Anda di halaman 1dari 10

Faktor – faktor yang Mempengaruhi Interval Waktu dari Gejala Awal sampai

Diagnosis Systemic Lupus Erithemathosus di RSPAD Gatot Soebroto


pada Tahun 2011-2016

Dewi D. Syahril,a Elii Arsita,b Johannes Hudyono,c Wiwi Kertadjaja.d

a
Mahsiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
b
Staf Pengajar Bagian IPD Fakultas Universitas Kristen Krida Wacana
c
Staf Pengajar Bagian K3 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
d
staf Pengajar Patologi Anatomi Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat korespondensi: Dewi.2014fk107@civitas.ukrida.ac.id

Abstarak
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun multisistem yang beragam
tampilan klinisinya sehingga sering terlambat terdiagnosis. Pasien yang terlambat terdiagnosis memiliki
prognosis yang lebih buruk daripada yang terdiagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat. Faktor
yang mempengaruhi interval waktu dari gejala awal sampai diagnosis SLE belum banyak diketahui.
Oleh karenanya peneliti tertarik untuk meneliti hal ini. Penelitian ini bersifat observasional dengan
desain studi analitik deskriptif dengan pendekatan cross-sectional. Total sampel dari tahun 2011-2016
yang diambil dari data rekam medik RSPAD Gatot Soebroto sebesar 124. Interval waktu dari gejala
awal sampai diagnosis SLE dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: sosial ekonomi yang rendah
(p= 0,025, PR 2,945, CI95% 1,210-7,168), keluhan utama nyeri sendi (p= 0,021, PR 5,923, CI95%
1,315-26,671), keluhan nyeri dada (p=0,049, PR 4,890, CI95% 1,072-22,201), keluhan demam (p=
0,037, PR 5,224, CI95%1,154-23,645), tingkat pendidikan (p= 0,019, PR 2,771, CI95%1,248-6,154),
riwayat pengobatan kortikosteroid (p= 0,001, PR 3,491, CI95%1,741-8,921), dan pengunaan non
steroid anti-inflamasi drug (NSAID) (p= 0,022, PR 2,77 CI95%1,221-6,351). Merupakan faktor yang
mempengaruhi interval terdiagnosis SLE yang dapat menyebabkan keterlambatan dalam mendiagnosis
SLE sehingga apabila terdiagnosis lebih dari 3 bulan akan menyebabkan kerusakan organ maka dari itu
perlu peningkatan kewaspadaan klinisi.
Kata kunci : Faktor, pengaruh, SLE, interval, waktu

Factors that Affect the Time Interval from Early Symptoms to Diagnosis of systemic lupus
erythematosus at Gatot Soebroto Army Hospital in 2011-2016
Abstract
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a multi-system autoimmune disease with a variety of clinical
appearance that is often diagnosed late. Delay in establishing the diagnosis will affect the level of
success in the management and survival of patients with SLE. The factors that influence the time interval
from the initial symptoms to the diagnosis of SLE are not well known. Therefore researchers interested
in researching this. This research is observational with descriptive analytic study design with cross-
sectional approach. The total sample from 2011-2016 taken from the Gatot Soebroto RSPAD medical
record data was 124. The time interval from initial symptoms to diagnosis of SLE was influenced by the
following factors: low socioeconomic (p = 0.025, PR 2.945, CI95% 1.210 -7,168), major complaints of
joint pain (p = 0.021, PR 5.923, CI95% 1,315-26,671), complaints of chest pain (p = 0.049, PR 4.890,
CI95% 1.072-22.201), complaints of fever (p = 0.037, PR 5.2.224 , CI95% 1,154-23,645), education
level (p = 0.019, PR 2,771, CI95% 1,248-6,154), history of corticosteroid treatment (p = 0.001, PR
3,491, CI95% 1,741-8,921), and use of non-steroidal anti-inflammatory medications drug (NSAID) (p
= 0.022, PR 2.77 CI95% 1,221-6,351). Is a factor that influences diagnosed SLE intervals that can
cause delays in diagnosing SLE so that if diagnosed for more than 3 months will cause organ damage
then it is necessary to increase the vigilance of clinicians.
Keywords: Factors, influencing, SLE, interval, diagnosis, time
Pendahuluan lupus juga dapat menyerang anak-anak dan
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) laki-laki. Penyebab etiologi penyakit ini
merupakan penyakit autoimun multisistem belum bisa dipastikan, namun diketahui
yang berat. Selama lebih dari empat dekade bahwa SLE dipengaruhi oleh faktor
angka kejadian SLE meningkat tiga kali genetik, imunologi, hormonal dan
lipat dari 51/100.000 menjadi antara 122 lingkungan. 4
sampai 124/100.000 penduduk di dunia. Tidak semua manifestasi muncul
Penderita lupus eritematosus sistemik secara bersamaan dan kadang-kadang,
diperkirakan mencapai lima juta orang di interval waktu beberapa bulan atau tahun.
seluruh dunia. 1 Pada sebagian besar pasien kelelahan,
Jumlah penderita SLE Indonesia kelainan kulit dan nyeri sendi merupakan
belum diketahui secara tepat, namun keluhan paling awal. Dengan demikian,
diperkirakan sama dengan jumlah penderita data dari perawatan primer Inggris
SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang. menggunakan Clinical Practice Research
Prevalensi penyakit inflamasi sistemik Datalink menunjukkan bahwa gejala
berdasar diagnosis tenaga kerja kesehatan muskuloskeletal paling sering (58,6%)
di Indonesia adalah 11,9%. Prevalensi dicatat dalam periode 5 tahun sebelum
tertinggi di Bali 19,3%, Aceh 18,3%, Jawa diagnosis definitif SLE. Sebaliknya, hanya
Barat 17,5 dan Papua 15,4%. Prevalensi beberapa pasien yang melaporkan tanda-
penyakit sendi berdasarkan jenis kelamin, tanda keterlibatan aktif ginjal (proteinuria)
diperoleh lebih tinggi pada perempuan atau organ utama lainnya (serositis, kejang,
dibandingkan pada laki-laki yaitu 13,4% atau psikosis) sebelum diagnosis SLE.
dan 10,3% (Riskesdas, 2013).2 Data yang Data-data ini menyiratkan bahwa dokter
diperoleh dari Dinas kesehatan provinsi umum kemungkinan besar mencurigai SLE
Bali diperoleh data kasus sistemik lupus pada pasien-pasien yang datang dengan
eritematosus pada tahun 2012 sebanyak 25 gejala-gejala yang lebih ringan dari kulit
kasus dan mengalami peningkatan pada dan persendian, dan secara praktis, karena
tahun 2013 sebanyak 75 kasus. Data tahun arthritis / arthralgia adalah gejala-gejala
2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo awal penyakit yang paling umum, setiap
(RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4% kasus perempuan muda dengan gejala-gejala ini
SLE dari total kunjungan pasien di harus dievaluasi untuk kemungkinan SLE.
poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam. Meskipun demikian, penyakit organ utama
Sementara di RS Hasan Sadikin Bandung seperti nefritis kadang-kadang dapat
terdapat 291 Pasien SLE atau 10,5% dari menjadi manifestasi yang muncul dari
total pasien yang berobat ke poliklinik lupus. 4
reumatologi selama tahun 2010. 3
Tampilan klinis SLE sangat Metode Penelitian
bervariasi sehingga para penderitanya
Penelitian ini bersifat observasional
sering berganti-ganti dokter karena
dengan desain studi analitik deskriptif
diagnosis yang berbeda-beda. Oleh sebab
dengan pendekatan cross-sectional untuk
itu, penyakit ini sering disebut penyakit
mengatahui faktor yang mempengaruhi
seribu wajah karena gejala yang
interval terdiagnosis Systemic Lupus
ditunjukkan menyerupai gejala penyakit
Erythematosus di RSPAD Gatot Soebroto.
lain. Keterlambatan dalam menegakkan
Data penelitian diambil melalui data rekam
diagnosis akan berpengaruh pada tingkat
medik pasien Systemic Lupus
keberhasilan pengelolaan maupun
3 Erythematosus yang rawat jalan maupun
kesintasan pasien dengan SLE. Penyakit
rawat inap di RSPAD Gatot Soebroto.
ini kebanyakan menyerang perempuan
Populasi terjangkau adalah pasien Systemic
pada usia 15-50 tahun (usia produktif).
Lupus Erythematosus di RSPAD Gatot
Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa
Soebroto tahun 2011 sampai dengan 2016,
sebanyak 124 orang. Kriteria inklusi : 10:1. Karakteristik penelitian ini hampir
pasien SLE yang memenuhi kriteria serupa dengan penelitian yang dilakukan
Systemic Lupus Erythematosus, dirawat tahun 2013 oleh Teh et al. 5 melaporkan
pada kurun waktu 1 Januari 2011– 31 bahwa rasio perempuan : laki-laki adalah
Desember 2016 di RSPAD Gatot Soebroto. 9:1 pada pasien SLE keseluruhan yang
Kriteria eksklusi : Rekam medik pasien dirawat inap dan poli.
yang tidak lengkap. Pada penelitian ini didapatkan usia
Variabel terikat dalam penelitian ini <18 tahun 16 pasien (13%) dan ≥ 18 tahun
adalah interval waktu dari gejala awal yaitu 108 pasien (87%). Pada penyakit SLE
sampai terdiagnosis sle dan variabel bebas dapat menyerang siapa saja, meskipun
yaitu keluhan utama, jenis kelamin, riwayat sebagian besar penyakit SLE ini menyerang
pengobatan, pendidikan dan sosial perempuan usia produktif 15-45 tahun,
ekonomi. namun pada laki-laki sebagian pada
kelompok anak-anak dan remaja juga dapat
Kaji Etik terkena SLE.6 Jenis kelamin perempuan
Penelitian ini telah mendapatkan banyak terserang penyakit SLE, dengan
keterangan lolos kaji etik dari Komite Etik bukti adanya efek hormon, gen pada
Penelitian Medis & Kesehatan Fakultas kromosom X, dan perbedaan epigenetik
Kedokteran Universitas Kristen Krida antara jenis kelamin memegang peranan
Wacana, Jakarta Barat dengan nomor penting. Perempuan membuat respon
pengajuan antibodi yang lebih tinggi daripada laki-
364/SLKEIM/UKKW/FK/KE/1/2018. laki. Perempuan yang mengkonsumsi pil
kontrasepsi estrogen atau yang mendapat
Analisis Statistik terapi estrogen memiliki risiko yang lebih
Penelitian ini menggunakan desain tinggi untuk terkena penyakit ini (1,2-2 kali
analisis cross sectional yang dilaksanakan lipat). Estradiol berikatan dengan reseptor
dengan uji Chisquare menggunakan pada limfosit B dan T, meningkatkan
aplikasi SPSS 16.0. aktivasi dan kelangsungan hidup sel
tersebut, sehingga mendukung respon imun
Hasil Penelitian yang memanjang.7
Karakteristik sampel yang digunakan Gen pada kromosom X yang
dalam penelitian ini dikelompokkan berpengaruh terhadap SLE, seperti TREX-
berdasarkan keluhan utama, jenis kelamin, 1, mungkin memiliki peranan dalam
riwayat penyakit dahulu, sosial ekonomi, predisposisi jenis kelamin. Prolactin (PRL)
pendidikan, pasien meninggal dan kriteria adalah hormon yang terutama berasal dari
diagnosis SLE menurut kriteria American kelenjar hipofise anterior, diketahui
Collage of Rhematology (ACR) tahun 1982 menstimulasi respon imun humoral dan
revisi tahun 1997. selular, yang diduga berperanan dalam
Peneliti telah melakukan penulusuran patogenesis SLE. Selain kelenjar hipofise,
rekam medik 124 pasien SLE yang rawat sel-sel sistem imun juga mampu
inap maupun rawat jalan selama kurun mensintesis PRL. Fungsi PRL menyerupai
waktu lima tahun (2011 – 2016) di RSPAD sitokin, yang mempunyai aktivitas
Gatot Soebroto Jakarta. Seperti telah endokrin, parakrin dan autokrin. PRL
diketahui bahwa SLE memang lebih diketahui menstimulasi sel T, sel natural
banyak menyerang perempuan pada masa killer (NK), makrofag, neutrofil, sel
reproduktif dimana masa terpenting dalam hemopoietik CD34+ dan sel dendritik
kehidupan seseorang. Dalam penelitian ini presentasi antigen. Hormon dari sel lemak
didapatkan 113 (91%) pasien perempuan yang diduga terlibat dalam ptogenesis SLE
dan 11 (9%) pasien laki-laki. dengan adalah leptin. Penelitian konsentrasi leptin
perbandingan perempuan : laki-laki adalah
serum pada penderita SLE Tabel. 1 Karakteristik Subjek Penelitian.
perempuan yang dilakukan oleh Garcia-
Gonzales et al, 7 mendapatkan kadar leptin Karakteristik n (%)
pada penderita SLE lebih tinggi Jenis Kelamin
dibandingkan dengan kontrol sehat. Laki-laki 11 (9)
Berdasarkan tabel. 1 dari 124 data Perempuan 113 (91)
rekam medik selama 5 tahun didapatkan 15 Usia
(12%) pasien meninggal. Angka bertahan <18 tahun 16 (13)
hidup pada pasien SLE adalah 90%-95% ≥ 18 tahun 108 (87)
setelah 2 tahun, 82%-90% setelah 5 tahun,
Pendidikan
71%-80% setelah 10 tahun, dan 63%-75%
setelah 20 tahun.8 Pada penelitian yang di SMA ke bawah 81 (65)
lakukan di Rumah sakit Cipto Perguruan tinggi 43 (35)
Mangunkusumo (RSCM ) yang dirawat Sosial Ekonomi
pada kurun waktu 2008-2012 oleh Arsita BPJS 77 (62)
E,9 didapatkan dari 181 pasien SLE yang KJS 47 (38)
rawat inap didapatkan 40 pasien yang Lama Diagnosis
meninggal (22%). ≤ 3 bulan 35 (28)
Pada penelitian ini, 35 pasien (28% ) > 3 bulan 89 (72)
terdiagnosis dengan kurun waktu ≤ 3 bulan
Keluhan Utama
dan kurun waktu >3 bulan yaitu 89 (72% ).
Berdasarkan penilitian yang telah Demam 22 (18)
dilakukan, keluhan utama yang paling Pusing 12 (10)
banyak yaitu 24 (19%) pasien mengeluh Nyeri sendi 24 (19)
nyeri sendi. Pada keluhan demam di Lelah 19 (15)
Ruam merah wajah 16 (13)
peroleh 22 (18% ) pasien, pusing 12 (10%),
Nyeri dada saat nafas dalam 21 (17)
lelah 19 (15%), ruam merah wajah 16
(13%), nyeri dada saat nafas dalam 21 Nyeri otot
10 ( 8)
(17%) dan nyeri otot yaitu 10 (8%) pasien.
Keluhan utama tersebut sangat Terapi Awal
mempengaruhi terhadap interval waktu Gol. Penicilin 49 (26)
terdiagnosis SLE. Gol. NSAID 58 (30)
Pada Tabel. 1 diatas menunjukkan Gol. Kortikosteroid 84 (44)
bahwa berdasarkan pendidikan pasien SLE Pasien Meninggal 15 (12)
yang terbanyak adalah tamat SMA 81 Kriteria Diagnosis SLE
(65%) namun ada juga yang sarjana 43 Ruam malar (butterfly rash) 116 (19)
(35% ). Hal ini dapat berkaitan antara Ruam diskoid 44 (7)
pengetahuan terhadap pemahaman Fotosensitifitas 50 (8)
penyakit SLE dan penanganan yang lebih Ulkus mulut 36 (6)
tepat. Sedangkan sosial ekonomi lebih Artritis 131 (21)
banyak yang menggunakan BPJS sebesar Serosis pleuritis , perikarditis 49 (8)
77 pasien (62%) responden dibandingkan Gangguan renal 27 (4)
menggunakan jaminan kesehatan KJS 47 Gangguan neurologi 25 (4)
pasien (38%) Kelainan hematologik 20 (3)
Kelainan imunologik 37 (6)
Antibodi antinuklearpositif
85 (14)
(ANA)
Tabel 2 Hasil analisis bivariat Chi-square hubungan antara faktor-faktor yang
mempengaruhi interval waktu terdiagnosis SLE.

FR Lambat Terdiagnosis P Value PR CI 95%


Keluhan nyeri sendi 0,021 5,923 1,315-26,671
Keluhan nyeri dada 0,049 4,890 1,072-22,201
Keluhan Demam 0,037 5,224 1,154-23,645
Riwayat Pengobatan NSAID 0,022 2,777 1,221-6,315
Riwayat Pengobatan Kortikosteroid 0,001 3,491 1,741-8,921
Tingkat Pendidikan 0,019 2,771 1,248-6,154
Sosial Ekonomi 0,025 2,945 1,210-7,168

SLE merupakan jenis lupus yang awal gejala hingga diagnosis SLE dengan
paling sulit dideteksi karena gejala pada Confidence Interval (CI) 95% yaitu 1,201-
penyakit ini sering menyerupai penyakit 24,436.
lain, sehingga SLE sering kali disebut Hal ini selaras dengan hasil penelitian
sebagai penyakit seribu wajah (Waluyo & sebelumnya yang menunjukan hasil
Putra, 2012).10 Pada awal perjalanannya, signifikan terhadap keluhan utama nyeri
penyakit ini ditandai dengan gejala klinis sendi merupakan salah satu faktor yang
yang tak spesifik, antara lain nyeri, lesu mempengaruhi waktu terdiagnosis SLE.
berkepanjangan, panas, demam, mual, Arthritis teridentifikasi sebagai gejala lupus
nafsu makan menurun, dan berat badan mayoritas (61,1%), hal ini sesuai dengan
turun. Gejala awal yang tidak khas ini mirip pendapat Gordon (2014) 11 bahwa pada
dengan beberapa penyakit yang lain. Oleh gejala lupus ringan, persendian adalah organ
karena itu gejala penyakit ini sangat luas utama yang terkena dampak penyakit lupus.
dan tidak khas pada awalnya, maka tidak Berdasarkan standar Perhimpunan
sembarangan untuk mengatakan Rheumatologi Indonesia (PRI, 2011)3,
seseorang terkena penyakit SLE. seluruh responden masuk kategori lupus
Dari data rekam medik di dapatkan ringan dengan indikator mengalami arthritis
keluhan utama yaitu nyeri sendi, nyeri dada dan/atau ruam kulit, secara klinis tenang,
dan demam yang dapat menghambat tidak terdapat gejala lupus yang mengancam
rutinitas kehidupan. Pada keluhan utama nyawa, fungsi organ normal/stabil.
nyeri sendi diperoleh nilai signifikan p Penderita SLE pertama kali akan didiagnosa
0,010 (p.value < 0,05). Hal tersebut menderita penyakit lain, sehingga menerima
menunjukan bahwa keluhan utama nyeri pengobatan yang salah. Saat penyakitnya
sendi bermakna atau terdapat hubungan tak kunjung sembuh, maka mereka harus
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi menghadapi berbagai pemeriksaan lagi baik
interval waktu dari gejala awal sampai laboratoris ataupun klinis, setelah dirujuk ke
diagnosis SLE. Dari perhitungan Prevalensi ahli rheumatologi barulah diketahui
Risk diperoleh nilai PR sebesar 5,923. Hal penderita tersebut mengidap SLE (Waluyo
ini menunjukkan bahwa keluhan utama & Putra, 2012).10
nyeri sendi memiliki risiko 5,923 kali Pada keluhan demam diperoleh nilai
mengalami keterlambatan dalam signifikan p= 0,019 (p.value< 0,05 ) dan
mendiagnosis SLE sehingga berisiko dari perhitungan Prevalence Risk diperoleh
terhadap interval waktu terdiagnosis dari nilai PR sebesar 5,224 CI 95% 1,154-
23,645. Hal ini menunjukkan bahwa Pada penelitian ini didapatkan nilai
Keluhan demam memiliki risiko 5,224 kali statistik keluhan nyeri dada sebesar p =
maka dari itu dapat terjadi kesalahan dalam 0,034 (p.value < 0,05) dan nilai PR sebesar
mendiagnosis dikarenakan demam 4,565 CI 95%1,002-20,799 hal ini
merupakan gejala umum sehingga dapat menyatakan bahwa keluhan nyeri dada
terjadi mempengaruhi interval waktu dari memiliki risiko 4,565 mempengaruhi
gejala awal hingga terdiagnosis SLE. interval waktu terdiagnosis dari gajala awal
Penelitian yang lakukan Isbagio tahun hingga diagnosis SLE. Keluhan nyeri dada
2009,12 demam sebagai salah satu gejala pada keluhan utama dapat mengakibatkan
konstitusional SLE sulit dibedakan dari terlambat dalam mediganosis SLE sehingga
sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh menjadi salah satu faktor pengaruh dalam
lebih dari 40℃ tanpa adanya bukti infeksi mendiagnosis SLE dikarenakan pasien
lain seperti leukositosis. yang datang dengan keluhan nyeri dada
Demam akibat SLE biasanya tidak dapat didagnosis penyakit lain seperti
disertai mengigil namun tetap sulit untuk peradangan pada paru atau jantung.
mendiagnosis seseorang dengan keluhan Sehingga keluhan awal yang kurang
demam. Terkadang keluhan demam juga spesifik menunjukan SLE terdiagnosis lain
dapat dicurigai seperti tipoid atau gejala dan dilakuan pemeriksaan penunjang lain
umum sistemik lain maka dari itu biasanya yang akan mengakibatkan interval waktu
dilakukan pemeiksaan cek darah lengkap terdiagnosis SLE.
atau hanya pemberian obat penurun panas Berdasarkan tabel 2 didapatkan hasil
sehingga pasien dengan keluhan demam pada riwayat pengobatan NSAID diperoleh
akan menjadi terlambat terdiagnosis nilai signifikan p = 0,037 (p.value < 0,05)
dikarenakan gejala yang tidak spesifik nilai PR sebesar 2,337 CI 95% 1,043-5,238.
sehingga pasien akan terdiagnosis dengan Hal tersebut menunjukan bahwa riwayat
waktu yang cukup lama yang akan pengobatan NSAID bermakna atau
mempenggaruhi derajat berat ringannya memiliki hubungan terhadap interval waktu
penyakit SLE dan dapat kerusakan organ terdiagnosi SLE dan memiliki Prevalensi
yang lebih lanjut. Maka dari itu diagnosis Rasio 2,337 hal ini menyatakan bahwa
SLE yang lebih cepat akan memperoleh penggunaan obat NSAID memiliki risiko
prognosis yang baik.12 2,337 kali mempengaruhi faktor-faktor
Pasien dengan keluhan utama nyeri interval waktu terdiagnosis SLE dari gejala
dada terutama pada paru harus selalu awal hingga terdiagnosis yang akan
diawasi adanya infeksi, khususnya infeksi berdampak dalam mendignosis SLE lebih
bakteri dan virus. Hampir 90% pasien SLE dini sehingga meminimalisir kerusakan
mengalami nyeri dada saat bernafas, ini organ atau terjadi efek samping konsumsi
disebabkan dari muskuloskeletal atau obat dalam jangka waktu lama.
radang pleura. Maka dari itu nyeri dada Pada riwayat pengobatan NSAID
mempunyai manifestasi lain sebagai didapatkan data yang signifikan pada
keluhan utama yaitu radang pleura, batuk penelitian sebelumnya yaitu pada tahun
dan dsypnoe sehingga terkadang dapat 2004 oleh Horizon AA dan Wallace yang
menyebabkan terlambat dalam menunjukan bahwa penggunaan NSAID
12
mendiagnosis. pada pasien hampir mencapai 80%
terbanyak setelah penggunaan
kortikosteroid. Penggobatan NSAID sering Hal ini didukung berdasarkan
digunakan dalam mengatasi nyeri dan penelitian Irawati, et al.16 Pada tahun 2016
pembengkakan pada sendi dan otot maka yang menunjukkan bahwa semua sample
dari itu pengobatan NSAID di awal keluhan pasien SLE yang diteliti mengunakan obat
utama dapat menghambat penegakkan kortikosteroid. hampir semua pasien
diagnosis SLE.14 kebanyakan mengkonsumsi obat
Pada riwayat pengobatan NSAID kortikosteroid, hanya 20% pasien yang
merupakan obat antiinflamasi Non Steroid tidak mengkonsumsi obat kortikosteroid.
(NSAID), obat ini dapat digunakan untuk Obat ini paling banyak digunakan karena
mengatasi nyeri, pembengkakan pada selain mempunyai efek imunosupresan dan
sendi, otot dan jaringan lain. Pada mempunyai efek anti inflamasi. Hal ini
penelitian Menurut Daleboudt, et al.15 sangat berhubungan dengan keluhan utama
Menyatakan penggunaan obat NSAID yang di rasakan pasien sehingga salah
paling banyak diresepkan pada pasien dalam penatalaksanaan dan memlambat
dengan gejala awal nyeri sendi sebanyak dalam mendiagnosis SLE.
28,3%. Terlalu banyak penggunaan obat Menurut Ferenkeh-Koroma (2012)17,
NSAID dapat menjadi indikator kurang dengan indikator jarang mengalami lupus
terkontrolnya gejala SLE yang berarti juga flare, gejala yang dialami dapat berupa
kurang terkontrolnya reativitas imun pasien ruam kulit dan/atau nyeri dada, terkadang
menggunakan obat-obat penekan respon menghubungi petugas kesehatan untuk
imun. Maka dari itu riwayat pengobatan meminta bantuan, terapi yang didapat
atau terapi awal sangat erat dalam berupa obat kortikosteroid kontinum
menentukan interval waktu terdiagnosis (Methylprednisolone) dan imuno-supresan
SLE sehingga tidak terlambat dalam (Cyclosporine).
mendiagnosis dan tidak terjadi komplikasi Hubungan antara tingkat pendidikan
lain. dengan interval waktu diagnosis. Nilai
Pada riwayat pengobatan statistik yang didapatkan pada hasil tingkat
kortikosteroid diperoleh nilai signifikan p = pendidikan adalah p=0,011 (p.value < 0,05
0,005 (p.value< 0,05) dan Nilai PR sebesar ) dapat di artikan bahwa tingkat pendidikan
3,119 CI 95% 1,393-6,981. Menunjukan mempengaruhi interval waktu terdiagnosis
bahwa riwayat pengobatan kortikosteroid SLE dan dari perhitungan Prevalence Risk
mempunyai faktor pengaruh dalam diperoleh nilai PR sebesar 2,771 CI 95%
mendiagnosis SLE dari gejala awal hingga 1,248-6,154. Hal ini menunjukkan bahwa
terdiagnosis SLE dan memiliki risiko 3,119 tingkat pendidikan memiliki risiko 2,771
kali terhadap faktor-faktor yang kali mempengaruhi interval waktu
mempengaruhi interval waktu dari gejala terdiagnosis dan pada populasi sampel yang
awal sampai terdiagnosis SLE. Sehingga diambil sebanyak 124 pasien yang tingkat
pasien yang diterapi awal dengan pendidikannya SMA kebawah hal ini akan
kortikosteroid memiliki risiko terlambat mempengaruhi seseorang dalam
terdiagnosis SLE dikarenakan apabila menghadapi penyakit yang dideritanya.
seharusnya terdiagnosis SLE tetapi Pendidikan merupakan faktor yang
terdiagnosis lain dan diterapi steroid ini mempengaruhi interval terdiagnosis SLE
akan mengakibatkan gejala SLE menjadi dikarenakan semakin tinggi tingkat
tenang atau tidak menujukan gejala khas. pendidikan maka semakin tinggi juga
tingkat pengetahuan yang dimiliki terdekat untuk mendapatkan pelayanan
seseorang sehingga pasien dapat mencari kesehatan dari tim medis. Maka dari itu
informasi lebih terhadap SLE. Penelitian di semenjak adanya perubahan jaminan
Swedia 33,3% penderita SLE di Swedia kesehatan menjadi BPJS pasien lebih sadar
merupakan masyarakat yang telah akan kesehatan diri sendiri dan menjadi
menempuh jalur pendidikan hingga ke lebih mudah ketika berobat ke pelayanan
perguruan tinggi, 25% merupakan siswa kesehatan.
yang telah lulus SMA dan sedang Sedangkan pada keluhan ruam merah
menempuh pendidikan untuk wajah, Jenis Kelamin, Keluhan nyeri otot,
mempersiapkan diri masuk ke universitas. Keluhan Pusing, keluhan lelah dan riwayat
Hanya 14% penderita SLE di Swedia yang pengobatan penisilin merupakan variabel
merupakan tamatan SD (Bexellius, et al., yang memiliki nilai p.value > 0,05
2013).18 menyatakan bahwa tidak bermakna dan
Sosial ekonomi sangat tidak adanya signifikan terhadap faktor-
mempengaruhi dan mempunyai hubungan faktor yang mempengaruhi interval
untuk dalam menentukan kesehatan. Dari terdiagnosis SLE.
analisis data antara sosial ekonomi terhadap
interval waktu terdiagnosis SLE Kesimpulan
munggunakan uji Chi Square, di peroleh Pada penelitian ini Sosial ekonomi
nilai signifikan p = 0,042 (p.value < 0,05 ). yang rendah dengan nilai (p= 0,025, PR
Hal tersebut menunjukan bahwa sosial 2,945, CI95% 1,210-7,168), keluhan utama
ekonomi bermakna terhadap faktor-faktor nyeri sendi (p= 0,021, RR 5,923, CI95%
yang mempengaruhi interval waktu dari 1,315-26,671), keluhan nyeri dada
gejala awal sampai diagnosis SLE. Dari (p=0,049, PR 4,890, CI95% 1,072-22,201),
perhitungan Prevalence Risk diperoleh nilai keluhan demam (p= 0,037, PR 5,224,
PR sebesar 2,413 CI 95% 1,019-5,715. Hal CI95%1,154-23,645), tingkat pendidikan
ini menunjukkan bahwa sosial ekonomi (p= 0,019, PR 2,771, CI95%1,248-6,154),
memiliki risiko sebesar 2,413 kali terhadap dan riwayat pengobatan kortikosteroid (p=
faktor-faktor yang mempengaruhi interval 0,001, PR 3,491, CI95%1,741-8,921), dan
waktu diagnosis SLE dari gejala awal pengunaan non steroid anti-inflamasi drug
hingga terdiagnosis SLE. Sehingga pasien (NSAID) (p= 0,022, PR 2,77 CI95%1,221-
yang tidak memiliki jaminan kesehatan 6,351) merupakan faktor yang
memiliki risiko terlambat terdiagnosis SLE mempengaruhi interval terdiagnosis SLE
dari pada pasien yang memiliki jaminan yang dapat menyebabkan keterlambatan
kesehatan. dalam mendiagnosis SLE sehingga apabila
terdiagnosis lebih dari 3 bulan akan
Oleh karenakan itu jaminan
menyebabkan kerusakan organ maka dari
kesehatan dapat menjadi salah satu faktor
itu perlu peningkatan kewaspadaan klinisi.
penyebab lamanya terdiagnosis SLE maka
dari itu jaminan kesehatan mempunyai Daftar Pustaka
peranan penting dalam pengobatan
kesehatan pasien, sehingga pasien tidak 1. Farkhati MY, Hapsara S, Satria CD.
ragu untuk mendatangi puskesmas dan Antibodi anti-DNA sebagai faktor
rumah sakit atau pelayanan kesehatan prognosis mortalitas pada lupus
eritematosus sistemik. Sari Pediatri. 10. Waluyo S, Putra BM. 100 question and
2012; 14, (2): 90-96. answer lupus. 1st edition ed. Jakarta: PT
2. Riskesdas. Laporan Hasil Kesehatan Elex Media Komputindo; 2012.
Dasar. Badan Penelitian dan 11. Gordon c, Isenberg D, Lestrom K,
Pengembangan Kesehatan Departemen Norton, Nikai E, Daphnee S, et al. The
Kesehatan RI; 2013. substantia; burden of sytemic lupus
3. Rekomendasi Perhimpunan erythematosus on the productivity and
Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan careers of patients. a european patient-
pengelolaan lupus eritematosus drivwn online survey. Rheumatology,
sistemik. Perhimpunan Reumatologi 2014;52:2292–01.
Indonesia; 2011. 12. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI. Lupus
4. Nightingale AL, Davidson JE, Molta eritematosus sistemik. Dalam: Sudoyo
CT, Kan HJ, McHugh NJ. Presentation AW, Setiyohadi B, Alwi I, editor. Ilmu
of SLE in UK primary care using the Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima.
Clinical Practice Research Datalink. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hal
Lupus Sci Med; 2017. 2565-79.
5. Teh CL,Ling GR. Cause and predictors 13. D’Cruz D, Espinoza G, Cervera R.
of mortality in hospitalized lupus patient Systemic lupus erythematosus
in Sarawak General Hospital, Malaysia. pathogenesis, clinical manifestations,
Lupus. 2013;22:106-11. and diagnosis; 2012.
6. Bernatsky S, Levy D, Ramsey-Goldman 14. Horizon AA and Wallace DJ. Benefit
R, Gordon C, Rahman A, Clarke AE. ratio of Nonsteroid Anti inflammatory
Mortality in SLE. In : Wallace DJ, Hahn Drugs in Systemic Lupus
BH, editors. Dubois’ lupus Erythematosus. Journal expert opin drug
erythematosus and related syndromes. 8 safety. 2004; 3(4).
ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 15. Daleboudt G, Broadbent E, McQueen F,
2013. p666-75.th Kaptein AA. Intentional and
7. Garcia G, Lopez L, Valera G, Cardona unintentional treatment nonadherence in
M, Salazar P, González O, et al. Serum patients with systemic lupus
leptin levels in women with systemic erythematosus. Arthritis care &
lupus erythematosus. Rheumatol Int. research. 2011;63(3):342-50.
2002;22(4):138-41. 16. Irawati S, Prayitno A, Angel, Safitri RH.
8. Hom G, Graham PR, Modrek B, Taylor Studi pendahuluan profil penggunaan
KE, Ortmann W, Garnier S, et al. obat dan kepatuhan terhadap pengobatan
Association of Systemic Lupus pada pasien lupus di komunitas. Jurnal
Erythematosus with C8orf13-BLK and Sains Farmasi dan Klinis; 2016; vol
ITGAM-ITGAX. N Engl J Med. 3(3):82-7.
2008;20; 358: 900-97. 17. Ferenkeh-Koroma, A. Systemic lupus
9. Arsita E. Peran infeksi sebagai prediktor erythematosus: nurse and patient
mortalitas pada pasien lupus education. Nursing Standard,
eritematosus sistemik yang rawat inap 2012;26(39):49–7.
[tesis]. Jakarta: Fakultas kedokteran 18. Bexelius C, Wachmeister K, Skare P,
Universitas Indonesia; 2014. hal 28. Jonsson L, Vollenhoven RV. Drivers of
cost and health-related quality of life in
patient with systemic lupus
erythematosus. Swedish nationwide
study based on patient reports. Lupus,
2013;22:793–01.

Anda mungkin juga menyukai