Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN

1. SEJARAH SINGKAT BANK KONVENSIONAL DI


INDONESIA

Bank pertama yang dibuat dan dimiliki oleh pemerintah Indonesia adalah
Bank BNI (Bank Negara Indonesia) pada tahun 1946 yang lebih dikenal dengan
BNI 46’. Bank Negara Indonesia mulai mengedarkan alat pembayaran resmi
pertama yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia, yakni ORI atau Oeang Republik
Indonesia, pada malam menjelang tanggal 30 Oktober 1946, hanya beberapa
bulan sejak pembentukannya. Hingga kini, tanggal tersebut diperingati sebagai
Hari Keuangan Nasional, sementara hari pendiriannya yang jatuh pada tanggal 5
Juli ditetapkan sebagai Hari Bank Nasional.

Menyusul penunjukan De Javsche Bank yang merupakan warisan dari


Pemerintah Belanda sebagai Bank Sentral pada tahun 1949, Pemerintah
membatasi peranan Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi atau bank
sentral. Bank Negara Indonesia lalu ditetapkan sebagai bank pembangunan, dan
kemudian diberikan hak untuk bertindak sebagai bank devisa, dengan akses
langsung untuk transaksi luar negeri.

Sehubungan dengan penambahan modal pada tahun 1955, status Bank


Negara Indonesia diubah menjadi bank komersial milik pemerintah. Perubahan ini
melandasi pelayanan yang lebih baik dan tuas bagi sektor usaha nasional.1

2. SEJARAH BANK SYARIAH DI INDONESIA

Kehadiran Bank Syariah di Indonesia dipeloposri oleh berdirinnya


Bank Muamalat pada tahun 1991 dan mulai beroperasi penuh tahun 1992,
yang merupakan hasil dari Musyawaroh Nasional pada tahun 1990
dimana hasil Munas tersebut mengamanatkan untuk membentuk
kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia

pada tahun 1992 pemerintah mengeluarkan undang-undang tentang


perbankan yang memperkenalkan system perbankan bagi hasil. Yang
menyatakan bahwa salah satu bank umum dan bank perkreditan rakyat
adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi
hasil. Ketentuan ini menandai dimulainya era system perbankan ganda
(dual banking system) di Indonesia, yaitu beroperasinya system
perbankan umum dan system perbankan dengan prinsip bagi hasil.

Kemudian pada tahun 1998 terjadi perubahan Undang-Undang.


Perubahan itu semakin mendorong berkembangnya keberadaan system
perbankan syariah di Indonesia. Berdasarkan UU ini Bank Umum
diperbolehkan untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, yaitu melalui pembukaan UUS (Unit Usaha Syariah). Bank
Umum dapat memilih melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan system
umum atau berdasarkan prinsip syariah atau melakukan keduanya.

Pada tahun 2008 ada aturan baru mrngrnai perbankan syariah,


antara lain otoritas fatwa dan komite perbankan syariah, pembinaan dan
pengawasan syariah, pemilihan dewan pengawas syariah (DPS), masalah
pajak, don konversi unit usahasyariah (UUS) menjadi bank umum syariah
(BUS), kemudian memberikan keleluasan dalam pengembangan
perkembangan syariah sehingga memberikan peluang besar ke depannya,
kemudian munculan BUS dan BPRS dan banyak kegiatan usaha lainnya.2

3. PERBEDAAN BANK KONVENSIONAL DAN BANK SYARIAH

Sebelumnya kita akan mengetahui apa fungsi dari Bank, yaitu


menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana
tersebut kepada masyarakat lain yang memerlukan. Kemudian kita
mengenal dengan adanya Bank Syariah, apa perbedaan antara Bank
konvensional dengan Bank syariah?

Bank Konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatan


usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran.

Bank Syariah adalah sebuah lembaga perbankan yang pada


prinsipnya berpegang pada syariat Islam, mempunyai sistem operasi di
mana ia tidak mengandalkan pada bunga.

4. Produk dan Akad Yang Ditawarkan

Perbankan Konvensional maupun Perbankan Syariah memiliki


produk yang ditawarkan dalam segi pendanaan, pembiayaan serta jasa
perbankan lainnya. Produk yang ditawarkan oleh Perbankan Syariah lebih
mengadopsi kepada produk yang ditawarkan oleh Perbankan
Konvensional hanya saja berbeda dalam pelaksaan serta proses terkait
adanya akad yang digunakan dalan perbankan syariah. Jenis produk yang
ditawarkan pada perbankan syariah maupun konvensional dalam segi
pendanaan meliputi giro, tabungan, deposito/investasi, serta obligasi atau
biasa disebut dengan sukuk pada sistem syariah. Dalam segi pembiayaan
meliputi pemberian pinjaman (kredit). Produk jasa perbankan lainnya
yang ditawarkan seperti jual beli valuta asing, anjak piutang, transfer,
inkaso, kliring, dan lain sebagainya.

Selain itu, pada Bank Syariah terdapat pula produk seperti Pasar
Modal, Reksadana Syariah, Pasar Uang dan Produk Perbankan Syariah,
Asuransi dan Dana Pensiun Syariah, serta Gadai Syariah (Rahn). Produk
semacam itu juga terdapat pada Bank Konvensional hanya saja tanpa ada
pelekatan kata syariah dalam penyebutannya.
Menurut Ascarya (2011: 41), jenis akad yang diterapkan oleh bank
syariah dapat dibagi ke dalam enam kelompok pola, yaitu:

1) pola titipan, meliputi wadi’ah yad amanah dan wadi’ah qardhul hasan;
2) pola pinjaman, meliputi qardh dan qardhul hasan;
3) pola bagi hasil, seperti mudharabah dan musharakah;
4) pola jual beli, seperti murabahah, salam, dan istishna;
5) pola sewa, seperti ijarah dan ijarah wa iqtina atau ijarah muntahiya bittamlik
(IMBT); dan
6) pola lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan rahn.

Bentuk produk bank syariah dengan pola titipan (wadi’ah) berupa


giro, karena giro merupakan suatu bentuk titipan dana dari masyarakat
kepada suatu lembaga keuangan (bank) yang harus dijaga dan kembalikan
secara utuh ketika masyarakat tersebut menghendaki. Bentuk produk
dengan pola pinjaman adalah pemberian pinjaman yang lebih bersifat
sosial dimana masyarakat yang meminjam dana/modal kepada bank
syariah untuk keperluan usaha pada khususnya hanya diwajibkan untuk
mengembalikan sebesar modal/dana yang dipinjam dan tidak diharuskan
untuk membagi dana dari keuntungan yang diperoleh. Untuk pola
pinjaman ini lebih ditekankan pada masyarakat yang tidak mampu.
Bentuk produk dari pola bagi hasil hampir sama dengan pola pinjaman,
bedanya pola bagi hasil tidak untuk bertujuan sosial sehingga masyarakat
yang melakukan pinjaman dana wajib mengembalikan dana/modal
beserta keuntungan/kerugian yang ditanggung dalam usaha yang
dijalankan, dimana ketika usaha yang dijalankan mengalami kerugian
maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama, dan ketika mengalami
keuntungan maka keuntungan tersebut akan dibagi sesuai dengan nisbah
yang disepakati antara pihak peminjam dengan pihak yang memberi
pinjaman.
Dalam pola jual beli, barang yang akan diperjual belikan harus
jelas spesifikasinya dengan pihak bank bertindak sebagai penjual dan
nasabah sebagai pembeli, harga jual dari bank adalah harga beli dari
pemasok ditambah dengan keuntungan dalam persentase tertentu bagi
bank syariah sesuai dengan kesepakatan. Kepemilikan barang tersebut
akan berpindah kepada nasabah setelah perjanjian jual beli ditandatangai
dan nasabah akan membayar dengan cicilan yang besrnya sama hingga
pelunasan, jika menggunakan prinsip murabahah. (Ali 2008: 30)

Sedangkan jika menggunakan prinsip salam maka pembayaran


dilakukan secara tunai dan barang yang dibeli akan diserahkan
dikemudian hari, dan jika menggunakan pola istishna pembayaran bisa
dilakukan dengan termin yang jangka waktunya sesuai dengan
kesepakatan.

Bentuk produk yang ditawarkan dengan pola sewa dalam pola


konsepnya hampir sama denga pola jual beli, namun hanya ada
pemindahan hak guna atas barang ataupun jasa tanpa adanya pemindahan
kepemilikan. Sedangkan jika menggunakan pola sewa IMBT akan ada
perjanjian menjual atau menghibahkan barang yang disewa kepada
penyewa di akhir periode sewa sehingga ada pemindahan alih
kepemilikan.

5. PERBEDAAN BERDASARKAN KONSEP DAN SISTEM

Kemudian berdasarkan kosep dan system, bank konvensional


mendapatkan dana dari masyarakat dengan konsep seperti giro dan
tabungan dan deposito, yang kemudian penyalurannya kepada masyarakat
dengan pembebanan yang dinamakan bunga baik konsumtif, modal
kerja/investasi. Bunga pada Bank konvensional penentuan besarnya hasil
dari awal, bunga dihitung dari besarnya dana yang di pinjam, jumlah
pembayaran bunga tidak meningkat meskipun jumlah keuntungan
berlipat/booming, jumlahnya telah diketahui sebelumnya, eksistensi dan
perhitungan bunga diragukan.

Seperti yang sudah disampaikan diatas, bang syariah adalah suatu


system perbankkan berdasarkan syariat hukum islam, dan akad
merupakan keterikatan antara bank syariah dan nasabahnya yang
merupakan dasar untuk melakukan transaksi di bank syariah. Sumber
dana bank syariah berasal masyarakat sendiri yang menggunakan konsep
bagi hasil dengan penghimpunan seperti wadiah (giro), dan mudharabah
(tabungan & deposit). Kemudian penyaluran dananya kepada masyarakat
dengan cara bagi hasil (mudharabah & musyarakah), jual beli
(murabahah, salam, istisna, ijarah), jasa (qard, hawalah, khafalah,
wakalah, rahn). Bagi hasil pada bank syariah penentuan besarnya hasil
sesudah berusaha/ada hasil, bagi hasil disepakati berdasarkan proporsi
pembagian, jumlah laba meninggakat sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan, jumlah tidak diketahui sebelumnya, tidak ada yang
meragukan keabsahan keuntungan bagi hasil.

Anda mungkin juga menyukai