Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Objek
Akhlak”. Penyusunan makalah ini merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah
Pendidikan Agama Islam.
Dalam penyusunan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan
petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tugas utama dari Nabi Muhammad Saw. Adalah menyempurnakan
akhlak mulia di bumi ini. Mencakup semua bentuk sikap dan perbuatan yang
terpuji di kalangan orang-orang (masyarakat)yang bertaqwa.
Akhlak mulia merupakan akhlak yang berlaku dan berlangsung di atas
jalur al-qur’an dan pembuatan Nabi Muhammad Saw. Dan Allah
swt menetapkan akhlak mulia bagi Nabi Muhammad Saw. dalam sikap dan
perbuatan. Seperti di dalam Al-qur’an surat Al-Qalam ayat 4 :
“Dan sesungguhnya engkau muhammad mempunyai akhlak yang mulia”.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri,
dimana manusia melihat atau merasakan baik atau buruknya suatu sikap yang
ia perbuat. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan
tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan.
Dengan demikian setiap muslim diwajibkan untuk memelihara norma-
norma (agama) di masyarakat terutama di dalam pergaulan sehari-hari, baik
keluarga, kerabat, tetangga dan lingkungan kemasyarakatan.
Berdasarkan latar belakang tersebut makalah ini akan membahas
tentang akhlak kepada Allah dan manusia.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi fokus permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah pengertian dari Akhlak dan ciri-cirinya?
2. Apakah pengertian dari akhlak kepada Allah dan manusia?
3. Mengapa kita harus berakhlak kepada Allah dan manusia?
4. Apakah macam – macam dari akhlak kepada Allah dan manusia?
5. Apakah contoh dari Akhlak kepada Allah dan manusia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian dan ciri-ciri dari akhlak
2. Mengetahui pengertian dari masing-masing akhlak kepada Allah swt. dan
manusia.
3. Mengetahui alasan mengapa kita harus berakhlak kepada Allah swt. dan
manusia.
4. Mengetahui macam-macam dari akhlak kepada Allah swt. dan manusia.
5. Mengetahui contoh dari masing-masing akhlak kepada Allah dan mausia.
BAB II
PEMBAHASAN
Setiap muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam
kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala
isinya, Allah adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah
pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain
sebagainya. Sehingga manakala hal seperti ini mengakar dalam diri setiap muslim,
maka akan terimplementasikan dalam realitabahwa Allah lah yang pertama kali
harus dijadikan prioritas dalam berakhlak. Jika kita perhatikan, akhlak terhadap
Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang
ada dimuka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah,
maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian
pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini
merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang
lain.
Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan
kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji;
demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan
mampu menjangkau hakikat-Nya.(2)
Itulah sebabnya mengapa Al-Quran mengajarkan kepada manusia
untuk memuji-Nya, Wa qul al-hamdulillah (Katakanlah "al-hamdulillah").
Dalam Al-Quran surat An-Nam1 (27): 93, secara tegas dinyatakan-Nya
bahwa,
Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan
kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan
Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan."
Makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa
kesempurnaan dan
keterpujian Allah Swt. Itu sebabnya mereka sebelum memuji-Nya
bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jangan
sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan kebesaran-
Nya. Bertitik tolak dari uraian mengenai kesempurnaan Allah, tidak heran
kalau Al-Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya,
karena segala yang bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna.
Tidak sedikit ayat Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk
menjadikan Allah sebagai "wakil". Misalnya firman-Nya dalam QS Al-
Muzzammil (73): 9: (Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan
Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung).
Kata "wakil" bisa diterjemahkan sebagai "pelindung". Kata
tersebut pada hakikatnya terambil dari kata "wakkala-yuwakkilu" yang berarti
mewakilkan. Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu
persoalan), maka ia telah menjadikan orang yang mewakili sebagai
dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut,sehingga sang wakil melaksan
akan apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya.
Menjadikan Allah sebagai wakil sesuai dengan makna yang disebutkan di at
as berarti menyerahkan segala persoalan kepada-
Nya. Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak manusia ya
ng menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya.
Allah Swt.,yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah Yang
Mahakuasa, Maha Mengetahui, Maha bijaksana dan semua maha
yang mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki keterbatasan pada
segala hal. Jika demikian "perwakilan"-Nya pun berbeda dengan perwakilan
manusia.
Perbedaan kedua adalah dalam keterlibatan orang yang mewakilkan.
Jika Anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu, Anda telah
menugaskannya untuk melaksanakan hal tertentu. Anda tidak perlu melibatkan
diri, karena hal itu telah dikerjakan oleh sang wakil. Ketika menjadikan Allah
Swt. sebagai wakil, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam
batas kemampuannya.
Perintah bertawakal kepada Allah --atau perintah menjadikan-
Nya sebagai wakil terulang dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak
sembilan kali, dan dalam bentuk jamak(tawakkalu) sebanyak dua kali. Semua
nya didahului oleh perintah melakukan sesuatu, lantas disusul dengan perintah
bertawakal. perhatikan misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat 61: Dan jika
mereka condong kepada perdamaian, condonglah kepadanya, dan bertawakallah
kepada Allah.
a. Kafir Dzimmy, yaitu orang kafir yang membayar jizyah (upeti) yang dipungut
tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin.
Kafir seperti ini tidak boleh "diganggu" selama ia masih menaati peraturan-
peraturan yang dikenakan kepada mereka. Banyak dalil yang menunjukkan hal
tersebut diantaranya firman Allah Al-‘Aziz Al-Hakim yang artinya :
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang
benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan shogirun (hina, rendah, patuh)”. (QS.At-Taubah:29).
Dan dalam hadits Buraidah riwayat Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi
wa salllam bersabda yang artinya:
Dan dalam hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah riwayat Bukhary beliau berkata:
“Kami diperintah oleh Rasul Rabb kami shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
untuk memerangi kalian sampai kalian menyembah Allah satu-satunya atau kalian
membayar Jizyah”.
b. Kafir Mu’ahad, yaitu orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara
mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah
disepakati. Dan kafir seperti ini juga tidak boleh diganggu sepanjang mereka
menjalankan kesepakatan yang telah dibuat. Allah Jalla Dzikruhu berfirman yang
artinya :
“Maka selama mereka berlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah kalian
berlaku istiqomah (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 7).
Dan dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan:
“Dzimmah (janji, jaminan keamanan dan tanggung jawab) kaum muslimin itu
satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun)”. [HR.Bukhary-
Muslim].
“Wahai Rasulullah anak ibuku (yaitu ‘Ali bin Abi Tholib-pen.) menyangka
bahwa ia boleh membunuh orang yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan bin
Hubairah. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam bersabda :
“Kami telah lindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani`”.
5. Munafiq(An-Nifaq)
Ialah suatu sikap yang menampilkan dirinya bertentangan dengan kemauan
hatinya.
6. Riya’ (Ar-Riya’)
ialah suatu sikap yang selalu menunjuk-nunjukkan perbuatan baiknya yang di
lakukannya. Semata-mata bukan karna Allah melainkan hanya ingin di puji oleh
semua orang.
7. Boros atau berfoya-foya (Al-Israf)
ialah perbuatan yang melampaui batas-batas ketentuan agama.
8. Rakus atau Tamak (Al-hirsu atau Al-Tama’u)
Ialah suatu sikap yang tidak pernah merasa cukup, sehingga selalu ingin
menambah apa yang seharusnya ia miliki tampa memperhatikan hak-hak orang
lain.
Setiap muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam
kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala
isinya, Allah adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah
pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain
sebagainya. Sehingga manakala hal seperti ini mengakar dalam diri setiap muslim,
maka akan terimplementasikan dalam realitabahwa Allah lah yang pertama kali
harus dijadikan prioritas dalam berakhlak. Jika kita perhatikan, akhlak terhadap
Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang
ada dimuka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah,
maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian
pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini
merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang
lain.
Pengertian Akhlak kepada sesama manusia berarti kita harus berbuat baik
kepada sesama manusia tanpa memandang kepada siapa orang tersebut, sehingga
kita mampu hidup dalam masyarakat yang aman dan tenteram.
Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan
perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya
dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti
badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai
kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya,
tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada
yang disakiti hatinya itu. “Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik
dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan
sipenerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”. (QS al-Baqarah [2]: 263).
Di sisi lain al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya
didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad Saw. misalnya dinyatakan sebagai
manusia seperti manusia yang lain, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah
Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak
memperoleh penghormatan melebihi manusia lain. Karena itu, al-Quran berpesan
kepada orang-orang Mukmin: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata
kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu
terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan
kamu tidak menyadari”.(QS.al-Hujurât[49]:2).
Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati. Al-Quran
juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi). “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang
demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat”. (QS.an-Nûr[24]:27).
Setiap ucapan haruslah ucapan yang baik, al-Quran memerintahkan, “Dan
(ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu
menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat,
anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik
kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak
memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu
berpaling”.(Qur’an-surat:al-Baqarah[2]:83).
Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan
kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar, “Hai orang-
orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan
yang-benar”,(QS.al-Ahzâb[33]:70).
Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini hendaknya
disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan
kesalahan. Karena itu, ketika Misthah seorang yang selalu dibantu oleh Abu
Bakar r.a. menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar dan
banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah. Tetapi al-
Quran turun menyatakan: “Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan
kepada kaum kerabat (nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah
dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta berlapang dada. Apakah
kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (QS.an-Nûr[24]:22).
Jika ada orang yang digelari gentleman – yakni yang memiliki harga diri,
berucap benar, dan bersikap lemah lembut (terutama kepada wanita). seorang
Muslim yang mengikuti petunjuk-petunjuk akhlak al-Quran tidak hanya pantas
bergelar demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang demikian dalam bahasa al-
Quran disebut al-muhsin.
b. Alasan Mengapa Sesama Manusia Harus Saling Berakhlak
8. Tawaduk
Tawaduk berarti rendah hati. Orang yang tawaduk berarti orang yang
merendahkan diri dalam pergaulan. Lawan kata tawaduk adalah takabur.
9. Tasamuh
Artinya sikap tenggang rasa, saling menghormati dan saling menghargai sesama
manusia.
10. Ta’awun
Ta’awun berarti tolong menolong, gotong royong, bantu membantu dengan
sesama manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akhlak merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia, karena akhlak
mencakup segala tingkah laku, tabiat, karakter manusia yang baik maupun yang
buruk dalam hubungannya dengan Allah meupun sesama manusia.
B. Saran
Dengan terselesaikannya makalah ini, baik pembaca maupun penyusun dapat
mendapatkan pelajaran dan menerapkan akhlak yang baik itu dalam
kehidupannya, karena kita merupakan golongan kaum Rasulullah Saw. yang
senantiasa selalu belajar untuk memperbaiki akhlak.