Anda di halaman 1dari 7

Hadapi HOAKS dengan HOTS

Oleh Suyitman*

Bak cendawan di musim hujan. Media sosial, gawai, dan jaringan internet
menjadi lahan subur bagi tumbuh kembangnya hoaks. Dalam hitungan detik
hoaks menyebar ke seluruh dunia, mengepung warganet. Menurut Data
Kementerian Kominfo terdapat lebih dari 800 ribu situs di Indonesia yang
terindikasi sebagai penyebar berita palsu, ujaran kebencian, konten berbau SARA,
pornografi, hoaks, narkoba, atau terorisme. (Republika.co.id, Sabtu 21 Oktober
2017).
Sungguh angka yang fantastis. Jika kondisi ini dibiarkan, tentu akan sangat
merugikan banyak pihak. Hoaks yang dibumbui dengan ujaran kebencian dapat
mengancam keutuhan NKRI. Bangsa Indonesia yang terdiri dari bermacam-
macam suku, bahasa, dan agama rentan dengan perpecahan. Apalagi tahun 2019
merupakan tahun politik yang syarat dengan kepentingan.
Karena itulah lembaga pendidikan wajib berperan aktif dalam memerangi
hoaks. Salah satunya dengan memanfaatkan hoaks sebagai media pembelajaran.
Selain meluruskan berita hoaks yang beredar, dalam pembelajaran pun siswa
dilatih untuk bersikap kritis. Hal ini seiring dengan kebijakan pemerintah dalam
Kurikulum 2013 yang harus mengintegrasikan Higher Order of Thingking Skill
(HOTS). Lalu, bagaimana implementasi pemanfaatan hoaks dalam pembelajaran
HOTS?
Mengenal hoaks
Dalam kamus Bahasa Indonesia, hoaks diartikan dengan berita bohong.
(kbbi.kemdikbud.go.id) Dengan kata lain hoaks merupakan berita kebohongan
yang dibuat sedemikian rupa sehingga nampak seperti kebenaran. Selain berita
bohong, hoaks juga dapat berita palsu. Kata hoaks menurut Lynda Walsh dalam
buku "Sins Against Science" berasal dari bahasa Inggris. (Antaranews.com,
6/1/2017). Menurut Curtis D. MacDogall dalam buku Hoakses menyebutkan
bahwa hoaks merupakan informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat
seolah-olah benar adanya. (Wikipedia.com).
Hoaks tidak identik dengan berita negatif, hoaks dapat menyebar dalam
bentuk berita positif. Sebagai contoh berita tentang “Astronot Wanita Masuk
Islam setelah Melihat Mekah dari Bulan.” Berita itu diperkuat dengan video yang
diunggah ke Youtube dan disebarluaskan oleh situs. Bagi umat Islam kabar
masuknya Sunita Williams merupakan cerita yang membanggakan atau cerita
positif.

1
Memang benar, Sunita William adalah seorang astronot wanita
berkebangsaan amerika keturunan India. Tapi, Sunita tidak pernah ke bulan, dia
hanya ke International Space Station. Dan dia tidak pernah merubah keyakinannya
menjadi seorang muslim meski sekarang sudah kembali ke bumi. Sunita adalah
seorang pengikut Ganesha, yang dipercaya oleh agama Hindu sebagai seorang
dewa. (wikiislam.net/wiki)
Contoh lainnya, hoaks yang dibuat dan disebarkan oleh Dwi Hartono. Tidak
hanya mendapatkan sorotan dari media-media di Indonesia sebagai The Next
Habibie, namun Dwi juga mendapatkan penghargaan dari KBRI Deen Haag atas
prestasinya. Dwi juga mengklaim bahwa BJ Habibie ingin bertemu dengan
dirinya. Sayangnya, kebohongan Dwi Hartono pun terbongkar dan
penghargaannya pun dicabut.
Dwi Hartono merupakan salah satu dampak negatif dari berita hoaks yang
dibuat dan disebarkan sendiri. Jika orang lain yang membuatnya, mungkin Dwi
Hartono akan membawanya ke ranah hukum.
Berbeda dengan Dwi Hartono. September lalu, Taufik Widodo warung bakso
“Kumis Permai VI” milik Taufik Widodo di Bekasi ditinggalkan pelanggan
karena beredar berita di Facebook dan WhatsApp kalau warungnya digerebek
polisi. Diduga bakso miliknya dicampur daging babi. (Tribunnews.com,
30/11/2017). Bukan hanya pribadi, keluarga Taufik Widodo pun terkena imbas
karena hoaks.
Bukan hanya itu, gara-gara berita hoaks, warga Desa Parean Giring, Desa
Bulak, dan Desa Ilir menyerang Desa Curug pada 10 Januari 2017. Berawal dari
kecelakaan tunggal yang terjadi di Blok Bojong Desa Curug yang menewaskan
warga Parean Giring. Dari kecelakaan itu muncul isu provokasi di media sosial
yang seolah warga Curug menantang warga Parean. (Tempo.co. 10/1/2017)
Dampak hoaks paling menyesakkan dada terjadi pada Pilpres 2014 dan
Pilkada DKI yang lalu. Hoaks yang bernuansa politis membuat masyarakat
Indonesia seperti terbelah ke dalam dua kubu yang saling serang. Indonesia
seperti akan terjadi perang saudara. Bukan kekhawatiran yang berlebihan jika
hoaks dapat mengakibatkan perang. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Wakil
Presiden Jusuf Kalla saat beredar hoaks yang menyebutkan dirinya sakit. Perang
bisa terjadi karena hoaks sebagaimana yang terjadi antara Saudi dan Qatar.
(Bisnis.com. 25/8/2017)
Identifikasi hoaks
Meskipun berita hoaks tersebar diberbagai situs, tetapi warganet dapat
mengidentifikasinya dengan beberapa ciri, antara lain: pertama, Judul bombastis

2
dan sensasional. Hoaks dalam dunia kesehatan banyak menggunakan kalimat
yang boombastis, sensasional, dan menimbulkan kecemasan. Misalnya, berita
berjudul “Vaksin MMR Sebabkan Autisme”, “Sesuap Lele Mengandung 3.000 sel
kanker”, “Udang + Vitamin C = Meninggal.” Ketiga judul di atas merupakan
bagian dari 40 kabar kesehatan yang ternyata hoaks sebagaimana dilansir oleh
detikheath.com.
Kedua, Judul yang emosional. “Masya Allah! Lihat ini, Mas!” tulis mantan
menteri saat membagikan foto mayat yang berserakan. Menurutnya foto itu
merupakan korban pembantaian muslim Rohingnya. Padahal foto itu merupakan
diambil di Thailand pada 25 Oktober 2004 silam saat demonstrasi yang
merenggut nyawa 85 orang warga.
Ketiga, Isi menimbulkan permusuhan. Beredarnya hoaks tentang pembantaian
muslim Rohingnya merupakan upaya untuk membangkitkan permusuhan antar
agama. Penyebar hoaks berharap umat Islam akan membalasnya.
Keempat. Alamat situs. Mudahnya membuat membuat situs menyebabkan
maraknya berita hoaks. Sejak 2015, Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kominfo) bekerja sama dengan pelaku layanan internet seperti Facebook,
Twitter, dan lain-lain menyaring dan membuat daftar konten positif. Sejauh ini,
situs negatif masih mendominasi. Selama kurun waktu tersebut ada 800.000 situs
yang masuk dalam daftar hitam konten Trust Positif. Semua situs ini sudah
diblokir.
Kelima, sumber berita tidak jelas. Pada awalnya, pembuat hoaks tidak
menyebutkan sumber berita dengan jelas. Bahkan penyebaran berita hoaks
seringkali hanya copy paste dari satu situs ke situs lainnya tanpa edit sedikitpun.
Namun belakangan ini, pembuat hoaks berani menyebutkan sumber berita dengan
menyatut nama instansi resmi. Haoks tentang bahaya aspartam yang terdapat pada
beberapa minuman disebarkan dengan mengatasnamakan Ikatan Dokter Indonesia
(IDI). Mengingat maraknya pemberitaan tersebut, IDI pun mengeluarkan
bantahan. (Antaranews.com)
Keenam, diskriminatif, tidak berimbang dan menyudutkan pihak tertentu.
Haoks tentang Jenderal Gatot Nurmantyo yang menyatakan Banser NU Rasis
disebarkan tanpa meminta klarifikasi terhadap Banser NU yang membubarkan
pengajian Felix Siauw di Sidoarjo. Bahkan dalam berita juga tidak dijelaskan
kapan dan dimana sang Jenderal menyampaikan pendapatnya. Akhirnya melalui
akun twitter Pusat Penerangan TNI diperoleh keterangan bahwa berita itu adalah
hoaks yang berasal dari blogspot suara pribumi Indonesia.

3
Ketujuh, Penulisan tidak sesuai kaidah. Dalam pemberitaan, situs penyebar
hoaks cenderung tidak memperhatikan kaidah penulisan. Sebagai contoh terkait
dengan hoaks Jenderal Nurmantyo. Penulisan judul tidak sesuai EYD. Situs
tersebut menulis judul “Soal Pembubaran Pengajian Akbar Umat Muslim Dari Ust
Felix Siaw, Jenderal Gatot Nurmantyo: Banser Adalah Kelompok Rasis Dan
Radikal, Tidak Jauh Berbeda Dengan Komunis.” Semua kata diawali dengan
huruf kapital. Padahal dalam penulisan judul huruf pertama kata sambung dan
kata depan tidak ditulis kapital. (Grup Facebook Forum Anti Fitnah, Hasut, dan
Hoax/FAHH)
Kedelapan. Fanatisme buta. Hoaks yang berbau SARA didasari atas
fanatisme dan kebencian terhadap suatu seseorang, kelompok atau organisasi.
Berita hoaks selalu berusaha untuk mendiskreditkan pihak lain yang dianggap
lawannya. Kesembilan. Meminta dibagikan. Haoks sering diakhiri dengan ajakan
untuk memviralkan, bagikan, sebarkan sebagai upaya untuk memprovokasi
pembaca.
Setelah mendapati berita dengan ciri-ciri di atas maka warganet dapat
melaporkannya kepada pihak-pihak terkait. Bagi pengguna Faceboook dapat
memanfaatkan fasilitas “Report Status”. Bagi pengguna twitter menggunakan
fasilitas “Report Tweet.” Sedangkan pengguna Google dapat memanfaatkan fitur
“Feedback.” Warganet juga dapat mengadukan konten negatife langsung ke
Kominfo. Sayangnya untuk aplikasi WhatsApp (WA) belum ada fasilitas untuk
melakukan pelaporan terhadap hoaks. Padahal hoaks juga ikut meramaikan grup
WA.
HOTS anti Hoaks
Siapapun orangnya tak bisa lepas dari serangan hoaks, termasuk penulis. Saat
itu muncul broadcast tentang bantuan buku dari Perpustakaan Nasional lengkap
dengan nomor gawai yang bisa dihubungi. Sayangnya setelah menghubunginya,
teman yang menerima pesan dari penulis mengatakan kalau nomor tersebut tidak
aktif. Padahal informasi tersebut tak 100% hoaks. Sayangnya setelah beredar,
sudah banyak editan pada pesan tersebut.
Bukan hanya itu, penulis dan keluarga pernah cemas dengan hoaks tentang
biskuit yang mudah terbakar karena mengandung lilin. Untung saja Badan POM
segera memberi klarifikasi bahwa produk pangan yang mengandung
lemak/minyak dengan kadar air rendah, terutama yang berbentuk tipis dan
memiliki pori dapat terbakar jika disulut api.
Oleh karena itulah perlu edukasi kepada warganet terkait dengan hoaks. Bisa
saja seseorang memberi sanggahan atau klarifikasi atas berita hoaks. Tetapi

4
seseorang tidak selalu tahu kapan orang lain menerima berita tersebut. Selain itu,
kemampuan sesorang juga terbatas. Seorang agamawan, tentu tidak menguasai
kesehatan, sebaliknya seorang dokter juga belum tentu menguasai ilmu agama.
Padahal hoaks ada dalam segala bidang, baik itu agama, kesehatan, industri,
sosial, dan sebagainya. Alih-alih meluruskan berita, seseorang justru dapat
membuat hoaks tandingan.
Lalu, bagaimana mengedukasi siswa, keluarga, dan kolega untuk memerangi
hoaks? Langkah sederhana tentu dengan menyuruh mereka agar selektif dalam
menerima dan menyebarkan berita. Atau mengingatkannya saat mereka
menyebarkan hoaks. Tetapi itu membutuhkan perhatian yang intensif.
Menurut penulis langkah strategisnya adalah dengan meningkatkan budaya
literasi mereka, termasuk literasi digitalnya. Mewabahnya hoaks menurut David
Kushner, penulis dan kontributor The New York Time merupakan gejala
kemalasan seseorang dalam mencari bukti, bertanya dan berpikir kritis. Dengan
kata lain, rendahnya daya pikir menyebabkan penyebaran hoaks yang massif.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Programme for International Student
Assesment (PISA) Tahun 2012 menyebutkan bahwa budaya literasi masyarakat
Indonesia menempati urutan 64 dari 65 negara yang diteliti. Sedangkan data
statistik UNESCO Tahun 2012 menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru
mencapai 0,001. Artinya dari 1.000 penduduk, hanya 1 saja yang minat membaca.
(badanbahasa.kemdikbud.go.id).
Oleh karena itulah Indonesia menjadi surga bagi pembuat hoaks. Tak salah
apabila pembelajaran Kurikulum 2013 harus mengintegrasikan HOTS agar daya
kritis dan budaya baca meningkat. Berdasarkan data statistik Kominfo, ada
18.40% pengguna internet yang berada pada usia 10-24 tahun.
(statistik.kominfo.go.id) Hal ini berarti usia tersebut pengguna internet masih
berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa.
Dengan pembelajaran HOTS maka mereka dilatih untuk berpikir kritis
informasi yang beredar. HOTS atau berpikir tingkat tinggi diartikan dengan
kemampuan berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif, dan kreatif. Secara
umum, keterampilan berfikir seseorang terdiri atas empat tingkat,
yaitu: menghafal (recall thinking), dasar (basic thinking), kritis (critical thinking)
dan kreatif (creative thinking) (Krulik & Rudnick, 1999). Selain itu, dalam
Kurikulum 2013 materi pembelajaran disusun hingga metakognitif yang
mensyaratkan peserta didik mampu untuk memprediksi, mendesain, dan
memperkirakan.

5
Dalam praktiknya, guru dapat menggunakan berita-berita haoks sebagai
media belajar. Pada tahap mengamati, berita hoaks dijadikan sebagai bahan
pengamatan. Peserta didik dapat membaca teks atau menonton tentang hoaks.
Judul yang sensasional dan bombastis tentu membuat peserta didik tercengang.
Sebagai contoh saat penulis menyaksikan video tentang umat Kristen
Ortodoks yang meniru umat Islam dan nonmuslim yang menggunakan jilbab saat
pembelajaran yang terkait dengan “Kandungan Kitab Suci Allah.” Ternyata,
peserta didik kaget dan marah saat melihat berita tersebut. Mereka tidak terima
dengan apa yang dilakukan oleh Kristen Ortodoks. Kesan inilah yang menjadi
pemicu awal bagi peserta didik untuk mengajukan beberapa pertanyaan, antara
lain siapa Kristen Ortodoks? Apakah berita itu benar?
Sampai tahap itu, guru tidak perlu menjelaskan bahwa bahan pengamatan
tersebut adalah hoaks. Guru melanjutkan pembelajaran pada tahap mengumpulkan
data dan mengasosiasi agar siswa dapat menemukan jawabannya sendiri.
Tentunya, kegiatan ini dilakukan secara berkelompok untuk melatih peserta didik
berkolaboras.
Setelah itu, secara bergantian peserta didik dari masing-masing kelompok
mempresentasikan hasilnya di depan kelas. Karena keterbatasan sumber belajar,
hasil diskusi kelompok belum sepenuhnya menguji tentang berita hoaks. Baru
setelah merumuskan kesimpulan, penulis bersama-sama peserta didik menganalisa
tentang berita tersebut berdasarkan jawaban tentang kesamaan kandungan kitab-
kitab suci.
Pada tahap inilah, penulis menyampaikan kalau apa yang dilakukan Kristen
Ortodoks dan nonmuslim yang berjilbab bukan perbuatan meniru umat Islam.
Kristen dan Islam memiliki kewajiban yang sama untuk beribadah kepada Allah.
Perintah berpuasa dalam Islam yang terkandung dalam Q.S. al-Baqarah/2: 183
menegaskan bahwa kewajiban berpuasa dalam Islam sebagaimana umat-umat
terdahulu (Yahudi dan Nasrani).
Pada akhir pembelajaran barulah penulis menjelaskan bahwa berita yang
beredar merupakan hoaks yang bertujuan untuk memecah belah umat beragama di
Indonesia. Untuk menguatkan kecerdasan literasi digital, peserta didik
mendapatkan tugas untuk mencari situs-situs yang memuat berita tersebut. HOTS
juga menjadi pertimbangan dalam menyusun soal evaluasi.
Dengan memanfaatkan berita hoaks sebagai media pembelajaran HOTS maka
klarifikasi hoaks dan pendidikan literasi digital dapat dilakukan sekaligus.
Bagaimanapun juga hoaks tak bisa dimusnahkan. Hoaks akan terus terulang dan
berevolusi sesuai perkembangan zaman. Saat ini hoaks bukan sekadar cerita lisan,

6
bukan pula sekadar teks, tetapi telah didukung dengan foto bahkan video yang
mampu membuat seseorang mempercayainya. Plato mengatakan, kebohongan
yang terus terulang akan menjelma menjadi sebuah kebenaran.
Dalam kondisi ini, pembelajaran HOTS menjadi sebuah keniscayaan. Jika
hoaks diibaratkan penyakit, maka HOTS adalah vaksin antibodi yang bukan hanya
membuat seseorang kebal terhadap ancaman haoks tetapi mampu berperan aktif
dalam memeranginya.

* Penulis merupakan anggota PGRI yang menjadi guru Akidah Akhlak MTsN
Kebumen 1 dengan nomor KTA 12162800124.

Anda mungkin juga menyukai