Anda di halaman 1dari 27

PAJAK PENGHASILAN

METODE PERSEDIAAN

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 5

Amelia Artikasih (1602122901)

Nur Aisyah (1602114259)

Tesi Fajriani (1602122982)

PROGRAM STUDI S1 JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS RIAU

2019
METODE PERSEDIAAN

(Referensi Buku Salemba Empat Siti Resmi)

Berdasarkan pasal 10 ayat 6 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan


mengatur tentang penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan,
sedangkan penilaian pemakaian persediaan barang untuk perhitungan hanya boleh
dilakukan dengan metode pencatatan persediaan :

 FIFO (First In First Out)


 Average (rata-rata)
Apabila sekali wajib pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan
untuk perhitungan hp tersebut maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus yang
sama.

Koreksi Fiskal

Koreksi atau penyesuaian yang dilakukan wajib pajak sebelum PPh bagi wajib
pajak badan dan wajib pajak pribadi (yang menggunakan pembukuan dalam penghitung
PKP). Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan pengakuan/perlakuan penghasilan
maupun biaya antara akuntansi komersial dengan akuntansi pajak.

Dasar hukum : UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh

Jenis perbedaan pengakuan komersial dan fiskal :

1. Beda tetap
Perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial
dengan ketentuan UU PPh yang bersifat permanen, artinya koreksi fiscal yang
dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun pajak
berikutnya.
 Menurut komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut UU PPh
telah dikenakan PPh final :
- Bunga deposit dan tabungan lainnya
- Penghasilan berupa hadiah undian
- Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah/bangunan
- Penghasilan dari sewaan tanah/bangunan
- Dan sebagaimana (pasal 4 ayat 2 UU PPh)
 Menurut akuntansi komersial merupakan biaya sedangkan UU PPh bukan
merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto.
- Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
- Bukan objek pajak
- Pengenaan pajaknya final
- Yang dikenakan pajak berdasarkan norma PPh
- Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan.

Koreksi fiskal dapat dibagi 2 :

1. Koreksi fiskal positif


 Barang yang dikeluarkan untuk pemegang saham
 Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
 Pengeluaran dalam bentuk natura
 Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
 Sumbangan atau bantuan
 PPh
 Sanksi Administrasi
 Penyusutan atau amortisasi
2. Koreksi fiskal negatif
 Penyusutan atau amortisasi
 Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya

2. Beda waktu
Perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akun komersial
dengan ketentuan UU PPh yang bersifat sementara, artinya koreksi fiskal yang
dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kenaikan pajak tahun-tahun pajak
berikutnya.

Penyusutan

Menurut UU pajak penghasilan penyusutan merupakan konsep alokasi harga


perolehan harta tetap berwujud dan amortisasi merupakan konsep alokasi harga perolehan
harta tetap tidak berwujud dan harga perolehan harta. Jadi dalam UU PPh pengertian
amortisasi mencakup juga pengertian depresiasi seperti yang dikenal dalam dunia akuntansi
keuangan.

Untuk menghitung besarnya penyusutan harta tetap berwujud dibagi menjadi dua
golongan yaitu :

1. Harta berwujud yang bukan berupa bangunan


2. Harta berwujud yang berupa bangunan

Harta berwujud yang bukan bangunan terdiri dari 4 kelompok yaitu :

- Kelompok 1 : kelompok harta berwujud bukan bangunan yang


mempunyai masa manfaat 4 tahun.
- Kelompok 2 : kelompok harta berwujud bukan bangunan yang
mempunya masa manfaat 8 tahun.
- Kelompok 3 : kelompok harta berwujud bukan bangunan yang
mempunyai masa manfaat 16 tahun.
- Kelompok 4 : kelompok harta berwujud bukan bangunan yang
mempunyai masa mafaat 20 tahun.

Harta berwujud yang berupa bangunan dibagi menjadi dua yaitu :

- Permanen : masa manfaatnya 20 tahun


- Tidak permanen : bangunan yang bersifat sementara, terbuat dari bahan
yang tidak tahan lama/ bangunan yang dapat dipindahkan masa
manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun.

Kelompok harta Masa manfaat Tarif depresiasi


berwujud Garis lurus Saldo menurun
Bukan bangunan
Kelompok 1 4 Tahun 2,5 % 50 %
Kelompok 2 8 Tahun 12,5 % 25 %
Kelompok 3 16 Tahun 8,25 % 12,5 %
Kelompok 4 20 Tahun 5% 10 %

Bangunan
Permanen 20 Tahun 5% -
Tidak permanen 10 Tahun 10 % -

Saat dimulainya penyusutan :

1. Bulan dilakukannya pengeluaran


2. Untuk harta yang masih dalam pengerjaan, penyusutannya dimulai dengan
pengerjaan harta tersebut
3. Dengan izin dari direktur jendral pajak, penyusutan dapat dimulai pada bulan harta
berwujud mulai digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan.

Amortisasi

Harta tak berwujud digolongkan menjadi :

1. Kelompok 1 : kelompok harta tak berwujud yang masa manfaat 4 tahun


2. Kelompok 2 : kelompok harta tak berwujud yang masa manfaat 8 tahun
3. Kelompok 3 : kelompok harta tak berwujud yang masa manfaat 16 tahun
4. Kelompok 4 : kelompok harta tak berwujud yang masa manfaat 20 tahun

Metode amortisasi dan tarif

Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya, termasuk biaya
perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, muhibah (goodwill) yang mempunyai
masa manfaat lebih dari satu tahun. Diamortisasi dengan metode garis lurus/saldo menurun
ganda. Wajib pajak diperkenankan untuk memilih salah satu metode untuk melakukan
amortisasi.

Kelompok harta tak Masa manfaat Tarif amortisasi


berwujud Garis lurus Saldo menurun
Kelompok 1 4 Tahun 25 % 50 %
Kelompok 2 8 Tahun 12,5 % 25 %
Kelompok 3 16 Tahun 6,25 %
Kelompok 4 20 Tahun 5%

Kelompok, metode dan tarif amortisasi seperti disebutkan dalam table atau berlaku untuk :

1. Pengeluaran untuk biayaa pendirian dan biaya modal perusahaan


2. Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial
PENGERTIAN/DEFINISI METODE PHYSICAL DALAM PENILAIAN
PERSEDIAAN

 Referensi buku “Hukum Pajak”, penerbit Salemba Empat, edisi 7.

a. Penilaian Persediaan Dengan Metode Physical

Agar Perusahaan dapat menentukan Harga Pokok Penjualan dari suatu product/barang,
maka sangatlah penting untuk mengetahui berapa besarnya persediaan akhir pada akhir
periode tertentu.

Untuk dapat menilai berapa persediaan akhir suatu product/barang, maka dalam
akuntansi keuangan/laporan keuangan komersial dikenal dengan adanya Penilaian
Persediaan Dengan Metode Physical.

Penilaian Persediaan Dengan Metode Physical terdiri dari :

 Special Identification
 Simple Avarage
 Weight Avarage
 FIFO
 LIFO
 Base Stock
 LILIFO
 Gross Profit
 Retail Method

Akan tetapi untuk menghitung besarnya pajak yang terutang / dalam akuntansi pajak /
dalam perpajakan yang diperbolehkan untuk digunakan sebagai metode penilaian
persediaan adalah dengan Metode :
 FIFO
 Avarage

Sehingga apabila suatu perusahaan menggunakan metode penilaian persediaan selain


metode FIFO dan metode Avarage, maka pada akhir suatu periode/ pada saat perhitungan
pajak yang terutang harus melakukan koreksi fiskal terlebih dahulu.

b. Pembukuan Persediaan Dengan Metode Physical

Salah satu cara bagi perusahaan untuk membukuan/mencatat persediaan (inventory)


yang dimilikinya adalah dengan Metode Physical.

Pembukuan Persediaan Dengan Metode Physical adalah sebagai berikut:

 Untuk membukuan persediaan (inventory) berdasarkan Metode Physical setiap


pemasukan dan pengeluaran tidak dicatat ke dalam perkiraan persediaan
(inventory).

Pembelian barang akan dicatat ke dalam perkiraan pembelian (purchases) dan perkiraan
lainnya yang menyertainya seperti :

 Purchases Discount (Potongan Pembelian)


 Purchases Returned (Retur Pembelian)

Pengeluaran barang akan dicatat ke dalam perkiraan penjualan (sales) dan perkiraan lainnya
yang menyertainya seperti :

 Sales Discount (Potongan Penjualan)


 Sales Returned (Retur Penjualan)

Contoh Pembukuan Persediaan Dengan Metode Physical :


1. Pada tanggal 14 Pebruari 2018 perusahaan membeli 1.000 kg barang dagangan
seharga Rp.5.000 per kg.

Jurnal :

Pembelian 5.000.000
Kas 5.000.000

2. Pada tanggal 21 Pebruari 2018 barang dagangan yang dibeli tanggal 14 Pebruari
2018 dikembalikan sebanyak 50 kg kepada penjualnya. Pengembalian karena
barang yang diterima tidak sesuai mutunya dengan pesanannya.

Jurnal :

Kas 250.000
Return Pembelian 250.000

3. Pada tanggal 27 Pebruari 2018 dijual dengan tunai 100 kg barang dagangan dengan
harga Rp.5.250 per kg.

Jurnal :

Kas 525.000
Penjualan 525.000

Sehingga akhir persediaan barang dagangan per tanggal 27 Pebruari 2018 tidak
dapat langsung dapat diketahui . Untuk mengetahui berapa persediaan akhir barang
dagangan per tanggal 27 Pebruari 2018 harus dilakukan penilaian persediaan terlebih
dahulu.
 Referensi buku “Perencanaan Pajak”, karangan : Erly Suandy, penerbit :
Salemba Empat, edisi 6.

Menurut Erly Suwandi (2011), Perencanaan Pajak (Tax Planning) adalah langkah awal
dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap
peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan
dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk
meminimumkan kewajiban pajak. Perencanaan pajak berfungsi sebagai mengestimasi
jumlah pajak dimasa yang akan datang yang dibayar secara formal maupun material, dan
melakukan efisiensi pajak tidak semata-mata dengan menghindari pajak, tetapi juga
menghindari sanksi-sanksi atas kesalahan dan kelalaian atas pelaksanaan kewajiban pajak.
Fungsi pelaksanaan pajak dilakukan dengan melaksanakan hasil perencanaan pajak baik
dari aspek formal maupun material sebaik mungkin.

Menurut Erly Suandy (2011), Motivasi yang mendasari dilakukannya suatu


perencanaan pajak (tax planning) umumnya bersumber dari tiga unsur perpajakan, yaitu
sebagai berikut:

a. Kebijakan perpajakan (tax policy)

Tax policy merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam sistem
perpajakan. Dari berbagai aspek tax policy terdapat faktor-faktor yang mendorong
dilakukannya tax planning, yaitu pajak apa yang akan dipungut, siapa yang akan dijadikan
subjek pajak, apa yang merupakan objek pajak, berapa besarnya tariff pajak dan bagaimana
prosedurnya.

b. Undang-Undang perpajakan (tax law)

Dalam pelaksanaannya, Undang-Undang selalu diikuti dengan ketentuan- ketentuan


lain, termasuk Undang-Undang perpajakan yang diikuti oleh Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Dirjen Pajak. Dengan
banyaknya ketentuan tersebut, membuka celah bagi wajib pajak untuk menganalisis
kesempatan guna perencanaan pajak yang baik.

c. Administrasi perpajakan (tax administration)

Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak adalah untuk memaksimalkan


laba setelah pajak, karena pajak ikut mempengaruhi pengambilan keputusan atas suatu
tindakan dalam operasi perusahaan untuk melakukan investasi melalui analisis yang cermat
dan pemanfaatan peluang yang ada dalam peraturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah
untuk memberikan perlakuan yang berbeda atas objek yang secara ekonomi hakikatnya
sama dengan memanfaatkan perbedaan tarif pajak. Perbedaan perlakuan atas objek pajak
sebagai dasar pengenaan pajak, dan loopholes, shelters, havens. ketiga unsur tersebut
terjadi menurut proses sesuai dengan urutan waktu penyusunan sistem perpajakan.

Dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin tinggi, seorang manajer
dalam membuat suatu perencanaan pajak sebagaimana strategi perencanaan perusahaan
secara keseluruhan harus memperhitungkan adanya kegiatan yang bersifat lokal maupun
internasional. Menurut Erly Suandy (2011), agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai
dengan yang diharapkan, maka rencana itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan
tahap-tahap berikut ini:

1. Menganalisis informasi yang ada (Analysis of the existing data base)

Tahap awal perencanaan pajak adalah menganalisis komponen yang berbeda atas pajak
yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang
harus ditanggung. Hal ini bisa dilakukan dengan mempertimbangkan masing- masing
elemen dari pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun secara total pajak yang harus dapat
dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling efisien. Oleh sebab itu, kita perlu
memperjatikan faktor- faktor baik secara internal maupun eksternal.
a. Fakta yang relevan

Dalam melakukan suatu perencanaan pajak, kita harus menguasai situasi yang dihadapi
baik dari segi internal maupun dari segi eksternal agar perencanaan pajak dapat dilakukan
secara tepat dan menyeluruh terhadap situasi maupun transaksi- transaksi yang mempunyai
dampak dalam perpajakan.

b. Faktor- faktor pajak

Dalam menganalisis setiap permasalahan yang dihadapi dalam penyusunan perencanaan


pajak tidak terlepas dari sistem perpajakan nasional yang dianut oleh suatu negara dan
sikap fiskus dalam menafsirkan peraturan perpajakan baik undang- undang domestik
maupun kebijakan perpajakan.

c. Faktor non pajak

Dalam perencanaan perpajakan terdapat faktor non pajak yang relevan untuk
diperhatikan seperti, masalah badan hukum, mata uang dan nilai tukar, pengawasan devisa,
dan masalah program insentif investasi.

2. Membuat satu model atau lebih rencana besarnya pajak (Design of one more
possible tax plans)

Memilih bentuk transaksi operasi atau hubungan internasional. Pemilihan dari negara
asing sebagai tempat melakukan investasi atau menjadi residen dari negara tersebut.
Penggunaan satu atau lebih negara tambahan.

3. Evaluasi perencanaan pajak (Evaluating a tax plan)

Perencanaan pajak merupakan bagian kecil dari seluruh perencanaan yang merupakan
bagian kecil dari seluruh perencanaan strategis perusahaan, oleh karena itu perlu dilakukan
evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap
beban pajak, perbedaan laba kotor, dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif
perencanaan.

4. Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak (Debugging the tax
plan)

Perbandingan berbagai rencana harus harus dibuat sebanyak mungkin sesuai bentuk
perencanaan pajak yang diinginkan. Dengan adanya perubahan peraturan atau perundang-
undangan, tindakan perubahan harus tetap dijalankan walaupun diperlukan penambahan
biaya atau kemungkinan keberhasilannya sangat kecil. Sepanjang penghematan pajak masih
besar, rencana tersebut harus tetap dijalankan, karena bagaimanapun juga kerugian yang
ditanggung merupakan kerugian minimal.

5. Memutakhirkan rencana pajak (Updating the tax plan)

Pemutakhiran dari suatu rencana adalah konsekuensi yang perlu dilakukan sebagaimana
dilakukan oleh masyarakat yang dinamis, dengan memberikan perhatian terhadap
perkembangan yang akan datang maupun situasi yang terjadi saat ini.
PEMILIHAN METODE PERSEDIAAN

(Referensi Buku Sudarsono)

Persediaan adalah suatu jenis aktiva atau barang yang dimiliki oleh suatu perusahaan
atau badan usaha (saat) tertentu, yang akan dijual kembali atau akan dikonsumsi (dipakai)
dalam operasi normal perusahaan. Metode yang dapat dipakai untuk menentukan besarnya
nilai persediaan ada beberapa macam. Nilai persediaan mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap penyusunan laporan keuangan baik dalam neraca maupun laporan
perhitungan laba rugi. Nilai persedian yang tercantum dalam neraca menunjukkan nilai
kekayaan yang berdasarkan prinsip hati-hati menghendaki nilai manayang terendah.
Sedangkan nilai persediaan untuk kepentingan perhitungan laba rugi dihadapkan kepada
kepentingan penentuan laba yang diperoleh perusahaan.
Menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dalam pasal 6
metode persediaan yang diperkenalkan dalam perpajakan hanya ada 2 yaitu metode rata-
rata (average) atau metode FIFO (First In First Out). Kedua metode tersebut mempunyai
kelebihan dan kekurangan, yang secara finansial menjadi pertimbangan bagi wajib pajak
mana yang akan dipilih. Pertimbangan secara fiskal dari pemakaian metode
perhitungan persediaan ini sama dengan pertimbangan secara finansial. Wajib pajak tentu
akan memilih untuk memakai metode yang menghasilkan PPh terutang yang lebih rendah.

1) Metode Rata - Rata (Average)


Metode harga pokok rata-rata adalah suatu metode penilaian persediaan yang
didasariatas harga rata-rata dalam periode yang bersangkutan. Besar kecilnya nilai
persediaan yang masih ada dan harga pokok barang yang dijual, dipengaruhi oleh metode
yang dipakai dalammetode rata-rata adalah : (1) sistem fisik yang dibagi menjadi metode
rata-rata sederhana dan metode rata-rata tertimbang ; (2) sistem perpetual (metode rata-rata
bergerak).
Dengan HPP yang lebih rendah maka akan menghasilkan laba kena pajak yang lebih
tinggi atau PPh terutang yang lebih tinggi sehingga perhitungan persediaan yang akan
menghasilkan PPh yang lebih rendah pada pemakaian bahan yang cenderung naik adalah
mempergunakan metode rata-rata.

2) Metode Firts In Firts Out (FIFO)


Metode First In First Out (FIFO) adalah metode penilaian persediaan yang
menganggap barang yang pertama kali masuk diasumsikan keluar pertama kali pula. Pada
umumnya perusahaan menggunakan metode ini, sebab metode ini perhitungannya sangat
sederhana baik sistem fisik maupun sistem perpetual akan menghasilkan penilaian
persediaan yang sama.

Metode FIFO yang didasarkan atas sistem fisik, nilai persediaan akhir ditentukan
dengan cara saldo fisik yang ada dikalikan harga pokok perunit barang yang terakhir
kalimasuk, bila saldo fisik ternyata lebih besar dari jumlah unit terakhir masuk maka
sisanya diambilkan dari harga pokok perunit yang masuk sebelumnya. Sedangkan pada
sistem perpetual pencatatan persediaan dilakukan secara terus menerus dalam kartu
persediaan. Pada sistem ini apabila ada transaksi penjualan maka akan dijurnal dua kali,
pertama mencatat harga pokok penjualan dan yang kedua mencatat harga pokok barang
yang dijual.
METODE PERSEDIAAN
(Referensi Mohammad Yamin)

1. Pengertian Persediaan
Menurut PSAK No. 14, persediaan adalah aset:
 Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal
 Dalam proses produksi dan atau dalam perjalanan
 Dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses
produksi atau pemberian jasa.

Pengertian persediaan menurut Kieso yakni: “Inventories are asset items held for sale
in the ordinary course of business or goods that will be used or consumed in the production
of goods to be sold” (Kieso et.al., 2003: 491). Dari pengertian yang diungkapkan oleh
Kieso dkk, dikatakan bahwa persediaan adalah pos harta yang ditahan untuk dijual dalam
kegiatan usaha yang biasa atau barang yang akan digunakan atau dikonsumsi dalam
produksi barang yang akan dijual.

2. Penilaian Persediaan
Menurut perpajakan, persediaan dinilai berdasarkan harga perolehan, namun menurut
PSAK No. 14 persediaan harus diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi bersih, yang
mana yang lebih rendah (the lower of cost and net realizable value).
“Dalam akuntansi apabila harga pasar suatu persediaan lebih rendah dari harga
perolehan persediaan, maka persediaan tersebut bisa dicatat berdasarkan harga pasar,
sehingga selisih antara harga perolehan dan harga pasar dari persediaan tersebut dalam
akuntansi dicatat sebagai biaya penyusutan. Tetapi secara fiskal, biaya penyusutan
persediaan tersebut yang menjadi komponen harga pokok penjualan dalam akuntansi, tidak
diakui atau tidak boleh sebagai pengurang penghasilan (harus dikoreksi fiskal beda tetap)”
(Markus dan Yujana, 2002: 770).
3. Metode Penilaian Persediaan
Dalam perpajakan, pemilihan metode penilaian persediaan juga mempengaruhi
jumlah pajak yang terutang. Penilaian pemakaian persediaan untuk menghitung harga
pokok hanya boleh dilakukan dengan cara rata-rata (average) atau dengan mendahulukan
persediaan yang didapat pertama (FIFO). Penggunaan metode penilaian persediaan akan
mempengaruhi Harga Pokok Penjualan (HPP).
a. Metode Rata-rata (average)
HPP bila dihitung dengan menggunakan metode rata-rata:
Harga rata-rata per unit Rp14.000,00 : 60 = Rp233,33
Harga untuk penjualan 50 unit: 50 x Rp233,33 = Rp11.666,67

b. Metode MPKP/FIFO HPP bila dihitung dengan menggunakan metode FIFO:


Untuk penjualan 50 unit:
10 unit x Rp100,00 = Rp 1.000,00
20 unit x Rp200,00 = Rp 4.000,00
20 unit x Rp300,00 = Rp 6.000,00
Rp11.000,00
Sekali wajib pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk
penghitungan harga pokok penjualan, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan
cara yang sama (pasal 28 UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan). Penggantian metode tidak boleh dilakukan oleh wajib pajak, kecuali jika
mendapat persetujuan Dirjen Pajak.
 Pengertian Harta Berwujud
Dalam PSAK, harta berwujud disebut dengan aset tetap. “Aset tetap adalah aset
berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun lebih dahulu, yang
digunakan dalam operasi perusahaan, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka
kegiatan normal perusahaan dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun” (PSAK
No. 16).
 Penyusutan Harta Berwujud
Penyusutan adalah alokasi jumlah suatu aset yang dapat disusutkan sepanjang masa
manfaat yang diestimasi (PSAK No. 17). Penyusutan perlu dilakukan karena manfaat yang
diberikan dan nilai aset tersebut semakin berkurang.
Menurut Undang-undang Perpajakan No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa “Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian,
pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang
berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan
digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar
selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.”
Metode penyusutan menurut undang-undang pajak penghasilan, terdapat dua
golongan harta berwujud. Berikut ini merupakan tabel golongan harta berwujud bukan
bangunan dan dikelompokkan menurut masa manfaatnya:
Kelompok Bukan Bangunan Masa Manfaat
Kelompok 1 4 Tahun
Kelompok 2 8 Tahun
Kelompok 3 16 Tahun
Kelompok 4 20 Tahun

- Metode penyusutan harta berwujud

Menurut PSAK No. 17 menyatakan bahwa penyusutan dapat dikelompokkan menurut


kriteria berikut:

a. Berdasarkan waktu:
1. Metode garis lurus
2. Metode pembebanan yang menurun:
- Metode jumlah angka tahun
- Metode saldo menurun/saldo menurun ganda
b. Berdasarkan penggunaan:
a. Metode jam-jasa
b. Metode jumlah unit produksi
c. Berdasarkan kriteria lainnya:
- Metode berdasarkan jenis dan kelompok
- Metode anuitas
- Sistem persediaan

Sedangkan metode yang diperkenankan dalam penghitungan penyusutan menurut


perpajakan yaitu metode saldo menurun ganda dan garis lurus. Metode yang dipakai
tergantung wajib pajak. Metode yang dipilih harus diterapkan terhadap seluruh kelompok
harta.

a. Metode Garis Lurus

Rumus untuk menghitung penyusutan:

Pn = H x T x b/12

Pn : besarnya penyusutan pada tahun ke-n

H : harga perolehan asset

T : tarif penyusutan

b : banyaknya bulan yang dihitung mulai dari bulan perolehan aset sampai dengan
akhir tahun pajak

b. Metode Saldo Menurun


Rumus untuk mengitung penyusutan:
1. Tahun pertama P1 = H x T x b/12
2. Tahun kedua sampai satu tahun sebelum tahun terakhir Pn = {(1 - T)n-2
x (H – P1)} x T
3. Tahun terakhir Pt = (1 - T)n-2 x (H – P1) (Sumber: Markus dan Yujana,
2002: 755, 760) Tarif penyusutan untuk masing-masing metode berbeda.

Rekonsiliasi Fiskal

Perbedaan peraturan antara PSAK dan perpajakan menyebabkan timbulnya beda


tetap dan beda waktu. Beda tetap adalah perbedaan yang bersifat tetap, sedangkan beda
waktu adalah perbedaan saat mengakui/melaporkan penghasilan dan/atau biaya antara
laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal dalam suatu tahun pajak). Karena
adanya perbedaan peraturan antara PSAK dengan perpajakan maka dilakukan rekonsiliasi
fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah usaha mencocokkan perbedaan yang terdapat dalam
laporan keuangan komersial (yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi) dengan
perbedaan yang terdapat dalam laporan keuangan fiskal (yang disusun berdasarkan prinsip
fiskal).
METODE PERSEDIAAN

(Salemba Empat Prof. Dr. Mardiasmo, M. A)

Persediaan adalah suatu jenis aktiva atau barang yang dimiliki oleh suatu
perusahaan atau badan usaha (saat) tertentu, yang akan dijual kembali atau akan
dikonsumsi (dipakai) dalam operasi normal perusahaan. Metode yang dapat dipakai untuk
menentukan besarnya nilai persediaan ada beberapa macam. Nilai persediaan mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap penyusunan laporan keuangan baik dalam neraca
maupun laporan perhitungan laba rugi. Nilai persedian yang tercantum dalam neraca
menunjukkan nilai kekayaan yang berdasarkan prinsip hati-hati menghendaki nilai
manayang terendah. Sedangkan nilai persediaan untuk kepentingan perhitungan laba rugi
dihadapkan kepada kepentingan penentuan laba yang diperoleh perusahaan.

Menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dalam pasal 6


metode persediaan yang diperkenalkan dalam perpajakan hanya ada 2 yaitu metode rata-
rata (average) atau metode FIFO (First In First Out). Kedua metode tersebut mempunyai
kelebihan dan kekurangan, yang secara finansial menjadi pertimbangan bagi wajib pajak
mana yang akan dipilih. Pertimbangan secara fiskal dari pemakaian metode
perhitungan persediaan ini sama dengan pertimbangan secara finansial. Wajib pajak tentu
akan memilih untuk memakai metode yang menghasilkan PPh terutang yang lebih rendah.

Rekonsiliasi fiskal pada hakikatnya adalah merupakan proses untuk mendapatkan


angka laba fiskal atau laba kena pajak dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian
terhadap laba komersial atau laporan laba rugi. Proses rekonsiliasi fiskal ini umumnya
dilakukan oleh Wajib Pajak yang berbentuk perusahaan. Rekonsiliasi yang dilakukan akan
menghasilan koreksi fiskal yang akan mempengaruhi besarnya laba kena pajak serta Pajak
Penghasilan (PPh) terutang. Rekonsiliasi dilakukan terhadap pos-pos biaya dan pos-pos
penghasilan dalam Laporan keuangan Komersial, antara lain :

 Rekonsiliasi terhadap penghasilan yang dikenakan PPh Final


 Rekonsiliasi terhadap penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
 Wajib Pajak mengeluarkan biaya-biaya yang sebenarnya tidak boleh
menjadi pengurang penghasilan bruto
 Wajib pajak menggunakan metode pencatatan yang berbeda dengan
ketentuan pajak
 WP mengeluarkan biaya-biaya yang dikeluarkan bersama-sama untuk
mendapatkan pendapatan yang telah dikenakan PPh Final atau pendapatan
yang bukan Objek Pajak serta pendapatan yang dikenakan PPh non Final
A. Koreksi Fiskal

Koreksi fiskal adalah koreksi perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya
perbedaan pengakuan metode, manfaat, dan umur, dalam menghitung laba secara komersial
atau dengan secara fiskal. Koreksi fiskal dilakukan karena adanya perbedaan antara laba
atau rugi menurut perhitungan akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal ( berdasarkan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ),
maka sebelum menghitung Pajak Penghasilan yang terutang, terlebih dahulu laba/rugi
komersial tersebut harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000.

Dengan demikian, untuk keperluan perpajakan wajib pajak tidak perlu membuat
pembukuan ganda, melainkan cukup membuat satu pembukuan berdasarkan Standar
Akuntansi Keuangan (SAK), dan pada waktu mengisi SPT Tahunan PPh terlebih dahulu
harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal. Koreksi fiskal tersebut dilakukan baik terhadap
penghasilan maupun terhadap biaya-biaya (pengurang penghasilan bruto).

B. Jenis – jenis koreksi fiskal

Jenis koreksi fiskal di sini merupakan jenis – jenis perbedaan antara akuntansi
komersial dengan ketentuan fiskal (UU Nomor 10 TAHUN 1994 dan UU Nomor 17 Tahun
2000).
Secara umum terdapat dua perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara
akuntansi komersial dengan perpajakan (fiskal) yang menyebabkan terjadinya koreksi
fiskal, yaitu:

1. Beda Tetap

Beda tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara
akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya permanen artinya
koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun
pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda tetap terjadi karena :

a) Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut


Undang-undang PPh bukan merupakan penghasilan, contohnya dividen atau bagian laba
yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,
koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan
syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada badan
yang memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh).

b) Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut


Undang-undang PPh telah dikenakan PPh Final, contohnya:

1. Bunga Deposito dan Tabungan lainnya


2. Penghasilan berupa hadiah undian
3. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan
4. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
5. Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
6. dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh)
Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut
akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan
merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya:

a) Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan ;


 yang bukan objek pajak
 yang pengenaan pajaknya bersifat final
 yang dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan

b) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang


diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan

c) Pajak Penghasilan

d) sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
perpajakan.

e) biaya-biaya lainnya yang menurut Undang-undang PPh tidak dapat dibebankan


(Pasal 9 ayat 1 UU PPh)

Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif atau koreksi
positif. Koreksi negatif artinya penghasilan yang diakui oleh akuntansi komersial namun
secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun karena
telah dikenakan PPh final, menyebabkan laba kena pajak berkurang yang akhirnya akan
menyebabkan PPh terutang lebih kecil. Sedangkan koreksi atas beda tetap biaya akan
menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakui oleh akuntansi komersial namun
secara fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak bertambah yang akhirnya
akan menyebabkan PPh terutang menjadi lebih besar.
2. Beda Waktu

Beda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya


antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya sementara
artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun-
tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi karena :

Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara akuntansi
komersial penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya sesuai
dengan prinsip matching cost with revenue. Sedangkan menurut Undang-undang PPh,
penghasilan tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima.

Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena :

a. Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh metode


penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo menurun

b. Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang PPh


metode penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan FIFO

c. Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-undang Penyisihan


piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu dan sebagainya

Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif pada saat
penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada tahun-tahun berikutnya.
Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah, sedangkan koreksi
negatif tahun-tahun berikutnya akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang.
Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan koreksi positif maupun koreksi negatif
tergantung dari metode yang digunakan.

1) Koreksi Positif
Koreksi positif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya pengurangan
biaya yang telah diakuai dalam laporan laba rugi secara komersial menjadi semakin kecil
apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan mengakibatkan adanya penambahan
Penghasilan Kena Pajak. koreksi fiskal positif diantaranya:

a) Biaya yg dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham

b) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan

c) Pengeluaran dalam bentuk natura

d) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kpd pemegang saham

e) Sumbangan atau bantuan

f) Pajak Penghasilan

g) Sanksi administrasi (Pajak)

h) Penyusutan/amortisasi

i) Dan lain - lain

2) Koreksi Negatif

Koreksi negatif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya penambahan


biaya yang telah diakui dalam laporan laba rugi secara komersial sehingga semakin besar
apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan mengakibatkan adanya pengurangan
Penghasilan Kena Pajak. Koreksi fiskal negatif diantaranya:

a. Penyusutan/amortisasi

b. Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya

c. Dan lain - lain


Penyustan bisa menimbulkan koreksi negatif atau positif tergantung hasil
perhitungan apa lebih besar atau malah lebih kecil.

Untuk lebih mendalami koreksi fiskal kita dapat juga membaca laporan audit
akuntan publik atas laporan keuangan suatu perusahaan. Setiap perusahaan akan
mempunyai pos yang berbeda atas koreksi fiskalnya.

D. Teknik Rekonsiliasi Fiskal

Teknik rekonsiliasi fiskal dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui menurut
fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan sejumlah penghasilan tersebut dari
penghasilan menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.

b. Jika suatu penghasilan tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui menurut
fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah penghasilan tersebut pada
penghasilan menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi.

c. Jika suatu biaya atau pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui
sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan
mengurangkan sejumlah biaya atau pengeluaran tersebut dari biaya menurut akuntansi,
yang berarti menambah laba menurut akuntansi.

d. Jika suatu biaya atau pengeluaran tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui
sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan
menambahkan sejumlah biaya atau pengeluaran teersebut pada biaya menurut akuntansi
yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.

Anda mungkin juga menyukai