Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perencanaan kota sangat kompleks menyangkut berbagai aspek dalam
kota, seperti penyediaan fasilitas dan infrastruktur permukiman, jaringan
telekomunikasi, transportasi, dan sebagainya. Transportasi merupakan pokok
penentu dalam aksesibilitas suatu kota, seperti dalam Bolan (1967, dalam Hanson
dkk, 1986), dinyatakan bahwa transportasi merupakan tulang punggung master
plan (rencana induk) kota. Oleh karena itu, perencanaan dalam bidang transportasi
sangat perlu dilakukan secara terus-menerus dan bertahap untuk menuju keadaan
atau kondisi infrastruktur transportasi yang semakin baik, baik pada prasarana
maupun sarana transportasi, yang ditujukan secara optimal dalam mendukung
kegiatan manusia untuk mencapai kesejahteraannya. Overgraad (1966, dalam
Warpani, 1990) menyebutkan bahwa perencanaan perangkutan (transportasi)
sangat dibutuhkan karena konsekuensi dari pertumbuhan dan perluasan keadaan
lalu lintas kota. Perencanaan transportasi perkotaan terus mengalami
perkembangan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir (Hanson dkk, 1986). Proses
perencanaan transportasi yang dilakukan di setiap kota pun berbeda karena setiap
kota memiliki kondisi geografis yang berbeda, serta dinamika dan permasalahan
transportasi yang berbeda pula.
Transportasi merupakan kebutuhan sehari-hari penduduk dalam menuju
suatu tempat untuk melakukan aktivitasnya. Pertumbuhan penduduk kota
menyebabkan bertambah pula kebutuhan akan transportasi, sehingga hal tersebut
dapat menjadi pertimbangan untuk selalu dilakukan perencanaan transportasi
dalam perencanaan suatu kota, terutama kota yang dinamis dan terus berkembang.
Transportasi merupakan kebutuhan turunan atau kebutuhan tidak langsung. Akan
tetapi, transportasi menjadi sangat penting karena dalam upaya memenuhi
maupun mengakses kebutuhan pokok atau kebutuhan langsung, manusia
membutuhkan prasarana dan sarana transportasi.

1
Transportasi memiliki banyak komponen di dalamnya. Salah satunya
adalah lalu lintas. Lalu lintas mengacu pada pergerakan (mobilitas). Dalam
perkembangan kota, Bintarto (1977) menyebutkan bahwa perkembangan kota
diikuti dengan masalah kelalulintasan. Salah satu contoh adalah kesemrawutan
lalu lintas karena semakin banyaknya penduduk yang menggunakan kendaraan
bermotor. Hal tersebut dapat memberikan dampak negatif, contohnya
mengakibatkan kemacetan, kecelakaan, polusi udara dan polusi suara, serta
dampak negatif pada sistem sirkulasi kota. Permasalahan transportasi pada masa
sekarang ini semakin meningkat karena pertumbuhan kota yang semakin
kompleks. Salah satunya adalah efek dari pertumbuhan ekonomi yang
menyebabkan kebutuhan mobilitas seseorang meningkat, sehingga kebutuhan
pergerakannya pun meningkat dan dapat melebihi kapasitas prasarana transportasi
yang ada (Tamin Z., 1997, dalam Suharyadi dkk, 2010).
Lalu lintas menjadi hal penting dalam mobilitas (pergerakan) manusia.
Begitu pula dengan lalu lintas di sekitar kampus Universitas Gadjah Mada
(UGM), dimana merupakan prasarana mobilitas mahasiswa, dosen, maupun
karyawan (civitas akademika) dan juga merupakan jalur mobilitas umum (non
civitas akademika). Kampus UGM berada pada koridor penghubung kota, dari
utara (Kabupaten Sleman) menuju ke selatan (Kota Yogyakarta) dan sebaliknya,
sehingga arus lalu lintas cukup padat, terutama pada saat jam-jam sibuk (peak
hours). Selain itu, kampus UGM dan sekitarnya merupakan salah satu pusat
kegiatan yang strategis dan titik lokasi pertumbuhan yang mendapat pengaruh
perkembangan kota (aglomerasi perkotaan Yogyakarta), yang dekat pula dengan
fasilitas-fasilitas pelayanan umum seperti fasilitas kesehatan (Rumah Sakit dr.
Sardjito), fasilitas perbankan (Bank Mandiri, BNI, CIMB Niaga), fasilitas
perbelanjaan (Mirota Kampus, pertokoan), serta bidang jasa dan perdagangan
seperti rumah makan, foto copy, dan lain-lain, yang dapat menjadi tarikan lalu
lintas. Meskipun bukan kawasan Central Business District (CBD), akses terhadap
fasilitas-fasilitas tersebut menjadi kebutuhan banyak orang, sehingga menjadikan
kebutuhan mobilitas yang melintasi ruas-ruas jalan yang berada di kawasan
kampus UGM. Di sisi lain, penggunaan sebagian badan jalan untuk parkir dan

2
keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di trotoar dapat menambah kesemrawutan
dan kepadatan lalu lintas karena merupakan hambatan bagi lalu lintas, selain
banyaknya jumlah kendaraan bermotor yang melintas di ruas-ruas jalan tersebut.
Selain itu, peningkatan jumlah mahasiswa juga memberikan sumbangan dalam
peningkatan kendaraan bermotor.
UGM memiliki kebijakan dalam mengatur lalu lintas di lingkungan
kampus dan sekitarnya. Menurut mantan rektor UGM, Sofyan Effendi, dalam
Forum Peduli Demokrasi (Cahyana, 2009) memaparkan bahwa penutupan jalan di
kawasan UGM perlu untuk menjaga keamanan kampus. Jika ingin menjadikan
kampus lebih tenang, sejumlah pengendalian memang diperlukan. Dalam hal
pengaturan lalu lintas di sekitar kampus, UGM mengeluarkan kebijakan penataan
jalur lalu lintas kawasan UGM, seperti sistem buka tutup pada pintu masuk/keluar
UGM (portal), penyediaan kantong parkir, dan kartu identitas. Ketiga kebijakan
tersebut telah direalisasikan dan dikembangkan sampai saat ini, yang diantaranya
ditujukan untuk penataan sistem sirkulasi internal kampus dan pembatasan
kendaraan bermotor yang melintasi ruas-ruas jalan kawasan kampus UGM. Selain
itu, kebijakan pengaturan lalu lintas tersebut juga merupakan implementasi dari
salah satu visi kampus Educopolis, yaitu “menciptakan lingkungan yang kondusif
untuk proses pembelajaran dalam konteks pengembangan kolaborasi multidisiplin
dan tanggap terhadap isu lingkungan demi mencapai visi universitas”. Berkaitan
dengan visi tersebut, yang telah dilakukan hingga saat ini yaitu penghijauan,
pengadaan kanopi, pengadaan depo sampah, serta upaya pembatasan kendaraan
dengan adanya portal, kantong parkir, dan kartu identitas.
Penataan jalur lalu lintas kawasan kampus UGM meliputi sistem
transportasi menuju dan melintasi kampus. Berdasarkan Studi Kelayakan
Penataan Jalur Lalu lintas Kawasan Kampus UGM dan Sekitarnya (Tim
Pelaksana Studi, 2010), terdapat beberapa rencana kebijakan pembangunan
transportasi, diantaranya yaitu underpass di Jalan Kaliurang yang melewati
kampus UGM, serta pembangunan jalan lingkar UGM (lingkar barat dan lingkar
timur). Khususnya rencana pembangunan jalan lingkar UGM tersebut ditujukan
untuk mengurangi beban Jalan Kaliurang melalui distribusi volume lalu lintas.

3
Rencana pembangunan jalan lingkar tersebut merupakan rencana jangka
menengah (jangka waktu 5 sampai 10 tahun), sedangkan rencana jangka pendek
berupa kartu identitas, penyediaan kantong parkir, penambahan sepeda, maupun
perbaikan pedestrian. Meskipun masih berupa rencana jangka menengah sampai
jangka panjang, dan masih diutamakan pada implementasi rencana jangka pendek,
kajian terhadap kebijakan rencana pembangunan jalan lingkar perlu untuk
dilakukan karena hal tersebut memiliki pengaruh besar dalam sirkulasi
transportasi sekitar kampus UGM. Secara keseluruhan, rencana penataan lalu
lintas kawasan kampus UGM tersebut didasarkan pada semakin tingginya arus
lalu lintas yang masuk maupun melintasi kawasan kampus UGM yang
mengakibatkan kepadatan lalu lintas. Kendala utamanya adalah Jalan Kaliurang
(Jalan Persatuan) yang memisahkan UGM menjadi dua, yaitu kampus bagian
timur (Bulaksumur) dan kampus bagian barat (Sekip), sehingga mengakibatkan
kurang lancarnya hubungan fungsional, sedangkan kondisi volume lalu lintas di
Jalan Kaliurang semakin meningkat (padat) (Tim Pelaksana Studi, 2010).
Setiap langkah pembangunan tentunya dapat memberikan pengaruh pada
perkembangan bagian kota yang lain (Tim Pelaksana Studi, 2010). Begitu pula
dengan rencana penataan lalu lintas di kawasan kampus UGM. Pengaturan
jaringan jalan berupa pembangunan jalan lingkar dilakukan sebagai dasar
pengaturan lalu lintas, yaitu pendistribusian volume lalu lintas untuk mengurangi
kepadatan. Dengan adanya pengaturan jaringan jalan seperti dalam rencana
penataan lalu lintas kawasan kampus UGM, memungkinkan terjadinya dinamika
lalu lintas, diantaranya berupa perubahan volume lalu lintas karena distribusi
volume lah yang memang diharapkan untuk mengurangi kepadatan di beberapa
ruas jalan di kawasan kampus UGM, salah satunya di ruas Jalan Kaliurang.
Permasalahan yang terjadi adalah kecenderungan volume lalu lintas yang semakin
bertambah sedangkan kapasitas jalan yang tetap, apalagi jika kapasitas jalan
berkurang akibat penggunaan badan jalan untuk parkir maupun lokasi berjualan
para Pedagang Kaki Lima (PKL), salah satu contohnya di ruas Jalan Kesehatan
(Rumah Sakit dr. Sardjito).

4
Volume lalu lintas merupakan kondisi eksisting berupa besar arus lalu
lintas berdasarkan jumlah berbagai tipe kendaraan yang melintasi suatu ruas jalan
yang dikonversikan menurut ukuran mobil penumpang, dengan satuan mobil
penumpang per jam (smp/jam). Berkaitan dengan volume lalu lintas, kapasitas
jalan dapat dikatakan merupakan besar arus lalu lintas ideal (optimal) dengan
satuan yang sama (smp/jam). Perbandingan volume lalu lintas dan kapasitas jalan
disebut dengan derajat kejenuhan (volume capacity ratio atau V C ratio), yang
memiliki makna apakah suatu ruas jalan dapat melayani volume lalu lintas yang
melintasinya, atau karena volume lalu lintas sangat besar yang tidak sesuai dengan
kapasitas jalan, sehingga mengakibatkan kepadatan lalu lintas bahkan kemacetan,
terutama di persimpangan-persimpangan jalan. Klasifikasi derajat kejenuhan
dapat digunakan untuk menentukan tingkat pelayanan jalan (level of service)
karena derajat kejenuhan atau V C ratio menunjukkan tingkat kepadatan volume
lalu lintas, yang menjadi salah satu penentu tingkat pelayanan jalan. Jalan yang
memiliki derajat kejenuhan yang rendah dan tingkat pelayanan yang baik
menunjukkan kondisi jalan perkotaan yang baik. Begitu pula kondisi jalan yang
diperlukan dalam kawasan perguruan tinggi, yaitu derajat kejenuhan jalan yang
rendah dan tingkat pelayanan jalan yang baik yang ditujukan untuk mendukung
lingkungan pendidikan yang kondusif. Dengan adanya kajian tingkat pelayanan
jalan dalam penelitian ini, dilakukan untuk mengetahui kondisi eksisting tingkat
pelayanan jalan di kawasan kampus UGM, khususnya bagian barat, serta
kemungkinan perubahan tingkat pelayanan jalan akibat perubahan volume lalu
lintas pada simulasi beberapa skenario rencana pembangunan jalan lingkar barat
UGM. Hal tersebut tentunya perlu dikaji, meskipun pembangunan jalan lingkar
kampus UGM masih berupa rencana jangka menengah, karena kontribusi kajian
tersebut dapat memberikan masukan pada perencanaan kebijakan selanjutnya
maupun perencanaan implementasinya.

5
1.2 Rumusan Masalah
Kemacetan telah lama diketahui menjadi permasalahan utama transportasi
kota, terutama kota-kota di negara sedang berkembang (middle - low economic
development) (Tumewu, 1997). Hal tersebut disebabkan oleh tingkat urbanisasi
yang tinggi di negara sedang berkembang yang berakibat pada peningkatan
pendapatan per kapita, yang kemudian juga memberikan dampak pada
peningkatan mobilitas dan kepemilikan kendaraan bermotor oleh masyarakat,
sehingga hal tersebut dapat membebani sistem transportasi yang ada (Tumewu,
1997) karena pada umumnya negara sedang berkembang belum memiliki
perencanaan yang matang dan komprehensif. Dalam Manual Kapasitas Jalan
Indonesia (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997a) dinyatakan bahwa:
“Meningkatnya kemacetan pada jalan perkotaan maupun jalan luar kota
yang diakibatkan bertambahnya kepemilikan kendaraan, terbatasnya
sumberdaya untuk pembangunan jalan raya, dan belum optimalnya
pengoperasian fasilitas lalu lintas yang ada, merupakan persoalan
utama di banyak negara.”
Upaya mengatasi kemacetan salah satunya adalah dengan peningkatan
kapasitas jalan, yang dapat dilakukan dengan pelebaran jalan. Namun, sejak tahun
1950-an, diketahui bahwa peningkatan kapasitas jalan semakin lama juga dapat
menimbulkan kemacetan yang lebih besar (Hanson, 1986) karena diakibatkan
pula oleh semakin bertambah pula jumlah kendaraan bermotor. Seperti menurut
Lubis dan Karsaman (1997), penambahan kapasitas jalan dapat juga berarti pada
penambahan permintaan lalu lintas. Fenomena tersebut sering diistilahkan dengan
“the vicious circle of congestion” (lingkaran setan kemacetan). Kemacetan di jalan
memberikan kerugian, baik cost (waktu, biaya) maupun energi yang terbuang. Di
Indonesia, peningkatan kendaraan bermotor sebesar 11 persen per tahun tidak
diimbangi dengan penambahan prasarana jalan sebesar 4 persen, sehingga hal
tersebut meningkatkan beban pada jalan, sehingga tingkat pelayanan jalan
semakin menurun. Fenomena kemacetan jalan tersebut berkaitan dengan
kepadatan volume lalu lintas. Dapat diasumsikan bahwa semakin padat volume
lalu lintas maka akan semakin memicu terjadinya kemacetan atau tundaan
perjalanan. Hal ini dapat dikaitkan dengan pengukuran derajat kejenuhan dan

6
tingkat pelayanan jalan, dimana semakin besar perbandingan volume lalu lintas
terhadap kapasitas jalan (derajat kejenuhan) maka menunjukkan kepadatan lalu
lintas yang semakin besar.
Kampus UGM yang berada di Kabupaten Sleman merupakan salah satu
kawasan yang terkena dampak perkembangan kota, di mana berada pada lokasi
strategis karena dekat dengan fasilitas pelayanan. Selain itu, kawasan UGM juga
menmerupakan koridor ‘penghubung’ antara wilayah utara (Kaliurang di
Kabupaten Sleman) dan wilayah selatan (Kota Yogyakarta), sehingga volume lalu
lintas di sekitar kawasan UGM tinggi, yang disebabkan oleh tingginya mobilitas
penduduk. Dalam hal pengaturan lalu lintas tentunya UGM memiliki kebijakan
untuk menata lalu lintas, yang memiliki komponen lalu lintas menuju kampus
UGM, melewati kampus UGM, maupun sirkulasi dalam kampus (PUSTRAL,
2005). Penataan lalu lintas kawasan kampus UGM yang sudah dilakukan yaitu
pembatasan jumlah kendaraan bermotor dalam sirkulasi internal kampus,
diantaranya berupa portal dan kantong parkir.
Keberadaan Jalan Kaliurang (Jalan Persatuan) yang membagi UGM
menjadi dua, yaitu kampus timur (Bulaksumur) dan kampus barat (Sekip)
dirasakan memberikan kendala dalam hubungan fungsional kampus, serta juga
disebabkan oleh kondisi jalan yang memiliki volume lalu lintas yang besar (Tim
Pelaksana Studi, 2010). Selain itu, mobilitas yang tinggi dengan banyaknya
kendaraan bermotor tentunya juga memerlukan penataan lalu lintas. Berdasarkan
hal tersebut, UGM memiliki rencana dalam hal penataan lalu lintas, yaitu
pembangunan underpass di sepanjang Jalan Kaliurang yang melewati kampus
UGM, serta jalan lingkar barat dan timur UGM, yang salah satunya ditujukan
untuk mendistribusikan volume lalu lintas. Penelitian ini fokus hubungannya pada
perencanaan jalan lingkar barat UGM. Rencana pembangunan jalan lingkar
sebagai rencana jangka menengah tersebut dilakukan secara bertahap dan terdapat
banyak kajian (Tim Pelaksana Studi, 2010). Dalam penelitian ini, dilakukan
analisis terhadap rencana jalur lingkar yang telah dilengkapi dengan rencana
geometri jalan karena hal tersebut diperlukan dalam perhitungan kapasitas jalan.
Penelitian ini dibatasi pada analisis spasial terhadap perencanaan, dan membatasi

7
diri pada analisis konflik sosial dan analisis biaya terhadap pelaksanaan hasil
rencana.
Pengukuran tingkat pelayanan jalan dimaksudkan untuk mengetahui
tingkat pelayanan jalan berdasarkan kondisi saat ini, serta kemungkinan
perubahan tingkat pelayanan jalan akibat adanya distribusi volume lalu lintas
dengan pembangunan jalan lingkar yang saat ini dalam tahap perencanaan.
Tingkat pelayanan jalan merupakan ukuran kualitatif, tetapi dapat pula diukur
secara kuantitatif, yaitu diukur berdasarkan indikator derajat kejenuhan (volume
capacity ratio atau V C ratio), yaitu perbandingan volume lalu lintas dan kapasitas
jalan yang diukur dengan satuan baku satuan mobil penumpang per jam
(smp/jam). Ruas jalan yang dikaji adalah ruas jalan utama di kawasan kampus
UGM bagian barat (Sekip). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
jalan utama didefinisikan sebagai jalan besar yang menjadi pangkal dari jalan
yang lain, serta menjadi akses utama, yaitu ruas Jalan Persatuan, ditambah dengan
ruas-ruas jalan yang terhubung dalam jalan lingkar barat UGM, serta ruas-ruas
jalan yang bersimpangan dengan ruas-ruas jalan di kawasan UGM bagian barat
(Sekip). Pengukuran volume lalu lintas selanjutnya dilakukan dengan unit analisis
tiap segmen jalan, yaitu ruas jalan yang dipengaruhi oleh adanya persimpangan
bersinyal maupun tak bersinyal di ruas jalan utama. Berdasarkan rumusan masalah
di atas, dapat diajukan pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah distribusi spasial volume lalu lintas dan tingkat
pelayanan ruas-ruas jalan di kawasan UGM bagian barat pada kondisi
saat ini?
2. Bagaimanakah distribusi spasial volume lalu lintas dan tingkat
pelayanan ruas-ruas jalan di kawasan UGM bagian barat pada
simulasi direalisasikannya jalan lingkar barat UGM?

8
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini antara lain:
1. Memberikan gambaran distribusi spasial volume lalu lintas dan tingkat
pelayanan ruas-ruas jalan di kawasan UGM bagian barat pada kondisi saat ini.
2. Memberikan gambaran distribusi spasial volume lalu lintas dan tingkat
pelayanan ruas-ruas jalan di kawasan UGM bagian barat pada simulasi
beberapa skenario realisasi jalan lingkar barat UGM.

1.4 Kegunaan Penelitian


Kegunaan dari penelitian ini antara lain:
1. Secara teoritis, mengembangkan penelitian dalam bidang perencanaan
transportasi, yaitu memberikan gambaran distribusi volume lalu lintas secara
spasial serta simulasi beberapa skenario terhadap rencana pembangunan
infrastruktur jalan.
2. Secara praktis, memberikan masukan bagi stakeholder (pengambil kebijakan)
mengenai perencanaan dan pengembangan transportasi.

1.5 Kajian Pustaka


1.5.1 Transportasi, Geografi Transportasi, dan Perencanaan Transportasi
Transportasi merupakan suatu sistem yang luas, menyeluruh
(komprehensif), dan tidak berdiri sendiri, sehingga dalam penkajiannya
melibatkan berbagai disiplin ilmu (Miro, 1997). Miro (1997) juga mengemukakan
fungsi transportasi untuk mempersingkat jarak serta dalam mengiringi laju
perkembangan aktivitas kehidupan manusia yang semakin kompleks akibat
globalisasi, beriringan dengan alat atau teknik transportasi yang semakin
berkembang ke arah modernisasi dan kompleksitas.
Dimensi transportasi sendiri dibagi menjadi tiga, yaitu lokasi (asal dan
tujuan), alat (teknologi) transportasi, serta keperluan tertentu (ekonomi, sosial, dan
kegiatan manusia lain). Transportasi berperan besar dalam kehidupan manusia
(Miro, 1997), antara lain dalam kemajuan peradaban manusia, dimana
perkembangan aktivitas sosial ekonomi memiliki hubungan saling mempengaruhi

9
dengan peningkatan teknologi transportasi. Selain itu, transportasi juga berperan
dalam bidang politik dan lingkungan, selain bidang ekonomi dan sosial tersebut.
Dalam bidang ekonomi, transportasi dapat berperan dalam proses distribusi
faktor-faktor produksi, hasil produksi, serta pertukaran keahlian. Dalam bidang
sosial, transportasi dapat memberikan manusia untuk bermobilitas melakukan
kegiatannya dari satu tempat ke tempat yang lain. Dalam bidang politik,
transportasi dapat berperan dalam menciptakan keamanan dan persatuan. Selain
memiliki peran positif dalam bidang-bidang tersebut, transportasi memiliki peran
negatif, diantaranya dapat memberikan efek negatif bagi lingkungan, seperti
polusi udara, pencemaran, pemborosan energi, polusi suara (kebisingan),
konsumsi lahan berlebih, serta masalah keamanan (Morlok, 1961, dalam Miro,
1997).
Sehubungan dengan bidang transportasi, geografi transportasi merupakan
sub-disiplin ilmu Geografi yang fokus terhadap pergerakan pengangkutan, orang,
dan informasi. Geografi trasnportasi berusaha mencari hubungan spasial antara
kendala dan atribut dengan daerah asal (origin), daerah tujuan (destination), serta
sifat dan tujuan pergerakan (movements) (Rondrigue, et.al, 2006, dalam Saputra,
2012). Studi transportasi dalam Geografi meliputi pola dan moda trasnportasi,
studi kuantitatif pergerakan manusia dan barang, pelayanan dan informasi, serta
hubungan antara transportasi dengan faktor Geografi lainnya, seperti dalam
Gambar 1.5.1.

Gambar 1.5.1 Cakupan Kajian Geografi Transportasi


Sumber: Saputra, 2012

10
Perencanaan merupakan suatu proses dalam menentukan tindakan untuk
masa depan yang tepat melalui urutan berbagai pilihan dengan memperhitungkan
sumberdaya yang tersedia (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional). Perencanaan kota pada umumnya
dan perencanaan transportasi pada khususnya menurut Werner (1985) dilakukan
mulai dari pemilihan tujuan; identifikasi aksi untuk mencapai tujuan; inventarisasi
situasi saat ini yang dibutuhkan untuk mencapai situasi masa depan yang
diinginkan; serta membuat skenario untuk masa depan yang diinginkan tersebut.
Faktor-faktor yang berkontribusi dalam pengembangan proses perencanaan
transportasi kota, contohnya di Amerika Serikat (Hanson dkk, 1986) antara lain:
(1) pertumbuhan populasi yang cepat di area perkotaan; (2) peningkatan jumlah
kendaraan bermotor, (3) peningkatan perpindahan penduduk dari daerah pinggiran
ke kota (urbanisasi); (4) peningkatan keterlibatan pemerintah dalam pendanaan
pembangunan kota. Jika dikaitkan, keempat faktor tersebut juga merupakan
faktor-faktor yang biasanya mempengaruhi transportasi di Indonesia.
Perencanaan transportasi kota menurut Miro (1997) secara garis besar
dapat dilakukan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu perencanaan jangka pendek (0 - 5
tahun), jangka menengah (5 - 20 tahun), dan jangka panjang (lebih dari 20 tahun).
Perencanaan jangka pendek dapat difokuskan pada mencari alternatif jalan keluar
dari permasalahan transportasi kota yang dihadapi, contohnya di DKI Jakarta
dengan adanya kebijakan 3 in 1 (three-in-one). Perencanaan jangka menengah
dapat difokuskan pada perbaikan sarana transportasi, misalnya perbaikan
angkutan umum. Sedangkan peraikan jangka panjang dapat difokuskan pada
perbaikan infrastruktur transportasi, seperti perbaikan jalan raya, dan sebagainya.

1.5.2 Lalu Lintas


Lalu lintas adalah suatu pergerakan orang dan atau kendaraan melalui
media jalan, serta juga merupakan medium kegiatan yang diakibatkan oleh adanya
perbedaan potensi tata guna lahan dan kemampuan perangkutan antar lokasi satu
dengan yang lainnya (Blunden, 1971, dalam Warpani, 1990). Jadi, dapat diketahui
bahwa elemen dalam lalu lintas terdiri dari manusia, kendaraan untuk moda

11
perangkutan, jalan sebagai media lalu lintas, dan adanya perbedaan potensi tata
guna lahan dari tempat asal (origin) ke tempat yang dituju (destination) yang
mengakibatkan terjadinya lalu lintas. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, lalu lintas adalah gerak
kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan. Ruang lalu lintas jalan disini yaitu
prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang, dan/atau
barang yang berupa jalan dan fasilitas pendukung. Dalam lalu lintas dibutuhkan
kelancaran lalu lintas, yang didefinisikan sebagai suatu keadaan berlalu lintas
yang bebas dari hambatan dan kemacetan di jalan. Lalu lintas menurut Bruton
(1985, dalam Warpani, 1990) merupakan fungsi dari 3 (tiga) faktor, yaitu pola
guna lahan dan perkembangan daerah, ciri khas sosio - ekonomi pelaku lalu lintas
di daerah yang bersangkutan, serta sifat, jangkauan, dan daya tampung sistem
perangkutan.
Komposisi lalu lintas merupakan berbagai jenis kendaraan yang ada pada
suatu lalu lintas pada suatu ruas jalan. Komposisi lalu lintas dapat terdiri dari
kendaraan ringan (light vehicle atau LV) yaitu mobil penumpang, minibus, pick
up, truck kecil, jeep; kendaraan berat (heavy vehicle atau HV) yaitu truk dan bus;
sepeda motor (motorcycle atau MC); dan kendaraan tidak bermotor (unmotorized
atau UM). Dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia (Direktorat Jenderal Bina
Marga, 1997a), menurut jumlah penduduk kota, terdapat nilai normal untuk
komposisi lalu lintas yang dapat digunakan sebagai perkiraan, seperti ditunjukkan
dalam Tabel 1.5.1.

Tabel 1.5.1 Nilai Normal untuk Komposisi Lalu Lintas


Ukuran Kota LV (%) HV (%) MC (%)
<0,1 juta penduduk 45 10 45
0,1 - 0,5 juta penduduk 45 10 45
0,5 - 1,0 juta penduduk 53 9 38
1,0 - 3,0 juta penduduk 60 8 32
>3,0 juta penduduk 69 7 24
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997a

Lalu lintas yang semakin berkembang (kompleks) tentunya semakin


memerlukan pengaturan dan pengelolaan (management). Manajemen lalu lintas

12
(traffic management) merupakan inti dari pengelolaan sistem transportasi makro
karena lalu lintas ini sebagai pertemuan antara kebutuhan atau permintaan
transportasi dengan pelayanan atau penawaran transportasi yang dihasilkan oleh
suatu sistem transportasi (Miro, 1997).

1.5.3 Mobilitas dan Aksesibilitas


Transportasi digunakan untuk menuju ke suatu lokasi (tujuan atau
destination) dari lokasi asal (origin). Inti dari transportasi yaitu akses ke lokasi
tujuan untuk beraktivitas, --baik tempat kerja, tempat rekreasi, tempat sosialisasi,
perbelanjaan, perawatan kesehatan, dan lain-lain-- dan mobilitas, yaitu
kemampuan berpindah diantara lokasi-lokasi untuk beraktivitas tersebut.
Mobilitas (pergerakan) merupakan kebutuhan akibat adanya pemisahan spasial
(spatial separation) (Hanson dkk, 1986). Pemisahan spasial tersebut merupakan
akibat penyebaran pola penggunaan lahan atau tata ruang karena kegiatan manusia
tidak hanya berlokasi pada satu tempat saja (Bina Sistem Transportasi Perkotaan,
t.th.).
Tujuan perjalanan menurut Hanson dkk (1986) dibedakan menjadi:
perjalanan ke tempat kerja, perjalanan ke tempat perbelanjaan, perjalanan ke
kegiatan sosial, perjalanan ke tempat rekreasi, perjalanan ke sekolah, perjalanan
bisnis, dan perjalanan menuju rumah. Selain itu, secara umum, tujuan perjalanan
dapat diidentifikasi menjadi 4 (empat), yaitu: (1) Perjalanan menuju dan dari
tempat kerja dan tempat tinggal (home-based work trips); (2) Perjalanan menuju
dan dari tempat tinggal dengan tujuan lain selain bekerja (home-based non-work
trips); (3) Perjalanan bukan dari dan menuju tempat tinggal (non-home based
trips); (4) Perpindahan barang dan jasa (goods movements). Lebih umum lagi
perjalanan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: (1) Perjalanan menuju ke suatu
tempat, yang diakibatkan adanya daya tarik (attraction); (2) Perjalanan
meninggalkan suatu tempat, yang diakibatkan adanya fungsi produksi.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, selain mobilitas, aksesibilitas juga
merupakan inti dari transportasi. Konsep aksesibilitas dibedakan menjadi 2 (dua),
yaitu aksesibilitas tempat dan aksesibilitas manusia. Aksesibilitas tempat berarti

13
seberapa mudah suatu tempat dapat dicapai, sedangkan aksesibilitas manusia
adalah seberapa mudah seseorang atau sekelompok orang dapat mencapai tempat
untuk melakukan aktivitasnya. Pada dasarnya aksesibilitas sangat erat kaitannya
dengan jarak tempuh atau waktu tempuh dan banyaknya kesempatan antara,
terutama dalam hal ini adalah aksesibilitas suatu tempat yang dituju, sedangkan
pada aksesibilitas manusia terdapat tambahan unsur biaya, selain ketiga unsur
yang telah disebutkan sebelumnya. (Hanson dkk, 1986). Menurut Hanson dkk
(1986), aksesibilitas merupakan kebutuhan pergerakan diantara lokasi-lokasi,
disebabkan adanya daya tarik tempat yang dituju dibandingkan dengan tempat
asal. Aksesibilitas yang tinggi mempengaruhi mobilitas, yang mana biaya dan
waktu yang dibutuhkan dalam menempuh perjalanan menjadi lebih rendah. Dapat
juga dikatakan bahwa semakin tinggi interaksi antar dua atau lebih tempat akan
membutuhkan cost (baik biaya, waktu, maupun energi) yang semakin rendah.
Interaksi tersebut tentunya berkaitan dengan keberadaan prasarana dan sarana
transportasi, yang juga turut menentukan aksesibilitas.

1.5.4 Jalan dan Klasifikasinya


Jalan adalah segala prasarana perhubungan, meliputi seluruh bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya, yang diperuntukkan bagi
lalu lintas (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1980 Tentang Jalan). Jalan pada
dasarnya diperuntukkan dalam mendukung pergerakan kendaraan secara bebas
(Pignataro, 1973, dalam Suharyadi dkk, 2010). Jalan sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1980 dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1985
dapat diklasifikasikan menurut sistem jaringan, fungsi jalan, dan wewenang
pembinaan, dijelaskan sebagai berikut.
a) Klasifikasi jalan menurut sistem jaringan
 Jalan Primer
Sistem jaringan jalan dengan pelayanan jasa distribusi di tingkat
nasional, menghubungkan antar kota.
 Jalan Sekunder
Sistem jaringan jalan dengan pelayanan jasa distribusi dalam kota.

14
b) Klasifikasi jalan menurut fungsi jalan
 Jalan Arteri, adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan
ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan
jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.
 Jalan Kolektor, adalah jalan yang melayani angkutan
pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang,
kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
 Jalan Lokal, adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan
ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan
jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
 Jalan Lingkungan, adalah jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan
kecepatan rata-rata rendah.

c) Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaan jalan


 Jalan Nasional, merupakan jalan yang memiliki nilai strategis
dalam kepentingan nasional yang pembinaannya dilakukan oleh
menteri, berupa jalan arteri primer atau kolektor primer yang
menghubungkan antar ibukota provinsi.
 Jalan Propinsi, merupakan jalan yang memiliki nilai strategis dalam
kepentingan provinsi yang pembinaannya dilakukan oleh
pemerintah daerah, berupa jalan kolektor primer yang
menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota
atau antar ibukota kabupaten/kota.
 Jalan Kabupaten/Kota, merupakan jalan yang memiliki nilai
strategis dalam kepentingan kabupaten, berupa jalan kolektor
primer yang tidak termasuk jalan nasional dan provinsi, jalan lokal
primer, jalan sekunder lain selain jalan nasional dan jalan provinsi,
serta jalan sekunder dalam kota.
 Jalan Desa, merupakan jaringan jalan sekunder dalam desa.

15
 Jalan Khusus, merupakan jalan yang pembinaannya tidak dilakukan
menteri atau pemerintah daerah, tetapi oleh suatu instansi, badan
hukum, atau perorangan yang bersangkutan.

Masing-masing jalan memiliki bagian, yaitu terdiri dari Daerah Manfaat


Jalan (Damaja), Daerah Milik Jalan (Damija), dan Daerah Pengawasan Jalan
(Dawasja). Damaja adalah daerah yang meliputi seluruh badan jalan, saluran tepi
jalan, dan ambang pengaman. Damija adalah daerah yang meliputi seluruh daerah
manfaat jalan dan daerah yang diperuntukkan bagi pelebaran jalan dan
penambahan jalur lalu lintas serta kebutuhan ruang untuk pengaman jalan.
Sedangkan Dawasja adalah lajur lahan yang berada di bawah pengawasan
penguasa jalan, ditujukan untuk penjagaan terhadap terhalangnya pandangan
bebas pengemudi kendaraan bermotor dan untuk pengamanan konstruksi jalan
dalam hal ruang daerah milik jalan tidak mencukupi. Bagian-bagian jalan tersebut
seperti ditunjukkan pada Gambar 1.5.2.

Gambar 1.5.2 Ilustrasi Bagian-Bagian Jalan (Damaja, Damija, Dawasja)


Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997b

Jalan sebagai jalur gerak memiliki dua komponen utama, yaitu ruas jalan
atau jalur (way link) dan persimpangan atau perpotongan jalan (way intersection),
dapat juga dinyatakan sebagai simpul (node) yang mewakili titik-titik tertentu
dalam ruang jalan, beserta ruas (link) yang menghubungkan titik-titik tersebut

16
(Morlok, 1978). Bagian jalan menurut dua komponen di atas adalah sebagai
berikut. Ruas jalan merupakan semua bagian jalan, dari jalur gerak (termasuk
perkerasan), median, dan pemisah luar (Suharyadi dkk, 2010). Setiap ruas jalan
biasanya ditandai dengan nama jalan yang berbeda. Dalam setiap ruas jalan terdiri
dari jalur dan lajur jalan. Jalur dapat terdiri dari satu atau lebih lajur lalu lintas
yang ditempuh oleh kendaraan bermotor dalam satu jurusan. Jadi, berbeda jalur
berarti berbeda arah (berlawanan arah). Perpotongan atau penggabungan dua atau
lebih jalur jalan disebut dengan simpangan (intersection). Setiap simpangan, baik
simpang bersinyal dan simpang tak bersinyal membatasi antara segmen jalan satu
dengan segmen jalan lainnya, dan setiap satu segmen jalan memiliki karakteristik
yang hampir sama (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997a).
Jaringan jalan memiliki kemampuan terbatas dalam melewatkan arus lalu
lintas, terutama persimpangan yang merupakan titik kritis dalam jaringan jalan
karena digunakan bersama oleh arus-arus lalu lintas yang berpotongan (Tumewu,
1997). Selain itu, persimpangan merupakan komponen yang memberikan
pengaruh terbesar pada efisiensi sistem transportasi jalan, khususnya dalam hal
kapasitas dan keselamatan karena mempengaruhi kemampuan jalan dalam
melayani volume kendaraan karenas gangguan lalu lintas di persimpangan, yang
diantaranya disebabkan oleh titik pusat konflik pertemuan lalu lintas (dalam
berbagai arah), penyebab kemacetan karena perubahan kapasitas, sering terjadi
kecelakaan, dan konsentrasi para penyebrang jalan (Sulaksono, 2001).
Direktorat Jenderal Bina Marga (1997a) membagi karakteristik jalan yang
membedakan dalam perhitungannya, yaitu jalan perkotaan dan semi perkotaan,
jalan luar kota, serta jalan bebas hambatan. Segmen-segmen jalan dalam
penelitian ini dimasukkan dalam karakteristik jalan perkotaan karena menurut
Direktorat Jenderal Bina Marga (1997a), jalan perkotaan dan semi perkotaan
merupakan jalan yang di sepanjang seluruh atau hampir seluruh jalan memiliki
perkembangan secara permanen dan menerus, minimum pada satu sisi jalan.
Selain itu, jalan perkotaan dan semi perkotaan juga didefinisikan sebagai jalan di
atau dekat pusat perkotaan dengan penduduk lebih dari 100.000. Indikasi lain
pada jalan perkotaan dan semi perkotaan ini adalah arus lalu lintas puncak pada

17
pagi dan sore hari, dengan persentase mobil pribadi dan sepeda motor yang tinggi
serta persentase kendaraan berat yang lebih rendah. Direktorat Jenderal Bina
Marga (1997a) menetapkan pembagian tipe jalan perkotaan berdasarkan jumlah
jalur, jumlah lajur, arah, dan pembatas (divider atau D) sebagai berikut.
a) 1 jalur 2 lajur 2 arah (2/2 UD)
b) 1 jalur 2 lajur 1 arah (2/1 UD)
c) 2 jalur 4 lajur 2 arah (4/2 D)
d) 2 jalur 4 lajur 2 arah (4/2 UD)
e) 2 jalur n lajur 2 arah (n/2 divider); n = jumlah lajur

1.5.5 Volume Lalu Lintas


Penduduk merupakan subjek penggerak atau pembangkit lalu lintas
(Warpani, 1990). Jumlah penduduk yang melakukan perjalanan mempengaruhi
volume lalu lintas. Dalam suatu kota, dapat diasumsikan bahwa semakin besar
populasinya maka volume lalu lintas semakin besar, jika sebagian besar penduduk
menggunakan kendaraan bermotor. Dapat diambil contoh kota-kota besar di
Indonesia, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Menurut Malgundkar dkk
(2012), volume lalu lintas yang semakin meningkat dari waktu ke waktu
merupakan akibat dari pertumbuhan penduduk, modernisasi, maupun perubahan
gaya hidup.
Perhitungan volume lalu lintas dengan satuan mobil penumpang biasanya
menggunakan istilah-istilah tertentu, seperti VLHR dan VJR. Volume Lalu Lintas
Harian Rata-Rata (VLHR) adalah prakiraan volume lalu lintas harian pada akhir
tahun rencana lalu lintas, dinyatakan dalam smp/hari, sedangkan Volume Jam
Rencana (VJR) adalah prakiraan volume lalu lintas pada jam sibuk tahun rencana
lalu lintas, dinyatakan dalam smp/jam. VJR digunakan untuk menghitung jumlah
dan lebar lajur jalan dan fasilitas lalu lintas lainnya yang diperlukan (Suharyadi
dkk, 2010).
Selain menggunakan VLHR dan VJR, volume lalu lintas dalam rentang
waktu yang pendek biasanya diukur pada jam sibuk, yang ditujukan untuk
mengukur beban jalan paling besar. Distribusi jam sibuk lalu lintas (double-

18
peaked distribution of trips) secara umum yaitu pada pagi hari, saat perjalanan
menuju tempat kerja, yaitu sekitar pukul 07.00 dan pukul 09.00, dan pada sore
hari, saat perjalanan kembali menuju tempat tinggal, yaitu sekitar pukul 16.00 dan
pukul 18.00 (Hanson dkk, 1986). Akan tetapi, pengukuran volume pada jam sibuk
ini memiliki konsekuensi pada ketidakefektifan, khususnya jika digunakan dalam
perencanaan jalan, sehingga harus memperhitungkan fluktuasi volume yang
terjadi. Pada penelitian ini digunakan pengukuran pada jam sibuk karena lebih
kepada analisis spasial secara makroskopis, yaitu penggambaran distribusi bebab
lalu lintas pada masing-masing segmen jalan yang dikaji.
Perhitungan volume lalu lintas menurut Hobbs (1979, dalam Munawar,
2004) memiliki periode-periode penghitungan yang berbeda, misalnya
penghitungan per jam (smp/jam) yang penting dalam desain teknis, sedangkan
penghitungan lalu lintas harian dan tahunan penting kaitannya dengan perhitungan
ekonomi, klasifikasi sistem jalan, dan program investasi. Hobbs 1979, dalam
Munawar, 2004) juga mengemukakan bahwa volume lalu lintas yang diperoleh
dari hasil perhitungan dapat dirata-ratakan, maupun dapat diambil volume
maksimum atau minimum, asalkan memberikan definisi yang jelas pada suatu
nilai volume.

1.5.6 Kapasitas Jalan


Kapasitas jalan didefinisikan sebagai jumlah maksimum kendaraan yang
dapat melewati jalan dalam periode waktu tertentu tanpa menimbulkan kepadatan
lalu lintas yang menyebabkan hambatan waktu, bahaya, atau kebebasan
pengemudi dalam menjalankan kendaraannya (Warpani, 1990). Menurut Ogesbly
dan Hicks (1993, dalam Suharyadi dkk, 2010), kapasitas suatu ruas jalan sadalah
jumlah kendaraan maksimum yang memiliki kemungkinan cukup untuk melewati
ruas jalan tersebut (dalam satu maupun dua arah) dalam periode waktu tertentu
dan di bawah kondisi jalan dan lalu lintas yang umum. Kapasitas juga dapat
didefinisikan sebagai arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan yang
dinyatakan dalam smp/jam (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997a). Pengukuran
kapasitas dan volume lalu lintas dalam perencanaan transportasi merupakan salah

19
satu hal yang sangat penting karena dapat menunjukkan kondisi lalu lintas yang
salah satunya ditujukan guna mencapai besaran aliran lalu lintas yang diinginkan,
sehingga memberi solusi untuk meminimalkan kemacetan lalu lintas.
Kapasitas dapat menunjukkan kepadatan optimum jalan. Gambar 1.5.3
menunjukkan hubungan antara aliran lalu lintas dan kepadatan, sedangkan
kapasitas jalan adalah titik dimana aliran lalu lintas mencapai kepadatan optimal
(optimal density). Dan setelah kepadatan optimal menuju ke kepadatan maksimal
aliran lalu lintas semakin menurun kembali karena lalu lintas yang semakin padat
(Kotusevski dan Hawick, 2009).

Gambar 1.5.3 Hubungan antara Lalu Lintas dan Kepadatan, serta Kapasitas Jalan
(Sumber: Kotusevski dan Hawick, 2009)

Pengukuran kapasitas jalan tidak dapat terlepas dari hambatan samping.


Hambatan samping menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997) merupakan
dampak terhadap perilaku lalu lintas akibat kegiatan di sisi jalan, seperti pejalan
kaki, penghentian kendaraan, kendaraan masuk dan keluar di sisi jalan, maupun
kendaraan lambat. Adanya hambatan samping ini memberikan pengaruh pada
pengurangan kapasitas. Kelas hambatan samping salah satunya ditentukan
menurut penggunaan lahan sekitar, dimana kelas hambatan samping untuk jalan
perkotaan diatur dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) seperti
ditunjukkan dalam Tabel 1.5.2.

20
Tabel 1.5.2 Kelas Hambatan Samping untuk Jalan Perkotaan
Kelas Jumlah Berbobot
Hambatan Kode Kejadian per 200 m per Kondisi Khusus
Samping jam (dua sisi)
Sangat Daerah permukiman, jalan samping
VL <100
Rendah tersedia
Daerah permukiman, beberapa
Rendah L 100 - 299
angkutan umum
Daerah industri, beberapa toko di di
Sedang M 300 - 499
sisi jalan
Daerah komersial, aktivitas sisi
Tinggi H 500 - 899
jalan tinggi
Sangat Daerah komersial, aktivitas pasar di
VH >900
Tinggi sisi jalan
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997a

Hambatan samping juga ditentukan berdasarkan kejadian yang


menyebabkan hambatan samping, dengan faktor bobot seperti ditunjukkan pada
Tabel 1.5.3. Dari tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa urutan dari yang paling
besar sampai yang paling kecil faktor pengaruh kejadian terhadap hambatan
samping yaitu kendaraan yang berhenti atau dapat juga parkir di badan jalan,
kendaraan masuk dan keluar, pejalan kaki atau penyeberang jalan, serta kendaraan
yang berjalan lambat atau dapat juga kendaraan tidak bermotor karena secara
umum memiliki kecepatan yang lebih rendah dibandingkan dengan kendaraan
bermotor.

Tabel 1.5.3 Faktor Bobot untuk Hambatan Samping


Tipe Kejadian Hambatan Samping Simbol Faktor Bobot
Pejalan kaki PED 0,5
Kendaraan berhenti PSV 1,0
Kendaraan masuk dan keluar EEV 0,7
Kendaraan lambat SMV 0,4
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997a

1.5.7 Satuan Mobil Penumpang


Satuan mobil penumpang (smp) adalah angka satuan kendaraan, dimana
mobil penumpang ditetapkan memiliki satu smp (Direktorat Jenderal Bina Marga,
1997). Smp ini digunakan untuk membakukan ukuran berbagai jenis kendaraan

21
(Warpani, 1990), sehingga memudahkan dalam perhitungan. Smp merupakan
satuan, sedangkan ekuivalen mobil penumpang (emp) merupakan faktor dari
berbagai jenis kendaraan dibandingkan terhadap mobil penumpang sehubungan
dengan pengaruhnya kepada kecepatan mobil penumpang dalam arus lalu lintas
(Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997a). Jadi, emp merupakan pengkonversian
jenis kendaraan terhadap mobil penumpang, sebagai dasar untuk menyamakan
satuan masing-masing jenis kendaraan tertentu kedalam satuan mobil penumpang.

1.5.8 Tingkat Pelayanan Jalan (Level of Service) dan Derajat Kejenuhan


Tingkat pelayanan jalan menunjukkan kinerja jalan, yaitu ukuran kualitatif
yang digunakan dalam menunjukkan kondisi operasional arus lalu lintas yang
pada umumnya ditentukan oleh faktor kecepatan, waktu tempuh, kebebasan
pergerakan, hambatan lalu lintas, kenyamanan, dan keselamatan (Direktorat
Jenderal Bina Marga, 1997a). Tingkat pelayanan jalan menurut Direktorat
Jenderal Bina Marga (1997a) memiliki beberapa indikator, yaitu: kecepatan lalu
lintas (untuk jalan luar kota), kecepatan rata-rata (untuk jalan perkotaan), nisbah
volume (V C ratio), serta kepadatan dan kecelakaan lalu lintas. Tingkat pelayanan
jalan diklasifikasikan dari huruf A, B, C, D, E, F, dimana tingkat pelayanan A
adalah yang paling baik, sedangkan tingkat pelayanan F adalah yang paling buruk,
yang menandakan terjadinya kemacetan. Uraian kondisi tingkat pelayanan jalan
secara kualitatif adalah sebagai berikut.
a) Tingkat Pelayanan A
 arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan tinggi
 kepadatan lalu lintas sangat rendah, kecepatan
maksimum/minimum
 kecepatan dapat dipertahankan tanpa atau dengan sedikit tundaan
b) Tingkat Pelayanan B
 arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan mulai
dibatasi oleh kondisi lalu lintas
 kepadatan lalu lintas rendah, hambatan internal lalu lintas belum
mempengaruhi kecepatan

22
 pemilihan kecepatan masih cukup bebas
c) Tingkat Pelayanan C
 arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan dikendalikan
oleh volume lalu lintas yang lebih tinggi
 kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu lintas
meningkat
 pemilihan kecepatan terbatas, pindah lajur atau mendahului
d) Tingkat Pelayanan D
 arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan
kecepatan masih ditolerir, tetapi sangat terpengaruh oleh perubahan
kondisi arus
 kepadatan lalu lintas sedang, tetapi fluktuasi volume lalu lintas dan
hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang
besar
 kebebasan menjalankan kendaraan sangat terbatas, kenyamanan
rendah, tetapi kondisi ini masih dapat ditolerir untuk waktu yang
singkat
e) Tingkat Pelayanan E
 arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume lalu
lintas mendekati kapasitas jalan, kecepatan sangat rendah
 kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan lalu lintas tinggi
 mulai dirasakan kemacetan-kemacetan pendek
f) Tingkat Pelayanan F
 arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang
 kepadatan lalu lintas sangat tinggi, volume rendah, kemacetan
dengan durasi lama
 dalam keadaan antrian, kecepatan maupun volume turun sampai 0.

Uraian kualitatif tingkat pelayanan jalan tersebut di atas sesuai dengan


Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 14 tahun 2006 tentang Manajemen
dan Rekayasa Lalu Lintas di Jalan. Selain itu, ditentukan bahwa tingkat pelayanan

23
jalan pada jalan tol, jalan arteri primer, dan jalan kolektor primer sekurang-
kurangnya adalah B; pada jalan lokal primer, jalan arteri sekunder, dan jalan
kolektor sekunder sekurang-kurangnya adalah C; serta pada jalan lokal sekunder
dan jalan lingkungan sekurang-kurangnya adalah D.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa tingkat pelayanan jalan
dinyatakan secara kualitatif. Akan tetapi, dalam klasifikasinya dapat ditentukan
secara kuantitatif, yaitu menggunakan indikator-indikator yang telah disebutkan di
awal, salah satunya yaitu V C ratio. V C ratio merupakan rasio atau perbandingan
volume lalu lintas terhadap kapasitas, atau disebut dengan derajat kejenuhan,
biasanya dihitung per jam (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997a). Derajat
kejenuhan dipastikan agar tidak melebihi rasio 0,75 pada jam puncak, yang
dimaksudkan volume lalu lintas tidak menimbulkan kesemrawutan seperti
kemacetan. Ruas atau segmen jalan yang memiliki derajat kejenuhan yang
melebihi 0,75 harus memiliki rencana detail dan pengaturan lalu lintas (Direktorat
Jenderal Bina Marga, 1997a).

1.5.9 Simulasi Lalu Lintas


Era komputerisasi sekarang ini banyak dilakukan penelitian yang
menggunakan simulasi menggunakan komputer, atau menggunakan model, yang
dapat dilakukan untuk mensimulasikan keadaan sebenarnya di lapangan (real
world). Simulasi dengan pemodelan merupakan suatu metode ilmiah untuk
analisis dan prediksi, dimana pendekatan pemodelan meliputi observasi,
perekaman, perbandingan, inferensial, spekulasi, dan percobaan atau testing
(Werner, 1985).

REAL WORLD Selected Segment

Simple Scenario
by a set of
Assumption

Gambar 1.5.4 Konsep Spatial Modelling


Sumber: Werner, 1985

24
Gambar 1.5.4 menunjukkan bahwa dari dunia nyata (real world), diambil
bagian yang akan diteliti, baik berupa daerah kajian maupun lingkup kajian.
Pemodelan dilakukan dengan memberikan skenario dari berbagai asumsi yang
dekat dengan keadaan di dunia nyata (sebenarnya). Skenario ini digunakan untuk
menemukan implikasi dan konsekuensi dari hasil kombinasi asumsi-asumsi yang
diberikan. Menurut Werner (1985) pula, pemodelan dapat memberikan
kesimpulan yang valid, tetapi hal tersebut dapat kehilangan validitasnya jika
diterapkan di dunia nyata (real world). Hal tersebut disebabkan model biasanya
merepresentasikan kenyataan secara kasar dan tidak lengkap. Oleh sebab itu,
model dikatakan sukses jika kesimpulan yang dihasilkannya dapat memberikan
tiruan maupun prediksi terhadap keadaan di dunia nyata, yang didasarkan pada
asumsi-asumsi yang diberikan dalam membangun skenario dalam pemodelan.
Werner (1985) juga menyatakan bahwa model merupakan simulasi dari beberapa
bagian di dunia nyata, yang salah satunya dapat memberikan gambaran sugesti
bagaimana suatu hal bekerja dan bagaimana hal tersebut berlaku jika kondisi
tertentu berubah (ada perubahan kondisi).
Simulasi (Drew, 1968, dalam Ronaldo dan Ismail, 2012) secara umum
didefinisikan sebagai representasi dinamis dari sebagian fenomena di dunia nyata
yang diperoleh dengan membangun model dalam komputer. Simulasi menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan sebuah metode dengan
meragakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaan yang
sesungguhnya atau penggambaran suatu sistem atau proses dengan peragaan
berupa model statistik atau pemeranan. Salah satu sistem yang dapat
disimulasikan menggunakan komputer adalah jaringan transportasi. Simulasi
jaringan transportasi melalui komputer dilakukan karena bereksperimen di dunia
nyata tidak praktis (Kotusevski dan Hawick, 2009) dan pendekatan pemodelan
merupakan alat penting dalam perencanaan transportasi (Werner, 1985).
Pemodelan spasial transportasi (spatial transportation modeling) secara lebih
khususnya merupakan studi distribusi spasial dari fenomena transportasi dengan
bantuan model (Werner, 1985). Simulasi jaringan transportasi atau sistem lalu
lintas (Kotusevski dan Hawick, 2009) dibedakan menjadi dua kategori, yaitu:

25
1. Simulasi Makroskopis, merupakan model yang menggunakan faktor-
faktor makro, seperti tingkat arus, kecepatan rata-rata, tingkat
kerapatan, dan lain-lain.
2. Simulasi Mikroskopis, merupakan model yang menggunakan faktor-
faktor mikro, seperti waktu antara, kecepatan individu, jarak antara,
percepatan, penyesuaian kecepatan, perubahan lajur, dan lain-lain.
Penilitian ini menggunakan kategori simulasi makroskopis. Simulasi lalu
lintas (traffic simulation) merupakan sebuah teknologi menggunakan model
matematika untuk mengkonstruksi berbagai variasi aliran lalu lintas, yang
diantaranya digunakan untuk mendesain, menganalisis, memanipulasi, maupun
menampilkan simulasi lalu lintas dengan karakteristik spasial (Malgundkar dkk,
2012). Simulasi biasanya digunakan untuk memilih atau melakukan evaluasi
terhadap alternatif-alternatif pilihan desain perencanaan sebelum melakukan
implementasinya (Xiao dkk, 2005). Prinsip dasar penggunaan simulasi adalah
“what if” (bagaimana jika) dan “see what happens” (lihat apa yang terjadi).

1.6 Keaslian Penelitian


Munawar (2004) melakukan penelitian mengenai analisis sistem jaringan
transportasi di kampus UGM. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui
permasalahan lalu lintas yang ada, yang meliputi sistem jaringan dan geometri
jalan, angkutan umum, parkir, serta menganalisis alternatif-alternatif kebijakan
yang dapat dilakukan guna memperbaiki sistem transportasi yang ada. Metode
yang digunakan adalah survei lalu lintas untuk mengetahui karakteristik arus lalu
lintas di wilayah UGM, survei geometri untuk mengetahui ukuran dan dimensi
jalan, wawancara untuk mengetahui persepsi pengguna jalan, pengguna bus, dan
tata perparkiran, serta survei parkir untuk mengetahui karakteristik perparkiran di
wilayah UGM, yang meliputi akumulasi parkir, durasi parkir, volume parkir,
pergantian parkir, dan indeks parkir (Hobbs, 1979). Penelitian Munawar (2004)
yang terkait dengan penelitian ini adalah dalam analisis pemodelan lalu lintas
untuk pemecahan masalah lalu lintas di wilayah UGM, dengan beberapa skenario,
yaitu skenario 1 (gate system) berupa penutupan beberapa jalan akses masuk

26
UGM dengan pagarisasi, skenario 2 (semi gate) berupa membuka satu pagar di
simpang Purna Budaya disertai dengan pengaturan lampu lalu lintas, dan skenario
3 (flexible gate) berupa membuka tiga gerbang di antara simpang Purna Budaya
dan simpang Mirota. Hasil dari penelitian tersebut, khususnya hasil pemodelan
lalu lintas tersebut yaitu skenario 2 dipilih karena dapat mendistribusikan arus lalu
lintas dan memiliki minimal titik konflik. Dengan membuka pagar simpang Purna
Budaya, kepadatan lalu lintas di Jalan Kaliurang (antara simpang Purna Budaya
dan simpang Mirota) dapat dikurangi hingga 28%, serta dapat mendistribusikan
arus lalu lintas melalui Jalan Pancasila.
Wibisana (2009) meneliti mengenai indeks tingkat pelayanan jalan
berbasis model linier di ruas jalan raya Kertajaya Indah Surabaya. Jalan arteri
tersebut memiliki volume kendaraan yang cukup tinggi. Penelitian tersebut
bertujuan menghitung nilai kapasitas dan indeks pelayanan jalan dengan
menggunakan metode regresi linier. Hasil perhitungan yang diperoleh adalah nilai
kapasitas jalan sebesar 7.270,56 smp/jam dan indeks tingkat pelayanan jalan
sebesar 0,75. Hal tersebut berarti ruas jalan raya Kertajaya Indah Surabaya
memiliki tingkat kejenuhan yang tinggi (mendekati ambang 0,80). Meskipun
topik yang diusung sama, yaitu tingkat pelayanan jalan, penelitian Wibisana
(2009) menggunakan metode penghitungan yang berbeda dengan penelitian ini,
yaitu menggunakan model linier, sedangkan dalam penelitian yang dilakukan
disini menggunakan klasifikasi V C ratio.
Kusuma dkk (2010) dengan penelitian berjudul Model Pengalihan
Transportasi Kota Yogyakarta dan Arah Perkembangan Tata Ruangnya Akibat
dari Penutupan Sejumlah Ruas Jalan di Kawasan UGM, bertujuan untuk
mengetahui pola-pola kepadatan lalu lintas pada jalur transportasi yang baru
dengan menggunakan salah satu model simulasi transportasi, serta mengetahui
arah perkembangan tata ruang Kota Yogyakarta setelah penutupan kawasan
kampus UGM dengan menggunakan sistem informasi berbasis pemetaan. Metode
yang digunakan yaitu survei lalu lintas origin - destination (daerah asal - daerah
tujuan) untuk mengetahui kebutuhan dan karakteristik pergerakan, interpretasi
Citra Quickbird yang memiliki resolusi spasial tinggi untuk mengukur kondisi

27
geometrik jalan dengan koreksi menggunakan beberapa titik sampel, serta
simulasi skenario penutupan beberapa ruas jalan dalam membangun model
pengalihan transportasi berdasarkan pada analisis kebutuhan pergerakan, kapasitas
jalan, dan daerah tarikan. Hasil dari penelitian ini yaitu beberapa ruas jalan yang
dapat ditutup antara lain Jalan Kesehatan, Jalan Notonagoro, serta jalan masuk ke
RS dr. Sardjito dari arah Jalan Persatuan dan Jalan C. Simanjuntak. Dengan
adanya penutupan beberapa ruas jalan tersebut memberikan distribusi volume ke
ruas jalan yang lain, yang dapat memberikan pengaruh pada perubahan
penggunaan lahan di sekitarnya. Rekomendasi yang diberikan yaitu penambahan
traffic light di beberapa persimpangan jalan dan mempertahankan Ruang Terbuka
Hijau (RTH) sebesar 40% dengan pembangunan secara vertikal. Kesamaan
penelitian Kusuma dkk (2010) dengan penelitian yang dilakukan disini yaitu
dilakukan simulasi beberapa skenario untuk menganalisis alternatif-alternatif yang
diberikan, terkait distribusi volume lalu lintas di kawasan UGM.
Sari (2011) dalam penelitian Analisis Kebijakan Penanganan Kemacetan
Lalu Lintas di Jalan Teuku Umar Kawasan Jatingaleh Semarang, dengan tujuan
memberikan gambaran kemacetan yang ada di daerah kajian, yaitu dengan
menentukan tingkat pelayanan jalan, dimana semakin rendah tingkat pelayanan
jalan maka tingkat kepadatan semakin tinggi. Akan tetapi, fokus penelitian ini
adalah berupa analisis terhadap kebijakan penanganan kemacetan dengan metode
yang digunakan adalah Analisis Hirarki Proses (AHP). Penentuan tingkat
pelayanan jalan digunakan sebagai gambaran awal untuk menganalisis kondisi
tingkat kepadatan setiap ruas jalan di Jalan Teuku Umar Kawasan Jatingaleh
Semarang. Kepadatan jalan yang ditunjukkan dengan V C ratio paling besar yaitu
Jalan Kaligawe (0,9), yang dikategorikan tingkat pelayanan jalan E, sedangkan V
C ratio paling kecil di Jalan Kompol Maksum (0,362), yang dikategorikan tingkat
pelayanan jalan B. Pada penelitian ini menggunakan metode penghitungan V C
ratio dan klasifikasi tingkat pelayanan jalan yang sama pada penelitian yang
dilakukan Sari (2011).
Kesamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu
metode yang digunakan dalam mengukur derajat kejenuhan dan tingkat pelayanan

28
jalan, serta pentahapan yang sama dalam pengukuran, yaitu pengukuran kapasitas
jalan, pengukuran volume lalu lintas, pengukuran kepadatan jalan dengan derajat
kejenuhan (V C ratio), serta klasifikasi tingkat pelayanan jalan. Sedangkan
perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah pada
daerah kajian dan fokus kajian. Keaslian penelitan secara ringkas ditunjukkan
dalam Tabel 1.6.1.

29
Tabel 1.6.1 Keaslian Penelitian
Lokasi Tahun Metode yang
No. Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Hasil
Penelitian Penelitian digunakan
1. Ahmad Analisis Jaringan Kampus 2004  Mengetahui  Survei lalu lintas  Permasalahan eksisting
Munawar Transportasi UGM permasalahan  Survei geometri berupa volume dan polusi
lalu lintas yang jalan tinggi, terutama di Jalan
ada.  Survei parkir Kaliurang, serta banyaknya
 Menganalisis  Wawancara PKL dan ketidaknyamanan
alternatif- bagi pedestrian. Tingkat
alternatif kejenuhan yang tinggi
kebijakan. terdapat di beberapa
simpangan, terutama di
Simpang Mirota.
 Membuka simpang Purna
Budaya untuk mengurangi
hingga 28% kepadatan di
Jalan Kaliurang (antara
simpang Purna Budaya dan
simpang Mirota), serta
mendistribusikan arus lalu
lintas melalui Jalan
Pancasila.
2. Hendrata Indeks Pelayanan Surabaya 2009 Menghitung nilai Regresi linier Nilai kapasitas Jalan
Wibisana Jalan Berbasis kapasitas dan Kertajaya Indah sebesar
Model Linier di indeks pelayanan 7270,56 smp/jam dan indeks
Ruas Jalan jalan pelayanan jalan sebesar 0,75.
Kertajaya Indah Ruas Jalan Kertajaya Indah
memiliki tingkat kejenuhan
yang tinggi (mendekati
ambang 0,80).

30
Lanjutan Tabel 1.6.1 Keaslian Penelitian
Lokasi Tahun Metode yang
No. Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Hasil
Penelitian Penelitian digunakan
3. Wayan Model Pengalihan Kawasan 2010  Mengetahui  Interpretasi Citra Beberapa ruas jalan yang
Damar Windu Transportasi Kota UGM pola-pola Quickbird dapat ditutup antara lain:
K Yogyakarta dan kepadatan lalu  Survei lalu lintas Jalan Kesehatan, Jalan
Arah lintas pada jalur origin - destination Notonagoro, jalan masuk ke
Perkembangan transportasi  Simulasi skenario RS dr. Sardjito dari arah
Tata Ruangnya yang baru penutupan bebrapa Jalan Persatuan dan Jalan C.
Akibat dari dengan ruas jalan Simanjuntak.
Penutupan menggunakan menggunakan
Sejumlah Ruas salah satu software
Jalan di Kawasan model simulais PowerSim
UGM transportasi.
 Mengetahui arah
perkembangan
tata ruang Kota
Yogyakarta
setelah
penutupan
kawasan
kampus UGM
dengan sistem
informasi
berbasis
pemetaan.

31
Lanjutan Tabel 1.6.1 Keaslian Penelitian
Lokasi Tahun Metode yang
No. Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Hasil
Penelitian Penelitian digunakan
4. Feby Anisia Analisis Kebijakan Semarang 2011  Memberikan  Survei lalu lintas  Tingkat pelayanan jalan
Purnama Sari Penanganan gambaran  Analitical paling buruk adalah di
Kemacetan Lalu kemacetan. Hierarchy Process Jalan Kaligawe (tingkat
Lintas di Jalan  Menganalisis (AHP) pelayanan jalan E).
Teuku Umar berbagai kebijakan Tingkat pelayanan jalan
Kawasan penanganan bervariasi antara B, C, D,
Jatingaleh kemacetan. dan E.
 Kebijakan yang dipilih
dalam mengurangi
kemacetan yaitu
penyediaan BRT (Bus
Rapid Transit).
5. Sheily Kajian Tingkat Kawasan 2012  Memberikan  Data Sekunder
Widyaningsih Pelayanan Jalan UGM gambaran  Survei Lalu Lintas
dan Simulasinya bagian barat distribusi spasial  In-depth Interview
pada Rencana volume lalu lintas
Pembangunan dan tingkat
Jalan Lingkar pelayanan ruas-
Barat UGM ruas jalan di
kawasan UGM
bagian barat pada
kondisi saat ini
dan pada simulasi
direalisasikannya
jalan lingkar barat
UGM.

32
1.7 Kerangka Pemikiran
Kampus UGM berlokasi diantara dua daerah administratif yang berbeda, yaitu
Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Letak kampus UGM di koridor
penghubung ke kota, dari utara ke selatan dan sebaliknya, dengan aksesibilitas yang
tinggi ke fasilitas-fasilitas pelayanan umum maupun perdagangan menyebabkan
mobilitas yang tinggi dalam lalu lintas sekitar kampus UGM. Kampus UGM
dipisahkan oleh Jalan Kaliurang atau Jalan Persatuan menjadi kampus bagian timur
(Bulaksumur) dan kampus bagian barat (Sekip). Jalan Kaliurang tersebut merupakan
jalan utama penghubung Kabupaten Sleman di utara menuju Kota Yogyakarta di
selatan, dan sebaliknya. Kebutuhan akses menuju kota dan fasilitas-fasilitas
pelayanan menjadikan kepadatan lalu lintas di ruas-ruas jalan utama di kawasan
kampus UGM karena menjadi akses utama civitas akademika (mahasiswa, dosen,
karyawan) dan masyarakat umum yang bermobilitas menuju dan atau dari kota.
Kondisi lalu lintas tersebut salah satunya dikaji melalui penghitungan kapasitas jalan
dan volume lalu lintas, sehingga diperoleh V C ratio atau derajat kejenuhan yang
merepresentasikan kepadatan jalan. Semakin besar V C ratio maka kepadatan jalan
semakin tinggi, begitu pula sebaliknya, semakin kecil V C ratio maka kepadatan jalan
semakin rendah. V C ratio merupakan salah satu indikator dalam menentukan tingkat
pelayanan jalan. Berdasarkan hasil perhitungan V C ratio, dilakukan klasifikasi untuk
mendapatkan klas tingkat pelayanan jalan (A, B, C, D, E, F), sehingga dapat
diketahui deskripsi kualitatif dari masing-masing tingkat pelayanan jalan.
Pihak UGM sebagai salah satu stakeholder dalam perencanaan transportasi di
wilayah sekitarnya memiliki rencana penataan lalu lintas kawasan kampus UGM,
salah satunya yaitu pembangunan jalan lingkar (barat dan timur). Yang diambil
menjadi kajian dalam penelitian ini yaitu jalan lingkar barat. Pembangunan jalan
lingkar ini berupa penambahan beberapa ruas jalan baru serta pelebaran jalan (Tim
Pelaksana Studi, 2010). Maksud pembangunan jalan lingkar ini adalah untuk
mendistribusikan volume terutama pada ruas jalan dengan kepadatan yang tinggi di
kawasan UGM dan sekitarnya, seperti Jalan Persatuan atau Jalan Kaliurang dan Jalan

33
Kesehatan, sehingga lalu lintas di kawasan kampus UGM lebih kondusif. Distribusi
volume lalu lintas tersebut dapat disimulasikan, sehingga dapat dianalisis
perbandingan tingkat pelayanan jalan saat ini dan tingkat pelayanan jalan pada
simulasi realisasi pembangunan jalan lingkar barat UGM. Kajian terhadap kebijakan
transportasi ini salah satunya dapat berperan dalam perencanaan kota dan
pengembangan wilayah secara terpadu dan dalam lingkup yang lebih luas. Kerangka
pemikiran secara lebih diagramatis dapat disajikan seperti pada Gambar1.7.1.

Letak UGM di koridor Perencanaan jalan lingkar


penghubung ke kota barat dan timur UGM

Kondisi eksisting volume lalu Simulasi perubahan volume


lintas kawasan kampus UGM dengan berbagai skenario
pada rencana jalan lingkar
barat

Tingkat pelayanan jalan Tingkat pelayanan jalan pada


eksisting kawasan kampus simulasi beberapa skenario
UGM rencana pembangunan jalan
lingkar barat UGM

Analisis perbandingan:
1. Distribusi spasial volume
lalu lintas
2. Tingkat pelayanan jalan

Peranan perencanaan
transportasi dalam perencanaan
kota dan pengembangan
wilayah.

Gambar 1.7.1 Diagram Kerangka Pemikiran

34
1.8 Batasan Operasional
 Lalu lintas : gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, berupa
jalan dan fasilitas pendukungnya (Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009).
 Mobilitas : pergerakan, kebutuhan akibat separasi spasial (Hanson dkk,
1986).
 Aksesibilitas : kemudahan pergerakan diantara lokasi-lokasi, yang terdiri
dari daerah asal (origin) dan daerah tujuan (destination)
(Hanson dkk, 1986).
 Jalan : segala prasarana perhubungan, meliputi seluruh bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya, yang
diperuntukkan bagi lalu lintas (Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1980).
 Jalan utama : jalan besar yang menjadi pangkal jalan lain (Kamus Besar
Bahasa Indonesia). Jalan utama yang dikaji di kawasan
kampus UGM adalah jalan yang banyak digunakan sebagai
akses utama (diluar jalan lingkungan) bagi civitas
akademika maupun masyarakat umum dan jalan yang
direncanakan dalam jalur lingkar barat pada khususnya.
 Ruas jalan : semua bagian jalan, dari jalur gerak (termasuk perkerasan),
median, dan pemisah luar (Suharyadi dkk, 2010). Dalam
setiap ruas jalan terdiri dari jalur dan lajur jalan. Jalur dapat
terdiri dari satu atau lebih lajur lalu lintas yang ditempuh
oleh kendaraan bermotor dalam satu jurusan (Direktorat
Jenderal Bina Marga, 1997a).
 Segmen jalan : panjang jalan di antara dan tidak dipengaruhi oleh simpang
bersinyal atau simpang tak bersinyal utama dan setiap satu

35
segmen jalan memiliki karakteristik yang hampir sama
(Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997a).
 Tipe jalan : pembagian jalan berdasarkan jumlah jalur, jumlah lajur, arah
dan ada / tidaknya pemisah arah / pembatas (divider).
 Kapasitas jalan : jumlah maksimum kendaraan yang dapat melewati jalan
dalam periode waktu tertentu tanpa menimbulkan kepadatan
lalu lintas yang menyebabkan hambatan waktu, bahaya, atau
kebebasan pengemudi menjalankan kendaraannya (Warpani,
1990), dinyatakan dengan smp/jam (Direktorat Jenderal
Bina Marga, 1997a).
 Volume lalu lintas : jumlah kendaraan yang melewati jalan, dinyatakan dalam
smp/jam. Volume lalu lintas pada penelitian ini diukur pada
jam sibuk, yaitu mengambil asumsi saat volume maksimum
(Hobbs, 1979, dalam Munawar, 2004).
 Jam sibuk : (peak hour), yaitu pada pagi hari pukul 07.00 s.d. 09.00 dan
sore hari pukul 16.00 s.d. 18.00 (Hanson dkk, 1986). Pada
penelitian ini diambil satu periode jam sibuk, yaitu jam
sibuk sore.
 Derajat kejenuhan : rasio atau perbandingan volume lalu lintas terhadap
kapasitas (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997a).
 Tingkat pelayanan : (level of service), kinerja jalan. Klasifikasi tingkat pelayanan
jalan pada penelitian ini berdasarkan pada indikator derajat
kejenuhan.
 Simulasi : representasi dinamis dari sebagian fenomena di dunia nyata
yang diperoleh dengan membangun model dalam komputer
(Drew, 1968, dalam Ronaldo dan Ismail, 2012).

36

Anda mungkin juga menyukai