Anda di halaman 1dari 13

Achmad Soebardjo

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian


Achmad Soebardjo

Menteri Luar Negeri Indonesia 1


Masa jabatan
2 September 1945 – 14 November 1945
Presiden Soekarno
Pendahulu Tidak ada (jabatan baru)
Pengganti Sutan Syahrir
Masa jabatan
4 Agustus 1951 – 20 Desember 1952
Presiden Soekarno
Perdana
Sukiman Wirjosandjojo
Menteri
Pendahulu Mohammad Roem
Pengganti Wilopo
Informasi pribadi
23 Maret 1896
Lahir Karawang, Jawa Barat, Hindia
Belanda
Meninggal 15 Desember 1978 (umur 82)
dunia Jakarta, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Alma mater Universitas Leiden, Belanda
Profesi Diplomat
Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (lahir di Karawang, Jawa Barat, 23 Maret
1896 – meninggal 15 Desember 1978 pada umur 82 tahun) adalah tokoh pejuang kemerdekaan
Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah Menteri Luar Negeri
Indonesia yang pertama. Achmad Soebardjo memiliki gelar Meester in de Rechten, yang
diperoleh di Universitas Leiden Belanda pada tahun 1933.

Awal mula
Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23 Maret 1896.
Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf,[1] masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie.
Kakek Achmad Soebardjo dari pihak ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng
Putu, sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di
wilayah Teluk Jambe, Kerawang.[2] Ibu Achmad Soebardjo bernama Wardinah.[2] Ia keturunan
Jawa-Bugis,[1] dan merupakan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.[2]

Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya memberinya
nama Achmad Soebardjo.[1] Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat
ia ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".[3]

Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah Menengah Atas)
pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan
memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang
undang-undang pada tahun 1933.

Riwayat perjuangan
Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di
Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia pun menjadi wakil Indonesia bersama dengan Mohammad
Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa "Liga Menentang
Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman.
Pada persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin nasionalis
yang terkenal dari Asia dan Afrika.[4] Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia aktif menjadi
anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan kemudian
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Peristiwa Rengasdengklok
Pada tanggal 16 Agustus 1945 Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan
Wikana, Shodanco Singgih, dan pemuda lain, membawa Soekarno dan Moh. Hatta ke
Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh
oleh Jepang.[5] Peristiwa ini dinamakan Peristiwa Rengasdengklok.

Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang
telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.[6] Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan
golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan perundingan. Achmad Soebardjo menyetujui
untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.[7] Maka diutuslah Yusuf Kunto
untuk mengantar Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok.[8] Mereka menjemput Soekarno dan
Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Achmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk
tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan.[9]

Naskah proklamasi
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo di
rumah Laksamana Muda Maeda.[10] Setelah selesai dan beragumentasi dengan para pemuda,
dinihari 17 Agustus 1945, Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti Melik untuk mengetik
naskah proklamasi.

Masa setelah kemerdekaan


Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet
Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama, dan kembali menjabat menjadi Menteri Luar
Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik
Indonesia di Switzerland antara tahun-tahun 1957 - 1961.

Dalam bidang pendidikan, Soebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan
dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia.

Wafat
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia dalam usia 82 tahun (15 Desember 1978) di
Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi. Ia
dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor.[3] Pemerintah mengangkat almarhum
sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 200
Mohammad Yamin
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Mohammad Yamin

Menteri Penerangan Indonesia 14


Masa jabatan
6 Maret 1962 – 17 Oktober 1962
Presiden Soekarno
Pendahulu Maladi
Pengganti Roeslan Abdulgani
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia 9
Masa jabatan
30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955
Presiden Soekarno
Perdana
Ali Sastroamidjojo
Menteri
Pendahulu Bahder Djohan
Pengganti R.M. Suwandi
Menteri Kehakiman Indonesia 6
Masa jabatan
27 April 1951 – 14 Juni 1951
Presiden Soekarno
Perdana
Sukiman Wirjosandjojo
Menteri
Pendahulu Wongsonegoro
Pengganti Mohammad Nasrun
Informasi pribadi
24 Agustus 1903
Lahir Sawahlunto, Sumatra Barat,
Hindia Belanda
Meninggal 17 Oktober 1962 (umur 59)
dunia Jakarta, Indonesia
Kebangsaan Indonesia

Tanda tangan

Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. (lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatra Barat, 24 Agustus
1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah sastrawan, sejarawan,
budayawan, politikus, dan ahli hukum yang telah dihormati sebagai pahlawan nasional
Indonesia. Ia merupakan salah satu perintis puisi modern Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda
sekaligus "pencipta imaji keindonesiaan" yang mempengaruhi sejarah persatuan Indonesia.[1][2]

Latar belakang
Mohammad Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto pada 23 Agustus 1903. Ia merupakan putra
dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah yang masing-masing berasal dari
Sawahlunto dan Padang Panjang. Ayahnya memiliki enam belas anak dari lima istri, yang
hampir keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang berpengaruh. Saudara-saudara Yamin
antara lain: Muhammad Yaman, seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan
terkemuka; dan Ramana Usman, pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya,
Mohammad Amir, juga merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang,


kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Di AMS
Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah purbakala dan berbagai bahasa seperti Yunani, Latin,
dan Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda harus
diurungnya dikarenakan ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian menjalani kuliah di
Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas
Hukum Universitas Indonesia), dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana
Hukum) pada tahun 1932.
Kesusastraan
Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa dunia
sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis menggunakan
bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatra, sebuah jurnal berbahasa Belanda pada tahun 1920.
Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.

Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah
Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatra. Tanah Air merupakan
himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.

Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini
sangat penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan beberapa orang pejuang
kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa
Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa,
muncul juga pada tahun yang sama.

Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur
Belanda. Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia masih
lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi
penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah, dan puisi. Ia
juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath
Tagore.

Politik
Karier politik Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di Jakarta. Ketika itu ia
bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond[3] dan menyusun ikrah Sumpah Pemuda
yang dibacakan pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut, ia menetapkan Bahasa Indonesia,
yang berasal dari Bahasa Melayu, sebagai bahasa nasional Indonesia. Melalui organisasi
Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat persatuan.
Kemudian setelah kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa utama
dalam kesusasteraan Indonesia.

Pada tahun 1932, Yamin memperoleh gelar sarjana hukum. Ia kemudian bekerja dalam bidang
hukum di Jakarta hingga tahun 1942. Pada tahun yang sama, Yamin tercatat sebagai anggota
Partindo. Setelah Partindo bubar, bersama Adenan Kapau Gani dan Amir Sjarifoeddin, ia
mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Tahun 1939, ia terpilih sebagai anggota
Volksraad.

Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Yamin bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat
(PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada tahun
1945, ia terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI, Yamin banyak memainkan peran. Ia berpendapat agar hak
asasi manusia dimasukkan ke dalam konstitusi negara.[4] Ia juga mengusulkan agar wilayah
Indonesia pasca-kemerdekaan, mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor
Portugis, serta semua wilayah Hindia Belanda. Soekarno yang juga merupakan anggota BPUPKI
menyokong ide Yamin tersebut. Setelah kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden Republik
Indonesia yang pertama, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam
pemerintahannya.

Setelah kemerdekaan, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin antara lain anggota DPR
sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan
Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), Ketua Dewan
Perancang Nasional (1962), Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962) dan Menteri
Penerangan (1962-1963).

Pada saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Yamin membebaskan tahanan politik yang
dipenjara tanpa proses pengadilan. Tanpa grasi dan remisi, ia mengeluarkan 950 orang tahanan
yang dicap komunis atau sosialis. Atas kebijakannya itu, ia dikritik oleh banyak anggota DPR.
Namun Yamin berani bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Kemudian disaat menjabat
Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Yamin banyak mendorong pendirian
univesitas-universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia. Di antaraperguruan tinggi yang ia
dirikan adalah Universitas Andalas di Padang, Sumatra Barat.

Keluarga
Pada tahun 1937, Mohammad Yamin menikah dengan Siti Sundari, putri seorang bangsawan
dari Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.[5] Mereka dikaruniai satu orang putra, Dang Rahadian
Sinayangsih Yamin. Pada tahun 1969, Dian melangsungkan pernikahan dengan Raden Ajeng
Sundari Merto Amodjo, putri tertua dari Mangkunegoro VIII.[rujukan?]

Karya-karyanya

Sampul Buku Muhammad Yamin dan cita cita persatuan

 Tanah Air (puisi), 1922


 Indonesia, Tumpah Darahku, 1928
 Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (drama), 1932
 Ken Arok dan Ken Dedes (drama), 1934
 Sedjarah Peperangan Dipanegara, 1945
 Tan Malaka, 1945
 Gadjah Mada (novel), 1948
 Sapta Dharma, 1950
 Revolusi Amerika, 1951
 Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, 1951
 Bumi Siliwangi (Soneta), 1954
 Kebudayaan Asia-Afrika, 1955
 Konstitusi Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi, 1956
 6000 Tahun Sang Merah Putih, 1958
 Naskah Persiapan Undang-undang Dasar, 1960, 3 jilid
 Ketatanegaraan Madjapahit, 7 jilid

Penghargaan
 Bintang Mahaputra RI, tanda penghargaan tertinggi dari Presiden RI atas jasa-jasanya pada
nusa dan bangsa
 Tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai pencipta lambang Gajah Mada dan Panca
Darma Corps
 Tanda penghargaan Panglima Kostrad atas jasanya menciptakan Pataka Komando Cadangan
Strategis Angkatan Darat.
Biografi Jendral Abdul Haris Nasution. Beliau lahir di Kotanopan, Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara, 3 Desember 1918, Pria Tapanuli ini lebih menjadi seorang jenderal idealis yang
taat beribadat. Ia tak pernah tergiur terjun ke bisnis yang bisa memberinya kekayaan materi.
Kalau ada jenderal yang mengalami kesulitan air bersih sehari-hari di rumahnya, Pak Nas
orangnya. Tangan-tangan terselubung memutus aliran air PAM ke rumahnya, tak lama setelah
Pak Nas pensiun dari militer. Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, keluarga Pak Nas
terpaksa membuat sumur di belakang rumah. Sumur itu masih ada sampai sekarang.

Memang tragis. Pak Nas pernah bertahun-tahun dikucilkan dan dianggap sebagai musuh politik
pemerintah Orba. Padahal Pak Nas sendiri menjadi tonggak lahirnya Orba. Ia sendiri hampir jadi
korban pasukan pemberontak yang dipimpin Kolonel Latief. Pak Nas-lah yang memimpin sidang
istimewa MPRS yang memberhentikan Bung Karno dari jabatan presiden, tahun 1967.

Pak Nas, di usia tuanya, dua kali meneteskan air mata. Pertama, ketika melepas jenazah tujuh
Pahlawan Revolusi awal Oktober 1965. Kedua, ketika menerima pengurus pimpinan KNPI yang
datang ke rumahnya berkenaan dengan penulisan buku, Bunga Rampai TNI, Antara Hujatan dan
Harapan.

Apakah yang membuatnya meneteskan air mata? Sebagai penggagas Dwi Fungsi ABRI, Pak Nas
ikut merasa bersalah, konsepnya dihujat karena peran ganda militer selama Orba yang sangat
represif dan eksesif. Peran tentara menyimpang dari konsep dasar, lebih menjadi pembela
penguasa ketimbang rakyat.
Pak Nas memang salah seorang penandatangan Petisi 50, musuh nomor wahid penguasa Orba.
Namun sebagai penebus dosa, Presiden Soeharto, selain untuk dirinya sendiri, memberi gelar
Jenderal Besar kepada Pak Nas menjelang akhir hayatnya. Meski pernah “dimusuhi” penguasa
Orba, Pak Nas tidak menyangkal peran Pak Harto memimpin pasukan Wehrkreise melancarkan
Serangan Umum ke Yogyakarta, 1 Maret 1949.

BACA JUGA : Biografi Metallica

Jendral A.H Nasution Sebagai Peletak Dasar Perang Gerilya


melawan kolonialisme Belanda. Tentang berbagai gagasan dan konsep perang gerilyanya, Pak
Nas menulis sebuah buku fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare. Buku ini telah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, jadi buku wajib akademi militer di sejumlah
negara, termasuk sekolah elite bagi militer dunia, West Point Amerika Serikat (AS). Dan, Pak
Nas tak pernah mengelak sebagai konseptor Dwi Fungsi ABRI yang dikutuk di era reformasi.
Soalnya, praktik Dwi Fungsi ABRI menyimpang jauh dari konsep dasar.

Jenderal Besar Nasution menghembuskan nafas terakhir di RS Gatot Subroto, pukul 07.30 WIB
(9/9-2000), pada bulan yang sama ia masuk daftar PKI untuk dibunuh. Ia nyaris tewas bersama
mendiang putrinya, Ade Irma, ketika pemberontakan PKI (G-30-S) meletus kembali tahun 1965.
Tahun 1948, Pak Nas memimpin pasukan Siliwangi yang menumpas pemberontakan PKI di
Madiun.

Usai tugas memimpin MPRS tahun 1972, jenderal besar yang pernah 13 tahun duduk di posisi
kunci TNI ini, tersisih dari panggung kekuasaan. Ia lalu menyibukkan diri menulis memoar.
Sampai pertengahan 1986, lima dari tujuh jilid memoar perjuangan Pak Nas telah beredar.
Kelima memoarnya, Kenangan Masa Muda, Kenangan Masa Gerilya, Memenuhi Panggilan
Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orla. Dua lagi memoarya, Masa Kebangkitan Orba dan Masa
Purnawirawan, sedang dalam persiapan. Masih ada beberapa bukunya yang terbit sebelumnya,
seperti Pokok-Pokok Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid).

Profil Jendral A.H Nasution


Ia dibesarkan dalam keluarga tani yang taat beribadat. Ayahnya anggota pergerakan Sarekat
Islam di kampung halaman mereka di Kotanopan, Tapanuli Selatan. Pak Nas senang membaca
cerita sejarah. Anak kedua dari tujuh bersaudara ini melahap buku-buku sejarah, dari Nabi
Muhammad SAW sampai perang kemerdekaan Belanda dan Prancis.

BACA JUGA : Biografi Sultan Hassanal Bolkiah - Sultan Brunei Darussalam

Selepas AMS-B (SMA Paspal) 1938, Pak Nas sempat menjadi guru di Bengkulu dan Palembang.
Tetapi kemudian ia tertarik masuk Akademi Militer, terhenti karena invasi Jepang, 1942. Sebagai
taruna, ia menarik pelajaran berharga dari kekalahan Tentara Kerajaan Belanda yang cukup
memalukan. Di situlah muncul keyakinannya bahwa tentara yang tidak mendapat dukungan
rakyat pasti kalah.

Dalam Revolusi Kemerdekaan I (1946-1948), ketika memimpin Divisi Siliwangi, Pak Nas
menarik pelajaran kedua. Rakyat mendukung TNI. Dari sini lahir gagasannya tentang perang
gerilya sebagai bentuk perang rakyat. Mtode perang ini dengan leluasa dikembangkannya setelah
Pak Nas menjadi Panglima Komando Jawa dalam masa Revolusi Kemerdekaan II (948-1949).

Pak Nas muda jatuh cinta pada Johana Sunarti, putri kedua R.P. Gondokusumo, aktivis Partai
Indonesia Raya (Parindra). Sejak muda, Pak Nas gemar bermain tenis. Pasangan itu berkenalan
dan jatuh cinta di lapangan tenis (Bandung) sebelum menjalin ikatan pernikahan. Pasangan ini
dikaruniai dua putri (seorang terbunuh).

Pengagum Bung Karno di masa muda, setelah masuk di jajaran TNI, Pak Nas acapkali akur dan
tidak akur dengan presiden pertama itu. Pak Nas menganggap Bung Karno campur tangan dan
memihak ketika terjadi pergolakan di internal Angkatan Darat tahun 1952. Ia berada di balik
”Peristiwa 17 Oktober”, yang menuntut pembubaran DPRS dan pembentukan DPR baru. Bung
Karno memberhentikannya sebagai KSAD.

Bung Karno akur lagi dengan Pak Nas, lantas mengangkatnya kembali sebagai KSAD tahun
1955. Ia diangkat setelah meletusnya pemberontakan PRRI/Permesta. Pak Nas dipercaya Bung
Karno sebagai co-formatur pembentukan Kabinet Karya dan Kabinet Kerja. Keduanya tidak akur
lagi usai pembebasan Irian Barat lantaran sikap politik Bung Karno yang memberi angin kepada
PKI.

BACA JUGA : Biografi Daniel Swarovski - Penemu Kristal Swarovski

Namun, dalam situasi seperti itu Pak Nas tetap berusaha jujur kepada sejarah dan hati nuraninya.
Bung Karno tetap diakuinya sebagai pemimpin besar. Suatu hari tahun 1960, Pak Nas menjawab
pertanyaan seorang wartawan Amerika, ”Bung Karno sudah dalam penjara untuk kemerdekaan
Indonesia, sebelum saya faham perjuangan kemerdekaan”.?

Gaya hidup bersahaja dibawa Jenderal Besar A.H. Nasution sampai akhir hayatnya, 6 September
2000. Ia tak mewariskan kekayaan materi pada keluarganya, kecuali kekayaan pengalaman
perjuangan dan idealisme. Rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, tetap tampak kusam, tak
pernah direnovasi. Namun Tuhan memberkatinya umur panjang, 82 tahun. Biografiku.com

Biodata Jendral Abdul Haris Nasution


Nama: Abdul Haris Nasution
Pangkat: Jenderal Bintang Lima
Lahir : Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918
Meninggal: Jakarta, 6 September 2000
Agama : Islam
Istri: Ny Johanna Sunarti
Pendidikan :

 HIS, Yogyakarta (1932)


 HIK, Yogyakarta (1935)
 AMS Bagian B, Jakarta (1938)
 Akademi Militer, Bandung (1942)
 Doktor HC dari Universitas Islam Sumatera Utara, Medan (Ilmu Ketatanegaraan, 1962)
 Universitas Padjadjaran, Bandung (Ilmu Politik, 1962)
 Universitas Andalas, Padang (Ilmu Negara 1962)
 Universitas Mindanao, Filipina (1971)

Karir :

 Guru di Bengkulu (1938)


 Guru di Palembang (1939-1940)
 Pegawai Kotapraja Bandung (1943)
 Dan Divisi III TKR/TRI, Bandung (1945-1946)
 Dan Divisi I Siliwangi, Bandung (1946-1948)
 Wakil Panglima Besar/Kepala Staf Operasi MBAP, Yogyakarta (1948)
 Panglima Komando Jawa (1948-1949)
 KSAD (1949-1952)
 KSAD (1955-1962)
 Ketua Gabungan Kepala Staf (1955-1959)
 Menteri Keamanan Nasional/Menko Polkam (1959-1966)
 Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1962-1963)
 Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1965)
 Ketua MPRS (1966-1972)

Anda mungkin juga menyukai