Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Khususnya karakter yang bermartabat yang bernuansa spiritual, dalam wilayah postitive
psycology merupakan faktor yang sangat penting sebagai dasar kepribadian yang utuh dalam
melandasi perilaku manusia menuju kehidupan yang lebih baik dalam memperoleh
kebahagiaan lahir batin di dunia dan akhirat. Keadaan ini diangkat sebagai kasus di
Indonesia berdasarkan pembukaan UUD 1945 yang menyatakan "mencerdaskan kehidupan
bangsa dan turut serta menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial" yang menjadi karakter bangsa Indonesia. Perwujudan amanat
konstitusi ini membuat Indonesia menjadi pelopor kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia
dengan menyelenggarakan Konferesi Asia Afrika di Bandung tahun 1955.
Sekarang hampir seluruh negara di dunia sudah merdeka. Indonesia dengan politik luar
negeri yang bebas aktif berarti Indonesia ingin menjalin hubungan baik dalam melaksanakan
perdamaian abadi dan bermitra sejajar yang adil dengan negara-negara di dunia. Dalam
perjalanan pembangunan tersebut banyak kemajuan yang telah dicapai, baik dalam
pembangunan fisik maupun pendidikan.
Untuk mewujudkan itu semua tentunya masyarakat Indonesia harus bersama-sama
mengabdi dan menjadi warga negara yang berkarakter serta mempunyai prinsip
kemasyarakat yang kuat. Indonesia merupakan negara yang multikultur dengan segala
keindahan potensi wilayahnya. Namun bukan berarti ini semua mudah untuk menghadapi
perbedaan ini. meski Indonesia telah memiliki semboyan yang mengikat kuat yaitu
Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan ini menyatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke,
tapi ada saja permasalahan yang berkaitan dengan kultur, perbedaan pendapat dan lain
sebagainya yang memicu perpecahan. Untuk itu perlu lah ditanamkan nilai
Kebajikan/Kebaikan agar mampu mencapai masyarakat yang bermartabat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Kebajikan/Kebaikan ?
2. Bagaimana Konsep Kebajikan/Kebaikan ?
3. Bagaimana dampak dari Kebajikan/Kebaikan ?
4. Apa yang dimaksud dengan masyarakat bermartabat ?
5. Bagaimana muwujudkan nilai Kebajikan menuju masyarakat bermartabat?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Kebajikan/Kebaikan.
2. Untuk mengetahui konsep Kebajikan/Kebaikan.
3. Untuk mengetahui dampak dari Kebajikan/Kebaikan.
4. Untuk mengetahui arti masyarakat bermartabat.
5. Untuk mengetahui bagaimana mewujudkan nilai Kebajikan menuju masyarakat
bermartabat.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Kebajikan/Kebaikan


Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, good
dalam bahasa Inggris. Louis Ma’luf dalam kitabnya Munjid, mengatakan bahwa yang disebut
baik adalah sesuatu yan telah mencapai kesempurnaan. Sementara itu dalam Webster’s New
Twentieth Country Dictionari, mengatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang
menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian dan seterusnya.
Selanjutnya yang baik itu juga adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai
yang diharapkan, yang memberikan kepuasan. Yang baik itu dapat juga berarti sesuatu yang
sesuai dengan keinginan. Dan yang disebut baik dapat pula berarti sesuatu yang
mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia. Dan ada pula pendapat
yang mengatakan bahwa secara umum bahwa yang disebut baik atau kebaikan adalah
sesuatu yang diinginkan, yang diusahakan dan yang menjadi tujuan manusia. Tingkah laku
manusia adalah baik, jika tingkah laku tersebut menuju kesempurnaan manusia. Kebikan
disebut nilai, apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang kongkrit. (El Fikri,
Fauzan :2012)

Beberapa kutipan tersebut diatas menggambarkan bahwa yang disebut baik atau kebaikan
adalah sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan,dan
disukai manusia. Definisi kebaikan tersebut terkesan athroposentris, yakni memusat dan
bertolak dari sesuatu yang menguntungkan dan membahagiakan manusia. Pengertian baik
yang demikian tidak ada salahnya karena fitrah manusia memang menyukai hal-hal yang
menyenangkan dan membahagiakan dirinya. Kesempurnaan, keharuan, kepuasan,
kesenangan, kesesuaian, kebenaran, kesesuaian dangan keinginan, untuk mendatangkan
rahmat, memberikan perasaan senang dan bahagi dan yang sejalan dengan itu adalah
merupakan sesuatu yang dicari dan diusahakan manusia, karena semuanya itu dianggap
sebagai yang baik atau mendatangkan kebaikan bagi dirinya.

Beberapa definisi tersebut memberikesan bahwa sesuatu yang disebut baik atau buruk itu
relatife sekali, karena tergantung pada pandangan dan penilaian masing-masing yang
merumuskanya dengan demikian nilai baik atau buruk menurut pengertian tersebut bersifat
subyektif, karena tergantung individu yang menilainya.

2.1.1 Penentuan Baik Dan Buruk

Sejalan dengan pemikiran manusia, berkembang pula patokan yang digunakan orang
dalam menentukan baik da buruk. Keadaan ini menurut poedjawijatna rapat dengan
pandangan filsafat tentang manusia (antropologia metafisika) dan ini tergantung pula dari
metafisika pada umumnya. Poedjawijatna lebi lanjut menyebutkan sejumlah pandangan
filsafat yang digunakan dalam menilai baik dan buruk, yaitu hedonisme, utilitarianisme,
fitalisme, sosialisme, religiosisme dan humanisme. Sementara itu Asmaran As,
menyebutkanya sebayak empat aliran fisafat yaitu adat kebiasaan, hedonisme, intuisi dan
evolusi. Pembagian yang dikemukakan Asmaran As ini tampak sejalan dengan pendapat
ahmad amin yang membagi aliran menjadi empat, yaitu adat istiadat, hedonism,
utilitarianisme, evolusi.

Beberapa kutipan tersebut diatas tampak saling melengkapi dan dapat disimpulkan bahwa
diantara aliran-aliran filsafat yang mempengaruhi dalam penentuan baik dan buruk ini adalah
aliran adat istiadat(sosialisme), hedonism, intuisisme (humanism), utilitarianisme,
vitalisme,religiousisme, dan evolusisme. Dengan merujuk kepada berbagai kutipan tersebut
diatas beberapa aliran filsafat yang mempengaruhi pemikiran akhlaq tersebut dapat
dikemukakan secara ringkas sebagai berikut:

1. Baik Buruk Menurut Aliran Adat Istiadat ( sosialisme)

Menurut aliran ini baik dan buruk ditentukan berdasarkan adat istiadat yang
berlaku dan ditentukan berdasarkan adat istiadat yang berlaku dan dipegang teguh oleh
masyarakat. Orang yang mengikuti dan berpegang teguh pada adat dipandang baik dan
orang yang menentang dan tidak mengikuti adat istiadat dipandang buruk, dan kalau
perlu dihukum secara adat.

Adat istiadat selanjutnya disebut pula sebagai pendapat umum, Ahmad Amin
mengatakan bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai adat istiadat yang tertentu dan
menganggap baik bila mengikutinya,mendidik anak-anaknya sesuai dengan adat iastiadat
itu, dan menanamkan perasaan kepada mereka, bahwa adat istiadat itu akan membawa
kepada kesucian,sehingga apabila seseorang menyalahi adat istiadat itu sangat dicela dan
dianggap keluar dari golongan bangsanya.

2. Baik dan Buruk Menurut Aliran Hedonisme

Aliran hedonisme adalah aliran filsafat yang terhitung tuah, karena berlatar pada
pemikiran filsfat Yunani, khususnya pemikiran filsafat Epicurus (341-270 SM), yang
selanjutnya dikembangkan oleh cyrenics sebagaimana telah diuraikan diatas, dan
belakangan ditumbuh kembangkan freud.

Menurut paham ini banyak yang disebut perbuatan yang banyak mendatangkan
kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan nafsu biologis. Aliran ini tidak mengatakan bahwa
semua perbuatan mengandung kelezatan, melainkan adapula yang mendatangkan
kesedihan, dan apabila ia disuruh memilih manakah perbuatan yang harus
dilakukan,maka yang dilakukan adalah yang mendatangkan kelezatan. Epicurus sebagai
peletak dasar paham ini mengatakan bahwa kebahagiaan atau keezatan itu adalah tujuan
manusia.tidak ada kebaikan dalm hidup selain kelezatan dan tidak ada keburukan kecuali
penderitaan. Dan akhlaq itu tak lain dan tak bukan adalah berbuat untuk menghasilkan
kelezatan dan kebahagiaan serta keutamaan. Keutamaan itu tidak mempunyai nilai
tersendiri,tetapi nilainya terletak pada kelezatan yang menyertainya.

3. Baik dan Buruk Menurut Paham Intuisisme (humanisme)

Intuisi adalah merupakan kekuatan batin yang dapat menentukan sesuatu sebagai
baik atau buruk dengan sekilas tanpa melihat buah atau akibatnya. Kekuatan batin itu
disebut juga kata hati adalah merupakan potensi rohaniah yang secara fitrah yang ada
pada diri setiap orang. Paha mini berpendapat bahwa pada setiap manusia mempunyai
kekuatan instinct batin yang dapat membedakan baik dan buruk dengan sekilas pandang.
Kekuatan batin ini terkadang berbeda refleksinya, karena pengaruh masa dan lingkungan,
akan tetapi dasarnya ia tetap sama dan berakar pada tubuh manusia. Apabila ia melihat
sesuatu perbuatan ia mendapat semacam ilham yang dapat membertahu nilai perbuatan
itu, lalu menetapkan hukum baik dan buruknya. oleh karena itu, kebanyakan manusia
sepakat mengenai keutamaan seperti benar, dermawan, berani, dan mereka juga sepakat
menilai buruk terhadap perbuatan yang salah, kikir dan pengecut.

Kekuatan batin ini adalah kekuatan yang telah ada dalam jiwa manusia, tidak
terambil dari keadaan luarnya. Kita diberinya kemampuan untuk membedakan antara
baik dan benar, sebagai mana kita diberikan mata untuk melihat dan diberi telinga untuk
mendengar.

4. Baik dan Buruk Menurut Paham Utilitarianisme

Secara harfia utilis berarti berguna. Menurut paham ini bahwa yang baik adalah
yang berguna. Jika ukuran ini berlaku bagi perorangan, disebut individual, dan jika
berlaku bagi masyarakat dan Negara disebut social.

Paham penentuan baik buruk berdasarkan nilai guna ini mendapatkan perhatian
di masa sekarang. Dalam abad sekarang ini kemajuan dibidang teknik cukup meningkat,
dan kegunaanlah yang menentukan segala-galanya. Namun demikian paham ini
terkadang cenderung ekstrim dan melihat kegunaan hanya dari sudut pandang
materialistik. Orang tua yang sudah jompo misalnya semakin kurang dihargai, karena
secara material tidak ada lagi kegunaanya. Padahal kedua orang tua tetap berguna untuk
dimintakan nasihat dan doanya serta kerelaanya. Selain itu paham ini juga dapat
menggunakan apa saja yang dianggap ada gunanya.untuk memperjuangkan kepentingan
politik misalnya tidak segan-segan menggunakan fitnah, khianat, bohonh, tipu muslihat,
kekerasan, paksaan dan lain sebagainya, sepanjang semua yang disebutkan itu ada
gunanya.

Namun demikian kegunaan dalam arti bermanfaat yang tidak hanya berhubungan
dengan materi melainkan juga dengan yang bersifat rohani bias diterima. Dan kegunaan
bias juga diterima jika yang digunakan itu hal-hal yang tidak menimbulkan kerugian bagi
orang lain. Nabi misalnya menilai bahwa orang yang baik adalah orang yang member
manfaat pada yang lainnya, ( HR. Bukhari ).

5. Baik Buruk Menurut Paham Vitalisme


Menurut paham ini baik ialah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia.
Kekuatan dan kekuasaan yang menaklukkan orang lain yang lemah dianggap sebagai
yang baik. Paham ini lebih lanjut cenderung pada sikap binatang, dan berlaku hokum
siapa yang kuat dan menang itulah yang baik.

Paham vitalisme ini pernah dipraktekkan para penguasa di zaman feodalisme


terhadap kaum yamh lemah dan bodoh.dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki ia
mengembangkan pola hidup feodalisme, kolonialisme, dictator dan tiranik. Kekuatan dan
kekuasaan menjadi lambang dan status social untuk dihormati. Ucapan, perbuatan dan
ketetapan yang dikeluarkannya menjadi pegangan hidup masyarakat. Hal ini bias berlaku,
mengingat orang-orang yang lemah dan bodoh selalu mengharapkan pertolongan dan
bantuannya.

Dalam masyarakat yang sudah maju, di mana ilmu pengetahuan dan keterampilan
sudah mulai banyak dimiliki oleh masyarakat, paham vitalisme tidak akan mendapat
tempat lagi, dan digeser dengan pandangan yang bersifat demokratis.

6. Baik Buruk Menurut Paham Religiosisme

Menurut paham ini yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai dengan
kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan
kehendak Tuhan. Dalam pahan ini keyakinan teologis, yakni keimanan kepada tuhan
sangat memegang peranan penting, karena tidak mungkin orang mau berbuat sesuai
dengan kehendak Tuhan, jika yang bersangkut tidak beriman kepada-Nya. Menurut
Poedjawijatna aliran ini dianggap yang paling baik dalam praktek. Namun terdapat pula
keberatan terhadap aliran ini, yaitu karena ketidak umuman dari ukuran baik dan buruk
yang digunakannya.

Diketahuia bahwa di dunia ini terdapat bermacam-macam agama, dan masing-


masing agama menentukan baik buruk menurut ukurannya masing-masing. Agama Hindu,
Yahudi, Kristen dan islam, misalnya, masing-masing memiliki pandangan dan tolak ukur
tentang baik dan buruk yang satu dan lainnya berbeda-beda. Poedjawijatna mengatakan
bahwa pedoman itu tidak sama, malahan di sana- sini tampak bertentangan : misalnya
tentang poligami, talak dan rujuk, aturan makan dan minum, hubungan suami dan istri
dan sebagainya.

Di atas telah kami ajukan berbagai aliran dalam Etika dan itu belumlah semuanya.
Kami majukan beberapa saja, untuk menyatakan dengan jelas, bahwa soal baik dan
buruknya dalam tingkah laku manusia itu telah lama mrnjadi bahan renungan para ahli
pikir dan bahwa penyelesaiannya berhubungan erat dengan pandangan tentang manusia.
Betapa tidak, sebab yang menjadi obyek penelaahan itu tidak lain dari pada tindakan
manisia. Kami masih memajukan aliran yang berikut ini serta akan kami ajukan
alasannya, sebab menurut hemat kami aliran ini memenuhi syarat yang kami tuntut di
atas : umum dan obyektif.

7. Baik Buruk Menurut Paham Evolusi ( Evolution )

Mereka yang mengikuti paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di
ala mini mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju kepada
kesempurnaanya. Pendapat seperti ini bukan hanya berlaku pada benda-benda yang
tampak, seperti binatang, manusia, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi juga berlaku pada benda
yang tak dapat dilihat atau diraba oleh indera, seperti akhlak dan moral.

Herbert Spencer ( 1820-1903 ) salah seorang ahli filsafat Inggris yang


berpendapat evolusi ini mengatakan bahwa perbuatan akhlak itu tumbuh secara sederhana,
kemudian berangsur meningkat sedikit demi sedikit berjalan ke arah cita-cita yabg
dianggap sebagai tujuan. Perbuatan itu baik bila dekat dengan cita-cita itu dan buruk bila
jauh dari padanya. Sedang tujuan manusia dalam hidup ini ialah mencapai cita-cita atau
paling tidak mendekatinya sedikit mungkin.

Cita-cita manusia dalam hidup ini – menurut paham ini – adalah untuk mencapai
kesenangan dan kebahagiaan. Kebahagiaan di sini berkembang menurut keadaan yang
mengelilinginya. Dapat dilihat bahwa perbuatan manusia terkadang sesuai dengan
keadaan yang mengelilinginya, maka hidupnya akan senang dan bahagia. Oleh karena itu
menjadi keharusan untuk mengubah dirinya menurut keadaan yang ada di sekelilingnya,
sehingga dengan demikian sampailah ia kepada kesempurnaan atau kebahagiaan yang
menjadi tujuannya.
Tampaknya bahwa Spencer menjadikan ukuran perbuatan manusia itu ialah
mengubah diri sesuai dengan keadaan yang mengelilinginya. Suatu perbuatan dikatakan
baik bila menghasilkan lezat dan bahagia dan ini bisa terjadi bila cocok dengan keadaan
di sekitarnya. Dalam sejarah paham evolusi, Darwin ( 1809-1882 ) adalah seorang ahli
pengetahuan yang paling banyak mengemukakan teorinya. Dia memberikan penjelasan
tentang paham ini dalam bukunya The Origin of Species. Dikatakan bahwa
perkembangan alam ini didasari oleh ketentuan-ketentuan berikut :

1) Ketentuan alam ( selection of nature )

2) Perjuangan hidup ( struggle for life )

3) Kekal bagi yang lebih pantas ( survival for the fit test )

Yang dimaksud dengan ketentuan alam adalah bahwa ala mini menyaring segala
yang maujud (ada) mana yang pantas dan bertahan akan terus hidup, dan mana yang tidak
pantas dan lemah tidak akan bertahan hidup.

Berdasarkan cirri-ciri hukum alam yang terus berkembang ini dipergunakan untuk
menentukan baik dan buruk. Namun ikut sertanya berubah dan berkembangnya ketentuan
baik buruk sesuai dengan perkembangan ala mini akan berakibat menyesatkan, karena
ada yang dikembangkan itu boleh jadi tidak sesuai dengan morma yang berlaku secara
umum dan telah diakui kebenarannya.

2.1.2 Sifat Dari Baik Dan Buruk

Sifat dan corak baik buruk yang didasarkan pada pandangan filsafat sebagaimana
disebutkan di atas adalah sesuai dengan sifat dari filsafat itu sendiri, yakni berubah, relatif
nisbi dan tidak universal. Dengan demikian sifat baik atau buruk yang dihasilkan
berdasarkan pemikiran filsafat tersebut menjadi relative dan nisbi pula, yakni dan buruk
yang dapat terus berubah. Sifat baik buruk yang dikemukakan berdasarkan pandangan
tersebut sifanya subyektif, lokal dan temporal. Dan oleh karenanya nilai baik dan buruknya
itu sifatnya relative.
Untuk itu perlu ada suatu ketentuan baik dan buruk yang didasarkan pada nilai-nilai yang
universal. Uraian tersebut di atas sebagian ada yang menunjukkan ke universalan, yaitu
penentuan baik dan buruk yang didasarkan pada pandangan intuisisme sebagaimana telah
diuraikan di atas. Namun demikian bagaimanapun intuisi itu tetap saja tidak semutlak wahyu
yang datang dari Allah. Sifat dari baik dan buruk yang demikian itu tetap berguna sesuai
dengan zamannya, dan ini dapat dimanfaatkan untuk menjabarkan ketentuan baik dan buruk
yang terdapat dalam ajaran akhlak yang bersumber dari ajaran islam sebagaimana akan
diuraikan di bawah ini.

2.1.4 Baik Dan Buruk Menurut Ajaran Islam

Ajaran islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah SWT. Al-Qur’an yang
dalam penjabarannya dilakukan oleh hadis Nabi Muhammad SAW. Masalah akhlak dalam
ajaran Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar sebagaimana telah diuraikan
pada bagian terdahulu. Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan
pada petunjuk al-Qur’an dan al-hadis. Jika kita perhatikan al-Qur’an maupun hadis dapat
dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada baik, dan ada pula istilah yang mengacu
kepada yang buruk. Di antara istilah yang mengacu kepada yang baik misalnya al-hasanah,
thayyibah, khaira ,karimah, mahmudah, azizah dan al-birr.

Al-hasanah sebagaimana dikemukakan oleh Al-Raghib ai-Asfahani adalah istilah yang


digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Al
hasanah selanjutnya dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama hasanahdari segi akal,kedua
dari segi hawa nafsu / keinginan dan hasanah dari segi pacaindera. Lawan dari al-
hasanah adalah al-sayyiah. Yang termasuk al-hasanah misalnya keuntungan, kelapangan
rezeki dan kemenangan. Sedangkan yang termasuk ai-sayyiah misalnya kesempitan,
kelaparan dan keterbelakangan. Pemakaian kata al-hasanah yang demikian itu misalnya kita
jumpai pada ayat yang artinya : Ajaklah manusia menuju Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik (QS.al-Nahl,16:125), Barang siapa yang mendatangkan kebaikan, maka
baginya kebaikan. (QS. Al-Qashash, 28:84)

Adapun kata al-thayyibah khusus digunakan untuk mengambarkan sesuatu yang


memberikan kelezatan kepada pancaindera dan jiwa, seperti makanan, pakaian, tempat
tinggal dan sebagainya. Lawannya adalah al-qabihah artinya buruk. Hal ini misalnya
terdapat pada ayat yang artinya: Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah
dari makanan yang baik-baik yang kami berikan kepadamu. (QS.al-Baqarah, 2:57)

Selanjutnya kata al-khair digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang baik oleh seluruh
umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan dan segala sesuatu yang bermanfaat.
Lawannya adalah al-syarr. Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang artinya : Barang siapa
yang melakukan sesuatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha
Mensyukuri kebaikan lagi Mengetahui. (QS.al-Baqarah, 2:158)

Adapun kata al-mahmudah digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang utama sebagai
akibat dari melakukan sesuatu yang disukai Allah SWT. Dengan demikian kata al-
mahmudah lebih menunjukkan pada kebaikan yang bersifat batin dan spiritual. Hal ini
misalnya dinyatakan dalam ayat yang artinya: Dan dari sebagian malam hendaknya engkau
bertahajjud mudah-mudahan Allah akan mengangkat derajtmu pada tempat yang terpuji.
(QS. Al-Isra’ 17:79)

Selanjutnya kata al-karimah digunakan untuk menunjukkan pada perbuatan dan akhlak
yang terpuji yang ditampakkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Selanjutnya kata al-
karimah ini biasanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan terpuji yang sekalanya besar,
seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik pada kedua orang tua dan lain
sebagainya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qu’an yang artinya: Dan janganlah kamu
mengucapkan kata “uf-cis” kepada kedua orang tua, dan janganlah membentaknya, dan
ucapkanlah pada keduanya ucapan yang mulia. (QS. Al-Isra’ 17:23).

2.2 Konsep Kebajikan/Kebaikan

Diketahui bahwa setiap masyarakat mengembangkan dan mengajarkan nilai-nilai


kebajikan secara turun temurun. Dalam hal ini nilai-nilai kebajikan ada yang bersifat
universal dan ada yang bersifat spesifik sesuai dengan konteks budaya tertentu (Oudenhoven,
Raad, Timmerman, Askevis-Leherpeux, Boski, Carmona, Choubisa, Domingusez, Bye,
Kurylo, Lahmann, Mastor, Selenko, Slezackova, Smith, Tip, & Yik, 2014). Dengan kata lain,
masing-masing suku bangsa maupun kelompok etnis mungkin mengembangkan kebajikan
yang berbeda dimana nilai kebajikan tertentu lebih menonjol pada kelompok
suku/bangsa/etnis tertentu dibandingkan yang lain (Seligman dalam Dede Fitriana Anatassia,
dkk :2015). Penelitian yang dilakukan pada beberapa kelompok budaya dalam peradaban
manusia kemudian melahirkan beberapa klasifikasi mengenai nilai-nilai kebajikan. Salah
satunya adalah klasifikasi enam nilai kebajikan oleh Peterson (Seligman dalam Dede Fitriana
Anatassia, dkk :2015)Menurut mereka, nilai-nilai kebajikan diklasifikasikan dalam enam
nilai yaitu kebijaksanaan (wisdom), keberanian (courage), kebaikan hati (humanity), keadilan
(justice), kesabaran (temperance) dan kesalihan (transcendence).

Sebagai salah satu dari nilai kebajikan, kebijaksanaan dan pengetahuan dapat diterangkan
sebagai kekuatan kognitif yang berkaitan dengan proses pemerolehan dan penggunaan
pengetahuan (Peterson and Seligman, 2004; Kramer, 2000; Shryack, Steger, Krueger, &
Kallie, 2010; Oudenhoven, Raad, Carmona, Helbig, & Linden, 2012). Salah satu nilai
kebajikan dalam kebijaksanaan dapat dilihat dari sejarah peradaban Buddha yang memiliki
dua elemen penting dalam hidup yaitu kebijaksanaan dan etika (Walshe, 1995) dalam jurnal
(Dede Fitriana Anatassia, dkk :2015).. Sementara pada masyarakat China kuno,
kebijaksanaan dan kecerdasan merupakan salah satu prinsip dasar confician yang dikenal
dengan nama zhi (Dahlsgaard, Peterson, & Seligman, 2005) dalam Dede Fitriana Anatassia,
dkk (2015).

Selain kebijaksanaan, keberanian adalah nilai-nilai kebajikan yang dimiliki oleh berbagai
kelompok budaya, meskipun nilai keberanian tidak konsisten muncul dalam peradaban
manusia (Dahlsgaard, dkk, 2005 dalam Dede Fitriana Anatassia, dkk : 2015). Keberanian
diperlukan sebagai kekuatan emosional untuk mencapai tujuan dalam menghadapi tantangan,
baik eksternal maupun internal (Peterson & Seligman, 2004 dalam Dede Fitriana Anatassia,
dkk:2015). Selain itu, keberanian merupakan kekuatan intelektual dalam menghadapi
berbagai tantangan dalam kehidupan (Baehr, 2013; Shryack, dkk, 2010; Fowers, 2014 dalam
Dede Fitriana Anatassia, dkk (2015). Salah satu nilai kebajikan yang erat kaitannya dengan
relasi interpersonal adalah kebaikan hati.

Kebaikan hati merupakan kekuatan dalam relasi interpersonal yang berhubungan dengan
keinginan untuk merawat dan membangun persahabatan dengan orang lain (Peterson &
Seligman, 2004 dalam Dede Fitriana Anatassia, dkk:2015). Dalam beberapa penelitian nilai
kebajikan ini diistilahkan berbeda, seperti empati (Cawley, Martin, & Johnson, 2003),
kebaikan (kind) (Fowers, 2014), dan belas kasih (compassion) (Haidt & Joseph, 2004). Nilai
kebajikan yang berkaitan dengan komitmen pada komunitas adalah keadilan (Fowers, 2014,
Shryack dkk, 2010; Oudenhoven dkk, 2012).

Keadilan merupakan kekuatan masyarakat yang mendasari terwujudnya kehidupan


bermasyarakat yang sehat. Keadilan menjadi salah satu prinsip dasar ajaran confucian, yaitu
yi yang berarti kesetaraan/keadilan (Dahlsgaard, dkk, 2005) dalam Dede Fitriana Anatassia,
dkk (2015). Nilai kebajikan selanjutnya adalah kesabaran. Nilai kebajikan ini merupakan
kekuatan yang berkaitan dengan pemaafan dan belas kasih (Peterson & Seligman, 2004
dalam Dede Fitriana Anatassia, dkk:2015). Dalam ajaran Buddha, nilai kebajikan ini disebut
upeksa yang berarti ketenangan (Dahlsgaard, dkk, 2005) dalam Dede Fitriana Anatassia, dkk
(2015). Nilai kebajikan ini merupakan nilai menjaga diri untuk tetap tenang, tabah,
menerima dan berdamai dengan segala permasalahan baik dengan orang lain maupun dengan
dunia (Cawley dkk, 2003 dalam Dede Fitriana Anatassia, dkk : 2015).

Di dalam ajaran Islam, Quraish Shihab di dalam Tsfsir Al Misbah, kesabaran memiliki
makna dasar menahan dan dalam kajian psikologi, kesabaran dalam Islam bermakna
kemampuan untuk menahan emosi, pikiran, perkataan, dan perbuatan yang bertujuan untuk
kebaikan namun tetap taat pada aturan (El Hafiz, dkk : 2013). Sementara nilai kebajikan yang
berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan adalah kesalihan. Menurut Peterson &
Seligman: 2004 ( dalam Dede Fitriana Anatassia, dkk (2015), kesalihan merupakan kekuatan
yang membentuk hubungan individu dengan alam semesta dan memberikan makna dalam
kehidupan individu. Nilainilai kesalihan dapat bersumber dari ajaran/kebudayaan, seperti
ajaran Tao (Dahlsgaard, dkk:2005 dalam Dede Fitriana Anatassia, dkk 2015), maupun agama
(Schnall: 2014, dalam Dede Fitriana Anatassia, dkk : 2015).

Nilai-nilai kebajikan adalah karakteristik dasar yang dinilai oleh filsuf moral dan cendikia
agama. Sebagai tema yang awalnya banyak dikembangkan dalam kajian filsafat, oleh para
filsuf nilai- nilai kebajikan diyakini bersifat stabil dan reliabel dan derivasi nilai kebajikan ini
lebih tepat disebut sebagai karakter (Annas, 2003; Fowers, 2012) dalam Dede Fitriana
Anatassia, dkk (2015). Menurut Dahlsgaard, dkk (2005), setiap nilai kebajikan terwujud
dalam karakter utama yang bisa diadopsi setiap manusia dan dituangkan dalam perilaku
sehari-hari.

Karakter utama adalah proses dan mekanisme psikologis yang mendefinisikan nilai-nilai
kebajikan. Kebajikan yang hidup dalam masyarakat selanjutnya akan dianut oleh individu-
individu dengan ‘mengikat’ diri (self) mereka dengan nilai-nilai ‘kebaikan’ dan ‘hal-hal yang
dianggap baik’. Namun demikian, pendapat lain menyatakan nilai-nilai kebajikan dalam
Psikologi lebih tepat dibahas dengan pendekatan kepribadian bukan karakter. Allport (1937)
menyatakan bahwa karakter adalah istilah yang lebih relevan dengan kajian etika
dibandingkan kajian Psikologi. Karakter dievaluasi melalui kepribadian, sementara
kepribadian berasal dari karakter (Cawley, dkk, 2000) dalam Dede Fitriana Anatassia, dkk
(2015).

Manifestasi dari nilai kebajikan dapat terwujud dalam berbagai bentuk, tergantung dari
konteks sosial (Benkler & Nissenbaum: 2006 dalam Dede Fitriana Anatassia, dkk : 2015). Hal
ini menjelaskan bahwa konteks sosial tertentu akan memicu munculnya nilai kebajikan tertentu.
Kondisi ini menjadi perdebatan yang menarik. Kaum situasionis menyatakan betapa besarnya
peran situasi dalam menentukan nilai kebajikan yang akan muncul, sementara filsuf kebajikan
kuno menegaskan bahwa nilai kebajikan bersifat konsisten dan ajeg. Dengan kata lain, nilai
kebajikan tidak bergantung dari situasi atau konteks sosial dimana individu berada (Kamtekar,
2004; Jost & Jost, 2009) dalam Dede Fitriana Anatassia, dkk (2015). Jika seorang individu
memiliki nilai kejujuran, maka menurut filsuf kebajikan kuno, dalam situasi apa pun individu
tersebut akan berkata dan berperilaku jujur, sementara kalangan psikologi sosial menyatakan
belum tentu individu yang memiliki nilai kejujuran mampu menampilkan perilaku jujur dalam
setiap ti ngkah laku di berbagai situasi.

2.2.1 Kebajikan menurut Aristoteles dan Plato

Aristoteles (383 – 322 SM) memberikan kerangka tentang teori kebajikan. Menurutnya,
kebajikan adalah kebiasaan baik yang kita punyai, yang mengatur emosi kita. Yang lahir
dari dalam hati dan diri yang tulus untuk melakukan perbuatan yang baik dan tidak
menyimpang (E.Sumaryono : 2002). Misalnya, sebagai respon terhadap rasa takut alamiah
yang kita miliki, kita harus mengembangkan nilai kebajikan dari keberanian yang membuat
kita tetap tangguh ketika menghadapi bahaya. Dengan melakukan analisis terhadap 11 nilai
kebajikan khusus. Aristoteles menyetakan bahwa kebanyakan nilai kebajikan berada di
tengah – tengah garis sifat karakter yang ekstrim. Sehubungan dengan keberanian, misalnya,
jika kita tidak memiliki keberanian yang cukup, maka sebagai hasilnya kita mengembangkan
kecenderungan kepengecutan yang merupakan watak buruk. Sebaliknya jika kita terlalu
berani, maka kita mengembangkan kecenderungan gegabah yang juga merupakan watak
buruk. Menurut Aristoteles, tidaklah mudah untuk menemukan garis tengah yang sempurna
di antara sifat karakter yang ekstrim. Secara factual, kita membutuhkan bantuan penalaran
dalam melakukannya.

Berdasarkan sejarah, teori kebajikan merupakan tradisi normative tertua di dunia filsafat
barat, yang berakar pada peradaban kuno Yunani, Plato (427 – 347 SM) menekankan
pentingnya empat kebajikan khusus, yang kemudian disebutnya kebajikan utama (cardinal
virtues), dimana dalam kebajikan utama ini terdapat makna dan pesan di dalamnua yakni
yang pertaman kebijaksanaan (wisdom), dimana dalam sebuah kebajikan atau tidakan
kebajikan yang paling utama adalah bijaksana, bijaksana dalam melakukan sesutu, bijaksana
dalam akal budinya dan dapat menghadapi kesulitan dan bertindak dalam memikirkan sebab
akibat, maka dari itu kebijaksanaan merupakan pilar dalam kebajikan pada suatu individu
atau perorangan.

Yang kedua adalah keberanian (courage), dimana keberanian ini merupakan salah satu
kunci dalam sifat kebajikan atau prilaku kebajikan dimana berani disini dalam artian berani
melawan rasa ketakutan pada diri sendiri dan mencoba mengalahkan rasa takut pada diri
sendiri terhadap susuatu yang terjadi yang akan di hadapinya. Dalam artian kebajikan
keberanian (courage) adalah harus berani melawan rasa taukut akan ketakutan diri sendiri
akan kegagalan yang akan di dapatkan, dan harus optimis akan apapun usaha yang kita akan
lakukan. Krtika kita berfikir bahwa kita akan gagal melawan rasa takut dari sebuah masalah
konsep keberanian kita akan menurun dan menghilang, maka dari itu harus ada keberanian
dalam berfikir untuk melawan rasa taukut dan optimis dalam diri dan keberanian dalam
berfikir kita akan tumbuh dan harus di barengi dengan hati untuk menggerakkan diri dalam
berbuat kebajikan.
Yang ketiga adalah kesederhanaan (temperance), Kesederhanaan memiliki arti dan
manfaat yang luar biasa sebagai energi kehidupan. Energi untuk bertahan, energi untuk
memberi dan berbagi, serta energi untuk mensyukuri hidup itu sendiri. Tidak mudah
memang untuk menerapkan kesederhanaan dalam diri dan kehidupan kita sehari-hari. Saya
sendiri masih harus dan terus belajar memaknai, menghayati dan menerapkannya dalam
keseharian. Sederhana tidak berarti hidup dalam kesengsaraan, kemiskinan, kemelaratan dan
serba kekurangan. Kesederhanaan merupakan pola pikir dan pola hidup yang proporsional,
tidak berlebihan dan mampu memprioritaskan sesuatu yang lebih dibutuhkan.
Kesederhanaan ialah kemampuan untuk ikhlas menerima yang ada, berusaha untuk berlaku
adil dan bersyukur. Jadi dalam kebajikan sifat sederhana menjadi salah satu penyokong
dalam Kebajikan dimana dengan sifat sederhana maka seseorang akan memiliki sikap hidup
yang bijak dan juga kebahagian dan ketentraman hati.

Yang ke empat adalah keadilan (justice), dalam hal keadilan apabila kebijaksanaan,
keberanian dan kesederhanaan sudah berjalan dan melekat pada diri seseorang atau individu
maka keadilan akan membarengi pada diri individu tersebut, keadilan disini di maksud
adalah adil dalam tersebut adalah dapat adil untnuk diri sendiri terlebih dahulu, kemudian
baru adil akan keluarga dan sekelilingnya, makna adil sendiri sangat luas cangkupannya.
Namun dalam kebajikan keadilan disini adalah ia mampu adil dalam menata hati dan
fikirannya agar sesuai dengan aturan-aturan Tuhan dan merasa tentram serta bahagia untuk
dirinya.

Nilai kebajikan lain yang penting juga meliputi keuletan, kedermawanan, harga diri,
kesabaran, dan keikhlasan. Sebagai tambahan untuk mendapatkan kebiasaan terhadap
karakter yang baik, penganut teori kebajikan menyatakan bahwa kita harus menghindari diri
dari sifat karakter yang buruk, atau watak dan keangkuhan. Teori kebajikan menekankan
pentingnya pendidikan moral, karena sifat karakter kebajikan harus dikembangkan selagi
muda. Karena dari generasi muda ini lah niali-nilai kebajikan jika akan di tularkan ke
genarasi-generasi muda laiinya kelak. Dengan demikian, orang dewasa bertanggung jawab
untuk mendidik kebajikan pada generasi muda.
2.2.2 Kebajikan menurut Thomas Aquinas

Menurut Thomas aquinas dalam (Sumaryono 2006 :173) Menyebut tujuh kebajikan yang
menjadi ciri karakteristik hidup yang baik. Empat di antaranya di ambil dari pandangan moral
yunani, dan tiga kebajikan lainnya di tambahkan thomas dengan maksud untuk menunjukan
tingkat moralitas yang tinggi. Keempat kebijakan yang di maksud adalah kebijaksanaan,
keadilan, keberanian, dan kesederhanaan hidup. Thomas menyebut keempat kebajikan ini
sebagai kebajikan utama, sebab kebajika-kebajikan lainnya biasanya di mengertii selalu
dalam hubungan dengan kebajikan ini. Tiga kebijakan laiinya yang di tambahkan pada
kebajikan utama itu adalah kebajikan teologis, yaitu iman, pengharapan dan cinta kasih.

Empat kebajikan utama yang di maksud thomas aquinas merupakan kebajikan yang
sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia dalam mencapai suatu kebenaran. Kebajikan
pertama bahwa kebijaksanan sendiri merupakan suatu jalan kebenaran yang ada pada diri
seseorang dan kebijaksanaan memberikan arah dalam menuntun kehidupan, karena
kebijaksanaan yang timbul dari iman dan pengetahuan mampu menuntun manusia untuk
berbuat baik. Dan kebajikan keadilan merupakan perbuatan yang sendiri lahir ketika
kebijaksanaan telah mampu di terapkan dalam hati dan pikiran serta keadilan menegaskan
pada kebenaran kesetaraan hak yang sama pada suatu kondisi yang sedang di alami oleh
seseorang sehingga tidak ada yang di rugikan, karena seseorang mempunyai harkat dan
martabat derajat yang sama di mata tuhan YME. Kebijakan ke dua mengenai Keadilan harus
di terapkan pada diri seseorang sebelum memberikan keadilan kepada orang lain,sebab
konsep keadilan sudah melekat pada masing masing seseorang tergantung apakah dia mampu
berbuat adil sesuai hati nurani atau di pengaruhi oleh alam sekitar. Karena keadilan
merupakan suatu perbuatan yang adil dan benar atas dasar persamaan dan kedudukan sesama
individu.

Kemudian Kebajikan ke tiga mengenai Keberanian merupakan suatu bentuk perlawanan


terhadap ketakutan pada diri sendiri dan mencoba mengendalikan ketakutan dan masalah yang
di hadapinya. Kemudian kebajikan keberanian, bahwa keberanian pada diri seseorang bukan
di peroleh melalui pengaruh orang lain akan tetapi pada diri sendiri, karena ketakutan terbesar
berasal pada diri sendiri dan bersumber dari pikiran yang di hantui ketakutan akan kegagalan.
Ketika kita berfikir bahwa kita akan gagal melawan rasa takut dari sebuah masalah maka
konsep keberanian kita akan menurun dan menghilang, oleh karenanya harus adanya
keberanian dalam berfikir untuk melawan rasa takut dan optimis akan kemenangan dengan
begitu keberanian dalam fikiran kita akan tumbuh dan harus di barengi dengan keberanian
hati yang tulus untuk menggerakan jiwa raga kita berbuat baik.

Kebajikan ke empat mengenai kesederhanaan hidup bahwa ketika kebijaksanaan,


keadilan dan keberanian sudah ada dalam diri seseorang maka akan muncul kesederhanaan
hidup itu sendiri. Kesederhanaan hidup merupakan kunci kebahagiaan dan menuntun
seseorang menerima keadaan serta berserah diri kepada sang ilahi. Karena ketika seseorang
mempunyai sifat yang hedon tentu saja akan berusaha untuk mencapai kesenangan diri tanpa
mau hidup sederhana, sifat seseorang yang tidak mau hidup sederhana akan merasa bahwa
hidup selalu penuh dengan kekurangan dan sulit mencapai kebahagiaan. Oleh karenanya
kesederhanaan hidup dimaknai sebagai kemewahan yang tersembunyi dalam hati, karena
ketika kita tak punya apa apa dan kita tak butuh apa-apa maka kita sudah kaya akan hidup dan
bahagia. Sehingga kesederhanaan hidup akan membuat seseorang selalu bersyukur atas
nikmat yang di berikan oleh sang pencipta.

Tiga kebajikan yang di maksud thomas aquinas mengenai iman, pengharapan dan cinta
kasih merupakan kebajikan penambah kesempurnaan dalam hidup. Iman merupakan anugrah
keyakinan dalam hati dan mampu mengendalikan hidup seseorang unuk berbuat kebajikan,
baik kebajikan perilaku hati maupun pikiran dan perilaku. Karena iman berarti kebenaran
yang yang sesuai dengan ajaran agama bukan kebenaran yang berasal dari manusia, karena
benar menurut individu satu belum tentu benar menurut indivi lain, akan tetapi benar menurut
agama tentu saja benar menurut manusia. Sehingga iman bentuk ketakwaan diri seseorang
terhadap keyakinan sang pencipta, dimana semakin percaya dan tabah keyakinan terhadap
sang pencipta serta berserah diri, maka semakin sempurna iman seseorang.

Kemudian kebajikan yang keenam mengenai pengharapan, bahwa pengharapan


merupakan suatu bentuk penantian yang baik terhadap sesuatu. Pengaharapan yang paling
utama adalah pengharapan terhdap tuhan, karena berharap kepada tuhan tidak akan mendapat
kekecewaan dan akan mendapat apa yang kita inginkan. Berbeda halnya ketika berharap
kepada manusi, pengharapan kepada manusia belum tuntu bisa menantikan yang baik.
Pengharapan yang besar kepada manusia hanya akan menimbulkan kebencian dan
kekecewaan, karena manusia tidak bisa memberikan segalanya. Pengharapan kepada sang
pencipta merupakan pengharapan yang sudah tentu baik dan mampu menuntun hidup yang
lebih baik, karena ketika sulit menerpa hanya harapan pula yang mampu menyelamatkanya.

Kemudian Kebajikan yang ke tujuh mengenai cinta kasih bahwa cinta paling utama harus
di berikan hanya untuk sang pencipta baru kemudian cinta kasih untuk ciptaannya. Ketika
individu mempunyai cinta kepada sang ilahi maka akan di berikan kasih sayang yang belum
pernah di rasakan oleh seseorang. Sebagai contoh bahwa ketika seseorang mencintai sang
pencipta dan di wujudkan dalam beribadah maka akan diberikan balasan yang luar biasa,
seperti di siapkannya surga akan tetapi ketika cinta kasih kepada sang pencipta tidak ada
maka yang akan di dapat hanyalah kesulitan hidup. Begitupun cinta kasih sesama manusia,
jika seseorang bisa memberikan cinta dan kasih terhadap sesama maka yang akan di dapat
adalah kebahagiaan dan ketentraman.

2.3 Dampak Kebajikan Dalam Landasan Pergaulan

Phenomena pergaulan bebas dan seks bebas dikalangan remaja sangatlah


mengkhawatirkan. Jika tidaklah berlebihan istilah “ moral panik” akan dipergunakan untuk
mendeskripsikan betapa buruknya pergaulan remaja sekarang ini. Istilah “ moral panik
“ diperkenalkan oleh Cohen pada tahun 1972 (Parker dkk : 2013 dalam Ningrum,Diah : 2015)
yang mendefinisikan sebagai kepanikan massa yang disebabkan oleh prilaku salah remaja.

Prilaku remaja yang jauh dari ajaran-ajaran agama, dalam hal ini agama Islam seperti;
seks bebas, hamil diluar nikah, aborsi, judi, minum-minuman keras, dan penggunaan narkoba
merupakan beberapa contoh prilaku remaja yang meresahkan masyarakat umumnya,
khusunya orang tua. Sifat remaja yang berani mengambil resiko (risk taker) atau faktor
keingintahuan remaja disinyalir menjadi penyebab prilaku sumbang tersebut. Tetapi sifat
remaja sebagai risk taker atau faktor keinginan tahu remaja bukanlah satu-satunya faktor yang
menyebabkan kemerosotan moral dikalangan remaja, faktor lingkungan, kemajuan teknologi,
serta orang tua yang tidak peduli dan tidak menanamkan ajaran-ajaran agama Islam kepada
anaknya memberikan kontribusi terhadap permasalahan ini. Menurut Al Ghazali di Nofal
( 1993), lingkungan membentuk manusia, dan tujuan dari lingkungan adalah melaksanakan
shari’a atau hukum-hukum Islam dan tujuan daripada manusia adalah untuk mencapai
kebahagian dengan mendekatkan diri Allah SWT.

Tetapi lingkungan dapat berubah menjadi buruk atau lebih buruk dimana kekuatan
individu tidak sebanding dengan kekuatan lingkungan. Merujuk pada apa yang telah
disampaikan oleh Al-Ghazali di Nofal (1993), dapat dikatakan betapa besarnya pengaruh
lingkungan terhadap anak dan remaja, hal ini konsisten dengan hasil yang di dapatkan dari
FGD bahwa faktor lingkungan seperti sekolah dan tempat anak bermain dapat menjadi
penyebab kerusakan moral pada anak.

Lingkungan yang buruk akan menyebabkan anak menjadi buruk, sedangkan lingkungan
yang baik akan menjadikan anak yang baik, yang pada hakikatnya tujuan dari lingkungan
adalah melaksanakan shari’a. Pada dasarnya, seorang anak cenderung akan memilih
lingkungan yang baik tempat dia bergaul apabila dia mendapatkan bimbingan dari orang tua.
Karena tugas dari orang tua adalah untuk mengawasi remaja didalam pergaulannya (Rachman,
2014 dalam Ningrum,Diah : 2015). Sayangnya, banyak orang tua yang tidak peduli terhadap
tugas dan tanggung jawabnya sehingga tidak menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-
anaknya. Komunikasi yang buruk antara orang tua dan anak dapat dijadikan indikasi betapa
orang tua tidak menjalankan tugasnya sebagai orang tua sebaik-baiknya.

Menurut Ulwan tahun 2012 (Ningrum,Diah (2015), seorang anak yang tidak
mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan bimbingan orang tua layaknya seperti anak yatim,
yang hidup terasing. Bahkan lebih parah karena akan meyebabkan kerusakan umat secara
keseluruhan. Menarik untuk disimak bahwa berdasarkan hasil FGD, faktor ketiadaan figur
ayah dalam mendidik anaknya juga dipercaya memperparah situasi permasalahan ini. Seorang
ayah yang hidupnya juga bergelimangan dosa dan penyimpangan yang hanya mengikuti hawa
nafsu saja akan menghasilkan anak yang tidak baik pula (Ulwan, 2012) dalam Ningrum,Diah
(2015).

Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa faktor orang tua juga
disebut sebagai penyebab kemerosotan moral remaja sekarang ini. Untuk itu, hasil ini
menjawab pertanyaan penelitian mengenai peran orang tua dalam peningkatan atau penurunan
kemerosotan moral dikalangan remaja. Dalam penelitian ini, orang tua didapati menjadi faktor
penyebab meningkatnya kasus kemerosotan moral dikalangan remaja.

Dikarenakan tugas dan tanggung jawab utama sebagai orang tua adalah mendidik
anakanaknya, maka sudah seharusnya orang tua memilih pola pengasuhan atau parenting style
yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anak mereka. Menurut Al-
Ghazali dalam Nofal (1993), ada dua parenting style dalam Islam; parenting style yang baik
dan parenting style yang tidak baik. Parenting style yang baik akan memberikan karakter yang
baik pada anak-anak dan membantu mereka hidup dijalan yang benar.

Sedangkan parenting style yang salah akan mengacaukan karakternya dan susah untuk
dibawa kembali ke jalan yang benar (Nofal, 1993). Ciri parenting style yang baik dalam Islam
adalah; mendidik dengan keteladanan, mendidik dengan kebiasaan, mendidik dengan nasihat,
serta mendidik dengan perhatian atau pengawasan. Selain itu, berdasarkan hasil FGD,
parenting style yang baik ditunjukan dengan komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik
akan memudahkan orang tua untuk menanamkan nilai-nilai agama kepada anaknya. Sehingga
akan tercipta kejujuran dan saling percaya antara orang tua dan anak. Selanjutnya, parenting
style yang baik melibatkan kedua belah pihak yakni kedua orang tua sehingga perkataan
ketiadaan figur ayah dalam mendidik anaknya tidak akan ditemukan. Penegakan disiplin juga
digunakan pada parenting style ini. Mengacu pada teori parenting style oleh Baumrind di
santrock (2010), parenting style yang dideskripsikan oleh FGD adalah authoritative parenting
dimana orang tua mempunyai permintaan dan responsif yang tinggi terhadap anak-anaknya.

Hal ini ditunjukkan dengan memberikan bimbingan pada anakanak dengan sikap yang
baik. Mereka meletakkan standar yang tinggi dan menerapkan kontrol yang tegas jika
bimbingan dari orang tua diperlukan. Orang tua ini juga memahami hak-hak individual
anaknya dengan memberikan penjelasan setiap tindakan dan disiplin yang diterapkan di
rumah. Setiap tindakan disiplin yang diambil lebih kepada tindakan supportive daripada
memberikan hukuman. Selain itu komunikasi yang baik serta dua arah sangat dianjurkan
(Carr, 2009). Namun, parenting style dalam lslam lebih luas cakupan dibandingkan teori
parenting ini, karena dalam islam parenting style yang digunakan bertujuan untuk
mendapatkan kebahagian dan kebaikan kehidupan anak-anak di dunia dan akhirat.
2.3.1 KEBAIKAN DALAM LANDASAN PERGAULAN

a. Masa remaja sebagai periode yang penting. Perkembangan fisik yang cepat dan penting
disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa
remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan
perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan. Dalam setiap periode peralihan, status individu
tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini
remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa. Kalauremaja berperilaku
seperti anak-anak, akan diajari untuk “bertindak sesuai umurnya.” Kalau remaja berusaha
berperilaku seperti orang dewasa, remaja sering kali dituduh “terlalu besar untuk
celananya” dan dimarahi karena mencoba bertindak seperti orang dewasa. Di lain pihak,
status remaja yang tidak jelas ini juga menguntungkan karena status memberi waktu
kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai
dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku
selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja,
ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga
berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku
menurun juga.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah. Karena ketidakmampuan untuk mengatasi sendiri
masalahnya menurut cara yang mereka yakini, banyak remaja akhirnya menemukan
bahwa penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas. Pada tahun awal masa remaja, penyesuaian
diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan. Lambat
laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puaslagi dengan menjadi sama
dengan teman-teman dalam segala hal, seperti sebelumnya.
f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan. Hal ini menimbulkan banyak
pertentangan dengan orang tua dan antara orang tua dan anak terjadi jarak yang
menghalangi anak untuk meminta bantuan orang tua untuk mengatasi perbagai
masalahnya.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Dengan bertambahnya pengalaman
pribadi dan pengalaman sosial, dan dengan meningkatnya kemampuan untuk berfikir
rasional, remaja yang lebih besar memandang diri sendiri, keluarga, temanteman dan
kehidupan pada umumnya secara lebih realistik. Dengan demikian, remaja tidak
terlampau banyak mengalami kekecewaan seperti ketika masih lebih muda. Ini adalah
salah satu kondisi yang menimbulkan kebahagiaan yang lebih besar pada remaja yang
lebih besar.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Dengan semakin mendekatnya usia
kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip (pelabelan)
belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa sudah hampir dewasa

1. Terjerumus Kepada Narkoba

Salah satu contoh dampak buruk pergaulan bebas bagi remaja dapat menimbulkan
pengaruh kepada obat – obatan seperti narkoba, obat penenang dan sebagainya. Remaja
yang cenderung ingin mencoba hal baru, jika tidak disaring dalam bergaul maka bisa saja
memilih teman yang salah. Jadi peran orangtua sangat penting dalam memilih teman dan
bergaul anak, untuk menghindari kenakalan remaja yang menyimpang. Contoh pengaruh
negatif kenakalan remaja dalam masyarakat disekitarnya.

2. Tawuran Remaja

Dampak positif dan negatif pergaulan bebas bagi remaja lain secara negatifnya
adalah remaja mudah terbawa kepada kenakalan remaja, seperti terjadi tawuran, bullying,
provokasi dan masih banyak lagi lainnya. Usia remaja memang rentan terhadap provokasi
dan isu yang tidak jelas kebenarannya, dan faktor emosi yang labil. Sehingga sangat
mungkin terjadi penyimpanangan kenakalan remaja karena salah dalam bergaul dan
terlalu bebas tanpa tahu batasan yang baik dan benar.

3. Seks Bebas

Dampak buruk lain dalam bergaul secara bebas bagi remaja yaitu bisa berdampak
kepada seks bebas, banyak remaja yang ingin mencoba dan ingin tahu mengenai hal
tersebut. Jika salah dalam memilih jalan dan pertemanan bisa saja remaja akan mencoba
melakukan hal tersebut, dan sudah pasti dampaknya sangat vatal. Selain ia akan terkucil
dalam status sekolahnya, terhina secara agama, kemarahan dari orangtua, juga penyakit
yang akan diderita sangat serius. Jadi peran orang tua sangat penting dalam pengawasan
setiap kegiatan anak remaja. Beberapa dampak psikologis akibat seks bebas yang wajib
orangtua ketahui.

4. Minuman Keras dan Rokok

Selain hal tersebut dampak buruk lain pergaulan bebas adalah terpengaruh kepada
minuman keras dan rokok. Katanya kalau tidak merokok apalagi mencoba minuman
keras tidak gaul bahkan dijauhi dari komunitas dan pergaulan. Padahal jika mereka
pandai memilih dan mengetahui apa dampak buruk hal tersebut tentu mereka akan
menjauhi hal yang membawa kepada petaka.

2.4 Pengertian Masyarakat Bermartabat

Manusia bermartabat di sini adalah seorang atau sekelompok manusia yang


disegani, dihormati, dijunjung, diperhitungkan, dan diakui keberadaannya oleh pihak
lain atau manusia lain (Saryono,Djoko:2017). Di samping itu, manusia bermartabat pada
umumnya senantiasa didengar pendapat-pendapatnya, dipakai pikiran dan pandangannya,
dirujuk tindakan-tindakannya, dan diteladani segala p erilakunya oleh manusia lain.
Sebagai contoh, para ulama, sahabat Rasul, lebih-lebih Rasulallah Muhammad saw
merupakan manusia-manusia bermartabat luar biasa atau paripurna yang tiada tara
dan tepermanai. Sedangkan yang dimaksud masyarakat bermartabat ialah warga negara yang
memiliki karakter baik dan diakui keberadaan nya. Menurut Ritaudin,M. Sidi (2014)
Masyarakat bermartabat adalah masyarakat yang memilki ketauhidan yang kokoh dan
pendidikan yang tinggi, sebagaimana disinyalir oleh Rasulullah saw. bahwa masyarakat
religious akan tercipta jika memilki ilmu pengetahuan. Masyarakat adil makmur akan
terwujud, jika masyarakatnya terdidik. Masyarakat sejahtera, juga akan tercapai jika
masyarakatnya selalu mengembangkan kualitas hidupnya dengan ilmu pengetahuan.

Dalam masa sekarang, manusia bermartabat atau kelompok manusia bermartabat itu
antara lain berkarakteristik sebagai berikut:

(a) memiliki keimanan dan ketakwaan serta akhlah yang kuat,

(b) memiliki kemampuan, keberanian, kejujuran, dan ketulusan untuk menyatakan segala
kebenaran demi kemaslahatan manusia lain;

(c) memiliki keotonoman, kemandirian, keberdikarian, keindependenan, dan daya saing


positif serta daya sanding yang baik dari pihak lain atau manusia lain;

(d) memiliki keberdayaan, keberkuasaan, kekuatan, dan kemampuan menentukan nasib


sendiri baik secara politis, geografis, ekonomis maupun sosial budaya;

(e) memiliki kemampuan memelopori dan mendorong kerja sama dan hubungan antar-
manusia,

(f) memiliki kemantapan, ketahanan, dan kelenturan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
teknologi;

(g) menguasai ilmu, teknologi, dan ekonomi yang berarti dan berguna bagi peningkatan
kemakmuran dan kesejahteraan seluruh warga manusia dan dunia;

(h) mampu memberikan sumbangan (kontribusi) penting bagi dunia dan kawasan tertentu,
misalnya perdamaian dunia dan kemajuan dunia; dan

(h) mampu mewujudkan keadilan, kemakmuran, demokrasi, dan hak asasi manusia baik bagi
siapa saja.

Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa manusia bermartabat selalu bermodalkan
karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi secara padu dan utuh sehingga bermaslahat
bagimanusia lain dan kehidupan bersama. Abad Pengetahuan yang sedang menjelang
memang tidak membutuhkan orang-orang yang hanya mempunyai kemampuan intelektual
tinggi, tetapi juga membutuhkan orang-orang yang mempunyai ciri karakter yang kuat,
berdaya sanding hebat, dan berdaya tahan tinggi – di samping spiritualitas dan religiositas
yang mantap. Dan masyarakat bermartabat dapat terwujud jika kita memiliki banyak nilai
karakter yang sudah dijelaskan diatas.

2.4 Mewujudkan nilai Kebajikan/Kebaikan menuju Masyarakat bermartabat

Indonesia merupakan negara yang multikultur, dengan segala keindahan dan


keberagamannya. Tak menjadikan Indonesia menjadi terpecah belah justru Indonesia
dibingkai dalam kesatuan tanah air yakni Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman ini tentu
memiliki tantangan yang cukup sulit bagi pemerintah dalam mengapai semua keberagaman,
memeluk smeua keberagaman agar tetap damai dan saling melindungi satu sama lain. Oleh
karena itu, perlu lah ditanamkan nilai-nilai karakter kebajikan/kebaikan untuk menuju
masyarakat yang bermartabat.

Disinyalir penyebab utama dan mendasar permasalahan ialah budaya, khususnya karakter
manusia bermartabat yang terabaikan (Soepandji, 2007). Bahkan Juwono Sudharsono
(Menhan RI) lebih keras lagi: budaya yang tertinggalkan (FORMOPPI, 2008). Budaya
khususnya karakter bangsa Indonesia yang bagaimana yang dapat membentuk karakter terpuji,
atau minimal mengurangi karakter yang tercermin dalam perilaku yang kurang terpuji?
Budaya adalah dinamika sistem nilai dalam berbagai dimensi kehidupan yang berlaku untuk
kurun waktu yang jauh ke depan sebagai hasil dan pedonam berperilaku (Engkoswara, 1999).
Indonesia sudah mempunyai budaya yang luhur yang terdapat dalam falsafah negara dan
pandangan hidup bangsa yang hebat, tidak diragukan seujung rambutpun ialah Pancasila.
Akan tetapi, secara praksis atau Pancasila in action dalam kehidupan sehari-hari belum jelas.
Sumbernya ialah pembukaan UUD 1945 karya faunding father yang kebal amandemen yang
jangan hanya dikeloni melainkan hendaknya dimaknai. Cuplikannya sebagai berikut “...
mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Orang awam bahkan para tokoh sering
berbicara: mencerdaskan kehidupan bangsa, titik sampai di sini. Ini kurang tepat bahkan
berbahaya. Orang cerdas tidak selamanya baik. Pembobol bank, koruptor, pembom,
pembunuh sadis mereka cerdas, tetapi sayang tidak mempunyai kalbu dan rasa. Memang ada
kecerdasan emosional, spiritual, kinestetis atau kebugaran dan estetika, tetapi baru substansi
dan belum menjadi praksis kompetensi kehidupan. Orang melupakan dinamika sistem nilai
atau budaya khususnya karakter bermartabat yang membingkainya ialah kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Mencermati kekuatan dan wibawa Pancasila yang
mendahulukan Ketuhanan Yang Maha Esa, urutannya menjadi budaya damai,
merdeka/mandiri, dan adil yang menjadi karakter bangsa bermartabat yang menjadi jati diri
bangsa berbudaya Pancasila yang merupakan harkat dan martabat manusia Indonesia.
Menurut Meirawan, Deny (2010) bahwa ada 3 (tiga) unsure utama dalam menghadapi dan
membangun masyarakat yang bermartabat yaitu Damai, mandiri, dan adil.

Damai diambil dari frasa perdamaian abadi yang berarti rukun, luyu, akur, laras, sabar,
dan tidak mau bertengkar, apa lagi berkelahi. Damai inti iman yang bersumber dari sila
Ketuhanan Yang Maha Esa (Engkoswara, 2004) dalam Meirawan,Deny (2010). Iman yang
membawa damai secara praksis dalam kehidupan ialah kehidupan yang bersih lahir batin dan
bersih diri dan lingkungan; sehat jiwa dan raga; disiplin terhadap undang-undang, peraturan,
dan konvensi yang berlaku; hormat terhadap orang tua dan pemimpin yang baik; jujur yang
ikhlas; dan mempunyai pandangan hidup ke depan yang baik. Damai dasar utama warga
negara dan warga dunia yang baik, arif, dan bertanggung jawab (civics responssibilities).
Damai hasil olah kalbu dan olah raga sehingga menjadi orang sehat sebagai alat atau pedoman
berperilaku yang menjadi etika dalam pergaulan antarsesama manusia.

Mandiri atau merdeka diambil dari kata kemerdekaan yang artinya mampu berdiri sendiri
atas kekuatan, kemampuan dan tanggung jawab sendiri, menghargai, mencintai dan
membanggakan karya dan produksi dalam nengeri sendiri. Ia memberdayakan yang
ada secara produktif (efektif dan efisien). Mandiri dilandasi oleh semangat belajar, bekerja,
berwirausaha dan berjuang dengan ulet, sehat dan kuat, disertai penguasaan dan pemanfaatan
ilmu pengatahuan dan teknologi apapun kecilnya untuk diamalkan kepada
kehidupan yang lebih baik. Ia mampu mandiri dalam berbagai dimensi kehidupan (sepiritual,
politik, sosial kemasyarakatan dan ekonomi) khususnya mandiri secara ekonomi atau mencari
nafkah yang krusial dewasa ini. Mencari nafkah atau upajiwa minimal untuk dirinya sendiri
dan berangsur-angsur membantu orang lain yang memerlukan. Semua rakyat ikut serta, petani,
pengindustri dan penjasa perdagangan dan pelayanan, UKM dan pengusaha bersinergi.
Apabila setiap orang dapat mencari nafkah minimal untuk dirinya sediri, maka pengangguran
berangsur-angsur luluh dan ke miskinan mengerdil, bahkan menghilang di negeri ini dan pada
gilirannya tak mustahil Indonesia sejahtera. Mungkin ini yang didengung-dengungkan dengan
ekonomi mandiri, kerakyatan, prorakyat atau ekonomi Pancasila atas tanggung jawab sosial
ekonomi (social economic responsibilities). Mandiri bersumber dari sila kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawarahan perwakilan. Mandiri adalah hasil olah pikir, otak,
terampil dan olah mahir sehingga manusia mempunyai logika untuk berbuat yang sistematis
dan
teratur.

Adil adalah prestasi bagi orang yang mempunyai nilai lebih yang menampilkan yang
terbaik dalam kehidupan sehingga patut mendapat penghargaan. Adil merupakan seni hidup
tinggi yang menampilkan hal terbaik dan luwes, cantik menarik. Adil hasil olah rasa,
kreatif, pribadi terpuji dan kompetitif yang sehat dan bermakna indah atau estetika dalam
kebersamaan atas tanggung jawab pribadi (personal responssibilities). Adil bersumber dari
sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keutuhan dan keharmonian damai (etika),
mandiri (logika) dan adil (estetika) adalah karakter bangsa Indonesia atau nasionalisme yang
harus dirumuskan, ditelaah, dan disepakati dan diangkat kembali atau direvitalisasi menjadi
kekuatan bangsa. Itulah yang dimaksud dengan trilogi karakter bangsa yang bermartabat atau
trilogy karakter bangsa berbudaya Pancasila. Tiga kompetensi kehidupan yang harus dicapai
dan diacu oleh bangsa Indonesia.

Jika kita ulas kembali pembahasan diawal bahwa yang dimaksud dengan kebajikan
menurut Aristoteles (383 – 322 SM) memberikan kerangka tentang teori kebajikan.
Menurutnya, kebajikan adalah kebiasaan baik yang kita punyai, yang mengatur emosi kita.
Yang lahir dari dalam hati dan diri yang tulus untuk melakukan perbuatan yang baik dan tidak
menyimpang. Misalnya, sebagai respon terhadap rasa takut alamiah yang kita miliki, kita
harus mengembangkan nilai kebajikan dari keberanian yang membuat kita tetap tangguh
ketika menghadapi bahaya. Adapun menurut Aristoteles dalam sebuah sejarah Yunani Kuno
ada 4(empat) karakter kebajikan yaitu bijaksana, keberanian, kesederhanaan dan keadilan.
Dari ulasan ini diketahui bahwa nilai-nilai kebajikan merupakan nilai yang sangat baik, tentu
dalam kebajikan ini sangat diperlukan pemikiran yang matang dalam bertindak. Karna
menurut Aristoteles mengamati bahwa orang yang memiliki kebajikan tidak boleh terlalu
berlebihan sehingga menyebabkan ia gegabah dan tidak boleh lemah sehingga menjadi sosok
penakut.

Jika kita kaitkan dengan pengertian masyarakat bermartabat maka akan terdapat suatu
kesinambungan yang signifikan. masyarakat bermartabat ialah warga negara yang memiliki
karakter baik dan diakui keberadaan nya. Menurut Ritaudin,M. Sidi (2014) Masyarakat
bermartabat adalah masyarakat yang memilki ketauhidan yang kokoh dan pendidikan yang
tinggi, sebagaimana disinyalir oleh Rasulullah saw. Dari karakteristik masyarakat bermartabat
pun bisa kita lihat bahwa adanya masyarakat bermartabat karena masyarakat tersebut mampu
menerapkan nilai kebajikan/kebaikan dalam suatu pergaulan. Sehingga dampak dari perilaku
kebajikan ini ialah membentuk masyarakat yang berilmu, berani, sederhana dan masih banyak
karakter baik lainnya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultur , dengan segala


keberagamannya Indonesia memiliki banyak kelebihan. Namun dibalik keindahan tersebut tentu
adalah kekurangan nya masing-masing. Keberagaman ini tentu memiliki tantangan bagi
pemerintahan bagaimana cara nya Indonesia tetap menjadi satu kesatuan yang utuh. Oleh karena
itu dibutuhkan masyarakat yang memiliki nilai-nilai moral yang baik.

Nilai-nilai tersebut dapat diterapkan jika dalam diri kita telah ditanamkan
kebaikan/kebajikan. Nilai dalam kebajikan ini tentu banyak sekali , inti nya adalah untuk
kebaikan dalam menjalankan kehidupan. Kebajikan/kebaikan hadir sebagai suatu solusi yang
tepat untuk membentuk masyarakat yang bermartabat. Masyarakat bermartabat dapat
disimpulkan ialah masyarakat yang mempunyai prinsip hidup yang jelas dan tentu untuk
menjaga kemaslahatan bernegara. Oleh karena itu, untuk menciptakan masyarakat bermartabat
yang diperlukan adalah menerapkan nilai-nilai kebajikan/kebaikan didalam pergaulan di
masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
El Fikri, Fauzan.2012. Baik dan Buruk Menurut Perpektif Berbagai Paham. Diakses Pada
tanggal 02 Mei 2019. Pada Laman : https://www.academia.edu/6954595/
BAIK_DAN_BURUK_MENURUT_PERSPEKTIF_BERBAGAI_FAHAM.

Meirawan, Deny.2010. Trilogi Karakter Manusia Bermartabat


Dan Implikasinya Pada Pendidikan. Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 17, Nomor 3, Oktober
2010, hlm. 189-194. Diunduh (Online) pada tanggal 3 Mei 2019.

Ningrum,Diah. 2015. Kemerosotan Moral Di Kalangan Remaja:


Sebuah penelitian Mengenai Parenting Styles dan Pengajaran Adab. UNISIA, Vol.
XXXVII No. 82 Januari 2015. Diunduh (Online) pada tanggal 03 Mei 2019.

Ritaudin, M Sidi. 2014. Pembangunan Politik Pendidikan


Menuju Masyarakat Bermartabat. Lampung. Jurnal Studi Keislaman, Volume 14,
Nomor 2, Desember 2014. Diunduh (Online) pada tanggal 3 Mei 2019.

Saryono, Djoko.2017. Kaum Muda, Penumbuhkembangan Karakter


Dan Intelektualitas, Dan Peran Budaya Lokal
Pada Abad Pengetahuan. Diakses pada tanggal 04 Mei 2019. Pada laman :
http://lab.pancasila.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Kaum-Muda-
Penumbuhkembangan-Karakter-dan-Intelektualitas-dan-Peran-Budaya-Lokal-pada-
Abad-Pengetahuan-Oleh-Djoko-Saryono.pdf.

Sumaryono, E. 2002. Etika Hukum. Yogyakarta : Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai