Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

ISLAMISASI DI INDONESIA

Disusun guna memenuhi tugas Makalah Sejarah Indonesia 1500-1800 M

Disusun Oleh:

1. Dewi Erfiani (14021005)

2. Muhammad Rio Aviano (14021010)

3. Nugrah Novita Rahmawati (14021013)

4. Sutardi (14021016)

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PGRI WATES

YOGYAKARTA

2015
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum Islam sampai ke Indonesia, pengaruh Hindu sangat kuat terhadap

masyarakat Indonesia dimana adanya perbedaan kasta di kalangan masyarakat.

Ketika Islam datang dengan menawarkan toleransi dan persamaan derajat

diantara sesama manusia, maka masyarakat Indonesia merasa tertarik. Sehingga

Islam dengan mudah dianut oleh masyarakat Indonesia.

Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang harus disiapkan, disebar

luaskan dan dikembangkan oleh penganutnya dalam situasi dan kondisi yang

bagaimanapun. Demikian pula halnya dengan apa yang dilakukan para pedagang

muslim yang juga berperan sebagai dai, dengan berbagai metode yang digunakan

berusaha mengembangkan sayap Islam seluas-luasnya sampai penjuru Nusantara.

Semenjak Islam masuk ke Indonesia hingga Indonesia merdeka penganutnya

semakin bertambah. Sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara nomor satu

di dunia yang jumlah ummat Islamnya paling banyak

(http://hadifauzan.blogspot.com/2014/02/proses-islamisasi-nusantara.html

diakses 13 Maret 2015, pukul 19:43).

Makalah ini akan membahas mengenai pengertian Islamisasi, proses,

saluran serta mahzab Islam dan pengaruh Islamisasi di Indonesia.


B. Rumusan masalah

1. Apa saja pengertian Islamisasi?

2. Bagaimana proses masuknya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia?

3. Apa saja saluran Islamisasi?

4. Apa saja mahzab Islam yang pernah berkembang dan pengaruh

Islamisasi di Indonesia?

C. Tujuan pembahasan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengertian Islamisasi.

2. Untuk mengetahui bagaimana proses masuknya agama dan kebudayaan

Islam di Indonesia.

3. Untuk mengetahui beberapa saluran Islamisasi di Indonesia.

4. Untuk mengetahui mahzab Islam yang pernah berkembang dan pengaruh

Islamisasi di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Islamisasi

Islamisasi adalah proses konversi masyarakat menjadi islam. Dalam

penggunaan kontemporer, mungkin mengacu pada pengenaan dirasakan

dari sistim sosial dan politik islam di masyarakat dengan latar belakang

sosial dan politik pribumi yang berbeda.

Pengertian islamisasi menurut para ahli:

1. Menurut Al Faruqi, islamisasi adalah menuangkan kembali

pengetahuan sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam, yaitu dengan

memberikan definisi baru, mengatur data, mengevaluasi kembali

kesimpulan-kesimpulan dan memproyeksikan kembali tujuan-

tujuannya.

2. Al Attas memberi pengertian bahwa islamisasi sebagai proses pembebasan

atau pemerdekaan. Sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang

mempunyai pengaruh atas jasmaninya dan proses ini menimbulkan

keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya, sebagai fitranya.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Islamisasi adalah proses masuk

dan berkembangnya agama dan budaya Islam di Indonesia.


B. Proses Islamisasi

Agama Islam di Indonesia menyebar dan berkembang melalui

perdagangan dan mengikuti jalur-jalur pelayaran dan perdagangan. Terdapat

persamaan antara proses Islamisasi dan Hinduisasi. Keduanya berkembang

melelui perdagangan dan keduanyapun pada awal perkembangannya datang

dan berasal dari Gujarat India. Sedangkan perbedaannya terletak pada agama

yang dikembangkan dan periode waktu untuk masing-masing agama

dikembangkan.

Dalam agama Hindu hanya kaum Brahmana atau Pendeta saja yang

melakukan kegiatan-kegiatan upacara keagamaan, membaca kitab suci dan

menyebarkan agama serta budaya Hindu. Jadi pada dasarnya pedagang-

pedagang Hindu kurang berperanan dalam menyebarkan agama. Sebaliknya

dalam Islam oleh sifat misinya dan cara pengluasannya, maka setiap orang

Islam adalah pendakwah kepercayaannya (Daliman, 2012: 38).

Apabila pada masa- masa awal Islam masuk ke Nusantara melalui para

pedagang maka yang menjadi pendorong utama bagi para pedagang. Hal

tersebut sesuai dengan masa perkembangan pelayaran dan perdagangan

Internasional antara Negara-negara di Benua Asia Bagian barat, Tenggara, dan

Timur. Kedatangan pedagang-pedagang Islam di Indonesia dengan tujuan

mencari keuntungan dari hasil bumi pada waktu itu, terutama rempah- rempah

yang sangat laku di Eropa. Karena rempah- rempahlah para pedagang dari
berbagai negara berlomba-lomba ke Indonesia. Untuk memperoleh monopoli

perdagangan di Indonesia pedagang-pedagang asing itu berusaha mencari

simpati dari masyarakat terutama bangsawan atau raja-raja yang memegang

peranan penting dalam dunia perdagangan. Raja-raja dan para bangsawan

sering menjadi pemilik saham dan kapal-kapal (Daliman, 2012: 39-40).

Masuknya Islam di Indonesia hingga kini masih menjadi perdebatan

para sarjana. Berdasarkan Berita Cina dari Dinasti T’ang, diceritakan pada

abad VII sudah ada orang-orang tashih yang awalnya berdagang, bermaksud

untuk menyerang Kerajaan Holing. Penyerangan itu digagalkan oleh raja yang

keras. Istilah tashih ini untuk menyebut pedagang Arab dan Persia.

Sarjana lain berpendapat Islam masuk ke Indonesia pada abad XI. Dasar

pendapat ini adalah temuan makam Islam di Leran, yaitu makam Fatimah binti

Maimun. Makam yang nisannya berasal dari luar ini bertuliskan angka tahun

1082 M.

Sarjana lainnya mengatakan Islam masuk ke Indonesia pada abad ke

XIII, dikaitkan dengan runtuhnya Dinasti Abassiytah oleh Hulagu pada 1258

M. Berita ini dihubungkan pemberitaan Marco Polo pada tahun 1292 M, berita

Ibn Batutah pada abad XIV dan nisan-nisan kubur Sultan Malik as Saleh tahun

1297 M (Supriyadi, 2014: 71). Dari kenyataan tersebut, maka direkonstruksi

masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara terdapat tiga tahap, yaitu

kedatangan, pertumbuhan dan perkembangan. Tahap kedatangan ditandai


adanya orang-orang tashih yang tinggal di Nusantara. Tahap pertumbuhan

terjadi abad XI yang ditandai dengan adanya makam Fatimah binti Maimun

tahun 1082 M. keberadaan makam Fatimah di Leran Gresik ini menunjukkan

bahwa waktu itu sudah terdapat pemukiman Islam di sepanjang pantai utara

Jawa. Sedangkan tahap perkembangan ditandai dengan munculnya kerajaan

Islam, dibuktikan dengan diketemukannya makam Sultan Malik al Saleh

berangka tahun 1297 (Supriyadi, 2014: 72).

Berita Cina mengatakan bahwa pembawa Islam masuk ke Nusantara

adalah para pedagang, karena sebutan orang tashih diperuntukkan bagi orang

dari Arab dan Persia. Pernyataan tersebut didukung dengan kenyataan bahwa

sekitar abad VII, Indonesia merupakan jalur perdagangan yang cukup ramai.

Pendapat tersebut agak ditentang oleh orientalis Snouck Hurgronje yang

mengatakan Islam masuk ke Nusntara dibawa pedagang dari Gujarat, sebagai

kelanjutan hubungn dagang India dengan Nusantara. Ditegaskan bahwa

hubungan dagang Nusantara dengan Arab baru muncul pada abad XVII.

Dugaan ini didukung penelitian J.P. Moquette mengenai nisan kubur Sultan

Malik al Saleh, yang menunjukkan bahwa pembuatannya yaitu dari Cambay

– Gujarat India.

Pendapat lain mengatakan bahwa di samping para pedagang, Islam yang

masuk ke Nusantara juga disebarkan oleh para mubaligh yang menyertai para

pedagang. Para mubaligh ini memudahkan proses Islamisasi dan dapat


memperdalam pengertian-pengertian yang tercakup dalam Islam, maka

terbentuklah pesantren- pesantren yang menghasilkan guru ngaji.

Selain itu, kedatangan kaum sufi yang mengkhususkan dalam bidang

tassawuf yang berperanan dalam perkembangan Islam di Nusantara yang

masuk sekitar abad XIII dan tassawuf ini lebih mudah diterima oleh

masyarakat di Indonesia (Supriyadi, 2014: 72).

Ajaran agama Islam juga disebarkan oleh para sembilan wali yang

menyebarkan Islam di Pulau Jawa disebut wali songo. Berikut urutan para

wali dari Timur ke Barat:

1. Sunan Ampel, atau Reden Rahmat, seorang kemenakan dari

permaisuri Kertawijaya (1467), dimakamkan di Ampel (di Kota

Surabaya).

2. Malik Ibrahim atau Maulana Magribi, dimakamkan di Gresik.

3. Sunan Giri atau Raden Paku, makamnya di Giri dekat Gresik

4. Sunan Drajat, putra Sunan Ngampel, dimakamkan di Sidayu Lawas.

5. Sunan Bonang atau Makdum Ibrahim, seorang putra juga dari Sunan

Ampel, mungkin sekali dilahirkan di Boneng Wetan dekat rembang

dan meninggal di Tuban.

6. Sunan Kudus, putra Sunan Ngudug, panglima bala tentara para wali

yang menyerbu Mjapahit (1478), waktu ayahnya gugur ia

menggantikannya.
7. Sunan Muria, seorang pejuang melawan Majapahit, kemudian

bertapa, makamnya ada di selatan kawah Gunung Muria, menurut

tradisi, ayahnya, Pangeran Gadung, dimakamkan di situ juga.

8. Sunan Kalijaga, atau Seda Lepen atau Sahid Djaka seorang

tumenggung Majapahit yang menyerang Jepara, tetapi kemudian

masuk agama Islam karena usaha Sunan Bonang yang menikahkan

Sultan Kalijaga dengan seorang putri Sunan Gunung Jati, menolak

untuk tinggal di Cirebon dan akhirnya mengikuti perintah Sultan

Trenggana menetap di Kadilangu, dimana ia mendapat banyak murid

tersohor, dan sepeninggalnya dimakamkkan.

9. Sunan Gunung Jati, berasal dari Pasai, menikah dengan saudara

perempuan Sultan Trenggana (Demak), kemudian berhasil

menaklukan Cirebon dan Banten. Makamnya di Gunung Jati sebelah

utara Cirebon.

Selain itu wali yang hanya terkenal di daerah tertentu juga ikut andil

yang besar yang disebut wali lokal. Diantaranya adalah:

1. Syeh Abdulmuhyi dari Pamijahan (Tasikmalaya).

2. Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang yang dijatuhi hukuman mati

oleh Permusyawaratan para wali karena dituduh mengajarkan

Pantheisme (menganggap dirinya adalah Tuhan). Dimakamkan di

Pamlaten, dekat Cirebon.


3. Sunan Geseng dan kawan-kawannya dimakamkan di Tirta

(Magelang)

4. Sunan Tembayat dimakamkan di Bayat (Klaten) sebenarnya dia

adalah Ki Pandanarang, bupati Semarang yang dalam cerita rakyat

dikatakan melakukan perjalanan dari Semarang lewat Salatiga ke

pedalaman untuk beretapa.

5. Sunan Panggung, adalah putra Sunan Bonang, menyebarkan agama

Islam di Tegal dan di makamkan di Tegal pula.

Islamisasi di Indonesia dipermudah karena berbagai faktor, yaitu:

1. Suasana keterbukaan di kota-kota menciptakan kecenderungan

struktural untuk mobilitas yang lebih besar, antara lain berpindah

agama.

2. Bersamaan dengan proses yang diungkapkan di nomor satu, terjadi

pula disintergrasi serta diorientasi masyarakat lama sehingga

diparlukan identitas baru dengan nilai-nilai baru.

3. Dengan merosotnya kekuasaan Hindu-Jawa maka perubahan

struktural masyarakat mengakibatkan perubahan struktur kekuasaan.

Dalam hal ini agama Islam sebagai tiang pendukungnya.

Dalam proses perubahan sosial seperti teruraikan diatas para wali

memegang kapemimpinan yang berkharisma. Pada satu sisi otoritas

mereka dapat berbentuk formal sebagai kekuasaan yakni sebagai raja atau
penguasa politik, namun di sisi lain mereka mempunyai kekuasaan sosial-

religius yang kuat. Peranan kepemimpinan itu dapat mereka jalankan

karena mereka termasuk faktor yang dinamis dalam masyarakat kota

pelabuhan, dengan banyak pengalaman dan perjalanan serta kehidupan

mereka diperantauan. Para wali menenempatkan diri mereka dalam posisi

yang tidak terikat ketat oleh struktur feudal, maka lebih longgar untuk

membuat tata masyarakat baru. Dimana perlu mereka dapat menyesuaikan

nilai-nilai dan struktur lama terhadap yang baru, umpamanya kepercayaan

mistik mistik serta lembaga politik sebagian dipertahankan untuk

mempermudah penerimaan yang baru. Bukti-bukti dalam hal ini antara

lain:

1. Kesastraan selalu penuh dengan konsep-konsep mistik.

2. Suatu tradisi mengatakan bahwa pewayangan disebarkan oleh para

wali.

3. Kultur nenek moyang diteruskan dengan penghormatan makam mereka

sebagai punden.

4. Bangunan makam serta hiasannya menunjukkan sinkretisme (Sartono

Kartodirjo, 1999: 24-26)


C. Saluran-saluran Islamisasi

Mengenai saluran-saluran Islamisasi, pertama-tama kita telah ketahui

bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui perdagangan. Oleh karena kontak

dagang memungkinkan terjadinya perkawinan antara pedagang dengan

wanita pribumi. Beberapa perkawinan yang dilakukan itu diantaranya yang

menunjukkan perkawinan dengan putri penguasa, sehingga memperlancar

proses Islamisasi.

Kecuali melalui perdagangan dan perkawinan, tassawuf juga

merupakan salah satu saluran yang cukup penting dalam proses Islamisasi.

Tassawuf merupakan kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupan

sosial bangsa, yang meninggalkan tulisan-tulisan antara abad XIII s.d.

XVIII. Penyiaran Islam dengan pembentukan organisasi masyarakat Islam

di kota-kota pelabuhan dan bersifat memudahkan penerimaan masyarakat

non Islam di lingkungannya.

Saluran lain yang juga memegang peranan penting dalam proses

Islamisasi, melalui kesenian terutama musik dan seni bangunan. Dalam seni

musik, Islamisasi tampak memanfaatkan seni musik yang sudah ada, seperti

gamelan, wayang dan sebagainya. Sedangkan pada seni bangun, termasuk

diantara seni ukir, tampak pada bangunan-bangunan masjid kuno di

Indonesia, misalnya di Demak, Cirebon, Banten, dll. Mengenai seni ukir

banyak yang memenfaatkan seni ukir Hindu-Budha, seperti Nampak pada


masjid Mantingan, gapura bersayap di Sendangduwur dan hiasan ukiran

diberbagai bangunan masjid kuno (Supriyadi, 2014: 73).

D. Pengaruh Islamisasi di Indonesia:

1. Dalam agama Islam terdapat aliran-aliran agama yang disebut dengan

mazhab. Berikut mazhab-mazhab Islam yang telah berkembang di

Nusantara:

a. Mazhab Syi’ah

Agama Islam yang pertama masuk ke Indonesia sekitar abad ke-12

terutama ke Perlak dan Samudra Pasai adalah mazhab Syi’ah. Aliran ini

banyak berkembang di Persia. Bahkan pada abad ke-16 Islam Syi’ah

dijadikan agama resmi di Persia, pantai Hindustan, Asia Tengah, Suriah,

Bagian Barat Arab dan Mesir. Maka mudah dipahami bila agama Islam

yang dibawa oleh pedagang-pedagang Gujarat ke Indonesia terutama ke

pantai timur Sumatera pada awal abad ke-12 tersebut adalah mazhab

Syi’ah. Para pedagang Gujarat bersama dengan para pedagang Persia dan

Arab menetap di Sumatera dan berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan Islam

pertama di Indonesia ialah Kerajaan Perlak di muara Sungai Peureulak dan

Kerajaan Samudra Pasai di muara Sungai Pasal dengan bantuan Dinasti

Fatimyah di Mesir.
Menurut kaum Syi’ah hak kekhalifahan yang sah adalah pada

keturunan Nabi Muhammad saw. Sendiri. Keturunan Nabi adalah Fatimah.

Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib dan mempunyai dua orang

putra Hasan dan Husein jadi hanya keturunan Hasan dan Husein saja yang

mempunyai hak waris kekhalifahan, sedangkan di luar garis keturunan Ali-

Fatimah tidak dapat mewarisinya secara sah. Hadis yang sah dan benar bagi

kaum Syi’ah hanyalah hadis yang diturunkan oleh Ali, Fatimah, Hasan, dan

Husein. Hadis lainnya adalah dhaif (lemah) atau tidak sah.

Hari wafatnya Hasan dan Husein adalah tanggal 10 Muharram,

dipandang sebagai hari yang paling mulia bagi kaum ini. Kematian Hasan

dan Husein dalam pertempuran di Karbala merupakan kematian sahid.

Maka tanggal 10 Muharam wajib diperingati kaum Syi’ah. Bagi mereka

peringatan ini merupakan peringatan yang paling meriah mereka rayakan

hingga melebihi hari raya Idul Fitri. Kematian Hasan dan Husein wajib juga

diratapi dengan tangisan. Berkaitan dengan itu, maka dalam kaum Syi’ah

terdapat pula darwis (kaum sufi yang mengambil cara hidup sebagai orang

miskin) yang ingin mencapai kesempurnaan hidup melalui ratap tangis atas

kematian Hasan dan Husein. Makamnya pun dianggap sebagai tempat

paling keramat. Berziarah ke makam Hasan dan Husein mempunyai nilai

yang samadengan berziarah ke Mekkah dan Madinah karena keduanya

telah berada di bawah kekuasaan Dinasti Umayah dan Abbasiyah, maka


ziarah ke makam tesebut dijadikan sebagai pengganti rukun Islam yang

kelima.

Karena kaum Syi’ah tidak mengakui keimanan diluar keturunan Nabi

Muhammad saw. maka dengan sendirinya juga tidak mengakui keimanan

dari Dinasti Abbasyiah dan Ummaya. Makadimanapun kaum Syi’ah selalu

dikejar kaum Sunah. Karena kaum Sunah terus memberantas kaum Syi’ah.

Namun mereka pantang menyerah, tetap teguh dan tahan penderitaan.

Mereka barharap dan percaya datangnya Imam Mahdi. Mereka percaya

bahwa Hasan dan Husein akan turun kembali ke dunia sebagai Imam

Mahdi.

Tasawuf yang dianut aliran Syi’ah adalah tasawuf wujudilah. Ajaran

wujudilah pada dasarnya adalah ajaran emanasi. Manusia, menurut ajaran

ini, adalah percikan sinar Ilahi. Karena sinar Ilahi itu adalah Allah sendiri,

maka manusia adalah Allah. Inti dari ajaran ini yakni menganggap diri

sendiri sebagai Tuhan dan di pelopori oleh ahli tasawuf al-Hallaj, yang

dihukum bakar di Baghdad pada 922 dan diikuti juga oleh Syekh Siti Jenar

yang juga dihukum mati oleh para wali.

Tokoh penganut ajaran tasawuf wujudilah di Aceh adalah Hamzah

Fansuri dan Syamsuddin al-Samatrani. Keduanya hidup pada masa

pemerintahan Sultan Iskandar Muda.sepeninggal Iskandar Muda

Kerajaaan Aceh kedatangan seorang ahli sunah, Nuruddin ar-Raniri dari


Gujarat. Maka ajaran wujudilah dari Syamsuddin dibasmi oleh Nuruddin

ar-Raniri dan kitab-kitab yang memuat ajaran itu dibakar.

Dari Aceh agama Islam menyebar ke daerah Minangkabau. Upaya

penyebaran Islam Syi’ah ke Minangkabau dimulai sejak 1128. Pada waktu

itu laksamana Nazimudin al-Kamil mengadakan ekspedisi militer dari

pantai Aceh ke daerah Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri untuk

menguasai perdagangan lada didaerah tersebut yang pada waktu itu

dikuasai pedagang-pedagang asing yang juga beraliran Syi’ah yang

didukung oleh Dinasti Fatimyah dari Mesir.

Nazimudin al-Kamil gugur dalam ekspedisi pada 1128, dan

jenazahnya dimakamkan di Bangkinang di tepi Sungai Kampar Kanan.

Tujuan para pedagang asing menguasai daerah Kampar Kanan dan Kiri

terutama untuk menguasai perdagangan lada daripada menyiarkan agama.

Sehingga Islamisasi daerah Minangkabau pada abad ke-12 belum intensif.

Dan baru intensif pada 1513 berkat usaha Tuanku Burhanudin Syah yang

berkuasa di Pariaman sebagai bawahan Aceh. Pengaruhm Syi’ah di pantai

barat Sumatera sampai Bengkulu.

Pengaruh Syi’ah terhadap masyarakat Islam di Indonesia masih

Nampak hingga sekarang dengan banyak diperingati tanggal 10 Muharam.

Pada hari itu masyarakat Muslim membuat masakan khas yang disebut

bubur sura. Bulan Muharam di Jawa dipandang sebagai bulan keramat dan

disebut dengan bulan sura. Di Aceh disebut bulan Asan-Usen dan


Minangkabau di daerah barat pantai Sumatera Tengah bulan ini disebut

Tabui. Hari-hari sebelum 10 Muharam diyakini sebagai hari-hari celaka

(naas) sehingga pada hari-hari itu tidak boleh mengerjakan pekerjaan yang

penting, dilarang mengadakan pernikahan, sunatan dan menanam padi.

Karena adanya beberapa larangan tersebut maka di Aceh Bulan Acura itu

dipandang sebagai Bulan Api.

Di bagian lain di Indonesia terutama di Sumatera Barat, Padang dan

Bengkuluuntuk merayakan 10 Muharam diadakan upacara. Di Pidie dan

berbagai tempat pesisir Utara dan Timur diadakan upacara mengarak tabut,

yaitu sebuah keranda jenazah lambang jenazah Hasan dan Husein. Keranda

itu digotong sepanjang jalan kemudian dilempar ke sungai atau ke perairan

lain (Daliman, 2012: 45-49).

b. Mazhab Syafi’i

Mazhab ini merupakan mahzab yang paling besar pengaruhnya pada

masyarakat Indonesia, mazhab ini mengikuti ajaran dari Muhammad ibn

Idris as Syafi’I (767—820), Syafi’I melatakkan dasar-dasar mazhabnya di

Baghdad, kemudian berkembang dan meluas ke Yaman, Mesir, Pantai

Malabar dan Koromandel di India dan akhirnya sampai di Indonesia.

Mengenai masuknya mazhab ini di Indonesia diperkirakan pada sekitar

abad ke-13, dibuktikan dengan adanya nisan makam di Sumatera Utara dan
di Gresik yang mirip dengan nisan-nisan di Malabar (India) yang

menunjukkan tanda-tanda dari mazhab Syafi’i.

Mazhab syafi’i datang ke Indonesia setelah mazhab Syi’ah. Setelah

para penganut mazhab Syafi’i di Mesir berhasil mengakhiri kekuasaan

Dinasti Fatimyah di Mesir pada 1268, kemudian di sana mereka

mendirikan Dinasti Mamluk pada 1284 yang menganut Islam Syafi’i.

Untuk melenyapkan pengaruh Syi’ah di pantai timur Sumatera terutama

Perlak dan Samudra Pasai maka Dinasti Mamluk pada 1285 mengirimkan

Syekh Ismail ke pantai timur Sumatera, Syekh Ismail di sana bertemu

dengan Marah Silu yang telah menganut Islam Syi’ah dan membujuk

Marah Silu untuk menganut Islam Syafi’i. Dengan bantuan Syekh Ismail,

Marah Silu berhasil mengakhiri kekuasaan Samudra Pasai yang beraliran

Syi’ah. Marah Silu merupakan orang pertama Indonesia yang memeluk

Islam Syafi’I dan bergelar Sultan Malik al Saleh. Selama pemerintahannya

alairan Syi’ah di Samudra Pasai ditumpas.

Dari Samudra Pasai Islam Syafi’I berkembang ke Semenanjung

Malaka, berkat perkawinan putri Sultan Zainal Abidin Bahian Syah dengan

Sultan pertama di Malaka, Raja Parameswara. Yang kemudian Sultan

Parameswara juga ikut memeluk Islam Syafi’i dan mengambil gelar Sultan

Megat Iskandar Syah pada 1414. Sejak saat itu Malaka menjadi pusat

pengembangan Islam Syafi’I, yang perkembangan Islam Syafi’I ini

beriringan dengan perluasan wilayah Kerajaan Malaka, wilayahnya Daerah


Aru, Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri. Dengan demikian Islam Syafi’i

sampai akhir abad ke-15 menguasai daerah pantai timur Sumatera dan

daerah pantai barat Semenanjung Malaka.

Mayoritas masyarakat Islam di berbagai daerah di Indonesia adalah

penganut mazhab Syafi’i. Mazhab ini memegang teguh Syariah, yang

menitikberatkan kepada lima rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa,

zakat, dan haji. Lebih luas dari rukun Islam , syariah juga mencakp

peraturan-peraturan perkawinan, keke;uargaan, warisan, perdagangana

dan politik. Untuk politik Syafi’i juga berrusaha menyesuaikan dengan

adat setempat, adat istiadat sebelum masa pra Islam.

Dari cerita-cerita babad dan hikayat dapat diketahui bahwa pada

hari-hari besar, raja-raja, para bangsawan, serta melakukan sembahyang

secara bersama-sama. Sultan Mataram kecuali melakukan sembahyang

berasama-sama di masjid pada hari-hari Jumat, juga pada hari Grebeg,

Bulan Ramadhan, meskipun bukan tahun Dal.

c. Mazhab Hanafi

Beberapa babad menceritakan bahwa tokoh-tokoh penyiar Islam di

Jawa pada awal perkembangan Islam adalah berasal dari Campa. Raden

Rahmat (Sunan Ampel) menurut Babad Tanah Jawi berasal dari Campa.

Syekh Ishak yang mendapat tugas untuk menyiarkan Islam di Blambangan

diceritakan oleh sebagai paman Raden Rahmat, sehingga ia juga berasal


dari Campa. Dengan demikian maka Islam yang berkembang di Pantai

Utara Jawa juga berasal dari Campa (nama suatu kerajaan kuno di daratan

Asia Tenggara, tepatnya di Vietnam Selatan).

Pada waktu itu pusat penyebaran mazhab Syafi’i di Asia Tenggara

adalah Malaka, sedang di pantai timur Sumatera Utara menjadi pusa

penyebaran Islam Syi’ah. Oleh karena itu Islam yang berkembang di

daratan Asia Tenggara khususnya mazhab Hanafi, maka Islam yang

berkembang di daerah pantura dengan sendirinya adalah mazhab Hanafi.

Kronik Cina yang berasal dari Klenteng Talang memberi petunjuk bahwa

Islam yang berkembang di Kerajaan Demak adalah Mazhab Hanafi. Dalam

kronik itu dikisahkan bahwa ketika Fatahillah sebagai Panglima Tentara

Demak menyerang Cirebon, pernah ia memberikan gelar Maulana ifdil

Hanafi kepada seorang imam Muslim Cina yang telah berjasa dalam

membantu merebut Cirebon tersebut.

Perintis mazhab ini adalah Abu Hanifah (699-767) dan berkembang

di Turki, Asia Tengah (Turkistan, Bokhara dan Samarkan) dan India. Saat

kebesaran Dinasti Yuan di Cina Islam mazhab Hanafi di Asia Tengah

berkembang dengan pesat yang disebabkan sikap Kubilai Khan yang

terbuka. Turkistan, Bukhara dan Samarkand menjadi pusat penyebaran

Islam Hanafi. Kesatuan wilayah yang meliputi hamper seluruh benua Asia

yang berhasil diciptakan oleh tentara Mongolia sangat mempermudah

penyebaran Islam. Dari Asia Tengah kemudian Islam Hanafi menyebar ke


daerah yang lebih Timur lagi, Cina dan Asia Tenggara. Pada masa

pemerintahan Dinasti Ming yang menggantikan Dinasti Yuan, Islam

Hanafi memperoleh kesempatan untuk berkembang. Sebagian besar

penduduk Cina didaerah Yuan, Shensi dan Hopei memeluk agama Islam

Hanafi. Ma Huan yang mengikuti perjalanan laksamana Cheng Ho ke Asia

Tenggara pada 1106 dan yang pernah pula datang di Keraton Majapahit

adalah pemeluk Islam Hanafi. Pada saat itu daerah-daerah Anam, Champa

dan Kamboja mengalami pengislaman. Dan pengislaman daerah Campa

terjadi pada masa pendudukan Mongolia sekitar abad ke-13.

Pada akhir abad ke-15 Islam Hanafi telah memasuki pantura.

Perkembangan ke seluruh pantura terjadi pada abad ke-16. Pendiri

Kerajaan Demak, Raden patah, adalah murid Sunan Ampel sendiri yang

dalam babad dikisahkan datang dan membawa Islam Hanafi dari Campa.

Pada 1526 Islam Hanafi berkembang dari Demak ke Cirebon. Sultan

Demak mengirimkan armadanya ke Cirebon dipimpin oleh panglimanya

yaitu Fatahillah atau Syarif Hidayatullah menetap di Cirebon

berkedudukan sebagai salah satu wali sanga dan bergelar Sunan Gunung

Jati (Daliman, 2012: 44-52).

d. Tasawuf

Tasawuf merupakan bentuk masdar dari kata suf yang artinya wol,

biasanya dipakai sebagai jubbah (labs al-suf) orang- orang yang


menjalankan kehidupan mistik (sufi) tasawuf juga dihubungkan dengan

Suluk yang berasal dari bahasa arab yang artinya Perjalanan

(Poesponegoro, 1993 :202).

Dimulai dengan memasuki jalan dibawah pimpinan syekh dengan

usaha mencapai tingkat kejiwaan yang tertinggi menurut kemampuannya.

Kaum penganut tasawuf disebut faqir atau darwisy yang artinya orang

miskin atau orang minta-minta.

Aliran tasawuf pada awal perkembangan islam, ajaran ini tidak

dikenal. Sebagai ajaran baru banyak tantangan dan kecaman, karena

dianggap menyimpang dari ajaran islam. Salah satu yang ditentang islam

adalah pantheisme. Kaum sufi sudah berkeyakinan bahwa dirinya sudah

menemukan Tuhan dan Tuhan berada dalam dirinya sendiri. Akibatnya

salat lima waktu sudah tidak diperlukan, bahkan syariah islam

ditentangnya.

Pertentangan kaum sufi dengan kaum Ahl-al sunnah wa’l Jama’ah

ini mereda pada jaman Al-Gazali yang memberi jalan tengah, dengan

memberikan pernyataan bahwa syariah merupakan makanan sehari-hari

bagi kaum muslimin, sedangkan tasawuf merupakan pembimbingan ke

arah jalan ke sorga.

Kedatangan kaum sufi dengan tassawufnya ke Indonesia

diperkirakan abad XIII, yaitu masa perkembangan dan persebaran ahli

tasawuf dari India dan Persia. Indonesia Baru pada abad XVI terutama di
Jawa dan Sumatra. Di Sumatra, Khususnya di Aceh, Penyebaran tasawuf

dipelopori oleh Hamzah Fansuri, Sedangkan di Jawa dipelopori oleh Syekh

Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang (Supriyadi, 2014: 76).

2. Pengaruh budaya Islam di Indonesia

Pengaruh budaya Islam di Indonesia dapat di lihat dari bidang social

yang Nampak dalam politik, ekonomi, maupun kehidupan kemasyarakatan

pada umumnya. Di bidang budaya Nampak dari hasil budaya berupa agama

dan pelaksanaannya.Kesenian yang bercorak islami maupun kesusasteraan-

kesusasteraan yang bercorak islam. Peninggalan budaya islami,misalnya :

keraton, masjid, tradisi gerebeg sekaten, perayaan Idul Fitri, makam raja-raja

di Kota Gede dan Imogiri (Y.Supriyadi, 2014: 77)

1. Keraton, merupakan tempat yang menjadi pusat kekuasaan dan kegiatan

yang berkaitan dengan urusan pemerintahan. Keraton juga merupakan

tempat tinggal sultan dan anggota keluarganya.

2. Masjid, adalah tempat umat islam melaksanakan kewajiban salat sesuai

tuntunan agama islam. Selain itu masjid juga berfungsi untuk

melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan pengajaran, pembinaan,

pengembangan-pengembangan ajaran islam. Masjid peninggalana masa

kesultanan di Nusantara misalnya Masjid Demak di Jawa Tengah, Masjid

Sunan Ampel di Jawa Timur.


3. Sekaten adalah pasar mlam yang diadakan setiap bulan Maulud untuk

merayakan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW. Kegiatan sekaten

dilaksanakan di alun-alun keraton. Acara ini terdapat di keraton

Yogyakarta dan Surakarta. Pada acara ini dilakukan penabuhan gamelan-

gamelan milik keraton.

4. Makam, adalah tempat untuk mengubur orang yang sudah meninggal.

Peninggalan sejarah bercorak islam yang berupa makam biasanya

memiliki nisan dan jirat atau kijing (Sukartono, 1993: 31)

5. Kasusastraan

Peninggalan sejarah bercorak islam di Indonesia yang berupa karya sastra

beragam tentunya. Bentuk peninggalan sejarah itu antara lain syair,

hikayat, babad, dan suluk.

a. Syair, merupakan puisi lama yang setiap baitnya terdiri dari 4 baris

dengan bunyi akhir yang sama. Karya sastra berbentuk syair misalnya,

syair prahu dan syair si Burung Pingai karya Hamzah Fansuri

b. Hikayat, adalah karya sastra berbentuk cerita yang dibuat untuk

melipur lara atau membangkitkat semangat perjuangan. Misalnya

hikayat Hang Tuah, hikayat Bayan Budiman, hikayat raja-raja Pasai.

c. Suluk, adalah kitab yang mengungkapkan mengenai ajaran tasawuf.

Misalnya, suluk Wujil adalah mengenai nasehat Sunan Bonang kepada

Wujil, suluk Sukarasa yang isinya menceritakan ki Sukarsa yang

mencari ilmu sejati ntuk meraih kesempurnaan.


d. Babad, adalah cerita dengan latar belakang sejarah yang umumnya

lebih bersifat cerita daripada menguraikan sejarah yang disertai

dengan buktidan fakta. Karya sastra dalam bentuk babad misalnya

babad Tanah Jawi dan babad Giyanti. Babad Tanah Jawi menceritakan

mengenai sejarah Pulau Jawa yang dimulai dari Nabi Adam hingga

abad ke-18, sedangkan Babad Giyanti ceritanya mengungkapkan

mengenai terpecahnya Kesultanan Mataram (Soekmono, 1973: 33).


BAB III

PENUTUP

Simpulan:

1. Islamisasi adalah proses masuk dan berkembangnya agama dan budaya

Islam di Indonesia.

2. Proses awal masuknya agama dan budaya Islam di Indonesia dibawa oleh

pedagang Gujarat (India).

3. Saluran-saluran Islamisasi di Indonesia melalui perdagangan yang

memungkinkan terjadinya perkawinan, dan melalui tasawuf.

4. Mazhab yang berkembang di Indonesia pada waktu adalah mazhab Syi’ah,

Syafi’i dan Hanafi. Dan adanya keraton, masjid, sekaten, makam dan

beberapa karya sastra pada waktu itu menunjukkan dampak dari pengaruh

Islamisasi.
Daftar Pustaka

Daliman. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di

Indonesia. Yogyakarta: Ombak

Nugroho Notosusanto, Marwati Djoenoed Poesponegoro. 1993. Sejarah

Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Sartono Kartodirdjo. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari

Emporium Samapi Imporium. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta:

Kanisius.

Soekartono. 1993. Sejarah Perkembangan Kerajaan Islam. Yogyakarta: Vidya

Utama.

Supriyadi. 2014. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta:

Lintang Pustaka Utama.

http://hadifauzan.blogspot.com/2014/02/proses-islamisasi-nusantara.html,

diakses 13 Maret 2015, pukul 19:43 WIB

http://zamronimpd.blogspot.com/2010/06/islamisasi-ilmu-pengetahuan-

dan.html?m=1, diakses 11 Maret 2015, pukul 11:37 WIB

id.m.wilkipedia.org/wiki/Islamisasi, diakses 12 Maret 2014, pukul 09:00 WIB

Anda mungkin juga menyukai