Anda di halaman 1dari 69

SKRIPSI

HUBUNGAN GEJALA KLINIS (BATUK) DENGAN HASIL

PEMERIKSAAN FOTO TORAKS DALAM MENDIAGNOSIS

TUBERKULOSIS DI RSI JEMURSARI PADA BULAN JULI-DESEMBER

TAHUN 2017

PUTRI FAIQOTUL HIKMAH

6130015055

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

2019
HUBUNGAN GEJALA KLINIS (BATUK) DENGAN HASIL

PEMERIKSAAN FOTO TORAKS DALAM MENDIAGNOSIS

TUBERKULOSIS DI RSI JEMURSARI PADA BULAN JULI-DESEMBER

TAHUN 2017

Diajukan Sebagai Persyaratan Pendidikan Akademik


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)
dalam Program Studi S1 Pendidikan Dokter

PUTRI FAIQOTUL HIKMAH

6130015055

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

2019
Skripsi ini disusun

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)

Program Studi S1 Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran

Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya

Oleh :

PUTRI FAIQOTUL HIKMAH


NIM. 6130015055

iii
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul proposal/skripsi : Hubungan Gejala Klinis (Batuk) dengan Hasil


Pemeriksaan Foto Toraks dalam Mendiagnosis
Tuberkulosis di RSI Jemursari Pada Bulan Juli-Desember
Tahun 2017

Penyusun : Putri Faiqotul Hikmah

NIM : 6130015055

Pembimbing I : Utami Ambarsari, dr., Sp.Rad

Pembimbing II : Aditya Bhayusakti, dr., Sp.B

Tanggal Ujian : 21 Juni 2019

Disetujui oleh:

Pembimbing I,

Utami Ambarsari, dr., Sp.Rad : ................................

NPP. 1409971R

Pembimbing II,

Aditya Bhayusakti, dr., Sp.B : .................................


NPP. 1409962R

Mengetahui,
Ketua Prodi S1 Pendidikan Dokter,

Ardyarini Dyah Savitri. Dr.,SpPD


NPP. 16081073

iv
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul


Hubungan Gejala Klinis (Batuk) dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Dalam
Mendiagnosis Tuberkulosis Di RSI Jemursari Pada Bulan Juli-Desember Tahun
2017

Dinyatakan lulus
Tanggal 21 Juni 2019

Oleh Tim Penguji :


Ketua,
Dr., dr. Handayani, M.Kes : ........................................
NPP. 1406958

Penguji Statistik,
Wiwik Afrida, S.KM., M.Kes :………………………….
NPP. 0004666

Pembimbing I,
Utami Ambarsari, dr., Sp.Rad : ........................................
NPP. 1409971R

Pembimbing II,
Aditya Bhayusakti, dr., Sp.B : …………………………
NPP. 1409962R

Mengetahui,
Ketua Prodi S1 Pendidikan Dokter,

Ardyarini Dyah Savitri, dr., Sp.PD


NPP. 16081073

v
LEMBAR PERLINDUNGAN HAK CIPTA

Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan Gejala Klinis

(Batuk) dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Dalam Mendiagnosis

Tuberkulosis di RSI Jemursari Pada Bulan Juli-Desember Tahun 2017 ini

sepenuhnya karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau

pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang

berlaku.

Saya bersedia menanggung risiko/sanksi apabila kemudian ditemukan

adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim

dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Surabaya, 21 April 2019

Yang membuat pernyataan,

Putri Faiqotul Hikmah

vi
Sebagai sivitas akademika Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, saya yang
bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Putri Faiqotul Hikmah

NIM : 6130015055

Program Studi : S1 Pendidikan Dokter

Fakultas : Fakultas Kedokteran

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non –
Exclusive Royalty – Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

HUBUNGAN GEJALA KLINIS (BATUK) DENGAN HASIL


PEMERIKSAAN FOTO TORAKS DALAM MENDIAGNOSIS
TUBERKULOSIS DI RSI JEMURSARI PADA BULAN JULI-DESEMBER
TAHUN 2017

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non
Eksklusif ini Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya berhak
menyimpang, mengalih media / formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan
data (database), merawat dan mempublikasikan Tugas Akhir saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis / pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.

Demikian pernyatan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Surabaya

Pada tanggal : 21 April 2019

Yang menyatakan,

(Putri Faiqotul Hikmah)

vii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Skripsi dengan judul: “Hubungan Gejala Klinis (Batuk) dengan
Hasil Pemeriksaan Foto Toraks dalam Mendiagnosis Tuberkulosis di RSI
Jemursari pada Bulan Juli-Desember Tahun 2017“ sebagai persyaratan
Pendidikan Akademik untuk menyusun skripsi dalam rangka menyelesaikan
Program Pendidikan S1 Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas
Nahdlatul Ulama Surabaya.
Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini terselesaikan karena
adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Handayani, dr., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Nadhlatul Ulama Surabaya yang senantiasa mendukung, memberi saran, serta
memotivasi dalam menyusun skripsi ini.
2. Ardyarini Dyah Savitri, dr., SpPD selaku Ketua Prodi SI Pendidikan Dokter
yang senantiasa mendukung dan memfasilitasi penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
3. Utami Ambarsari, dr., Sp.Rad selaku Dosen Pembimbing I yang telah
meluangkan waktu dan serta memberikan masukkan dalam membimbing
serta mengarahkan saya dalam menyusun skripsi ini.
4. Aditya Bhayusakti, dr., Sp.B selaku Dosen Pembimbing II yang telah
meluang kan waktu dan penuh kesabaran membimbing serta mengarahkan
saya dalam menyusun skripsi ini.
5. Agus Aan Adriansyah, S. KM., M. Kes, selaku pembimbing statistika yang
senantiasa membantu memberikan arahan terhadap skripsi ini sehingga
skripsi ini dapat berjalan dan terselesaikan dengan baik
6. Kedua orang tua yang tercinta, Ayahanda Tambo Lestari S.Ag dan Ibunda
Zulaicha Syarif, atas seluruh bantuan dan dorongan yang selalu diberikan

viii
7. baik secara moral, material, maupun spiritual kepada penulis selama
melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
8. Sahabat-sahabat Tersayang Atina, Hida, Lia, Saadah, Ikbar, Iyzki, Ainun
yang telah mengingatkan dan mendoakan, memberi motivasi dan semangat
kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
9. Teman-teman Sepembimbing proposal Wahyu dan Hafiz, yang selalu
mengingatkan serta mendukung terhadap kelancaran dalam menyusun skripsi
ini.
10. Teman-teman terbaik angkatan 2015, yang selalu mengingatkan serta
mendukung terhadap kelancaran dalam menyusun skripsi ini.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
Penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak sekali kekurangan dan
kelemahan dalam penyusunannya, sehingga penulis dengan tangan terbuka
menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun dalam menyempurnakan
tugas ini. Penulis juga berharap semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca, dan bagi semua pihak. Amin Yaa Robbal’Alamin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Surabaya, 21 April 2019


Penulis,

Putri Faiqotul Hikmah


NIM.6130015005

ix
ABSTRAK

Latar Belakang : Tuberkulosis (TB) adalah merupakan suatu penyakit infeksi


menular yang disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Di RSI jemursari
periode 2017 menunjukkan TB paru menempati ranking pertama dalam 10 besar
penyakit yang berhasil terdiagnosis di poli spesialis paru.
Tujuan : Menganalisis hubungan gejala klinis (batuk) dengan hasil pemeriksaan
foto toraks dalam mendiagnosis tuberkulosis di RSI Jemursari
Metode : Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan desain
studi kasus Cross Sectional. Populasi data merupakan pasien rawat jalan TB di
RSI Jemursari. Sampel merupakan Pasien rawat jalan, Usia 20-50, TB murni.
Besar sampel menggunakan rumus Taro Yamane. Pengumpulan data dilakukan
dengan metode simple random sampling dengan sampel sebanyak 63 sampel.
Variabel bebas yaitu gejala klinis (batuk) dengan variabel terikat hasil
pemeriksaan foto toraks. Data dianalisis menggunakan analisis chi-square spss
Hasil dan Kesimpulan: pada penelitian ini didapatkan laki-laki mengalami TB
paru (46,0%) dan perempuan (54,0%). Rentan usia terkena TB pada usia 40-49
tahun (33,3%). Pasien yang mengalami batuk sebanyak (68%). Gambaran
radiologi terbanyak yaitu fibroinfiltrat (81,0%). Uji statistik menggunakan Chi-
Square test menunjukan nilai dengan angka signifikasi sebesar 0,848 (P >0,1).
yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gejala klinis (batuk)
TB paru dengan hasil pemeriksaan foto toraks.
Kata kunci : Tuberkulosis Paru, Batuk, Hasil Foto Toraks

x
ABSTRACT

Background: Tuberculosis (TB) is a contagious infectious disease caused by the


bacterium Mycobacterium tuberculosis, which can attack especially the lungs.
Data from the Jemursari Islamic Hospital 2017 period shows pulmonary TB is
ranked first in the top 10 diseases diagnosed in pulmonary specialist poly.
Objective: To analyze the relationship of clinical symptoms (cough) with the
results of chest X-ray examination in diagnosing tuberculosis at Jemursari
Islamic Hospital
Method: This study used a descriptive analytic method with a cross sectional case
study design. The population is TB outpatients at Jemursari Hospital. The sample
is outpatient, 20-50 years old, and TB. The sample size uses the Taro Yamane
formula. Data collection is done by simple random sampling method with 63
samples. The independent variable is cough and the dependent variable is the
result of chest X-ray examination. Data are analyzed using spss chi square
analysis
Result and Conclusion: In this study, men are found to have pulmonary TB
(46.0%) and women (54.0%). Vulnerable to age of TB at the age of 40-49 years
(33.3%). patients who experienced coughing (68.0%). Most radiological features
are fibroinfiltrates (41.0%). Statistical tests using the Chi-Square test show values
with a significance number of 0,848 (P >0, 1). which means that there is not a
significant relationship between clinical symptoms (cough) pulmonary TB with
the results of chest X-ray examination.
Keywords: Lung Tuberculosis, Cough, Chest X-ray

xi
DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DEPAN ...................................................................................... i


LEMBAR DALAM .................................................................................... ii
LEMBAR PRASYARAT ........................................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN........................................................................ iv
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ........................................................ v
LEMBAR PERLINDUNGAN HAK CIPTA.............................................. vi
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI .................................. vii
KATA PENGANTAR ................................................................................ viii
ABSTRAK .................................................................................................. x
ABSTRACT .................................................................................................. xi
DAFTAR ISI ............................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xvi
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................ xvii
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 5
A. Definisi Tuberkulosis................................................................... 5
B. Anatomi Paru ............................................................................... 8
C. Etiologi Tuberkulosis................................................................... 10
D. Patogenesis Tuberkulosis............................................................. 11
E. Cara Penularan Tuberkulosis ....................................................... 14
F. Gejala Klinis Tuberkulosis .......................................................... 15
G. Diagnosis Tuberkulosis ............................................................... 16
H. Komplikasi Tuberkulosis ............................................................. 32
BAB 3 KERANGKA KONSPETUAL DAN HIPOTESIS .................... 33

xii
A. Kerangka Konseptual................................................................... 33
B. Hipotesis Penelitian ..................................................................... 33
BAB 4 METODE PENELITIAN ............................................................. 35
A. Jenis dan Rancangan Bangun Penelitian ..................................... 35
B. Populasi Penelitian....................................................................... 35
C. Sampel, Besar Sampel, dan Cara Pengambilan Sampel .............. 35
D. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 37
E. Kerangka Operasional Penelitian ................................................ 37
F. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional.............................. 38
G. Instrumen Penelitian dan Cara Pengumpulan Data ..................... 39
H. Pengolahan Data .......................................................................... 39
I. Analisa Data................................................................................. 40
J. Etika Penelitian ............................................................................ 41
BAB 5 HASIL PENELITIAN .................................................................. 42
A. Gambaran Karakteristik Responden ............................................ 42
B. Identifikasi Gejala Klinis TB Paru (Batuk) ................................ 43
C. Identifikasi Hasil Pemeriksaan Foto Toraks ................................ 43
D. Hubungan Gejala Klinis (Batuk) dengan Hasil Pemeriksaan Foto
Toraks .......................................................................................... 44
BAB 6 PEMBAHASAN ............................................................................ 45
A. Pembahasan ................................................................................. 45
B. Keterbatasan Penelitian ............................................................... 49
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 50
A. Kesimpulan .................................................................................. 50
B. Saran ............................................................................................ 50
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 51
LAMPIRAN ................................................................................................ 53

xiii
DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Tabel Halaman

Tabel 4.1 Kerangka Kerja Penelitian ...................................................... 36


Tabel 4.2 Definisi Operasional ............................................................... 37
Tabel 5.1 Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin…………... 41
Tabel 5.2 Karakteristik Responden Menurut Usia .................................. 41
Tabel 5.3 Identifikasi Gejala Klinis TB Paru (Batuk)…………............. 41
Tabel 5.4 Identifikasi Hasil Pemeriksaan Foto Toraks………………… 42
Tabel 5.5 Hubungan Batuk dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks…… 42

xiv
DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Gambar Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Paru…………………………... ................... 10


Gambar 2.2 Skema perkembangan sarang tuberkulosis postprimer
dan Perjalanan penyembuhannya………………….. 14
Gambar 2.3 Paru: Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior 22
Gambar 2.4 Hasil foto toraks…………………………………….. 26

xv
DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Lampiran Halaman

Lampiran 1 Rekapitulasi data penelitian……………………. 49


Lampiran 2 Sertifikat Lolos Etik……………………………. 50
Lampiran 3 Data awal penelitian……………………………. 51
Lampiran 4 Pengolahan data spss…………………………… 52

xvi
DAFTAR SINGKATAN

BAL : Bronchoalveolar Lavage


BJH : Biopsi Jarum Halus
BTA : Bakteri Tahan Asam
ELISA : Enzym Linked Immunosorbent Assay
HIV : Human Imunodeficiency Virus
ICT : Immunochromatographic Tuberculosis
KGB : Kelenjar Getah Bening
LAM : Lipoarabinoamannan
LED : Laju Endap Darah
MGIT : Mycobacteria Growth Indicator Tube
OAT : Obat Anti Tuberkulosis
PAP : Peroksidase Anti Peroksidase
PCR : Polymerase Chain Reaction
TB : Tuberkulosis
TBLB : Trans Bronchial Lung Biopsy
TTNA : Trans Thoracal Needle Aspiration

xvii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis paru (TB) merupakan masalah kesehatan utama di dunia

yang menyebabkan morbiditas pada jutaan orang setiap tahunnya.

Berdasarkan laporan WHO tahun 2015, pada tahun 2014 terdapat 9,6 juta

kasus TB paru didunia, 58% kasus TB berada di Asia tenggara dan kawasan

pasifik barat serta 28% kasus berada Afrika. Pada tahun 2014, 1.5 juta orang

didunia meninggal karena TB (WHO, 2015).

WHO tahun 2015 menyatakan Indonesia sebagai negara dengan

penderita TB Paru terbanyak kedua di dunia yaitu sebanyak 10% dari total

global kasus TB Paru di dunia. Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia

yang dilaporkan oleh Kemenkes RI (2013) menjelaskan bahwa jumlah

penderita TB Paru yang terdata pada tahun 2012 yaitu sebanyak 202.301

dengan prevalensi sebesar 138/100.000 penduduk Indonesia. Jumlah kasus

penyakit TB paru kasus baru di Kota Surabaya pada tahun 2014 sebanyak

2.054 orang.

Provinsi Jawa Timur menempati urutan kedua setelah Provinsi Jawa

Barat dalam jumlah penderita TB BTA positif kasus baru, sedangkan untuk

semua tipe TB Provinsi Jawa Timur menempati urutan ketiga setelah Provinsi

Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2010 jumlah seluruh kasus

TB paru yang ditemukan sebanyak 37.226 dan 23.223 diantaranya adalah

kasus TB paru BTA Positif. Jumlah penemuan kasus tersebut masih sebesar

1
2

58,2%, dibawah target angka penemuan penderita TB kasus baru Provinsi

Jatim yaitu sebesar 70%. Sementara itu data dari RSI jemursari periode 2017

menunjukkan TB paru menempati ranking pertama dalam 10 besar penyakit

yang berhasil terdiagnosis di poli spesialis paru sebanyak 1.186 untuk pasien

rawat jalan.

Diagnosis yang tepat untuk menemukan kasus TB paru secara dini

sangat diperlukan dalam memutus rantai penularan TB paru. Hal ini ditunjang

dengan sarana diagnostik yang tepat (Jamzad, et al, 2009).

Diagnosis TB paru dapat dilihat dari manifestasi klinis seperti batuk

berdahak, batuk darah, demam lebih dari 1 bulan, penurunan berat badan,

berkeringat saat malam hari. Penelitian yang dilakukan Susilayanti EY di

Sumatera Barat tahun 2012 menunjukkan bahwa keluhan utama yang paling

sering ditemukan pada pasien tuberkulosis paru BTA (+) adalah batuk

sebanyak 1098 orang (99%). Beberapa kepustakaan menyatakan bahwa batuk

merupakan keluhan utama yang paling banyak ditemukan pada pasien

tuberkulosis paru BTA (+). Batuk terjadi akibat proses iritasi pada bronkus.

Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah

timbul peradangan akan menjadi produktif. Apabila proses destruksi terus

berlanjut, sekret terus menerus timbul sehingga batuk akan semakin sering

dan lebih keras.

Diagnosis TB paru juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan

penunjang Salah satu pemeriksaan penunjang yang praktis untuk menemukan

lesi tuberkulosis adalah pemeriksaan foto toraks. Menurut data dari evidence

based guide book, hanya 5% pasien TB paru reaktif yang mempunyai foto
3

toraks normal, sisanya abnormal. Sensitivitas dan spesifisitas foto thorax

dalam mendiagnosis Tuberkulosis yaitu 86% dan 83% apabila ditemukan

ketiga pola kelainan di apek berupa infiltrat, ditemukan kavitas atau

ditemukannya nodul retikuler. Tuberkulosis paru minimal ditemukan 1 dari 3

pola kelainan diatas (Aziza, et al, 2008).

Tidak ada cara lain yang sebanding pentingnya dengan pemeriksaan

radiologik untuk dokumentasi dan pemeriksaan berkala (follow-up) yang

obyektif. Foto rontgen yang dibuat pada suatu saat tertentu dapat merupakan

dokumen yang abadi dari penyakit seorang penderita ,dan setiap waktu dapat

dipergunakan dan diperbandingkan dengan foto yang dibuat pada saat-saat

lain (Crofton, et al, 1999).

Penelitian terhadap masalah tuberkulosis di RSI jemursari sudah

dilakukan antara lain penerapan batuk efektif pada pasien TB paru dengan

masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang dilakukan

oleh Sari Eni Tafrika pada tahun 2015 (Sari, 2015).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peniliti ingin melakukan

penelitian lanjutan tentang hubungan gejala klinis (batuk) dengan hasil

pemeriksaan foto toraks dalam mendiagnosis TB di RSI jemursari yang

bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara gejala klinis TB (batuk)

dengan hasil pemeriksaan foto toraks. Dalam upaya pemberantasan TB paru,

diagnosis yang tepat untuk menemukan kasus TB paru sedini mungkin

sehingga program pengobatan yang dilakukan dapat memberikan hasil optimal

dan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas TB , hal ini ditunjang

dengan sarana diagnostik yang tepat.


4

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah

“Apakah gejala klinis (batuk) TB paru berhubungan dengan hasil

pemeriksaan foto toraks di RSI Jemursari pada bulan Juli-Desember tahun

2017?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan penelitian umum

Mengetahui hubungan gejala klinis TB paru (batuk) dengan hasil

pemeriksaan foto toraks pada pasien di RSI Jemursari pada tahun 2017.

2. Tujuan penelitian khusus

a. Mengidentifikasi gejala klinis TB paru (batuk) di RSI Jemursari.

b. Mengidentifikasi hasil pemeriksaan foto toraks di RSI Jemursari.

c. Menganalisis hubungan gejala klinis TB paru (batuk) dengan hasil

pemeriksaan foto toraks di RSI Jemursari.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Mengetahui adanya hubungan gejala klinis (batuk) TB paru dengan

hasil pemeriksaan foto toraks di RSI jemursari.

2. Manfaat praktis

Mengetahui apakah foto toraks merupakan gold standard untuk

diagnosis TB paru.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis

1. Definisi

Infeksi yang di sebabkan oleh mycobacterium tuberculosis.

Kuman ini menyebar melalui inhalasi droplet nuclei. Kemudian,

masuk ke saluran napas dan bersarang di jaringan paru hingga

membentuk afek primer. Afek primer bias timbul dimana saja dalam

paru berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari afek primer ini diikuti

terjadinya inflamasi pada kelenjar getah bening menuju hilus

(limfangitis lokal) disertai pembesaran KGB di hilus (limfadenitis

regional). Kompleks primer adalah afek primer disertai dengan

limfangitis regional. kompleks primer menurut Christanto, et al

(2014) dapat menjadi:

1. Sembuh tidak cacat

2. Sembuh dengan sedikit bekas (garis fibrotic,sarang perkapuran di

hilus, sarang ghon)

3. Menyebar

a. Perkontinuatum (sekitarnya)

b. Bronkogen (penyebaran ke bagian paru lain ataupun

sebelahnya)

c. Hematogen dan limfogen (dapat menyebar hingga tulang,

ginjal, genitalia, tuberculosis milier, meningitis).

5
6

B. Klasifikasi

Klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB menurut Christanto, et al

(2014) meliputi 4 hal, yaitu:

1. Lokasi yang sakit;paru dan ekstra paru;

2. Hasil pemeriksaan dahak:BTA positif atau BTA negatif;

3. Riwayat pengobatan TB sebelumnya

4. Status HIV pasien

1. Berdasarkan lokasi

TB ekstra paru,yaitu kuman TB yang menyerang organ

selain paru. Diagnosis berdasarkan kultur (+) atau PA tempat lesi.

2. Berdasarkan hasil BTA

a. BTA (+)

1) Sekurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak memberikan hasil

(+)

2) Atau 1 kali pemeriksaan specimen hasilnya (+) disertai

gambaran radiologi yang menunjukan hasil TB aktif;

3) Atau sepesimen BTA (+) dan kultur (+);

4) Atau 1 atau lebih specimen dahak positif setelah 3

pemeriksaan dahak SPS pemeriksaan sebelumnya hasilnya

BTA (-) dan tidak ada perbaikan setelah pemberian

antibiotic non OAT.

b. BTA (-)

1) Hasil sputum BTA 3x (-);

2) Gambaran radiologi menunjukan kearah TB


7

3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT

pada pasien HIV (-);

4) Ditentukan oleh dokter untuk diberi pengobatan.

3. Berdasarkan tipe pasien

Berdasarkan dari riwayat pengobatan sebelumnya:

a. Kasus baru : belum pernah meminum OAT sebelumnya atau

pernah mengkonsumsi OAT kurang dari 1 bulan

b. Kasus kambuh (relaps)

1) Pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT telah

selesai pengobatan dan dikatakan Sembuh. Namun,

didapatkan BTA (+) atau kultur (+) kembali dan kembali

mengkonsumsi OAT.

2) Bila BTA (-), tetapi radiologi menunjukan lesi

aktif/perburukan dan gejala klinis (+). Kemungkinan, yaitu

lesi non TB (pneumonia, bronkiektasis, dll) atau TB paru

relaps ditentukan oleh dokter spesialis.

c. Kasus default (setelah putus berobat ), yaitu yang telah

berobat dan putus berobat selama ≤ 2 bulan dengan BTA (+).

d. Kasus gagal, yaitu pasien dengan BTA (+) sebelumnya, tetap

(+) atau kembali lagi menjadi (+) pada akhir bulan ke 5 atau

akhir pengobatan OAT.

e. Kasus kronik: hasil sputum tetap BTA (+) setelah selesai

pengobatan ulang (katagori 2) dengan pengawasan ketat.

f. Kasus bekas TB
8

1) BTA (-), radiologi lesi tidak aktif atau foto serial gambara

sama, dan riwayat minum OAT adekuat

2) Radiologi gambarnya meragukan, mendapatkan OAT 2

bulan, foto toraks ulang gambaran sama.

4. TB pada HIV AIDS

Diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai

berikut:

a. TB paru BTA (+), yaitu minimal 1x hasil pemeriksaan dahak

positif.

b. TB paru BTA (-), yaitu hasil dahak negatif dan gambaran

klinis-radiologis ke arah TB atau BTA (-) dengan kultur TB

(+).

c. TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,

bakteriologis, dan/atau histopatologis.

C. Anatomi Paru

Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang

ujungnya berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada

diafragma. Paru terbagi menjadi dua yaitu, paru kanan dan paru kiri.

Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru kiri

mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan

jelas. Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa subbagian menjadi

sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut bronchopulmonary segments.

Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang yang disebut

mediastinum (Sherwood, 2001).


9

Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi

menjadi pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu

selaput yang langsung membungkus paru, sedangkan pleura parietal

yaitu selaput yang menempel pada rongga dada. Diantara kedua

pleura terdapat rongga yang disebut kavum pleura (Guyton & Hall,

2007). Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3

mm. Pembentukan paru di mulai dari sebuah Groove yang berasal

dari Foregut. Pada Grooveterbentuk dua kantung yang dilapisi oleh

suatu jaringan yang disebut Primary Lung Bud. Bagian proksimal

foregut membagi diri menjadi 2 yaitu esophagus dan trakea. Pada

perkembangan selanjutnya trakea akan bergabung dengan primary lung

bud. Primary lung bud merupakan cikal bakal bronchi dan cabang-

cabangnya. Bronchial-tree terbentuk setelah embrio berumur 16

minggu, sedangkan alveoli baru berkembang setelah bayi lahir dan

jumlahnya terus meningkat hingga anak berumur 8 tahun. Alveoli

bertambah besar sesuai dengan perkembangan dinding toraks. Jadi,

pertumbuhan dan perkembangan paru berjalan terus menerus tanpa

terputus sampai pertumbuhan somatic berhenti (Evelyn, 2009).


10

Gambar 2.1 Anatomi paru (Tortora & Derrickson, 2012).

D. Etiologi

Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Mycobacterium

tuberculois. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x

0,3-0,6 mikron dan bentuk dari bakteri ini yaitu batang, tipis, lurus atau

agak bengkok, bergranul, tidak mempunyai selubung tetapi kuman ini

mempunyai lapisan luar yang tebal yang terdiri dari lipoid (terutama

asam mikolat). Sifat dari bakteri ini agak istimewa, karena bakteri ini

dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol

sehingga sering disebut dengan bakteri tahan asam (BTA). Selain itu

bakteri ini juga tahan terhadap suasana kering dan dingin. Bakteri ini

dapat bertahan pada kondisi rumah atau lingkungan yang lembab dan

gelap bisa sampai berbulan-bulan namun bakteri ini tidak tahan atau

dapat mati apabila terkena sinar, matahari atau aliran udara (Widoyono,

2011).
11

E. Patogenesis

1. Tuberkulosis primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan

bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang

pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang

primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda

dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan

peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).

Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening

di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan

limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks

primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut (PDPI,

2006):

a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali

(restitution ad integrum)

b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang

Ghon,garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

c. Menyebar dengan cara:

1) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya Salah satu

contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian

penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh

kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan

obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat

atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang


12

bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan

menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis

tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan

maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.

3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini

berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi

kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara

spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang

adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup

gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis,

typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat

menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,

misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan

sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin

berakhir dengan :

a) Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya

pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat

ensefalomeningitis, tuberkuloma)

b) Meninggal, Semua kejadian diatas adalah perjalanan

tuberkulosis primer.

2. Tuberkulosis postprimer

Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian

setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun.


13

Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam

yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis,

tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah

yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat

menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan

sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior

maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu

sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah

satu jalan sebagai berikut (PDPI, 2006):

a. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

b. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses

penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya

akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk

perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan

membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan

keju dibatukkan keluar.

c. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan

kaseosa). Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan

keju keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian

dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kavitas

tersebut akan menjadi:

1) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru.

Sarang pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti

yang disebutkan di atas


14

2) Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut

tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan

menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair

lagi dan menjadi kaviti lagi

3) Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,

atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan

akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti

yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti

bintang (stellate shaped).

Gambar 2.2. Skema perkembangan sarang tuberkulosis postprimer dan


perjalanan penyembuhannya (PDPI, 2006).

F. Cara Penularan

Penularan Mikobakteruim tuberkulosis adalah dari orang ke orang,

droplet lendir berinti yang dibawa udara. Penularan jarang terjadi


15

dengan kontak langsung dengan kotoran cair terinfeksi atau barang-

barang yang terkontaminasi. Peluang penularan bertambah bila

penderita mempunyai ludah dengan basil pewarnaan tahan asam,

infiltrat dan kaverna lobus atas yang luas, produksi sputum encer banyak

sekali, dan batuk berat serta kuat. Faktor lingkungan terutama sirkulasi

udara yang buruk, memperbesar penularan. Kebanyakan orang dewasa

tidak menularkan organisme dalam beberapa hari sampai 2 minggu

sesudah kemoterapi yang cukup, tetapi beberapa penderita tetap

infeksius selama beberapa minggu. Anak muda dengan tuberculosis paru

jarang menginfeksi anak lain atau orang dewasa (Enarson, et al, 2004).

G. Gejala Klinis

Gejala klinis TB sangat bermacam-macam, bahkan banyak pasien

yang ditemukan TB tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan

kesehatan. Keluhan paling banyak menurut Amin (2007) adalah :

1. Demam, biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi

kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41oC. Keadaann ini

sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya

infeksi bakteri Mycobacterium tuberculose yang masuk.

2. Batuk, gejala ini banyak ditemukan. Batuk dimulai dari batuk kering

(non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjai

produktif (menghasilkan sputum). Dahak awalnya bersifat mukoid

dan keluar dalam jumlah yang sedikit, kemudian berubah menjadi

mukopurulen/ kuning atau kuning hijau sampai purulen dan


16

kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi perkejuan dan

perlunakan.

3. Batuk darah, Keadaan yang lanjut karena terdapat pembuluh darah

yang pecah. Batuk darah pada TB kebanyakan terjadi pada kavitas ,

tetapi dapat juga pada ulkus dinding bronkus.

4. Penurunan berat badan, disebabkan karena metabolisme dalam

tubuh meningkat sehingga tubuh membutuhkan energi lebih,

akan tetapi karena nafsu makan menurun maka asupan energi

dalam tubuh berkurang sehingga berat badan menurun.

5. Berkeringat malam hari, Keringat malam adalah suatu keluhan

subyektif yang diakibatkan oleh irama temperatur sirkadian normal

yang berlebihan.

H. Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,

pemeriksaan fisis/jasmani, radiologi dan pemeriksaan khusus dan

penunjang lainnya.

1. Gejala klinik

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan,

yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah

paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai

organ yang terlibat) (PDPI, 2006).

a. Gejala respiratorik:

1) Batuk > 2 minggu

2) Batuk darah
17

3) Sesak napas

4) Nyeri dada

Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada

gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.

Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila

bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin

tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi

bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak

ke luar (PDPI, 2006).

b. Gejala sistemik:

1) Demam

2) Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam,

anoreksia dan berat badan menurun

c. Gejala tuberkulosis ekstraparu

Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ

yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan

terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar

getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala

meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat

gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang

rongga pleuranya terdapat cairan (PDPI, 2006).


18

2. Pemeriksaan Jasmani

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai

tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan

yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan

(awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)

menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di

daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior

(S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada

pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas

bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda

penarikan paru, diafragma dan mediastinum (PDPI, 2006).

Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis

tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi

ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai

tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan (PDPI, 2006).

Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar

getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan

metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran

kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess” (PDPI, 2006).

3. Pemeriksaan Bakteriologik

a. Bahan pemeriksasan

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman

tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam


19

menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik

ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,

bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar

(bronchoalveolar lavage/BAL) (PDPI, 2006).

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan, cara pengambilan

dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut in, faeces dan

jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus)

c. Atau dengan cara:

1) Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

2) Dahak Pagi (keesokan harinya)

3) Sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan

dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar,

berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak

mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen

tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi)

sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH,

dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek atau untuk

kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl

0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak

yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam

kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus

dipastikan telah tertulis identitas penderita yang sesuai dengan

formulir permohonan pemeriksaan laboratorium (PDPI, 2006).


20

Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari

klinik/tempat pelayanan penderita, spesimen dahak dapat

dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan

dan pengiriman dahak dengan kertas saring:

a) Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar

terlihat bagian tengahnya

b) Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di

bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml

c) Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan

melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan

dahak

d) Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di

tempat yang aman, misal di dalam dus

e) Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan

dalam kantong plastik kecil

f) Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara)

dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka

dengan menggunakan lidi

g) Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan

tanggal pengambilan dahak

h) Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos

ke alamat laboratorium (PDPI, 2006).

d. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain Pemeriksaan

bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,


21

liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, bronko

alveolar lavage (BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk

BJH) dapat dilakukan dengan cara:

1) Mikroskopik

a) Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen, pewarnaan

Kinyoun Gabbett

b) Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin

(khususnya untuk screening)

lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali

pemeriksaan ialah bila:

a) 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif

b) 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali ,

kemudian

c) bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif

d) bila 3 kali negatif → Mikroskopik negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala

bronkhorst atau IUATLD (PDPI, 2006).


22

Gambar 2.3 Paru : apeks lobus superior dan apeks lobus inferior
(PDPI, 2006).

4. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA, pemeriksaan ini

merupakan pemeriksaan yang sangat penting. Kemajuan yang pesat

selama dasawarsa terakhir dalam teknik pemeriksaan radiologi toraks

dan pengetahuan untuk menilai suatu roentgenogram menyebabkan

pemeriksaan toraks dengan sinar roentgen ini suatu keharusan rutin.

Pemeriksaan paru tanpa pemeriksaan roentgen saat ini dianggap tidak

lengkap (Adelberg, 2008).

Suatu penyakit paru belum dapat disingkirkan dengan pasti

sebelum dilakukan pemeriksaan radiologi karena menurut beberapa ahli

pemeriksaan radiologi toraks merupakan prediktor terbaik yang dapat

mendeteksi berbagai kelainan dini dalam paru juga sebelum timbul

gejala-gejala klinis, sehingga pemeriksaan secara rutin pada orang-

orang yang tidak memiliki keluhan (mass-chest survey) sudah menjadi


23

prosedur yang lazim dalam pemeriksaan secara massal (Aditama, et al,

2007).

Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik,

CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi

gambaran bermacam--macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi

yang dicurigai sebagai lesi TB aktif menurut PDPI (2006) :

a. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus

atas paru dan segmen superior lobus bawah

b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak

berawan atau nodular

c. Bayangan bercak milier

d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:

1. Fibrotik

2. Kalsifikasi

3. Schwarte atau penebalan pleura (PDPI, 2006).

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan

pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus

BTA negatif):

1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua

paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume

paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga

kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4

atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti


24

2. Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal (PDPI,

2006).

Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan

pneumonitis dan pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkejuan

yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui

bronkus sehingga meninggalkan rongga di paru yang disebut

kavitas. Kavitas terdapat pada 19-50% kasus. Kavitas

Tuberkulosis biasanya berdinding tebal dan irreguler. Jarang

dijumpai air-fluid level dan bila ada air-fluid level dapat

menunjukkan abses anaerob atau superinfeksi. Penyebaran

endobronkial bisa menimbulkan gambaran foto thorax yang

berupa kelainan noduler yang berkelompok pada lokasi tertentu

paru. Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan

paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk

fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan

enkapsulasi (Aziza, et al, 2008).

Pada pasien TB paru post primer tampak gambaran umum

yang khas berupa konsolidasi heterogenus yang kurang lengkap

atau fokal pada segmen apikal dan posterior dari lobus atas, serta

segmen superior dari lobus bawah. Gambaran yang umum

ditemukan berupa nodul dan opasitas yang linier. Tanda

radiologis khusus dan spesifik TB paru post primer adalah

gambaran adanya kavitasi, yang ditemukan pada 20-45 % pasien.

Kavitasi ini menandakan adanya proses aktif infeksi TB yang


25

nantinya akan sembuh membentuk lesi fibrotik. Limfadenopathy

mediastinum dan hilus yang umum pada Tb primer jarang terlihat

pada TB post primer. Selain itu, gambaran efusi pleura dapat

terlihat sendiri pada TB post primer meski tidak didapatkan

gambaran lain yang khas (Jeong & Lee, 2008).

Tuberkuloma dapat terlihat pada tuberkulosis primer dan

postprimer. Gambaran radiologis yang telihat adalah nodul yang

tersebar, dan lebih sering terlihat pada bagian atas lobus. Lesi

satelit yang berupa nodul kecil yang tersebar dapat terlihat pada

90% pasien. Penyebaran infeksi dari lobus atas ke bawahnya akan

terlihat gambaran yang khas, disebut upstairs-downstairs pattern.

Gambaran ini mengikuti jalan nafas yang seperti anak sungai dan

terlihat gambaran acinar shadow dengan batas tidak tegas.

Terjadinya penampakan tersebut dikarenakan mulai terinfeksinya

jalan nafas yang sebelumnya belum terinfeksi (Jeong & Lee,

2008).

Lesi yang terlihat kemudian dijelaskan penampakan dan

lokasi, bersamaan dengan ciri-ciri radiografik dari tuberkulosis

pulmoner. Lesi di daerah pulmoner lebih lanjut diklasifikasikan

menjadi tiga berdasarkan lokasi relatif dalam paru, yaitu (Jeong &

Lee, 2008).

1) Periferal. Jika lesi terlihat 1-2cm dari pleura, atau sangat

dekat dengan pleura.

2) Sentral. Jika lesi terlihat lebih dari 1-2cm dari pleura.


26

3) Tidak terdefinisikan. Jika lesi tidak dapa dikategorikan ke

dalam dua jenis klasifikasi di atas.

Gambar 2.4 Tuberkulosis dengan cavitas

Gambar 2.5 Tuberkulosis dengan fibroinfiltrat


27

5. Pemerikaan khusus

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah

lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis

secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang

lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih

cepat (PDPI, 2006).

a. Pemeriksaan BACTEC

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah

metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang

kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya

oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif

pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan

diagnosis dan melakukan uji kepekaan. Bentuk lain teknik ini adalah

dengan menggunakan Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT)

(PDPI, 2006).

b. Polymerase chain reaction (PCR)

Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat

mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah

dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara

pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih

memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR

dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan

tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar

internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data


28

lain tidak ada yang menunjang ke arah diagnosis TB, maka hasil

tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB

Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen

pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstraparu sesuai dengan

organ yang terlibat (PDPI, 2006).

c. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda:

1) Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat

mendeteksi respons humoral berupa proses antigen-antibodi yang

terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah

kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.

2) Immunochromatographic tuberculosis (ICT)

Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT

tuberculosis) adalah uji serologi untuk mendeteksi antibodi

M.tuberculosis dalam serum.Uji ICT merupakan uji diagnostik

TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari

membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38

kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis

melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen

diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol.

Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan

warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis

antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap

M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan


29

membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila

setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari

empat garis antigen pada membran.

3) Mycodot

Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam

tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan

(LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir

plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum

pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik

anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti

penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat

dideteksi dengan mudah

4) Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi

reaksi serologi yang terjadi. Dalam menginterpretasi hasil

pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati

karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang

terdeteksi.

5) Uji serologi yang baru / IgG TB

Uji IgG adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara

mendeteksi antibodi IgG dengan antigen spesifik untuk

Mycobacterium tuberculosis. Uji IgG berdasarkan antigen

mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16 kDa dan

kombinasi lainnya akan menberikan tingkat sensitiviti dan


30

spesifisiti yang dapat diterima untuk diagnosis. Di luar negeri,

metode imunodiagnosis ini lebih sering digunakan untuk

mendiagnosis TB ekstraparu, tetapi tidak cukup baik untuk

diagnosis TB pada anak. Saat ini pemeriksaan serologi belum

dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis (PDPI, 2006).

6. Pemeriksaan Penunjang lain

1) Analisis Cairan Pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan

pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu

menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung

diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan

eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan

dan glukosa rendah

2) Pemeriksaan histopatologi jaringan

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu

menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah

pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui

biopsi atau otopsi, yaitu :

a) Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening

(KGB)

b) Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram,

Cope dan Veen Silverman)


31

c) Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan

bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru

terbuka).

d) Otopsi

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu

sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke

laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua

difiksasi untuk pemeriksaan histologi (PDPI, 2006).

3) Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator

yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam

pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan

pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap

darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun

kurang spesifik (PDPI, 2006).

4) Uji tuberkulin

Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi

tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi,

uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti

pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan

konversi, bula atau apabila kepositivan dari uji yang didapat besar

sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat

memberikan hasil negatif (PDPI, 2006).


32

I. Komplikasi

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik

sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai

pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :

1. Batuk darah

2. Pneumotoraks

3. Luluh paru

4. Gagal napas

5. Gagal jantung

6. Efusi pleura (PDPI, 2006).


BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka konseptual

Pemeriksaan Radiologi:

1. Infiltrat
Gejala klinis : Batuk 2. Kavitas
3. Nodul retikuler
4. Fibroinfiltrat

Diagnosis TB paru

Keterangan :

Variabel bebas :

Variabel terikat :

Hubungan :

B. Hipotesis
H1: Terdapat hubungan gejala klinis (batuk) dengan hasil pemeriksaan foto

toraks dalam mendiagnosis Tb di RSI Jemursari pada bulan Juli-

Desember Tahun 2017

33
34

H0: Tidak terdapat hubungan gejala klinis (batuk) dengan hasil pemeriksaan

foto toraks dalam mendiagnosis Tb di RSI Jemursari pada bulan Juli-

Desember Tahun 2017


BAB 4

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan rancang bangun penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan

menggunakan pendekatan Cross Sectional. Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.

B. Populasi penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah pasien rawat jalan TB yang ada di

RSI Jemursari pada bulan juli-desember tahun 2017 dengan seluruh populasi

sebesar 166

C. Sampel, besar sampel, dan cara pengambilan sampel

1. Sampel

Kriteria Inklusi

a. Pasien rawat jalan pada bulan juli-desember tahun 2017

b. Pasien dengan keluhan batuk

c. Pasien dengan keluhan batuk dan disertai gejala lain

d. Usia 20-60 tahun

e. TB paru

Kriteria Eksklusi

a. Penyakit PPOK
b. Bronkiektasis
c. Bronkitis
d. Ca Paru
e. Tidak ada data foto toraks

35
36

2. Besar Sampel
Besar sampel (n) ditentukan berdasarkan jumlah populasi yang

diketahui, yaitu data rekam medis di RSI Jemursari pada bulan Juli-

Desember tahun 2017 dengan menggunakan rumus Taro Yamane (Imron,

2011).

n = N

1+Ne2

166
𝑛=
1 + 166 × 0,12

166
𝑛=
2,66

𝑛 = 62,4

Keterangan :

n = besar sampel

N = besar populasi dengan jumlah total populasi sebanyak 166

e = batas toleransi kesalahan (0,1)

3. Cara Pengambilan Sampel

Cara pengambilan sampel yang digunakan Subyek penelitian

menggunakan metode simple random sampling yaitu dengan menghitung

terlebih dahulu seluruh jumlah pasien penderita TB paru. Kemudian akan

dipilih subjeknya secara acak sebagai sampel penelitian. Untuk sistem

acak dilakukan dengan mengambil sampel secara random pada setiap

bulan sejak juli-desember tahun 2017.


37

4. Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSI Jemursari Surabaya.

b. Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 januari tahun 2019 dengan

melihat catatan rekam medis pasien TB paru.

5. Kerangka operasional penelitian

Persiapan

Mengolah Rekam Medis pasien TB di RSI Jemursari

Didapatkan Rekam Medis yang memenuhi kriteria Inklusi

Gejala Klinis : Hasil Pemeriksaan Foto


1. Batuk Toraks:
1. Kavitas
2. Infiltrat
3. Nodul retikuler
4. Fibroinfiltrat

Analisis Data
38

6. Variabel penelitian dan definisi operasional

a. Variabel Independen (Variabel bebas)

Variabel bebas pada penelitian ini adalah Gejala Klinis (Batuk) pada

pasien TB di RSI Jemursari.

b. Variabel Dependen (Variabel terikat)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Hasil Pemeriksaan Foto

Toraks pasien TB di RSI Jemursari.

c. Definisi Operasional Variabel

Tabel 4.1 Teori variabel

Definisi Kategori dan Skala


No Variabel
operasional Kriteria pengukuran

1 Independen: Setiap rekam Batuk + Nominal


Gejala medis yang Ditemukan gejala
Klinis memiliki gejala batuk pada pasien
Batuk batuk pada pasien
TB paru Batuk -
Tidak ditemukan
gejala batuk pada
pasien

2 Dependen: Data rekam medis Interpretasi + Nominal


Hasil yang minimal 1
Pemeriksaa mencantumkan gambaran pada foto
n Foto gambaran hasil toraks
Toraks pemeriksaan foto
toraks meliputi Interpretasi –
(minimal 1) : Tidak ditemukan
1. Kavitas gambaran pada foto
2. Fibrotik toraks
3. nodul
retikuler
4. Fibroinfilt
rat
39

d. Instrumen penelitian dan pengumpulan data

1) Instrumen penelitian yang digunakan merupakan data sekunder

karena data diperoleh dari rekam medis pasien penyakit TB paru

di RSI Jemursari pada bulan juli-desember tahun 2017 dengan

jumlah 63 sampel.

2) Cara pengumpulan data pada penelitian ini dengan

mengumpulkan data sekunder yang berupa gejala klinis (batuk)

dan hasil pemeriksaan foto toraks pada penderita TB Paru di

RSI Jemursari.

7. Pengolahan dan analisa data

a. Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

1) Editing dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kesesuaian

antara kriteria data yang diperlukan untuk menjawab tujuan

penelitian

2) Coding memberikan tanda pada hasil penelitian dengan tujuan

agar lebih mudah dalam menganalisa data dan mempercepat saat

entry data.

3) Processing Memasukkan data yang telah diberikan kode ke

dalam program software computer

4) Cleaning adalah kegiatan pengecekan kembali data yang sudah

di entry untuk melihat apakah ada kesalah atau tidak.


40

b. Analisa data
Analisa Univariat adalah untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian

(Notoatmodjo & Soekidjo, 2010). Analisa univariat juga digunakan

untuk memperoleh gambaran manifestasi klinis, serta gambaran hasil

pemeriksaan foto toraks pada penderita TB di RSI Jemursari.

Analisa Bivariat untuk mengetahui hubungan dua variabel

yaitu dependen dan independen. Jenis uji statistik yang digunakan

dalam penelitian ini dengan uji Chi-Square menggunakan SPSS 16.0

For Windows. Analisa bivariat dalam penelitian ini yaitu hubungan

antara gejala klinis (batuk) dengan hasil pemeriksaan foto toraks

dalam mendiagnosis TB. Dengan menggunakan uji statistik Chi-

Square akan diperoleh nilai p (p value) dengan tingkat kemaknaan

0,1. Jika nilai p <0,1 maka Ho ditolak dan H1 diterima, ini

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara dua

variabel yang diuji. Sedangkan jika nilai p > 0,1 maka Ho diterima

dan H1 ditolak, ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan

antara dua variabel yang diuji.

Hasil analisis data yang sudah ada kemudian dipresentase dan

diinterpretasikan dengan menggunakan skala kuantitatif sebagai

berikut:

1) Tidak ada satupun: 0%

2) Sebagian kecil: 1-25%

3) Hampir setengah: 26-49%

4) Setengah dari: 50%


41

5) Sebagian besar: 51-75%

6) Hamper seluruhnya: 76-99%

7) Seluruhnya: 100%

8. Etika penelitian
Ethical clearance diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan

(KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya

atau RSI Jemursari Surabaya. Pada penelitian ini tidak dilakukan

intervensi kepada subyek penelitian karena data yang akan digunakan

berasal dari data sekunder.

Sampel pada penelitian ini akan diberi jaminan atas data-data yang

diberikan agar identitas subyek pada sampel penelitian ini dapat

dirahasiakan dan tidak akan dipublikasikan tanpa seijin subyek

penelitian.
BAB 5
HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Karakteristik Responden

1. Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin

Tabel 5.1 Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

1 Laki-laki 29 46,0

2 Perempuan 34 54,0

Total 63 100,0

Berdasarkan Tabel 5.1 diatas, dapat diinformasikan bahwa

sebagian besar (54,0%) responden berjenis kelamin perempuan.

Karakteristik Responden Menurut Usia

Tabel 5.2 Karakteristik Responden Menurut Usia

No. Usia Frekuensi Persentase

1 20-29 Tahun 15 23,8

2 30-39 Tahun 20 31,7

3 40-49 Tahun 21 33,3

4 50-59 Tahun 7 11,1

Total 63 100,0

Berdasarkan Tabel 5.2 diatas, dapat diinformasikan bahwa

hampir setengah (33,3%) responden pada kelompok usia 40-49 tahun.

42
43

B. Identifikasi Gejala Klinis TB Paru (Batuk)

Tabel 5.3 Identifikasi Gejala Klinis TB Paru (Batuk)

No. Gejala Klinis Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Batuk 43 68,3%

2 Tidak Batuk 20 31,7%

Total 63 100%

Berdasarkan Tabel 5.3 diatas, dapat diinformasikan bahwa

sebagian besar (68,3%) responden mengalami batuk .

C. Identifikasi Hasil Pemeriksaan Foto Toraks

Tabel 5.4 Identifikasi Hasil Pemeriksaan Foto Toraks

No. Hasil Pemeriksaan Foto Jumlah (orang) Persentase (%)


Toraks

1 + 42 66,7%

2 - 21 33,3%

Total 63 100%

Berdasarkan Tabel 5.4 diatas, dapat diinformasikan bahwa

sebagian besar (66,7%) hasil pemeriksaan foto toraksnya positif.


44

D. Hubungan Gejala Klinis (Batuk) dengan Hasil Pemeriksaan Foto

Toraks

Tabel 5.5 Hubungan Gejala Klinis (Batuk) dengan Hasil Pemeriksaan Foto

Toraks

Hasil Pemeriksaan Foto Toraks


Total
No. Batuk Positif Negatif

N % n % N %

1 Positif 29 28,7 14 14,3 43 43,0

2 Negatif 13 13,3 7 6,7 20 20,0

Total 42 42,0 21 21,0 63 63,0

Chi-Square Test = 0,848 (Alpha = 0,1)

Berdasarkan Tabel 5.5 diatas, dapat diinformasikan bahwa Hasil

uji statistik dengan menggunakan Chi-square Test menunjukkan nilai

signifikansi sebesar 0,848 (> 0,1) yang artinya Ho diterima dan H1 ditolak

dengan kesimpulan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara batuk

dengan hasil pemeriksaan foto toraks.


BAB 6

PEMBAHASAN

A. Pembahasan
1. Data umum penelitian

Berdasarkan Tabel 5.1 bahwa sebagian besar (54,0%) responden

berjenis kelamin perempuan. Dimana hasil ini berbeda dengan penelitian

sebelumnya yang mana biasanya pasien dengan jenis kelamin laki-laki

yang terbanyak mengalami tuberkulosis paru dibandingkan dengan

pasien jenis kelamin perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh

Mohammed Taha dkk di Ethiopia tahun 2009 yang menyatakan bahwa

jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada wanita yang disebabkan

oleh adanya perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan serta

adanya factor genetic.

Perilaku pada pria berhubungan dengan kegiatan yang sering

bermigrasi ketika mencari pekerjaan, sebagian besar juga mempunyai

kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya tuberculosis dan

waktu kontak lebih banyak dengan orang lain sehingga meningkatkan

probabilitas mendapat paparan basil (Riskesdas, 2013).

Berdasarkan Tabel 5.2 bahwa hampir setengah (33,3%)

responden pada kelompok usia 40-49 tahun. Dimana dapat diketahui usia

rentan mengalami tuberkulosis paru yaitu pada usia 40-49 tahun. Hasil

ini sesuai dengan hasil Riskesdas tahun 2013 yang melaporkan bahwa

kelompok umur >45 tahun memiliki pevalensi yang lebih tinggi diantara

45
46

kelompok yang lainnya. Hal ini diduga karena orang yang produktif

memiliki resiko 5-6 kali untuk mengalami kejadian TB paru, pada

kelompok usia produktif setiap orang akan cenderung beraktivitas tinggi,

dan masih aktif untuk bekerja dan melakukan aktivitas baik itu didalam

rumah maupun diluar rumah. Fase dimana seseorang masih mampu

untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sehingga kemungkinan terpapar

kuman mycobacterium tuberculosis lebih besar, selain itu kuman tersebut

akan aktif kembali dalam tubuh yang cenderung terjadi pada usia

produktif.

2. Data khusus penelitian

Berdasarkan tabel 5.3 didapatkan bahwa sebagian besar (68,3%)

responden mengalami batuk. Dimana batuk adalah gejala klinis yang

sering kali timbul pada penderita tuberkulosis paru.

Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di

Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2004-2007 dapat dilihat

keluhan utama batuk > 3 minggu sebesar 7 7,6% dan terendah dengan

keluhan sakit dada sebesar 1,9% (WHO, 2011).

Batuk terjadi akibat terangsangnya bronkus secara iritatif. Gejala

yang timbul paling sering dan paling cepat. Sifat batuk dimulai dari batuk

kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi

produktif (menghasilkan sputum). Bila proses destruksi menjadi lanjut,

secret terus-menerus timbul, sehingga batuk menjadi lebih dalam, batuk

sangat keras, sering dan paroksimal. Gejala utama adalah batuk berdahak

selama 2-3 minggu (Depkes RI, 2006).


47

Pada hasil lampiran hampir setengah (41%) didapatkan gambaran

fibroinfiltrat. Dimana dapat diketahui pada hasil pemeriksaan radiologis

dengan lesi fibroinfiltrat mampu mendiagnosis pasien dengan TB paru

secara bermakna. Lesi fibroinfiltrat pada TB dominan terjadi di apek paru

maupun di lobus bawah paru. Hal ini yang merupakan spesifikasi TB

paru. Lesi radiologi foto thorax pada penderita TB menurut penelitian

Imran Rosadi, 2004 mempunyai sensitifitas 80% (Rosadi, 2004).

Berdasarkan Tabel 5.5 diatas, dapat diinformasikan bahwa Hasil

uji statistik dengan menggunakan Chi-Square Test menunjukkan nilai

signifikansi sebesar 0,848 (>0,1) yang artinya dari penelitian ini tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara Gejala Klinis TB Paru (batuk)

dengan hasil pemeriksaan foto toraks.

Pada pemeriksaan roentgen rutin (misalnya check-up) mungkin

telah ditemukan tanda-tanda pertama tuberkulosis, walaupun klinis

belum ada gejala. Sebaliknya bila tidak ada kelainan pada foto roentgen

belum berarti tidak ada tuberkulosis, sebab kelainan pertama pada foto

roentgen biasanya baru kelihatan sekurang-kurangnya 10 minggu setelah

infeksi oleh basil tuberkulosis (Rasad, 2005).

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Isti Ferdiana,

dkk di Departemen Radiologi, RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung tahun

2017 dengan hasil penelitian melalui uji analisis chi-square pada derajat

kepercayaan 95% menunjukkan bahwa kavitas, adenopati, infiltrat,

konsolidasi, dan bronkiektasis lebih banyak ditemukan pada penderita

TB paru dewasa dengan BTA positif kultur positif dibanding dengan


48

BTA negatif kultur positif (p≤0,05). Dan disimpulkan terdapat perbedaan

karakteristik lesi foto toraks TB paru dewasa pada pemeriksaan BTA

positif kultur positif dan BTA negatif kultur positif.

Hal ini juga sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Ristaniah D. Soetikno di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung

tahun 2011 menyatakan bahwa perubahan gambaran radiologis

memerlukan waktu antara 6 bulan sampai 2 tahun.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Haqqi Pradipta Suganda dan

Ana Majdawati, di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2013

menyatakan bahwa walaupun pada hasil sampel yang didapatkan terdapat

2 sampel dengan BTA positif namun ronsen negatif hal itu kemungkinan

dikarenakan oleh beberapa faktor terkait. Salah satunya karena lesi TB

paru dapat sembuh kembali tanpa meninggalkan cacat sarang tadi mula

mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan

penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri

menjadi lebih keras, terjadi perkapuran dan akan sembuh dalam bentuk

perkapuran (PDPI, 2002). Selain itu juga menurut data dari evidence

based guide book, hanya 5% pasien TB paru reaktif yang mempunyai

foto toraks normal, sisanya abnormal (Aziza, et al, 2008).

Pada lampiran didapatkan hasil odds ratio yang dihitung disini

merupakan odds ratio dari pasien yang batuk dengan pasien yang tidak

batuk terhadap hasil foto toraks positif. Pasien yang batuk lebih memiliki

kecenderungan hasil foto toraks positif sebesar 1,1 atau lebih besar

dibandingkan dengan pasien yang tidak batuk dan diperoleh selang


49

kepercayaan (0,364) (3,414) dimana pada selang kepercayaan

mengandung nilai OR 1 sehingga tidak ada hubungan yang signifikan

antara batuk dengan hasil pemeriksaan foto toraks.

Relative risk disini dihitung dengan membandingkan pasien batuk

dengan pasien yang tidak batuk. Relative risk spss foto toraks positif

yaitu 1,038 artinya, pasien yang batuk memiliki peluang untuk

mendapatkan hasil pemeriksaan foto toraks yang positif 1,038 atau satu

kali lebih besar dibandingkan dengan pasien yang tidak batuk. Untuk

selang kepercayaannya didapatkan hasil (0,708) (I,522) dimana pada

selang kepercayaan ini mengandung nilai relative risk 1 sehingga

menunjukkan tidak adanya hubungan antara batuk dengan hasil

pemeriksaan foto toraks.

B. Keterbatasan Penelitian
Kurangnya kelengkapan data sekunder menjadi penghambat proses

pengerjaan pada penelitian ini, tidak adanya keterangan gejala atau keluhan

pasien yang tertera pada data rekam medik dan juga sering kali tidak adanya

keterangan hasil pemeriksaan foto toraks yang tercantum pada data rekam

medik dan mengakibatkan banyak data yang tereksklusi dari penelitian ini
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian di atas, kesimpulan dari penelitian ini

adalah:

1. sebagian besar responden mengalami batuk sebesar 68,3%.

2. sebagian besar hasil pemeriksaan foto toraksnya positif yaitu sebesar

66,7%.

3. Berdasarkan analisis statistik yang telah dilakukan dengan uji statistik

Chi-Square Test menunjukan nilai yang signifikan sebesar 0,848 (P =

>0,1) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

gejala klinis (batuk) dengan hasil pemeriksaan foto toraks. Yang mana

Ho diterima dan H1 peneliti ditolak.

B. Saran

1. Bagi peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan survey data terlebih

dahulu sebelum dilakukannya penelitian agar nantinya dapat

memperkirakan/ mengestimasikan ketersedian datanya.

2. Untuk mencegah keterlambatan diagnosis TB paru dengan mengenali

gejala khas disertai pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang

yang lain di pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat sebagai

penunjang diagnostik dalam pemberantasan TB paru.

3. Perbaikan rekam medis rumah sakit, sehingga menjamin pengumpulan

data yang tepat dan akurat guna penelitian medis yang berikutnya

50
DAFTAR PUSTAKA

Abebel G, Deribew A, Apers L, Abdissal A, Deribiel F &Woldemichael K. 2012.


Tuberculosis lymphadenitis in Southwest Ethiopia: a community based cross-
sectional study. BMC Pub.
Adelberg, J.M. 2008. Medical Mikrobiology Edisi 23. Jakarta: EGC.
Aditama, T.Y. 2006. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Amin, Zulkifli. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi IV. Jakarta: FK
UI.
Aziza, G., Icksan & Reny, L. 2008. Radilologi Toraks Tuberkulosis Paru.
Jakarta: Sagung Seto.
Christanto, Liwang, F., Hanifan, Sonia & Pradipta, E.A. 2014. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius.
Crofton, J.N., Horne, F & Miller. 1999. Clinical tuberculosis. London: The Mac
Milan Press.
Depkes, RI. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:
Depkes RI.
Enarson, D.A., Chen, Y.C & Murray, J.F. 2004. Global epidemiology of tuberculosis.
Philadelphia: Lippincott william & wilkins.
Evelyn, C.P. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
Guyton, A.C & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta:
EGC.
Jamzad, A., Shahnazi, M & Khatami, A. 2009. Radiographic Findings of Pulmonary
Tuberculosis in Tehran in Comparison with Other Institutional Studies. Iran J
Radiol. 6(3): 131-136.
Jeong, Y.J , Lee, K.S. 2008. Pulmonary Tuberculosis: Imaging and Management.
American Journal of Roentgenology . 3 (Suppl 3): 191.
PDPI. 2002. Tuberculosis Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI.
Rosadi, I. 2004. Uji Sensitifitas dan Spesifisitas Pemeriksaan Darah dan Rontgen
Thorak untuk Diagnosis Tuberkulosis Paru di RSUD dr Soesilo. Tegal: RSUD
dr Soesilo.
Sari, E.T. 2012. Penerapan Batuk Efektif pada Pasien TB Paru dengan Masalah
Keperawatan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas. Surabaya: RSI
Jemursari.
Sherwood, L. 2001. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta: EGC.
Tortora, G. J., Derrickson, B. 2012. Principles of Anatomy & Physiology 13th
Edition. United States of America: John Wiley & Sons, Inc.

51
Wahid & Suprapto. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan Pada
Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta: TIM.
WHO. 2011. Global Tuberculosis Control. Switzerland:WHO
WHO. 2014. Global Tuberkulosis Control. Switzerland: WHO
WHO. 2015. Global Tuberculosis Report 2105. Switzerland: WHO
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.

52

Anda mungkin juga menyukai