Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

GASTROINTESTINAL, HEPATOBILIER, DAN PANKREAS

SIROSIS HEPATIS

Disusun oleh :

KELOMPOK 7

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2017
I. DEFINISI
Sirosis hepatis adalah stadium akhir dari penyakit hati, yang menahun dimana
secara anatomis didapatkan proses fibrosis dengan pembentukan nodul regenerasi
dan nekrosis (Smeltzer, S. C., Bare, B. G., 2001).
Sirosis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi
arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul
regenerasi sel hati yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal (Price Sylvia A,
Wilson Lorraine M. 2012).

II. TANDA DAN GEJALA PENYAKIT


Berikut ini merupakan tanda dan gejala awal stadium awal (Kowalak, 2011) :
● Anoreksia akibat perubahan citarasa terhadap makanan tertentu
● Mual dan muntah akibat respons inflamasi dan efek sistemik inflamasi hati
● Diare akibat malabsorbsi
● Nyeri tumpul abdomen akibat inflamasi hati
Berikut ini merupakan gejala dan tanda stadium lanjut:
● Respirasi-efusi pleua, ekspansi toraks yang terbatas karena terdapat asites
dalam rongga perut; gangguan pada efisiensi pertukaran gas sehingga terjadi
hipoksia (Kowalak, 2011).
● Sistem saraf pusat-tanda dan gejalaensefalopati hepatik yang berlangsung
secara progresif dan meliputi letargi, perubahan mental, bicara pelo, asterikis,
neuritis perifer, paranoia, halusinasi, somnolensia berat dan koma, yang semua
terjadi sekunder karena terganggunya proses perubahan amonia menjadi
ureum dan sebagai akibanya, senyawa amonia yang toksik itu akan trerbawa
kedalam otak (Kowalak, 2011).
● Hematologik- kecenderungan berdarah (epistaksis, gejala mudah memar, gusi
yang mudah berdarah), splenomegali, anemia yang disebabkan oleh
trombositopenia (terjadi sekunder karena splenomegali srta penurunan
absorbsi vitamin K), dan hipertensi porta (Kowalak, 2011).
● Endokrin- atrofi testis, ketidakaturan haid, ginekomastia dan bulu dada serta
ketiak rontok akibat penurunan metabolisme hormon (Kowalak, 2011)
● Kulit-pigmentasi yang abnormal, spider angioma (spider naevi), eritema
palmarum, dan gejala ikterus yang berhubungan dengan kerusakan fungsi hati;
pruritus hebat yang terjadi sekunder karena ikterus akibathiperbilirubinemia;
kekeringan kulit yang ekstrem dan turgor jaringan yang buruk, yang semua
iniberhubungan dengan nutrisi (Kowalak, 2011).
● Hepatik- ikterus akibat penurunan metabolisme bilirubin; hepatomegali yang
terjadi sekunder karena pembentukan parut pada hati dan hipertensi porta;
asites serta edema pada tungkai akibat hipertensi porta dan penurunan kadar
protein plasma; ensefalopati hepatik akibat intoksikasi amonia; dan sindrom
hepatorenal akibat penyakit hati yang lanjut dan gagal ginjal yang kemudian
terjadi (Kowalak, 2011).
● Lain-lain-napas yang berbau pesing dan gejala ini terjadi sekunder karena
penumpukan amonia; pelebaran vena superfisial abdomen yang disebabkan
oleh hipertensi porta; rasanyeri pada abdomen kuadran kanan atas yang
semakin bertambah parah pada waktu pasien duduk atau membungkukan
tubuh ke depan, dan gejalaini disebabkan oleh inflamasi seta iritasi pada
serabut saraf didaerah tersebut; hati atau limpa yang terasa akibat pembesaran
organ tersebut; suhu tubuh yang berkisar dari 38,3° hingga 39,4°C akibat
respons inflamasi; pendarahan dari varises esofagus, yang terjadi karena
hipertensi porta (Kowalak, 2011).

III. PATOFISIOLOGI
Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi sirosis, konsumsi
minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi
dengan frekuensi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun
defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan
hati pada sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor
penyebab yang utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang
ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang
tidak memiliki kebiasaan minum minuman keras dan pada individu yang dietnya
normal tetapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi (Smeltzer & Bare, 2001).
Sebagian individu tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini dibanding
individu lain tanpa ditentukan apakah individu tersebut memiliki kebiasaan
meminum minuman keras ataukah menderita malnutrisi. Faktor lainnya dapat
memainkan peranan, termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon
tetraklorida, naftalen terklorinasi, asen atau fosfor) atau infeksi skistosomiasis
yang menular. Jumlah laki-laki penderita sirosis adalah dua kali lebih banyak
daripada wanita, dan mayoritas pasien sirosis berusia 40-60 tahun (Smeltzer &
Bare, 2001). Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai
oleh pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan selsel hati yang uniform,
dan sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadangkadang disebut sirosis
mikronodular. Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati
lainnya. Tiga lesi utama akibat induksi alkohol adalah perlemakan hati alkoholik,
hepatitis alkoholik, dan sirosis alkoholik (Tarigan, 2009).

IV. TATALAKSANA GIZI


Terapi Gizi Medis Penderita Sirosis Hati
Manajemen diet pada sirosis ditujukan agar status nutrisi penderita tetap
terjaga, mencegah memburuknya penyakit hati, dan mencegah terjadinya
ensefalopati hepatik sehingga kualitas serta harapan hidup penderita juga akan
membaik. Pada pasien ini dilakukan diet tinggi protein dan tinggi kalori untuk
memperbaiki status gizi pasien. Pemberian protein pada penderita sirosis
disesuaikan dengan kompikasi keadaan pasien. Kelebihan protein dapat
mengakibatkan peningkatan amonia darah yang berbahaya, sedangkan kekurangan
protein akan menghambat penyembuhan sel hati. Pada sirosis hati terkompensasi
diberikan diet tinggi kalori tinggi protein dengan maksud agar sel-sel hati dapat
beregenerasi. Sedangkan untuk mengontrol tingkat amonia darah digunakan
laktulosa dan atau suatu jenis antibiotik yang bernama
neomisin(Tsiaousi, ​et.al.,​2008).
Pada keadaan sirosis hati lanjut, terjadi pemecahan protein otot. Asam amino
rantai cabang (AARC) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin digunakan
sebagai sumber energi (kompensasi gangguan glukosa sebagai sumber energi) dan
untuk metabolisme amonia. Dalam hal ini, otot rangka berperan sebagai organ hati
kedua sehingga disarankan penderita sirosis hati mempunyai massa otot yang baik
dan bertubuh agak gemuk. Dengan demikian, diharapkan cadangan energi lebih
banyak, stadium kompensata dapat dipertahankan, dan penderita tidak mudah
jatuh pada keadaan koma(Tsiaousi, ​et.al.,​2008).
Menurut Wolf (2011) nutrisi yang seimbang baik dari segi kalori, karbohidrat,
protein dan lemak, akan membawa pengaruh yang baik untuk memperbaiki
kerusakan sel hati. Pada tingkat tertentu, kerusakan sel hati masih bisa diperbaiki
dengan cara memproduksi sel hati baru yang sehat. Widiastuti dan Mulyati (2005)
meneliti bahwa kadar albumin secara umum rata-rata meningkat pada pasien
sirosis hati yang diberikan suplemen asam amino rantai cabang (AARC)
(Tsiaousi, ​et.al.,2​ 008).
Penderita sirosis hati harus meringankan beban kerja hati. Aktivitas sehari-hari
disesuaikan dengan kondisi tubuh. Pemberian obat-obatan (hepatotoksik) harus
dilakukan dengan sangat hati-hati. Penderita harus melakukan diet seimbang,
cukup kalori, dan mencegah konstipasi. Pada keadaan tertentu, misalnya, asites
perlu diet rendah protein dan rendah garam. Terapi ditujukan mengurangi progresi
penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik
diberikan diet yang mengandung protein 1 gr/KgBB dan kalori sebanyak
2000-3000 kkal/hari atau 35-40 kcal/kgBB/hari dengan protein berkisar antara
1,2-1,6 g/kgBB bergantung pada derajat malnutrisi dan kondisi lain yang dialami
pasien. Dalam preskripsi diet pasien sirosis hati, tidak ada pembatasan asupan
karbohidrat walaupun pasien mengalami resistensi insulin (Tsiaousi, ​et.al.,2​ 008).
Pada pasien yang mengalami ​liver injury​ pada kasus yang akut dan
kronik​ ​sering ditemukan balans nitrogen negative. Oleh karena itu, sering
ditemukan adanya pemecahan protein oleh otot karena sintesis protein atau
pemecahan protein yang dilakukan oleh hati telah menurun fungsinya. Dalam
memberikan treatment mengenai protein, yang perlu diperhatikan adalah
menghindarkan pasien sirosis dari kejadian malnutrisi serta menghindarkan pasien
dari encephalopathy hepar. Untuk itu, selain mengatur protein yang diberikan,
asupan karbohidrat dan lemak juga perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya
pemecahan yang mengakibatkan malnutrisi. Pada pasien sirosis, rasio asam amino
rantai cabang (BCAA) misalnya isoleusin, leusin, dan valine) terhadap asam
amino aromatic misalnya fenilalanin, triptofan, dan tirosin sering ditemukan
abnormal terutama pada pasien yang mengalami malnutrisi. Menjaga resiko kedua
macam asam amino ini dapat menghindarkan pasien dengan sirosis terhadap
kejadan ensefalopathy hepatic (Lieber, 1999).
Dianjurkan asupan 35-40 kkal / kg / hari (berat badan kering) dan 1.2 – 1.5g /
kg / hari protein. Pendekatan nutrisi pengobatan tertera pada Tabel 1 (Saraf,
2008).
Pada pasien gizi buruk dengan sirosis, berikan makan 40 Kcal / hari selama satu
bulan untuk meningkatkan massa lemak tubuh terlepas dari tingkat kerusakan hati.
Jika suplementasi gizi tidak mencukupi untuk menjaga asupan kalori yang
diinginkan, nutrisi artifisial harus dimulai baik melalui tabung nasogastrik atau
intravena (Saraf, 2008).
Nutrisi enteral
Formula protein keseluruhan menghasilkan energi 35-40 K kal per hari dan
protein 1,2 -1,5 gm / Kg / hari dianjurkan untuk enteral makan (Morgan et al,
2006). Empat percobaan acak mengenai nutrisi enteral total di Indonesia sirosis
telah dilaporkan (Mendenhall et al, 1985; Cabre et al, 1990; Kearns et al, 1992;
De Ledinghen et al, 1997). Tiga menunjukkan peningkatan asupan makanan
dengan diet oral konvensional, dan dua menunjukkan perbaikan dalam fungsi hati.
Satu menunjukkan angka kematian di rumah sakit yang lebih rendah dibandingkan
dengan diet konvensional. Keempat dilakukan dengan gizi baik. Pasien diidap
dengan perdarahan varises dan gagal menunjukkan manfaat dalam status gizi atau
penyakit yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas (Mendenhall et al,
1985). Namun, sebagian besar pasien ini mampu makan 2000 kkal / hari dari hari
ke 4 (Morgan, 2006). Pada pasien rawat inap dengan makanan yang tidak
memadai asupan nutrisi enteral harus dimulai sesegera mungkin, idealnya dalam
24-48 jam masuk. Hal ini diilustrasikan oleh Studi prospektif pada 396 pasien
menunjukkan adanya penurunan asupan makanan merupakan prediktor
independen kematian rumah sakit dan berhubungan dengan penurunan fungsi hati.
Table 3: Pendekatan standar untuk perawatan gizi

1. Menilai status gizi:


Indeks massa tubuh, penilaian global subjektif atau handgrip Strength
2. Edukasi:
Sering makan (4-7 / hari dengan 1 snack larut malam)
Diet rendah sodium (2 g / hari) jika asites atau edema
3. Jika malnutrisi sedang-parah:
Dorong asupan oral
Tambahkan suplemen gizi oral
Kalori tambahan setiap 2-3 hari
Berikan multivitamin dan tepat spesifik
Pembatasan cairan hanya saat hiponatremia hadir (Na <120)
Pertimbangkan pemindaian DEXA untuk kepadatan mineral tulang dan
perawatan jika Osteoporosis
4. Jika asupan <35-40 kkal / kg / hari dan protein <1,2-1,5 g / kg / hari: mulai
nutrisi enteral untuk memenuhi kebutuhan di atas.
5. Jika hepar ensefalopati atau protein intoleran:
Maksimalkan pengobatan ensefalopati (laktulosa, rifaximin)
Pertimbangkan BCAAs

Gambar 1. Skema untuk menentukan status gizi pada penderita sirosis


DAFTAR PUSTAKA

Cabre E, Gonzalez-Huix F, Abad-Lacruz A, Esteve M, Acero D, Fernandez-Bañares F, et al. Effect


of total enteral nutrition on the short term outcome of severely malnourished
cirrhotics: A randomized controlled trial. Gastroenterology 1990; 98:715-20.

De Ledinghen V, Beau P, Mannant PR, Borderie C, Ripault MP, Silvain C, et al. Early feeding or
enteral nutrition in patients with cirrhosis after bleeding from esophageal varices? A
randomized controlled study. Dig Dis Sci 1997; 42:536-41.

Kearns PJ, Young H, Garcia G, Blaschke T, O’Hanlon G, Rinki M, et al. Accelerated improvement
of alcoholic liver disease with enteral nutrition. Gastroenterology 1992;102:200-5.

Kowalak, J.P., William Welsh, Brenna Mayer. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Mendenhall CL, Bongiovanni G, Goldberg SJ, Miller B, Moore J, Rouster S, et al. VA cooperative
study on alcoholic hepatitis III: Changes in protein-calorie malnutrition associated
with 30 days of hospitalization with and without enteral nutritional therapy. JPEN J
Parenter Enteral Nutr 1985;9:590-6.

Morgan MY, Madden AM, Jennings G, Elia M, Fuller NJ. Twocomponent models are of limited
value for the assessment of body composition in patients with cirrhosis. Am J Clin
Nutr 2006;84:1151-62.
Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC.

Saraf, N. 2008. Nutritional management of acute and chronic liver disease. Hepatitis B Annual, 5(1),
117-133. doi:http://dx.doi.org/10.4103/0972-9747.58810

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., 2001, “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &Suddarth.
Vol. 2. E/8”, EGC, Jakarta.

Tarigan, P. 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam jilid 1 Ed. 3 Sirosis Hati. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Tsiaousi, Eleni T; et.al., 2008. Malnutrition in End Stage Liver Disease: Recommendations and
Nutritional Support. J Gastroenterol Hepatol. 2008

Lieber, CS dalam Kopple, Joel dalam Shills et.al. 1999. Modern Nutrition in Health and Disease.
Williams and Wilkins: New York

Anda mungkin juga menyukai