I. LATAR BELAKANG
Difteri merupakan penyakit potensial KLB yang sangat mudah menular,
disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae. Gejala klinis Difteri bervariasi,
mulai dari tak bergejala hingga fatal. Umumnya menyerang saluran nafas atas (laring,
faring, tonsil) walaupun dapat juga menyerang organ lain seperti kulit dan mukosa.
Sumber penularan adalah penderita maupun carrier. Penularan difteri
melalui droplet infection atau melalui muntahan. Difteri sangat mudah menular pada
kontak kasus, seperti orang serumah, tetangga, teman bermain, teman sekolah, guru,
dan teman kerja. Pada seseorang yang carrier difteri biasanya tidak menunjukkan
gejala klinis, tetapi hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil positif C.
diphteriae.
Secara nasional, dalam kurun waktu 2008 – 2013 jumlah kasus difteri
mengalami peningkatan yang bermakna, dan diikuti dengan peningkatan jumlah
kematian yang juga sangat bermakna dengan CFR berkisar antara 3-10%.
Tahun 2012 kasus difteri dilaporkan di 19 provinsi. Jumlah kasus terbanyak
ada di Provinsi Jawa Timur (954 kasus atau 79,5%), diikuti oleh Provinsi Kalimantan
Selatan sebanyak 61 kasus (5,6%) dan Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 49
kasus (4,5%) dan Jawa Barat 45 kasus (3,8%).
Pada hari Rabu tanggal 7 Mei 2014, Subdit Surveilans dan Respon KLB
mendapat informasi dari Dinas Kesehatan Provinsi Banten, bahwa telah dilaporkan
dalam form W1 dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak mengenai adanya kejadian
Difteri di Desa Maraya Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak, sejumlah 4 kasus, dan 2
kasus diantaranya meninggal. Seluruh kasus dilaporkan memiliki gejala panas
disertai bercak putih pada faring dan pembengkakan kelenjar leher (bull neck).
Berdasarkan informasi tersebut maka Subdit Surveilans dan Respon KLB
berkoordinasi dengan lintas program terkait (Subdit Imunisasi, Pusat Biomedis dan
Teknologi Dasar Kesehatan Balitbangkes, BBTKLPP Jakarta) dan Dinas Kesehatan
Provinsi Banten membentuk Tim Penyelidikan Epidemiologi Gabungan untuk
melakukan serangkaian kegiatan penanggulangan kasus difteri di Kabupaten Lebak.
II. TUJUAN
1. Memastikan KLB
2. Mencari kasus tambahan
3. Mendapatkan gambaran epidemiologi
4. Mengetahui sumber penularan
5. Identifikasi Faktor Risiko
6. Mengetahui besaran masalah
1
7. Memastikan apakah bakteri Corynebacterium diphteriae masih bersirkulasi di desa
Maraya
8. On the job training penyelidikan epidemiologi KLB
2
Gejala dan Tanda. Gejala klinis Difteri bervariasi mulai dari tak bergejala hingga fatal.
Umumnya menyerang saluran nafas atas (laring, faring, tonsil) walaupun dapat juga
menyerang organ lain seperti kulit dan mukosa, serta mata. Difteri mempunyai gejala
klinis demam + 38 oC, pseudomembran putih keabu-abuan, tak mudah lepas/diangkat
dan mudah berdarah di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher
membengkak seperti leher sapi (bullneck), karena pembengkakan kelenjar leher dan
sesak nafas disertai bunyi (stridor). Pada kasus yang parah, pembengkakan di leher
tersebut dapat menutup saluran nafas dan mengancam jiwa.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan
terjadi ekskorisasi (lecet). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus
terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan
kegagalan jantung kongestif yang progresif,timbul satu minggu setelah gejala klinis
difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari
lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo.
Masa Inkubasi dan Penularan. Masa inkubasi difteri antara 2-5 hari. Sementara
sumber penularan adalah manusia, baik sebagai penderita maupun carrier. Cara
penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak
dengan carier, bisa melalui pernafasan, muntahan atau droplet infection. Masa
penularan penderita adalah 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa
penularan carrier bisa sampai 6 bulan. Difteri sangat mudah menular pada kontak
kasus, seperti orang serumah, tetangga, teman bermain, teman sekolah, guru, dan
teman kerja. Pada seseorang yang carrier difteri biasanya tidak menunjukkan gejala
klinis, tetapi hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil positif C. diphteriae.
Epidemiologi. Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang
remaja dan orang dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71%
kasus yang menyerang usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih
dari 39.000 kasus difteria dengan kematian 1100 kasus (CFR= 2,82%), sebagian
besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di Ekuador, Amerika Selatan, pada tahun
1993-1994 terjadi ledakan kasus sebesar 200 kasus, yang 50%-nya adalah anak
berusia 15 tahun atau lebih. Dari tahun 1980 sampai 2010, 55 kasus difteri dilaporkan
CDC Nasional dilaporkan Penyakit Surveillance System. Sebagian besar kasus
(77%) menyerang usia 15 tahun dan lebih ,empat dari lima kasus fatal terjadi di
kalangan anak-anak yang tidak divaksinasi, kasus fatal yang kelima adalah seorang
laki-laki, dalam 75 tahun kembali ke Amerika Serikat dari negara dengan penyakit
endemic. Difteri tetap endemik di banyak bagian dunia berkembang, termasuk
beberapa negara Karibia dan Amerika Latin, Eropa Timur, Asia Tenggara, dan Afrika.
Dari wabah ini mayoritas kasus telah terjadi di kalangan remaja dan orang dewasa,
bukan anak-anak. Karena, banyak dari remaja dan orang dewasa belum menerima
vaksinasi rutin anak atau dosis booster toksoid difteri.
3
Grafik 1. Perbandingan kasus dan angka kematian difteri di Indonesia tahun 2008-2013
Di Indonesia, dalam kurun waktu 2008-2013 jumlah kasus difteri mengalami
peningkatan yang bermakna, dan diikuti dengan peningkatan jumlah kematian yang
juga sangat bermakna dengan CFR berkisar antara 3-10%.
Tahun 2012 kasus difteri dilaporkan di 19 provinsi. Jumlah kasus terbanyak ada di
Provinsi Jawa Timur (954 kasus atau 79,5%), diikuti oleh Provinsi Kalimantan Selatan
sebanyak 61 kasus (5,6%) dan Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 49 kasus (4,5%)
dan Jawa Barat 45 kasus (3,8%). Sejak tahun 2008-2011, sebagian besar kasus
ditemukan pada golongan umur 1-4 tahun dan 5-9 tahun. Pada tahun 2012-2013,
kasus difteri lebih banyak ditemukan pada golongan umur 5-9 tahun (30%) dan di
atas 14 tahun (32%). Hal ini menunjukkan adanya perubahan pola penularan
penyakit difteri akibat kurangnya paparan imunisasi, sehingga risiko tertular difteri
menjadi lebih besar.
Pencegahan. 1) Isolasi Penderita, penderita difteria harus diisolasi dan baru dapat
dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi
Corynebacterium diphtheriae. 2) Imunisasi, pencegahan dilakukan dengan
memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT
(difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar. 3) Pencarian dan kemudian
mengobati karier difteria, dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif
(mungkin penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan
hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan C. diphtheriae, penderita harus diobati
dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
Pengobatan. Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
1. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan
serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas
serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
4
2. Pengobatan Khusus
- Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan
angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.Sebelum pemberian ADS
harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu.
- Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk
difteria digunakan eritromisin, Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau
Penisilin prokain.
- Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
3. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.
Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan
indikasi tindakan trakeostomi.
4. Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti
setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi
harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid
difteria.
5. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick
negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang
dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40
mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi /
adenoidektomi.
IV. METODOLOGI
a. Desain studi adalah cross-sectional study
b. Populasi studi adalah anak dibawah < 15 tahun di desa lokasi KLB (63 responden)
c. Pemeriksaan Laboratorium melalui Pengambilan dan pemeriksaan spesimen
kasus dan kontak kasus.
d. Instrument : Kuisioner, Register imunisasi, alat ukur
e. Jenis data : Primer dan Sekunder
f. Analisis Data : Deskriptif
5
• Seminar : 19 Mei 2014
b. Lokasi
• Desa Maraya, Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak
VI. PELAKSANA
a. Tim Penyelidikan Epidemiologi Pusat (Subdit Surveilans dan respon KLB, Badan
Litbangkes, BBTKL Jakarta)
b. Tim Penyelidikan Epidemiologi Provinsi Banten
c. Tim Penyelidikan Epidemiologi Kabupaten Lebak
d. Tim Penyelidikan Epidemiologi Puskesmas Sajira
6
VII. HASIL PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI
VII.1. Gambaran Umum Desa Maraya, Kec. Sajira, Kab. Lebak
Letak Geografis. Desa Maraya khususnya Kp. Kumpay Merupakan wilayah
pedesaan dan pegunungan yang berada di Wilayah PKM Sajira Kecamatan
Sajira Kabupaten Lebak Propinsi Banten dengan batas-batas wilayah Desa
sebagai berikut:
7
klasifikasi desa Maraya untuk umur 2 -11 bulan : 92, 12 bulan – 7 tahun : 570,
7 – 15 tahun : 1188, Bumil : 37, PUS : 577, WUS : 998, Lansia : 613.
Cakupan imunisasi DPT-HB di desa Margaluyu (Lokasi kasus).
Secara umum cakupan imunisasi DPT-HB di Puskesmas Sajira Desa Maraya
tahun 2011 dan 2012, cakupan DPT-Hb 1,2 memenuhi target sedangkan untuk
DPT-Hb 3 sangat rendah. Sedangkan pada tahun 2013, cakupan DPT-Hb 1,2
dan 3 memenuhi target.
Walaupun kondisi ini tidak berdampak langsung pada kasus difteri yang
dilaporkan tetapi sangat berpengaruh terhadap akurasi dan kualitas pelaporan
yang dilakukan Puskesmas Sajira sebagai bahan kajian lebih lanjut.
b. Kasus Kedua (An. Sukma, Laki-laki, 6 th, status imunisasi tidak diketahui
secara jelas)
15/04/2014 22/04/2014 26/04/2014 27/04/2014 28/04/2014
d. Kasus Keempat (An. Siti, Perempuan, 13 th, status imunisasi tidak diketahui
secara jelas)
29/04/2014 30/04/2014 30/04/2014
Bila disimpulkan, urutan perjalanan kasus dapat terlihat seperti pada kurva
epidemiologi berikut ini:
9
Grafik 3. Kurva Epidemiologi Kasus Difteri Desa Maraya, Kab. Lebak,
Prov. Banten Tahun 2014
Berdasarkan proporsi kasus menurut jenis kelamin, tampak kasus laki-laki lebih
banyak dari perempuan, seperti pada grafik di bawah ini:
Grafik 4. Proporsi Kasus Difteri Desa Maraya, Kab. Lebak, Prov. Banten Tahun 2014
Berdasarkan Jenis Kelamin
10
Grafik 5. Proporsi Kasus Difteri Desa Maraya, Kab. Lebak, Prov. Banten Tahun 2014
Berdasarkan Umur
Pada tabel dapat terlihat bahwa pada kasus hidup sudah tidak
ditemukan bakteri difteri pada swab tenggoroknya, hal ini dimungkinkan
karena kasus sudah diberikan pengobatan anti difteri, begitu pula pada
11
kontak erat kasus. Namun kita temukan ada satu orang yang hasil
pemeriksaan swab tenggoroknya mengandung bakteri difteri, baik hasil
PCR maupun hasil kultur dan mikroskopisnya. Saat penyelidikan ini
dilakukan, tidak ditemukan kasus lain yang memperlihatkan klinis difteri,
baik kontak maupun tetangga sekitar kasus di lokasi penyelidikan. Hal
ini perlu dilakukan pemeriksaan lebih dalam, terutama pada Mista (L, 12
th), apakah dia ada riwayat kontak erat dengan kasus sebelumnya.
VII.3.2. Hasil Pemeriksaan Kualitas Lingkungan
12
Grafik 7. Proporsi status pendidikan ayah responden di desa Maraya
Grafik 8. Distribusi jumlah anggota keluarga dalam satu rumah responden di desa
Maraya
13
Grafik 9. Distribusi lama tinggal responden di desa Maraya
Dari grafik 7 terlihat bahwa responden yang sudah tinggal lebih dari 10
tahun di desa Maraya paling banyak diantara responden lainnya.
e. Distribusi Umur anak responden
14
Grafik 11. Distribusi umur anak responden di desa Maraya
Grafik 12. Proporsi Tempat Mencari Pengobatan para responden di desa Maraya
15
Grafik 13. Status Pemberian Imunisasi pada anak responden di Desa Maraya
Grafik 14. Proporsi alasan tidak imunisasi anak responden di desa Maraya
16
k. Manajemen Cold Chain
Puskesmas mempunyai 1 buah cold chain dengan kapsitas yang cukup
untuk kebutuhan vaksin dalam 1 bulan dan kondisi puncak (BIAS).
Suhu vaksin 8oC, mempunyai 8 vaksin carier yang sesuai standar WHO.
Vaksin dibawa ke posyandu menggunakan vaksin carier dengan
coolpack.
VVM A dan belum kadaluarsa (Maret 2015)
Poskesdes mempunyai cold chain yang cukup untuk menampung
vaksin selama 1 bulan.
Suhu vaksin -1oC dan semua vaksin beku sehingga vaksin tidak
berkualitas/berpotensi lagi. Jika diberikan ke sasaran tidak bisa
membentuk kekebalan, sehingga sangat beresiko untuk terjadinya KLB.
17
5. Penggunaan alat makan/minum bergantian tanpa dicuci terlebih dahulu (ρ value
= 0,009 & OR = 2,459, 95%CI 1,251-4,831) merupakan faktor risiko difteri di
Kota Surabaya (Faktor Risiko Kejadian Difteri di Kota Surabaya Provinsi
Jawa Timur 2010, Penulis Asih Setiasih). Dalam kejadian difteri di desa Maraya
ditemukan adanya hubungan epidemiologis antara satu kasus dengan kasus
lainnya. Salah satu kemungkinan penularan antar kasus yang ada hubungan
keluarga yang erat ini adalah adanya penggunaan alat makan/minum bergantian
tanpa dicuci terlebih dahulu dan kontak erat diantara mereka.
6. Kasus difteri Kota Semarang pada tahun 2003 melaporkan bahwa 33 dari pasien
sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14 tahun. Sementara
kasus difteri di desa Maraya 100% terjadi pada anak usia antara 5-14 tahun.
7. Salah satu factor risiko terjadinya penularan difteri adalah adanya riwayat
bepergian ke daerah endemis difteri, namun pada KLB difteri di desa Maraya
tidak ditemukan adanya riwayat bepergian ke daerah endemis difteri.
8. Kemungkinan penularan lainnya adalah adanya penderita carier difteri (orang
yang mengidap bakteri difteri namun tidak menunjukkan gejala difteri) di wilayah
terjangkit. Pada hasil pencarian kasus kontak KLB difteri di desa Maraya
ditemukan adanya dugaan penderita carier yang dibuktikan dengan hasil
pemeriksaan laboratorium (30 sampel) oleh Balitbangkes.
9. Sistem pelayanan kesehatan yang kurang baik juga sangat berpengaruh pada
munculnya kejadian difteri. Buruknya manajemen cold-chain (rantai dingin) pada
penyimpanan vaksin menyebabkan vaksin menjadi rusak dan kurang poten lagi.
Selain itu cakupan imunisasi yang rendah memperbesar risiko kejadian difteri di
wilayah tersebut, karena banyak anak-anak tidak mendapatkan imunisasi.
IX. Kesimpulan
1. Telah terjadi KLB Difteri di Desa Maraya, Kec.Sajira,
Kab.Lebak tanggal 22 April 2014.
2. Tidak ditemukan kasus tambahan
3. Penanggulangan cukup efektif, Respon yg cepat dan
penyelidikan epidemiologi yang tepat (termasuk system rujukan, ORI)
4. Koordinasi yang bagus antara lintas program dan lintas
sektor (Puskesmas, aparat desa, aparat kecamatan, Dinkes Kab.Lebak, Dinkes
provinsi)
5. Sumber Penularan (dimungkinkan):
a. Tertular dari penduduk luar daerah yang berkunjung ke desa Maraya
b. Tertular dari Carrier
6. Faktor risiko: lingkungan, PHBS, tinggal di daerah padat penduduk yang kurang
higienis
7. SKD-KLB belum optimal
8. Cakupan Imunisasi masih dibawah target
9. Kekebalan tubuh yang rendah (compromised immune system)
10. Sistem Yankes sangat berpengaruh terhadap status kesehatan masyarakat
desa.
18
X. Saran/Rekomendasi
1. Pemantauan secara terus menerus terhadap kemungkinan munculnya kasus
tambahan.
2. Meningkatkan deteksi dini dan respon terhadap kasus difteri dan penyakit
potensial KLB
3. Meningkatkan cakupan Imunisasi rutin
4. Meningkatkan kualitas Pencatatan dan Pelaporan Imunisasi
5. Meningkatkan penyuluhan kesehatan tentang kebersihan lingkungan dan PHBS,
termasuk pentingnya melakukan imunisasi dasar khususnya difteri.
6. Meningkatkan kewaspadaan terjadinya penularan di wilayah lain
7. Mempertahankan koordinasi LP dan LS yang sudah berjalan baik.
8. Sharing informasi tentang situasi penyakit dengan wilayah Puskesmas dan
Kabupaten tetangga.
9. Menjamin tersedianya pelayanan kesehatan dan petugas di Desa Maraya.
10. Memperhatikan distribusi vaksin dari dinas kesehatan provinsi, kabupaten
hingga puskesmas dan polindes.
11. Memperbaiki manajemen cold chain.
12. Melakukan advokasi dengan pemerintah daerah untuk pembiayaan rumah sakit
pada saat KLB.
19