Anda di halaman 1dari 5

KRITIK ARSITEKTUR

Kampung Code Romo Mangun, Karya Nyata Arsitektur yang Memanusiakan Manusia
Oleh: Kinanthi Barru (I0216045)
Dosen Pembimbing: Ofita Purwani S.T., M.T., P.hD.

Gambar 1. View Kampung Code Romo Mangun


Sumber: Dokumentasi Pribadi
Kampung Code Romo Mangun, atau lebih dikenal dengan sebutan kampung warna-
warni merupakan sebuah pemukiman penduduk yang berada di sepanjang aliran Sungai Code
yang membelah kota Yogyakarta. Letaknya tepat berada di RT 01 RW 01, Kelurahan Kotabaru,
Kecamatan Gondokusuman, Yogyakarta atau lebih persisnya berada di selatan jembatan
Gondolayu. Keunikan kampung ini dapat dinikmati dari atas jembatan atau dengan turun agar
dapat melihatnya dari dekat melalui pintu masuk kampung yang berada di sebelah timur
jembatan.

Gambar 2. Lokasi Kampung Code Gambar 3. Pintu Masuk Kampung Code


Sumber: Dokumentasi Pribadi Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sebelum menjadi kampung, tempat ini hanyalah tempat singgah atau pemukiman bagi
orang-orang dari luar kota yang tidak mempunyai identitas seperti KTP atau bahkan dapat juga
disebut sebagai pendatang ilegal. Kehidupan yang tidak beraturan dan kebiasaan buruk
penghuninya telah menggelitik seorang arsitek yang berjiwa sosial tinggi untuk mengubah
pemukiman tersebut menjadi sebuah perkampungan dengan bangunan permanen. Sebagai
seorang arsitek, beliau berusaha membangun hunian yang layak huni serta memiliki tujuan
estetika. Maka dibangunlah hunian dengan halaman depan menghadap Sungai Code.
Berbicara mengenai Sungai Code, masyarakat Yogyakarta pasti ingatannya akan
melayang pada seorang publik figur yang sangat berpengaruh dalam mengemban proyek
pembangunan suatu kampung yang didesain dengan gayanya. Beliau adalah YB.
Mangunwijaya atau lebih akrab dengan sebutan Romo Mangun.

Gambar 4. Pemetaan Rumah Warga Gambar 5. Perbedaan ketinggian rumah


Sumber: Dokumentasi Pribadi Sumber: Dokumentasi Pribadi
Kampung yang terdiri dari kurang lebih 57 kepala keluarga ini terletak pada tanah yang
berkontur. Dengan kondisi site tersebut, rumah-rumah warga ditata berdasarkan dengan
tapaknya mengikuti tanah di bantaran Sungai Code sehingga tampak perbedaan ketinggian
antar massa rumah hunian. Jika menurut teori Jencks, urban urbanism adalah menciptakan
suatu hunian yang sesuai dengan kondisi lingkungan, Kampung Code merupakan salah satu
contoh penerapannya. Selain itu, aspek lain yang mendukung dapat ditinjau dari segi material.
Penggunaan bahan bangunan pada kampung ini didominasi oleh penggunaan anyaman bambu
yang dicat warna warni dengan kombinasi kayu dan batu bata sebagai dindingnya. Penggunaan
material lokal yang akrab dengan rakyat serta konsep desain rendah hati yang diaplikasikan
pada desain kampung ini, kita belajar bahwa arsitektur bukan saja hanya untuk golongan
menengah ke atas atau burjois, tetapi juga untuk semua lapisan masyarakat. Bukan hanya
membangun bangunan yang megah nan tinggi tetapi juga kembali pada alam, bersandar pada
kearifan lokal yang ada.

Gambar 6. Material Rumah di Kampung Code


Sumber: Dokumentasi Pribadi
Konsep lokal inilah yang menjadi ciri khas atau gaya sang arsitek dalam mendesain.
Selain itu, penyelesaian struktur dan konstruksi yang sengaja dibiarkan terbuka dan terekspos
secara jujur menjadi daya tarik tersendiri pada rumah-rumah warga di Kampung Code.
Kejujuran yang dimaksud yaitu seolah olah ingin menampakkan bentuk aslinya tanpa keraguan
sehingga tanpa disadari munculah suatu rasa yang dinamakan kekaguman.
Konsep bangunan berupa rumah panggung yang difungsikan sebagai balai pertemuan ini
pada bangunan atas didominasi oleh anyaman bambu sebagai dinding serta pada bagian bawah
menggunakan kayu sebagai kolom penopang rumah panggung dipadukan dengan konstruksi
atap segitiga tanpa plafond melainkan memanfaatkannya sebagai suatu ruang.

Gambar 7. Konstruksi yang terekspos


Sumber: Dokumentasi Pribadi

Menurut penuturan istri Bapak Slamet, Ketua RT setempat, orientasi bangunan sengaja
diarahkan menghadap ke sungai. Dari hal ini, kita bisa mengetahui bahwa keinginan sang
arsitek untuk mengubah pola pikir dan kepribadian masyarakat setempat agar mereka menjadi
masyarakat yang beretika yaitu masyarakat yang tidak membuang sampah di sungai karena
dapat mengganggu pemandangan dan menyebabkan banjir. Dalam konteks ini, Romo Mangun
berharap tempat yang semula menjadi ‘titik hitam’ kota Yogyakarta dapat berubah warna.
Bukan hanya bangunannya yang berubah tetap juga pola pikir, tingkah laku dan kebiasaan
masyarakat setempat.

Gambar 8. Halaman depan rumah warga yang mengarah ke sungai


Sumber: Dokumentasi Pribadi
Faktanya, kampung ini sudah menarik dengan polesan cat warna warninya sejak awal
kampung ini dibangun. Setiap beberapa tahun sekali, kampung ini dicat dengan konsep yang
berbeda. Berdasarkan pengakuan salah satu warga setempat, konsep pengecatan yang pernah
diaplikasikan terhadap rumah rumah warga di Kampung Code ini adalah menggunakan konsep
bendera, batik, bahkan yang paling menarik yaitu pernah mengaplikasikan konsep wayang.
Namun, kini, keadaan kampung tersebut jauh dari harapan pendirinya, Romo Mangun.
Dari segi bentuk bangunan, bagian depan yang mengarah ke sungai telah beralih fungsi. Bagian
yang seharusnya rapi tampak berubah menjadi tempat jemuran. Tidak hanya itu, perkakas dan
perabotan rumah tangga lain juga terpajang di tembok bagian depan tempat hunian. Hal
tersebut meninggalkan kesan ‘semrawut’ bagi yang melihatnya.
Gambar 9. Bukaan berupa jendela yang telah beralih fungsi
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Nasib jendela yang berfungsi sebagai tempat keluar masuknya udara pun tak kalah
tragisnya. Peralatan dapur seperti panci dan penggorengan seolah menyapa angin bahwa
dirinya begitu berarti sehingga perlu ditampilkan tanpa kesan menyombongkan diri bahwa
pantatnya hitam berjelaga. Baju-baju tampak menjuntai. Baju lengan panjang bergelayut pada
tembok berlapis anyaman bambu bersanding dengan rok senada seolah melambai
mengucapkan selamat datang pada siapa saja yang melintas. Di sebelahnya handuk hijau pun
tampak ramah mengibar dengan kabel antena televisi di bawahnya.
Kondisi lingkungan yang tak sedap dipandang dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat
penghuninya yang telah mengakar dan membudaya dari dulu. Rata-rata penghuninya tidak
mengenyam pendidikan. Hal tersebut berdampak pada pola hidup yang ‘semau gue’. Apa yang
ada dalam pikirannya, itu pulalah yang dilakukannya. Menempatkan barang tidak pada
tempatnya pun tidak menjadi masalah bagi mereka.
Mereka pun tidak merasa risih ketika harus menggantungkan ember cucian di sebelah
pintu depan rumah mereka bersanding dengan tas, kaos, rak sepatu, maupun baju-baju yang
bergantungan di hanger. Di mana bagi masyarakat yang berpendidikan tentunya hal tersebut
sangat jauh dari adat kesantunan. Akan tetapi, itulah yang menjadi keunikan dari kampung ini
yang tidak dimiliki oleh kampung-kampung lain. Keunikan yang dapat membuat orang
mengerutkan kening serta menimbulkan tanda tanya dalam hatinya.

Gambar 10. Ember cucian yang diletakan di luar rumah


Sumber: Dokumentasi Pribadi
Terlepas dari ‘kesemrawutan’ penghuninya, kampung ini memiliki jiwa seni yang patut
diacungi jempol. Rumah warna-warni mereka pun berhias mural yang mengandung pesan moral
yang tinggi. Pesan moral yang pertama berbunyi “Apakah arti agama bila tidak
berperikemanusiaan?” Kalimat tersebut menunjukkan bahwa meskipun mereka ‘semrawut’ dan
‘semau gue’ serta sebagai pekerja kasar yang hanya bermodal tenaga, mereka menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan. Bagi mereka agama tidak ada artinya apabila hanya mengedepankan
hubungan dengan Sang Khalik semisal taat menjalankan ibadah tetapi melupakan hubungan
sesama manusia.
Pesan moral yang kedua adalah “Jerat rokok membunuh”. Pesan ini berisi ajakan agar
masyarakat tidak terjerat dengan rokok. Mereka beranggapan bahwa dengan merokok mereka
dapat terkena penyakit yang dapat membahayakan jiwa hingga membawanya pada kematian.
Dari sini terlihat adanya perubahan pola pikir yang berkaitan dengan kesehatan. Meskipun
sebagian dari mereka masih banyak yang menghisap benda berasap dan mengandung nikotin
ini termasuk nenek-nenek yang telah renta.
Adapun pesan moral yang ketiga berbunyi “Alam ini punya kita, mari dijaga bersama”.
Pesan ini menunjukkan bahwa sebagai penghuni kampung di tepi sungai mulai memiliki
kesadaran untuk menjaga lingkungan mereka. Ajakan untuk tidak membuang sampah
sembarangan khususnya membuang sampah ke sungai telah digulirkan. Mereka mulai
menyadari bahwa membuang sampah sembarangan ke sungai dapat menyebabkan banjir yang
dapat mengancam keselamatan mereka.

Gambar 11. Mural pada dinding rumah warga yang mengandung pesan moral
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sisi baik lain dari Kampung unik nan cantik ini adalah masyarakat penghuninya mulai
memiliki wawasan lingkungan. Mereka mulai memanfaatkan lahan sempit yang ada untuk
kegiatan positif. Lahan kosong di tepi sungai, mereka manfaatkan sebagai sarana bermain.
Ayunan berbentuk bundar yang terbuat dari besi serta prosotan, mereka letakan di lahan ini.
Mainan tersebut merupakan bantuan dari Australia yang seharusnya diletakkan di PAUD. Akan
tetapi, karena terbatasnya lahan, akhirnya diletakkan di tempat yang mereka sebut dengan
“lapangan”. Anak-anak pun dapat bermain dengan bebas mengisi masa kecilnya.

Gambar 12. Anak-anak bermain di sebuah tempat yang sering mereka sebut dengan lapangan
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Selain itu, lahan sempit di tebing sungai pun mereka manfaatkan untuk menanam pohon
yang menghasilkan. Seperti pisang, kacang panjang, maupun cabai rawit. Hal ini menunjukkan
dari waktu ke waktu pola pikir mereka mendekati seperti harapan pendiri perkampungan ini
yaitu Romo Mangun.

Anda mungkin juga menyukai