Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

FILSAFAT DAN PENDIDIKAN

Disusun guna memenuhi tugas Landasan Kependidikan


Dosen Pengampu: Achmad Rifai Rc

Disusun oleh:
1. Pondra Raharjo (01035160
2. Rubita Harisna (0103516052
3. Erika (01035160

PENDIDIKAN DASAR, S2 (PGSD)


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Secara etimologis, filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu phillein yang berarti
cinta, dan sophos yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat adalah “cinta kebijaksanaan”.
Kemudian dari pendekatan etimologis tersebut, dapat disimpulkan bahwa filsafat
berarti pengetahuan mengenai pengetahuan, akar dari pengetahuan atau pengetahuan
yang terdalam. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang amat luas (komprehensif) yang
berusaha untuk memahami persoalan-persoalan yang timbul didalam keseluruhan
ruang lingkup pengalaman manusia. Filsafat adalah daya upaya manusia dengan akal
budinya untuk memahami, mendalami dan menyelami secara radikal, dan integral serta
sistematik mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya yang dapat dicapai akal
manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahuan
tersebut.
Filsafat yang dianut oleh suatu bangsa sangat mempengaruhi perkembangan
intelektual bangsa tersebut. Filsafat sebagai ilmu yang terus berkembang dari waktu ke
waktu, dari yang bersifat spiritual menjadi sekular, dari yang pasif menjadi individu
yang responsif dan dari yang tidak mampu menerima kebenaran menjadi kreatif dalam
mengembangkan dunia. Semua hal tersebut terjadi tidak lepas dari adanya pengaruh
filsafat barat baik yang bersifat klasik maupun modern. Dalam bab ini akan dipaparkan
mengenai filsafat barat, filsafat alternatif dan filsafat non-barat yang sangat besar
pengaruhnya dalam perkembangan dunia.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari pemaparan latar belakang, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang termasuk cabang filsafat barat?
2. Bagaimana karakter filsafat barat modern?
3. Bagaimana kaitan antara filsafat dan pendidikan?
4. Bagaimana kaitan antara filsafat dan politik?
C. TUJUAN
Tujuan pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui:
1. Cabang filsafat barat.
2. Karakter filsafat barat modern.
3. Kaitan antara filsafat dan pendidikan.
4. Kaitan antara filsafat dan politik.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Cabang Filsafat Barat


Untuk memahami filsafat kami menyajikan tiga pertanyaan sederhana yang mewakili
tiga cabang filsafat barat yang merupakan kunci dari filsafat. Ketiga pertanyaan tersebut
adalah metafisika: apakah nyata? Epitemologis: bagaimana kita tahu? Aksiologi:
Apakah berharga?
1. Metafisika (apakah semua ini benar?)
Metafisika merupakan kata yang berasal dari Bahasa Yunani yakni : μετά
(meta) = "setelah atau dibalik", dan φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam").
Metafisika merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal
atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas.
Cabang utama metafisika adalah studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam
dan hubungan antara satu dan lainnya.
Metafisika merupakan salah satu cabang filsafat yang mencoba menjawab
pertanyaan: apakah ini nyata? Sebagai seorang guru kita dapat mengembangkan
pertanyaaan tersebut: pengetahuan apa yang dibutuhkan siswa atau pengetahuan
apa yang harus kita ajarkan kepada siswa. Pertanyaan metafisika jelas berkaitan
dengan kurikulum yang merupakan pusat pemberian pengalaman belajar terhadap
siswa.
Sering kali kita melihat perubaahan dramatis tentang pandangan perspektif
metafisika tentang pendidikan. Sebagai contoh, masyarakat tradisional
menganggap agama sebagai subjek yang paling penting dan sebagai pendidikan
yang lebih awal sehingga pendidikan agama sebagai pembelajaran yang mendasar.
Sebagian masyarakat kita telah menjadi lebih berorientasi sekular yang bersifat
duniawi, pengalaman manusia, kurikulum telah menunjukkan adanya perubhan
tersebut. Dewasa ini diketahui bahwa pembelajaran di tekankan pada aspek
matematika dan membaca saja.mata pelajaran lain seperti IPA, IPS, musik, dan
pendidikan jasmani sering diabaikan.
2. Epistemologi (bagaimana kita tahu?)
Epistemologi, berasal bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos
(kata/ pembicaraan/ ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat,
karakter dan jenis pengetahuan. Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang
berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian,
dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki oleh setiap manusia. Epistemologi mengkaji tentang hakikat, dan
wilayah pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”).
Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber,
serta kebenaran suatu pengetahuan.
Berbeda dengan metafisika, epistemologi meneliti bagaimana kita tahu?
Pertanyaan ini dapat dikembangkan menjadi: bagaimana kita belajar dan bagaimana
kita akan mengajarkan pelajaran kita menjadi bermakna. Dalam hal ini kita
dihadapkan dengan metode dalam pengajaran.
Selama bertahun-tahun, metode pembelajaran mengalami perubahan. Pada
mesyarakat tradisional menganggap bahwa pengetahuan diperoleh dari wahyu atau
bawaan lahir, namun sebagai pendidik kita menyadari bahwa pengetahuan
diperoleh dari proses belajar dan pengalaman belajar ilmiah. Seperti penelian yang
diungkapkan oleh NCLB menunjukkan bahwa metode pembelajaran sekatang
dianggap gagal yaitu dengan mengadakan tes berupa pilihan ganda yang dinilai
memanjakan siswa, seharusnya pembelajaran kembali ke metode tradisional
dimana siswa diminta mampu menghafal.
3. Aksiologi (apakah nilai yang paling penting?)
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana
manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi berasal dari kata Yunani: axion (nilai)
dan logos (teori), yang berarti teori tentang nilai. Aksiologi membahas masalah nilai
atau norma yang berlaku pada kehidupan manusia. Cabang filsafat aksiologi
bertanya: nilai-nilai yang paling penting dan bagaimanan cara mengajarkan nilai-
nilai tersebut? Pertanyaan itu berkaitan dengan agama dan nilai-nilai moral dalam
pembelajaran.
Dalam masyarakat tradisional, nilai dianggap sebagai hal yang mutlak dan
tidak dapat diubah. Untuk umat beragama nilai diuraikan secara jelas dalam kitab
suci setiap agama. Dalam budaya terdahulu siswa diminta menghafal daftarnilai
kemdian menghafal didepan guru. Namun, untuk saat ini pengajaran difokuskan
pada pemahaman dari isi nilai-nilai tersebut. Hal tersebut menunjukkan aksiologi
telah mengalami pergeseran sistim pengajarannya yaitu dari membaca dan
menghafal menjadi penghayatan dan aplikasi perbuatan.

B. Filsafat Barat Modern


1. Filsafat Barat modern
Pada bagian ini kita akan membahas empat aliran filsafat barat dan mengkaitkan
dengan tiga cabang filsafat barat yang telah dibahas. Keempat filsafat barat modern
ini akan membantu kita dalam memahami dunia. Keempat filsafat barat modern
tersebut antara lain:
a. Idealisme
Idealisme merupakan filsafat yang diungkapkan pertama kali oleh Plato di
Yunani kuno. Memahami idealisme akan mempunyai pendapat yang berbeda
jika ditinjau dari segi metafisika, epistemologi dan aksiologi. Dari segi
metafisika berpendapat bahwa pembelajaran paling penting dari idealisme yaitu
pembelajaran yang bersifat klasik dan berkaitan dengan bahasa kuno ( Yunani
dan Latin) harus menjadi dasar kurikulum. Epistemologi berpendapat bahwa
pembelajaran terbaik bagi siswa yaitu pembelajaran yang ketat terhadap
pemikiran siswa yaitu dicapai dengan cara menghafal. Yang terakhir idealisme
menurut Aksiologi berpendapat bahwapembelajaran dapat diberikan melalui
penerapan nilai-nilai yang bersifat mutlak dan tidak berubah serta menjadi
pedoman terbaik dalam pembelajaran. Dengan kata lain, nilai-nilai tersebut
melekat dalam agama sehingga menjadi suatu yang mutlak dan harus dihafal
agar menjadi manusia yang baik.
b. Realisme
Sama halnya dengan idealisme, jika ditinjau dari segi aksiologi (nilai-
nilai), realisme mewakili pergeseran sejarah pola pikir manusia. Realisme
dikembangkan oleh filsuf dari tahun 1600-an dan 1700-an yang mempelajari
kaitan antara agama dan ilmu pengetahuan. Pertanyaan mendasar dalam hal ini
ialah: bagaimana kita menggabungkan keberadaan tuhan yang maha kuasa
dengan ilmu baru yang juga mengatur kehidupan manusia yang secara kasat
mata dapat dipahami manusia. Pandangan tradisional tentu berpendapat bahwa
hanya Tuhan yang memahami misteri alam semesta dan manusia tidak mungkin
mampu memahami alam. Sebagian ilmuan mempelajari kembali kebijaksanaan
Yunani kuno melalui pendekatan ilmiah seperti Aristoteles, mereka mulai
memecahkan misteri ini, namun interpretasi mereka ditolak dan dianggap
sebagai tahayul.
Dengan berkembangnya zaman, tradisi realisme juga mulai
berkembang. Realisme mulai mempelajari sains, matematika, dan lingkungan
sebagai subyek yang tepat untuk dipelajari (metafisika). Demikian pula mereka
menyatakan bahwa pengembangan keterampilan untuk memahami hukum-
hukum alam dari dunia kita adalah metode yang sesuai instruksi (epistemologi).
Evolusi filsafat dari idealisme ke realisme diakui dalam dunia ilmu
pengetahuan. Melalui hukum alam, Tuhan, ilmu pengetahuan dan manusia
sekarang terlibat dalam pembelajaran dan penemuan. Ilmu pengetahuan dan
metode ilmiah penyelidikan menjadi komponen penting dari kurikulum dan
pengajaran.
c. Pragmatisme
Pada tahun 1800 evolusi filsafat terus berkembang, sebagian masyarakat
menjadi lebih sekuler dan tata negara menjadi lebih jelas. Pragmatisme
mewakili pergeseran pemikiran tentang pentingnya memisahkan agama dari
aktivitas duniawi manusia. Pragmatisme adalah pendekatan filsafat baru untuk
dunia kita. Untuk pragmatis yang pertanyaan metafisika utama (mata pelajaran
apa yang harus diajarkan) adalah masalah utama yang dihadapi masyarakat.
Dalam dunia yang tampaknya telah berbanding terbalik dengan pasar dan
industri revolusi, masalah tumbuh kemiskinan dan perang semakin mematikan,
pragmatis sangat dicari jawaban melalui pendekatan pemecahan masalah ini.
Berbeda dengan idealis yang berusaha untuk melatih pikiran siswa
melalui studi ketat mengenai sastra klasik dan bahasa, atau realis yang melihat
matematika dan ilmu pengetahuan sebagai kunci untuk membuka rahasia alam
semesta, pragmatis berusaha untuk menggunakan tubuh kita untuk
menumbuhkan pengetahuan untuk membuat dunia kita menjadi tempat yang
lebih baik.
Dalam hal metode pengajaran (epistemologi), pragmatis diwakili
pergeseran khas dari abstrak ke beton, dari teori ke praktis. filsuf pendidikan
seperti John Dewey, misalnya, berpendapat bahwa, pembelajaran yang bersifat
teori dan tidak praktik hanya bersifat abstrak. Pembelajaran terbaik ialah
"dengan melakukan," tidak hanya dengan mendengarkan atau menghafal. Siswa
akan lupa dengan pelajaran karena mereka belajar "di luar konteks" dan tidak
memiliki hubungan langsung dengan kehidupan mereka. Misalnya, hanya
membaca tentang bagaimana untuk tampil baik di olahraga seperti bisbol
dengan berlatih keterampilan berjalan, melempar, dan memukul hanya satu
bagian dari pengalaman belajar. sekutu actu "bermain" enggak penting karena
masing-masing keterampilan terintegrasi ke dalam konteks dari permainan itu
sendiri.
John Dewey berusaha untuk menyalurkan minat siswa melalui proyek-
proyek yang melibatkan mereka di sejumlah tingkat untuk merenungkan
masalah kehidupan nyata dan menawarkan solusi untuk menyelesaikannya. Hal
ini sering dilakukan dalam konteks kerja kelompok/tim yang melibatkan
persaingan individu.
d. Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mempelajari hubungan
masyarakat yaitu hubungan individu dengan individu lain. Jean Paul Sartre
(1905-1980) merupakan tokoh eksistensialisme yang berpendapat bahwa masa
muda merupakan masa yang eksistensial, dimana di masa tersebut mereka
bertanggung jawab dan harus mengambil tanggung jawab pribadi untuk masa
depan mereka. Mereka mulai menyadari bahwa pendidikan disekulah bertujuan
untuk mengembangkan keterampilan dan karir masa depan, bukan hanya
membuat orang tua bahagia saja.
Dalam arti metafisika eksistensialis direkomendasikan kurikulum
humaniora yang membahas pertanyaan dari eksistensi manusia, hubungan dan
pemahaman tentang sukses, kegagalan dan kemenangan. Karena individu
adalah fokus utama dari eksistensialis, pertanyaan dari epistemologi atau apa
cara terbaik untuk mengajar, pusat untuk mencapai wawasan pribadi melalui
journal dan otobiografi. Dengan menanggapi dilema intelektual yang berbeda
melalui tulisan pribadi, siswa menemukan relevansi dalam apa yang tampaknya
menjadi dunia abstrak dan terpisah. Guru menggunakan empati dan dorongan
untuk membantu siswa membuat pilihan pribadi dan menyadari konsekuensi
dari pilihan-pilihan. Untuk eksistensialis itu, tujuan akhir dari pendidikan bagi
siswa untuk memahami pentingnya tanggung jawab individu.
Akhirnya, di wilayah aksiologi (nilai-nilai dan cara mengajar mereka)
nilai tidak hanya relatif (mirip dengan pragmatis) tetapi siswa memiliki peran
dalam pilihan masa depan mereka. Guru eksistensialis menggunakan empati
dan pemahaman untuk membimbing siswa untuk merangkul kehidupan yang
etis bertanggung jawab.

2. Fisafat Alternatif dan Filsafat non-Barat


Tiga cabang filsafat dan empat aliran filsafat barat modern yang berasal dari tradisi
barat, tradisi ini telah ada sejak bertahun-tahun lalu dari sejarah Yunani dan
Romawi yang selalu mengalami perkembangan. Tradisi barat ini membnatu kita
untuk memahami tentang budaya dan filsafat. Perubahan yang beragsur-angsur ini
melahirkan filsafat alternatif dan non-barat yang menunjukkan adanya
perkembangan dalam segala aspek kehidupan sebagai berikut:
a. Yahudi, Kristen dan Islam
Timur Tengah adalah tempat kelahiran peradaban dan asal dari sejumlah agama
termasuk agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Masing-masing agama ini,
mencakup sejumlah interpretasi khas dan sekte. Sebagai guru kita perlu
memahami perbedaan-perbedaan ini dan bagaimana mereka dapat
mempengaruhi pembelajaran. Misalnya, orang-orang Kristen progresif,
Yahudi, dan Muslim umumnya akan lebih terbuka untuk keragaman dan
pemisahan gereja dan negara dan pemahaman yang relatif nilai-nilai dalam
masyarakat kita. Konservatif, divisi yang lebih fundamentalis, di sisi lain,
mungkin cenderung kurang terbuka untuk keragaman pemikiran, lebih
dogmatis dalam pemahaman mereka tentang ilmu pengetahuan, dan lebih
berorientasi pada keyakinan dalam nilai absolut. Dengan mengenali perbedaan-
perbedaan ini dalam agama-agama ini kita dapat mengidentifikasi masalah,
menyesuaikan metode pembelajaran dan konten untuk membantu semua siswa
belajar.
b. Penduduk Asli amerika
Selain budaya berbasis agama Kristen, Yahudi, dan Islam alternatif lain dan
budaya non-Barat. Beberapa budaya asli Amerika, misalnya, menempatkan
penekanan khusus pada hidup harmonis dengan tanah (bukan tradisi Barat
pembangunan) dan kerja sama dengan anggota masyarakat. Budaya penduduk
asli Amerika lain merangkul kontribusi penting terjadinya tua sebagai sumber
utama pengetahuan. Sejak kompetisi sebagai landasan dari sebagian besar
bentuk evaluasi, penduduk asli Amerika mungkin memiliki kesulitan
menyesuaikan diri dengan ujian dan permainan kompetitif seperti ejaan dan
matematika. Dengan menyesuaikan metode pembelajaran kooperatif dan
bentuk lain dari evaluasi seperti portofolio dan kinerja, kita dapat membantu
anak-anak belajar (Villegas,1991; Wilson, 1994).
c. Asia
Demikian pula, banyak budaya Asia merangkul nilai-nilai harmoni dalam
keluarga dan masyarakat. Tradisi filsafat dan budaya ini tercermin dalam rasa
hormat kepada orang tua dan penekanan khusus pada kesopanan dan
pengabdian kepada tradisi. Banyak orang Jepang, misalnya telah memeluk
Shinto, perpaduan dari Konghucu, Buddha, dan kepercayaan Tao. Orang lain
telah berpaling ke Zen Buddhisme, yang menekankan suatu introspektif,
pencarian intuitif hikmat dan pengetahuan. Sekali lagi, dengan menyesuaikan
metode kami instruksi untuk memasukkan pembelajaran kooperatif dan bentuk
nonkompetitif evaluasi, kita akan memposisikan diri untuk membantu anak-
anak ini belajar.
d. Afrika Amerika
Akhirnya, untuk beberapa budaya Afrika, pemikiran introspektif dan hubungan
keluarga yang kuat merupakan cara penting dari pembelajaran dan pemahaman
sementara seni dan musik menyediakan outlet penting dari ekspresi dan
komunikasi. Tradisi-tradisi ini diperkuat di negara ini ketika jutaan orang Afrika
diperbudak di perkebunan selatan, (1607-1865). Dilarang pendidikan dan
kadang-kadang berlatih agama mereka, hubungan keluarga menjadi pusat dari
kehidupan budak dengan musik dan seni sebagai salah satu dari beberapa outlet
ekspresi pribadi. Dalam hal ini, budaya diperkuat oleh realitas perbudakan
(Nieto, 1996).

C. Filsafat Pendidikan
Sebagai seorang guru, kita harus fleksibel dan mampu menyesuaikan kurikulum
sekarang, metode pengajaran bahkan nilai-nilai dalam memenuhi kebutuhan belajar
siswa. Setiap anak memiliki pengalaman dan latar belakang budaya yang berbeda maka
pendekatan dalam pembelajaranpun harus berbeda sesuai dengan karakter siswa.
Secara garis besar filsafat pendidikan dikategorikan menjadi dua aliran pemikiran,
yaitu: pembelajaran otoriter dan pembelajaran demokratis yang dijabarkan sebagai
berikut:
1. Pembelajaran Sekolah Otoriter
Sekolah otoriter merupakan pendekatan pendidikan tradisional yang berakar pada
filsafat idealisme dan realisme, sebagai pemikiran dari John Locke (1632-1704).
Locke berpendapat bahwa siswa merupakan papan tulis yang kosong yang akan
ditulisi oleh guru. Karena siswa membawa sedikit pengetahuan maka tugas guru
ialah memberi informasi yang siswa butuhkan. Dengan demikian, produk
pembelajaran yang diberikan guru merupakan elemen kunci dalam proses
pendidikan. Dalam pembelajaran yang otoriter, siswa diharapkan untuk
memberikan solusi yang tepat khususnya untuk masalah penalaran dalam
matematika atau sains, mendefinisikan jawaban dengan tepat dan dengan kata-kata
yang tepat sesuai pernyataan dalam sastra atau sejarah.
Ciri-ciri pembelajaran otoriter:
- Berakar pada idealisme dan realisme
- Berasal dari pemikiran Slate John Locke
- Memprioritaskan produk pembelajaran daripada proses pembelajaran
- Pembelajaran terpusat pada guru
- Pemikiran yang memusat (dalam lingkup sempit)
- Perenialisme, esensialisme, behaviorisme dan positivisme

Lebih jauh akan dibahas tentang aliran-aliran dalam pembelajaran sekolah otoriter
yang meliputi perenialisme, esensialisme, behaviorisme dan positivisme dan
dikaitkan dengan tiga cabang filsafat sebagai berikut:

a. Perenialisme
Filsafat pendidikan paling tradisional yang terkait dengan sekolah
otoriter disebut sebagai perennialism. Filsafat ini, yang berakar pada ide-ide
idealisme dan realisme telah menjadi landasan pendidikan selama berabad-
abad. Perennialists berpendapat bahwa alam adalah hal yang konstan, sehingga
kurikulum juga harus konstan dan tidak berubah. Perennialists mirip dengan
idealis yang menekankan pentingnya pengajaran apa yang mereka lihat sebagai
ide-ide abadi umat manusia.
Pada intinya, perennialism merupakan kurikulum standar yang
bertujuan untuk mengembangkan kemampuan akademik siswa. Pembelajaran
perennialisme bersifat berpusat pada guru, atau subjek berpusat, metode
pelajaran disampaikan ke siswa dan siswa pasif. Siswa menghafal informasi
yang diberikan kepada mereka dan penilaian dilakukan dengan soal pilihan
ganda. Dalam hal ini semua siswa harus terkena kurikulum standar matematika,
ilmu pengetahuan, sejarah, geografi, sastra, dan seni rupa. Tujuan utama dari ini
"satu kurikulum cocok untuk semua" untuk mengembangkan kecerdasan siswa.
Pusat kemajuan kurikulum perennialist dalam beberapa tahun terakhir
adalah konsep "Mastery Learning." Ide dasar di sini didefinisikan dengan baik,
kurikulum standar, waktu dan sumber daya yang memadai, semua siswa dapat
"master" materi akademik yang disajikan kepada mereka. Fokus penguasaan
pembelajaran adalah untuk memberikan administrator, orang tua, dan politisi
dengan bukti penguasaan melalui pengujian yang sistematis.
b. Esensialisme
Seperti perennialism, esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan
tradisional berakar pada kepercayaan idealis dan realis dan merupakan bagian
dari sekolah otoriter. Tapi sementara perennialists berusaha untuk melatih
kecerdasan melalui paparan ide-ide abadi dari masa lalu, essensialisme lebih
fokus pada pengembangan keterampilan yang penting bagi masa depan-
terutama tempat kerja.
Esensialisme berpendapat bahwa semua siswa harus belajar
keterampilan dan diminta untuk menguasai keterampilan tersebut. Esensialis
juga menerapkan model belajar ceramah dan penilaian dilakukan melalui ujian
pilihan ganda dan esai top-down. Mereka berpendapat bahwa kurikulum tidak
berjalan ketat karena memberi pengalaman ke siswa, mereka juga kritis
terhadap upaya pendidikan modern untuk mengembangkan diri di kalangan
pelajar (Ravitch, 2000).
c. Behaviorisme
Behaviorisme merupakan filsafat pendidikan dari Sekolah Otoriter yang
berakar pada psikologi, terutama tulisan-tulisan William James (1842-1910),
Edward Thorndike (1874 -1949), John Watson (1878-1958), dan BF Skinner
(1904- 1990). Percobaan awal Watson dengan bayi, misalnya, membuatnya
menyimpulkan bahwa lingkungan lebih penting daripada faktor keturunan,
melalui pelatihan, semua siswa dapat menguasai pelajaran di kelas. Skinner
melakukan penelitian ini lebih jauh, dengan alasan bahwa siswa belajar lebih
cepat ketika diberikan imbalan. Karyanya di daerah ini menjadi dasar dari
"pembelajaran diprogram."
Behaviorisme telah menjadi populer di kalangan beberapa pendidik
dalam beberapa dekade terakhir baik sebagai metode disiplin dan sebagai dasar
instruksi dibantu komputer. Sebagai bagian dari model otoriter pendidikan,
diasumsikan bahwa siswa papan tulis dasarnya kosong ketika mereka tiba di
kelas dan bahwa mereka dapat "dimanipulasi" melalui sistem imbalan untuk
belajar. Selain itu, behaviorisme mencakup gagasan bahwa produk
pembelajaran, fakta-fakta, jika Anda mau, serta pemikiran konvergen, harus
menjadi fokus pendidikan.
d. Positivisme
Filsafat pendidikan yang teakhir di sekolah otoriter adalah positivisme.
Positivisme berasal dari tulisan-tulisan Auguste Comte (1798-1857) yang
diperkenalkan pendekatan metafisik yang berbeda (apa yang nyata) dan
epistemologis (bagaimana kita tahu) untuk memahami. Comte berpendapat
bahwa realitas ada hanya sebagai fakta diamati.
Pengujian intelijen dan psikologi pendidikan ini dilakukan oleh William
James dan Edward Thorndike. William James (1842-1910) dianggap sebagai
salah satu bapak Behaviorisme. Ia melibatkan konsep "stimulus-respon" yang
diterbitkan dalam Prinsip tentang Psychology pada tahun 1890. Eksperimennya
terlibat bayi yang meraih nyala lilin sebagai akibat dari refleks normal. Ketika
jari bayi dibakar, namun, ia belajar untuk tidak mengulangi perilaku itu karena
konsekuensi terlalu menyakitkan. Dari wawasan ini James beralasan bahwa
semua pembelajaran adalah mirip dengan bayi membakar jari dan
mengembangkan kebiasaan tidak melakukannya lagi (James, 1890).
Edward Thorndike (1874 -1949) ia memusatkan perhatiannya pada
pengukuran kemajuan siswa dan mengembangkan beberapa tes kecerdasan
standar pertama. Dalam pernyataan klasiknya pada pembelajaran Psikologi
Pendidikan yang diterbitkan pada tahun 1913, Thorndike berpendapat bahwa
kecerdasan adalah komoditas dari "koneksionisme" atau hubungan antara
"stimulus-respon." Semakin sering seorang anak membuat hubungan antara
stimulus dan respon dan lebih gratifikasi ia dicapai dengan memilih jawaban
yang benar, semakin besar pembelajaran. "Hukum dasar perubahan" merupakan
dasar dari teori belajar-nya (Thorndike, 1913). Dan iman yang tidak nyata.
Selain itu, ia merasa bahwa kita bisa tahu hanya melalui pengamatan langsung
dan intuisi itu, insting, dan wahyu yang menyamakan cara mengetahui.
Positivisme ini didasarkan pada empiris ilmu.
Sebagai filsafat pendidikan, positivisme adalah dasar dari pengamatan
empiris dan eksperimen. Hal ini konsisten dengan sekolah otoriter dalam hal itu
mencakup kurikulum terutama didasarkan pada ilmu pengetahuan dan
matematika dengan penilaian yang ketat dari pengetahuan khusus. Ini
merupakan konvergen berpikir bahwa ada fakta yang tepat dan metode yang
tepat untuk memahami dasar-dasar matematika dan sains. Meskipun
pengamatan empiris dan eksperimen merupakan komponen penting dari
beberapa filosofi pendidikan dalam demokrasi sekolah yaitu progresivisme
yang berorientasi umum pada positivisme yang biasanya kategorinya dapat
dilihat sebagai bagian dari sekolah otoriter.

2. Pembelajaran Sekolah Demokratis


Sekolah demokratis adalah pendekatan yang lebih bersifat kontemporer, berakar
pada filsafat pragmatisme dan eksistensialisme. Sekolah Demokrasi berasal dari
tulisan Jean Jacque Rousseau (1712-1778) yang menyatakan bahwa siswa tidak
papan tulis kosong tetapi datang ke kelas dengan pengalaman dan ide-ide, namun
belum dikembangkan. Peran guru dalam pembelajaran demokratis adalah
mengembangkan pengalaman siswa dan menekan proses pembelajaran.
Pembelajaran menerapkan pendekatan yang berpusat pada siswa dimana
pembelajaran dicapai melalui dialog antara guru dan siswa. Pendekatan ini
mendorong siswa untuk memberikan solusi yang unik dan kreatif dalam
penyelesaian masalah.
Ciri-ciri Pembelajaran Demokratis:
- Berakar pada pragmatisme dan eksistensialisme
- Berasal dari tulisan-tulisan Jean Jacque Rousseau
- Memprioritaskan proses daripada produk pembelajaran
- Pembelajaran terpusat pada siswa
- Pemikiran yang menyebar ( dalam lingkup luas)
- progresivisme, humanisme, konstruktivisme, postmodernisme, dan
Rekonstruksionisme.

Filsafat demokratis meliputi progresivisme, humanisme, konstruktivisme,


Reconstructionism, dan postmodernisme. Filsafat demokratis telah muncul abad ke-
20 dan abad ke-21.
a. Progresivisme
Filsafat pendidikan progresivisme muncul dari sekolah pragmatisme
dipelopori oleh Charles Pierce (1839-1914), William James, dan John Dewey.
Seperti banyak filsuf dan sarjana dari awal 1900-an lain, pragmatis prihatin
tentang masalah besar yang dihadapi Amerika Serikat seperti dari masyarakat
tradisional ke masyarakat yang lebih modern. Masalah tumbuh kemiskinan,
kejahatan, polusi, materialisme; hilangnya tukang yang terampil, munculnya
industrialisasi, dan penurunan semangat masyarakat semua menyarankan
bahwa kita harus agresif menangani masalah ini. Solusi filsafat umum yang
dianut oleh kaum pragmatis adalah untuk mengenali masalah ini dan kemudian
mencari solusi yang realistis yang bekerja.
John Dewey menerapkan ide-ide umum pragmatisme untuk membuat
filosofi pendidikan yang akhirnya dikenal sebagai progresivisme. Dewey
berpendapat bahwa bentuk-bentuk tradisional pendidikan Amerika (berakar
pada perennialism dan esensialisme) yang terlalu otoriter, terlalu abstrak, dan
telah gagal untuk berurusan dengan realitas yang berubah dengan cepat dari
masyarakat. Dia mencatat, misalnya, bahwa masyarakat telah menjadi terpecah-
pecah karena kenaikan industrialisme dan individualisme. Dalam ekonomi yang
lebih tradisional, ia menulis, Amerika memahami keterkaitan masyarakat. Dari
pengetahuan ini datang pemahaman serta apresiasi akan pentingnya masyarakat
dalam kehidupan individu.
Dewey berpendapat bahwa sekolah ideal untuk menangani masalah
fragmentasi dan dapat membantu siswa memahami interkoneksi mereka dengan
anggota masyarakat di mana mereka hidup. Akibatnya ia disukai sebuah "kelas
terbuka" lingkungan di mana siswa bekerja dalam kelompok, belajar untuk
bekerja sama dengan satu sama lain, dan bergulat dengan masalah-masalah
sosial yang nyata.
Sementara progresif kontemporer dan neo-progresif merangkul
berbagai pendekatan kurikuler dan metode mengajar, mereka berbagi
seperangkat ide. Pertama, dalam arti metafisik, sebagian besar akan setuju
bahwa kurikulum harus mengatasi masalah utama yang dihadapi masyarakat
dan tidak abstrak (dan sering elitis) pendekatan dari perennialists dan
essentialists. Isu-isu seperti pemanasan global, globalisasi ekonomi, korporasi,
imigrasi dan kebijakan luar negeri, serta masalah rasisme, mereka akan
berpendapat, harus dimasukkan ke dalam kurikulum. Demikian pula progresif
akan setuju bahwa, dalam arti epistemologis, cara terbaik untuk belajar dan
mengajar adalah pendekatan pemecahan masalah yang berfokus pada minat
siswa, kerja kelompok, dan tangan-on belajar. Dengan cara ini, siswa
diperkenalkan dengan ide-ide kerjasama di samping kompetisi individu. Selain
itu, sebagian besar pendidik progresif mempromosikan kurikulum berpusat
pada peserta didik atau berpusat pada siswa yang melibatkan siswa lebih aktif
dalam proses pembelajaran (Lambert & McCombs, 1998).
Pada tahun 1932, George Counts menjadi pendidik yang paling dibahas
di Amerika Serikat. Ia menuntut bahwa mereka menempatkan bakat mereka
untuk bekerja tidak hanya sebagai pendidikan tetapi sebagai reformis ekonomi
dan aktivis politik. Selain itu ia bersikeras bahwa hanya pendidikan bisa
memajukan reformasi sosial tanpa revolusi, pendidik diharapkan untuk
mengambil peran meningkatkan kepemimpinan dan pemerintahan, untuk
memberikan kepada siswa mereka rasa politik progresif. George Counts,
menyerukan terciptanya tatanan sosial internasional baru didirikan pada prinsip-
prinsip demokrasi. Peran pendidik rekonstruksionis, oleh karena itu, adalah
untuk membantu mengubah masyarakat (Counts, 1932).
Dalam dua dekade terakhir, telah tumbuh kritik konservatif progresif
dan pendekatan umum mereka terhadap pendidikan. Kritikus biasanya
perennialists dan essentialists yang telah memeluk kebijakan seperti NCLB dan
EOGs-berpendapat bahwa dugaan kegagalan pendidikan saat ini adalah hasil
dari pendekatan pendidikan progresif terutama penekanan mereka pada
pengembangan diri di kalangan mahasiswa dan fokus mereka pada relevansi
kurikulum (Ravitch, 2000). Tentu saja, beberapa pendidik progresif selama
bertahun-tahun mungkin telah menempatkan lebih menekankan pada harga diri
dan relevansi dan kurang pada konten kurikuler tradisional, seperti beberapa
pendidik konservatif telah mengabaikan pentingnya mengembangkan diri di
kalangan mahasiswa. Bagaimanapun, progresif adalah pendidik yang
berdedikasi yang efektif terintegrasi pendekatan inovatif untuk pendidikan
dengan landasan kurikuler yang solid dan langkah-langkah ketat dari penilaian.
b. Rekontruksionisme
Reconstructionism adalah suatu filsafat pendidikan berbasis progresif
yang tertanam kuat di sekolah demokratis. Ini muncul selama tahun 1930-an
pada saat negara itu mengalami kesulitan Depresi Besar. Sedangkan
progresivisme berpusat perhatiannya pada berhubungan kembali siswa dengan
masyarakat yang lebih besar melalui kegiatan terarah dan proyek kelompok,
Reconstructionism lebih politis.
Reconstructionists seperti guru tantangan Henry Giroux untuk menjadi
"trans- intelektual formatif" dan memberikan para siswa dengan "pedagogi
kritis" yang memberdayakan mereka untuk menjadi agen perubahan sosial.
Misalnya, sebagai seorang guru mungkin memasukkan pelajaran tentang
kebijakan luar negeri Amerika kontemporer dalam diskusi sejarah dengan
siswa. Guru bisa memimpin diskusi tentang bagaimana kebijakan kami di
Timur Tengah telah mempengaruhi warga Irak dan Amerika Serikat. Ketika
kelas mencapai konsensus tentang hal ini dan mungkin mengembangkan
sejumlah kebijakan alternatif untuk mempertimbangkan. Reconstructionism
mungkin memunculkan radikal untuk beberapa pendidik konservatif. Namun,
reconstructionists akan berpendapat bahwa dengan menantang status quo
sebenarnya memperkuat demokrasi.
c. Humanisme
Humanisme adalah filsafat pendidikan sekolah demokrasi yang paling
dekat mewujudkan ide-ide dari Jean Jacque Rousseau. Rousseau sangat percaya
bahwa siswa tidak kapal kosong atau papan tulis kosong yang bisa ditulis oleh
seorang guru. Sebaliknya, mereka diberkahi dengan kebaikan dasar saat lahir
yang sering berkurang oleh masyarakat. Seperti Rousseau dicatat dalam kalimat
pembuka dari risalah pendidikan Emile: "Allah membuat segala sesuatu yang
baik; Pria ikut campur dengan mereka dan mereka menjadi jahat "(Rousseau,
1974).
Johann Pestalozzi secara luas dianggap sebagai salah satu pendidikan
humanistik. Dia merasa yakin bahwa guru harus menggunakan memelihara
cinta di dalam kelas untuk menjadi sukses. Selain itu ia menyarankan agar guru
menggunakan benda-benda asing untuk membantu anak-anak belajar. Banyak
ide-ide yang dimasukkan ke dalam gerakan TK abad ke-19 dan terus
mempengaruhi pendidikan dasar awal.
Inti dari humanisme adalah untuk memupuk semangat individu tanpa
memaksakan ide eksternal pada siswa. Dengan kata lain, pendidik humanis
memungkinkan siswa untuk merumuskan jawaban mereka sendiri untuk
pertanyaan dan solusi untuk masalah tanpa mencoba membujuk mereka atau
mengindoktrinasi mereka. Ini mungkin bentuk akhir dari berpikir divergen,
untuk memungkinkan siswa menemukan jalan mereka sendiri, untuk berpikir di
luar kotak, dan mempekerjakan impuls kreatif yang merupakan bagian dari jiwa
manusia tidak rusak. Sejak tahun 1960-an, pendekatan humanistik untuk
pendidikan sudah sangat populer. Charles Silberman, krisis dalam Kelas,
misalnya, mengatur nada untuk berbagai pendekatan humanistik baru untuk
pendidikan termasuk penekanan yang lebih besar pada individu. Dia
berpendapat bahwa: "belajar adalah cenderung lebih efektif jika tumbuh dari
minat peserta didik, bukan minat guru" (Silberman, 1970).
Pendekatan berpusat pada peserta didik atau berpusat pada siswa ini
adalah inti dari sekolah demokratis pendidikan. Misalnya, telah direncanakan
pelajaran dalam ilmu yang berfokus pada cuaca. Sehari sebelumnya namun,
sekolah memiliki speaker pada pemanasan global dan konsekuensinya bagi
lingkungan. Sebelumnya terlihat bahwa banyak siswa tampaknya tertarik pada
subjek ini. Maka direspon dengan mengubah sedikit pelajaran dan
memungkinkan siswa untuk membicarakan dampak lingkungan dari pemanasan
global. Kemudian mengintegrasikan pelajaran asli pada cuaca menjadi diskusi-
diskusi. Dengan demikian telah ditarik pada kepentingan siswa dan
meningkatkan pelajaran (Silberman, 1970).
Sementara kritik mungkin menemukan humanisme dimengerti dan
menganggapnya sebagai bentuk ekstrem dari pendidikan demokrasi,
humanisme sebenarnya inti dari pengalaman pendidikan memelihara.
Memberdayakan siswa untuk mempekerjakan mereka sendiri ide-ide kreatif,
intuisi dan perasaan untuk belajar, adalah tujuan pendidikan yang mulia. Tentu
saja, tidak semua pendekatan pendidikan yang sesuai untuk semua siswa. Tapi
untuk beberapa siswa, terutama mereka yang kreatif dan berpikiran independen,
pendekatan humanistik bisa berbuah. Selain itu, seperti yang akan terlihat,
esensi dari pendekatan humanistik dapat berhasil diintegrasikan ke dalam
sejumlah pendekatan pendidikan lainnya.
d. Kontruktivisme
Terkait erat dengan humanisme adalah filsafat konstruktivisme.
Sementara humanisme berfokus pada pengembangan individu melalui
pendekatan pengasuhan untuk mengajar, tujuan konstruktivisme adalah untuk
memberikan siswa dengan kegiatan yang akan memungkinkan mereka untuk
membangun mereka sendiri dari pemikiran dan mengembangkan keterampilan
berpikir kritis. Pendidik konstruktivis mendukung pemahaman yang besar, ide-
ide kompleks daripada penguasaan fakta.
Pendidik konstruktivis terpanggil untuk konseptualisasi dasar
kurikulum dengan penekanan lebih besar pada pemahaman perubahan, dunia
multifaset dan kurang pada menghafal detail misterius dan fakta dari dunia itu.
Dengan demikian, konstruktivis bertentangan dengan penekanan saat ini pada
penguasaan pembelajaran dan akuntabilitas yang diusulkan dalam program-
program seperti NCLB. Konstruktivis berpendapat bahwa mempersiapkan
siswa untuk ekonomi global dan realitas dunia berubah mengharuskan kita
membantu mereka mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan perspektif
bukan hanya menghafal fakta. Sebagai pendidik konstruktivis memungkin
memperkenalkan pelajaran tentang kompleksitas ekonomi global yang muncul.
Sebuah proyek kelas mungkin terdiri dari wawancara pekerja (dan keluarga
mereka ) dari sebuah pabrik lokal atau pabrik yang telah di PHK karena
perusahaan ini memindahkan fasilitas manufaktur mereka ke negara lain.
Sebagai bagian dari proyek, siswa mungkin menyelidiki bagaimana masyarakat
setempat diatasi dengan perampingan, dan bagaimana bisnis lain di masyarakat
yang dilakukan. Dengan menggabungkan realitas pribadi globalisasi menjadi
pembahasan perubahan kebijakan ekonomi, siswa akan belajar banyak tentang
kompleksitas dunia.
e. Postmodernisme
Filsafat pendidikan terkemuka dari sekolah yang demokratis adalah
postmodernisme. Postmodernisme adalah yang paling kontemporer dari filsafat
nasional pendidikan yang telah dikaji sejauh ini, dan salah satu yang paling
kontroversial. Landasan filosofis adalah eksistensialisme tapi
perkembangannya berhutang banyak kepada gejolak masyarakat yang dimulai
pada 1960-an dan 1970-an. Tujuan dasar dari postmodernisme adalah untuk
memahami hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Postmodernis percaya
bahwa mereka yang berkuasa menggunakan lembaga pemerintahan, budaya,
dan sekolah untuk mempertahankan posisi mereka dalam masyarakat. Mereka
berpendapat bahwa masyarakat Amerika telah meminggirkan perempuan,
pekerja, orang kulit berwarna, serta budaya dan-agama religius minoritas.
Meskipun mekanisme yang sebenarnya dari ini "marjinalisasi" adalah yang
rumit dan tentu saja bukan bagian dari konspirasi besar, postmodernis
berpendapat bahwa itu ada tetap.
Di sekolah-sekolah, misalnya, postmodernis berpendapat bahwa
kurikulum berfokus terlalu banyak pada sastra klasik atau "Great Works."
Akibatnya ada sedikit ruang yang tersisa untuk karya-karya perempuan, orang
kulit berwarna, dan penulis etnis. Demikian pula, di daerah nilai sejarah, narasi
yang berpusat hampir secara eksklusif pada kontribusi dari apa yang disebut
"orang besar" di masa lalu meninggalkan sedikit ruang untuk sejarah sama
pentingnya orang sehari-hari, termasuk etnis dan budaya minoritas dan
perempuan. Postmodernis berpendapat, adalah bahwa siswa tidak menyadari
kontribusi intelektual dan sejarah kelompok lain dan individu dalam masyarakat
kita yang beragam dan sebagai hasilnya, menganggap bahwa mereka
memainkan peran marjinal di terbaik dalam pengembangan kami masyarakat
(Martin, 1985).
Tujuan dari postmodernis di bidang metafisika adalah untuk memeriksa
hubungan kekuasaan dalam masyarakat dan peran bahwa lembaga-lembaga
bermain dalam memperkuat prestise dan posisi mereka yang berkuasa secara
hati-hati. Dengan termasuk karya orang terpinggirkan dalam literatur, sejarah,
dan mata pelajaran lain, siswa akan memiliki apresiasi yang lebih baik dari
kontribusi dari anggota lain dari masyarakat kita yang beragam. Dalam hal
epistemologi atau metode pengajaran, postmodernis menggunakan pendekatan
berorientasi siswa dengan penekanan pada pertanyaan dan pemahaman. Seperti
eksistensial mereka, postmodernis merekomendasikan penggunaan menulis
jurnal saat mereka menguji hubungan kekuasaan dalam masyarakat kita. Tentu
saja tujuannya adalah untuk membantu siswa mengenali prestasi individu dan
kelompok yang secara tradisional dikecualikan dari literatur dan sejarah. Dalam
melakukan apresiasi keanekaragaman secara alami akan mengikuti.
Pendidik konservatif mengkritik postmodernis pada sejumlah alasan.
Mereka berpendapat bahwa mereka sedang berusaha untuk menyingkirkan
sastra klasik dan sejarah tradisional dari kurikulum. Selain itu, mereka
mengklaim bahwa pendekatan pendidikan postmodern mempromosikan
radikalisme dan tidak menghormati status quo. Postmodernis menunjukkan
bahwa pempertahankan status quo tidak harus menjadi tujuan dari pendidikan
dan bahwa skeptisisme yang sehat tentang sifat kekuasaan adalah inti dari
sebuah masyarakat demokratis. Akhirnya mereka membuat kasus bahwa sejak
dunia kita menjadi lebih beragam dan dengan demikian lebih multikultural, dan
sebagai perempuan, orang kulit berwarna, dan budaya etnis memainkan peran
yang semakin meningkat di dunia, kita harus mulai merangkul kontribusi
mereka dan memahami perspektif mereka jika kita ingin tumbuh dan
berkembang sebagai bangsa yang merdeka.

D. Aksiologi dan Pendidikan: Pendidikan Karakter dan Pendidikan Moral


Ada perbedaan yang signifikan antara filsafat pendidikan sekolah otoriter dan
demokratis pendidikan dalam hal struktur kurikulum (metafisika) dan metode
pengajaran (epistemologi). Ada juga perbedaan penting di bidang aksiologi (nilai-nilai
dan cara mengajar mereka). Perbedaan utama antara mereka berpusat pada pertanyaan
karakter terhadap pendidikan moral di sekolah-sekolah.
Sedangkan ide karakter atau pendidikan moral mungkin tampaknya menjadi ide
baru, itu benar-benar telah memiliki sejarah panjang di negeri ini. Nilai-nilai umum
dipromosikan oleh masing-masing budaya ini termasuk kebaikan, kejujuran, kesetiaan
kepada orang tua dan keluarga, serta kewajiban untuk orang miskin, sakit, dan kurang
beruntung.
1. Pendidikan Moral
- Menganggap bahwa siswa yang belum dikembangkan
- Fokus pada pengembangan penalaran moral
- Konsisten dengan sekolah yang demokratis
- Membalut progresivisme, Reconstructionism, humanisme, dan postmodernisme
2. Pendidikan Karakter
- Siswa papan tulis kosong
- nikmat transmisi "nilai-nilai moral ambigu"
- Konsisten dengan sekolah yang otoriter
- Membalut perennialism, esensialisme, behaviorisme, dan positivisme

Meskipun kita sering menggunakan karakter persyaratan dan pendidikan


moral secara bergantian, ada perbedaan penting. Para pendukung pendidikan karakter
berpendapat bahwa nilai-nilai tertentu seperti kejujuran dan patriotisme harus
ditekankan, diajarkan, dan dihargai. Selain itu, pendidik karakter mendukung
menghafal sumpah dan janji sebagai metode utama pembelajaran nilai-nilai tertentu.
Dengan demikian, pendidikan karakter adalah konsisten dengan sekolah otoriter
filsafat pendidikan.

Disisi lain pendidikan moral menekankan pengembangan penalaran moral


siswa tanpa menetapkan daftar preset nilai peserta didik harus mendapatkan. Moral
pendidik biasanya mendukung program-program seperti klarifikasi nilai-nilai di
mana siswa membuat pilihan dan keputusan tentang isu-isu kompleks seperti rasisme,
diskriminasi gender, perang dan perdamaian. filosofi demokrasi progresivisme,
Reconstructionism, humanisme, konstruktivisme, dan postmodernisme konsisten
dengan pendekatan ini (Raths, Harmon, & Simon, 1966).

Pendidikan karakter menekankan transmisi nilai-nilai moral ambigu dalam


perilaku sementara pendidikan moral mencoba untuk menjadi bebas nilai dan
menekankan penalaran moral siswa.

E. Filsafat dan Politik


Secara umum, konservatif sekutu dengan sekolah otoriter pendidikan yang
perennialist, esensialis, atau filsafat behavioris sementara progresif dapat ditemukan di
progresif, humanistik, konstruktivis, atau postmodern. Selama 20 tahun terakhir atau
lebih, kebijakan-in pendidikan progresif tempat selama bertahun-tahun di masyarakat
sekolah-telah ditentang dan diejek oleh kaum konservatif. Sebagai tanggapan, progresif
telah mengecam rencana konservatif untuk membentuk kembali atau bahkan
memprivatisasi sekolah umum.
Apapun persuasi politik, sebagai pendidik yang datang dalam semua garis-garis,
mengingat bahwa retorika politik tidak memiliki tempat di dalam kelas. Jangan
terpengaruh oleh serangan politik pada guru, kebijakan pendidikan, atau kegagalan
diduga pendidikan selama beberapa dekade terakhir. Sebaliknya, mengembangkan
strategi pengajaran berdasarkan apa yang terbaik bagi siswa. Pilih kurikulum yang
memenuhi kebutuhan kelas beragam dan mendasarkan pada penelitian pendidikan yang
solid. Akhirnya, mempertimbangkan individu yang mengkritik pendidikan umum dan
guru. Sebagai pendidik harus mampu membedakan, antara politisi yang melayani diri
sendiri yang belum pernah menginjakkan kaki di kelas atau pendidik yang berusaha
untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi siswa, serta mereka mendasarkan kritik
pendidikan mereka pada keinginan perubahan politik atau jajak pendapat publik atau
rekomendasi mereka didasarkan pada penelitian yang cermat dari komunitas
pendidikan.

BAB III

PENUTUP
A. SIMPULAN
B. SARAN

Anda mungkin juga menyukai