Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Objek
Akhlak”. Penyusunan makalah ini merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah
Pendidikan Agama Islam.
Dalam penyusunan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan
petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.

Watampone, 1 Oktober 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tugas utama dari Nabi Muhammad Saw. Adalah menyempurnakan
akhlak mulia di bumi ini. Mencakup semua bentuk sikap dan perbuatan yang
terpuji di kalangan orang-orang (masyarakat)yang bertaqwa.
Akhlak mulia merupakan akhlak yang berlaku dan berlangsung di atas
jalur al-qur’an dan pembuatan Nabi Muhammad Saw. Dan Allah
swt menetapkan akhlak mulia bagi Nabi Muhammad Saw. dalam sikap dan
perbuatan. Seperti di dalam Al-qur’an surat Al-Qalam ayat 4 :
“Dan sesungguhnya engkau muhammad mempunyai akhlak yang mulia”.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri,
dimana manusia melihat atau merasakan baik atau buruknya suatu sikap yang
ia perbuat. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan
tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan.
Dengan demikian setiap muslim diwajibkan untuk memelihara norma-
norma (agama) di masyarakat terutama di dalam pergaulan sehari-hari, baik
keluarga, kerabat, tetangga dan lingkungan kemasyarakatan.
Berdasarkan latar belakang tersebut makalah ini akan membahas
tentang akhlak kepada Allah dan manusia.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi fokus permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah pengertian dari Akhlak dan ciri-cirinya?
2. Apakah pengertian dari akhlak kepada Allah dan manusia?
3. Mengapa kita harus berakhlak kepada Allah dan manusia?
4. Apakah macam – macam dari akhlak kepada Allah dan manusia?
5. Apakah contoh dari Akhlak kepada Allah dan manusia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian dan ciri-ciri dari akhlak
2. Mengetahui pengertian dari masing-masing akhlak kepada Allah swt. dan
manusia.
3. Mengetahui alasan mengapa kita harus berakhlak kepada Allah swt. dan
manusia.
4. Mengetahui macam-macam dari akhlak kepada Allah swt. dan manusia.
5. Mengetahui contoh dari masing-masing akhlak kepada Allah dan mausia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Akhlak Kepada Allah SWT.

Setiap muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam
kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala
isinya, Allah adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah
pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain
sebagainya. Sehingga manakala hal seperti ini mengakar dalam diri setiap muslim,
maka akan terimplementasikan dalam realitabahwa Allah lah yang pertama kali
harus dijadikan prioritas dalam berakhlak. Jika kita perhatikan, akhlak terhadap
Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang
ada dimuka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah,
maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian
pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini
merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang
lain.
Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan
kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji;
demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan
mampu menjangkau hakikat-Nya.(2)
Itulah sebabnya mengapa Al-Quran mengajarkan kepada manusia
untuk memuji-Nya, Wa qul al-hamdulillah (Katakanlah "al-hamdulillah").
Dalam Al-Quran surat An-Nam1 (27): 93, secara tegas dinyatakan-Nya
bahwa,
Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan
kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan
Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan."
Makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa
kesempurnaan dan
keterpujian Allah Swt. Itu sebabnya mereka sebelum memuji-Nya
bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jangan
sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan kebesaran-
Nya. Bertitik tolak dari uraian mengenai kesempurnaan Allah, tidak heran
kalau Al-Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya,
karena segala yang bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna.
Tidak sedikit ayat Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk
menjadikan Allah sebagai "wakil". Misalnya firman-Nya dalam QS Al-
Muzzammil (73): 9: (Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan
Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung).
Kata "wakil" bisa diterjemahkan sebagai "pelindung". Kata
tersebut pada hakikatnya terambil dari kata "wakkala-yuwakkilu" yang berarti
mewakilkan. Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu
persoalan), maka ia telah menjadikan orang yang mewakili sebagai
dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut,sehingga sang wakil melaksan
akan apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya.
Menjadikan Allah sebagai wakil sesuai dengan makna yang disebutkan di at
as berarti menyerahkan segala persoalan kepada-
Nya. Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak manusia ya
ng menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya.
Allah Swt.,yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah Yang
Mahakuasa, Maha Mengetahui, Maha bijaksana dan semua maha
yang mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki keterbatasan pada
segala hal. Jika demikian "perwakilan"-Nya pun berbeda dengan perwakilan
manusia.
Perbedaan kedua adalah dalam keterlibatan orang yang mewakilkan.
Jika Anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu, Anda telah
menugaskannya untuk melaksanakan hal tertentu. Anda tidak perlu melibatkan
diri, karena hal itu telah dikerjakan oleh sang wakil. Ketika menjadikan Allah
Swt. sebagai wakil, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam
batas kemampuannya.
Perintah bertawakal kepada Allah --atau perintah menjadikan-
Nya sebagai wakil terulang dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak
sembilan kali, dan dalam bentuk jamak(tawakkalu) sebanyak dua kali. Semua
nya didahului oleh perintah melakukan sesuatu, lantas disusul dengan perintah
bertawakal. perhatikan misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat 61: Dan jika
mereka condong kepada perdamaian, condonglah kepadanya, dan bertawakallah
kepada Allah.

a. Pengertian Akhlak Kepada Allah SWT.


Menurut Kahar Masyhur akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai
sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk,
kepada Tuhan sebagai khalik.
Sehingga akhlak kepada Allah dapat diartikan Segala sikap atau perbuatan
manusia yang dilakukan tanpa dengan berfikir lagi (spontan) yang memang
seharusnya ada pada diri manusia (sebagai hamba) kepada Allah SWT. (sebagai
Kholiq).
Kita sebagai umat islam memang selayaknya harus berakhlak baik kepada
Allah karena Allah lah yang telah menyempurnakan kita sebagai manusia yang
sempurna. Untuk itu akhlak kepada Allah itu harus yang baik-baik jangan akhlak
yang buruk. Seperti kalau kita sedang diberi nikmat, kita harus bersyukur kepada
Allah.
Menurut pendapat Quraish Shihab bahwa titik tolak akhlak kepada Allah
adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia
memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, jangankan manusia, malaikat
pun tidak akan mampu menjangkaunya.
Seorang yang berakhlak luhur adalah seorang yang mampu berakhlak baik
terhadap Allah ta’ala dan sesamanya.

b. Alasan Mengapa Seorang Muslim Harus Berakhlak Kepada Allah


Seorang muslim yang baik itu memang diharuskan berakhlak yang baik
kepada Allah SWT. Karena kita sebagai manusia itu diciptakan atas kehendak-
Nya, sehingga alangkah baiknya kita bersikap santun (berakhlak) kepada sang
Kholliq sebagai rasa syukrur kita.
Menurut Kahar Mashyur , Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa
manusia perlu beakhlak kepada Allah. Yaitu:
1. Allah-lah yang mencipatakan manusia. Dia yang menciptakan manusia dari air
yang ditumpahkan keluar dari tulang punggung dan tulang rusuk hal ini sebagai
mana di firmankan oleh Allah dalam surat at-Thariq ayat 5-7. sebagai berikut,
yang artinya : “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia
diciptakan?. Dia tercipta dari air yang terpancar. yang terpancar dari tulang
sulbi dan tulang dada. (at-Tariq:5-7)
2. Allah-lah yang telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa
pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari, disamping anggota
badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia. Firman Allah dalam surat, an-
Nahl ayat, 78.
yang Artinya: “Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. ( Q.S an-Nahal : 78)
3. Allah-lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan
bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan lainnya. Firman Allah dalam
surat al-Jatsiyah ayat 12-13. yang Artinya “Allah-lah yang menundukkan lautan
untuk kamu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya,
supaya kamu dapat mencari sebagian dari karunia-Nya dan mudah-mudahan
kamu bersyukur. “Dan Dia menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kamu yang
berpikir.(Q.S al-Jatsiyah :12-13 )
4. Allah-lah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan,
daratan dan lautan. Firman Allah dalam surat Al-Israa’ ayat, 70. yang
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak cucu Adam, Kami
angkut mereka dari daratan dan lautan, Kami beri mereka dari rizki yang baik-
baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.S al-Israa : 70).

c. Akhlak Terpuji Kepada Allah.


Yang Meliputi Antara Lain;
1. Taqwa kepada Allah SWT.
Definisi taqwa adalah memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala
Perintahnya dan menjauhi segala larangannya.
2. Cinta kepada Allah SWT.
Definisi cinta yaitu kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang
menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan
penuh semangat dan rasa kasih sayang.
3. Bertaubat (Al-taubah).
Bertaubat ialah suatu sikap yang menyesali perbuatan buruk yang pernah di
lakukan dan berusaha menjauhinya, beserta melakukan perbuatan baik.
4. Bersabar (Al-sabru)
Bersabar ialah suatu sikap yang betah atau dapat menahan diri pada kesulitan
yang dihadapinya. Maka sabar yang dimaksud adalah sikap yang diawali dengan
ikhtiar,lalu diakhiri dengan sikap menerima dan ikhlas bila seorang dilanda
cobaan dari Allah SWT.
5. Senantiasa mengingat Allah SWT.
Salah satu akhlak yang baik kepada Allah yaitu kita selalu mengingat Allah dalam
keadaan apapun, baik dalam keadaan susah maupun senang.
6. Memikirkan keindahan ciptaan Allah SWT.
Yaitu kita dianjurkan untuk melakukan Tadzabur Alam, memikirkan tentang
bagaimana kita diciptakan, dan lain-lain yang berkaitan dengan ciptaan Allah
yang lain, supaya kita dapat merasakan keagungan Allah SWT. Sehingga kita
dapat berakhlak yang baik kepada Allah.
7. Muraqobah
Dalam hal ini, Muraqabah diartikan bahwa kita itu selalu berada dalam
pengawasan Allah SWT.
8. Bersyukur (As-shukru)
Syukur yaitu memuji sang pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya.
Syukurny seorang h amba berkisar atas tiga hal, yang jika ketigany tidak
berkumpul maka tidaklah dinamakann syukur. Tiga hal itu yaitu mengakui nikmat
dalam batin, membicaraknnya secara lahir, dan menjadikannya sebagai sarana taat
kepada Allah.
9. Bertawakkal (Al-tawakkalu).
ialah menyerahkan segala urusan kepada allah setelah berbuatse maksimal
mungkin,untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkannya.
10. Ikhlas (Al-ikhlas)
Ikhlas ialah menjauhkan diri dari riya’ (menunjuk-nunjukkan kepada orang lain)
ketika mengerjakan amal baik. Maka amalan seseorang dapat dikatakan jernih,bila
dikatakan dengan ikhlas.
11. Raja’ (Al-raja’)
Raja’ ialah sikap jiwa yang sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu oleh allah
swt setelah melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang
diharapkannya. Oleh karena itu bila tidak mengerjakan penyebabnya, lalu
menunggu sesuatu yang diharapkan, maka hal itu disebut”tamani”atau hayalan.
12. Bersikap takut (Al-khauf)
Secara bahasa khauf berasal dari kata khafa, yakhafu, khaufan yang artinya takut.
Takut yang dimaksud di sini adalah takut kepada Allah SWT. Khauf adalah takut
kepada Allah SWT. dengan mempunyai perasaan khawatir akan adzab Allah yang
akan ditimpahkan kepada kita. Cara untuk dekat kepada Allah yaitu mengerjakan
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
13. Merealisasikan ibadah kepada-Nya.
Akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah
SWTadalah merealisasikan segala ibadah kepada Allah SWT. Baik ibadah yang
bersifat mahdhah ataupun ibadah yang ghairu mahdhah. Karena padahakekatnya,
seluruh aktiivitas sehari-hari adalah ibadah kepada Allah SWT.Dalam Al-Qur’an
Allah berberfirman (QS. 51 : 56)
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku”

d. Akhlak Tercela Kepada Allah.


Yang meliputi antara lain:
1. Takabbur (Al-kibru)
Ialah suatu sikap yang menyombongkan diri, sehingga tidak mau mengakui
kekuasaan Allah d alam ini, termasuk mengingkari nikmat Allah yang berada
pada dirinya. dengan menganggap bahwa ada suatu makhluk yang menyamai
kekeuasaan –Nya.
2. Murtad (Ar-riddah)
Ialah sikap yang meninggalkan atau keluar dari agama islam, untuk menjadi
Musyrik (Al-Isyrak); ialah suatu sikap yang memper sekutukan Allah dan
makhluknya.
3. kafir.
Menurut syariat Islam, manusia kāfir yaitu: Mengingkari Allah sebagai satu-
satunya yang berhak disembah dan mengingkari Rasul Muhammad SAW sebagai
utusan-Nya.
Dalam syari’at Islam, yang dimaksud dengan orang kafir sebenarnya dibedakan
menjadi empat kelompok:

a. Kafir Dzimmy, yaitu orang kafir yang membayar jizyah (upeti) yang dipungut
tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin.
Kafir seperti ini tidak boleh "diganggu" selama ia masih menaati peraturan-
peraturan yang dikenakan kepada mereka. Banyak dalil yang menunjukkan hal
tersebut diantaranya firman Allah Al-‘Aziz Al-Hakim yang artinya :

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang
benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan shogirun (hina, rendah, patuh)”. (QS.At-Taubah:29).

Dan dalam hadits Buraidah riwayat Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi
wa salllam bersabda yang artinya:

“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam apabila beliau


mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau memberikan wasiat khusus untuknya
supaya bertakwa kepada Allah dan (wasiat pada) orang-orang yang bersamanya
dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata : “Berperanglah kalian di jalan Allah
dengan nama Allah, bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah
kalian dan jangan mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati
janji dan janganlah melakukan tamtsil (mencincang atau merusak mayat) dan
janganlah membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu
dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang
mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah
(tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila mereka
menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka,
apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila
mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap
mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah
kemudian perangi mereka”.

Dan dalam hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah riwayat Bukhary beliau berkata:
“Kami diperintah oleh Rasul Rabb kami shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
untuk memerangi kalian sampai kalian menyembah Allah satu-satunya atau kalian
membayar Jizyah”.

b. Kafir Mu’ahad, yaitu orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara
mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah
disepakati. Dan kafir seperti ini juga tidak boleh diganggu sepanjang mereka
menjalankan kesepakatan yang telah dibuat. Allah Jalla Dzikruhu berfirman yang
artinya :
“Maka selama mereka berlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah kalian
berlaku istiqomah (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 7).

dan Allah Jallat ‘Azhomatuhu menegaskan dalam firman-Nya:


“Jika mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka
mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran itu,
karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang
janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (QS.At-Taubah:12). Dan Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadits‘Abdullah bin‘Amr
riwayat Bukhary:
“Siapa yang membunuh kafir Mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan
sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”.
c. Kafir Musta’man, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum
muslimin atau sebagian kaum muslimin. Kafir jenis ini juga tidak boleh
"diganggu" sepanjang masih berada dalam jaminan keamanan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya:


“Dan jika seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian
antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka
kaum yang tidak mengetahui”. (QS. At-Taubah:6).

Dan dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan:
“Dzimmah (janji, jaminan keamanan dan tanggung jawab) kaum muslimin itu
satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun)”. [HR.Bukhary-
Muslim].

Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah : “Yang diinginkan dengan Dzimmah di


sini adalah Aman (jaminam keamanan). Maknanya bahwa Aman kaum muslimin
kepada orang kafir itu adalah sah (diakui), maka siapa yang diberikan kepadanya
Aman dari seorang muslim maka haram atas (muslim) yang lainnya
mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam Amannya”.

Dan dalam hadits Ummu Hani` riwayat Bukhary beliau berkata:

“Wahai Rasulullah anak ibuku (yaitu ‘Ali bin Abi Tholib-pen.) menyangka
bahwa ia boleh membunuh orang yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan bin
Hubairah. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam bersabda :
“Kami telah lindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani`”.

d. Kafir Harby, yaitu kafir yang secara terang-terangan (atau sembunyi-sembunyi)


memusuhi Islam, melakukan kejahatan-kejahatan melawan Islam dan tindakan-
tindakan lain yang patut dianggap "menyerang" Islam. Jika kepada 3 kelompok
kafir di atas Allah memerintahkan setiap Muslim untuk senantiasa menunjukkan
rasa hormat, bahkan ikut melindungi kerselamatan mereka, maka kafir jenis yang
terakhir inilah yang wajib diperangi menurut ketentuan yang telah digariskan
dalam syari’at Islam.

5. Munafiq(An-Nifaq)
Ialah suatu sikap yang menampilkan dirinya bertentangan dengan kemauan
hatinya.
6. Riya’ (Ar-Riya’)
ialah suatu sikap yang selalu menunjuk-nunjukkan perbuatan baiknya yang di
lakukannya. Semata-mata bukan karna Allah melainkan hanya ingin di puji oleh
semua orang.
7. Boros atau berfoya-foya (Al-Israf)
ialah perbuatan yang melampaui batas-batas ketentuan agama.
8. Rakus atau Tamak (Al-hirsu atau Al-Tama’u)
Ialah suatu sikap yang tidak pernah merasa cukup, sehingga selalu ingin
menambah apa yang seharusnya ia miliki tampa memperhatikan hak-hak orang
lain.

Setiap muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam
kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala
isinya, Allah adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah
pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain
sebagainya. Sehingga manakala hal seperti ini mengakar dalam diri setiap muslim,
maka akan terimplementasikan dalam realitabahwa Allah lah yang pertama kali
harus dijadikan prioritas dalam berakhlak. Jika kita perhatikan, akhlak terhadap
Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang
ada dimuka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah,
maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian
pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini
merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang
lain.

E. Akhlak Kepada Manusia

a. Pengertian Akhlak kepada sesama manusia

Pengertian Akhlak kepada sesama manusia berarti kita harus berbuat baik
kepada sesama manusia tanpa memandang kepada siapa orang tersebut, sehingga
kita mampu hidup dalam masyarakat yang aman dan tenteram.
Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan
perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya
dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti
badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai
kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya,
tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada
yang disakiti hatinya itu. “Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik
dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan
sipenerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”. (QS al-Baqarah [2]: 263).
Di sisi lain al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya
didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad Saw. misalnya dinyatakan sebagai
manusia seperti manusia yang lain, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah
Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak
memperoleh penghormatan melebihi manusia lain. Karena itu, al-Quran berpesan
kepada orang-orang Mukmin: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata
kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu
terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan
kamu tidak menyadari”.(QS.al-Hujurât[49]:2).
Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati. Al-Quran
juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi). “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang
demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat”. (QS.an-Nûr[24]:27).
Setiap ucapan haruslah ucapan yang baik, al-Quran memerintahkan, “Dan
(ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu
menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat,
anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik
kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak
memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu
berpaling”.(Qur’an-surat:al-Baqarah[2]:83).
Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan
kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar, “Hai orang-
orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan
yang-benar”,(QS.al-Ahzâb[33]:70).
Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini hendaknya
disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan
kesalahan. Karena itu, ketika Misthah seorang yang selalu dibantu oleh Abu
Bakar r.a. menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar dan
banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah. Tetapi al-
Quran turun menyatakan: “Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan
kepada kaum kerabat (nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah
dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta berlapang dada. Apakah
kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (QS.an-Nûr[24]:22).
Jika ada orang yang digelari gentleman – yakni yang memiliki harga diri,
berucap benar, dan bersikap lemah lembut (terutama kepada wanita). seorang
Muslim yang mengikuti petunjuk-petunjuk akhlak al-Quran tidak hanya pantas
bergelar demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang demikian dalam bahasa al-
Quran disebut al-muhsin.
b. Alasan Mengapa Sesama Manusia Harus Saling Berakhlak

Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama


lain, dalam bermasyarakat kita perlu saling menghargai, bagaimana cara bersikap
kepada orang yang lebih tua maupun muda. Ini merupakan alasan mengapa akhlak
sangat penting bagi sesama manusia, karena dengan kita berakhlak, maka kita
akan dapat saling menghargai satu sama lain.

c. Akhlak Terpuji kepada Manusia (Mahmudah)

Yang meliputi antar lain:


1. Belas kasih atau sayang (al-shafaqah)
Ialah sikap jiwa selalu ingin berbuat baik dan menyantuni orang lain.
2. Rasa persaudaraan (al-ikha)
Ialah sikap jiwa yang selalu ingin berhubungan baik dan bersatu dengan orang
lian, karena ada keteriakan batin dengannya.
3. Memberi nasehat (An- Nasihah)
Ialah suatu upaya untuk memberi patunjuk-petunjuk yang baik kepada orang lain
dengan menggunakan perkataan; baik ketika orang di nasehati telah melakukan
hal-hal yang buruk,maupun belum.
4. Menahan amarah (kazmu al- ghaizi)
Ialah upaya menahan emosi, agar tidak dikuasai oleh perasaan marah terhadap
orang lain.
5. Sopan-santun (al-hilmu)
Ialah sikap jiwa yang lemah-lembut terhadap orang lain, sehingga dalam
perkataan dan pembuatannya selalu mengandung adap-kesopanan yang mulia.
6. Suka memaafkan (al- `afwu)
Ialah sikap dan perilaku seseorang yang suka memaafkan kesalahan orang lain
yang pernah di perbuat terhadapnya.
7. Husnuzan
Berasal dari lafal husnun (baik) dan Adhamu (Prasangka). Husnuzan berarti
prasangka, perkiraan, dugaan baik. Lawan kata husnuzan adalah suuzan yakni
berprasangka buruk terhadap seseorang . Hukum kepada Allah dan rasul nya
wajib, wujud husnuzan kepada Allah dan Rasul-Nya antara lain:
o Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua perintah Allah dan Rasul Nya Adalah
untuk kebaikan manusia.
o Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua larangan agama pasti berakibat
buruk.

Hukum husnuzan kepada manusia mubah atau jaiz (boleh dilakukan).


Husnuzan kepada sesama manusia berarti menaruh kepercayaan bahwa dia telah
berbuat suatu kebaikan. Husnuzan berdampak positif berdampak positif baik bagi
pelakunya sendiri maupun orang lain.

8. Tawaduk
Tawaduk berarti rendah hati. Orang yang tawaduk berarti orang yang
merendahkan diri dalam pergaulan. Lawan kata tawaduk adalah takabur.
9. Tasamuh
Artinya sikap tenggang rasa, saling menghormati dan saling menghargai sesama
manusia.
10. Ta’awun
Ta’awun berarti tolong menolong, gotong royong, bantu membantu dengan
sesama manusia.

d. Akhlak Tercela Kepada Sesama Manusia (Mazmumah)


Yang meliputi antara lain:
1. Mudah Marah (Al- Ghodab)
Ialah kondisi emosi seseorang yang tidak dapat menahan kesabarannya, sehingga
menonjolkan sikap dan perilaku yang tidak menyenangkan orang lain.
2. Iri Hati Atau dengki ( al-hasadu atau al- hiqdu)
Ialah sikap kejiwaan seseorang yang selalu menginginkan agar kenikmatan dan
kebahagiaan hidup orang lain bisa hilang sama sekali.
3. Mengadu-adu (an-namimah)
Ialah suatu perilaku yang suka memindahkan perkataan seseorang kepada orang
lain,dengan maksud agar hubungan sosial keduanya rusak.
4. Mengupat (al-ghibah)
Ialah suatu perilaku yang suka membicarakan keburukan seseorang kepada orang
lain.
5. Bersikap congkap (al-ash’ar)
Ialah suatu sikap dan perilaku yang menampilkan kesombongan, baik dilihat dari
tingkah lakunya, maupun perkataannya.
6. Sikap kikir (al-bukhlu)
Kikir ialah suatu sikap yang tidak mau memberikan nilai materi dan jasa kepada
orang lain.
7. Berbuat aniaya (al-zulmu)
Berbuat aniaya ialah suatu perbuatan yang merugikan orang lain, baik kerugian
materiil maupun non materiil.
8. Dendam
Dendam ialah keinginan keras yang terkandung dalam hati untuk membalas
kejahatan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Akhlak merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia, karena akhlak
mencakup segala tingkah laku, tabiat, karakter manusia yang baik maupun yang
buruk dalam hubungannya dengan Allah meupun sesama manusia.

B. Saran
Dengan terselesaikannya makalah ini, baik pembaca maupun penyusun dapat
mendapatkan pelajaran dan menerapkan akhlak yang baik itu dalam
kehidupannya, karena kita merupakan golongan kaum Rasulullah Saw. yang
senantiasa selalu belajar untuk memperbaiki akhlak.

Anda mungkin juga menyukai