Salinan Ulang Buku Perang Atjeh 2 2 PDF
Salinan Ulang Buku Perang Atjeh 2 2 PDF
1873 – 1927 M
Oleh:
Hasan Muhammad Tiro
1
Zentgraaff: “Atjeh”, p.20
Karena rakyat Aceh dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaannya hanya memilih sala satu diantara dua
alternative: menang atau mati.
Inilah sebabnya Belanda mengecap rakyat Aceh
fanatik.
2
Zentgraaff: “Atjeh”, p.1
Para pemimpin hidup bersama-sama rakyat dan
merekapun mati bersama-sama rakyat pula. Pada waktu
Belanda dapat menduduki seluruh Aceh hampir seorang
pemimpinpun tak ada lagi yang hidup, semua mereka
lebih suka memilih mati sebagai pahlawan dari pada
hidup dalam penjajahan!
3
E.S.De Klerck: “History of the Netherland East Indies” Jilid II, p.349
Sejarah
Lama sebelum 500 M. Kerajaan Aceh sudah
berdiri di Sumatera Utara. Sebagai satu negara merdeka
dan berdaulat, Kerajaan Aceh mempunyai perhubungan
dengan negara-negara sekitarnya baik hubungan
diplomatik maupun hubungan dagang misalnya dengan
Jepang, Tiongkok, India, Mesir, Arab, Turki, Persi, Siam
dll, negara di Asia Tenggara.
5
The Encyclopaedia Britannica, p.145
6
Ibid
bukan saja dengan negara-negara Asia tetapi juga dengan
negara-negara Eropa.
7
The Encyclopaedia Britannica, Jilid I, p.145
Pada waktu itulah Aceh berada dipuncak
kejayaannya, ialah masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1607 M – 1636 M).
9
The Encyclopaedia Britannica, Jilid I, p.145
itu dengan memberikan keistimewaan-keistimewaan
perdagangan kepadanya, seperti perjanjian tentang
perdagangan timah di Perak (Malaya) pada tahun 1650
M dan lain sebagainya.
11
Encyclopaedie van Nederlandsch Oost-Indie, Jilid I, p.76
12
Ibid
Pada waktu itu Kerajaan Aceh tak dapat sabar lagi,
perkataan “peace at any price” tak ada dalam kamus
Aceh; pada tahun 1865 M berangkatlah Tentara Aceh ke
Sumatera Timur untuk memerdekakan kembali daerah
itu dari cengkraman Belanda. Ekspedisi ini berhasil
memerdekakan kembali sebagian daerah Sumatera
Timur.
13
E.S.De Klerck: “De Atjeh Oorlog”, Jilid I, p.205
14
Ibid, p.442
Dituduhnyalah rakyat Aceh “Bajak Laut” yang
katanya merampas kapal-kapal dagangnya “sekian” buah
di tempat “ini” dan “sekian” buah pula di tempat “itu”.
Bahkan kapalnya yang bernama Dolfiin yang terbakar
ditengah-tengah lautan Hindia karena kelalaian anak
buahnya sendiri, kapal inipun katanya dirampok oleh
“bajak laut” Aceh dan muatannya yang telah tenggelam
ditengah-tengah samudera, itu dihitung oleh Belanda
sudah dibawa ke Kutaraja. Untuk menambah
interressant kepada cerita-cerita yang dikarangnya itu
Belanda membubuhi pula bumbu-bumbu yang lain
dengan mengatakan bahwa tidak sedikit pula kapal-kapal
Inggris, Perancis, Tionghoa, dll yang turut menjadi
korban “bajak laut” Aceh. Padahal, bangsa-bangsa yang
bersangkutan itu sendiri tidak menerangkan apa-apa
yang digembar-gemborkan oleh Belanda, sedang
diantara mereka sejak ratusan tahun telah mempunyai
hubungan dagang dan diplomatik dengan Kerajaan
Aceh.
Perang Aceh
Dengan memakai alasan-alasan yang dibikin-bikin
itu pada tanggal 26 Maret 1873 M. Belandapun lalu
mengumumkan perang kepada Kerajaan Aceh, katanya
untuk membasmi “zeeroof, standroof, menschenroof,
plundering van handelsschepen, enz, enz”
15
The Encyclopaedia Britannica, Jilid I, p.145
keharusan untuk berperang itu adalah sangat diragu-
ragukan pun dinegeri Belanda sendiri)
16
Zentgraaff: “Atjeh”, p.1
Pada permulaan tahun 1875 M dalam bulan
Februari saja 150 Opsir Belanda dengan 280 serdadunya
menjadi korban. Jumlah kerugian Belanda dalam tahun
1875 M yang mati 957 orang yang lumpuh 5150 orang.
17
E.S.De Klerck: “History of the Netherland East Indies” Jilid II, p.325
(Pernyataan – Proklamasi – tentang langsung terjajahnya
Aceh sungguh-sungguh adalah cita-cita yang salah
belaka; Sebenarnya soal menang taka da pada waktu ini.
Keadaan serdadu di Aceh sepi oleh karena menderita
kekalahan hebat dan akibatnya kemusnahan kekuatan
yang besar)
18
Joh. Langhout: “Vijftiq jaren Economische Staatkunde in Atjeh”, kata
pengantar, oleh Van Sluijs
Pada waktu itu tentara Aceh sudah mulai
mengadakan serbuan umum terhadap tiap-tiap
kedudukan Belanda rencana membersihkan tanah Aceh
dari serdadu kolonial Belanda sudah mulai dijalankan!
19
P.F.Laging Tobias: “Het Herstell van het Sultanaat in Atjeh”
kedudukan kita di Aceh hampir seluruhnya tidak ada
harapan)
20
Encyclopaedie van Nederlandsch Oost-Indie, Jilid I, p.81
mengenai adat istiadat boleh dikatakan benar tetapi yang
berkenaan dengan politik tidak seluruhnya benar dan
berbau kolonialisme karena Dr. C. Snouck Hurgronje
sendiri adalah hamba sahayanya kolonialisme!
21
Zentgraaff: “Atjeh”, p.20
menjalankan usaha-usaha mengekalkan perdamaian
dunia dan menjauhi segala jalan-jalan yang
menyebabkan peperangan dan penyembelihan antara
sesame manusia, bahkan di Den Haag pulalah telah
dilangsungkan “Kongres Perdamaian” sedunia yang
dihadiri oleh seratusan negara yang melahirkan
“International Court of Arbitration” yaitu tahun 1899,
tahun dimana Belanda terus menerus melakukan
penyembelihan terhadap rakyat Aceh sebab mereka tidak
mau dijajahnya; tahun dimana Belanda telah menembak
mati pahlawan kita Teuku Umar.
22
Zentgraaff: “Atjeh”, p.28
Pada tahun-tahun berikutnya suasana makin
bertambah buruk lagi bagi Belanda, pertempuran terus
menerus bernyala-nyala bahkan di daerah-daerah yang
sudah dikuasai oleh Belanda, lebih-lebih di Aceh Timur
Teungku di Paya Bakong dan Pang Nanggroe mendapat
kemenangan yang besar yang sangat merugikan Belanda.
23
Dr.J.Jacobs: “Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh” Jilid I,
p.373
Belum pernah!
24
Zentgraaff: “Atjeh”.
kembali sehingga serdadu Belanda terpaksa lari ke
gunung-gunung untuk memperlindungi dirinya dan
dengan demikian tammatlah sudah riwayat penjajahan
Belanda di Aceh.
Zaman Jepang
Jepang datang, dengan janji akan menjamin
kemerdekaan Aceh. Setelah beberapa bulan ternyata ia
mealpakan janjinya, bahkan melakukan perbuatan-
perbuatan yang tidak berbeda dengan Belanda; rakyat
Aceh segera mengatur pemberontakan yang meletus
dengan hebatnya pertama di Buloh Blang Ara,
Lhokseumawe, tahun 1943 M kemudian diiringi di
Jeunib, Bireuen tahun 1944 dan 1945 M.
Indonesia Merdeka
Waktu Jepang menyerah dan proklamasi Indonesia
Merdeka mendengung, dengan tidak menghitung korban
yang harus diberikan, rakyat Aceh telah menyerbu
serdadu-serdadu Jepang untuk merampas senjatanya,
guna alat mempertahankan kemerdekaan sampai akhir
zaman.
Para Pemimpin
Teungku Chik di Tiro
25
The Encyclopaedia Britannica, Jilid I, p.144
Pada waktu perang Aceh mulai berkobar Teungku
Sjech Saman Tiro dengan ditunjang oleh Ayahandanya
Teungku Chik Muhammad Amin Tiro segera tampil
kemuka memimpin peperangan melawan penjajahan
Belanda. Setelah ayahandanya wafat beberapa tahun
kemudian maka Teungku Sjech Saman Tirolah yang
mengganti kedudukan ayahandanya sebagai “Teungku
Chik di Tiro”.
26
Zentgraaff: “Atjeh”, p.8
27
Dr.C.Snouck Hurgronje: “De Atjehers”, Jilid. I, p.185
Klibeuet, Teungku di Cot Cicem (penyelenggara tentara
Teungku Chik di Tiro yang ulung), Teungku di Reubee,
Teungku Ulee Tutue, Teungku Muda Syam dan banyak
yang lain-lainya lagi yang masing-masing merekapun
sebenarnya merupakan pemimpin-pemimpin besar yang
berpengaruh pula.
28
Zentgraaff: “Atjeh”, p.8
Berturut-turut satu demi satu Teungku-Teungku di
Tiro dan keluarganya gugur sebagai pahlawan dalam
memimpin perang pembelaan tanah air, yang segera
diganti pula oleh yang lain dengan tabah meneruskan
perlawanan. “Vrijwel allen kozen den dood boven de
onderwerping, en zij vielemn allen als sjahid29” (Semua
mereka lebih suka memilih mati dari pada menyerah,
dan sekalian mereka telah gugur sebagai syuhada).
Demikianlah antara lain kata Zentgraaff.
29
Zentgraaff: “Atjeh”, p.25
Pada waktu itu pemerintah Belanda yang sekejam-
kejamnya itu rupanya masih merasa “kasihan” juga
untuk membasmi sampai jiwa yang paling akhir dari
keturunan pahlawan-pahlawan Tiro yang telah
memperlihatkan kesetiaannya pada tanah airnya sampai
kepada batas yang sejauh-jauhnya itu. Pemerintah
kolonial Belanda dengan bermacam-macam jalan serta
janji yang muluk-muluk mencoba membujuk pahlawan
muda sebatang kara itu, agar ia suka meletakkan
senjatanya. Tetapi Teungku Chik Maat Tiro sebagai kata
Schmitd adalah “zoon van zijn vader” (putera ayahnya)
juga dalam semangat dan cita-cita perjuangannya. Ia
juga lebih suka gugur sebagai pahlawan dari pada hidup
dalam penjajahan! Dan beliaupun menemui syahidnya
dalam suatu pertempuran diakhir tahun 1911 M.
30
Zentgraaff: “Atjeh”, p.41
beschouwd31” (Dengan gugurnya Teungku-Teungku di
Tiro, Perang Aceh dapat dipandang sudah berakhir….).
Pang Nanggroe
31
J.Jongejan: “Land en volk van Atjeh”, p.349
32
Zentgraaff: “Atjeh”, p.101
Teuku Umar
Teungku di Mata Ie
33
Dr.C.Snouck Hurgronje: “De Atjehers” Jilid I, p.195
seorang “geboren leider34” (orang yang sudah membawa
sifat pemimpin sejak ia dilahirkan). Beliau termasuk
pemimpin-pemimpin yang terakhir dari Perang Aceh dan
sebagai teman seperjuangannya beliaupun tahu
bagaimana harusnya mati sebagai pahlawan. Beliau
gugur pada tahun 1917 M sedang pengikut-pengikutnya
terus menerus melanjutkan perjuangannya. Pada tahun
1937 M – 20 tahun kemudian! – barulah mereka dapat
ditangkap oleh Belanda dengan mempergunakan tipuan.
Teungku di Barat
34
J.Jongejans: ‘Land en volk van Atjeh”, p.306
dipertahankan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang
berpengalaman seperti Imeum Sabi, Teungku Puteh dan
yang terutama oleh Teuku Tjut Ali.
35
Zentgraaff: “Atjeh”, p.100
Para Wanita
“Sejarah Aceh mengenal “grandes dames” –
perempuan-perempuan besar – yang memegang peranan
yang penting dalam politik, maupun dalam peperangan,
kadang-kadang sebagai Sultan, dan kadang-kadang
sebagai isteri dari orang-orang yang berpengaruh. Disana
ada pemimpin-pemimpin wanita yang menyamai
Semiramis, da nada pula yang menyamai Katharina II
Kaisar wanita Rusia. Wanita Aceh tidak pernah ragu-
ragu untuk mempertaruhkan jiwa raganya dalam
mempertahankan apa yang dipandangnya sebagai soal
kebangsaan dan keagamaannya”.
36
Zentgraaff: “Atjeh”, p.63, 78.
(1675 – 1678 M), Sultanah Inayat Zakiatuddin Sjah
(1678 – 1688 M), dan Kamalat Sjah (1688 – 1699 M).
Potjut Asiah
37
Zentgraaff: “Atjeh”, p.63
akhir tahun 1910 M”. Demikianlah antara lain tulis
Zentgraaff38.
38
Zentgraaff: “Atjeh”, p.63
Potjut Nyak Din
Potjut Meutia
Zentgraaff mengatakan:
39
Dr.Prijono: “Ichtisar Perdjuangan Umat Islam Indonesia”, p.5
40
Zentgraaff: “Atjeh”, p.65
menggerakkan rasa penghormatan juga dari orang-orang
kita – Belanda).
Seterusnya dikatakannya:
41
Zentgraaff: “Atjeh”, p.75
Di pihak rakyat Aceh peperangan ini merupakan
perang mempertahankan hak, keadilan dan kebenaran,
sebaliknya di pihak Belanda adalah perang kolonial dan
penjajahan. Rakyat Aceh digerakkan oleh rasa kesucian,
keagamaan dan peri kemanusiaan, sebaliknya Belanda
digerakkan oleh kerakusan, kelobaan dan kebinatangan.
Oleh karena itu peperangan rakyat Aceh adalah “Perang
Suci” Perang fi Sabilillah, yang untuknya agama Islam
memerintahkan sekalian pemeluknya dengan tiada
terkecuali untuk menyerahkan segala apa yang ada
padanya hatta jiwa raga.
Zentgraaff mengatakan:
42
Zentgraaff: “Atjeh”, p.244
43
Ibid
44
G.H.Bosquet: “Introduction a l’etude de I’Islam Indonesien”, p.157
Belanda berusaha dengan sekuat tenaganya “untuk
melepaskan pengaruh didikan Islam” di Aceh (tot
neutraliseering van den invloed der Mohammedaansche
opveoding45) sebagaimana yang sudah lebih dahulu
dijalankan di daerah-daerah Indonesia yang lainnya yang
sudah dijajahnya.
45
Beknope Encyclopaedia van Nederlandsch Oost-Indie, p.23
Penutup
Bukanlah maksud kita akan memaparkan sejarah
Peperangan Belanda – Aceh dengan lengkap dalam
risalah ini, karena memang sebagai kata E.S.De Klerck,
Perang Belanda – Aceh “still waiting for its historian46”
(masih sedang menunggu ahli sejarahnya); yang kita
maksud hanyalah sekedar tinjauan selayang pandang
sebagai bacaan sementara sebelum terbitnya buku
sejarah Peperangan Belanda – Aceh yang lengkap.
46
E.S.De Klerck: “History of the Netherland East Indies” Jilid II, p.359
tidak hendak mengingkari sejarah yang telah ditulis oleh
pahlawan-pahlawan kita dengan jiwa dan darah mereka!
47
Dr.J.J.Fahrenfort en J.Brummelkamp: “Land en Volkenkunde”, p.153
Residen Van Langen mengatakan rakyat Aceh
“behept met grooten onafbankelijkbeidszin48”
(mempunyai semangat merdeka yang besar).
48
A. Kruisheer: “Atjeh 1896”, p.252
49
Joh Langout: “Vijftiq jaren Economische Staatkunde in Atjeh”, kata
pengantar, oleh Van Sluijs
Perlu kita terangkan risalah ini adalah beberapa
fragmenta dari buku sejarah Aceh yang lengkap yang
sedang kita susun.