Anda di halaman 1dari 25

HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT DENGAN ILMU

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Filsafat Ilmu Dan
Dasar Dasar Logika Oleg Bapak DR. Sholih Mu’adi,SH,M.Si,Phd

Oleh:

Nama : Lala Putri

NIM : 175120501111011

Kelas : A-1 Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

OKTOBER 2017
BAB I

PENDAHULUAN

Filsafat hingga saat ini masih dipandang dari berbagai sudut pandang yang berbeda dan
kadang-kadang diterapkan secara tidak tepat terutama di kalangan awam. Sebagian pihak ada
yang memandangnya sebagai suatu ilmu atau wacana luar biasa yang sangat tinggi
kedudukannya, jauh lebih tinggi dibandingkan maksud yang sebenarnya. Berdasarkan pandangan
tersebut, filsafat menjadi sebuah wacana atau ilmu pengetahuan yang hanya mungkin dilakukan
dan dipahami oleh orang-orang yang memilki keunggulan intelektual serta kebijaksanaan yang
sangat tinggi. Jadi, dalam pemahaman ini, orang biasa belum tentu dapat berfilsafat. Persepsi ini
menempatkan filsafat sebagai pemikiran yang terlalu abstrak dan tidak membumi untuk dapat
dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya, penilaian terhadap hal tersebut tidak
mempunyai manfaat praktis. (Wiramihardja, 2007)

Manusia pada waktu dilahirkan ke bumi tidak tahu dan tidak mengenal apa-apa yang ada
disekitarnya, bahkan dengan dirinya sendiri. Ketika manusia mulai mengenal dirinya, kemudian
mengenal alam sekitarnya, karena manusia adalah sesuatu yang berpikir, maka seketika itu ia
mulai memikirkan dari mana asal sesuatu, bagaimana sesuatu, untuk apa sesuatu, kemudian apa
manfaat sesuatu tersebut. Sebenarnya pada ketika manusia telah mulai tahu dari mana asalnya,
bagaimana proses terjadinya, siapa dia, untuk apa dia, pada ketika itu ia telah berfilsafat. Karena
filsafat itu pada intinya adalah berusaha mencari kebenaran tentang segala sesuatu, baik yang ada
maupun yang mungkin ada, dari mulai mana asal sesuatu, bagaimana sesuatu itu muncul dan
untuk apa sesuatu itu ada, dari pemikiran seperti itu maka akan muncul beraneka macam
pandangan, pendapat dan pemikiran serta tanggapan yang akhirnya menjadi suatu kesepakatan
untuk diketahui secara bersama-sama dan berlaku dilingkunganya. Kesepakatan tentang sesuatu
itu dan berlaku untuk umum serta menjadi kebiasaan pada komunitasnya secara turun temurun
hal itulah yang dinamakan tradisi, dari tradisi itulah berkembang menjadi suatu ilmu. Seperti
kalau mau menanam padi di sawah harus ada air, kemudian harus dipikirkan dari mana
mengambil air, bagaimana menyuplaikan air ke sawah, akhirnya memunculkan ide untuk

2
membuat kincir air atau membuat saluran air ke sawah (irigasi), hal-hal yang seperti itulah yang
akhirnya menjadi suatu ilmu. (Abbas, 2010)

Terkadang manusia selalu mempersoalkan sesuatu apa pun, termasuk mengapa harus
berfilsafat? Banyak hal ditanyakannya, seperti benda, keadaan, hal konkret ataupun abstrak.
Mengapa timbul pertanyaan-petanyaan seperti itu? Hal tersebut karena filsafat seolah-olah
mengherankan sesuatu. Pertanyaannya pun bermacam-macam, mulai dari pertanyaan yang
bersifat biasa, seperti pertanyaan tentang hal wujud sampai dengan pertanyaan yang bersifat
filsafati. Keheranan seperti itu merupakan bekal bagi orang untuk berfilsafat, bahkan timbul
pertanyaan yang tidak bersifat filsafati. Hal ini penting karena dengan heran, orang akan
bertanya sehingga ilmunya akan betambah lebih dalam. Dengan bertambahnya ilmu lebih dalam
dan lebih luas, orang akan mampu menganalisis masalah dengan lebih tajam, serta mampu
menguasai lingkungannya. Dengan demikian, orang tersebut mampu memahaminya, kemudian
akan bertindak dengan benar. Seperti kita ketahui, bahwa kebenaranlah yang akan membawa
seseorang pada puncak kebahagiaan hidupnya. Masalah selanjutnya, yaitu mengapa harus
berflsafat? Tentu tidak menjadi keharusan bagi seseorang untuk berfilsafat atau sekedar bertanya
secara ilmiah, atau sesuai dengan bidang ilmunya. Namun, orang yang berfilsafat akan
menemukan akar dan hakikat dari apa yang menjadi bahan pemikirannya. Selayaknya, kita
mengetahui terlebih dahulu bagaimana berflsafat, atau lebih sederhananya apa filsafat itu.
(Wiramihardja, 2007)

Apabila ada orang yang berpendapat bahwa kita tidak perlu bertanya secara filsafati,
orang tersebut tampaknya tidak mengenal filsafat sebagai perbincangan yang melahirkan ilmu
pengetahuan, di samping perbincangan masalah-masalah lainnya. Terlebih dahulu, ia patut
memahami pengertian filsafat secara dasar dengan tepat sehingga keraguannya atas manfaat
berfilsafat tidak akan terjadi. Tampaknya, pertanyaan dan pemikiran yang sifatnya rasional
merupakan ciri khas manusia dibandingkan makhluk hidup lainnya. Ia akan bertanya tentang
segala hal. Untuk menjawab pertanyaannya, ia akan berusaha mencari jawaban yang dapat
memenuhi kebutuhan intelektualnya. Oleh karena itu, manusia berpikir disebut sebagai a
rational animal, animal rationale atau binatang yang mampu berpikir. Hal ini berlaku apabila
manusia dan hewan dikelompokkan ke dalam suatu golongan, dan tidak memperlihatkan

3
perbedaan yang esensial atau berbeda prinsip. Hal ini merupakan permasalahan dalam bidang
antropologi dan metafisika, khususnya yang menyangkut hakikat manusia. (Wiramihardja, 2007)

Berdasarkan dari pengertian dan kedudukan filsafat yang telah dikemukakan dan
dipaparkan di atas haruslah disadari dan dipahami bahwa telah terjadi adanya hubungan yang
sangat signifikan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, demikian pula halnya
terjadi adanya hubungan antara filsafat dengan agama dan hubungan antara agama dengan ilmu
pengetahuan, sehingga terjadi hubungan yang saling terkait satu sama lainnya. Maka oleh karena
itulah jika dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu
yang ada dan yang mungkin ada, serta sebagai suatu ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat
pengetahuan manusia. Justru karena itu, maka dapat dikatakan bahwa seluruh ilmu pengetahuan
itu harus mempunyai hubungan yang erat secara struktural dan fungsional dengan filsafat.
(Abbas, 2010)

Sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, dimana perbincangan dan


pembahasan mengenai ilmu pengetahuan mulai mencari titik perbedaan antara berbagai hal,
termasuk diantaranya mencari persekutuan-persekutuan di dalam penyelidikan keperbedaan
tersebut. Lantas kemudian orang mulai dapat membedakan antara filsafat dengan ilmu
pengetahuan, demikian pula halnya dapat membedakan antara filsafat dengan agama, dan antara
agama dengan ilmu pengetahuan. Penempatan kedudukan yang berbeda, demikian pula
perbedaan pengertian fungsional dari ketiga masalah yang telah disebutkan di atas seringkali
menimbulkan berbagai macam sikap yang kurang atau bahkan tidak menguntungkan bagi
manusia itu sendiri, karena terjadi kesalahan pahaman tentang perbedaan itu. (Abbas, 2010)

Sementara itu, menurut Berling dalam Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa orang-orang
Yunani mula-mula berfilsafat dikarenakan ketakjuban. Ketakjuban mereka dalam menyaksikan
keindahan alam ini menyebabkan mereka ingin mengetahui rahasia-rahasia alam semesta ini.
Plato misalnya, mengatakan bahwa filsafat itu dimulai dari ketakjuban. Sikap heran atau takjub
tersebut melahirkan sikap bertanya, dan pertanyaan itu akan dipertanyakan kembali karena ia
selalu sangsi pada kebenaran yang ditemukannya itu. (Susanto, 2013)
Sementara itu, pada zaman modern seperti sekarang ini yang menjadi penyebab
timbulnya filsafat adalah karena adanya kesangsian. Apa yang dimaksud dengan sangsi? Sangsi
itu setingkat di bawah percaya dan setingkat di atas percaya. Apabila manusia menghadapi suatu
pertanyaan, mungkin ia akan percaya atau tidak percaya. Atau barangkali tidak kedua-duannya.

4
Pada sikap percaya dan tidak percaya, pikiran tidak bekerja dan ada problem. Akan tetapi, ketika
percaya tidak dan tidak percaya pun tidak, maka pikirannya akan bekerja sampai pada percaya
atau tidak percaya. Selama tanda tanya di dalam pikiran, jalan pikiran itu membentur-bentur.
Dalam bahasa Yunani pertanyaan yang membentur-bentur dalam pikiran itu disebut problema
yang menunjukkan sesuatu yang di taruh di depan, merintangi perjalanan kita dan harus
disingkirkan agar tidak membentur kaki. Dengan demikian, sangsi menimbulkan pertanyaan dan
pertanyaan menyebabkan pikiran bekerja. Pikiran bekerja menimbukan filsafat. (Susanto, 2013)

Para filosof sangat paham betul dalam memanfaatkan otak atau rasio dalam dirinya untuk
mengubah wajah dunia dan dirinya itu. Sehingga dengan kondisinya yang seperti itu, manusia
sering disebut dengan sebutan homo sapiens, makhluk pemikir. Dengan kecemerlangan nalar dan
akalnya, di dunia Barat pun dikenal tokoh-tokoh ilmuan yang telah menorehkan sejarah emasnya
bagi generasi penerus mereka. Sebut saja Newton yang berhasil menciptakan teori gravitasi,
teorinya memberikan penjelasan yang luas sekali tentang peristiwa-peristiwa fisika mulai dari
ukuran molekuler sampai ukuran astronomis. Selain itu, Newton juga berhasil menyusun
perhitungan kalkulur yang disebut integral. Alexander Abraham Bell, sang penemu mesin
telepon. Thomas Alva Edison, penemu lampu pijar. Wilhewm Konrad Roentgen yang telah
menemukan sinar X. Dan masih banyak tokoh lain yang telah berjasa bagi umat manusia dan
peradabannya melalui penemuannya yang luar biasa itu. (Susanto, 2013)

Maka dari itu, sudah selayaknya manusia untuk belajar berfilsafat dan mengetahui makna
dari berfilsafat itu sendiri. Sehingga permasalahan yang sulit terpecahkan di dunia ini bisa diatasi
dengan mudah oleh orang-orang baru yang mengeluarkan ide-ide cemerlang mereka sesudah
belajar berfilsafat.

5
BAB II

PROBLEM YANG DI ANGKAT

Mempelajari filsafat bukan hanya semata-mata untuk mencari kebenaran, karena


kebenaran yang mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari belajar filsafat akan
timbul pertanyaan, Apa sebenarnya filsafat itu? Mengapa orang-orang sering menganggap bahwa
filsafat itu sesuatu yang sulit untuk dipahami? Apakah ada hubungan antara filsafat dengan ilmu?
Apa yang membedakan filsafat dengan ilmu? Manusia adalah makhluk sosial, menandakan yang
mempunyai rasa ingin tahu, dimana jika sesuatu hal yang dianggap ganjil di masyarakat, maka
timbul rasa ingin tahu mengapa sesuatu itu dianggap ganjil oleh masyarakat. Jika sudah manusia
sudah menyelidi dan mengetahui hal tersebut, akan timbul rasa puas setelah melalui proses-
proses yang dilakukan untuk mengetahui hal tersebut. Untuk mengetahui jawaban-jawaban dari
pertanyaan di atas, maka akan dijelaskan pada bab berikutnya.

6
BAB III

PEMBAHASAN

1. Defenisi Filsafat

Secara etimologis, filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Yunani.
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, sedangkan dalam bahasa Yunani, filsafat
merupakan gabungan dua kata, yaitu philein yang berarti cinta atau philos yang berarti
mencintai, menghormati, menikmati, dan Sophia dan sofein yang artinya kehikmatan, kebenaran,
kebaikan, kebijaksanaan, atau kejernihan. Berdasarkan teori tersebut, berfilsafat atau filsafat
berarti mencintai, menikmati kebijaksaan atau kebenaran. Hal ini sejalan dengan apa yang
diucapkan ahli filsafat Yunani kuno, Socrates, bahwa filosof adalah orang yang mencintai atau
mencari kebijaksanaan atau kebenaran. Jadi, filosof bukanlah orang yang bijaksana atau
berpengetahuan benar, melainkan orang yang sedang belajar dan mencari kebenaran atau
kebijaksaan. Dalam bahasa Indonesia, filsafat berasal dari bahasa Arab filsafah, yang juga
berakar pada istilah Yunani. (Wiramihardja, 2007)

Pythagoras adalah orang yang pertama-tama memperkenalkan istilah philosophia, yang


kemudian dikenal dengan istilah filsafat. Pythagoras memberikan defenisi filsafat sebagai the
love wisdom. Menurutnya, manusia yang paling tinggi nilainya adalah manusia pecinta kebijakan
(lover of wisdom), sedangkan yang dimaksud dengan wisdom adalah kegiatan melakukan
perenungan tentang Tuhan. Pythagoras sendiri mengganggap dirinya seorang philosophos
(pecinta kebijakan), baginya kebijakan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh
Tuhan. (Susanto, 2013)
Pengertian filsafat itu juga dapat dibedakan dari dua segi, yaitu segi yang statis dan dari
segi yang dinamis. Dikatakan dinamis karena dimana pada akhirnya orang harus mencari
kebijaksanaan itu dengan beraneka macam cara dan metode yang dimiliki dan kemampuan yang
ada, dan dikatakan statis karena orang dapat mencukupkan diri atau merasa cukup untuk sekedar
mencintai kebijaksanaan tersebut. Akan tetapi walaupun demikian, secara terinci dan secara
khusus filsafat itu dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mencari kebenaran yang
sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada atau mencari hakikat segala

7
sesuatu yang secara ringkas dapat dikatakan sebagai usaha mencari kebenaran yang hakiki.
(Abbas, 2010)

Al-Kindi, seorang filosof muslim pertama memberikan pendapat bahwa filsafat adalah
penegetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena
tujuan para filosof dalam berteori adalah mencari kebenaran, maka dalam praktiknya pun harus
menyesuaikan dengan kebenaran pula. Sebenarnya masih banyak defenisi, konsepsi, dan
interpretasi mengenai filsafat dari berbagai ahli yang merumuskan bahwa filsafat berhubungan
dengan bentuk kalimat yang logis dari bahasa keilmuan, dengan penilaian, dengan perbincangan
kritis, pra anggapan ilmu, atau dengan ukuran baku tindakan. Setiap filosof dari suatu aliran
filsafat membuat perumusannya masing-masing agar cocok dengan kesimpulan sendiri.
(Susanto, 2013)
Seorang murid Plato yang paling terkemuka ialah Aristoteles, menurutnya Sophia
(kearifan) merupakan kebajikan intelektual yang tertinggi, sedang philosophia merupakan
padanan kata dari “episteme” dalam arti suatu kumpulan teratur pengetahuan rasional mengenai
sesuatu objek yang sesuai. Aristoteles menulis tentang apa yang disebutnya dalam perkataan
Yunani prote philosophia (artinya filsafat pertama) sebagai bagian dari epistemenitu. Ia
memberikan dua macam defenisi terhadap protes philosophia itu, yakni sebagai ilmu tentang
asas-asas pertama (the science of firts principles) dan sebagai suatu ilmu yang menyelediki
peradaan sebagai peradaan dan ciri-ciri yang tergolong pada objek itu berdasarkan sifat alaminya
sendiri. Dalam perkembangannya kemudian prote philosophia dari Aristoteles disebut
metafisika. Ini merupakan suatu istilah tehnis untuk pengertian filsafat spekulatif. (Gie, 2007)
Dengan memperhatikan batasan-batasan yang tentunya masih banyak yang belum
dicantumkan, dapat ditarik benang merahnya sebagai kesimpulan bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan memper-
gunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat bukannya mempersoalkan gejala-gejala atau
fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari suatu fenomena. Hakikat adalah suatu prinsip
yang menyatakan sesuatu adalah sesuatu itu. Filsafat adalah usaha untuk mengetahui segala
sesuatu. Jadi, segala sesuatu yang yang mempunyai kualitas tertentu pasti dia adalah being.
Filsafat mempunyai tujuan untuk membicarakan keberadaan. Jadi, filsafat membahas lapisan
yang terakhir dari segala sesuatu atau membahas masalah-masalah yang paling dasar. Tujuan
filsafat adalah mencari hakikat dari suatu objek atau gejala secara mendalam. Adapun pada ilmu
pengetahuan empiris hanya membicarakan gejala-gejala. Membicarakan gejala untuk masuk ke
hakikat itulah dalam filsafat. Untuk sampai ke hakikat harus melalui suatu metode yang khas dari
filsafat. (Surajiyo, 2013)

Secara historis, hal-hal yang mendorong timbulnya filsafat ini sebagaimana dijelaskan
Moh. Hatta dalam bukunya Alam Pikiran Yunani, ada dua hal. Pertama, dongeng dan takhayul

8
yang dimiliki suatu masyarakat atau suatu bangsa. Diantara masyarakat tersebut ada saja orang-
orang yang tidak percaya begitu saja. Kemudian ia kritis dan ingin mengetahui kebenaran
dongeng tersebut, lalu disitulah muncul filsafat. Kedua, keindahan alam yang besar, terutama
ketika malam hari. Hal tersebut menyebabkan keingintahuan orang-orang bangsa Yunani untuk
mengetahui rahasia alam tersebut. keingintahuan untuk mengetahui rahasia alam berupa
pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya menimbulkan filsafat juga. (Susanto, 2013)
Namun, perlu dicatat bahwa pertanyaan yang dapat menimbulkan filsafat bukanlah
pertanyaan yang sembarang. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti “Apa warna langit pada
siang hari yang cerah?”, tidak akan menimbulkan filsafat, hal itu cukup dijawab oleh mata kita.
Begitu pun pertanyaan seperti “Kapan awan akan mulai turun menjadi hujan?”’ pertanyaan
tersebut pun tidak akan menimbulkan filsafat, cukup dijawab dengan melakukan riset saja.
Pertanyaan yang dapat menimbulkan filsafat adlah pertanyaan mendalam, yang bobotnya berat
dan tidak terjawab oleh indera kita. Coba saja Anda jawab pertanyaan dari Thales, “Apa
sebenarnya bahan alam semesta ini?”, atau pertanyaan lain, “Dari unsur apa alam semesta ini
tercipta?” pertanyaan seperti inilah yang membuat indera kita tidak mampu menjawa bahkan
sains pun terdiam. Dan jawaban terhaadap pertanyaan Thales ini pun memerlukan pemikiran
yang mendalam. (Susanto, 2013)

Ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai
ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
bagaimana ilmu filsafat dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana seharusnya sikap
manusia setelah mencapai pengetahuan itu. (Wiramihardja, 2007) Sebagai manusia yang
beriman, sudah seharusnya kita bersyukur kepada Allah SWT. yang telah membekali kita akal.
Melalui akal itulah kita mampu bernalar sehingga kita menjadi makhluk yang berbudaya, yang
lebih mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Sekiranya hewan yang diberi aka oleh Allah
SWT., maka kita harus khawatir, karena mungkin yang akan dilestarikan agar tidak punah
bukanlah harimau Jawa atau harimau Sumatera, melainkan manusia Jawa atau manusia
Sumatera. (Susanto, 2013)

Filsafat, sebagai sebuah metode berpikir yang sistematis merupakan salah satu
pendekatan tersendiri dalam memahami kebenaran. Dalam konteks keagamaan, pemikiran
tentang berbagai hal dan urusan. Karenanya dalam filsafat juga dibicarakan bagaimana
keberadaan Tuhan, dan juga persoalan kenabian, kedudukan dan fungsi akal dan wahyu,
penciptaan manusia serta ibadah yang dilakukan oleh manusia. (Abbas, 2010)

9
Salah satu bentuk rasa syukur kita terhadap anugerah besar tersebut adalah
memanfaatkan dan mendayagunakan segala potensi yang dimiliki oleh manusia, terutama
potensi akal. Pendayagunaan akal tersebut dapat dilakukan melalui pembelajaran filsafat. Karena
dengan filsafat kita sebagai manusia mampu berpikir, bernalar, dan memahami diri serta
lingkungannya, dan berefleksi tentang bagaimana kehidupan yang lebih baik dan optimal.
Persoalannya adalah banyak orang enggan untuk belajar filsafat. Penyebabnya adalah karena
adanya anggapan bahwa filsafat adalah salah satu ilmu yang sulit dipelajari dan dipahami.
Padahal sesungguhnya tidak, belajar filsafat bisa sangat menyenangkan, sebagaimana
dikemukakan oleh Ahmad Tafsir bahwa munculnya anggapan mempelajari filsafat itu susah,
dikarenakan adanya kesalahan dalam memulai mempelajari pengantar filsafat, lalu ketahuilah
sistematikanya, setelah itu barulah Anda membaca buku-buku filsafat. Filsafat tidak sulit karena
filsafat adalah pemikiran. Dan setiap orang memiliki alat untuk berpikir. (Susanto, 2013)

Dengan otak, yang beratnya kurang dari satu setengah kilo gram ini, manusia dapat
berpikir dan menyimpan memori yang jumlahnya bisa berbilyun-bilyun ingatan, kebiasaan,
kemampuan, keinginan, harapan dan ketakutan. Menurut Gilbert Highet dalam Jujun S.
Suriasumantri di dalam otak manusia tersimpan pola, suara, perhitungan dan berbagai dorongan.
Bahkan, bisikan yang terdengar tiga puluh tahun yang lalu, atau kenangan kebahagiaan yang tak
kunjung datang namun terus terbayangkan, tekan jari yang pasti ada pada sebuah gitar,
perkembangan 10.000 langkah catur, lengkung yang persis dari sebuah bibir. Demikian juga
gambaran sebuah bukit, seuntai nada dan gaungan, kesedihan dan gairah, wajah-wajah asing
yang singgah, semerbak wangi sebuah kebun, doa, penemuan, sajak, lelucon, nyanyian,
hitungan, kemenangan lama, ketakutan terhadap neraka, kasih terhadap Tuhan, bayangan rumput
yang tegak seperti pedang telanjang, atau langit yang semarak penuh dengan bintang-bintang
yang telah berlalu sekian lama masih bisa diingat dan dimunculkan lagi dalam memori otak
manusia tersebut. Otak manusia senantiasa bekerja seperti jantung yang tak berhenti berdenyut,
siang dan malam, sejak kecil sampai tua renta. (Susanto, 2013)
Manusia sebagai makhluk istimewa yang diciptakan oleh Allah SWT., memiliki potensi-
potensi yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, baik itu potensi yang berupa fisik maupun
nonfisik. Semua potensi fisik manusia memiliki fungsi yang sangat luar biasa kegunaannya bagi
keberlangsungan hidup manusia itu sendiri, begitu juga dengan potensi nonfisik yang terdiri atas
ruh, jiwa, akal, dan rasa, semuanya menunjukkan manusia sebagai makhluk yang sempurna dan
istimewa. Dengan potensi ruh, jiwa, dan akalnya manusia mampu menjadi makhluk yang lebih
mulia kedudukannya dari makhluk lainnya. Dengan akalnya manusia mampu berpikir, bernalar,
dan memahami diri serta lingkungannya, berefleksi tentang bagaimana ia sebagai seorang
manusia memandang dunianya dan bagaimana ia menata hidupnya. (Susanto, 2013)

10
Menurut Wirodiningrat, filsafat mempunyai karakteristik sendiri, yaitu menyeluruh,
mendasar, dan spekulatif. Menyeluruh artinya bahwa filsafat mencakup tentang pemikiran dan
pengkajian yang luas, sebagaimana objek filsafat yang dikemukakan, tidak membatasi diri dan
bukan hanya ditinjau dari sudut pandang tertentu. Kajian filsafat dapat dipakai untuk mengetahui
hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain, hubungan ilmu dengan moral, seni, dan
tujuan hidup. Sedangkan mendasar artinya bahwa filsafat adalah suatu kajian yang mendalam,
kajian yang mendetail, yang sampai kepada hasul fundamental atau esensial, sehingga dapat
dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan. Adapun filsafat memiliki ciri
spekulatif, karena hasil pemikiran filsafat yang diperoleh dijadikan dasar bagi pemikiran
selanjutnya. Hasil pemikirannya selalu ditujukan sebagai dasar untuk menghasilkan pengetahuan
yang baru. (Susanto, 2013)
Berdasarkan defenisi filsafat tersebut, boleh jadi ada pihak yang merasa asing dengan
permasalahan ini, terutama di Indonesia. Pada umumnya, sistem pendidikan di Indonesia
menempatkan filsafat sebagai studi pada taraf pendidikan tinggi, itu pun hanya pada disiplin ilmu
tertentu. Boleh jadi, mereka menginginkan pemahaman yang benar mengenai filsafat dan
betanya-tanya bagaimana caranya mempelajari filsafat. Dengan pemahaman filsafat seperti itu,
terutama dengan mengaitkannya pada defenisi tersebut, terdapat ciri khas, baik dalam cara
berpikir maupun masalah yang dipikirkannya. Hal ini jelas berbeda dengan cara seseorang saat
mempelajari ilmu berhitung atau ilmu bumi yang sistematikanya suduh umum dan baku yang
telah dipelajari sejak sekolah dasar. Mengenai caranya, sebagian pihak berpendapat, bahwa
antara mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan lain, pada dasarnya adalah sama.
(Wiramihardja, 2007)

Secara umum, Langeveld mengatakan bahwa apabila seseorang ingin belajar berfilsafat,
mulailah berfilsafat. Caranya, mulailah memikirkan segala hal secara mendalam, yaitu janganlah
berpikir yang tidak terbatas pada asumsi-asumsi, melainkan sampai pada konsekuensi-
konsekuensinya yang terakhir. Kecerdasan dan pendalaman minat akan mengantarkan seseorang
pada pemahaman filsafat yang lebih besar, seperti pemahaman yang lebih banyak dan mendalam
terhadap biologi dan ilmu-ilmu lainnya. Sebagai tambahan, apabila kita telah biasa mempelajari
ilmu pengetahuan secara konvensional, kalau kita bertindak dari asumsi tersebut, untuk
mempelajari filsafat, kita harus tertarik memperbincangkan asumsi tersebut. Sebagai contoh,
karya ilmiah untuk mahasiswa tingkat tinggi disebut S-3 dengan gelar Ph. D. mahasiswa tersebut
disyaratkan menemukan proporsi-proporsi baru yang tidak lain dari asumsi-asumsi baru,
kemudian diperluas menjadi teori baru. Orang yang sedang mempelajari filsafat, hendaknya
tidak berhenti sampai pada asumsi, tetapi melampauinya sampai pada konsekuensi-konsekuensi
yang terakhir. (Wiramihardja, 2007)
Makhluk hidup yang kita kenal saat ini, terdiri atas tumbuh-tumbuhan yang hanya
memiliki metabolism. Bintang selain memiliki metabolism, juga memilki naluri, sedangkan
manusia selain memilki metabolisme dan naluri, juga memilki akal termasuk moral, kalbu, nilai,

11
dan norma. Ada kepercayaan atau keyakinan lain, bahwa Tuhan hanya menurunkan dua jenis
makhluk hidup ke bumi, yaitu tumbuhan dan binatang. Makhluk yang disebut binatang ini selain
ada yang hanya memilki ciri nafsu, juga memilki rasio (akal budi). Artinya, terdapat perbedaan
yang gradual di antara keduanya. Suatu hal yang patut dipertanyakan karena berfilsafat
senantiasa melahirkan keheranan dan pertayaan-pertanyaan baru. Lantas, mengapa manusia terus
menerus bertanya dan berpikir karenanya? Orang ynag yang memilki keinginan untuk
memahami lebih banyak hal, akan menimbulkan rasa heran terhadap banyak hal. Dengan
timbulnya rasa heran, berarti ia memilki keingintahuan terhadap apa pun atau segala hal. Hal ini
penting bagi manusia karena lebih banyak pengetahuan akan lebih menjamin rasa aman sehingga
akan tercapai tujuan hidup yang lebih besar. Dengan pengetahuan yang lebih banyak, manusia
dapat menyesuaikan diri secara lebih bak terhadap lingkungannya sehingga keamanan dan hasil
yang diraihnya akan lebih baik pula. Tentu saja setiap orang memilki bats kemampuan tertentu,
termasuk daya pikirnya. Jadi, keheranan seseorang terhadap apa pun bersifat individual sesuai
dengan kemampuan dan keadaannya, namun tetap universal. Berdasarkan hal tersebut, lahirlah
istilah keheranan orang-orang bodoh. Artinya, keheranan yang sekadar heran sebagai akibat dari
sedikitnya pengetahuan, minat, usaha, serta kemampuan mereka dalam berpikir lebih lanjut dan
sungguh-sungguh. Berfilsafat tentu tidak demikian, tetapi harus dilandasi oleh keheranan yang
perlu ditindaklanjuti. Tujuannya adalah untuk menggali pengetahuan yang lebih mendalam serta
kaya akan informasi yang berada di balik gejala yang diherankannya itu. Oleh Karena itu, timbul
pertanyaan, “Apa saja yang diherankan manusia?” Jawabannya adalah segala hal karena setiap
yang ada dapat melahirkan dampak pada manusia, kehidupan, dan lingkungan hidupnya.
(Wiramihardja, 2007)

Filsaafat telah mengajarkan kita untuk lebih mengenal diri sendiri secara totalitas,
sehingga dengan pemahaman itu sendiri dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya. Filsafat
mengajarkan kita agar terlatih berpikir serius, berpikir secara radikal, mengkaji sesuatu sampai
ke akar-akarnya. Berfilsafat adalah berusaha menemukan kebenaran tentang segala sesuatu
dengan menggunakan pemikiran secara serius. Kemampuan berpikir serius diperlukan oleh
orang biasa, terlebih lagi bagi orang-orang yang memegang posisi penting dalam membangun
dunia, memimpin masyarakat, menjadi penguasa dalam pemerintahan. Kemampuan berpikir
serius itu, mendalam adalah salah satu cirinya, ini tidak akan dimiliki tanpa melalui latihan.
Belajar filsafat merupakan salah satu bentuk latihan untuk memperoleh kemampuan berpikir

12
serius. Kemampuan ini akan memberikan bekal yang berharga dalam upaya memecahkan
masalah secara serius, menemukan akar persoalan yang terdalam, dan menemukan sebab terakhir
suatu penampakan. (Susanto, 2013)

Setiap orang tidak perlu mengetahui isi filsafat. Akan tetapi, orang-orang yang ingin
berpartisipasi dalam membangun dunia perlu mengetahui ajaran-ajaran filsafat. Karena dunia
dibentuk oleh dua kekuatan yaitu agama dana tau filsafat. Barang siapa yang ingin memahami
dunia maka ia harus memahami dunia atau filsafat yang mewarnai dunia tersebut. dengan
memiliki kemampuan berpikir serius, seseorang mungkin saja akan mampu menemukan
rumusan baru dalam menyelesaikan masalah-masalah dunia dana lam sekitarnya. Mungkin itu
berupa kritik, mungkin juga berupa usul. Apabila argumentasinya kuat, maka kritik dan usul
tersebut bisa menjadi suatu sistem pemikiran. Bagi para pemula, dengan belajar filsafat
diharapkan akan dapat menambah ilmu pengetahuan, karena dengan bertambahnya ilmu
pengetahuan akan bertambah cakrawala pemikiran, cakrawala pandang yang semakin luas. Hal
ini mengandung implikasi, bahwa dengan memahami filsafat ini dapat membantu penyelesaian
masalah yang selalu kita hadapi dengan cara yang lebih bijaksana. (Susanto, 2013)

Selain itu, dengan mempelajari filsafat, kita akan dihadapkan kepada pemikiran para
tokoh atau filosof yang mengkaji tentang segala hal, yang fisik dan metafisik. Dari para tokoh
atau filosof inilah kita akan memperoleh ide-ide yang fundamental. Dengan ide-ide itulah akan
membawa manusia ke arah suatu kemampuan untuk memperbaiki kesadarannya dalam segala
tindakannya, sehingga manusia akan lebih hidup, lebih tanggap terhadap diri dan lingkungannya,
lebih sadar terhadap hak dan kewajibannya, lebih bijaksana dalam segala tindakannya. (Susanto,
2013)

Manfaat mengkaji filsafat menurut Franz Magnis Suseno adalah bahwa filsafat
merupakan sarana yang baik untuk menggali kembali kekayaan, kebudayaan, tradisi, dan filsafat
Indonesia serta untuk mengaktualisasikannya. Filsafatlah yang paling sanggup untuk mendekati
warisan rohani, tidak hanya secara verbalistik, melainkan juga secara evaluatif kritis, dan
reflektif, sehingga kekayaan rohani bangsa dapat menjadi modal dalam pembentukan identitas
modern bangsa Indonesia secara terus menerus. (Susanto, 2013) menurut para filsuf kegunaan
secara umum filsafat adalah sebagai berikut.

 Plato merasakan bahwa berpikir dan memikirkan itu sebagai suatu nikmat yang luar
biasa sehingga filsafat diberi predikat sebagai keinginan yang maha beharga.

13
 Rene Descartes yang termasyhur sebagai pelopor filsafat modern dan pelopor
pembaruan dalam abad ke-17 terkenal dengan ucapannya cogito ergosum (Karena
berpikir maka saya ada). Tokoh ini menyangsikan segala-galanya, tetapi dalam serba
sangsi itu ada satu hal yang pasti, ialah bahwa aku bersangsi dan bersangsi berarti
berpikir. Berfilsafat berarti berpangkalan kepada suatu kebenaran yang fundamental
atau pengalaman yang asasi.
 Alfred North Whitehead seorang filsuf modern merumuskan filsafat sebagai berikut:
“Filsafat adalah keinsafan dan pandangan jauh ke depan dan suatu kesadaran akan
hidup pendeknya, kesadaran akan kepentingan yang memberi semangat kepada
seluruh usaha peradaban”.
 Maurice Marleau Ponty seorang filsuf modern Existensialisme mengatakan bahwa
jasa dari filsafat baru ialah terletak dalam sumber penyelidikannya, sumber itu adalah
eksistensi dan dengan sumber itu kita bisa berpikir tentang manusia.

Menurut Asmoro Achmadi, mempelajari filsafat adalah sangat penting, dimana dengan
ilmu tersebut manusia akan dibekali suatu kebijaksanaan yang didalamnya memuat nilai-nilai
kehidupan yang sangat diperlukan oleh umat. Manfaat lain filsafat adalah didasarkan pada
pengertian filsafat sebagai suatu integrase atau pengintegrasi sehingga dapat melakukan fungsi
integrasi ilmu pengetahuan. Sebagian besar orang hanya menyangkutkan apa yang paling dekat
dan apa yang paling dibutuhkannya pada saat dan tempat tertentu. Alam raya, ilmu pengetahuan,
benda-benda, dan manusia hanya dipandangnya dari beberapa bagian kecil yang penting, serta
menurut waktu, tempat, dan keadaan tertentu. Dengan demikian, pandangannya tentang segala
sesuatu adalah sempit dan ekslusif. Alam raya seolah-olah dibagi-bagi, manusia seolah-olah
dipotong-potong menjadi badan dan jiwa, sedangkan jiwanya dibagi-bagi menjadi emosi,
motivasi, intelegensi dan lain-lain. Masyarakat dikotak-kotakan sehingga akan kehilangan arti
menyeluruh dan hakikatnya. Filsafat memandang segala sesuatu dalam suatu sistem keseluruhan
dan dalam segala aspeknya, sebagai akibat dari pandangan dasar atau akarnya. (Wiramihardja,
2007)
Menurut pandangan saya, filsafat adalah suatu cara yang digunakan untuk memperoleh
kebenaran atau kebijakan tentang alam semesta dan isinya melalui pemikiran yang mendalam,
tidak terbatas, dan mencari kebenaran atau kebijakan tersebut sampai ke akar-akarnya. Dalam
pemikiran tersebut akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa di jawab oleh indera
manusia, dan disanalah manusia mulai berfilsafat. Semenjak dilahirkan manusia sebenarnya telah
mulai berfilsafat, mereka ingin mengetahui dari mana mereka berasal, siapa yang menciptakan
mereka, untuk apa mereka dilahirkan, dan pertanyaan-peratnyaan mendalam lainnya. Sehingga
dari pemikiran tersebut, pertanyaan yang terdapat dalam otak mereka akan terjawab oleh

14
pemikiran-pemikran yang mendalam tentang hakekat manusia. Filsafat membantu manusia untuk
mengembangkan pemikiran-pemikirannya yang tidak terbatas. Filsafat membuktikan bahwa
manusia mempunyai akal dan pemikiran yang kritis terhadap suatu kejadian. Filsafat sebenarnya
merupakan sebuah ilmu yang tidak sulit untuk dipahami, tetapi kebanyakan orang terlebih
dahulu menganggap filsafat itu sebagai sesuatu yang sut untuk dipahami, sehingga orang-orang
yang ingin belajar filsafat terpengaruh untuk tidak mempelajarinya. Maka, mulailah untuk
melatih diri untuk bisa menyukai filsafat, karena yang terpenting adalah belajar berfilsafat bukan
belajar filsafat.

2. Defenisi Ilmu

Istilah ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang cukup bermakna ganda, yaitu
mengandung lebih daripada satu arti. Oleh karena itu, dalam memakai istilah tersebut seseorang
harus menegaskan atau sekurang-kurangnya menyadari arti mana yang dimaksud. Menurut
cakupannya pertama-tama ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap
pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan. Jadi, dalam arti yang pertama ini
ilmu mengacu pada ilmu seumumnya (science-in-general). (Gie, 2007)

Ilmu adalah merupakan suatu pengetahuan, sedangkan pengetahuan merupakan informasi


yang didapatkan dan segala sesuatu yang diketahui manusia. Itulah bedanya filsafat dengan ilmu,
karena ilmu itu sendiri merupakan pengetahuan yang berupa informasi yang didalami sehingga
menguasai pengetahuan tersebut yang menjadi suatu ilmu. Ilmu pengetahuan merupakan
rangkaian kata yang sangat berbeda namun memiliki kaitan yang sangat kuat. Ilmu dan
pengetahuan memang terkadang sulit dibedakan oleh sebagian orang karena memiliki makna
yang berkaitan dan sangat berhubungan erat. Membicarakan masalah ilmu pengetahuan dan
definisinya memang sebenarnya tidak semudah yang diperkirakan. Adanya berbagai definisi
tentang ilmu pengetahuan ternyata belum dapat menolong untuk memahami hakikat ilmu
pengetahuan itu. (Dafrita, 2015)

Tidak semua pengetahuan dapat dikatakan ilmu, sebab kalau semua pengetahuan
dikatakan ilmu tentu banyak yang bisa dikatakan ilmu, karena pengetahuan itu sifatnya baru
sebatas tahu, akan tetapi sebaliknya semua ilmu adalah pengetahuan, akan tetapi yang dikatakan
ilmu adalah pengetahuan yang di susun secara sistematis, memiliki metode dan berdiri sendiri,

15
tidak memihak kepada sesuatu. Dikalangan masyarakat umum Indonesia, dipahami bahwa ilmu
itu adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang disusun secara bersistem menurut metode
tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan itu, dan
yang lebih awam lagi mengartikan ilmu itu dengan pengetahuan dan kepandaian tentang sesuatu
persoalan, baik itu persoalan sosial kemasyarakatan maupun persoalan ekonomi, persoalan
agama dan lain-lain sebagainya, seperti soal pergaulan, soal pertukangan, soal duniawi, soal
akhirat, soal lahir, soal batin, soal dagang, soal adat istiadat, soal pertanian, soal gali sumur dan
lain-lain sebagainya. Ilmu itu juga dapat dikatakan dengan sekumpulan pengetahuan yang
diperoleh dari pengalaman-pengalaman yang dilalui atau yang diterima, baik itu pengetahuan
lewat pengalaman mimpi, lewat pengalaman perjalanan, lewat pengalaman spritual, lewat
pengalaman bekerja dan lain-lain sebagainya. Kemudian, pengetahuan itu disusun secara
sistematis, dengan memiliki metode, harus bersifat atau berlaku untuk umum dan tidak boleh
memihak kepada sesuatu serta berdiri sendiri atau otonom. (Abbas, 2010)

Dalam Encyclopedia Americana, ilmu adalah pengetahuan yang bersifat positif dan
sistematis. Paul Freedman, dalam The Principles of Scientific Research mendefinisikan ilmu
sebagai bentuk aktifitas manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu
pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan cermat tentang alam di masa lampau, sekarang
dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya dan
mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri. S. Ornby mengartikan ilmu
sebagai susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan
dari fakta-fakta. Poincare, menyebutkan bahwa ilmu berisi kaidah-kaidah dalam arti definisi
yang tersembunyi. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses untuk memperoleh suatu ilmu
adalah dengan melalui pendekatan filsafat. Menurut Slamet Ibrahim, pada zaman Plato sampai
pada masa Al-Kindi, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh dikatakan tidak ada.
Seorang filosof (ahli filsafat) pasti menguasai semua ilmu pengetahuan. Perkembangan daya
berpikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praktis dikalahkan oleh
perkembangan ilmu yang didukung oleh teknologi. Wilayah kajian filsafat menjadi lebih sempit
dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Sehingga ada anggapan filsafat tidak dibutuhkan lagi.
Filsafat kurang membumi sedangkan ilmu lebih bermanfaat dan lebih praktis. Padahal filsafat
menghendaki pengetahuan yang komprehensif yang luas, umum, dan universal dan hal ini tidak
dapat diperoleh dalam ilmu. Sehingga filsafat dapat ditempatkan pada posisi dimana pemikiran
manusia tidak mungkin dapat dijangkau oleh ilmu. (Wahid, 2012)
Mohammad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang
pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun itu
menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam. Karl
Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten
tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana. Afanasyef, menyatakan ilmu adalah
manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep,

16
kategori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman
praktis. (Dafrita, 2015)
Arti yang kedua dari ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah
yang mempelajari sesuatu poko soal tertentu. Dalam arti ini ilmu berarti sesuatu cabang ilmu
khusus seperti misalnya antropologi, biologi, geografi, atau sosiologi. Istilah Inggris science
kadang-kadang diberi arti sebagai ilmu khusus yang lebih terbatas lagi, yakni sebagai
pengetahuan sistematis mengenai dunia fisis atau material. (Gie, 2007)

Pengertian ilmu sebagai pengetahuan itu sesuai dengan asal-usul istilah Inggris science
yang berasal dari perkataan latin Scientia yang diturunkan dari kata scire. Perkataan yang
terakhir ini artinya mengetahui. Tetapi pengetahuan sesungguhnya hanyalah hasil atau produk
dari sesuatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Perkataan latin scire juga berarti belajar.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bilamana ada makna tambahan dari ilmu sebagai aktivitas.
Demikianlah Charles Singer merumuskan bahwa ilmu adalah proses yang membuat
pengetahuan. Oleh karena itu, ilmu dapat dipandang sebagai suatu bentuk aktivitas manusia,
maka dari makna ini orang dapat melangkah lebih lanjut untuk sampai pada metode dari aktivitas
itu. Menurut Prof. Harold H. Titus, banyak orang telah mempergunakan istilah ilmu untuk
menyebut suatu metode guna memperoleh pengetahuan yang objektif dan dapat diperiksa
kebenaranya. (Gie, 2007)
Pengertian ilmu itu saling bertautan logis dan berpangkal pada satu kenyataan yang sama
bahwa ilmu hanya terdapat dalam masyarakat manusia. Suatu penjelasan yang sistematis harus
dimulai dengan segi pada manusia yang menjadi pelaku dari fenomenon yang disebut ilmu.
Hanyalah manusia yang memiliki kemampuan rasional, melakukan aktivitas kognitif, dan
mendambakan berbagai tujuan yang berkaitan dengan ilmu. Jadi, tepatlah bilamana pengertian
ilmu pertama dipahami dari seginya sebagai serangkaian aktivitas yang rasional, kognitif, dan
bertujuan. Sesuatu aktivitas hanya dapat mencapai tujuannya bilamana dilaksanakan dengan
metode yang tepat. Dengan demikian, penjelasan mengenai aktivitas para ilmuwan yang
merupakan penelitian akan beralih pada metode ilmiah yang dipergunakan. Ilmu lalu mempunyai
pengertian yang kedua sebagai metode. Dari serangkaian kegiatan studi atau penyelidikan secara
berulang-ulang dan harus dilaksanakan dengan tata cara yang metodis, akhirnya dapat dibuahkan
hasil berupa keterangan baru atau tambahan mengenai sesuatu hal. Dengan demikian, pada
pembahasan terakhir pengertian ilmu mempunyai arti sebagai pengetahuan. (Gie, 2007)

Menurut pendapat Prof.Dr.Ir. M. Natsir Nessa, M. Si, Ilmu adalah bagian dari
pengetahuan yang terklarifikasi, tersistem, terukur, dapat dibuktikan kebenarannya secara
empiris. Sedangkan pengetahuan adalah informasi berupa common sense, keseluruhan

17
pengetahuan yang belum, tersusun baik metafisik maupun fisik. Kedudukan ilmu lebih tinggi
dari pengetahuan karena memiliki metode dan mekanisme tertentu. (Nessa, 2014)
Dalam kamus bahasa Indonesia ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan tentang suatu
bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan. Pengertian ilmu pengetahuan adalah sebuah
sarana atau definisi tentang alam semesta yang diterjemahkan kedalam bahasa yang bisa
dimengerti oleh manusia sebagai usaha untuk mengetahui dan mengingat tentang sesuatu. Dalam
kata lain dapat kita ketahui definisi arti ilmu yaitu sesuatu yang didapat dari kegiatan membaca
dan memahami benda-benda maupun peristiwa, diwaktu kecil kita belajar membaca huruf abjad,
lalu berlanjut menelaah kata-kata dan seiring bertambahnya usia secara sadar atau tidak sadar
sebenarnya kita terus belajar membaca, hanya saja yang dibaca sudah berkembang bukan hanya
dalam bentuk bahasa tulis namun membaca alam semesta seisinya sebagai usaha dalam
menemukan kebenaran. Dengan ilmu maka hidup menjadi mudah, karena ilmu juga merupakan
alat untuk menjalani kehidupan. (Dafrita, 2015)
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu bukan sekedar pengetahuan
(knowledge), tetapi merupakan rangkuman dari sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori
yang disepakati atau berlaku umum dan diperoleh melalui serangkaian prosedur sistematik, diuji
dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Ilmu merupakan suatu
pengetahuan, sedangkan pengetahuan merupakan informasi yang didapatkan dan segala sesuatu
yang diketahui manusia. Itulah bedanya dengan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan
pengetahuan yang berupa informasi yang didalami sehingga menguasai pengetahuan tersebut
yang menjadi suatu ilmu. (Dafrita, 2015)

Barangkali sudah menjadi sifat manusia yang ingin mengerti segala sesuatu yang ada,
bahkan yang mungkin ada. Namun demikian, sekalipun penyelidikan orang dalam ilmu sudah
amat mendalam, tetapi belum sedalam-dalamnya, karena tujuan ilmu bukan untuk menggali
objek sedalam-dalamnya, ia membatasi diri. Adapun batasannya ialah pengalaman. Tentu saja
tidak selalu penggalian itu tercapai, jadi ada keterbatasannya, tetapi ia diusahakan supaya
keterbatasannya lenyap dan tenaganya dicurahkan supaya tercapai kebenaran. Berbeda dengan
ilmu, filsafat berusaha mencari kebijaksanaan, menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segala
sesuatu, usaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya tentang segala sesuatu, segala yang ada
dan yang mungkin ada. Sedangkan ilmu, seperti yang disebutkan di atas, membatasi diri,
berhenti pada dan berdasarkan atas pengalaman. Filsafat tidak membatasi diri, ia berusaha
mencari keterangan yang sedalam-dalamnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa yang
menjadi objek filsafat ialah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. (Susanto, 2013)

18
Ilmu pengetahuan itu harus memiliki instrumen, paling tidak ada lima instrumen ilmu
pengetahuan yang mungkin dapat digunakan, yaitu: pertama, pengalaman yang memfungsikan
inderawinya sebagai instrumen utama untuk mendapatkan gambaran atau arti dari sesuatu itu,
(pengetahuan perseptual indriyawi), dengan kata lain pengalaman adalah sensoris yang
menentukan kebenaran tentang sesuatu, pengalaman itu ada yang bersifat objektif, yaitu
pengalaman terhadap alam di luar diri yang berada atau terjadi secara mandiri dan di luar diri dan
ada pengalaman yang bersifat subjektif, yaitu pengalaman milik pribadi, berada di dalam diri
seperti rasa takut, rasa bahagia, rasa enak atau rasa malu dan lain-lain sebagainya. Pengalaman
hanya melalui pengamatan semata-mata, kebenaran yang dicari itu akan mengalami distorsi
(penyimpangan), konsep dan konstruk akan terungkap dalam rumusan yang berbeda. Kedua,
berpikir (rasio) atau menalar dimana akal atau intelek berfungsi dalam upaya mencapai
kebenaran. Berpikir itu tidak bisa terlepas dari realitas, juga tidak bisa terlepas dari potensi-
potensi yang ada di dalam diri manusia. Berpikir adalah suatu sistem dan proses kognitif yang
kompleks, justeru kekompleksannya inilah yang merangsang para pakar untuk terus menelitinya.
Ketiga, intuisi adalah sebagai kejadian eksperensial dan di dalam kalangan ahli psikologi
menggambarkan intuisi itu sebagai kejadian prilaku, yang juga bisa sampai kepada kebenaran.
Keempat, fatwa yaitu pernyataan atau pendapat dari kalangan para ahli atau pakar (di dalam
Islam disebut dengan alim jamaknya ulama) yang ahli atau pakar di bidangnya masing-masing.
Kelima, wahyu yang merupakan sumber ilmu pengetahuan yang memiliki sifat kebenaran yang
mutlak (absolut), akan tetapi keterungkapan kebenarannya itu sangat tergantung kepada
bagaimana manusia itu menganalisis dan menafsirkan makna dan maksud dari wahyu itu.
(Abbas, 2010)

Menurut saya, ilmu adalah serangkaian pengetahuan yang sistematis, dapat di uji
kebenaranya dan menggunakan metode-metode untuk mendapatkan. Tidak semua pengetahuan
dapat dikatakan ilmu itu memang benar, karena pengetahuan didapatkan bisa kapan saja dan
diman saja, sedangkan ilmu harus melalui proses-proses tertentu yang terdiri dari beberapa
pengetahuan dan disimpulkan menjadi suatu ilmu. Oleh karena itu orang-orang sering menyebut
ilmu dengan ilmu pengetahuan. Padahal sebenarnya ada perbedaan di antara keduanya.

19
3. Hubungan Antara Ilmu Dan Filsafat

Filsafat berbicara tentang ilmu, begitulah Kattsof mengutarakan jalinan filsafat dengan
ilmu. Bahasa yang dipakai dalam filsafat berusaha untuk berbicara mengenai ilmu dan bukannya
di dalamnya ilmu. Sementara itu Saifullah memberikan kesimpulan umum bahwa pada dasarnya
filsafat tiada lain adalah hasil pemikiran manusia, hasil spekulasi manusia betapa pun tidak
sempurnanya daya kemampuan pikiran manusia. Antara filsafat dan ilmu memiliki persamaan,
dalam hal bahwa keduanya merupakan hasil ciptaan pikiran manusia, yaitu berpikir filosofis,
spekulatif, dan empiris ilmiah. Perbedaan antara keduanya, terutama untuk filsafat menentukan
tujuan hidup dan ilmu menentukan sarana untuk hidup. Karenanya, filsafat inilah kemudian
disebut sebagai induknya ilmu pengetahuan. (Susanto, 2013)
Meskipun secara historis antara ilmu dan filsafat pernah merupakan suatu kesatuan,
namun dalam perkembangannya mengalami divergensi, dimana dominasi ilmu lebih kuat
mempengaruhi pemikiran manusia, kondisi ini mendorong pada upaya untuk memposisikan
keduanya secara tepat sesuai dengan batas wilayahnya masing-masing, bukan untuk me-
ngisolasinya melainkan untuk lebih jernih melihat hubungan keduanya dalam konteks lebih
memahami khazanah intelektual manusia. Harold H. Titus mengakui kesulitan untuk menyatakan
secara tegas dan ringkas mengenai hubungan antara ilmu dan filsafat, karena terdapat persamaan
sekaligus perbedaan antara ilmu dan filsafat, di samping di kalangan ilmuwan sendiri terdapat
perbedaan pandangan dalam hal sifat dan keterbatasan ilmu, demikian juga di kalangan filsuf
terdapat perbedaan pandangan dalam memberikan makna dan tugas filsafat. Adapun persamaan
(lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat adalah bahwa keduanya menggunakan
berpikir reflektif dalam upaya menghadapi atau memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan,
terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berpikiran terbuka serta
sangat konsen pada kebenaran, di samping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisir dan
sistematis. (Wahid, 2012)

Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengan titik tekan, dimana
ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam
pendekatannya, ilmu menggunakan observasi, eksperimen dan klasifikasi data pengalaman indra
serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala tersebut, sedangkan filsafat
berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan
mencakup hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia, filsafat lebih bersifat
sintetis dan kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi kehidupan secara menyeluruh
dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan kenapa dan bagaimana dalam mempertanyakan

20
masalah hubungan antara fakta khusus dengan skema masalah yang lebih luas, filsafat juga
mengkaji hubungan antara temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, moral serta seni. Dengan
memperhatikan ungkapan di atas nampak bahwa filsafat mempunyai batasan yang lebih luas dan
menyeluruh ketimbang ilmu, ini berarti bahwa apa yang sudah tidak bisa dijawab oleh ilmu,
maka filsafat berupaya mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan atau
dijadikan objek kajian filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat dan ilmu mempunyai
kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berpikir reflektif dan sistematis, meski
dengan titik tekan pendekatan yang berbeda. (Wahid, 2012)

Filsafat dan keseluruhan ilmu itu bertemu pada satu titik, titik itu adalah semua yang ada
dan yang mungkin ada, yang disebut dengan objek material, akan tetapi ilmu dan filsafat tetap
berbeda, tidak sama, karena berbeda pada objek formanya. Objek forma ilmu itu adalah mencari
sebab yang sedalam-dalamnya, sedangkan objek forma filsafat adalah mencari keterangan yang
sedalam-dalamnya. Ilmu pengetahuan, dengan metodenya sendiri mencoba berusaha mencari
kebenaran tentang alam semesta beserta isinya dan termasuk di dalamnya adalah manusia.
Filsafat dengan wataknya sendiri, juga berusaha mencari kebenaran, baik kebenaran tentang
alam maupun tentang manusia (sesuatu yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu
pengetahuan, karena di luar atau di atas jangkauannya) ataupun tentang Tuhan, Sang Pencipta
segalagalanya. (Abbas, 2010)

Filsafat mencoba mencari kebenaran dengan cara menjelajahi atau menziarahi akal-budi
secara radikal (berpikir sampai ke akar-akarnya), mengakar, sistematis (logis dengan urutan dan
adanya saling hubungan yang teratur) dan intergral (universal atau berpikir mengenai
keseluruhan) serta tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri,
yaitu logika. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan menggunakan metode atau cara
penyelidikan (riset), pengalaman (empiris) dan percobaan (eksperimen) atau sangat terkait
dengan tiga aspek, yaitu aspek hipotesis, aspek teori, dan aspek dalil hokum. Selanjutnya
kebenaran ada yang bersifat spekulatif atau kebetulan saja adalah kebenaran yang bersifat
dugaan atau perkiraan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, secara riset dan secara
eksperimental. Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran yang bersifat positif, bukan
bersifat spekulasi atau kebetulan saja, yaitu kebenaran yang masih berlaku sampai saat ini yang
dapat diuji. Baik kebenaran filsafat maupun kebenaran ilmu pengetahuan kedua-duanya bersifat

21
nisbi atau relatif, artinya sifatnya sementara dan sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan
perkembangan pemikiran manusia, yang sangat tergantung kepada situasi dan kondisi, termasuk
perubahan alam. (Abbas, 2010)

Mengenai lapangan pembahasan ilmu dan filsafat. Lapangan ilmu penegetahuan


mrmpunyai daerah-daerah tertentu, yaitu alam dengan segala kejadiannya. Sedangkan lapangan
filsafat adalah tentang hakikat yang umum dan luas. Megenai tujuannya, tujuan ilmu
pengetahuan ialah berusaha menentukan sifat-sifat dari kejadian alam yang di dalamnya juga
terdapat manusia. Sedangkan filsaaft bertujuan untuk mengetahui tentang asal-usul manusia,
hubungan manusia dengan alam semesta dan bagaimana akhirnya (hari kemudiannya). Mengenai
cara pembahasannya, filsafat dalam pembahasannya tidak mempergunakan percobaan-percobaan
serta penyelidikannya mempergunakan pikiran dan akal. Sedangkan ilmu pengetahuan dalam
pembahasan dan penyelidikannya mempergunakan panca indera dan percobaan-percobaan.
Mengenai kesimpulannya, ilmu pengetahuan dalam menentukan kesimpulan-kesimpulannya
dapat diterapkan dengan dalil-dalil yakin yang didasarkan pada penglhatan dan percobaan-
percobaan. Sebaliknya, filsafat dalm menentukan kesimpulan tidak memberi keyakinan mutlak,
sebagai kesimpulan selalu mengandung keraguan yang mengakibatkan perbedaan-perbedaan
pendapat di antara ahli-ahli filsafat, serta jauh dari kepastian, kerja sama, serta keyakinan.
(Susanto, 2013)

Dengan demikian, ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat dibuktikan,
filsafat mencoba mencari jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh Ilmu
dan jawabannya bersifat spekulatif, sedangkan Agama merupakan jawaban terhadap masalah-
masalah yang tidak bisa dijawab oleh filsafat dan jawabannya bersifat mutlak atau dogmatis.
Menurut Sidi Gazalba, Pengetahuan ilmu lapangannya segala sesuatu yang dapat diteliti (riset
dan atau eksperimen) batasnya sampai kepada yang tidak atau belum dapat dilakukan penelitian.
Pengetahuan filsafat segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh budi (rasio) manusia yang alami
(bersifat alam) dan nisbi batasnya ialah batas alam namun demikian ia juga mencoba
memikirkan sesuatu yang di luar alam, yang disebut oleh agama “Tuhan”. Sementara itu Oemar
Amin Housin, mengatakan bahwa ilmu memberikan kepada kita pengetahuan, dan filsafat
memberikan hikmat. Dari sini nampak jelas bahwa ilmu dan filsafat mempunyai wilayah kajian-
kajian tersendiri. (Wahid, 2012)

22
Adapun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat adalah bahwa
keduanya menggunakan berpikir reflektif dalam upaya menghadapi atau memahami fakta-fakta
dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis,
berpikiran terbuka serta sangat konsen pada kebenaran, di samping perhatiannya pada
pengetahuan yang terorganisir dan sistematis. Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih
berkaitan dengan titik tekan, dimana ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat
analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan observasi, eksperimen dan
klasifikasi data pengalaman indra serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-
gejala tersebut, sedangkan filsafat berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga
lebih bersifat inklusif dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia,
filsafat lebih bersifat sintetis dan kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi
kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan kenapa dan
bagaimana dalam mempertanyakan masalah hubungan antara fakta khusus dengan skema
masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji hubungan antara temuan-temuan ilmu dengan
klaim agama, moral serta seni. Dengan kata lain, filsafat mempunyai batasan yang lebih luas dan
menyeluruh ketimbang ilmu, ini berarti bahwa apa yang sudah tidak bisa dijawab oleh ilmu,
maka filsafat berupaya mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan atau
dijadikan objek kajian filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat dan ilmu mempunyai
kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berpikir reflektif dan sistematis, meski
dengan titik tekan pendekatan yang berbeda. (Wahid, 2012).

23
BAB IV

PENUTUP

Sebagai penutup dari makalah ini, dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah suatu cara
yang digunakan untuk mengetahui kebenaran atau kebijakan tentag alam semesta dan isinya
melalui pemikiran yang mendalam dan tidak terbatas terhadap suatu kajian atau objek yang
diteliti. Sedangkan ilmu adalah serangkaian pengetahuan yang sistematis, dapat diuji, dan dan
hanya sampai pada tahap tahu yang diperoleh melalui beberapa proses untuk mendapatkannya.

Filsafat dan ilmu tidak dapat dipisahkan dalam suatu pembelajaran. Filsafat dan ilmu
merupakan suatu pengetahuan yang hampir sama. Keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu
untuk mencari kebenaran, tetapi memilki metode-metode yang berbeda dalam menemukan suatu
kebenaran tersebut. Ilmu membutuhkan pemikiran yang mendalam agar bisa dipahami dengan
sangat baik. Maka dari itu filsafat dan ilmu sangat berhubungan erat karena saling berkaitan
dalam menemukan kebenaran. Meskipun kebenaran keduanya hanya sementara atau sewaktu-
waktu dapat berubah dikarenakan perkembangan zaman yang semakin maju dan perubahan
kondisi alam. Filsafat mencoba menjawab petanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh
ilmu, maka dari itu bisang kajian filsafat lebih luas daripada ilmu.

Dalam mempelajari filsafat kita mendapatkan banyak manfaat yang salah satu adalah bisa
mengembangkan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai rasa keingintahuan
yang dalam terhadap sesuatu yang dianggap baru. Filsafat juga bisa membuat pemikiran-
pemikran menjadi tidak terbatas pada satu objek kajian saja, tetapi pada banyak objek lainnya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, P. (2010). Hubungan filsafat, ilmu, dan agama. Hubungan filsafat.

Dafrita, I. E. (2015). Ilmu Dan Hakekat Ilmu Pengetahuan Dalam Nilai Agama. Ilmu Dan Hakekat Ilmu
Pengetahuan Dalam Nilai Agama.

Gie, T. L. (2007). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.

Nessa, M. N. (2014). Buku Ajar Filsafat Ilmu. Buku Ajar Filsafat Ilmu.

Surajiyo. (2013). Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Susanto. (2013). Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Wahid, A. (2012). Korelasi Agama, Filsafat, dan Ilmu. Korelasi Agama, Filsafat, dan Ilmu.

Wiramihardja, S. A. (2007). Pengantar Filsafat. Bandung: PT Refika Aditama.

25

Anda mungkin juga menyukai