Anda di halaman 1dari 76

PERANG ATJEH

1873 – 1927 M

Oleh:
Hasan Muhammad Tiro

Disalin Ulang Sebagaimana Aslinya dan Dengan Ejaan Yang


Disempurnakan Oleh:
Haekal Afifa
Kepada Ibuku
Pendahuluan
Sebagaimana halnya daerah Aceh adalah satu
bagian yang tak terpisahkan dari Negara Republik
Indonesia maka demikian pulalah sejarahnya pun
merupakan satu bagian yang tak terpisah dari sejarah
Indonesia, demi semboyan kita satu bangsa, satu bahasa
dan satu tanah air.

Untuk menjamin kelanjutan tekad ini sebaik-


baiknya tidak saja harus kita perjuangkan dalam
lapanngan pengertian politik tetapi juga dalam segala
lapangan kebudayaan bangsa!

Disinilah terletak tanggung jawab yang besar atas


pundak seluruh pemimpin-pemimpin, pendidik dan
terutama penulis-penulis sejarah kita! Tanggung jawab
untuk menjelmakan jiwa “kesatuan” dari seluruh daerah,
baik dalam pengertian politik maupun dalam pengertian
sejarah dan kebudayaan.

Pengemblengan yang harmonis dari seluruh anasir


tubuh yang merupakan kesatuan kita, inilah yang
menjadi sumber kekuatan kita terutama dalam
menghadapi masa-masa yang akan datang!

Dalam hubungan ini penulis-penulis sejarah kitalah


yang akan memegang peranan yang terpenting. Mereka
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang berat,
untuk menjelmakan satu sejarah buat satu bangsa
Indonesia!

Untuk ini, perlu supaya tiap-tiap daerah kita


dikenal dengan arti yang seluas-luasnya.

Risalah ini kita tulis untuk menambah saling


mengerti dan saling teladan-meneladani diantara kita,
karena hingga kini boleh dikatakan belum ada satu
bukupun yang ditulis tentang Aceh dan Perang Aceh
dalam bahasa kita, untuk kepentingan perjuangan kita.
Tetapi telah berpuluh-puluh buku ditulis oleh Belanda
untuk kepentingan Belanda dan disiarkan ditengah-
tengah kita yang memberi gambaran yang salah, tidak
benar dan tidak adil tentang daerah Aceh dan
penduduknya dengan maksud untuk mengadu-dombakan
kita dan membenarkan tindakannya memperkosa
kemerdekaan Aceh, kubu yang terakhir dari benteng
bangsa Indonesia.

Untuk menutupi maksudnya yang nista,


dipermulaan perang, dari mulut Belanda berhamburan
kata-kata “Bajak Laut, perampok pantai, penyamun
orang, pencuri kapal dagang, dsb”. (Zeeroof, strandroof,
menschenroof, plundering van handelsschepen, enz. enz)
yang ditujukan terhadap rakyat Aceh. Tuduhan-tuduhan
yang tidak beralasan dan omong kosong belaka yang
dibikin-bikin oleh Belanda sendiri untuk menghalalkan
perang kolonialnya sebagai mana akan kita buktikan
nanti.

Setelah puluhan tahun berperang dan tenyata


Belanda tidak sanggup menundukkan Aceh semudah
yang disangkanya karena menghadapi perlawanan rakyat
yang segigih-gigihnya, dari mulut Belanda berhamburan
pulalah tuduhan-tuduhan: “Haus darah, fanatik, dsb”
(Bloeddorsting, fanatieker enz.enz) terhadap rakyat
Aceh.

Sungguh ganjil dan tak dapat dimengerti kalau


Belanda yang datang mendarat ke Aceh dengan
membawa “pedang” dan “api” lalu menuduh rakyat
Aceh “haus darah”, padahal Belanda lah yang datang ke
Aceh untuk menumpahkan darah karena bangsa Belanda
memang bansga “haus darah”!

Belanda menuduh rakyat Aceh “Fanatik” sebabnya


ialah:

Karena rakyat Aceh mencintai kemerdekaannya


Karena rakyat Aceh tidak sudi dijajahnya
Karena rakyat Aceh sebagai kata Belanda sendiri
“berjuang laksana singa” (vochten als leeuwen1)
mempertahankan kemerdekaannya,

1
Zentgraaff: “Atjeh”, p.20
Karena rakyat Aceh dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaannya hanya memilih sala satu diantara dua
alternative: menang atau mati.
Inilah sebabnya Belanda mengecap rakyat Aceh
fanatik.

Sungguh suatu paradoks!


Andainya “cinta kepada kemerdekaan bangsa dan
tanah air serta menyerahkan jiwa raga untuk
mempertahankannya” ini yang di namakan fanatik, maka
sesungguhnya seluruh bangsa yang sopan adalah
“fanatik” dan harus “fanatik”.

Masih banyak lagi isapan-isapan jempolnya yang


disiarkan oleh Belanda untuk menghitamkan Aceh dan
menghalalkan perang kolonialnya yang tak perlu kita
bicarakan disini karena hanya bersifat pembicaraan yang
rendah belaka dan memang tak dapat diterima oleh
siapapun yang berpikir sehat.

Sebagaimana telah kita terangkan Aceh lah


benteng kemerdekaan yang terakhir dari bangsa
Indonesia, karena hanya daerah Aceh lah satu-satunya
daerah kita yang sanggup mempertahankan
kemerdekaannya sampai pada saat yang paling akhir,
lama setelah seluruh Indonesia sudah dijajah oleh
Belanda. Demikian juga perang Aceh adalah perang
yang dipaksakan oleh Belanda kepada satu negara
Indonesia yang merdeka dan berdaulat, jadi bukan hanya
satu pemberontakan saja.

Dalam perang Aceh yang berjalan sampai setengah


abad itu, bangsa kita telah menulis satu riwayat
kepahlawanan yang gilang-gemilang yang jarang tolak
bandingnya di dunia dengan darah dan jiwa mereka,
sejarah kepahlawanan yang mengagumkan kawan dan
lawan, sejarah kepahlawanan “die den trots van elk volk
zouden uitmaken2” – “yang patut menjadi kebanggaan
sesuatu bangsa” seperti kata Zentgraff!

Dalam rangkaian riwayat perjuangan mati-matian


itu banyak contoh dan teladan yang dapat kita ambil
terutama dalam memupuk semangat pengorbanan dan
tanggung jawab kita kepada sejarah.

Sejarah telah mencatat bagaimana nenek-nenek dan


bapak-bapak kita dahulu dalam perang mempertahankan
daerah merdeka yang terakhir dari bumi Indonesia,
mereka telah menyerahkan harta bendanya, tenaga dan
pikirannya, paling akhir jiwa raganya; mereka benar-
benar berjuang sampai ketitik darah yang penghabisan
dengan arti yang sesungguh-sungguhnya.

2
Zentgraaff: “Atjeh”, p.1
Para pemimpin hidup bersama-sama rakyat dan
merekapun mati bersama-sama rakyat pula. Pada waktu
Belanda dapat menduduki seluruh Aceh hampir seorang
pemimpinpun tak ada lagi yang hidup, semua mereka
lebih suka memilih mati sebagai pahlawan dari pada
hidup dalam penjajahan!

Banyak, sungguh banyak teladan dan pengalaman


yang dapat di ambil dari Perang Aceh, baik oleh
pemimpin maupun oleh rakyat, terutama dalam
menghadapi Belanda musuh pusaka kita!

Dalam pada itu, kita merasakan juga, dilihat dari


sudut kebangsaan sesungguhnya tidaklah tepat kita
bangsa Indonesia menamakan peperangan Belanda-Aceh
itu sebagai suatu “Perang Aceh”, setidak-tidaknya kita
harus menamakan peperangan itu “Peperangan Belanda-
Aceh”, tetapi mengingat pendapat umum disini yang
sudah lazim menamakan “Perang Aceh” terhadap
“Peperangan Belanda-Aceh” itu (tentu saja dari
pengaruh lecture-lecture musuh), maka untuk
memudahkan pengertian umum terhadap isi dan maksud
risalah ini, kita pakailah buat sementara nama darurat ini.

Dalam risalah ini kita mencoba menggambarkan


perjalanan “Peperangan Belanda-Aceh” itu dengan
seringkas-ringkasnya, walaupun sesungguhnya sebagai
kata E.S De Klerck “It would carry us, too far afield, if
we tried to outline the Atjeh war even in the most concise
manner3” – Kita akan dibawa terlalu jauh –berlebar
panjang- jika kita mencoba meringkaskan riwayat
Perang Aceh walaupun secara yang amat singkat”

Kemudian, pada tempatnya pula, disini kita


mengucapkan terimakasih kepada Tuan H. Abubakar
atas bantuan-bantuannya.

Demikianlah, semoga maksud kita tercapai.


Jogja, April 1948

Hasan Muhammad Tiro

3
E.S.De Klerck: “History of the Netherland East Indies” Jilid II, p.349
Sejarah
Lama sebelum 500 M. Kerajaan Aceh sudah
berdiri di Sumatera Utara. Sebagai satu negara merdeka
dan berdaulat, Kerajaan Aceh mempunyai perhubungan
dengan negara-negara sekitarnya baik hubungan
diplomatik maupun hubungan dagang misalnya dengan
Jepang, Tiongkok, India, Mesir, Arab, Turki, Persi, Siam
dll, negara di Asia Tenggara.

Geografis kedudukan Aceh memang mempunyai


syarat-syarat yang cukup untuk menjadi negara dagang
(Handelstaat) yang maju dan karena itu tidaklah
mengherankan jika dari dahulu kala pelabuhan-
pelabuhannya penuh dengan kapal-kapal dagang dari
berbagai bangsa.

Sekalian pedagang atau pelancong ke Asia Timur


tentulah tak boleh tidak akan memerlukan datang atau
singgah di pelabuhan-pelabuhan Aceh dan tidak sedikit
pula dari mereka yang mencantumkan keadaan Kerajaan
Aceh dalam bukunya.

Berturut-turut El Idrisi (± 1154 M), Qazwini (±


1270 M), Marco Polo (± 1345), Friar Odorico (± 1323
M), Ibnu Batutah (± 1345 M), Nicolo Conti (± 1432 M),
Beaulieu (± 1621 M), Willeam Dampier, dsb,
menguraikan keagungan dan kejayaan Kerajaan Aceh
dari abad ke abad.
Pada abad ke 13 M, orang Aceh sudah memeluk
Islam dan sebagai dikatakan oleh Kreamer: “Les
Atchinois sont musulmans jusqu’ala moelle. L’Islam fait
partie de leur substance vivante4” (Orang Aceh adalah
Islam sampai ke tulang sumsumnya. Islam telah
merupakan sebagian dari zat hidup mereka).

Oleh karena itu tidak mengherankan jika Aceh


dengan segera telah menjadi Negara Islam dengan
pemerintahannya yang demokratis dan ber-trias politica.
Raja-raja dipilih dan tidak mempunyai kekuasaan yang
mutlak, kekuasaan Perencana (Legislative) dipegang
oleh para cerdik pandai; sedang kekuasaan Kehakiman
berada dalam tangan seorang Hakim Tertinggi yang
memakai gelar “Teungku Kali Rabbon Djale” (Hakim
Allah Yang Maha Esa) yang pembantu-pembantunya
yang bergelar “Teungku Kali Malikon Ade” (Hakim Raja
Keadilan).

Dengan datangnya abad ke 16 M yang membawa


kebangunan perkapalan dikalangan bangsa Eropa dan
antara lain mengakibatkan tambah ramainya Selat
Malaka, hal ini dilapangan perdagangan memberi
keuntungan, dan dilapangan politik memberi kedudukan
yang international bagi Kerajaan Aceh.

William Dampier menceritakan tentang Wakil-


wakil dagang Asing yang berada di Aceh seperti Inggris,
4
G.H.Bousquet: “Introduction a l’etude de I’Islam Indonesien” p.158
Belanda, Denmark, Portugis, Spanyol, Tiongkok, Italia
dan lain sebagainya.

Dikatakannya “The anchorange was rarely without


ten or fifteen sail of different nations5” – pelabuhan Aceh
jarang waktu itu dengan tak ada kapal dagang 10 atau 15
dari berbagai-bagai bangsa, yang membawa dan
mengangkut bermacam-macam barang dagangan.

Encyclopaedia Britannica mengatakan bahwa


emaslah yang sangat menarik perhatian para pedagang
dari berbagai bangsa untuk datang ke Aceh. “No place in
the East unless Japan, was so abundantly supplied with
gold6” – “tak ada satu tempatpun di Timur kecuali
Jepang yang begitu melimpah dengan emas”.
Demikianlah dikatakan selanjutnya.

Tak dapat disangkal lagi bahwa banyaknya emas


dalam sesuatu negara adalah sebagai tanda kekayaan dan
kemakmurannya. Emas yang melimpah di Kerajaan
Aceh waktu itu bukan saja hasil dari tambang-
tambangnya tetapi juga yang mengalir dari luar negeri
sebagai hasil dari perdagangan negara yang kuat.

Demikian juga dengan hubungan diplomatik


dengan luar negeri berjalan dengan sebaik-baiknya,

5
The Encyclopaedia Britannica, p.145
6
Ibid
bukan saja dengan negara-negara Asia tetapi juga dengan
negara-negara Eropa.

Sir James Lancarster, Commondore Inggris


membawa surat untuk Sultan Aceh dari Ratu Elizabeth
yang diterima dengan baik oleh Sultan Alauddin Syah
yang menjadi raja di Aceh waktu itu.

King James I dari Inggris juga telah melakukan


perhubungan surat menyurat dengan Sultan Iskandar
Muda pada tahun 1613 M.

Sidi Muhammad, Duta Aceh di Perancis, seorang


putera Aceh asli berasal dari Pidie dan mendapat
pendidikan di Paris, membawa surat-surat dari Raja
Perancis Louis Philippe untuk Raja Aceh yang
bertanggal a.I. “Palais Imperial des Tuileries, le
deuxieme jour du mois de janvier de I’an de grace Mil
Huit cent quarante trois” (Istana Kerajaan, Tuileries,
hari kedua dari bulan Januari tahun 1843 M) dengan
ditanda tangani oleh Louis Philippe sendiri dan Menteri
Luar Negeri Perancis, Guizot.

Hubungan surat menyurat telah berlaku juga antara


Raja Napoleon III dengan Raja-raja Aceh.

Perlu juga disebut Cesar Moreno Duta Italia di


Aceh sejak tahun 1859 – 1867 M yang telah banyak
memberi bantuan kepada Aceh waktu pecah perang
dengan Belanda, dengan penerangan-penerangannya di
Eropa dan Amerika yang menyatakan kebenaran Aceh
dan kecurangan Belanda.

Hubungan dengan negara-negara Eropa yang


lainpun berjalan dengan baik seperti Denmark, Spanyol,
dsb. Kecuali dengan Portugis karena bangsa ini
senantiasa berniat jahat terhadap Aceh.

Pada pertengahan abad ke 16 M setelah diizinkan


kepada mereka untuk membuka kantor dagangnnya di
Pase yaitu tahun 1521 M, lalu dengan cara yang tidak
jujur bangsa Portugis hendak merampas dan menjajah
daerah tersebut, sehingga terpaksalah Kerajaan Aceh
pada tahun 1542 M menyapu bersih mereka dari sana.

Setelah itu bangsa Portugis terus menerus


memusuhi Aceh dengan menduduki daerahnya ataupun
menghasut rakyat supaya berontak kepada pemerintah
pusat di Kutaraja.

Untuk membasmi tindakan durjana dari bangsa


Portugis ini yang mengacau di Semenanjung Malaka,
pada tahun 1615 M Sultan Iskandar Muda mengirimkan
armadanya yang terdiri dari 500 kapal yang 100 buah
diantaranya “greater than eny then used in Europe” –
lebih besar dari yang pernah dipakai waktu itu di Eropa.
Begitulah dikatakan oleh The Encyclopaedia Britannica7.

7
The Encyclopaedia Britannica, Jilid I, p.145
Pada waktu itulah Aceh berada dipuncak
kejayaannya, ialah masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1607 M – 1636 M).

Dalam Mayers groszes Konversations Lexikon


diterangkan:

“Anfang des 17 Jahrh, als das Anfang des 16. Jahrh”


beggrundete Rech Atschin aus seiner Hohe stand,
erstreckte sich sein Gebiet jangs der Westkuste Sumatras
bis Benkulen und jangs der Oskuste bis Kampar
wahrend ein Teil der angrenzenden Binnen lander und
der Halbinsel Malakka ihm Tribut zahlte8”

(Pada permulaan abad ke 17, tatkala Kerajaan Aceh yang


dibangunkan pada permulaan abad ke 16 berada di
puncak kedudukannya, daerahnya pun meluas sepanjang
pantai Barat Sumatera sampai ke Bengkulen dan
sepanjang pantai Timur Sumatera sampai ke Kampar,
sedang sebagian dari daerah pedalaman yang berbatasan
dengan itu dan semenanjung Malaka membayar upeti
kepadanya).

Perhubungan Dengan Belanda


Pada 24 Juni 1599 M datanglah Cournelis de
Houtman ke Aceh. Inilah perhubungan yang pertama
8
Meyers grosses Konversations Lexikon, Jilid II, p.63
dengan bangsa Belanda, pada waktu itu sudah terjadi
suatu insiden disebabkan oleh orang-orang Portugis yang
memang telah lama bermusuh dengan bangsa Belanda
dalam lapangan perdagangan. Dari pihak Pemerintah
Kerajaan Aceh sebagai tuan rumah waktu itu juga telah
dikeluarkan penjelasan atas terjadinya insiden tersebut
dipelabuhannya dan diharapkan agar hal itu dihabiskan
sehingga itu saja, supaya segala pihak yang bersangkutan
dapat terus-menerus mempergunakan pelabuhan-
pelabuhan Kerajaan Aceh yang dibuka kepada segala
bangsa untuk berdagang.

Dalam pada itu sesungguhnya sejak bertambah


ramainya Selat Malaka dilayari oleh kapal-kapal dagang
bangsa Eropa yang berlomba-lomba mencari keuntungan
ke Timur, suasana perdagangan diperairan ini menjadi
tidak tenteram lagi disebabkan oleh perlombaan dan
perebutan keuntungan diantara bangsa-bangsa itu sendiri
yang seringkali mengakibatkan terjadinya serang-
menyerang dan rampas-merampas sesama mereka.

Jika hal-hal yang demikian telah terjadi maka yang


harus dipertanggung jawabkan bukanlah negara-negara
Timur yang berkuasa disekitar daerah itu seperti Aceh
dsb, tetapi bangsa-bangsa pedagang itu sendirilah yang
bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatannya
sendiri; “the rivalries between those nations themselves,
were destructive of sound trade” – perlombaan diantara
bangsa-bangsa itu sendirilah yang menghancurkan
suasana perdagangan yang tenteramn – demikianlah
dikatakan oleh The Encyclopaedia Britannica9.

Selanjutnya dikatakannya, walaupun suasanan


demikian, suasana yang penuh dengan kemungkinan-
kemungkinnan intervensi, tetapi perdagangan Kerajaan
Aceh tetap berlangsung dengan kokoh.

Bagaimanapun juga bangsa-bangsa Barat itu


bermusuhan satu sama lainnya, pihak diplomat-diplomat
Kerajaan Aceh tetap memandang sama keapda mereka
dengan tidak membeda-bedakan kebangsaannya.
Memang tidak sedikit diantara mereka yang berusaha
untuk menarik Kerajaan Aceh berpihak kepadanya dan
mendesak supaya meninggalkan pendirian neutralite
nya, dan tidak jarang pula dengan mengadakan
provokasi-provokasi.

Tetapi desakan-desakan dan provokasi-provokasi


itu tidak pernah menggoyangkan diplomat-diplomat
Aceh dari dasar pendiriannya karena mereka sadar benar
bahwa negaranya mempunyai kedudukan yang amat baik
dan strategis dalam evenwichtspolitiek!

Dengan Belandapun Kerajaan Aceh seringkali


mengadakan perjanjian-perjanjian persahabatan serta
memberikan kepada mereka kesempatan-kesempatan
berniaga di pelabuhan-pelabuhan Aceh bahkan lebih dari

9
The Encyclopaedia Britannica, Jilid I, p.145
itu dengan memberikan keistimewaan-keistimewaan
perdagangan kepadanya, seperti perjanjian tentang
perdagangan timah di Perak (Malaya) pada tahun 1650
M dan lain sebagainya.

Tetapi rupanya Belanda sungguh-sungguh satu


bangsa yang tidak tahu membalas budi. Disatu pihak ia
membuat perjanjian-perjanjian persahabatan dengan
Aceh dan mengenyam hasil-hasilnya, sedang dipihak
lain ia mengadakan tindakan-tindakan “verdeelheid te
wekkend tusschen Atjeh en de onderworpenstaten10” –
memecah belah Aceh dengan daerah takluknya. Dan
kemudian supaya daerah-daerah itu dapat dijajahnya.

Sepanjang abad ke-16 M, abad ke-17 M, abad ke-


18 M dan 19 M, dengan mempergunakan segala akal
licik dam tipu daya Belanda berusaha dengan sekuat-
kuatnya menjalankan politik “memecah dan menjajah”
terhadap daerah-daerah Kerajaan Aceh di Timur dan di
Barat Sumatera. Semua itu telah diperbuat oleh Belanda
dengan tidak mengindahkan “Perjanjian Persahabatan”
(Treaty of Friendship) yang telah ditanda tanganinya
dengan Aceh bahkan yang telah diperbaharuinya
beberapa kali!

Sebagai akibat dari pada tindakan-tindakan


Belanda itu berturut-turut seluruh daerah Kerajaan Aceh,
di barat Pulau Sumatera dari Bengkulen sampai Singkel,
10
Beknopte Encyclopaedie van Nederlandsch Oost-Indie, p.21
di timur Sumatera dari Indragiri sampai Besitang telah
jatuh menjadi korban!

Siapakah yang masih ragu-ragu bahwa dengan


tindakannya itu tidak berarti Belanda telah menginjak-
injak “Perjanjian Persahabatan” nya dengan Aceh?

Siapakah yang masih ragu-ragu bahwa dengan


tindakannya itu tidak berarti Belanda telah melanggar
kedaulatan Kerajaan Aceh?

Siapakan yang masih ragu-ragu bahwa dengan


tindakannya itu tidak berarti Belanda telah menjalankan
agresi, telah menjalankan “Perang” terhadap Kerajaan
Aceh?

Memang dengan demikian Belanda sudah


menjalankan perang terhadap Aceh. Tetapi sebagaimana
Belanda bangsa yang licik, perang yang dijalankannya
itupun adalah secara licik pula yaitu perang dengan tiada
memakai pemakluman!

Sungguhpun sudah sedemikian Kerajaan Aceh


masih memperlihatkan goodwill nya dan menyatakan
bersedia mengadakan perundingan-perundingan dengan
Belanda untuk memperbaiki perhubungan asal saja
Belanda benar-benar menepati segala perjanjian yang
ditanda tanganinya.
Dengan demikian ditahun 1857 M, ditanda
tanganilah persetujuan damai antara Belanda dengan
Kerajaan Aceh yang diiringi pula dengan perjanjian-
perjanjian perdagangan yang lain.

Tetapi rupanya Belanda sungguh-sungguh bangsa


kawanan perampok yang tidak tahu menepati janji,
karena belum kering tinta perjanjian yang ditanda
tanganinya, Belanda telah membuat pula tindakan-
tindakan yang menginjak-injak perjanjian tersebut
dengan terus-menerus menggerakkan usaha “Devide ut
Impera” – nya untuk menjajah Aceh.

Dengan diam-diam atau terang-terangan Belanda


terus berusaha dengan taktik ‘secrete besoignes’ untuk
menarik pembesar-pembesar Sumatera yang dibawah
Mahkota Kerajaan Aceh kebawah “perlindungan” (sic!)
– nya (“om de Sumatraanche landsgrooten van de
croone van Atschin tot de bescherming van de
Compagnie te trecken11”)

Tetapi bagaimanapun juga sebagai diakui oleh


Belanda sendiri “De Maleiers verkozen echter veelal
Atjeh……boven de “bescherming” der Compagnie12” –
orang-orang Melayu lebih suka memilih Aceh…….dari
pada “perlindungan” Kompeni itu.

11
Encyclopaedie van Nederlandsch Oost-Indie, Jilid I, p.76
12
Ibid
Pada waktu itu Kerajaan Aceh tak dapat sabar lagi,
perkataan “peace at any price” tak ada dalam kamus
Aceh; pada tahun 1865 M berangkatlah Tentara Aceh ke
Sumatera Timur untuk memerdekakan kembali daerah
itu dari cengkraman Belanda. Ekspedisi ini berhasil
memerdekakan kembali sebagian daerah Sumatera
Timur.

Dalam pada itu sesungguhnya tenaga Kerajaan


Aceh telah banyak susut sejak wafatnya Sultan Iskandar
Muda. Mungkin karena Aceh sesudahnya berturut-turut
diperintahkan oleh Raja-Raja perempuan sampai tiga
kali yang lambat laun membawa kepada kelemahan
pemerintahan.

Pada penghabisan abad ke 19 M, boleh dikatakan


praktis seluruh Indonesia sudah menjadi tanah koloni
bangsa-bangsa Imperialis Barat seperti Belanda, Inggris,
atau Portugis, hanya Acehlah satu-satunnya yang masih
tetap merdeka dan berdaulat.

Belandapun tahu bahwa anasir-anasir kelemahan


sudah mulai menyelinap dalam tubuh Kerajaan Aceh
yang sangat dimusuhinya sebab selama sejarah
pernjajahan dimulai, kekuasaan Aceh selalu merupakan
satu ancaman besar bagi Belanda.
“Atjeh de achillesbiel van ons koloniaal
bestaan!13” (Aceh tempat yang menyakitkan hati dan
memalukan dalam pengertian penjajahan kita) Kata E.S
de Klerck.

Tetapi sesungguhnya Aceh tidaklah selemah yang


disangkakan oleh Belanda.

Tetaplah sudah niat Belanda untuk memperkosa


kemerdekaan Kerajaan Aceh supaya seluruh Indonesia
sempurna dibawah telapak kakinya.

Tetapi sebagai dunia tahu dan Belandapun tahu


sesungguhnya tak ada alasan baginya untuk menyerang
Aceh, sebaliknya Aceh lah yang cukup mempunyai
alasan untuk memusuhinya.

Berkali-kali sudah Belanda mendesak, menggertak


dan mengancam Kerajaan Aceh supaya menerima
kedaulatan Belanda atas dirinya – de aanvaarding van
Nederlands souvereiniteit14 – karena inilah yang
sebenarnya yang dikehendaki Belanda tetapi gertakan
dan ancaman itu sia-sia belaka.

Oleh karena itu untuk menghalalkan perang


kolonialnya Belanda lalu membikin-bikin alasan untuk
mengabur mata dunia.

13
E.S.De Klerck: “De Atjeh Oorlog”, Jilid I, p.205
14
Ibid, p.442
Dituduhnyalah rakyat Aceh “Bajak Laut” yang
katanya merampas kapal-kapal dagangnya “sekian” buah
di tempat “ini” dan “sekian” buah pula di tempat “itu”.
Bahkan kapalnya yang bernama Dolfiin yang terbakar
ditengah-tengah lautan Hindia karena kelalaian anak
buahnya sendiri, kapal inipun katanya dirampok oleh
“bajak laut” Aceh dan muatannya yang telah tenggelam
ditengah-tengah samudera, itu dihitung oleh Belanda
sudah dibawa ke Kutaraja. Untuk menambah
interressant kepada cerita-cerita yang dikarangnya itu
Belanda membubuhi pula bumbu-bumbu yang lain
dengan mengatakan bahwa tidak sedikit pula kapal-kapal
Inggris, Perancis, Tionghoa, dll yang turut menjadi
korban “bajak laut” Aceh. Padahal, bangsa-bangsa yang
bersangkutan itu sendiri tidak menerangkan apa-apa
yang digembar-gemborkan oleh Belanda, sedang
diantara mereka sejak ratusan tahun telah mempunyai
hubungan dagang dan diplomatik dengan Kerajaan
Aceh.

Dibelakang sudah kita sebutkan William Dampier


mengatakan bahwa tiap-tiap hari dipelabuhan Aceh
paling sedikit ada berlabuh 15 atau 10 kapal-kapal
dagang Asing mengangkut atau membawa barang-
barang ke pelabuhan Aceh. Andainya lautan Aceh
merupakan satu lautan tempat “bajak laut” bersarang
sebagai yang dituduhkan Belanda tentulah kapal-kapal
asing tidak akan datang ke pelabuhan-pelabuhan Aceh
tetapi akan menjauhkan diri sejauh-jauhnya!

Sebaliknya! Belandalah yang sebenarnya yang


menjalankan perbuatan-perbuatan bajak laut diperairan
Selat Malaka sehingga saudagar-saudagar Tionghoa,
Malaya dan India berkali-kali memajukan protes
sekeras-kerasnya dengan perantaraan pemerintah mereka
masing-masing terhadap Belanda yang merampok kapal-
kapal dagang mereka yang menuju pelabuhan-pelabuhan
Aceh yang aman!

Tidak cukup dengan itu, Belanda mengarang pula


lakon-lakon yang lain, dituduhnya orang Aceh
pembunuh yang kejam yang telah membunuh orang
Belanda ditempat “ini” dan ditempat “itu” banyaknya
“sekian” dan tidak pula ia menambahkan “orang-orang
Tionghuapun dimana-diman sudah menjadi korban”.

Memang pandai Belanda memutar balik kenyataan;


rakyat Aceh yang mempertahankan kemerdekaannya
dituduhlah pembunuh padahal Belanda sendirilah yang
pembunuh yang memang sengaja datang mendarat ke
daerah-daerah Kerajaan Aceh untuk membunuh.

Untuk mengelabui mata dunia Belanda membawa-


bawa pula nama bangsa Tionghoa, pada hal sepanjang
masa belum pernah ada konflik antara Kerajaan Aceh
dengan Kerajaan Tiongkok, jangankan pembunuhan
terhadap bangsa Tionghoa. Sejak berabad-abad Aceh
dengan Tiongkok sudah berhubungan baik dan sering
tukar menukar duta. Ditahun 1406 M. 1415 M, da 1431
M berturut-turut Duta Besar Tiongkok Cheng Ho
mengadakan kunjungan silaturrahmi ke Aceh. Demikian
pula sekretaris-sekretarisnya Ma Huan dan kemudian Fe
Hsin sudah menjalani hampir seluruh Kerajaan Aceh.
Bahkan William Dampier menceritakan bahwa di
Kutaraja sendiri ada kediaman yang khusus disediakan
untuk saudagar-saudagar Tionghoa dan lain-lain bangsa
Asing yang berkunjung ke Aceh. Disanalah diam
berates-ratus saudagar-saudagar Tionghoa dengan
sentosa.

Perang Aceh
Dengan memakai alasan-alasan yang dibikin-bikin
itu pada tanggal 26 Maret 1873 M. Belandapun lalu
mengumumkan perang kepada Kerajaan Aceh, katanya
untuk membasmi “zeeroof, standroof, menschenroof,
plundering van handelsschepen, enz, enz”

Tetapi sebenarnya Belanda tidak dapat mengelabui


mata dunia internasional semudah mengelabui mata
sebagian orang-orang kita di Ambon, di Manado dan di
Jawa (Mudah-mudahan tidak akan terulang lagi dalam
zaman kesadaran nasional ini) sehingga sebahagian
mereka dapat dipergunakan olehnya untuk menjadi
serdadunya dalam penyerangan terhadap Aceh.
Dunia yang sadar memandang tidak mempunyai
alasan untuk membenarkan perbuatan Belanda yang
terang-terangan memperkosa kemerdekaan Aceh itu.

Kaum progressif diseluruh dunia terutama di


Malaya, India, Arabia, Eropa dan Amerika mencela
habis-habisan terhadap tindakan Belanda yang licik itu.

Surat Kabar “I’Italie” di Italia dalam tajuk


rencananya mengupas kecurangan-kecurangan Belanda
terhadap Aceh dan kepalsuan “casus belli” yang
dikemukakannya serta dianjurkannya supaya masyarakat
dan pemerintah Italia bahkan seluruh dunia memberikan
bantuan kepada Kerajaan Aceh.

Di negeri Inggris, The Encyclopaedia Britannica


menulis:

“Doubtless there was provocation for the Sultan of


Achin had not kept to understanding that he was to
guarantee immunity from piracy to foreign traders; but
the necessity for war was greatly doubted even in
Holland15”

(Tidak syak lagi bahwa tuduhan yang menyatakan Sultan


Aceh tidak mengindahkan persetujuan tentang
jaminannya terhadap keselamatan pedagang-pedagang
Asing dari gangguan adalah provokasi belaka; bahkan

15
The Encyclopaedia Britannica, Jilid I, p.145
keharusan untuk berperang itu adalah sangat diragu-
ragukan pun dinegeri Belanda sendiri)

Pada tanggal 27 Maret Belanda mulai melepaskan


tembakan-tembakan ke pantai Aceh dan pada tanggal 5
April Belanda mendaratkan 3800 orang serdadunnya di
Ulee Lheue (5 km dari Kutaraja) dengan dikepalai oleh
Jenderal Kohler.

Pada waktu itu panggilan tanah air sudah tiba


memanggil putera-putera Aceh untuk mempertahankan
kedaulatan negaranya yang hendak di injak-injak oleh
musuh yang congkak. Seluruh rakyat Aceh dengan tidak
ragu-ragu menghunus rencongnya maju menyerbu ke
kemedan perang mempersembahkan jiwa raga untuk
kemerdekaan bangsa!

Dengan tidak menghitung korban yang harus


diberikan rakyat Aceh bertempur mati-matian melawan
musuh sehingga dalam tempo 18 hari yakni pada tanggal
23 April tentara kolonial Belanda dapat disapu bersih
dari daratan Aceh. Jenderalnya mati terbunuh dan
serdadu-serdadunya yang luka-luka yang masih dapat
melarikan diri naik ke kapalnya dan kembali ke Batavia.

Pemerintah Belanda yang telah menghitung 1001


kelemahan buat Aceh, tidak menyangka mereka akan
mendapat kekalahan besar yang sangat memalukan itu
apalagi ditambah dengan ejekan-ejekan dunia
internasional! Dan bukankah juga Raffles telah
memperingatkan Belanda jangan mengganggu-ganggu
Aceh, karena Aceh “hornest nest” – Sarang Tawon
(eumpung geumoto!) katanya.

Sembilan bulan kemudian yaknni pada bulan


Desember 1873 M Belanda yang sudah terbakar
jantungnya oleh nafsu penjajahan mengirimkan
tentaranya lagi untuk menyerang Aceh.

Pada tanggal 9 mendaratlah 8000 serdadu colonial


Belanda dengan dikepalai oleh Jenderal Van Swieten
dan Jenderal Van Spijck disebelah timur muara Krueng
Aceh, kira-kira 5 Km dari Kutaraja.

Tentara dan rakyat Aceh walaupun dengan alat-alat


yang serba kurang dan sederhana berjuang dengan gagah
perkasa membela tanah tumpah darah dari perkosaan
sipenjajah!

Perang Aceh adalah satu perang total dengan


artinya yang sesungguhnya yang pernah dikenal sejarah.
Orang tua, pemuda, anak-anak, wanita, semua turut
mengambil bagian dalam perjuangan mati-matian ini.

Dengan melangkahi ribuan mayat serdadu-


serdadunya akhirnya pada tanggal 6 Januari 1874
Belanda dapat menduduki Pante Pirak, sebelah utara
Kutaraja. Ini berarti Belanda dalam 1 bulan, hanya dapat
maju ± 4 Km. Pertempuran sengit tiada berhenti-
hentinya siang malam. Pada tanggal 12 Januari Belanda
berhasil menduduki Kuta Gunongan yang berarti hanya
dapat maju ± 750 m setelah bertempur 1 minggu. Dari
Kuta Gunongan ke Istana Kerajaan Aceh jaraknya hanya
± 100 m lagi tetapi sungguhpun demikian Belanda tidak
dapat mendudukinya. Setelah pertempuran mati-matian
yang berjalan 12 hari 12 malam, pada tanggal 24 Januari
barulah Belanda berhasil merebut istana sesudah
dikosongkan.

Pada waktu itu, Belanda mulai insaf dengan siapa


dia berhadapan dan dari gelagat perang yang sudah
dialaminya yang sudah berjalan 1 ½ bulan itu Belanda
sudah mendapat kesan mungkin perang ini akan berlarut-
larut dan berjalan lama.

Untu mengelabui mata dunia internasional


terutama untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan
intervensi yang sewaktu-waktu mungkin terjadi
mengingat kedudukan internasional dari Kerajaan Aceh
waktu itu dan juga untuk meninggikan semangat diri
sendiri yang sudah merosot. Jenderal Van Swieten
dengan tergesa-gesa pada tanggal 31 Januari 1873 M
mengeluarkan satu proklamasi yang menyatakan bahwa
Kerajaan Aceh semenjak itu sudah menjadi jajahan
Belanda. Padahal Van Swieten dan serdadu-serdadu
kolonialnya hanya baru menduduki 25 Km persegi tanah
Aceh. Tidak lebih!
Pada tanggal 12 Februari Jenderal Van Swieten
terpaksa mengulangi lagi mengumumkan proklamasi
palsunya itu karena rupa-rupanya proklamasinya yang
pertama tidak dipercayai orang diluar negeri dan
sebenarnya proklamasinya yang keduapun menerima
nasib yang sedemikian.

Beberapa hari sesudah Kutaraja diduduki Belanda,


Sultan Alauddin Mahmud Sjah yang menjadi Raja waktu
itu mangkat disebabkan penyakit Kolera.

Kemangkatan Baginda tidak membawa suatu


perubahan apapun terhadap jalannya peperangan karena
tiap-tiap rakyat Aceh, laki-laki, perempuan, tua-muda,
mereka sadar bahwa sebagai orang Islam mereka wajib
hidup merdeka dan wajib mempertahankan tanah airnya
dengan mengorbankan apapun jua.

Demikianlah keadaan yang sesungguhnya dan hal


ini tiada tersembunyi bagi siapapun yang mengetahui
keadaan sebenarnya di Aceh. Zentgraaff (seorang
pengarang Belanda) mengakui hal ini dan mengatakan:

“De waarheid is dat de Atjehers mannen en vrouwen in


het algemeen schitterend hebben gevochten voor wat zij
zagen al shun national of religious ideal. Er is onder die
strijders een zeer groottaantal mannen en vrouwen die
den trots van elk volk zouden uitmaken16”

(Suatu kebenaran ialah bahwa pada umumnya orang-


orang Aceh laki-laki, perempuan berjuang amat baiknya
untuk sesuatu yang dipandangnya sebagai cita-cita
kebangsaan atau keagamaannya. Dalam kalangan orang-
orang perjuangan ini terdapat jumlah yang besar sekali
laki-laki dan perempuan yang menjadikan kebanggan
bagi sesuatu bangsa)

Oleh sebab itu kemangkatan Sultan tidaklah


melemahkan perlawanan rakyat terhadap musuh karena
masing-masing rakyat mempunyai rasa tanggung jawab
yang penuh terhadap Allah SWT dan tanah air kampung
halaman.

Walaupun Kutaraja sudah jatuh dan istana Sultan


sudah diduduki Belanda, tetapi diluar kota telah sial
sedia puluhan ribu laskar Aceh, dibawah pimpinan
Pemimpin Besar Teungku Chik di Tiro yang setiap saat
siap sedia untuk mengusir penjajah dari daratan Aceh.

Serbuan dan serangan-serangan terus-menerus


dilakukan terhadap kedudukan-kedudukan Belanda.
Pada tahun 1874 M dalam 5 bulan saja Belanda sudah
kehilangan 28 Opsir tinggi dan 1024 orang serdadunya.

16
Zentgraaff: “Atjeh”, p.1
Pada permulaan tahun 1875 M dalam bulan
Februari saja 150 Opsir Belanda dengan 280 serdadunya
menjadi korban. Jumlah kerugian Belanda dalam tahun
1875 M yang mati 957 orang yang lumpuh 5150 orang.

Dalam pada itu, tentara Aceh yang dikepalai oleh


Teungku Chik di Tiro makin bertambah-tambah besar
juga sedang Belanda sudah terkurung di Kutaraja dan
sekitarnya dengan tak dapat maju setapakpun.

Pada tahun 1876 M Belanda kehilangan 7600


orang serdadunya sedang 20% dari persenjataanya
dihancurkan.

Oleh karena menghadapi hal-hal yang demikian


Jenderal Van Swieten yang ditahun yang lalu sudah
memproklamirkan bahwa seluruh Aceh sudah
dikuasainya menjadi putus asa dan dengan segera ia
minta berhenti dan diganti oleh Jenderal Van Pel.

Jenderal Van Pel yang merasakan kegentingan


suasanabagi Belanda waktu itu mengatakan:

“The proclamation of direct rule over Atjeh proper had


been a mistaken idea; there could be no question of
conquest for the time being, the standing army in Atjeh
being depleted by the heavy losses suffered and the
consequent large drainage of forces17”

17
E.S.De Klerck: “History of the Netherland East Indies” Jilid II, p.325
(Pernyataan – Proklamasi – tentang langsung terjajahnya
Aceh sungguh-sungguh adalah cita-cita yang salah
belaka; Sebenarnya soal menang taka da pada waktu ini.
Keadaan serdadu di Aceh sepi oleh karena menderita
kekalahan hebat dan akibatnya kemusnahan kekuatan
yang besar)

Tiada berapa kemudian Van Pel menemui ajalnya


di Kutaraja.

Kedudukan serdadu colonial Belanda makin sehari


makin bertambah ruwet. Jenderal-Jenderal Belanda silih
berganti diangkat dan diperhentikan karena tidak
sanggup lagi memegang pimpinan. Van Pel diganti oleh
Jenderal Van Lansberg. Jenderal Van Lansberg
diperhentikan diganti dengan Jenderal Van Kerchem.
Jenderal ini diperhentikan lagi dan diganti oleh Jenderal
Diamond. Ini hanya dalam tempo 1 tahun dalam waktu
1876 M.

Pada tahun 1877 M pimpinan tentara Belanda


diganti lagi oleh Jenderal Van der Heijden. Waktu itu
serdadu Belanda yang bertempur sudah mencapai jumlah
11.000 yaitu untuk menghadapi satu front yang
panjangnya tidak sampai 30 Km!

Tindakan yang pertama-tama dari Van der Heijden


ialah memperkuat “Tutup Larang” (Blokkade) terhadap
pelabuhan-pelabuhan Aceh. Tetapi ditahun 1878 M Van
der Heijden terpaksa membatalkan niat jahatnya itu
karena saudagar-saudagar ditanah Melayu dan India
mengadakan protes keras terhadap tindakan Belanda
yaitu untuk menghadapi satu front yang panjangnya
tidak sampai 30 Km!

Tindakan yang pertama-tama dari Van der Heijden


ialah memperkuat “Tutup Larang” (Blokkade) terhadap
pelabuhan-pelabuhan Aceh. Tetapi ditahun 1878 M Van
der Heijden terpaksa membatalkan niat jahatnya itu
karena saudagar-saudagar ditanah Melayu dan India
mengadakan protes keras terhadap tindakan Belanda
yang sangat merugikan dunia internasional itu. Inipun
satu bukti pula bahwa apa yang dinamakan Belanda
“zeeroof, strandroof, enz, enz” terhadap Aceh adalah
omong kosong belaka.

Di tahun-tahun yang berikutnya dari sehari ke


sehari kedudukan Belanda makin terdesak, Teungku
Chik di Tiro dan pemimpin-pemimpin Aceh yang lain
sudah membuat renana-rencana untuk sewaktu-waktu
mengadakan aksi serentak dan serangan umum untuk
mengusir Belanda dari tanah Aceh.

Teungku Chik di Tiro mengirim surat kepada


pimpinan tentara Belanda di Kutaraja menyuruh pilih
salah satu diantara dua: diusir dengan hina dina dari
tanah Aceh, atau tetap tinggal ditanah Aceh tetapi harus
memeluk Islam. Yang belakangan ini karena menurut
Islam persatuan dalam agama mengatasi perbedaan
kebangsaan dan jika Belanda sudah menjadi orang Islam,
konsekwensinya ialah mereka harus tunduk pada
pemerintah Islam yang berwajib disitu, di Aceh ialah
pemerintah Aceh.

Pada waktu itu semangat serdadu Belanda sudah


patah sama sekali. Pemerintah Belanda sudah mulai
yakin bahwa mereka tidak akan dapat menundukkan
Aceh dengan kekerasan.

Jenderal Van der Heijden dipaksa meletakkan


jabatannya oleh pemerintah Belanda dan sebagai
penggantinya yang diberi tugas untuk menjalankan
“Politik Damai” terhadap Aceh diangkat Pruijs van der
Hoeven dengan diberi pangkat “Gubernur Aceh dan
Daerah Takluknya” yaitu beberapa buah “Desa”
disekitar Kutaraja!!

Tetapi rakyat Aceh “volk dat voor zijn


onafhankelijkheid vocht18” – rakyat yang berjuang untuk
kemerdekaannya – sebagai kata Van Sluijs, tidaklah
meminta lagu-lagu yang merdu dari Belanda, yang
dipintakan oleh rakyat Aceh ialah supaya; Belanda pergi
dari Aceh! Tidak lebih dan tidak kurang! Itulah hanya
satu dan itulah semuanya.

18
Joh. Langhout: “Vijftiq jaren Economische Staatkunde in Atjeh”, kata
pengantar, oleh Van Sluijs
Pada waktu itu tentara Aceh sudah mulai
mengadakan serbuan umum terhadap tiap-tiap
kedudukan Belanda rencana membersihkan tanah Aceh
dari serdadu kolonial Belanda sudah mulai dijalankan!

Pruijs van der Hoeven, Gubernur Belanda di “Aceh


dan Daerah Takluknya” itu merasa kehilangan akal dan
tak dapat berbuat suatu apapun selain minta berhenti.

Pada bulan Maret 1883 M iapun diganti oleh


Laging Tobias yang baru saja menginjakkan kakinya di
Kutaraja sudah berteriak; “de toestand in Atjeh zeer
ongunstig was” – suasana di Aceh buruk sekali!”

Dengan tidak pakai “tedeng aling-aling” lagi


Laging Tobias menganjurkan supaya pemerintah
Belanda memilih salah satu diantara: menjatuhkan diri
dalam satu benteng yang kuat, kalau sanggup supaya
mengadakan serangan-serangan baru, kalau tidak supaya
Kerajaan Aceh segera diakui kembali!

Laging Tobias mengatakan:

“Reeds zeer kort na mijn optreden als gouverneur van


Atjeh kreeg ik de overtuiging dat onze toestand in Atjeh
bijna geheel hopeloos was19”

(Baru saja saya menjadi Gubernur Aceh (baca: beberapa


desa di Aceh) saya mendapat keyakinan bahwa

19
P.F.Laging Tobias: “Het Herstell van het Sultanaat in Atjeh”
kedudukan kita di Aceh hampir seluruhnya tidak ada
harapan)

Laging Tobias mengucapkan demikian di tahun


1884 M, jadi 10 tahun sesudah “Proklamasi” Van
Swieten!

Dalam saat akhir-akhir ini Belanda menghadapi


suasana yang amat buruk, sewaktu-waktu mereka
mungkin akan terusir sama sekali dari tanah Aceh.
Kemungkina-kemungkinan mengadakkan serangan-
serangan baru terhadap Aceh sudah sangat tipis bahkan
dalam keadaan waktu sudah sangat mustahil sebab
serdadu-serdadu kolonial Belanda semangatnya sudah
padam untuk menghadapi tentara Aceh, karena sudah 11
tahun berperang dengan kerugian puluhan ribu serdadu
mati dan lumpuh sedang mereka setapakpun tak dapat
maju, masih di Kutaraja dan sekitarnya juga; 11 tahun
peperangan, suatu masa yang tidak sedikit, suatu masa
yang sudah cukup untuk merusakkan jiwa dan
mematahkan semangat apalagi semangat serdadu
upahan!

Dalam pada itu Tentara Aceh sudah beraksi


menyerang Belanda secara besar-besaran siang malam di
seluruh front, dengan mendapat kemenangan yang
gilang-gemilang dan Panglima-panglima Aceh sudah
yakin bahwa saat terusirnya Belanda dari tanah Aceh
sudahlah dekat!
Laging Tobias segera minta berhenti, ia digantikan
oleh Demmeni.

Dalam sejarah perang Aceh, sesudah kehancuran


Jenderal Kohler dan tentaranya tak ada suatu saat yang
lebih genting bagi Belanda dari semenjak tahun 1884 M
dan seterusnya, yaitu waktu Tentara Aceh mulai
mengadakan serangan pembersihan terhadap Belanda!

Pada waktu itu Belanda terpaksa meninggalkan


segala siasat menyerang bahkan kekuatannya yang ada
dikumpulkan di Kutaraja dan sekitarnya yang
digabungkan dalam satu benteng yang dinamakan
Belanda “Geconcentraarde Linie” untuk
mempertahankan dirinya.

Betapa hebatnya serangan-serangan yang


dilancarkan oleh Tentara Aceh terhadap Belanda dapat
kita kira-kirakan jika Belanda telah memperkuat
bentengnya itu sedemikian rupa sehingga merupakan
semacam Maginot Linie dan antara satu pos dengan pos
yang lain dihubungkan dengan rel kereta api baja untuk
memudahkan pengangkutan serdadu-serdadunya.
Benteng itu lebarnya 1000 m dan mengelilingi
kedudukan Belanda. Namun demikian tidak jarang
benteng-benteng itu silih berganti dengan Tentara Aceh
dan tidak sedikit pula yang mereka hancur leburkan.

Belanda mempertahankan dirinya mati-matian


karena pada waktu itu meskipun Belanda sudah
meninggalkan angan-angan untuk menaklukkan Aceh
tetapi mereka sudah insaf bahwa tiap-tiap pengusiran
terhadap mereka dari Aceh adalah merupakan suatu noda
dan malu yang tiada terhingga bagi bangsa dan
pemerintahnya. Perang Aceh sudah merupakan suatu
“affaire d’honneur” bagi Belanda. Oleh sebab itu kepada
serdadunya yang berada di Aceh diperintahkan bertahan
bagaimanapun juga kesudahannya. Sedang patriot-
patriot Aceh tidak berhenti-hentinya siang malam
menyerbu dan menyerang benteng-benteng kolonial itu.

Demikianlah situasi perang Aceh pada waktu itu,


Belanda terus-menerus bersembunyi dalam
“geconcertreerde linie”nya sejak tahun 1884, 1885,
1886, 1887, 1888, 1889, 1890, 1891, 1892, 1893, 1894,
1895, 1895. Sedang Jenderal-jenderalnya silih berganti
diangkat dan diperhentikan karena dianggap tidak cakap.
Demmeni diganti oleh Jenderal Van Teijn. Van Teijn
diganti lagi dengan Pompe van Meerdervoort, dan ia
diganti lagi dengan Deyckerhooff, Jenderal
Deyckerhooff diperhentikan dan diganti sendiri ileg
Legercommandant Tentara Hindia Belanda Jenderal
Vetter….dan tentera Belanda terus bersembunyi juga!

Dengan takdir Allah pada tahun 1891 M Pemimpin


Besar Teungku Chik di Tiro (nama beliau yang asli
Teungku Sjech Muhammad Saman Tiro) yang
mengepalai seluruh Angkatan Perang Aceh meninggal
dunia. Kewafatan beliau mengakibatkan kelemahan
pimpinan Angkatan Perang walaupun pimpinan
seterusnya tetap dipegang oleh putera beliau Teungku
Muhammad Amin Tiro.

Pihak Belanda menerima berita kewafatan


Pimpinan Besar yang amat berpengaruh itu sebagai satu
kabar baik bagi mereka, dari negeri Belanda segera
dikirim seorang ahli ke Aceh yaitu Dr. C. Snouck
Hurgronje untuk mempelajari dan memberi jawaban atas
pertanyaan yang disoalkan kepadanya oleh pemerintah
Belanda yakni:

“Hoe na Teungku Tiro’s dood de gezindheid was der


geestelijke partij in’t algemeen en in welke richting zij
zou trachten invloed uit te oefenen op Keumala20”

(Bagaimana niat partai agama pada umumnya setelah


Teungku di Tiro meninggal dan kearah mana mereka
berusaha menjalankan pengaruhnya di Keumala (tempat
kediaman keluarga Sultan Aceh sesudah pindah dari
Kutaraja)

Pada tahun 1892 M Dr. C. Snouck Hurgonje


mengeluarkan karangannya yang berkepala “Verslag
omtrent den religious politieken toestand in Atjeh”
(Laporan mengenai keadaan politik agama di Aceh),
yang kemudian menjelma menjadi buku “De Atjehers”
yang sangat masyhur itu yang isinya sebagian besar yang

20
Encyclopaedie van Nederlandsch Oost-Indie, Jilid I, p.81
mengenai adat istiadat boleh dikatakan benar tetapi yang
berkenaan dengan politik tidak seluruhnya benar dan
berbau kolonialisme karena Dr. C. Snouck Hurgronje
sendiri adalah hamba sahayanya kolonialisme!

Kelemahan front Aceh bertambah lagi ketika pada


tahun 1892 M seorang pimpinan yang bernama Teuku
Umar (Teuku Meulaboh) belot dan memihak kepada
Belanda.

Semua hal-hal ini memberi harapan-harapan baru


bagi Belanda apalagi selama ini mereka sudah mendapat
pula bantuan-bantuan baru bahkan pemerintahan
kolonial Belanda di Jawa sudah membentuk bermacam-
macam pasukan istimewa untuk dikirim ke Aceh seperti
pasukan “Marechausse, Colonne matjan” dsb.

Pada tahun 1896 setelah mendapat bantuan 5000


serdadu dari Jawa, mulailah Belanda keluar dari
“geconcentreerde linie” nya sesudah 12 tahun terus-
menerus bersembunyi dissana dan mulailah ia mengatur
searngan-serangan baru dengan mempergunakan factor-
faktor objektif dan sub-objektif dari suasana itu.

Ditahun ini Belanda mengadakan serangan besar-


besaran terhadap benteng “Kuta Aneuk Galong” yaitu
Markas Besar Angkatan Perang Aceh waktu itu yang
jauhnya ± 14 Km dari Kutaraja. Zentgraaff dalam
bukunya menggambarkan kedahsyatan pertempuran ini,
antara lain sebagai berikut:
“De Atjehers vachten als leeuwen; sammigen stortten
zich liever in de bradende barakken dan zich over te
geven. Het was een bitter “hand – to- hand fighting21”

(Orang Aceh berperang laksana singa; beberapa diantara


mereka lebih suka gugur diasrama yang sedang terbakar
dari pada menyerah. Pertempuran ini sungguh-sungguh
perkelahian mati-matian)

Dalam pertempuran ini Teungku Chik Muhammad


Amin Tiro Panglima Tertinggi Angkatan Perang Aceh
gugur sebagai pahlawan bersama-sama anak buahnya.
Beliau segera diganti oleh saudara-saudaranya Teungku
Chik Buket Tiro, Teungku Mahjiddin Tiro dan Teungku
Lambada.

Pada tahun itu juga Teuku Umar yang tadi telah


memihak kepada musuh sadar kembali akan panggilan
tanah airnya dan kembali lagi bertempur melawan
Belanda bersama-sama bangsanya sehingga akhirnya
beliaupun syahid sebagai pahlawan bangsa ditahun 1899
M.

Pada tahun-tahun berikutnya medan pertempuran


sudah meluas pula ke Aceh Utara dan Aceh Barat,

Pada waktu itu sejarah sudah menunjukkan tahun


1900 M dimana di seluruh dunia orang sedang berusaha

21
Zentgraaff: “Atjeh”, p.20
menjalankan usaha-usaha mengekalkan perdamaian
dunia dan menjauhi segala jalan-jalan yang
menyebabkan peperangan dan penyembelihan antara
sesame manusia, bahkan di Den Haag pulalah telah
dilangsungkan “Kongres Perdamaian” sedunia yang
dihadiri oleh seratusan negara yang melahirkan
“International Court of Arbitration” yaitu tahun 1899,
tahun dimana Belanda terus menerus melakukan
penyembelihan terhadap rakyat Aceh sebab mereka tidak
mau dijajahnya; tahun dimana Belanda telah menembak
mati pahlawan kita Teuku Umar.

Memang! Dihadapan mata internasional Belanda


seakan-akan menjelmakan dirinya sebagai satu wanita
cantik jelita yang selalu hanya merindukan aman
sentosa, tetapi pada hakikatnya Belanda adalah setan
yang telah mencelakakan nasib 70 milliun umat manusia
di Asia Tenggara.

Pada waktu itu Belanda sedang asyik-asyiknya


mengexploiteer, memeras dan mengisab seluruh
makhluk dan alam Indonesia……. Sedang di Aceh,
dentuman meriam, letusan peluru, terus menerus
menggetar angkasa. Tiap-tiap jengkal tanah yang di
duduki Belanda harus dibayarnya dengan harga yang
setinggi-tingginya karena patriot-patriot Aceh tidak
kenal tawar menawar dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan, senjata tidak akan
diletakkan selama hayat masih dikandung badan.
Pada tahun 1903 M Sultan Alauddin Muhammad
Dawod Sjah, Teuku Panglima Polem, Tuwanku Radja
Keumala, Tuwanku Mahmud, dll keluarga Sultan
terpaksa menyerah. Tetapi hal ini tiada membawa akibat
suatu apapun kepada jalanya peperangan karena
Teungku-Teungku di Tiro yang sejak dari dahulu sudah
mengambil pertanggungan jawab dan pimpinan perang
harus terus menerus mengatur perlawanan dengan tidak
menghitung korban yang harus diberikan.

Pada tahun 1906 M Pemerintah Kolonial Belanda


mencoba mendesar keluarga Sultan seperti Tuwanku
Radja Keumala, Tuwanku Mahmud, dan Teuku
Panglima Polem supaya mengirim surat membujuk
Teungku-Teungku di Tiro dan Panglima-panglimanya
supaya sudi berdamai dengan Belanda dengan
menerangkan janji-janji yang muluk-muluk yang telah
dijanjikan oleh Belanda untuk beliau. Tidak lupa pula
diterangkan bahwa negara-negara Islam yang lainpun
juga semua telah membuat perdamaian dengan negeri-
negeri Barat seperti Marokko dengan Perancis, Mesir,
India dan tanah Melayu dengan Inggris, dsb.

Janji Belanda yang muluk-muluk yang


disampaikan kepada beliau dengan perantaraan keluarga
Sultan tidak menarik hati Teungku Chik Mahjiddin Tiro
yang pada waktu itu memegang pimpinan, beliau
mengerti sungguh apa artinya janji-janji Belanda itu.
Memang surat yang disampaikan oleh keluarga
Sultan itu dibaca oleh Teungku-Teungku di Tiro dan
panglima-panglimanya serta dipermusyawaratkan, tetapi
kata Zentgraaff:

“Niemand hunner was genegeh den strijd op te geven zij


wilden vechten tot het einde, en met hen zoogeschieden
naar Alla’s wil22” – tak ada seorangpun diantara mereka
yang sudi menyerah, mereka hendak bertempur sampai
kesudahan dan mereka menyerahkan dirinya kepada apa
yang akan terjadi menurut kehendak Allah”

Lebih dari itu, Teungku-Teungku di Tiro bersemboyan


“Tidak sudi melihat muka sipenjajah!”

Dalam pada itu terjadinya peperangan Jepang-


Rusia ditahun 1904-1905 M yang membawa
kemenangan gilang gemilang bagi Jepang
mengilhamkan kesadaran dalam kalbu bangsa-bangsa
Asia bahwa bangsa Barat juga dapat dikalahkan oleh
bangsa-bangsa Timur. Peristiwa itu memperbesar rasa
kepercayaan pada diri sendiri dikalangan rakyat Aceh
untuk tetap meneruskan perjuangannya.

Pada waktu itu pertempuran makin menjadi-jadi


lagi pucuk pimpinan serdadu Belanda Jenderal Van
Heutz segera diganti oleh Jenderal Van der Wijck.

22
Zentgraaff: “Atjeh”, p.28
Pada tahun-tahun berikutnya suasana makin
bertambah buruk lagi bagi Belanda, pertempuran terus
menerus bernyala-nyala bahkan di daerah-daerah yang
sudah dikuasai oleh Belanda, lebih-lebih di Aceh Timur
Teungku di Paya Bakong dan Pang Nanggroe mendapat
kemenangan yang besar yang sangat merugikan Belanda.

Pada tahun 1907 M, karena menghadapi suasana


yang demikian Van der Wijck minta berhenti dan diganti
oleh Jenderal Van Daalen dengan program antara lain:

1. Membunuh sekalian Ulama


2. Mengadakan pengajaran rakyat (Volksonderwijs)
yang bertujuan melenyapkan pengaruh didikan
Islam. (Salahkanlah rakyat Aceh jika mereka
bersemboyan berjuang untuk agama dan tanah
air!)

Diantara Jenderal-jenderal Belanda yang


memimpin perang kolonial di Aceh, Van Daalen inilah
yang paling kejam dan bengis. Ia menyangka bahwa
dengan kekejaman dan kebengisan yang
diperlihatkannya ia akan dapat mematahkan perlawan
rakyat Aceh.

Tetapi ia keliru sebab semangat rakyat Aceh


dengan kekejamannya itu bukan patah melainkan
semakin bernyala-nyala. Pada tahun 1908 M ia dipaksa
meletakkan jabatannya oleh pemerintahnya dan diganti
oleh Jenderal Swart.
Dalam pada itu pertempuran terus menerus terjadi,
darah terus menerus mengalir membasahi bumi, sedang
semua Pemimpin-pemimpin Aceh tetap tekadnya, bulat
niatnya, berjuang sampai titik darah yang penghabisan!
Satu demi satu mereka syahid sebagai pahlawan yang
diiringi dan dituruti oleh teman seperjuangannya
sehingga pada tahun 1927 M setelah Teuku Tjut Ali
panglima yang terakhir gugur, pertempuran-pertempuran
besar sudah berhenti, waktu itu Aceh oleh Belanda sudah
dapat diduduki, tetapi Aceh sudah sunyi sepi, para
pemimpin tercinta sudah pergi, mereka semua telah
memilih mati sebagai pahlawan dari pada hidup dalam
jajahan!

Dalam pertempuran-pertempuran antara tahun


1890 M sampai tahun 1914 M Belanda kehilangan 7707
Opsir dan serdadunya.

Belanda sudah dapat menduduki Aceh, setelah


berperang setengah abad, tetapi sebagai kata Dr. Julius
Jacobs: “iedere duimbreedte gronds, die door ons op
Noord – Sumatra – werd veroverd, is dedrenkt met het
bloed23” – tiap selebar ibu jari tanah yang kita rebut di
Sumatera Utara adalah berlumuran darah.

Apakah Aceh sudah tunduk?

23
Dr.J.Jacobs: “Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh” Jilid I,
p.373
Belum pernah!

Walaupun sesudahnya tahun 1927 M pertempuran


besar-besaran sudah tidak ada lagi, tetapi setiap tahun
pertempuran-pertempuran selalu terjadi disana-sini.

Sejarah pemerintahan Belanda di Aceh sejak tahun


1927 M sampai saat pecahnya perang Pasifik adalah
sejarah pemberontakan yang tiada berkeputusan.

Walaupun pada lahirnya peperangan sudah


berhenti tetapi pada hakikatnya jiwa Aceh tidak pernah
tunduk kepada Belanda. Hal ini tidak tersembunyi
kepada siapa yang mengetahui keadaan sebenarnya di
daerah Aceh bahkan Belanda sendiri juga mengetahui
dan mengakui. Zentgraaff dalam bukunya mengatakan:
“dat bet Atjehsche volk zich nimmer gebeel zal
neerleggen bij onze over beersebing24” – bahwa rakyat
Aceh tidak pernah akan tunduk seluruhnya kepada
pemerintahan kita.

Kesudahan Pemerintahan Belanda


Peristiwa pecahnya perang Pasifik merupakan saat
yang dinanti-nantikan oleh rakyat Aceh untuk mengusir
Belanda kembali. Sebelum Jepang menduduki Indonesia
diseluruh Aceh sudah terjadi pemberontakan hebat,
rakyat Aceh bertempur merebut kemerdekaannya

24
Zentgraaff: “Atjeh”.
kembali sehingga serdadu Belanda terpaksa lari ke
gunung-gunung untuk memperlindungi dirinya dan
dengan demikian tammatlah sudah riwayat penjajahan
Belanda di Aceh.

Zaman Jepang
Jepang datang, dengan janji akan menjamin
kemerdekaan Aceh. Setelah beberapa bulan ternyata ia
mealpakan janjinya, bahkan melakukan perbuatan-
perbuatan yang tidak berbeda dengan Belanda; rakyat
Aceh segera mengatur pemberontakan yang meletus
dengan hebatnya pertama di Buloh Blang Ara,
Lhokseumawe, tahun 1943 M kemudian diiringi di
Jeunib, Bireuen tahun 1944 dan 1945 M.

Indonesia Merdeka
Waktu Jepang menyerah dan proklamasi Indonesia
Merdeka mendengung, dengan tidak menghitung korban
yang harus diberikan, rakyat Aceh telah menyerbu
serdadu-serdadu Jepang untuk merampas senjatanya,
guna alat mempertahankan kemerdekaan sampai akhir
zaman.

Pada penghabisan tahun 1945 dan permulaan tahun


1946 M di Aceh telah terjadi suatu revolusi sosial (bukan
revolusi sosialis!) yang berhasil dengan baik dan
semenjak itu dapatlah didirikan satu pemerintahan
Republik Indonesia yang demokratis dan kuat untuk
daerah Aceh.

Dewasa ini dibawah naungan panji-panji Sang


Saka “Merah Putih”, apa yang seabad yang lalu ditulis
oleh The Encyclopaedia Britannica, telah hidup dan
menjelma kembali dihadapan kita, bahwa rakyat Aceh
“every man is a soldier25” – setiap orang adalah tentara!”
dalam perjuangan membela kemerdekaannya.

Para Pemimpin
Teungku Chik di Tiro

Diantara Pemimpin yang terbesar memegang


peranannya dalam Perang Aceh ialah Teungku Chik di
Tiro dan keluarganya. Tiro ialah tempat kediaman
mereka suatu tempat di daerah Pidie (Aceh Utara).

Sejak zaman dahulu Tiro merupakan pusat


pengetahuan dan kebudayaan Aceh serta mempunyai
kedudukan yang tersendiri dalam lingkungan Kerajaan
Aceh sebagai satu daerah immuniteit dengan gelaran
“Tiro Darussalam wal Aman”. Yang tertua diantara
Teungku-Teungku di Tiro dan yang menjadi kepala
famili, inilah yang digelarkan “Teungku Chik di Tiro”.

25
The Encyclopaedia Britannica, Jilid I, p.144
Pada waktu perang Aceh mulai berkobar Teungku
Sjech Saman Tiro dengan ditunjang oleh Ayahandanya
Teungku Chik Muhammad Amin Tiro segera tampil
kemuka memimpin peperangan melawan penjajahan
Belanda. Setelah ayahandanya wafat beberapa tahun
kemudian maka Teungku Sjech Saman Tirolah yang
mengganti kedudukan ayahandanya sebagai “Teungku
Chik di Tiro”.

Dibelakang telah kita bayangkan secara sepintas


lalu sepak terjang belaiu dalam perang mati-matian itu.
Zentgraaff mengatakan bahwa beliaulah buat Belanda
“de gevaarlijkste en invloedrijkste26” (yang paling
berbahaya dan paling berpengaruh). Dr. C. Snouck
Hurgronje mengatakan bahwa beliaulah “de leider bij
uitnemendheid27” (Pemimpin yang sangat utama sekali).

Sebagai telah kita bayangkan dibelakang sesudah


beliau wafat pimpinan peperangan diteruskan oleh
putera-puteranya; Teungku Muhammad Amin Tiro,
Teungku Mahjiddin Tiro, Teungku Buket Tiro dan
Teungku Lambada dengan ditunjang oleh seluruh
keluarga dan pembantu—embantunya seperti; Teungku
M. Tahir Cot Plieng, Habib Teupin Wan, Teungku
Hasjim, Teuku Geudong (anak Teuku Umar), Teuku
Rayek Nanta, Teungku di Tanoh Mirah, Teungku di

26
Zentgraaff: “Atjeh”, p.8
27
Dr.C.Snouck Hurgronje: “De Atjehers”, Jilid. I, p.185
Klibeuet, Teungku di Cot Cicem (penyelenggara tentara
Teungku Chik di Tiro yang ulung), Teungku di Reubee,
Teungku Ulee Tutue, Teungku Muda Syam dan banyak
yang lain-lainya lagi yang masing-masing merekapun
sebenarnya merupakan pemimpin-pemimpin besar yang
berpengaruh pula.

Mengenai perjuangan Teungku Chik di Tiro antara


lain Zentgraaff mengatakan:

“Er is gene Atjehsche familie geweest dia zooveel


involoed op den krijg heft uitgeoefend als die der Tiro –
oelama’s, en evenmin was er eene die zoo “to the bitter
end” het verzet heft volgehouden. Zij is het object gewest
van eene serie krijgstochten welke tot de interessanste
behooren van de historie van dezer krijg, en de stof voor
een epos konden leveren28”

(Tak ada satu famili Aceh pun yang begitu besar


pengaruhnya terhadap Perang Aceh sebagai pengaruhnya
family Ulama-ulama di Tiro dan demikian pula tak ada
yang begitu “sampai pada kesudahan yang pahit-
pahitnya” meneruskan perlawanan. Merekalah yang
menjadi tujuan rangkaian pertempuran yang termasuk
pertempuran terpenting dalam sejarah peperangan ini
dan dapat memberikan bahan-bahan bagi penciptaan
syair-syair kepahlawanan)

28
Zentgraaff: “Atjeh”, p.8
Berturut-turut satu demi satu Teungku-Teungku di
Tiro dan keluarganya gugur sebagai pahlawan dalam
memimpin perang pembelaan tanah air, yang segera
diganti pula oleh yang lain dengan tabah meneruskan
perlawanan. “Vrijwel allen kozen den dood boven de
onderwerping, en zij vielemn allen als sjahid29” (Semua
mereka lebih suka memilih mati dari pada menyerah,
dan sekalian mereka telah gugur sebagai syuhada).
Demikianlah antara lain kata Zentgraaff.

Riwayat kejatuhan masing-masing mereka


sesungguhnya merupakan sejarah kepahlawanan yang
tersendiri pula yang tak dapat kita terangkan satu persatu
dalam risalah ini.

Pada tahun 1911 M hanya tinggal satu lagi cucu


Teungku Chik di Tiro yang masih hidup, yaitu Teungku
Chik Maat Tiro, putera dari Teungku Muhammad Amin
Tiro yang syahid ditahun 1896 M sedang yang lain-lain
telah sama gugur dalam melakukan kewajiban terhadap
agama, nusa dan bangsa!

Teungku Chik Maat Tiro seorang pemuda yang


baru berusia 16 tahun yang menurut cerita Schimitd
(Seorang opsir Belanda yang pernah melihatnya), beliau
seorang pemuda yang rupawan, cakap dan gagah.

29
Zentgraaff: “Atjeh”, p.25
Pada waktu itu pemerintah Belanda yang sekejam-
kejamnya itu rupanya masih merasa “kasihan” juga
untuk membasmi sampai jiwa yang paling akhir dari
keturunan pahlawan-pahlawan Tiro yang telah
memperlihatkan kesetiaannya pada tanah airnya sampai
kepada batas yang sejauh-jauhnya itu. Pemerintah
kolonial Belanda dengan bermacam-macam jalan serta
janji yang muluk-muluk mencoba membujuk pahlawan
muda sebatang kara itu, agar ia suka meletakkan
senjatanya. Tetapi Teungku Chik Maat Tiro sebagai kata
Schmitd adalah “zoon van zijn vader” (putera ayahnya)
juga dalam semangat dan cita-cita perjuangannya. Ia
juga lebih suka gugur sebagai pahlawan dari pada hidup
dalam penjajahan! Dan beliaupun menemui syahidnya
dalam suatu pertempuran diakhir tahun 1911 M.

Dengan demikian habislah sudah keluarga Tiro


yang sudah dewasa. Zentgraaff setelah menerangkan
perjuangan Teungku Chik di Tiro dalam Perang Aceh
mengatakan: “Er was zooveel bloed der Tiro Familie
vergoten….30” – Darah famili Tiro terlalu banyak
ditumpahkan.

Demikian besarnya pengaruh Teungku Chik di


Tiro dalam perang Aceh sehingga kalangan Belanda
yang berpendapat: “Met het sneuvelen der Tiro
Teungkoe’s kon de Atjeh oorlog als geeindigd worden

30
Zentgraaff: “Atjeh”, p.41
beschouwd31” (Dengan gugurnya Teungku-Teungku di
Tiro, Perang Aceh dapat dipandang sudah berakhir….).

Pang Nanggroe

Pemimpin lain yang juga memegang peranan yang


besar dalam Perang Aceh terutama diwaktu yang
terakhir ialah Pang Nanggroe. Pang singkatan dari
perkataan Panglima. Sebagai ditunjukkan oleh namanya
Pang Nanggroe memang lebih banyak bersifat Panglima
dari Pemimpin. Beliau pengatur siasat perang gerilya
yang ulung, Jenderal yang cakap dan licin. Zentgraaff
mengatakan: “In zijn sort, hij een Napoleon32” (Menurut
jenisnya dan dengan mengingat perbedaan tingkatan, ia
adalah sebangsa Napoleon)

Gerakan Pang Nanggroe yang terhebat ialah dalam


perang gerilya sejak tahun 1905 M dan seterusnya,
dengan bantuan dan tunjangan teman seperjuangannya
seperti Pang Lateh, Teungku di Paya Bakong, dan lain
sebagainya.

Sebagai pemimpin-pemimpin Aceh yang lain, Pang


Nanggroe dan pembantu-pembantunya pun tidak kenal
tawar menawar dalam perang mempertahankan
kemerdekaan. Pada bulan September 1910 M dalam
suatu pertempuran hebat gugurlah Pang Nanggroe.

31
J.Jongejan: “Land en volk van Atjeh”, p.349
32
Zentgraaff: “Atjeh”, p.101
Teuku Umar

Salah seorang diantara Pemimpin-pemimpin


Perang Aceh yang sering disebut terutama oleh pihak
Belanda, ialah Teuku Umar.

Walaupun kita akui sebagai kata Dr. C. Snouck


Hurgronje ‘Teuku Umar….. zij vormen niet de ziel van
het verzet en jagen andere doeleinden na dan den
heiligen oorlog, doelenden die zij desnoods ook met onze
hulp zouden willen bereiken33” (Teuku Umar… ia
tidaklah merupakan jiwa dari pahlawan dan ia mengejar
suatu tujuan yang lain sesudah perang sabil, tujuan yang
kalau perlu dengan pertolongan kita juga dapat dicapai)
dan memang hal ini pernah menyebabkan Teuku Umar
pada suatu waktu berpihak kepada Belanda yang sangat
merugikan perjuangan bangsanya tetapi akhirnya Teuku
Umar insaf kembali dan sekali lagi bersama-sama
bangsanya bertempur melawan Belanda hingga titik
darahnya yang penghabisan dan pada tahun 1899 M
gugurlah beliau sebagai pahlawan bangsa disuatu
pertempuran hebat dekat kota Meulaboh.

Teungku di Mata Ie

Nama beliau yang sebenarnya adalah Teungku


Muhammad Chatib. Beliau berpengaruh besar terutama
di Aceh Timur. J. Jongejans mengatakan beliau adalah

33
Dr.C.Snouck Hurgronje: “De Atjehers” Jilid I, p.195
seorang “geboren leider34” (orang yang sudah membawa
sifat pemimpin sejak ia dilahirkan). Beliau termasuk
pemimpin-pemimpin yang terakhir dari Perang Aceh dan
sebagai teman seperjuangannya beliaupun tahu
bagaimana harusnya mati sebagai pahlawan. Beliau
gugur pada tahun 1917 M sedang pengikut-pengikutnya
terus menerus melanjutkan perjuangannya. Pada tahun
1937 M – 20 tahun kemudian! – barulah mereka dapat
ditangkap oleh Belanda dengan mempergunakan tipuan.

Teungku di Barat

Salah seorang diantara pemimpin yang terakhir


dari Perang Aceh termasuk pula Teungku di Barat yaitu
menantu Teungku di Mata Ie; beliau yang termasuk
bergerak di Aceh Timur. Gerakan beliau yang terhebat
ialah mulai tahun 1903 M sampai tahun 1912 M dimana
beliau gugur.

Teuku Tjut Ali

Teuku Tjut Ali adalah panglima Perang Aceh yang


terakhir. Walaupun sesudah tahun 1915 M sebagian
besar tanah Aceh sudah dapat dikuasai oleh Belanda
tetapi bahagian-bahagian yang tak dapat dikuasainya
masih tetap ada terutama di Aceh Tengah dan Selatan.
Pada tahun 1924 M Belanda memulai lagi usahanya
secara besar-besaran untuk menguasai daerah yang tetap

34
J.Jongejans: ‘Land en volk van Atjeh”, p.306
dipertahankan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang
berpengalaman seperti Imeum Sabi, Teungku Puteh dan
yang terutama oleh Teuku Tjut Ali.

Dengan demikian menghebatlah lagi peperangan


terutama di Aceh Selatan sepanjang tahun 1924, 1925,
1926, dan 1927 yang memakan korban serdadu Belanda
tidak terkira banyaknya. Pada tahun 1927 gugurlah
Teuku Tjut Ali pahlawan Aceh yang terakhir!

Tahun ini dapat dianggap sebagai tahun


penghabisan Peperangan Belanda – Aceh, walaupun
serangan-serangan gerilya tidak pernah dihentikan
terhadap Belanda oleh rakyat Aceh sampai-sampai
akhirnya Belanda terusir kembali dari Aceh.

Masih banyak lagi pemimpin-pemimpin Aceh yang


lain yang telah mempersembahkan jiwa raganya untuk
membela kemerdekaan bangsa dan tanah air yang tak
dapat kita sebut namanya satu-persatu dalam risalah
yang sekecil ini dan sesungguhnya nama-nama mereka
yang telah kita sebutkan hanya sebagai contoh dan
gambaran belaka dari para pemimpin Aceh besar-kecil
yang semua mereka baik yang tersebut namanya atau
tidak adalah para pemimpin sejati yang mengetahui
harga “merdeka” dan “kemerdekaan”!

Dalam bukunya, Zentgraaff bertanya:


“Is ere en volk op deze aarde, dat de ondergang
dezer heroieke figuren niet met diepe vereering zou
schrijven in het boek zijner historie?35” (adakah terdapat
suatu bangsa diatas dunia ini yang tidak menulis
keguguran para pemimpin – pahlawan ini dalam buku
sejarahnya dengan rasa kehormatan yang sedalam-
dalamnya?)

35
Zentgraaff: “Atjeh”, p.100
Para Wanita
“Sejarah Aceh mengenal “grandes dames” –
perempuan-perempuan besar – yang memegang peranan
yang penting dalam politik, maupun dalam peperangan,
kadang-kadang sebagai Sultan, dan kadang-kadang
sebagai isteri dari orang-orang yang berpengaruh. Disana
ada pemimpin-pemimpin wanita yang menyamai
Semiramis, da nada pula yang menyamai Katharina II
Kaisar wanita Rusia. Wanita Aceh tidak pernah ragu-
ragu untuk mempertaruhkan jiwa raganya dalam
mempertahankan apa yang dipandangnya sebagai soal
kebangsaan dan keagamaannya”.

“Keberanian dan kesatriaan wanita Aceh melebihi


segala wanita yang lain, lebih-lebih dalam
mempertahankan cita-cita kebangsaan serta
keagamaannya dan ia dibelakang layar atau secara
terang-terangan adalah pemimpin perlawanan”.

“Ia turut memberi keputusan dan berkorban dalam


pertempuran senjata; ia tidak pernah menakut-nakuti
suaminya bahkan ia turut bersama-sama dalam
peperangan dan pengembaraan sepanjang hutan rimba
belantara, suatu penghidupan yang penuh penderitaan,
kekurangan dan malapetaka, senantiasa menghadapi
kemungkinan-kemungkinan penyerangan dalam sekejab
mata oleh pasukan-pasukan Belanda yang mengikuti”.
“Ia rela menerima hidup dalam kancah peperangan
ini dan melahirkan puteranya disana, kadang-kadang
diantara dua penyerbuan musuh, senantiasa dalam
suasanan yang sangat menekan. Kemudian ia berjalan
lagi dengan pasukannya”.

“Ia berperang bersama-sama suaminya, kadang-


kadang disampingnya, bahkan juga dimukanya dan
dalam tangannya yang kecil itu klewang dan Rencong
dapat menjadi senjata yang berbahaya”.

“Perempuan Aceh berjuang untuk “Keadilan”


(Sabilillah), ia menolak tiap-tiap kompromi; ia tidak
mungkir dari karakternya dan hanya mengenal alternatif;
membunuh musuh atau terbunuh”.

“Opsir kita yang baik-baik menceritakan tentang


mereka dengan penuh keheranan dan kehormatan”.

Demikianlah antara lain tulis Zentgraaff tentang


“De Atjehsche Vrouwen36”.

Tak perlu diterangkan lagi bahwa sejarah Aceh


telah banyak mengenal “I’eternel feminism” bahkan
beberapa Sultan-sultan wanita yang cerdik-cendikia telah
pernah memerintah Kerajaan Aceh seperti Sultanah
Safiatuddin (1614 – 1675 M), Sultanah Nakiatuddin

36
Zentgraaff: “Atjeh”, p.63, 78.
(1675 – 1678 M), Sultanah Inayat Zakiatuddin Sjah
(1678 – 1688 M), dan Kamalat Sjah (1688 – 1699 M).

Waktu Perang Aceh dengan Belanda berkobar


peranan yang dipegang oleh para wanita semakin nyata
dan cemerlang, sehingga tidaklah berlebih-lebihan jika
Zentgraaff telah mengatakan bahwa para wanitalah “de
leidster van het verzet37” (Pemimpin perlawanan).

Kalau tadi kita menyebut nama beberapa pahlawan


yang telah gugur, maka dapatlah dipastikan bahwa
disamping mereka, bersama-sama bahkan juga lebih
dahulu dari mereka, telah gugur pula para wanita –
pahlawan, isterinya…..

Jika dibawah ini kita akan menyebutkan beberapa


nama dari para wanita pahlawan, yang kita maksudkan
hanyalah sekedar contoh belaka.

Potjut Asiah

“Saya yakin taka da suatu contoh yang lebih


menawankan hati tentang apa yang bisa dikerjakan oleh
wanita Aceh dalam peperangan, yang menggambarkan
perasaannya yang tiada terdamaikan serta
penghinaannya kepada musuh, dari peristiwa gugurnya
isteri Teungku Chik Mahjiddin Tiro (Potjut Asiah) pada

37
Zentgraaff: “Atjeh”, p.63
akhir tahun 1910 M”. Demikianlah antara lain tulis
Zentgraaff38.

Dalam suatu pertempuran dalam rimba belantara


disekitar Tangse, Potjut Asiah yang turut berperang
bersama-sama dengan suaminya mendapat luka-luka
berat, tubuh beliau dikenai peluru-peluru serdadu
kolonial Belanda, sehingga beliau rebah ke bumi dan
jatuh ke tangan musuh.

Opsir-opsir Belanda yang menyaksikan peristiwa


itu menyatakan walaupun menanggung kesakitan yang
begitu hebat, Potjut Asiah tidak pernah mengeluh bahkan
wajahnya menggambarkan rasa kebanggaan dan dengan
tenang beliau menunggu ajalnya.

Waktu itu Schimidt, commandant tentara Belanda


datang kedekatnya dan ia meminta dengan hormat
kepada beliau supaya diizinkan buat membalut luka-
lukanya. Dengan menggelengkan kepalanya beliau
menjawab; “Bek ka mat kee kaphee budok” (Jangan
kamu pegang aku kafir kusta).

Demikianlah beliau lebih suka memilih syahid dari


pada menerima pertolongan sipenjajah!

38
Zentgraaff: “Atjeh”, p.63
Potjut Nyak Din

Setelah suaminya (Teuku Umar) gugur, Tjut


(singkatan dari Potjut) Nyak Din terus menerus
melanjutkan peperangan, walaupun terpaksa hidup
dalam hutan rimba belantara yang penuh dengan
kesukaran dan penderitaan. Oleh karena tuanya beliau
tidak dapat melihat lagi, tetapi namun demikian
semangatnya tak kunjung padam. Kadang-kadang
berbulan-bulan lamanya beliau tiada pernah mendapat
sepiring nasi dan untuk mempertahankan hidup terpaksa
memakan batang-batang pisang hutan yang direbus dan
dalam pada itu serdadu-serdadu kolonial Belanda tiada
berhenti-hentinya memburu dan mengejar beliau dari
satu tempat persembunyiaan ke tempat persembunyian
yang lain. 6 tahun lamanya Tjut Nyak Din mengalami
hidup demikian, tetapi semangat beliau tetap membaja
untuk meneruskan perlawanan.

Kesengsaraan yang di deritai oleh Tjut Nyak Din


mempengaruhi pikiran orang banyak yang sangat
mengasihi beliau sehingga ada beberapa orang datang
kepada pemerintahan Belanda meminta supaya
menjamin keselamatan beliau jika beliau meletakkan
senjata. Pemerintah Belanda menyetujui syarat-syarat
ini.

Ketika hal itu disampaikan kepada beliau, Tjut


Nyak Din seorang tua yang sesungguhnya tiada berdaya
lagi, yang sudah hilang penglihatannya, yang sudah
kurus kering lantaran penderitaan dan kesengsaraan,
beliau menyatakan tiada dapat menerima menyerah
kepada sipenjajah dengan syarat apapun juga; dengan
marah beliau mencabut rencongnya seraya ditusuknya
kepada orang yang membuka rahasia tempat
persembunyian itu, karena beliau menyangka ia hendak
berkhianat.

Beliau meneruskan perlawanan sampai nafasnya


yang penghabisan!

Potjut Meutia

Setelah suaminya yang pertama Teuku Chik


Muhammad ditembak mati oleh Belanda, Potjut Meutia
kawin dengan Pang Nanggroe untuk sama-sama
meneruskan perjuangan. Seluruh riwayat perjuangan
Pang Nanggroe yang telah kita sebutkan tak dapat
dipisahkan dari perjuangan isterinya Tjut Meutia. Potjut
Meutia lah yang menjadi pendorong dan pembantu
utama bagi Pang Nanggroe. Setelah Pang Nanggroe
gugur Potjut Meutia dengan tabah meneruskan
perjuangan. Beliau bukan saja seorang organisator
wanita yang ulung tetapi bila sampai saatnya juga beliau
sanggup memimpin pertempuran.

Pada tahun 1909 M Potjut Meutia gugur dalam


suatu pertempuran mati-matian.
Isteri Teungku di Barat

“Salah seorang dari puteri-puteri yang gagah


perwira yang patut kita nyanyikan dalam syair ialah
isteri Teungku di Barat” demikian kata Dr. Prijono
dalam bukunya39.

Isteri Teungku di Barat berjuang bersama-sama


suaminya Teungku di Barat yang telah kita sebutkan.
Dalam suatu pertempuran di tahun 1912 M mereka
terkepung oleh musuh diantara batu-batu karang dalam
rimba raya. Ketika tangan kanan Teungku di Barat kena
peluru musuh dengan segera beliau memberikan
senapannya kepada isterinya yang berada disampingnya
sedang beliau sendiri menghunus Rencong dengan
tangan kirinya. Ketika itu juga puteri pahlawan ini
dengan senapan ditangan menempatkan dirinya dimuka
suaminya meneruskan perlawanan….. Sehingga
akhirnya datanglah sebutir peluru menembusi dada
suaminya dan kedua merekapun syahidlah…

Zentgraaff mengatakan:

“Vrouwen als deze waren er bij honderden,


wellicht duizenden, en zij hebben eerbied gewekt ook bij
onze mannen40” (Disana para wanita yang seperti ini
berates-ratus, barangkali juga beribu-ribu, mereka

39
Dr.Prijono: “Ichtisar Perdjuangan Umat Islam Indonesia”, p.5
40
Zentgraaff: “Atjeh”, p.65
menggerakkan rasa penghormatan juga dari orang-orang
kita – Belanda).

Seterusnya dikatakannya:

“Het is niet doenlijk, ook maar eene vluchtige


opsomming te geven van aandeel der Atjehsche vroumen
in den krijg, ik wil alleen maar zeggen dat ieder volk,
ook het onze, er trotsch op zou kunnen zijn indien het
kon wijzen op daden van dijn vrouwen welke die der
Atjehsche evenaren41”

(Sebenarnya tidak dapat dikerjakan biarpun menyebut


satu-persatu dengan cepat untuk menggambarkan
peranan para wanita Aceh dalam peperangan. Saya
hanya hendak mengatakan bahwa tiap-tiap bangsa, juga
bangsa kita (Belanda) akan merasa bangga jika dapat
menunjukkan perbuatan para wanitanya yang menyamai
perbuatan para wanita Aceh).

Sifat Perang Aceh


Seperti telah kita terangkan Perang Aceh adalah
suatu peperangan yang dipaksakan oleh imperialis
Belanda kepada Kerajaan Aceh yang merdeka dan
berdaulat.

41
Zentgraaff: “Atjeh”, p.75
Di pihak rakyat Aceh peperangan ini merupakan
perang mempertahankan hak, keadilan dan kebenaran,
sebaliknya di pihak Belanda adalah perang kolonial dan
penjajahan. Rakyat Aceh digerakkan oleh rasa kesucian,
keagamaan dan peri kemanusiaan, sebaliknya Belanda
digerakkan oleh kerakusan, kelobaan dan kebinatangan.
Oleh karena itu peperangan rakyat Aceh adalah “Perang
Suci” Perang fi Sabilillah, yang untuknya agama Islam
memerintahkan sekalian pemeluknya dengan tiada
terkecuali untuk menyerahkan segala apa yang ada
padanya hatta jiwa raga.

Dengan keimanan kepada Allah Yang Maha


Kuasa, keyakinan kepada hak dan keadilan inilah rakyat
Aceh telah berjuang dengan segala tenaga yang ada
padanya sampai titik darah yang paling penghabisan.

Dalam Perang Aceh para pemimpinlah yang telah


menggembleng semangat rakyat. Mereka bukan hanya
pandai berbicara tetapi juga pandai bekerja. Mereka
berdiri dimuka rakyat tidak saja waktu suka, tetapi juga
waktu duka, bukan hanya waktu aman, tetapi juga waktu
peperangan, bahkan mereka bersedia mati lebih dahulu
untuk memperlihatkan kepada rakyatnya bagaimana
harusnya mati sebagai pahlawan!

Oleh karena pimpinan yang tidak ragu-ragu dan


tegas ini rakyatpun tetap tekatnya, bulat niatnya untuk
mengikuti jejak pemimpin-pemimpinnya!
Dan baik diketahui pula sebagian besar dari
pemimpin-pemimpin Aceh mereka bukan saja cakap
mempergunakan pedang dan senapan, tetapi juga cakap
mempergunakan pena dan kalam, sebagian besar mereka
dapat menghimpunkan kecakapan sebagai panglima
dengan kecakapan sebagai pujangga. Tidak sedikit buku-
buku, syair-syair dan sajak-sajak yang dikarang oleh
mereka untuk menggelorakan semangat rakyat, sehingga
jika peperangan sepanjang revolusi Perancis mengenal
“La Marseillaise” nya, peperangan kemerdekaan
Amerika mengenal “Common sense” nya, maka Perang
Acehpun mempunyai “Hikayat Prang Sabi”nya.

Pertama-tama “Hikayat Prang Sabi” ditulis oleh


Teungku Chik di Tiro dan kemudian diiringi pula oleh
buah pena Panglima – pujangga yang lain-lain seperti
Teungku Sjech Djalaluddin, Teungku di Kutakarang,
Teungku di Pante Kulu dan lain sebagainya, termasuk
juga para pujangga – pahlawan wanita.

Hikayat-hikayat perang ini ditulis dengan jiwa dan


rasa bahasa yang memuncak yang dapat menggelorakan
semangat siapa yang membaca atau mendengarnya untuk
meneruskan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Betapa besarnya pengaruh “Hikayat-Hikayat Prang
Sabi” ini terhadap rakyat Aceh dapat dimengerti jika
diketahui bahwa seseorang yang baru membaca atau
mendengarnya pastilah akan siap sedia menyerahkan
jiwa raganya untuk membela kehormatan bangsa dan
agama walaupun seorang dirinya!

Zentgraaff mengatakan:

“menig jong man zette de eerste schreden op het


oorlogspad onder den machtigen indruk dier lectuur op
sijn emotioneele ziel42” (banyak pemuda meletakkan
langka pertama ke medan perang dibawah pengaruh
nyang amat besar dari buku-bku ini atas perasaannya
yang mudah tersinggung).

Buku-buku ini bagi Belanda merupakan momok


yang sangat ditakutinya sehingga siapa saja yang
diketahui menyimpan “zeer gevaarlijke lectuur43”
(bacaan yang amat berbahaya) ini (bagi Belanda!) sudah
cukup untuk menyebabkan pembuangan ke Papua atau
ke Nusakembangan.

Dalam pada itu didikan Islamlah yang menjadi


sumber semangat dan ketabahan rakyat Aceh untuk
mempertahankan kemerdekaannya sebagai kata Prof.
G.H.Bosquet: “s’explique en grande partie par
I’influence du facteur religieux44” (kenyataan ini buat
sebagian besar adalah oleh pengaruh anasir agama) yaitu
agama Islam, dan tidak mengherankan jika kemudian

42
Zentgraaff: “Atjeh”, p.244
43
Ibid
44
G.H.Bosquet: “Introduction a l’etude de I’Islam Indonesien”, p.157
Belanda berusaha dengan sekuat tenaganya “untuk
melepaskan pengaruh didikan Islam” di Aceh (tot
neutraliseering van den invloed der Mohammedaansche
opveoding45) sebagaimana yang sudah lebih dahulu
dijalankan di daerah-daerah Indonesia yang lainnya yang
sudah dijajahnya.

Tetapi rakyat Aceh mengerti dan mereka


memboycot sekolah-sekolah yang didirikan oleh
Belanda dengan mengadakan perguruan-perguruan
sendiri.

45
Beknope Encyclopaedia van Nederlandsch Oost-Indie, p.23
Penutup
Bukanlah maksud kita akan memaparkan sejarah
Peperangan Belanda – Aceh dengan lengkap dalam
risalah ini, karena memang sebagai kata E.S.De Klerck,
Perang Belanda – Aceh “still waiting for its historian46”
(masih sedang menunggu ahli sejarahnya); yang kita
maksud hanyalah sekedar tinjauan selayang pandang
sebagai bacaan sementara sebelum terbitnya buku
sejarah Peperangan Belanda – Aceh yang lengkap.

Segala yang telah kita kemukakan dalam risalah ini


adalah suatu kenyataan sejarah, suatu “fait accompli”
yang diakui oleh kawan dan lawan.

Nyatalah sudah bahwa sampai pada permulaan


abad ke XX masih ada bahagian tanah air Indonesia
yang masih tetap mempertahankan kemerdekaannya.
Oleh sebab itu sungguh tidak benar, tidak adil dan
memperkosa sejarah serta menghina diri sendiri kalau
ada bangsa kita yang dengan mutlak mengatakan bahwa
Indonesia sudah tiga ratus lima puluh tahun dijajah
Belanda. Kita akui memang ada bahagian-bahagian
tanah air kita yang sampai mengalami nasib yang
demikian tetapi bagaimanapun juga hal ini tetap bersifat
local dan tak dapat dimutlakkan demikian saja, jika kita

46
E.S.De Klerck: “History of the Netherland East Indies” Jilid II, p.359
tidak hendak mengingkari sejarah yang telah ditulis oleh
pahlawan-pahlawan kita dengan jiwa dan darah mereka!

Akibat dari peperangan yang menghabiskan


beberapa keturunan itu sampai dewasa ini masih
dideritai oleh daerah Aceh terutama berupa kemunduran
dalam dunia pengajaran. Tetapi kita yakin bilamana
rakyat Aceh telah dapat memperlihatkan tenaga yang
luar biasa dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan yang begitu lama, pasti dalam lapangan
pembangunan mereka akan lebih sanggup
memperlihatkan tenaga yang berlipat ganda dengan
karakter-karakter mereka yang dapat menjadi jaminan.

Dr. J.J.Fahrenfort dan J. Brummelkamp


mengatakan:

“Men ken aan de Atjehers meer zelfvertrounwen


durf en ondernemingsgeest toe dan aan de meeste
Indische volke, zood’t ze in de toekompst misschien nog
een belangrijke rol zullen spelen47” (Orang dapat
mengharapkan dari orang Aceh lebih banyak sifat
percaya pada diri sendiri, berani dan mempunyai jiwa
pembangunan dari kebanyakan bangsa-bangsa Indonesia
yang lain, sehingga mereka dimasa yang akan datang
barangkali akan memainkan rol yang penting)

47
Dr.J.J.Fahrenfort en J.Brummelkamp: “Land en Volkenkunde”, p.153
Residen Van Langen mengatakan rakyat Aceh
“behept met grooten onafbankelijkbeidszin48”
(mempunyai semangat merdeka yang besar).

Oleh sebab itu “Schoone met zijn zoo flink volk49”


(Aceh yang permai dengan rakyatnya yang gagah
perwira) sebagai kata Gubernur Belanda Van Sluys
tentulah akan segera bangkit kembali untuk menjadi
salah satu sendi negara Republik Indonesia.

Dewasa ini daerah Aceh dipimpin oleh para


pemimpin yang dilahirkan dan dididik oleh masa “Sturm
und Drang” itu seperti Teungku M. Daud Beureu-eh,
Teungku Hasballah Indrapuri, Teungku Abdullah Lam
U, Teungku Abdul Wahab, Teungku M. Nur el
Ibrahimy, Teungku Umar Tiro, Teungku Abdurrahman
Peusangan, Teuku M. Amin, Teungku Zamzamy Yahya,
Teungku Ismail Jakub, Teungku Husin al Mudjahid,
Teungku Hasan Kreungkale, dls. Dengan dibentengi oleh
para pemuda angkatan baru.

Kini usaha pembangunan dalam segala lapangan


sedang berjalan dengan sehebat-hebatnya dan sedang
direncanakan pula pembangunan satu “Iskandar Muda
University” yang besar dan lengkap. Mudah-mudahan
dapat terjelma dalam waktu yang sesingkat-singkatnya!

48
A. Kruisheer: “Atjeh 1896”, p.252
49
Joh Langout: “Vijftiq jaren Economische Staatkunde in Atjeh”, kata
pengantar, oleh Van Sluijs
Perlu kita terangkan risalah ini adalah beberapa
fragmenta dari buku sejarah Aceh yang lengkap yang
sedang kita susun.

Untuk menutup risalah ini rasanya tak ada


perkataan yang lebih tepat dari ucapan Paul de Groot
yang mengatakan:

“The Independence of Indonesia cannot be neglected nor


crushed. Waging a second Achehnese war in order to
crushed the people, will et last fail”

(Kemerdekaan Indonesia tak bisa diabaikan dan


dihancurkan. Maksud mengadakan Perang Aceh yang
kedua untuk menundukkan mereka akan berakhir dengan
sia-sia)

Anda mungkin juga menyukai