Anda di halaman 1dari 12

Retorika dan Keprotokoleran

Retorika Zaman Romawi

Disusun Oleh
Nurhayani

Nur Inayah Yushar

Fakultas Dakwah dan Komunikasi

UIN Alauddin Makassar

Tahun Akademik 2013-2014


Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Di antara karunia Tuhan yang paling besar adalah kemampuan berbicara.


Kemampuan untuk mengungkapkan isi hatinya dengan bunyi yang dikeluarkan dari
mulutnya. Berbicara telah membedakan manusia dengan makhluk lain. Kambing
dapat mengembik, tetapi ia tidak mampu menceritakan pengalaman masa kecilnya
kepada kawan-kawannya. Malaikan dan Jin mungkin dapat berbicara, tetapi itu
hanya kita saksikan dalam kisah lama, kitab suci, atau film. Dengan berbicara,
manusia mengungkapkan dirinya, mengatur lingkungannya, dan pada akhirnya
menciptakan bangunan budaya insani.

Lama sebelum lambang-lambang tulisan digunakan, orang sudah


menggunakan “bicara” sebagai alat komunikasi. Bahkan setelah tulisan ditemukan
sekalipun, bicara tetap lebih banyak digunakan. Ada beberapa kelebihan bicara yang
tidak dapat digantikan dengan tulisan. Bicara lebih akrab, lebih pribadi (personal),
lebih manusiawi. Tidak mengherankan, bila “ilmu bicara” telah dan sedang menjadi
perrhatian manusia.

Seorang kopral kecil, veteran Perang Dunia II berhasil naik menjadi Kaisar
Jerman. Dalam bukunya, Mein Kampf, dengan tegas Hitler mengatakan bahwa
keberhasilannya disebabkan oleh kemampuannya berbicara. Ich konnte reden,
katanya. Lebih lanjut Hitler berkata: Jede grosse Bewegung auf dieser Erde verdankt
ihr Wachsen den grosseren Rednern und nicht den grossen Schreibern (setiap
gerakan besar di dunia in dikembangkan oleh ahli-ahli pidato bukan oleh jago-jago
tulisan).
Seorang politikus muda berdiri menyampaikan pidatonya. Pidato yang
pertama disampaikannya dan pidato yang paling tidak menarik. Hadirin gaduh,
sehingga ia berkali-kali minta perhatian mereka. Politikus ini gagal dalam tugasnya.
Sheil, seorang tua menasehainya untuk belajar cara berpidato yang baik. Seminggu
kemudian ia berhasil menyampaikan pidato yang memikat pendengarnya. Dalam
sejarah inggris, ia terkenal dengan nama Disraei, diploma inggris kelas wahid.

Kemampuan bicara bukan saja diperlukan di depan sidang parlemen, di muka


hakim atau di hadapan massa. Kemampuan ini dihajatkan dalam hampir seluruh
kegiatan manusia sehari-hari. Penelitian membuktikan bahwa 75% waktu bangun
kita berada dalam kegiatan komunikasi. Kita hampir dapat memastikan bahwa
sebagian besar kegiatan komunikasi itu dilakukan secara lisan. We are judged each
day by our speech, ujar Dale Carnagie. Bicara menunjukkan bangsa, bicara
mangungkapkan apakah Anda orang terpelajar atau kurang ajar.

Kemampuan bicara bisa merupakan bakat. Tetapi, kepandaian bicara yang


baik memerlukan pengetahuan dan latihan. Orang sering memperhatikan cara dan
bentuk pakaian yang dikenakannya, agar kelihatan pantas, tetapi ia sering lupa
memperhatikan cara dan bentuk pembicaraan yang diucapkannya supaya kedengaran
baik. Retorika sebagai “ilmu bicara” sebenarnya diperlukan setiap orang. Bagi ahli
komunikasi atau komunikator retorika adalah conditio sine qua non.

Dalam bab ini akan di uraikan latar belakang sejarah retorika serta
perkembangannya. Dengan uraian historis ini kita ingin mengingatkan bahwa
retorika adalah bidang studi komunikasi yang telah berumur tua, di samping
menunjukkan tempatnya yang layak dalam perkembangan ilmu komunikasi. Karena
sejarahnya yang tua, retorika juga memperoleh makna yang cukup kaya, sehingga
sebagian bab ini kita gunakan untuk menjelaskan pengertian retorika sepanjang
sejarah. Dan inilah bab yang paling teioritis dalam buku ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu retorika?
2. Bagaimana sejarah perkembangan retorika zaman romawi?
Bab II

Pembahasan

A. Retorika

Retorika adalah istilah yang secara tradisional diberikan pada suatu teknik
pemakaian bahasa sebagai seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang
tersusun baik. Jadi ada dua aspek yang perlu diketahui seseorang dalam retorika,
yaitu pengetahuan mengenai bahasa dan penggunaan bahasa dengan baik, dan kedua
pengetahuan mengeni objek tertentu yang akan disampaiakan dengan bahasa tadi.
Oleh karena itu, retorika harus dipelajari oleh mereka yang ingin menggunakan
bahasa dengan cara yang sebaik-baiknya untuk tujuan tertentu tadi. Timbullah pusat-
pusat pendidikan yang berusaha mengembangkan prinsip-prinsip retorika, disamping
usaha untuk mengajarkan dan mempraktekkan prinsip-prinsip retorika, di samping
usaha untuk mengajarkan dan mempraktekkan prinsip-prinsip tadi.

Studi mengenai retorika inilah yang akhirnya mempengaruhi perkembangan


kebudayaan Eropa dari jaman kuno hingga abad XVII Masehi. Sesudah abad XVII,
retorika tidak dianggap penting lagi. Pada abad XX, retorika kembali mengambil
tempat diantara bidang-bidang pengetahuan lainnya, sebagai suatu cara untuk
menyajikan berbagai macam bidang pengetahuan dalam bahasa yang baik dan
efektif.

Akan lebih jelas bagi kita bagaimana pengaruh retorika itu, mengapa retorika
ituakhirnya merosot peranannya pada abad XVII, bagaimana pengaruh dan
peranaanya dewasa ini, kalau kita mengenal lebih baik hakikat retorika itu sendiri
dan bagaimana peranannya pada bermacam-macam tingkat perkembngannya. Teknik
retorika, serta pengetahuan yang menjadi landasan retorika itu selalu diarahkan untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sebab itu, apabila pada suatu waktu tujuan retorika
itu berubah bersamaan dengan munculnya teknik-teknik baru berdasarkan teori baru,
maka struktur retorika yang berlaku akan dianggap tidak sempurna lagi.
Kecenderungan ini selalu berulang kembali dalam situasi dan suasana yang
memungkinkan perubahan itu dari waktu ke waktu.

Sejarah pertumbuhan retorika dari jaman Yunani kuno menunjukkan bahwa


tekanan seni wacana ini diletakkan pada orotori atau seni berpidato. Hal ini dapat
dimengerti karena publikasi secara meluas atas suatu hasil pikiran tidak dapat
dilakukan dengan tulisan, karena belum ada percetakan. Tindakan yang diandalkan
untuk memecahkan suatu persoalan dengan melibatkan banyak orang, atau
menyampaikan suatu gagasan pada suatu massa pendengar, hanya bisa dilakukan
mellui bahasa lisan, atau dengan kata lain, hanya melalui pidato. Karena itu,
pengertian retorika pada awalnya juga bertumpang –tindih dengan seni berpidato
atau oratori.

Tetapi setelah penemuan mesin cetak dan mesin uap, maka retorika sebagai
seni berpidato mulai merosot peranannya, dan diganti dengan seni menggunakan
bahasa secara tertulis. Dengan pubilkasi tertulis, gagasan atau ide seseorang dapat
dpat lebih luas tersebar dari pada kalau harus disampaiakan melalui pidato. Sebab
itu, tekanan utama pun beralih kepada kemampuan untuk menyampaikan pikiran
dalam bentu bahasa tulis agar dapat dibaca oleh banyak orang. Dengan pergeseran
ini, pengertian retorika juga turut bergeser dari bahasa lisan ke bahasa tulis, dari seni
berpidato, sebagai titik sentral, bergeser ke kemampuan menulis.

Pada waktu ditemukan media komunikasi elektrnis, khususnya radio, peranan


bahasa lisan muncul kembali. Idato melalui radio, televise mempunyai peranan yang
sama penting dengan komunikasi melalui media tulis.

Sebab itu selama 25 abad perkembangan retorika, yaitu sejak diperkenalkan


pada abad V sebelum masehi sampai sekarang pengertian retorika itu juga
mengalami perkembangan. Retorika dalam pengertian dewasa ini boleh dikatakan
mencakup semua pengertian yang telah ada, yaitu:

a. Prinsip mengenai kompsisi pidato yang persuasi dan efektif, maupun


keterampilan yang harus dimiliki seorang orator (ahli pidato)
b. Prinsip-prinsip mengenai komposisi prosa pada umumnya, baik yang
dimaksudkan untuk penyajian lisan maupun untuk penyajian tertulis,
entah yang bersifat fiftif atau bersifat ilmiah
c. Kumpulan ajaran teoritis mengenai seni komposisi verbal, baik prosa
maupun puisi, serta upaya-upaya yang digunakan dalam kedua jenis
komposisi verbal tersebut.

Karena perubahan perubahan retorika sesuai dengan tujuan yang berlainan


itu, maka buku-buku pegangan mengenai retorika juga hanya mencakup sebagian
saja dari aspek-aspek retorika yang ada. Tiap zaman memilih aspek yang
dianggapnya paling cocok, atau dengan kata lain, dalam tiap zaman orang bebas
menciptakan seni wacana baru yang dianggapnya paling sesuai.

Karena retorika berusaha pula mempengaruhi sikap perasaan orang, maka ia


dapat mempergunakan semua unsure yang bertalian dengan kaidah-kaidah
keefektifan dan keindahan gaya bahasa,misalnya ketetapan pengungkapan, kefektifan
struktur kalimat penggunkan bahasa kiasan yang serasi, penampilan yang sesuai
dengan situasi, dan sebagainya. Secara singkat, retorika membicarakan dasar-dasar
yang fundamental untuk menyusun sebuah wacana yang efektif.

Melihat perkembangan dan pergeseran tekanan dan makna retorika sebagai


dikemukakan secara singkat di atas, maka dapat dikatakan bahwa: retorika adalah
suatu teknik pemakaina bahasa sebagai seni, baik lisan maupun tulisan, yang
didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik. Retorika bertujuan
menerangkan kaidah-kaidah yang menjadi landasan dari tulisan yang bersifat prosa
atau wacana lisan yang berbentuk pidato atau ceramah, untuk mempengaruhi sikap
dan perasaan orang.

B. RETORIKA ZAMAN ROMAWI

Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komperhensif. Pada satu sisi,
retorika telah memperoleh dasar teoritis yang kokoh. Namun, pada sisi lain,
uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika yang
datang sesudahnya. Orang-orang romawi selama 200 tahun setelah de arte rhetorica
tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.

Buku Ad Herrenium, yang di tulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM,
hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani.
Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-segi praktisnya saja. Walaupun
begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika, tetapi
juga kaya dengan orator-oratol ulung, seperti Antonius, Cerassus, Rufus, Hortensius.
Yang disebut terkhir tekenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis
berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.

Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena di besarkan


dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang memberinya kehormatan dan
uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendikiawan. Pernah hanya dalam dua
tahun (45/44SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika.
Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil
gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang berpidato
adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-
betul orator yang sangat berpengaruh.

Caesar, penguasa Romawi yang di takuti, memuji Cicero, “Anda telah


menemukan semua khazanah retorika, dan andalah orang pertama yang
menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh kemenangan yang lebih disukai
dari kemenangan para jenderal. Karena sesungguhnya lebih agung memperluas
batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas bats-batas kerajaan Romawi”.

Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will Durant
menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:

Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu


sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot;
dalam menyentuh kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan;
dalam mengungkap secara keras kelemahan lawan – yang sebenarnya yang
diberitakan, yang tersembunyi atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian
secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam
memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab; dalam menghimpun
serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya seperti
cambukan dan yang badainya membahana….

Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui


bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit.
Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui penanya, bahasa mengair dengan deras
tetapi indah.

Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan sekolah retorika.


Dia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari
pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak.
Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quintillianus, yang
dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria:

Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan


orator harus dimulai sebelum dia lahir: ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik,
sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak nafas yang
ia hirup pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya
dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik supaya ia mempunyai
telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan
dan ritme; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan;
gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk membentuk
gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran-pemikiran
besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan
filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan
orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak
dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapan di tolak.
Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin.

Sebuah saran yang berlebihan. Tetapi kita diingatkan lagi pada Cicero. The
good man speaks well.

Sejarah lain mengenai retorika zaman Romawi ialah Seorang Yunani Livius
Andronicus (284-204 SM) yang dibawa ke Roma sebagai budak belian mengajar
retorika kepada tuannya, dan sejak itu seni pidato mulai menarik perhatian orang-
orang Romawi. Ahli-ahli retorika yang terkenal zaman Romawi adalah Appius
Claudius Caecus (300 SM), Cato de Censoris, Ser. Sulpicius Galba, Caius Graechus,
Marcus Antonius, dan Licius Licinius Crassus. Walaupun terdapat ahli-ahli retorika
Romawi, pengajar-pengajar retorika yang formal adalah orang-orang Yunani.

Dua orang guru retorika Romawi yang terbaik dan terkenal adalah Cicero dan
Quintilianus. Keduanya dididik menurut model Yunani. Cicero menghasilkan tidak
kurang dari tiga karya untuk menunjang teorinya, yaitu : De Oratore, Brutus, dan
Orator. M. Tullius Cicero yang hidup antara tahun 106-43 SM, mengajarkan seni
pidato menurut model Yunani. Dalam bukunya De Oratore dikemukakan prinsip-
prinsip oratori yang dibagi atas tiga bagian yaitu :

1. Studi yang diperlukan seorang orator


2. Penggarapan topic pidato
3. Bentuk dan penyajian sebuah pidato.

Karya terkhir yang terkenal dari zaman ini adalah Institution Oratoria
karangan M. Fabius Quintilianus (C. 95 AD) yang masih bertahan mutunya.
Quintilianus berusaha keras untuk mengubah selera zaman itu, yang sudah beralih ke
langgam Asia, karena perhatian yang khusus dan latihan yang terus-terus menerus
dalam pusat-pusat pendidikan mengenai subjek khayalan – suasoriae (pidato ususl,
persuasi), dan controversiae (pidato perdebatan). Dialogus De Ortorius yang
dianggap ditulis oleh Tacitus adalah protes yang lain mengenai mode-mode baru
tersebut.

Zaman Hellenis dikenal di Roma karena pengaruhnya atas seni pidato Latin.
Jasa yang terpenting dari retorika Romawi adalah melanjutkan tradisi Yunani Abad
Pertengahan Eropa. Sejak abad ke dua sebelum masehi, Republik Romawi merasa
tertarik akan kehlian dan pengalaman guru-guru Yunani. Teori retorika Yunani
bukan hanya diungkapkan kembali dalam buku-buku pegangan seperti buku anonim
Rhetorica Ad Herennium (menurut penelitian terakhr ditulis oleh Cornificius) atau
buku Cicero De Invemtione, tetapi juga diusahakan untuk mengadakan penerapan.
Dengan cara itu dihasilkan pula pidato-pidato terbaik yang menyamai karya terbaik
dari orator Athena. Pada waktu yang sama, karier dan kejenian Cicero menyebabkan
study retorika memperoleh suatu martabat terhormat yang dulunya kurang diasakan.
Dalam pidatonya yang berisi tuduhan terhadap Catalina, Cicero memperlihatkan
kefasihannya yang gemilang seolah-olah menghasilkan tenaga yang luar biasa dalam
menghadapi masalah-masalah besar. Masa sesudah Cicero tetap mempertahankn
tujuan pengajaran retorika, yang dihubungkan dengan persoalan sopan santun dan
kelanggengan yang telah diagungkannya.

Dalam kekaisaran Romawi, pidato pengadilan dan politik secara pelahan-


lahan merosot dalam sejarah perkembangannya. Seperti pengalaman yang diperoleh
sebelumnya dalam zaman Hellenis, penguasa-penguasa Romawi perlahan-lahan
membungkam perdebatan politik dan membatasi ruang lingkup pengadilan. Tetapi
penulis lainnya yang bergerak diluar bidang retorika serta anggota masyarakat
lainnya yang tinggi kedudukannya sudh lama mempergunakan semua upaya retorika,
yang sudah dikenal hingga waktu itu.

Abad pertama masehi masih merupakan abad peralihan, dimana retorika


berjalan seiring kesusatraan. Meskipun ada beberapa penonjolan, namun karya
Quintilianus Institution Oratoria (c. 95 AD) masih mengikuti zaman sebelumnya
dengan memberi suatu uraian yang lengkap mengenai unsur-unsur yang ada dalam
seni retorika.

Anda mungkin juga menyukai