Anda di halaman 1dari 17

PELESTARIAN BANGUNAN GEREJA BLENDUK

(GPIB IMMANUEL) SEMARANG

Cyndhy Aisya Tanjungsari, Antariksa, Noviani Suryasari


Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya,
Jalan MT. Haryono 167, Malang 65145, Indonesia
Email: so.cyndhy@gmail.com

ABSTRAK
Kota Semarang merupakan kota pelabuhan yang memiliki sejarah pembangunan yang dirancang
dengan baik oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Pembangunan tersebut antara lain, membangun
kanal dan bangunan publik yang menyerupai gaya bangunan yang ada di Belanda. GPIB
Immanuel Semarang merupakan landmark Kawasan Kota Lama Semarang yang mengadopsi gaya
arsitektur Abad Pertengahan (Medieval Architecture) dan Indische Emphire. Gereja dikenal juga
dengan nama Gereja Blenduk karena memiliki struktur atap berbentuk kubah yang masih memiliki
keaslian sejak pembangunan pertama kali. Denah gereja memiliki bentuk menyerupai salib dan
berbentuk dasar segi delapan. Tujuan studi untuk mengetahui arahan fisik pelestarian pada
bangunan Gereja Blenduk. Studi dilakukan dengan menggunakan tiga metode, yaitu metode
deskriptif analisis, evaluatif dan developmen. Hasil studi menunjukkan terdapat elemen yang masih
baik dan dapat dipertahan, namun memerlukan perawatan. Arahan pelestarian diklasifikasikan
berdasarkan tiga tingkatan potensial, yaitu potensial tinggi, sedang dan rendah.
Kata kunci: pelestarian bangunan tua, GPIB Immanuel Semarang, Gereja Blenduk

ABSTRACT
Semarang city is a port city that has a history of development that is designed by the Dutch colonial
government. The development among others is to build canals and public buildings resembling the
style of existing buildings in Netherlands. GPIB Immanuel Semarang is a church that became
landmark of Semarang Old Town area who adopts the architectural style of the middle Ages and
Indische Emphire. The Church is also known as the Gereja Blenduk because it has a dome-shaped
roof structure which still has a genuine first time since construction. Plan of the church has a shape
resembling a cross and octagon-shaped base. Research studies using three methods, there are
analysis descriptive methods, evaluative and development. Studies indicate there are elements that
still good and can be maintained, but it requires maintenance. Preservation directives are classified
according to three levels potential, there are high, medium dan low potential.
Keywords: preservation of old building, GPIB Immanuel Semarang, Gereja Blenduk

32 arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016


Pendahuluan
Kota Semarang terkenal dengan bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang
berada pada Kawasan Kota Lama Semarang. Salah satu bangunan yang menjadi
landmark kawasan adalah bangunan peribadahan GPIB Immanuel, atau yang lebih
dikenal dengan bangunan Gereja Blenduk. Gereja Blenduk berada pada poros kawasan
dan berada pada jalan utama Letjen Soeprapto, atau Heerenstraat yang merupakan jalan
utama yang menghubungkan tiga gerbang benteng utama.
Bangsa Portugis, pertama kali membangun gereja dengan bentuk rumah panggung
dengan atap tajuk pada tahun 1753. Dilakukan pembangunan ulang pada tahun 1787
dengan bentuk menyerupai bangunan sekarang. Tahun 1894-1895, HPA de Wilde dan W.
Westmaas merupakan arsitek yang melakukan renovasi pada Gereja Blenduk. Renovasi
tersebut berupa penambahan luas bangunan, menara dan hiasan atap. Ornamen pada
pintu dan jendela juga mengalami penyesuaian dengan bentuk dasar bangunan. Pada
tahun 2002-2003 dilakukan renovasi berupa penambalan dinding yang mengelupas
kemudian dilakukan pengecatan dan penambahan fungsi toilet. Denah Gereja Blenduk
memiliki bentuk yang menyerupai salib Yunani. Terdapat empat pintu masuk pada penjuru
bangunan, sehingga memperhitungkan arsitektur tradisional Jawa sebagai empat arah
kiblat yang memiliki pusat akibat persilangan garis tersebut (Mangunwijaya, 2009).
Permasalahan yang akan dibahas dalam studi adalah bagaimana karakter visual,
karakter spasial dan karakter struktural pada bangunan Gereja Blenduk dan upaya
pelestariannya. Tujuan studi ini untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakter visual
bangunan dan menentukan strategi dan upaya pelestarian bangunan Gereja Blenduk
Semarang.

Metode Penelitian
Studi dilakukan dengan cara observasi lapangan, wawancara dan penggambaran
ulang. Alat yang digunakan dalam melakukan pengukuran berupa laser meter, meteran
dan tali tampar. Digunakan metode analisis data dengan pendekatan metode deskriptif
analisis, evaluatif dan developmen.
Metode deskriptif analisis digunakan untuk menjelaskan data terkait dengan kondisi
objek studi saat dilakukan survey lapangan. Studi ini mengacu pada pelestarian
bangunan, sehingga variable studi terdiri atas karakter spasial, karakter visual dan
karakter struktural. (Tabel 1)

Tabel 1. Kriteria Amatan pada Bangunan Gereja Blenduk


Kriteria Pengamatan Variabel Tolak Ukur
Karakter spasial - - Organisasi ruang Pola ruang dan perubahan
- - Orientasi bangunan Pola bangunan, fungsi, peletakan dan
perubahan
Karakter visual Massa bangunan - Fungsi, bentuk dan perubahan
Gaya bangunan - Bentuk dan ornamen
Elemen fasade a. Atap dan dinding a. Bentuk, material, warna, ornamen,
bangunan eksterior peletakan, perubahan
b. Pintu, jendela, kolom b. Bentuk dan ukuran, material, warna,
dan gevel. ornamen, peletakan, perubahan
Elemen ruang a. Dinding interior dan a. Bentuk, material, warna, ornamen,
dalam bangunan. lantai peletakan, perubahan
b. Kolom, pintu dan b. Bentuk dan ukuran, material, warna,
jendela ornamen, peletakan, perubahan
c. Langit-langit bangunan. c. Bentuk, material dan ukuran, warna,
ornamen, peletakan, perubahan
Karakter - Konstruksi atap Bentuk, material, peletakan, perubahan
struktural
bangunan.

arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016 33


Metode selanjutnya adalah evaluatif yang digunakan untuk menentukan nilai dan
kelayakan suatu objek studi. Hasil metode ini berupa kesimpulan arahan serta strategi
pelestarian yang sesuai. (Tabel 2)

Tabel 2. Kriteria Penilaian Gereja Blenduk


No. Kriteria Definisi Tolak ukur
1. Estetika Terkait dengan perubahan estetis dan Kesesuaian bentuk terhadap fungsi dan
arsitektonis bangunan. perubahan gaya bangunan yang ada.
2. Keterawatan Berkaitan dengan kondisi fisik Tingkat kerusakan dan kebersihan
bangunan. bangunan.
3. Kelangkaan Penggunaan ornamen yang berbeda Bangunan yang memiliki kelangkaan dan
dan tidak terdapat pada bangunan jarang terdapat pada bangunan lain.
lain.
4. Keaslian Berkaitan dengan tingkat perubahan Perubahan pada jumlah ruang, detail
fisik yang terjadi. elemen dan ornamen bangunan.
5. Peranan Sejarah Berkaitan dengan sejarah. Kaitan bangunan dengan peristiwa
sejarah yang pernah terjadi.
6. Keluarbiasaan Memiliki ciri khas yang terdapat pada Bangunan memiliki ciri khas yang
faktor usia, ukuran, bentuk bangunan berpotensi sebagai landmark.
dan lain sebagainya.
Sumber: Nurmala (2003), Hastijanti (2008) dan Antariksa (2011)

Setelah melakukan penilaian, tahap selanjutnya dilakukan penjumlahan untuk


mendapatkan nilai total yang dimiliki oleh tiap elemen bangunan. Nilai digunakan sebagai
acuan dalam pengklasifikasian elemen sebagai dasar penentuan arahan pelestarian.
Langkah-langkah dalam penilaian makna kultural bangunan sebagai berikut:
1. Menentukan total nilai tertinggi dan terendah setelah dilakukan penjumlahan pada
masing-masing kriteria.
2. Menggunakan rumus strurgess untuk penggolongan kelas.
k= 1+3,22 log n Keterangan: k= jumlah kelas
k= 1+3,322 log 6= 3,58 dibulatkan 3 n= jumlah angka yang ada
pada data
3. Menentukan jarak interval dengan cara mencari selisih total nilai tertinggi dan
terendah, kemudian dibagi dengan jumlah kelas.
𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 12
i= = =4 Keterangan: i= interval kelas
𝑘 3
j= rentang nilai tinggi dan
rendah
4. Mendistribusikan setiap total nilai ke dalam klasifikasi sesuai jarak interval (Tabel 3)

Tabel 3. Kelompok Penilaian


Penilaian Keterangan
Nilai 6-10 Potensi rendah
Nilai 11-15 Potensi sedang
Nilai 16-18 Potensi tinggi

Metode yang terakhir adalah developmen yang dilakukan untuk menentukan arahan
dalam upaya melakukan konservasi bangunan untuk membandingkan data dengan
kriteria atau standar yang sudah ditetapkan saat penyusunan studi. Arahan tindakan
pelestarian digunakan sebagai penentu batasan perubahan fisik yang diperbolehkan bagi
tiap-tiap elemen bangunan. Hasil penilaian makna kultural bangunan menjadi acuan
dalam penggolongan strategi pelestarian. (Tabel 4)

34 arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016


Tabel 4. Teknik Pelestarian Fisik
Tingkat Perubahan Fisik yang
No. Potensi bangunan Arahan Pelestarian Fisik
diperbolehkan
1. Potensi Tinggi Sangat kecil Preservasi – Konservasi
2. Potensi Sedang Kecil Konservasi - Rehabilitasi
3. Potensi Kecil Sedang – besar Rehabilitasi - Rekonstruksi

Hasil dan Pembahasan


Gereja Blenduk dibangun pada massa pemerintahan Kolonial Belanda dan terletak
di dalam pemukiman yang dikenal dengan nama “de Europeeshe Buurt” yang dibangun
di sisi Barat benteng Vijfhoek. Tata kota dan gaya arsitektur merupakan penerapan dari
Belanda, begitu juga Kali Semarang yang dibentuk menyerupai kanal-kanal yang ada di
Belanda. Pemerintah Kolonial Belanda telah menggambar struktur kawasan tersebut
pada tahun 1741 yang berpusat pada Kota Lama Semarang, atau lebih dikenal juga
dengan “Little Netherland”. (Gambar 1)

Gambar 1. Perubahan Benteng Vijfhoek.


Sumber: http://www.semarang.nl

Data fisik bangunan Gereja Blenduk berupa site plan, layout plan, denah, tampak
dan potongan bangunan. Bangunan Gereja Blenduk berada pada Jalan Letjen Suprapto
no. 32 dan berada tepat didepan Jalan Suari. Peletakan bangunan Gereja tidak
mengalami perubahan. (Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4)

.
Gambar 2. Bangunan Gereja Blenduk (GPIB Immanuel) Semarang

arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016 35


U U
Gambar 3 Site Plan Gereja Blenduk tahun 2015 Gambar 4 Layout plan Gereja Blenduk tahun 2015

Denah bangunan Gereja Blenduk mengalami perubahan sebayak tiga kali.


Dilakukan pertama kali pada tahun 1787, sehingga memiliki bentuk dasar bangunan
seperti sekarang. Perombakan berikutnya dilakukan pada tahun 1894 dengan
menambahkan fungsi menara dan teras luar. Penambahan dilakukan kembali pada tahun
2002-2003 dengan menambahkan fungsi toilet pada transep Timur. Lantai dua tidak
mengalami perubahan bentuk, hanya terdapat perubahan fungsi pada mezzanine sisi
Timur dari ruang ibadah, menjadi ruang penyimpanan sound system karena lantai kayu
yang mengalami pelapukan. (Gambar 5 dan Gambar 6)

Denah tahun 1787 Denah tahun 1894 Denah eksisting 2015

Gambar 5. Perubahan Denah Lantai 1 Gereja Blenduk.

Denah tahun 1787 Denah tahun 1894 Denah eksisting 2015

Gambar 6. Perubahan Denah Lantai 2 Gereja Blenduk.

36 arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016


Karakter spasial bangunan
a. Orientasi bangunan.
Peletakan bangunan publik berkaitan dengan keberadaan sebuah kota. Bangunan
Gereja Blenduk berada pada poros kawasan Kota Lama Semarang. Pada massa
pemerintahan Kolonial Belanda, bangunan gereja dikelilingi oleh bangunan perkantoran,
gudang dan pertokoan. Kota Lama Semarang telah mengalami perubahan fungsi sebagai
objek pariwisata, sehingga terdapat fungsi restaurant dan café sebagai penunjang.
Bangunan Gereja Blenduk menghadap Selatan, karena menghadap ke arah jalan
raya secara langsung. Mimbar berada pada sisi Barat bangunan, sehingga fokus pada
ruang ibadah menghadap ke arah Barat. Gereja-gereja Katedral mempertimbangkan
arah hadap bangunan menghadap ke Barat agar jemaat dapat berjalan ke arah Timur
(Yerussalem), namun Gereja Blenduk tidak memiliki aturan dalam menentukan arah
hadap karena mengutamakan tersampaikannya khotbah firman Tuhan.
b. Organisasi ruang
Fungsi ruang pada bangunan Gereja Blenduk memiliki keterkaitan dengan fungsi
utama bangunan seperti ruang Konsistori, ruang transep, menara, ruang Majelis dan
Orgel. Pada tahun 2002-2003, Gereja Blenduk mendapat penambahan toilet pada lantai
satu sisi Timur karena belum terdapat fungsi tersebut sebelumnya. Ruang penunjang
tersebut disusun pada sisi Timur, Selatan, Barat dan Utara ruang ibadah yang memiliki
bentuk dasar segi delapan. Tata letak tersebut menciptakan bentuk denah yang memiliki
kesamaan dengan salib Yunani dan ruang ibadah sebagai penghubung antar ruang.
Sirkulasi masuk pada bangunan menggunakan pintu utama yang terletak pada sisi
Selatan yang ditunjukkan dengan adanya kolom Dorik. Transep merupakan transisi antara
luar menuju bagian dalam bangunan dengan membentuk satu garis linier yang berawal
maupun berakhir pada ruang ibadah, sehingga menciptakan organisasi ruang radial.
(Gambar 7)

Gambar 7. Alur Sirkulasi Ruang pada Denah Bangunan Gereja Blenduk.

Lantai dua memanfaatkan ruang yang terjadi antara kolom dan dinding ruang
ibadah. Sistem yang digunakan adalah mezzanine yang berada pada lingkup ruang
ibadah, sehingga menciptakan hubungan ruang dalam ruang. Pemanfaatan ruang pada
lantai dua diletakkan pada sisi Utara, Timur dan Selatan. Organisasi ruang yang ada pada
lantai dua merupakan organisasi grid karena memiliki bentuk yang teratur. Bukaan pada
ruang ibadah terdapat pada tiap arah mata angin yang menyebar, sehingga dapat
mengurangi kekhusyuan saat ibadah. Untuk menjaga fokus jemaat, maka peletakan
perabot diatur memusat pada mimbar yang diletakkan pada sisi Barat bangunan. Jendela
yang diletakkan 1,65 m di atas lantai juga dapat menghalangi pandangan, sehingga
menambah fokus saat ibadah.

arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016 37


Karakter visual bangunan
a. Massa bangunan
Bangunan Gereja Blenduk memiliki beberapa bentuk geometri, antara lain setengah
lingkaran bola, prisma segitiga, prisma segi delapan dan kubus. Terdapat tiga tingkatan
ruang pada bangunan gereja, yaitu menara digunakan sebagai penunjuk waktu untuk
ibadah, transep sebagai ruang transisi dan ruang ibadah sebagai pusat kegiatan didalam
gereja. Bentuk menara yang tinggi menjulang dan ramping dapat menyeimbangkan
bentuk atap gereja berbentuk setengah lingkaran. (Gambar 8)

Gambar 8. Massa Bangunan Gereja Blenduk.

b. Gaya bangunan
Gereja Blenduk dibangun pada massa arsitektur neoklasik yang memiliki
persamaan dengan bangunan Eropa pada abad ke-17-18 M. Pada interior gereja
ditemukan beberapa pengaruh budaya Indis yang juga berkembang pada abad yang
sama (Wardani & Triyulianti 2011). Budaya Indis merupakan adaptasi gaya Kolonial
dengan budaya dan iklim yang ada di Jawa.
Gaya arsitektural yang ada pada bangunan gereja pada umumnya merupakan gaya
bangunan yang berkembang pada Arsitektur Abad Pertengahan (Medieval Architecture).
Pengaplikasian yang terdapat pada bangunan Gereja Blenduk terdapat pada atap dengan
bentuk kubah dan menggunakan pelapis timah, dua buah menara pada bagian depan
bangunan, jendela dan gang-gang arcade berbentuk setengah busur lingkaran, denah
bangunan berbentuk salib dan ruang utama berbentuk segi delapan, dan penerapan motif
pada jendela. Ciri bangunan memiliki kesamaan pada era arsitektur Byzantium, arsitektur
Romasque dan arsitektur Gothik yang terdapat pada abad kebangkitan religi (Middle
Age). ( Gambar 9)

38 arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016


Gambar 9. Aplikasi Gaya Bangunan pada Bangunan Gereja Blenduk.

c. Elemen fasade bangunan


Gereja Blenduk memiliki bentuk yang berbeda dengan bangunan yang ada di
sekitarnya. Fasade Gereja Blenduk dapat dilihat dari 4 sisi, antara lain sisi Utara. Timur,
Selatan dan Utara. Sisi Selatan bangunan memiliki bentuk fasade yang simetris. Fasade
bangunan terdiri dari atap, dinding, pintu, jendela, kolom dan gevel. (Gambar 10, Gambar
11, Gambar 12, dan Gambar 13)

Gambar 10. Tampak Selatan Gereja Blenduk Gambar 11.Tampak Utara Gereja Blenduk

Gambar 12Tampak Timur Gereja Blenduk Gambar 13Tampak Barat Gereja Blenduk

• Atap
Terdapat tiga jenis atap pada bangunan Gereja Blenduk. Atap pelana terdapat pada
transep dan lonceng, atap kubah dan atap dak beton. atap kubah mengalami perubahan
dengan menambahkan hiasan puncak, sedangkan atap yang lain tidak mengalami
perubahan. Material atap pelana dan atap kubah menggunakan campuran asbes yang
dilapisi unsur logam dan dicat dengan warna merah. Atap dak beton menaungi aisle dan

arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016 39


disebut juga sebagai balkon. Pada tahun 2002 ditambahkan lapisan luar menggunakan
bahan polyurethane karena terdapat kebocoran. (Gambar 14)

Atap Kubah

Atap Pelana

Atap Dak Beton

Gambar 14. Jenis Atap Gereja Blenduk.

• Dinding
Dinding eksterior bangunan Gereja Blenduk didominasi warna putih dan memiliki
ornamen dengan garis vertikal dan horizontal yang hampir sama banyaknya. Bila dilihat
dari arah Selatan bangunan, maka akan terlihat bangunan didominasi oleh elemen
vertikal. Jika dilihat dari arah yang berbeda maka akan terlihat dominasi elemen
horizontal. Dinding memiliki keterawatan yang baik, namun terjadi beberapa kerusakan
akibat cuaca dan polusi seperti pelupasan dinding dan dinding yang ditumbuhi oleh
tanaman. (Gambar 15)

Gambar 15. Dinding Eksterior Gereja Blenduk.

• Pintu
Terdapat empat jenis pintu eksterior pada Gereja Blenduk. Pintu utama terletak
pada sisi Selatan sebagai pintu utama, terdapat hiasan kaca patri berbentuk setengah
lingkaran pada bagian atas khas arsitektur Ghotik. Ornamen pada bagian luar memiliki
bentuk semanggi (kaver blad) sebagai simbol agama Nasrani dan berlian ornamen khas
Jawa (Wardani & Triyulianti, 2011). Pintu transep memiliki bentuk seperti pintu utama,
namun hanya memiliki dua daun pintu dan hiasan kaca patri lebih sederhana. Pintu
menara memiliki bentuk sederhana hanya memiliki perbedaan pada besar kusen pintu.
(Gambar 16)

40 arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016


P1 P2 P3 P4

Gambar 16. Peletakan dan jenis-jenis pintu eksterior Gereja Blenduk.

• Jendela
Jendela pada ruang ibadah dan transep memiliki bahan kaca patri sedangkan pada
menara dan hiasan puncak berbentuk krepyak dan berbahan kayu. Perbedaan tersebut
dapat dilihat berdasarkan tahun pembuatannya, menara dan hiasan puncak baru
ditambahkan pada tahun 1894 saat berkembangnya gaya Indis. Jendela J1 dan J2
memiliki detail ornamen dengan bentuk dasar segi delapan yang disesuaikan dengan
bentuk dasar bangunan. Jendela memiliki bentuk lengkung khas arsitektur Romanesque.
Jendela J4 merupakan jenis jendela berbentuk bunga mawar khas arsitektur Gothik.
Jendela J7 merupakan jendela dengan kaca patri yang memiliki bentuk yang sederhana
karena ditempatkan pada bagian atas ruang ibadah sebagai cross ventilation. Jendela J3,
J5, J6 dan J8 merupakan jendela krepyak yang memiliki bingkai (Tympanum) sehingga
memberi kesan besar pada jendela. (Gambar 17)

J1 J2 J3 J4

J5 J6 J7 J8

arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016 41


Gambar 17. Peletakan dan jenis-jenis jendela eksterior Gereja Blenduk.

• Kolom
Kolom eksterior terletak pada sisi Selatan bangunan sebagai penanda pintu masuk
utama bangunan. Kolom yang berada pada bagian bagian depan berbentuk lingkaran dan
semakin mengecil pada bagian atas. Kolom tersebut merupakan kolom Yunani dengan
bagain atas kolom Tuscan (The Greek Doric) yang terdiri dari Cymantium, Corona,
Abacus, dan Necking. Kolom yang kedua memiliki bentuk tidak beraturan. Kolom-kolom
tersebut menyangga gevel pada entrance utama bangunan Gereja Blenduk. (Gambar 18)

K1 K2

Gambar 18. Peletakan dan jenis-jenis kolom eksterior Gereja Blenduk.

• Gevel
Gevel pada bangunan Gereja Blenduk berada pada sisi Selatan. Aplikasi gevel
terdiri dari pediment dan entablature. Ornamen pada gevel berupa kaca patri dengan
bentuk bunga Mawar, penonjolan-penonjolan menggunakan plesteran, simbol salib dan

42 arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016


nama bangunan. Simbol salib dan nama bangunan sebagai penanda dan identitas
bangunan sebagai bangunan peribadahan. (Gambar 19)

Gambar 19. Gevel Gereja Blenduk.

d. Elemen ruang dalam bangunan


Elemen-elemen yang dapat membentuk dan menciptakan terjadinya ruang antara
lain, lantai, dinding, pintu, jendela dan langit-langit. Beberapa elemen pembentuk ruang
pada bangunan Gereja Blenduk memiliki ciri khas. Elemen-elemen pembentuk ruang
tersebut juga dapat digunakan sebagai batas wilayah pada ruang. Bangunan Gereja
Protestan tidak memiliki banyak ornamen maupun ukiran agar ibadah yang dilakukan
berjalan dengan baik. Pada gereja-gereja Protestan, bentuk-bentuk imajiner seperti
gambar-gambar dan patung dihilangan. Penghilangan gambar dan patung tersebut
dimaksudkan agar tidak menjadi berhala bagi umat (Barbara 2013).

• Dinding interior
Dinding interior memiliki dominasi warna putih dengan tebal 66-77cm. Dinding pada
ruang ibadah dan gang-gang antara dinding dan kolom memiliki bentuk lengkung sebagai
ciri khas arsitektur Romanesque. Ornamen berbentuk horizontal terdapat pada ruang
ibadah karena memiliki fungsi ruang utama. (Gambar 20)

Gambar 20. Dinding interior Gereja Blenduk.

• Pintu
Jenis pintu pada interior bangunan memiliki bentuk yang lebih sederhana bila
dibandingkan dengan pintu eksterior. Pintu interior berwarna coklat dan masih memiliki
warna yang baik. Pintu P7 merupakan pintu berbahan plastik yang erupakan jenis pintu
yang baru. (Gambar 21)

P5 P6 P7 P8

arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016 43


Gambar 21. Peletakan dan jenis pintu interior Gereja Blenduk.

• Kolom
Kolom interior terdapat delapan buah dan digunakan sebagai penyangga utama
atap kubah yang berada tepat di ruang ibadah. Pada bagian atas kolom terdapat ornamen
berupa sulur. Pilar kolom berwarna putih dan ornamen menggunakan warna emas.
Hiasan kolom memiliki kesan mewah dan megah, sehingga dapat disimpulkan bahwa
kolom tersebut merupakan pilar Yunani jenis Corinthian. (Gambar 22)

Gambar 22. Kolom interior Gereja Blenduk.


• Lantai
Jenis lantai ML1 dan ML3 memiliki kekhasan pada bangunan Gereja Blenduk.
Ruang ibadah memiliki jenis lantai yang berbeda dari ruang lain karena merupakan ruang
utama pada bangunan gereja. Motif lantai ML1, ML3, ML6 dan ML7 masih menggunakan
penutup lantai yang asli, namun ML2, ML4 dan ML5 sudah diganti karena mengalami
kerusakan. (Gambar 23)

44 arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016


ML 5 ML 6 ML 7

Gambar 23. Peletakan dan jenis lantai Gereja Blenduk.

• Plafon
Jenis plafon PL1, PL2 dan PL4 memiliki kesamaan pada bentuk geometri. Ruang
ibadah memiliki bentuk plafon yang mengikuti bentuk atap kubah, sehingga memiliki ksan
monumental. Plafon PL5 menggunakan bahan cord an PL6 menggunakan bahan gypsum
karena merupakan ruang tambahan. (Gambar 24)

PL 1 PL 2 PL 3

PL 4 PL 5 PL6

Gambar 24. Peletakan dan jenis plafon Gereja Blenduk.

Karakter struktural bangunan


Konstruksi atap pada bangunan Gereja Blenduk dibagi menjadi tiga macam, antara
lain konstruksi atap kubah, konstruksi atap pelana dan konstruksi atap dak beton.
Konstruksi atap pada ruang ibadah menggunakan struktur atap rangka kubah dengan
diameter ruang 16,5m. Berdasarkan inventarisasi Balai Arkeologi Yogyakarta pada
Marzuki (2011), atap kubah Gereja Blenduk ditopang oleh jari-jari yang berjumlah 32
buah, dengan 8 buah berukuran besar. Pada ruang transep menggunakan atap dengan
rangka kuda-kuda. Pada bagian ujung atap kubah terdapat lubang untuk masuknya
penghawaan. Bentuk atap Gereja Blenduk memiliki kesamaan bentuk dengan bangunan
The Dome of The Rock. Material atap The Dome of The Rock memiliki material atap timah
dilapisi emas, sehingga dimungkinkan material atap menggunakan logam timah yang
dilapiskan pada asbes. (Gambar 25)

arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016 45


Gambar 25. Konstruksi atap pada Gereja Blenduk.
Sumber: Buku Profil Gereja Blenduk, 2011

Arahan fisik pelestarian bangunan Gereja Blenduk


Bangunan Gereja Blenduk menghasilkan klasifikasi potensial pada elemen-elemen
bangunan berdasarkan pada nilai makna kultural yang terdapat pada masing-masing
tingkatan. Hasil klasifikasi menunjukkan tingkat prioritas pada elemen-elemen bangunan
serta menentukan tindakan pelestarian fisik berupa arahan pelestarian. Kebijakan
tersebut meliputi preservasi, konservasi, rehabilitasi dan rekonstruksi.
Nilai potensial tinggi antara 16-18 merupakan elemen bangunan yang masih
memiliki bentuk asli, beraitan dengan peranan sejarah dan tingkat keterawatan yang baik.
Tindakan preservasi dilakukan pada elemen yang masih memiliki bentuk asli, keterawatan
yang baik, tidak diperbolehkan mengganti dengan material baru dan dilakukan
pencegahan. Elemen yang memiliki kerusakan namun memiliki potensi yang tinggi
dilakukan tindakan konservasi. Tindakan konservasi merupakan tindakan perbaikan
bagian yang rusak sesuai dengan bentuk, material, ukuran dan warna asli elemen
tersebut.
Nilai potensial sedang memiliki nilai antara 11-15, masih memiliki elemen yang asli
atau mengalami perubahan namun tidak merubah karakter, dan memiliki keterawatan
yang rendah. Tindakan konservasi dilakukan pada elemen bangunan yang masih memiliki
bentuk asli, tetapi mengalami kerusakan. Tindakan rehabilitasi dilakukan untuk
mengembalikan objek menjadi fungsi awal.
Nilai potensial rendah bernilai antara 6-10 yang mengalami perubahan bentuk atau
material sehingga tidak terlihat karakter asli bangunan dan tidak terdapat kaitan dengan
periode sejarah, juga dapat memiliki tingkat keterawatan tinggi. Rehabilitasi dilakukan
untuk mengembalikan objek menjadi fungsi awal. Tindakan rekonstruksi digunakan untuk
mengembalikan elemen menjadi bentuk awal jika masih dapat ditelusuri material yang
digunakan.

46 arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016


Tinjauan pelestarian bangunan Gereja Blenduk
Peninjauan pelestarian bangunan Gereja Blenduk dilakukan dengan pengamatan
terhadap kondisi eksisting dan elemen-elemen pada bangunan. Pada penjabaran studi
didapatkan bahwa bangunan Gereja Blenduk memiliki keterawatan bangunan yang baik.
Aspek yang digunakan dalam melakukan tinjauan pelestarian antara lain, estetika,
keaslian bentuk, kelangkaan, keterawatan, peranan sejarah dan keluarbiasaan. (Tabel 5)

Tabel 5. Rekapitulasi Nilai Makna Kultural Bangunan


Nilai Makna Kultural
No. Variabel amatan Total Kelas
e T K A ps Kb
1. Karakter spasial 1.
Orientasi bangunan 3 3 3 3 3 3 18 PT
Fungsi ruang 3 3 2 3 3 3 17 PT
Hubungan ruang 3 3 2 3 3 3 17 PT
Organisasi ruang 3 3 2 3 3 3 17 PT
Sirkulasi ruang 3 3 2 3 3 3 17 PT
Orientasi ruang 3 3 2 3 3 3 17 PT
2. Karakter visual bangunan.
Bentuk trimatra 3 3 3 3 3 3 18 PT
Siluet bangunan 3 3 3 3 3 3 18 PT
Gaya bangunan. 3 3 3 3 3 3 18 PT
Atap bangunan.
- Atap transept 3 3 1 3 3 1 14 PS
- Atap pintu masuk utama 3 3 1 3 3 1 14 PS
- Atap utama (kubah) 3 3 1 3 3 3 16 PT
- Atap menara 3 3 1 3 3 3 16 PT
Dinding eksterior 3 3 1 3 3 3 16 PT
Pintu
- Pintu P1 3 3 3 3 3 3 18 PT
- Pintu P2 3 3 3 3 3 3 18 PT
- Pintu P3 3 3 1 3 1 2 13 PS
- Pintu P4 3 3 1 3 1 2 13 PS
Jendela
- Jendela J1 3 3 3 3 3 3 18 PT
- Jendela J2 3 3 3 3 3 3 18 PT
- Jendela J3 3 3 3 3 3 3 18 PT
- Jendela J4 3 3 2 2 3 2 15 PS
- Jendela J5 3 3 3 3 3 3 18 PT
- Jendela J6 3 3 3 2 3 3 17 PT
- Jendela J7 3 3 2 3 3 2 16 PT
- Jendela J8 3 3 3 2 3 3 17 PT
Kolom
- Kolom K1 3 3 1 3 3 3 16 PT
- Kolom K2 3 3 3 3 3 3 18 PT
Gevel 3 3 3 3 3 3 18 PT
Dinding interior 3 3 3 3 3 1 16 PT
Pintu interior
- Pintu P5 3 3 3 3 1 1 14 PS
- Pintu P6 3 3 3 3 1 1 14 PS
- Pintu P7 3 3 3 3 1 1 14 PS
- Pintu P8 1 1 1 3 1 1 8 PR
- Pintu P9 3 3 3 3 1 1 14 PS
Kolom interior 3 3 3 3 3 3 18 PT
Motif lantai
- Motif lantai 1 3 3 3 3 3 3 18 PT
- Motif lantai 2 1 1 2 3 1 1 9 PR
- Motif lantai 3 3 3 3 3 3 3 18 PT
- Motif lantai 4 1 1 1 3 1 1 8 PR
- Motif lantai 5 1 1 1 3 1 1 8 PR
- Motif lantai 6 1 2 1 3 1 1 9 PR
- Motif lantai 7 3 3 1 3 1 1 12 PS
Plafon
- Jenis plafon 1 3 3 3 3 3 3 18 PT
- Jenis plafon 2 3 3 3 3 3 3 18 PT

arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016 47


Nilai Makna Kultural
No. Variabel amatan Total Kelas
e T K A ps Kb
- Jenis plafon 3 3 3 3 3 3 3 18 PT
- Jenis plafon 4 3 3 3 3 3 3 18 PT
- Jenis plafon 5 3 3 3 3 3 3 18 PT
- Jenis plafon 6 1 1 1 3 1 1 8 PR

Kesimpulan
Denah banggunan Gereja Blenduk berbentuk salib Yunani dan memiliki sisi yang
simetris. Karakter spasial gereja berpusat pada ruang ibadah, sehingga denah Gereja
Blenduk bersifat radial. Massa bangunan terdiri dari menara dan ruang ibadah, perbedaan
tersebut terlihat dari bentuk dasar ruang dan penutup atap. Karakter visual gereja
mengadopsi gaya arsitektur Abad Pertengahan (Medieval Architecture) dengan
kebangkitan religi yang didominasi oleh era Byzantium dan mengaplikasikan arsitektur
Indis sebagai penyesuaian bangunan terhadap iklim dan budaya. Atap berbentuk kubah
merupakan karakter struktural bangunan yang utama karena merupakan daya tarik
bangunan yang menggunakan bahan besi. Struktur dan material atap memiliki ketahanan
yang baik karena belum dilakukan penggantian bahan. Karakter spasial pada bangunan
yang memiliki potensial tinggi, antara lain orientasi bangunan, fungsi ruang, hubungan
ruang, organisasi ruang, sirkulasi ruang dan orientasi ruang, bentuk trimatra siluet
bangunan, gaya bangunan, atap kubah, atap menara, dinding eksterior, pintu (P1 dan
P2), jendela (J1, J2, J3, J5, J6, J7 dan J8), kolom , dinding interior menara, dinding ruang
ibadah dan ruang majelis, kolom (K1, K2 dan kolom interior), motif lantai (ML1 dan ML3)
dan jenis plafon (PL1, PL2, PL3, PL4 dan PL5). Elemen dengan potensial tinggi memiliki
bentuk asli yang masih baik dalam penggunaan dan perawatan, sehingga dapat dilakukan
tindakan preservasi untuk pencegahan penggantian bahan. Elemen yang memiliki
kerusakan namun memiliki potensi yang tinggi dilakukan tindakan konservasi dengan
melakukan perbaikan bagian yang rusak sesuai aslinya. Elemen dengan potensial sedang
adalah atap pelana, pintu (P3 dan P4), jendela J4, dinding interior (transep, konsistori,
dan ruang orgel), pintu (P5, P6, P7 dan P9), dan motif lantai ML7. Potensial sedang
dilakukan tindakan konservasi untuk memperbaiki elemen bangunan yang pengalami
kerusakan. Pada elemen yang masih mengalami kerusakan dan belum diperbaiki
dilakukan tindakan rehabilitasi. Elemen dengan potensial rendah, yaitu dinding toilet, pintu
P8, motif lantai (ML2, ML4, ML5 dan ML6) dan jenis plafon PL6. Pada potensial rendah
dilakukan tindakan rehabilitasi karena masih memiliki bentuk asli dan terawat. Pada kasus
ML4 dilakukan rekonstruksi untuk dikembalikan ke bentuk asli karena masih dapat
ditelusuri jenisnya.

Daftar Pustaka
Antariksa. 2012. Makna Kultural Bangunan dan Strategi
Pelestarian. http://www.academia.edu/7761399/Makna_Kultural_Bangunan_dan_Str
ategi_pelestarian (Diakses 5 Oktober 2015)
Hastijanti, R. 2008. Analisis Penilaian Bangunan Cagar
Budaya. https://saujana17.wordpress.com/2010/04/23/analisis-penilaian-bangunan-
cagar-budaya/ (diakses 5 Oktober 2015)
Mangunwijaya. 2009. Wastu Citra. Jakarta: PT. Gramedia
Noname. Tt. Sekilas Blenduk, leaflet diterbitkan oleh pengurus GPIB Immanuel
Semarang.
Nurmala. 2003. Panduan Pelestarian Bangunan Bersejarah di Kawasan Pecinan-Pasar
Baru Bandung. Tesis. Tidak dipublikasikan. Bandung: ITB
Wardani, L.K. & Leona. T. 2011. Pengaruh Budaya Indis pada Interior Gereja Protestan
Indonesia Barat Imanuel Semarang.

48 arsitektur e-Journal, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016

Anda mungkin juga menyukai