoleptis kejernihan
partikulat.
Penentuan pH menggunakan
4 Uji pH larutan 6.44
instrument pH meter.
Menentukan densitas larutan Wkosong (W1)= 13.88 g
dengan menimbang massa Wair (W2)= 24.91 g
larutan sebanyak volume Worthosiphon (W3)= 25.5 g
Penentuan densitas larutan tertentu (10mL) dengan
5
(FI IV, 1030) piknometer yang kemudian
dibandingkan dengan cairan yang
telah diketahui densitasnya
(aquades) pada suhu tertentu
Mengukur waktu yang
Menggunakan alat Hoppler
Penentuan viskositas larutan dibutuhkan oleh bola yang
6 dengan bola 2 terbuat dari gelas
dengan alat Hoppler digunakan untuk jatuh sejauh
Waktu tempuh = 30.26s
jarak tertentu
Pengamatan hingga hari ke-5
Sediaan disimpan pada menunjukkan bahwa tidak ada
termperatur kamar untuk pertumbuhan mikroba, tidak
7 Uji stabilitas sediaan
mengamati lamanya stabilitas terbentuk caps locking dan tidak
sediaan terdapat partikulat di dalam
sediaan.
Pengukuran volume sediaan
8 Uji Volume terpindahkan 64mL
dengan gelas ukur
G. Pembahasan
Infusum adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air
pada suhu 90°C selama 15 menit. Pembuatan dapat dilakukan dengan mencampur simplisia
dengan derajat halus yang sesuai dengan air secukupnya, dipanaskan di atas air dan terhitung
mulai suhu mencapai 90°C. Saring selagi panas dengan kain batis dan ditambahkan air panas
secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infuse yang dikehendaki.
Hasil infus merupakan sediaan yang sukar distandardisasi, tidak stabil dan sebagian akan
mudah ditumbuhi bakteri dan jamur. Sehingga sediaan yang dibuat dengan cara ini hanya
bertahan selama 12 jam. Untuk mencegah timbulnya mikroorganisme tersebut maka pada
sediaan bahan alam tersebut digunakan kombinasi pengawet metil paraben dan propil paraben.
Digunakan kombinasi tersebut karena mekanisme kerja kedua pengawet tersebut saling
mendukung karena kedua paraben tersebut mempunyai sifat bakteriostatik dan bakteriodal.
Oleh karena itu kombinasi kombinasi paraben ini lebih efektif terhadap bakteri gram positif
daripada bakteri gram negatif. Karena struktur dinding sel bakteri gram positif dengan bakteri
gram negatif berbeda. Penggunaan pengawet biasanya ditujukan untuk sediaan dosis ganda
karena ada kemungkinan kontaminasi bakteri terjadi pada saat penggunaan sediaan obat,
walaupun pengerjaan yang tidak di laboratorium steril juga merupakan faktor yang
menyebabkan adanya kontaminasi mikroba pada sediaan.
Sediaan bahan alam menggunakan prinsip ekstraksi untuk mengambil zat aktif yang terdapat
dalam bahan simplisia bahan alam. Oleh karena larutan zat aktif yang dihasilkan mempunyai rasa
seperti jamu tradisional yang memiliki rasa sepat dan pahit. Untuk menutupi rasa tersebut maka
digunakan sirupus simpleks yang juga berfungsi sebagai pengental. Pada pembuatan sirupus
simpleks tidak ditambahkan metil paraben seperti yang tertera dalam Farmakope Indonesia edisi
III, karena prosedur pembuatan tersebut hanya digunakan untuk sirupus simpleks yang
digunakan dalam produksi besar dan tidak langsung digunakan dalam sediaan. Sirupus simpleks
yang kami buat, akan langsung digunakan dalam sediaan bahan alam sehingga dalam proses
pembuatannya tidak ditambahkan zat pengawet Metil paraben.
Adanya penggunaan sirupus simpleks dalam sediaan akan menimbulkan kemungkinan caps
locking yaitu pengkristalan pada tutup botol sediaan. Untuk mencegah hal tersebut maka
ditambahkan propilen glikol yang berfungsi sebagai anti caps locking. Pemilihan propilen glikol
juga dikarenakan pengawet paraben mempunyai kelarutan yang lebih baik dalam alkohol
dibandingkan di air. Sehingga propilen glikol dapat digunakan juga sebagai pelarut pengawet
paraben. Manfaat lain dari penggunaan propilen glikol adalah untuk meningkatkan viskositas
dari sediaan.
Dalam pengujiaan densitas larutan menggunakan piknometer didapatkan bahwa
viskositasnya adalah 1.053 yang berarti larutan ini sangat encer dan menyerupai air. Hal ini
menandakan bahwa penggunaan sirupus simpleks dan propilen glikol tidak cukup untuk
meningkatkan viskositas sediaan. Sehingga perlu ditambahkan zat pengental dalam sediaan
larutan bahan alam. Dalam hal ini kami mengajukan penggunaan Carboxymethylcellulose
Sodium (CMC-Na).
Pemilihan CMC-Na karena merupakan pengental dengan rentang pH efektif yang sangat
lebar yaitu pada pH 4-10 sehingga dapat digunakan dalam banyak sediaan. Namun karena CMC-
Na dapat menyerap air sangat besar hingga melebihi 50% sehingga penggunaan nya harus dalam
konsentrasi kecil. Penambahan 0.1% CMC-Na sudah cukup untuk meningkatkan viskositas
sediaan larutan bahan alam Orthosiphon folia infusum.
Untuk mengatasi aroma yang tidak sedap dari ekstrak Orthosiphon folia maka kami
mengajukan penggunaan menthol sebagai flavouring agent. Namun dalam praktikum, hal ini
tidak kami lakukan karena dalam uji organoleptik dari bau dan warna larutan bahan alam
orthosiphon mempunyai bau yang khas seperti jamu tradisional sehingga penambahan
flavouring agent menthol akan menggangu aroma khas dari sediaan yang kami buat.
Titik kritis pembuatan sediaan terdapat pada pembuatan infusum Orthosiphon folia.
Dikarenakan pembuatannya pada suhu 90 oC dengan menggunakan sedikit air, maka praktikan
harus dengan berulang memeriksa kadar air dalam proses ekstraksi. Apabila jumlah air sudah
mengalami pengurangan yang cukup banyak maka perlu ditambahkan air secukupnya. Suhu
pembuatan infusum juga perlu dibuat konstan, sehingga apabila suhu naik terlalu tinggi,
praktikan memindahkan wadah pembuatan infusum untuk diturunkan dari kompor beberapa
saat untuk membuat suhu turun.
Berdasarkan hasil evaluasi sediaan didapatkan bahwa secara organoleptik sediaan
menyerupai jamu tradisional dengan aroma yang khas, warna coklat kehitaman karena didapat
dari hasil ekstraksi bahan alam dan rasa yang sepat dan pahit. Namun karena diberikan sirupus
simpleks sehingga sedikit memperbaiki rasa sediaan menjadi manis.
Berdasarkan pengujian melalui pH meter didapatkan bahwa sediaan obat adalah 6.44. Hal ini
tidak bermasalah karena mendekati pH netral dan pH tersebut berada di selang pH optimum
untuk bahan aktif dan bahan eksipient di dalam sediaan.
Untuk uji menggunakan alat Hoppler dalam penentuan viskositas didapat bahwa waktu
tempuh bola dalam jarak yang telah ditentukan adalah 30.26s. Namun karena kami tidak
mempunyai faktor konversi alat Hoppler tersebut, maka viskositas sediaan tidak dapat
ditentukan secara kuantitatif. Namun melalui pengukuran densitas sediaan didapat bahwa berat
jenis sediaan adalah 1.053. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan tersebut hampir sama dengan
air, dan viskositasnya sangat rendah. Bentuk sediaan dengan viskositas rendah untuk pemberian
oral sangat tidak dianjurkan karena akan menimbulkan kemungkinan pada saat penuangan
sediaan akan ada larutan yang tertumpah. Sehingga dalam formulasi sediaan bahan alam
Orthosiphon folia infusum kami menganjurkan untuk menambahkan zat tambahan peningkat
viskositas yaitu CMC-Na.
Uji stabilitas hingga hari ke-5 pembuatan sediaan menunjukkan bahwa dalam sediaan tidak
terbentuk cap locking, tidak terdapat kontaminasi mikroba dan tidak terdapat partikulat-
partikulat yang merupakan kontaminan. Cukup membuktikan bahwa sediaan bahan alam
Orthosiphon folia infusum adalah stabil hingga hari ke-5 pengamatan dan bebas kontaminan.
H. Kesimpulan
1. Sediaan galenika tipe infusum dapat dibuat dengan cara megekstraksi simplisia bahan
alam pada suhu 90oC selama 15 menit.
2. Sediaan galenika rentan dalam pertumbuhan mikroorganisme maka dalam sediaan
bahan alam perlu ditambahkan adanya zat pengawet,
3. Untuk menghindari adanya pengkristalan atau cap locking karena penambahan sirupus
simpleks maka perlu ditambahkan anti cap locking.
4. Secara organoleptik, warna sediaan bahan alam adalah berwarna coklat kehitaman
karena merupakan hasil ekstraksi simplisia bahan alam, mempunyai aroma yang khas
seperti jamu tradisional dan penampilannya cukup jernih.
I. Usulan Formulasi
Berdasarkan hasil praktikum dalam melihat bentuk sediaan dan stabilitas sediaan maka
usulan formulasi yang kami berikan adalah:
No Bahan Jumlah
1 Ekstrak ortosiphon folia 0,5 %
2 Metil Paraben 0,18 %
3 Propil Paraben 0,02 %
4 Propilen glikol 15 %
5 Sirupus simpleks 30%
6 CMC-Na 0.1%
7 Aquadest Ad 100%
J. Daftar Pustaka
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.1972. Farmakope Indonesia edisi II. Jakarta:
Departemen Kesehatan. Hal 436-437.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta:
Departemen Kesehatan. Hal 12-13.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta:
Departemen Kesehatan. Hal 1030, 1089.
Rowe, Raymond C.2006. Handbook of Pharmaceutical Excipients 5thedition. London:
Phamaceutical Press. Hal 97,99,802, 466, 629, 744, 624, 460.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1978. Formularium Nasional, edisi II. Jakarta :
Departemen Kesehatan. Hal. 220.