Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH TEORI EKONOMI TENTANG

PEMERATAAN : KURVA LORENZT, GINI,


COEFFICIENT

Disusun oleh :
NAMA : SUHERVI
NIM : 1800029102
KELAS :B
Dosen pengampu : Dr. Tri Ani Marwati
M.kes

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA
2019
DAFTAR ISI

HALAMANJUDUL ..............................................................................................................i
KATA PENGANTAR ...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN .....................................................................................................4
1.1 Latar Belakang .....................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................6
BAB II. PEMBAHASAN ......................................................................................................7
2.1. Konsep Dan Teori Distribusi Pendapatan ......................................................7
2.2. Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan ........................................................13
2.3. Ketimpangan Pembangunan Dan Sosial ........................................................16
BAB IV. PENUTUP ..............................................................................................................24
4.1 Kesimpulan ....................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................25
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Banyak orang yang beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selalu
dibarengi kenaikan dalam ketimpangan distribusi pendapatan atau disebut dengan
ketimbangan relatif. Dengan kata lain, para ekonom berpendapat bahwa antara
pertumbuhan ekonomi yang pesat dan distribusi pendapatan terdapat suatu trade off, yang
membawa implikasi bahwa pemerataan dalam pembagian pendapatan hanya dapat
dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi
yang tinggi selalu akan disertai penurunan dalam distribusi pendapatan atau kenaikan
dalam ketimpangan relatif.

Menurut para kritikus, pembangunan ekonomi bukan hanya menyebabkan kenaikan


dalam ketimpangan relatif, tetapi lebih parah lagi akan membawa pula kemerosotan taraf
hidup absolut dari golongan miskin. Dengan kata lain, bukan saja ketimpangan relatif
tetapi juga kemiskinan absolut akan bertambah akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Hasil-hasil penelitian pertama mengenai hubungan jangka panjang antara pertumbuhan
ekonomi dan distribusi pendapatan yang dilakukan oleh Prof. Simon Kuznets dari
Universitas Harvard menunjukkan bahwa proses pembangunan ekonomi pada tahap awal
pada umumnya disertai oleh kemerosotan yang cukup besar dalam pembagian
pendapatan, yang baru berbalik menuju suatu pemerataan yang lebih besar dalam
distribusi pendapatan pada tahap pembangunan lebih lanjut.

Struktur distribusi pendapatan nasional akan menentukan bagaimana pendapatan


nasional yang tinggi mampu menciptakan perubahan dan perbaikan dalam masyarakat,
seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan kesulitan yang lain dalam
masyarakat. Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata tidak akan menciptakan
kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak merata hanya
akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja. Sejumlah ahli ekonomi
berpendapat bahwa perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam
kepemilikan sumber daya dan faktor produksi, terutama kepemilikan barang modal. Jadi,
seperti telah dikemukakan pada awal pembahasan ini, pihak yang memiliki barang modal
lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula dibandingkan dengan
pihak yang memiliki sedikit barang modal.

Di Indonesia pada awal Orde Baru para pembuat kebijaksanaan dan perencana
pembangunan di Jakarta masih sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi yang
pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa, Khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan hanya di
sector-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan “Trickle Down Effects”.
Didasarkan pada pemikiran tersebut, pada awal orde baru hingga akhir tahun 1970-an,
strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Orde Baru lebih
berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperhatikan pemerataan
pembangunan ekonomi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pusat pembangunan ekonomi nasional di mulai
di Pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan, seperti
transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya lebih tersedia di pulau jawa,
khususnya Jakarta, dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Pembangunan
saat itu juga hanya terpusatkan pada sektor-sektor tertentu saja yang secara potensial
memiliki kemampuan besar untuk menyumbang nilai pendapatan nasional yang tinggi.
Pemerintah saat itu percaya bahwa nantinya hasil dari pembangunan itu akan menetes ke
sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.

Ada berbagai cara untuk mengetahui prestasi pembangunan suatu negara yaitu dengan
pendekatan ekonomi dan pendekatan non-ekonomi. Dalam pendekatan ekonomi dapat
dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non pendapatan.Dalam
aspek pendapatan digunakan konsep pendapatan perkapita, namun hal tersebut belum
cukup untuk menilai prestasi pembangunan karena tidak mencerminkan bagaimana
pendapatan nasional sebuah negara terbagi di kalangan penduduknya, sehingga tidak
memantau unsur keadilan atau kemerataan. Untuk itu diperlukan data mengenai
kemerataan distribusi pendapatan dimana perhatiannya bukan hanya pada distribusi
pendapatan nasional tapi juga distribusi proses atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.

Krisis yang terjadi secara mendadak dan diluar perkiraan pada akhir dekade 1990-an
merupakan pukulan yang sangat berat bagi pembangunan Indonesia. Bagi kebanyakan
orang, dampak dari krisis yang terparah dan langsung dirasakan, diakibatkan oleh inflasi.
Antara tahun 1997 dan 1998 inflasi meningkat dari 6% menjadi 78%, sementara upah riil
turun menjadi hanya sekitar sepertiga dari nilai sebelumnya. Akibatnya, kemiskinan
meningkat tajam. Antara tahun 1996 dan 1999 proporsi orang yang hidup di bawah garis
kemiskinan bertambah dari 18% menjadi 24% dari jumlah penduduk. Pada saat yang
sama, kondisi kemiskinan menjadi semakin parah, karena pendapatan kaum miskin secara
keseluruhan menurun jauh di bawah garis kemiskinan.

1.2 Rumusan Masalah


Berkaitan dengan permasalahan distribusi pendapatan dan pemerataan pembangunan
yang dijelaskan di atas maka ada beberapa pertanyaan yang diajukan sebagai perumusan
masalah dengan tujuan agar pembahasan dapat terfokus pada masalah yang telah di
jabarkan diatas. Adapun perumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep dan teori distribusi pendapatan ?
2. Apa yang menjadi penyebab ketidakmerataan distribusi pendapatan ?
3. Mengapa terjadi ketimpangan pembangunan dan social ?
BAB 2

PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dan Teori Distribusi Pendapatan

Untuk menilai keberhasilan dalam pembangunan sebuah Negara dapat dilihat dari
berbagai macam cara dan tolak ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun dengan
pendekatan non ekonomi. Penilaian dengan menggunakan pendekatan ekonomi dapat
dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non-pendapatan.Distribusi
pendapatan merupakan cerminan dari merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan
suatu Negara dikalangan penduduknya.Pemerataan pendapatan antar penduduk atau rumah
tangga mengandung dua segi.Pertama adalah meningkatkan tingkat hidup masyarakat yang
masih berada di bawah garis kemiskinan.Kedua adalah pemerataan pendapatan secara
menyeluruh, dalam arti mempersempit berbedanya tingkat pendapatan antar rumah tangga.

Para ahli ekonomi pada umumnya membedakan antara dua ukuran utama dari distribusi
pendapatan baik untuk tujuan analisis maupun kuantitatif yaitu:

1. Distribusi Pendapatan Perseorangan


Distribusi Pendapatan perseorangan memberikan gambaran tentang distribusi
pendapatan yang diterima oleh individu/perorangan termasuk pula rumah tangga.
Dalam konsep ini, yang diperhatikan adalah seberapa banyak pendapatan yang
diterima oleh seseorang, tidak dipersoalkan cara yang dilakukan oleh individu/rumah
tangga untuk memperoleh pendapatannya, banyaknya anggota rumah tangga yang
mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga serta apakah
penghasilan tersebut berasal dari bekerja atau sumber lainnya seperti bunga, hadiah,
keuntungan maupun warisan. Demikian pula tempat dan sektor sumber pendapatan
pun turut diabaikan.
2. Distribusi Pendapatan Fungsional
Distribusi Pendapatan Fungsional mencoba menerangkan bagian dari
pendapatan yang diterima oleh tiap faktor produksi.Faktor-faktor produksi tersebut
terdiri dari tanah (SDA), tenaga kerja, dan modal.Pendapatan didistribusikan sesuai
dengan fungsinya, seperti buruh menerima upah, pemilik tanah menerima sewa, dan
pemilik modal menerima bunga serta laba.Jadi setiap faktor produksi memperoleh
imbalan sesuai dengan distribusinya pada produksi nasional, tidak lebih dan tidak
kurang.
Distribusi Pendapatan yang didasarkan pada pemilik faktor produksi ini akan
berkaitan dengan proses pertumbuhan pendapatan. Adapun pertumbuhan pendapatan
dalam masyarakat yang didasarkan pada kepemilikan faktor produksi dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
a) Pendapatan karena hasil kerja yang berupa upah/gaji dan besarnya tergantung
tingkat produktivitas
b) Pendapatan dari sumber lain seperti sewa, laba, bunga hadiah/warisan.
A. Jenis-Jenis Distribusi Pendapatan
Menurut Dumairy (1996: 56) distribusi Pendapatan dalam kaitannya dengan
pemerataan pembagian pendapatan, dapat dilihat dari tiga segi yaitu:
1) Distribusi Pendapatan antar lapisan pendapatan masyarakat.
2) Distribusi Pendapatan antar daerah, dalam hal ini antar wilayah perkotaan dan
wilayah pedesaan.
3) Pembagian pendapatan antar wilayah, dalam hal ini antar propinsi dan antar
kawasan (barat, tengah, timur)

Sedangkan menurut Todaro (2004: 222) pembagian pendapatan dapat dilihat


dari tiga segi yaitu:

1) Pembagian pendapatan antar golongan (size distribution income)


2) Pembangunan pendapatan antar daerah perkotaan dan pedesaan (urban
regional income disparities), dan
3) Pembangunan pendapatan antar daerah atau propinsi (regional income
disparities)
B. Determinan-Determinan Distribusi Pendapatan
1. Menurut Komaruddin
Dalam kenyataan terlihat bahwa faktor-faktor yang cenderung membuat
ketidaksamaan pendapatan perseorangan dapat dicari dari faktor-faktor yang
bersifat perorangan dan bersifat sosial. Di dalam perekonomian yang
menunjukkan bahwa pendapatan terutama diterima dari penjualan sumber-sumber
produksi atau penjualan jasa-jasa sumber produksi itu, akan kita temukan dua
faktor yang akan membawa ketidaksamaan, yaitu :
a) Perbedaan penilaian keahlian dan bakat perseorangan
b) Perbedaan jumlah pendapatan yang menciptakan milik yang dikuasi setiap
orang

Kebijakan untuk merubah pembagian pendapatan yang akan diterima


penduduk selalu menjadi bahan pemikiran utama dalam perencanaan pemerintah,
walaupun untuk sebagian besar berlandaskan pada etika. Pemerintah pada
dasarnya dapat merubah distribusi pendapatan dengan berbagai cara, sedikitnya
ada tiga cara untuk mencapai sasaran tersebut, yaitu :

a) Pemerintah dapat mengatur kembali distribusi pendapatan melalui upaya


untuk mengubah pola milik atas sumber-sumber. Untuk merubah pola itu
beberapa negara telah memungut pajak kematian dan penetapan batas
jumlah pendapatan yang menciptakan milik.
b) Pemerintah dapat mengatur kembali distribusi pendapatan dengan
mencoba untuk merubah pola harga sumber-sumber ekonomi, melalui
penetapan upah yang terendah atau harga terendah untuk hasil produksi
tertentu.
c) Pemerintah dapat merubah pendapatan perseorangan yang bebas dari milik
sumber-sumber ekonomi atau harga sumber-sumber dengan pajak
pendapatan perseorangan atau kebijakan yang mempengaruhi daya beli
uang di satu pihak dan pengeluaran umum di lain pihak. (Komaruddin.
(1978 :76 – 79).
2. Menurut Thee Kian Wie
Ada tiga faktor pokok yang ikut mempengaruhi distribusi pendapatan, yaitu :
a) Pembagian harta (assets), ketimpangan harta baik dalam arti fisik dan bukan
fisik. Harta fisik seperti modal, tanah, mesin, dan lainnya sedangkan harta
bukan fisik yaitu keterampilan manusia. Harta ini menghasilkan pendapatan,
sehingga makin tinggi pendapatannya. Kebijakan yang dapat dilakukan adalah
melalui perpajakan progresif dan pembayaran transfer (subsidi) kepada
golongan miskin, dan dalam jangka panjang ditempuh melalui perubahan pola
investasi sedemikian rupa, sehingga lambat laun golongan yang berpendapatan
rendah sanggup untuk memupuk lebih banyak harta.
b) Stategi pembangunan. Dalam hal ini lebih banyak negara yang mementingkan
pertumbuhan ekonomi daripada mementingkan pemecahan efektif masalah
pemerataan pendapatan dan kemiskinan absolut. Sehingga diperlukan
perubahan orientasi tujuan pembangunan.
c) Kebijakan fiskal. Di samping stategi pembangunan yang kadang-kadang dapat
bersifat regresif, maka kebijakan fiskal, termasuk kebijakan dalam perpajakan,
ternyata sering pula bersifat regresif, walaupun di atas kertas sistem
perpajakan bersifat progresif. (Thee Kian Wie, 1981 : 70 – 77)
3. Menurut Irma Adelman dan Cynthia Taft Morris
Dalam bukunya Lincolin Arsyad (1988 : 58), dijelaskan bahwa menurut Irma
Adelman dan Cynthia Taft Morris ada 8 faktor yang menyebabkan ketidakmerataan
distribusi pendapatan di negara-negara berkembang, yaitu :
a) Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya
pendapatan per kapita
b) Inflasi, dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara
proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang
c) Ketidakmerataan pembangunan antar daerah
d) Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal,
sehingga persentase pendapatan dari harta tambahan besar dibandingkan
dengan persentase pendapatan berasal dari kerja, sehingga pengangguran
bertambah
e) Rendahnya mobilitas social
f) Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan
kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha
golongan kapitalis
g) Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang
berkembang dalam perdagangan dengan negara maju, sebagai akibat
ketidakelastisan permintaan negara-negara terhadap barang-barang ekspor
negara sedang berkembang
h) Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri
rumah tangga, dan lain-lain.
4. Menurut M.P Todar
Ada empat bidang luas yang terbuka bagi intervensi kebijakan pemerintah
masing-masing berkaitan erat dengan keempat elemen pokok yang merupakan faktor-
faktor penentu utama atau baik tidaknya kondisi-kondisi distribusi pendapatan di
sebagian negara berkembang. Adapun keempat elemen pokok tersebut adalah :
a) Distribusi fungsional. Hal ini pada dasarnya menyangkut segala sesuatu yang
berkenaan dengan tingkat hasil yang diterima dari faktor-faktor produksi
tenaga kerja, tanah, dan modal, yang sangat dipengaruhi oleh harga relatif dari
masing-masing faktor produksi tersebut, tingkat pendayagunaan (ini
berkenaan dengan faktor teknologi), dan bagian atau persentase dari
pendapatan nasional yang diperoleh oleh para pemilik masing-masing faktor
tersebut.
b) Distribusi ukuran. Ini adalah distribusi pendapatan fungsional dari suatu
perekonomian yang dinyatakan sebagai suatu ukuran distribusi kepemilikan
dan penguasaan aset (faktor-faktor produksi non manusia atau sumber daya
fisik) produktif dan faktor keterampilan yang terpusat dan tersebar ke segenap
lapisan masyarakat. Distribusi kepemilikan aset dan keterampilan tersebut
pada akhirnya akan menentukan merata atau tidaknya distribusi pendapatan
secara perorangan.
c) Program redistribusi pendapatan. Pengambilan sebagian pendapatan golongan-
golongan penduduk yang berpenghasilan tinggi melalui pemberlakuan pajak
secara proporsional terhadap pendapatan dan kekayaan pribadi mereka, untuk
selanjutnya dimanfaatkan guna mengangkat kesejahteraan lapisan penduduk
termiskin.
d) Peningkatan distribusi pendapatan langsung, terutama bagi kelompok-
kelompok masyarakat yang berpenghasilan yang relatif rendah, melalui
anggaran belanja pihak pemerintah yang dananya bersumber dari pajak,
kebijakan itu disebut juga transfer payment, dan cara lain yaitu melalui
penciptaan lapangan kerja, pembebasan uang sekolah, pemberian subsidi
pendidikan, dan sebagainya.

Pemerintah Dunia Ketiga mempunyai banyak pilihan dan alternatif kebijakan


yang memungkinkannya untuk melaksanakan intervensi positif keempat bidang
tersebut.Berikut sejumlah kebijakan pemerintah yang sekiranya paling relevan.

a) Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan


yang khusus dirancang untuk mengubah harga-harga faktor produksi secara
positif atau menghilangkan distorsi-distorsi harga factor
b) Perbaikan distribusi pendapatan melalui redistribusi progresif kepemilikan
aset-aset
c) Pengalihan sebagian pendapatan golongan atas ke golongan bawah melalui
pajak pendapatan dan kekayaan yang progresif
d) Peningkatan ukuran distribusi kelompok penduduk termiskin melalui
pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa
konsumsi atas tanggungan pemerintah (M.P Todaro, 1998 : 204 – 209)
5. Menurut Anne Booth dan R.M. Sundrum
Berdasarkan buku yang disunting oleh H.W. Arndt (1983 : 67), bahwa
menurut Anne Booth dan R.M. Sundrum ada beberapa determinan distribusi
pendapatan di Indonesia, yaitu :
a) Pemilikian dan distribusi tanah pertanian
Dengan semakin bertambahnya penduduk, pemilik tanah telah menarik
kembali tanahnya dari pihak penyewa dan memberikannya kepada anggota
keluarganya untuk diusahakan sendiri.Oleh karena itu, keluarga-keluarga
pemilik tanah sempit dan yang tidak memiliki tanah, yang sebelumnya
mendapat jaminan dari pengaturan persewaan tanah jangka panjang, sekarang
menjadi buruh tani ataupun penggarap tanah dengan sistem persewaan jangka
pendek.
b) Perolehan (access) lahan. Ini berkaitan dengan kepemilikan tanah yang
semakin kecil di kalangan masyarakat, sehingga semakin kecil pendapatan
orang yang tidak punya tanah.
c) Penggantian upah dan tenaga kerja di pedesaan. Adanya penggunaan teknologi
dalam pertanian telah menurunkan upah dan penggunaan tenaga kerja yang
mengandalkan di sektor pertanian itu.
d) Term of trade sektor pertaniaan. Perbedaan hasil dan pendapatan pada masing-
masing produksi pertanian.
e) Perolehan pekerjaan, pendapatan, dan pendidikan. Tetap berkaitan dengan
sektor pertanian yang menunjukkan orang yang bekerja berbeda dengan para
majikannya.
f) Disparitas perkotaan – pedesaan. Perbedaan kondisi ekonomi dan investasi
lebih banyak di perkotaan telah meningkatkan ketimpangan.
6. Menurut W. Arthur Lewis
Menurut W. Arthur Lewis (1962 : 42) ada dua faktor pokok yang menentukan
distribusi pendapatan sebelum kena pajak, yaitu distribusi milik dan distibusi
kepandaian. Oleh karena itu, supaya dapat dipersamakan pendapatan sebelum kena
pajak, yang harus dilakukan ialah memperbesar persamaan kesempatan.Pangkal
semua itu sudah tentu adalah sistem pendidikan.
7. Menurut William Loehr dan John P. Powelson
Menurut William Loehr dan John P. Powelson (1981 : 140-142) dijelaskan ada
empat faktor utama yang mempengaruhi distribusi pendapatan, yaitu
a) Sumber daya manusia, dimana orang yang punya pendidikan lebih tinggi
berpeluang memperoleh pendapatan yang tinggi.
b) Pertumbuhan penduduk, semakin banyak penduduk miskin maka ketimpangan
akan semakin parah dan berat.
c) Intersectoral Shifts, antara sektor industri dan pertanian
d) Kebijakan publik, ini berkaitan dengan kebijakan fiskal pemerintah melalui
kebijakan anggaran dan pajak.
2.2 Ketidak merataan Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnyapembagian
hasil pembangunan suatu negara dikalangan penduduknya.Penghapusan kemiskinan dan
berkembangnya ketidakmerataan distribusipendapatan merupakan inti permasalahan
pembangunan, terutama di negara -negara sedang berkembang (Dumairy, 1997:53).
1. Distribusi Antar Kelompok
Distribusi pendapatan perseorangan (personal distribution of income)
ataudistribusi antar kelompok pendapatan (size distribution of income)
merupakanindikator yang paling sering digunakan.Ukuran ini secara langsung
menghitungjumlah penghasilan yang diterimah oleh setiap individu atau rumah
tangga.Yangperlu diperhatikan disini adalah seberapa banyak jumlah pendapatan
yangditerimah seseorang, tidak peduli dari mana sumbernya, baik itu dari
bungasimpanan maupun tabungan, laba usaha, utang, hadiah atapun warisan.
Lokasisumber penghasilan (desa atau kota) maupun sektor atau bidang kegiatan
yangmenjadi sumber penghasilan juga diabaikan (Todaro,2000: 180).
Oleh karena itu, para ekonom dan ahli statistik cenderung mengurutkan semua
individu berdasarkan pendapatan yang diterimanya, kemudian membagi total populasi
menjadi sejumlah kelompok atau ukuran, biasanya populasi dibagi menjadi 5
kelompok atau kuantil (quantile) atau 10 kelompok yang disebut desil(decile) sesuai
dengan tingkat pendapatan mereka. Langkah selanjutnya adalahmenetapkan beberapa
proporsi yang ditentukan oleh masing - masing kelompokdari pendapatan nasional
total (Todaro dan Smith, 2004:222).
2. Kurva Lorenz
Metode lain yang biasanya dipakai untuk menganalisis statistic pendapatan
perorangan adalah dengan menggunakan Kurva Lorenz (Lorenz Curve). Jumlah
penerimaan pendapatan dinyatakan pada sumbu horizontal, tidak dalam arti absolut
melainkan dalam persentase komulatif. Garis diagonal dalam Kurva Lorenz
malambangkan pemerataan sempurna (perfect equality) dalam distribusi antar
kelompok pendapatan masing-masing persentase kelompok penerima pendapatan
menerima persentase pendapatan total yang sama besarnya, contohnya 40% kelompok
terbawah menerima 40% dari pendapatan total, sedangkan 5% kelompok teratas
hanya menerima 5% dari pendapatan total (Todaro dan Smith,2004:223).

2.1 Kurva Lorenz


(Sumber :www.knowledgerush.com/wiki_image)
Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase
penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar - benar mereka
terima, misalnya dalam satu tahun. Semakin jauh jarak kurva Lorenz dengan garis
diagonal (garis pemerataan sempurna) maka semakin timpang atau tidak meratanya
distribusi pendapatan. Semakin tinggi tingkat ketimpangan distribusi pendapatan disuatu
negara maka bentuk kurva lorenznya pun akan semakin melengkung mendekati sumbu
horizontal bagian bawah. Dua macam bentuk kurva Lorenz yang melambangkan kondisi
distribusi pendapatan yang jauh berbeda dapat dilihat pada gambar 2.2.Gambar. 2.2.a.
menunjukan suatu distribusi pendapatan yang relatif merata (ketimpangan tidak parah),
sedangkan gambar. 2.2.b. menunjukan suatu distribusi pendapatan yang relative tidak
merata (ketimpangan parah)
2.2 Kurva Lorenz
2.2.a 2.2.b

Sumber :Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith

3. Koefisien Gini
Alat ukur atau media yang sangat mudah digunakan untuk mengukur derajat
ketimpangan relatif disuatu negara adalah dengan menghitung rasio yangterletak
diantara garis diagonal dari Kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh segiempat
dimana kurva Lorenz itu berada.Dalam gambar. 2.3., rasio ini adalah rasiodaerah A
yang diarsir dibagi dengan luas segitiga BCD. Rasio ini dikenal denganKoefisien Gini
(Gini Coefficient) yang diambil dari nama ahli statistik Italia yangbernama C. Gini
yang merumuskan pertama kali pada tahun 1912 (Todaro danSmith, 2004:226).
2.3. Koefisien Gini

Sumber :www.knowledgerush.com/wiki_image
Koefisien Gini merupakan ukuran ketimpangan agregat yang angkanya
berkisar antara nol (pemerataan sempurna), hingga satu (ketimpangan sempurna).
Pada prateknya Koefisien Gini untuk negara - negara yang derajat ketimpangannya
tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, ketimpangan sedang berkisar antara 0,36
hingga 0,49 sedangkan untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya relatif
merata angkanya berkisar antara 0,20 hingga 0,35 (Todaro dan Smith, 2004:226).
2.3 Ketimpangan Pembangunan Dan Sosial
Ketimpangan pembangunan yang terjadi di Indonesia secara makro dipengaruhi oleh
adanya kesenjangan dalam alokasi sumber daya; sumberdaya manusia,, fisik, teknologi
dan capital. Setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda didalam menghadapi isu
ketimpangan pembangunan.Indonesia bagian barat menjadi primadona pembangunan
ekonomi Indonesia sejak pemerintahan orde baru dimulai, terlebih sebelum era
desentralisasi diterapkan di Indonesia.Sementara sebaliknya, untuk wilayah Indonesia
Timur, banyak mengalami ketertinggalan diberbagai sector pembangunan.
Salah satu dampak sosial yang terjadi akibat kesenjangan atau ketimpangan
pembangunan ekonomi dalah adanya kemiskinan diberbagai sektor.Kemiskinan menjadi
problem kolektif bangsa Indonesia.Berbagai program dan strategi mengentaskan
kemiskinan juga telah banyak dilakukan oleh pemerintah; mulai dari penguatan kualitas
sumberdaya manusia, pembukaan lapangan pekerjaan, eksplorasi sumberdaya alam dan
penyediaan program padat karya. Tulisan ini secara global akan memotret dua persoalan
besar yang melanda dan menjadi problem bersama semua daerah.
Dalam sebuah negara pasti tidak akan terlepas dari aktivitas-aktivitas perekonomian.
Aktivitas perekonomian ini terjadi dalam setiap bentuk aktivitas kehidupan dan terjadi
pada semua kalangan masyarakat, baik masyarakat menengah ke bawah maupun pada
masyarakat kalangan atas.Dalam pelaksanaannya, perekonomian selalu menimbulkan
permasalahan.Terlebih lagi dalam pelaksanaannya di sebuah negara yang sedang
berkembang.Begitu juga dengan Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia.Permasalahan perekonomian yang dihadapi bangsa ini sangat kompleks karena
letak antara pulau satu dengan pulau yang lainnya sangat berjauhan.
Permasalahan ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia yang tetap terjadi hingga saat
ini adalah terjadinya ketimpangan pembangunan perekonomian..Oleh karena itu, untuk
mengatasi masalah perekonomian pemerintah harus menyelesaikan permasalahan
akarnya yaitu ketimpangan pembangunan dan perekonomian yang terjadi di wilayah
Indonesia. Apabila permasalahan inti ini sudah terselesaikan atau paling tidak
pembangunan perekonomian di Indonesia mulai terjadi pemerataan, maka permasalahan
perekonomian lain yang timbul sebagai akibat dari ketimpangan pembangunan
perekonomian akan terpecahkan satu per satu dari masalah yang terkecil.
Setiap pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah, setidaknya akan medapatkan
apa yang namanya prestasi pembangunan, untuk mengetahui Prestasi pembangunan
suatu negara atau daerah kita dapat menilainya dengan berbagai macam cara dan tolak
ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun dengan pendekatan non ekonomi.
Penilaian dengan pendekatan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek
pendapatan maupun aspek non pendapatan.Tolak ukur pendapatan perkapita,
sebagaimana kita sadari belum cukup untuk menilain prestasi pembangunan.Karena baru
merupakan konsep rata-rata, pendapatan perkapita tidak mencerminkan bagaimana
pendapatan suatu daerah terbagi dikalangan penduduknya, sehingga unsur kemerataan
atau keadilan tidak terpantau.Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau
timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu daerah dikalangan penduduknya.
Dalam kontek untuk mengukur dan menilai kemerataan (parah atau lunaknya
ketimpangan) distribusi pendapatan, kita dapat melihatnya berdasarkan, pertama Kurva
Lorenz dan Indek atau Rasio Gini.Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif
pendapatan dikalangan lapisan-lapisan penduduk secara kumulatif pula.Kurva ini terletak
di dalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan presentase kumulatif
pendapatan.Sedangkan sisi datarnya mewakili presentase kumulatif penduduk.Kurva
Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi
pendapatan yang semakin merata. Sebaliknya, jika Kurva Lorenz semakin jauh dari
diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk,
distibusi pendapatan semakin timpang dan tidak merata.
Sementara pada pendekatan Indek atau Rasio Gini, adalah suatu koefisien yang
berkisar dari angka 0 hingga 1, menjelaskan kadar kemerataan (ketimpangan) distribusi
pendapatan. Semakin kecil (semakin mendekati nol) koefisiennya, pertanda semakin baik
atau merata distribusi.Dilain pihak, koefisien yang semakin besar (semakin mendakati 1)
mengisyaratkan distribusi yang kian timpang atau senjang.

A. Sebab Ketimpangan Pembangunan


Menurut Sarjono HW (2006) pada kontek mikro, yang menjadi penyebab
terjadinya ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah pada umumnya,
penyebabnya antara lain:
1. Keterbatasan informasi pasar dan informasi teknologi untuk pengembangan produk
unggulan.
2. Belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan
kawasan di daerah.
3. Belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak kepada
petani dan pelaku swasta.
4. Belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan
pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah.
5. Belum berkembangnya koordinasi, sinergitas, dan kerjasama,diantara pelaku-pelaku
pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan
petani, serta antara pusat, propinsi, dan kabupaten atau kota dalam upaya peningkatan
daya saing kawasan dan produk unggulan.
6. Masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan
usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya
pengembangan peluang usaha dan kerjasama investasi.
7. Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi di daerah dalam
mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah.
8. Belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar daerah untuk mendukung
peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan
Sementara pada aspek makro, Dumairy (1996), menyatakan bahwa terdapat ada dua
faktor yang layak dikemukakan untuk menerangkan mengapa ketimpangan
pembangunan dan hasil-hasilnya dapat terjadi.Faktor pertama ialah karena
ketidaksetaraan anugerah awal (initial endowment) diantara pelaku-pelaku
ekonomi.Sedangkan faktor kedua karena strategi pembangunan yang tidak
tepat_cenderung berorientasi pada pertumbuhan, (growth).
Ketidaksetaraan anugerah awal yang dimaksud adalah adanya kesenjangan antara
bekal “resources” yang dimiliki oleh para pelaku ekonomi.Yang meliputi, sumberdaya
alam, kapital, keahlian/keterampilan, bakat/potensi atau sarana dan prasarana.Sedangkan
pelaku ekonomi adalah perorangan, sektor ekonomi, sektor wilayah/daerah/kawasan).
Sumberdaya alam yang dimiliki tidak sama antar daerah, (pra)sarana ekonomi yang
tersedia tidak sama antar daerah, begitu pula yang lain-lainnya seperti kapital,
keahlian/keterampilan serta bakan atau potensi.
Kalau kita lihat secara objektif, ketimpangan pembangunan, yang selama ini
berlangsung dan berwujud khsususnya pada Negara berkembang adalah dalam berbagai
bentuk, aspek, atau dimensi. Bukan saja ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal
pendapatan perkapita, tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu
sendiri. Bukan pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antar daerah, yakni
antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan.Akan tetapi juga berupa ketimpangan
sektoral dan ketimpangan regional. Ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional
misalnya, dapat dilihat berdasarkan perbedaan mencolok dalam aspek-aspek seperti
penyerapan tenaga kerja; alokasi dana perbankan; investasi dan pertumbuhan.
Secara makro ketimpangan pembangunan yang terjadi di diberbagai daerah, tentunya
karena lebih disebabkan oleh aspek strategi pembangunan yang kurang tepat.Strategi
pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan misalnya, ternyata tidak mampu
mengatasi persoala-persoalan yang terjadi di daerah, malah sebaliknya hanya
memperkaya pelaku-pelaku ekonomi tertentu yang dekat dan mudah mendapatkan akses
pembangunan secara gratis.
Oleh karena itu, untuk dapat menghasilkan pembangunan ekonomi yang sebenar-
benarnya dapat dirasakan oleh semua masyarakat, harus ada keberanian dari pemerintah
daerah untuk mengubah cara pandang dan strategi pembangunan ekonominya kearah
yang lebih sehat dan kompetitif. Kue-kue pembangunan harus dapat dinikmati dan
dirasakan oleh semua masyarakat yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,
jangan sampai kue pembangunan hanya milik segelintir kelompok atau golongan tertentu
saja yang dekat dengan kekuasan dan mudah mendapatkan akses pembangunan secara
gratis.
B. Memutus benang kusut kemiskinan
Masalah kemiskinan bukanlah masalah yang baru.Sejak bangsa Indonesia
merdeka, menjadi cita-cita bangsa adalah mensejahterakan seluruh rakyat Karena
kenyataan yang dihadapi adalah kemiskinan yang masih diderita oleh sebagian besar
rakyat Indonesia. Hampir setiap pemimpin di Indonesia, selalu menghadapi kenyataan
ini, meskipun bentuk kemiskinan yang terjadi tidak sama di setiap era suatu
pemerintahan.
Kemiskinan adalah problem sosial.Bagi kebanyakan orang, kemiskinan
merupakan masalah yang cukup merisaukan.Ia dianggap sebagai penyakit sosial yang
paling dahsyat dan menjadi musuh utama negara (Hairi Abdullah 1984:16).
Kemiskinan bukan saja dilihat sebagai fenomena ekonomi semata-mata, tetapi juga
sebagai masalah sosial dan politik (Syed Othman Alhabshi 1996).Karena dirasakan
dahsyatnya bahaya kemiskinan, membasmi kemiskinan dianggap sebagai jihad
(Anwar Ibrahim 1983/1984:25).Secara umum, kemiskinan mempunyai empat dimensi
pokok, yaitu; kurangnya kesempatan (lack of opportunity); rendahnya kemampuan
(low of capabilities); kurangnya jaminan (low-level of security); dan
ketidakberdayaan (low of capacity or empowerment).Dan lazimnya kemiskinan
diukur dengan garis kemiskinan (poverty line).Kemiskinan tidak saja mengakibatkan
penyakit busung lapar (gizi buruk), atau juga penyakit sosial, seperti Penjaja Sex
Komersial (PSK), gembel (pengemis) dan lain sebagainya, kemiskinan juga
mengakibatkan turunnya harga diri individu atau kelompok masyarakat.
Secara psikologis orang miskin cenderung lebih sensitif, gampang
tersinggung, kurang percaya diri bahkan gampang emosi, sehingga kondisi ini rawan
dengan berbagai upaya pemanfaat pihak ketiga yang menggunakannya sebagai
kendaraa/alat untuk memancing kerusuhan di sebuah daerah, intinya kemiskinan
memiliki keterkaitan cukup erat dengan stabilitas politik dan ekonomi sebuah
daerah.Karena merupakan masalah pembangunan yang multidimensi, maka
pemecahan kemiskinan harus melalui strategis yang komperhensif, terpadu, terarah
dan berkesinambungan.
C. Konsep Kemiskinan
Dari berbagai literatur yang mengupas tentang konsep kemiskinan, paling
tidak ada dua macam konsep kemiskinan yang dapat kita terima sebagai rujukan,
yaitu; kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.Konsep pertama kemiskinan absolut
dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkrit (a fixed
yardstick).Ukuran itu lazimnya berorientasi kebutuhan hidup dasar minimum anggota
masyarakat (sandang, pangan dan papan).
Masing-masing negara terlihat mempunyai batasan kemiskinan absolut yang
berbeda-beda, sebab kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai
acuan memang berlainan.Karena ukurannya dipastikan, maka konsep kemiskinan
semacam itu mengenal garis batas kemiskinan.Kemiskiinan absolut juga dapat dilihat
dari sejauhmana tingkat pendapatan penduduk miskin tersebut mampu mencukupi
kebutuhan pokoknya (basic needs), yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan dan
pendidikan.Kemampuan untuk membeli kebutuhan pokok ini dieuivalenkan dengan
daya belinya (nilai uang).Mereka yang tidak mampu membeli kebutuhan pokok
tertentu sesuai standar minimal dianggap berada pada posisi dibawah garis
kemiskinan.Konsep yang kedua kemiskinan relatif dirumuskan berdasarkan the idea
of relative standart, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu.
Dasar asumsinya adalah kemiskinan pada suatu daerah tertentu berbeda
dengan pada daerah tertentu lainnya, dan kemiskinan pada waktu (saat) tertentu
berbeda dengan waktu yang lain. Konsep kemiskinan relatif lazimnya diukur
berdasarkan pertimbangan in term of judgment anggota masyarakat tertentu, dengan
berorientasi pada derajat kelayakan hidup.kemiskinan relatif dilihat berdasarkan
persentase pendapatan yang diterima oleh pendapatan lapisan bawah. Mereka yang
berada pada lapisan bawah dalam stratifikasi pendapatan nasional inilah yang
dianggap miskin. (Edi Suandy Hamid 2000:14)
D. Stigma Kemiskinan
Sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk
mendekati masalah kemiskinan, yaitu; kemiskinan dalam perspektif kultural (the
cultural perspective) dan kemiskinan dalam perspektif struktural atau situasional (the
situasional perspective).Masing-masing perspektif tersebut memiliki tekanan, acuan
dan metodologi tersendiri yang berbeda dalam menganlisa masalah
kemiskinan.Perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan pada tiga level
analisis; individual, keluarga dan masyarakat. Pada level individual ditandai sifat yang
lazim disebut a strong feeling of marginality, seperti; sikap parochial, sikap apatisme,
fatalisme, atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior.
Pada level keluarga ditandai oleh jumlah anggota keluarga yang besar dan free
union or consensual marriages. Kemudian pada level masyarakat, terutama ditandai
oleh tidak terintegrasinya secera efektif dengan insitusi-institusi masyarakat.Mereka
sering kali memperoleh perlakuan sebagai obyek yang perlu digarap daripada sebagai
subyek yang perlu diberi peluang berkembang.
Kemudian perspektif struktural/situasional masalah kemiskinan sebagai
dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk-
produk teknologi modern. Penetrasi kapital antara lain mengejawantahkan dalam
program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan
(growth) dan kurang memperhatikan pemerataan hasil-hasil pembangunan
(development).
Program-program tersebut antara lain berbentuk intensifikasi, ekstensifikasi
dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan sebesar-besarnya guna
memenuhi kebutuhan nasional dan eksport. Edi Suandy Hamid (2000:19) mengatakan
bahwa masalah kemiskinan yang terjadi saat ini tidak bisa dilepaskan dari
meningkatnya jumlah pengangguran. Pada masa krisis ekonomi ini, bukan saja laju
pertambahan angkatan kerja baru tidak bisa diserap oleh pasar kerja, melainkan juga
terjadi pemutusan hubungan kerja disektor formal yang berakibat bertambahnya
angkatan kerja yang menganggur, baik itu yang menganggur penuh atau sama sekali
tidak bekerja (open unemployment) maupun setengah menganggur atau bekerja
dibawah jam kerja normal (under un employment).
E. Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Lantas, bagaimana menyelesaikan persoalan kemiskinan?strategi apa yang
harus dilakukan oleh pemerintah dalam memutus benang kusut kemiskinan diatas?
Menurut penulis, ada dua agenda besar yang mesti dilakukan oleh para pengambil
kebijakan, baik ditingkat lokal, maupun regional dalam program pengentasan
kemiskinan yaitu, pertama; peningkatan kualitas Sumberdaya Manusia (SDM)
melalui pendidikan dan keterampilan; dan kedua pembangunan ketenagakerjaan
melalui perluasan lapangan kerja dan serangkaian program pembangunan padat karya.
Program peningkatan kualitas sumberdaya manusia dilakukan melalui
pengembangan budaya usaha masyarakat miskin, yaitu mengembangkan budaya
usaha yang lebih maju, mengembangkan jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) dan
meningkatkan keterampilan keluarga dan kelompok miskin untuk melakukan usaha
ekonomi rakyat yang produktif atas dasar sikap demokratis dan mandiri.Program
ketenagakerjaan dilakukan untuk menyediakan lapangan kerja dan lapangan usaha
bagi setiap angkatan kerja sehingga dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
Formula yang dapat diterapkan adalah dengan membangun iklim investasi
yang kondusif disemua tingkatan, baik lokal,regional maupun nasional. Sebagaimana
yang kita pahami bahwa investasi sekecil apapun jika regulasi dan iklim investasi
tidak kondusif dan rasional, maka jangan harap investasi akan datang. Maka solusinya
menurut penulis adalah harus political will dari pemerintah untuk memperbaiki iklim
investasi se rasional mungkin.
Berangkat dari dua strategi memutus benang kusut kemiskinan diatas, ada
baiknya mereka para tokoh-tokoh, baik lokal maupun nasional untuk tidak secara
terbuka berdebat dan berdikusi mengenai kemiskinan, rakyat tidak butuh diskusi dan
debat, yang mereka butuhkan adalah aksi nyata bagaiamana kemiskinan bisa diatasi,
pengangguran dapat dikurangi dan kesejahteraan masyarakat meningkat.
BAB 3

PENUTUP
3.1Kesimpulan

Untuk menilai keberhasilan dalam pembangunan sebuah Negara dapat dilihat dari
berbagai macam cara dan tolak ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun dengan
pendekatan non ekonomi. Penilaian dengan menggunakan pendekatan ekonomi dapat
dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non-pendapatan.Distribusi
pendapatan merupakan cerminan dari merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan
suatu Negara dikalangan penduduknya.Pemerataan pendapatan antar penduduk atau rumah
tangga mengandung dua segi.Pertama adalah meningkatkan tingkat hidup masyarakat yang
masih berada di bawah garis kemiskinan.Kedua adalah pemerataan pendapatan secara
menyeluruh, dalam arti mempersempit berbedanya tingkat pendapatan antar rumah tangga.

Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnyapembagian


hasil pembangunan suatu negara dikalangan penduduknya.Penghapusan kemiskinan dan
berkembangnya ketidakmerataan distribusipendapatan merupakan inti permasalahan
pembangunan, terutama di negara -negara sedang berkembang (Dumairy, 1997:53).

Ketimpangan pembangunan yang terjadi di Indonesia secara makro dipengaruhi oleh


adanya kesenjangan dalam alokasi sumber daya; sumberdaya manusia,, fisik, teknologi dan
capital. Setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda didalam menghadapi isu
ketimpangan pembangunan.Indonesia bagian barat menjadi primadona pembangunan
ekonomi Indonesia sejak pemerintahan orde baru dimulai, terlebih sebelum era desentralisasi
diterapkan di Indonesia.Sementara sebaliknya, untuk wilayah Indonesia Timur, banyak
mengalami ketertinggalan diberbagai sector pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA

Tambunan.Tulus.2011.Perekonomian Indonesia Kajian Empiris dan Teorit.Bogor : Ghalia


Indonesia.

Dumairy.( 1996). Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga

Anda mungkin juga menyukai