Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis Apendisitis merupakan peradangan akut pada apendiks


vermiformis. Apendiks vermiformis memiliki panjang yang bervariasi dari 7
sampai 15 cm (Dorland, 2002) dan merupakan penyebab tersering nyeri abdomen
akut dan memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya (Sjamsuhidajat, 2010), sedangkan batasan apendisitis akut
adalah apendisitis yang terjadi secara akut yang memerlukan intervensi bedah
(Dorland, 2002), biasanya memiliki durasi tidak lebih dari 48 jam ditandai dengan
nyeri abdomen kuadran kanan bawah dengan nyeri tekan lokal dan nyeri alih,
nyeri otot yang ada diatasnya, dan hiperestesia kulit (Craig, 2014).

Angka morbiditas apendisitis di Indonesia mencapai 95 per 1000


penduduk dan merupakan yang tertinggi diantara negara-negara ASEAN. Menurut
WHO (World Health Organization), insidensi apendisitis di Asia pada tahun 2004
adalah 4,8% penduduk dari total populasi. Apendisitis menempati urutan keempat
penyakit terbanyak di Indonesia setelah dispepsia, gastritis dan duodenitis, dan
penyakit sistem cerna lain (Depkes RI, 2009).

Apendisitis akut menjadi penyakit dengan intervensi bedah paling sering


dialami oleh anak-anak dan masih menjadi penyebab utama morbiditas pada anak-
anak. Meskipun tindakan apendektomi masih menjadi pengobatan utama,
tatalaksana berubah-ubah dalam beberapa dekade terakhir dengan perkembangan
regimen antibiotik, penegakan diagnosis dengan metode imaging, tatalaksana
nonoperatif pada beberapa kasus, dan penggunaan laparoskopi. Setidaknya 100.000
anak-anak yang dirawat di rumah sakit khusus anak dengan apendisitis setiap
tahunnya. Insidensi apendisitis meningkat dengan bertambahnya umur, dari sekitar
1-2 setiap 10.000 anak usia 0-4 tahun, menjadi 19-28 setiap 10.000 anak kurang
dari 14 tahun setiap tahunnya. Anak-anak memiliki resiko sekitar 7% dan
apendisitis terdiagnosis pada 1-8% anak-anak yang dibawa ke IGD untuk evaluasi
lebih lanjut dengan keluhan nyeri perut (Kliegman, 2011).

1
BAB II
STATUS PENDERITA

2.1 Identitas
Nama : Tn. R
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 21 tahun
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jalan Letjen Yusuf Singadekane, Desa Sida Kersa Kayu
Agung
MRS : 29 Juni 2017
Medical Record : 581420/12001749

2.2Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Sejak ± 3 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri pada perut kanan bawah.
Awalnya nyeri muncul di pusar, nyeri perut berpindah dan menetap di perut
kanan bawah. . Awalnya nyeri muncul di ulu hati kemudian menjalar ke sekitar
pusar, nyeri perut berpindah dan menetap di perut kanan bawah. Nyeri dirasakan
terus menerus sepanjang hari dan bertambah berat serta pindah ke perut kanan
bawah sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluh mual (+), muntah > 3x, demam
(+), nafsu makan berkurang. BAK dan BAB normal, perut kembung (-).

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat mengalami sakit yang sama sebelumnya disangkal
Riwayat gastritis sudah lama
Riwayat alergi & batuk-batuk lama disangkal.

2
Riwayat penyakit kencing manis disangkal.
Riwayat penyakit darah tinggi disangkal.

Kebiasaan :

Merokok disangkal

Konsumsi alkohol disangkal

Tidak begitu suka makan sayur dan buah-buahan.

BAB tiap 2-3 hari sekali, pernah sulit BAB.

Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat sakit yang sama disangkal

2.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status generalis:
Kesadaran : Compos mentis
Pernafasan : 22 x/menit
Nadi : 95 x/menit
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Temperatur : 37,7 °C
Kepala : Konjungtiva Pucat: -/-
Sklera Ikterik -/-
Pupil : isokor, refleks cahaya +/+
Leher : JVP (5-2) cmHg
Kelenjar-kelenjar : tidak ada pembesaran
Thorax : tidak ada kelainan
Abdomen : lihat status lokalis
Ekstremitas Superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas Inferior : tidak ada kelainan
Genitalia : tidak ada kelainan
b. Status Lokalis
Inspeksi : Datar
Palpasi : Lemas, Nyeri tekan titik Mc Burney (+)
Perkusi : Timpani, pekak hati (+)

3
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Pemeriksaan tambahan : Rovsing Sign (+)

2.4 Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 29 Juni 2017)

 Hb : 15,1 g/dl (Normal: 12-16 g/dl)


 Ht : 44 vol% (Normal : 37-43 vol%)
 Leukosit : 17.500/mm3 (Normal : 5.000-10.000/mm3)
 LED : 52 mm/jam(Normal : <38 mm/jam)
 Trombosit : 227.000/mm3 (Normal : 200.000-500.000/mm3)

Hitung Jenis : Basofil : 0 % (0-1 %)


Eosinofil : 0 % (1-3 %)
Batang : 1 % (2-6 %)
Segmen : 90 % (50-70%)
Limfosit : 15 % (20-40 %)
Monosit : 4 % (2-8 %)

2.5 Diagnosis Banding


 Appendicitis akut
 Gastroenteritis akut
 Batu ureter

2.6 Diagnosis Kerja


Appendicitis Akut

2.7 Pemeriksaan Penunjang lain


 USG Abdomen
 Rontgen BNO
 Urinalisa
 Pemeriksaan Feses

4
2.8 Tatalaksana
- IVFD
- Antibiotik, ketorolac
- Appendektomi cito

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam

5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi
Apendiks vermiformis (menyerupai cacing) merupakan organ berbentuk
tabung, panjangnya kira-kira 8-13 cm (kisaran 3-5 inci), dasar melekat pada
caecum dan ujung lainnya bebas, diliputi oleh peritoneum, dan mempunyai
mesenterium sendiri yang disebut mesoappendix yang berisi vena, arteri
appendicularis, dan saraf-saraf. Apendiks memanjang baik itu diameter dan
panjangnya selama masa anak-anak, dan mengalami maturasi pada usia 3 tahun.
Lumennyasempitdibagianproksimal danmelebardi bagian distal.Namun
padabayi,apendiksberbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
kearahujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi penyebab rendahnya insidens
apendisitis pada usia tersebut (Snell, R.S, 2006).

Gambar 3.2 Anatomi Caecum dan Apendiks Vermiformis

Apendiks vermiformis terletak pada kuadran kanan bawah abdomen di


regio iliaca dextra. Pangkalnya diproyeksikan ke dinding anterior abdomen pada
titik sepertiga bawah yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dan

6
umbilicus yang disebut titik Mc Burney. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.Pada kasus
selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di
belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Apendiks yang
terletak di fossa iliaka kanan memiliki ujung yang letaknya dapat bervariasi.
Biasanya terletak retrocaecal atau retrocolic (di belakang caecum atau kolon
asendens bawah, anterior dari psoas major), atau pelvis (apendiks terbentang di
sepanjang tepi pelvis, dekat dengan tuba fallopi kanan dan ovarium pada
perempuan). Posisi lainnya termasuk subcaecal, dan pre- atau post-ileal (anterior
atau posterior dari ileum terminalis).

Gambar 3.3 McBourney's Point.

Gambar 3.4 Variasi posisi apendiks.

7
Apendiks diperdarahi oleh arteri appendicularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral dan vena appendicularis, sedangkan persarafannya berasal dari
cabang-cabang saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari plexus
mesentericus superior. Aliran limfenya ke satu atau dua nodi dalam mesoapendiks
dan dialirkan ke nodi mesenterici superiores (Snell, R.S, 2006).

Gambar 3.5 Perdarahan Apendiks Vermiformis

Lapisan dinding apendiks memiliki kesamaan dengan usus besar secara


umum namun juga memiliki beberapa perbedaan. Serosa membungkus apendiks
secara keseluruhan, kecuali di daerah mesentrika. Otot longitudinal luar melapisi
apendiks, kecuali pada beberapa daerah di mana muscularis externa sedikit,
sehingga serosa berkontak dengan submukosa.

Submukosa memiliki kandungan agregasi limfoid besar yang terbentuk


sampai ke mukosa dan merusak integritas muskularis mukosa. Mukosa apendiks
dilapisi oleh epitel kolumnar, yang mengandung sel M yang berada pada jaringan
limfoid mukosa. Jaringan limfoid submukosa memiliki senter germinalis pada
folikel-folikelnya yang mengindikasikan adanya aktivasi sel B. Folikel limfoid
tidak ditemukan saat lahir namun terakumulasi pada 10 tahun pertama kehidupan.
Pada orang dewasa, folikel limfoid lama kelamaan menjadi atrofi. Pada orang

8
yang lebih tua, lumen apendiks biasanya sebagian hancur menjadi jaringan
fibrosa.

Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar


submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan
pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh
lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam
mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh
peritoneum viserale.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti


a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di
sekitar umbilikus (Snell, R.S, 2006).

Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri


tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangrene.

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya


dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis.
Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid
tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena
jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh (Price dan Wilson, 2006).

3.2 Fisiologi
Apendiks menghasilkan lender 1-2ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran
lender di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis appendicitis.

9
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,
ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jkumlah jaringan limf disini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh (Eroschenko VP, 2010).

Gambar 3.6 Apendiks vermiformis normal. Lumen yang sempit yang dilapisi oleh
mukosa yang tersusun dengan lipatan-lipatan lumen. Dapat juga ditemukan adanya
jaringan limfoid yang melimpah pada mukosa, terutama pada anak-anak. Hal ini
menyebabkan lumen menjadi semakin sempit. Mukosa ini dilapisi juga oleh mukosa
muskulatis. (Crawford, J dan Kumar, V., 2007).

3.3 Definisi dan Etiologi


Appendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada appendiks
vermiformis. Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen
appendix sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya
terjadi infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab
obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20%
anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi:
1. Hiperplasia folikel lymphoid
2. Carcinoid atau tumor lainnya

10
3. Benda asing (pin, biji-bijian)
4. Kadang parasit
Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi
mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat
diisolasi pada pasien appendicitis yaitu :
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
 Escherichia coli  Bacteroides fragilis
 Viridans streptococci  Peptostreptococcus micros
 Pseudomonas aeruginosa  Bilophila species
 Enterococcus  Lactobacillus species

3.4 Insidensi
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat
setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2.
Bangsa Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya.
Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim panas (Schwartz, Spencer dan
Fisher, 1997)
Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara
bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat
dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya
pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan
perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki
lebih tinggi (Craig, 2014).
Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas
dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan
pembentukkan abscess setelah 2-3 hari.

11
3.5 Manifestasi Klinis
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang
pada neonatus dan bayi, appendicitis akut kadang-kadang dapat terjadi dan
diagnosis appendicitis jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri merupakan
gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri
di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di
abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan
perkembangan penyakit.
Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi.
Pada anak-anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat
mulai terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus.
Nyeri pada flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan
gejala yang umum pada anak dengan appendicitis retrocecal arau pelvis.
Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejala
dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan
kencing dan distensi kandung kemih.
Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah
onset terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi
sekunder dan iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang
berat yang terjadi sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain
appendicitis. Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau
perubahan bowel habit dapat terjadi pada anak dengan appendicitis.
Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0 C).
0
Jika suhu tubuh diatas 38,6 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan
appendicitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat
menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang
atau kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat
menurun atau menghilang.
Anak dengan appendicitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan
cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut diflexikan.
Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita appendicitis, kecuali

12
pada anak dengan appendicitis retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat
perangsangan ureter.
Tabel 1. Gejala Appendicitis Akut (Burkitt, Quick, dan Reed, 2007)
Frekuensi
Gejala Appendicitis Akut
(%)
Nyeri perut 100
Anorexia 100
Mual 90
Muntah 75
Nyeri berpindah 50
Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian
anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian 50
demam yang tidak terlalu tinggi)
*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain


obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus
vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan
kemudian diikuti oleh proses peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga
menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar
20% pada ank dengan appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi
appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat menyababkan
obstruksi lumen. Insidensi terjadinya appendicitis berhubungan dengan jumlah
jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik
lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau
akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis,
Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus
enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien
dengan cyctic fibrosis memiliki peningkatan insidensi appendicitis akibat
perubahan pada kelenjar yang mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat

13
1
mengakibatkan obstruksi appendiks, khususnya jika tumor berlokasi di /3
proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asaning seperti pin, biji sayuran,
dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress
psikologis, dan herediter juga mempengaruhi terjadinya appendicitis (Wulansari,
Pita, Mahanani, Dewi Asih, 2006).
Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti
berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis,
khususnya pada anak-anak.
Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin
bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri.
Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis
lain.
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk
berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan
tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan,
infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks;
diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator
inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding
appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan
teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di
titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa
didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri
somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum
parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada
appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendiks pelvic
yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan
peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter

14
atau vesica urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih,
atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau
peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah
perforasi dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda
perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis >
14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala
sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa
perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan
risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak
adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih
memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa
pada pemeriksaan fisik.
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering
didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum
terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis

3.6 Diagnosis
Diagnosis suatu appendisitis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis, pasien
mengeluhkan nyeri pada bagian perut kanan bawah, nyeri awal mulanya
dirasakan pada pusar. Gejala lain yang menunjang diagnosis yaitu, terdapat gejala
prodormal seperti mual, muntah, dan demam.
a. Pemeriksaan Fisik
Pada Apendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
Rovsing’s sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan pada LLQ
abdomen menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik.

15
Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri
sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi
pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari
phlegmon atau abscess.
Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi
yangterletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan
manuver ini.
Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian
gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini
menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. Perlu diketahui
bahwa masing-masing tanda ini untuk menegakkan lokasi Appendix yang telah
mengalami radang atau perforasi.
Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi
yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot obturator internus pada saat
dilakukan manuver ini.
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado
dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6>6. Selanjutnya dilakukan
Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan
Appendix dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut
dan bukan radang akut.

Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis

Manifestasi Skor
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1

16
Laboratorium Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10
Keterangan:
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka
tindakan bedah sebaiknya dilakukan (Ellis H, Calne SR, Watson, 2016).

c. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan
appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara
12.000-18.000/mm. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left)
dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah
leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis.
Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis dengan
pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria
dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.
 Ultrasonografi
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk
menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan
spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis
appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter anteroposterior 7 mm atau
lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix.
False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai
hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat

17
muncul karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi
banyak udara yang menghalangi appendix.
 CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-
kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga
adanya abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.
Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi
lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang terinfeksi akan
mengecil sehingga memberi gambaran “halo” (Norman S., Bulstrode W.,
O’Connel P.R, 2008).

3.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia
dan jenis kelamin
· Pada anak-anak balita
Diagnosis banding pada anak-anak balita adalah intususepsi, divertikulitis,
dan gastroenteritis akut.
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3
tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri
divertikulitis hampir sama dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu
pada daerah periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory
mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan
adalah gastroenteritis akut, karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan
appendicitis, yakni diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit pada feses.
 Pada anak-anak usia sekolah
Diagnosis banding pada anak-anak usia sekolah adalah gastroenteritis,
konstipasi, infark omentum.
Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis,
tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu
penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam.

18
Infark omentum juga dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat
menyerupai appendicitis. Pada infark omentum, dapat teraba massa pada abdomen
dan nyerinya tidak berpindah
 Pada pria dewasa muda
Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn’s
disease, klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat
membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien
merasa sakit pada skrotumnya.
 Pada wanita usia muda
Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak
berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory
disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya
bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat
dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.
 Pada usia lanjut
Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis
banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktus
gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan
kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih
lambat daripada appendicitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk
dibedakan dengan appendicitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen
kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak
berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti
dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium.

2.8 Komplikasi
1. Appendicular infiltrat:
Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari
Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus
halus atau usus besar.

19
2. Appendicular abscess:
Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix
yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau
usus besar.
3. Perforasi
4. Peritonitis
5. Syok septik
6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar
7. Gangguan peristaltik
8. Ileus

2.9 Penatalaksanaan
a. Appendisitis non-komplikasi
Pasien dengan appendisitis non-komplikasi, tindakan operasi merupakan
tatalaksana standar sejak ditemukannya McBurney. Konsep tindakan tanpa
operasi pada appendisitis non-komplikasi berkembang dari 2 pengamatan.
Pertama, pasien berada pada lingkungan di mana tidak memungkinkan dilakukan
tingdakan bedah (di lepas pantai dan daerah ekspedisi), sedangkan pengobatan
antibiotik dinyatakan efektif. Kedua, banyak pasien dengan tanda dan gejala
konsisten yang tidak mengikuti pengobatan medis seringkali terjadi resolusi
spontan pada penyakitnya (Burkitt, H.G., Quick, C.R.G., and Reed, J.B. 2007).

20
Gambar 3.11. Algoritma evaluasi dan manajemen pasien dengan suspek
apendisitis akut berdasarkaan asesmen bedah dari kemungkinan klinis dalam
diagnosis.

Gambar 3.12.Algoritma tatalaksana appendisitis akut

21
b. Appendisitis komplikasi
Appendisitis komplikasi berkaitan dengan perforasi appendisitis yang
berkaitan dengan abses dan phlegmon. Insidensinya sekitar 2 per 10.000 orang
dan memiliki variasi yang sedikit berbeda dari waktu ke waktu. Anak-anak yang
berusia kurang dari 5 tahun dan pasien yang berusia lebih dari 65 tahun
menduduki peringkat teratas untuk insidensi perforasi. Proporsi perforasi
meningkat seiring dengan berapa lama gejalanya.Perforasi secara umum terjadi 24
jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau
lebih tinggi, penampilan toksik,dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu
(Brunicardi, 2007).

Gambar 2.13.Algoritma tatalaksana abses apendiks

22
Tindakan
Berdasarkan guideline dari SAGES 2010 (Society of American
Gastrointestinal and Endoscopic Surgeon), indikasi appendektomi laparoskopi
dengan open appendectomy dibagi sebagai berikut (Craig, 2016) :

 Appendektomi laparoskopi
o Appendisitis tanpa komplikasi
o Appendisitis pada anak-anak
o Appendisitis pada ibu hamil
 Open appendektomi
o Appendisitis perforasi
o Appendisitis pada pasien geriatri
o Appendisitis pada pasien obesitas

a. Open Appendectomy (Beuchamp, Evers, dan Maatox, 2012)

23
Open apendiktomi adalah teknik yang digunakan dengn cara membuat
sayatan pada M. rectus abdominis atau M. obliqus abdominis internus dari lateral
atas ke medial bawah. Kemudian peritoneum dibuka dan apendiks dicari hingga
ditemukan, lalu dipotong. Apendiks kemudian dijahit.

b. Laparoscopi Appendectomy

Laparoskupi apendiktomi merupakan suatu sarana yang dapat digunakan


untuk diagnosis dan terapi. Teknik ini membutuhkan waktu recovery yang lebih
singkat dan insisi minimal.

Untuk pasien yang dicurigai Appendicitis :


- Puasakan
- Berikan analgetik dan antiemetik jika diperlukan untuk
mengurangi gejala
- Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan
menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik.
- Pertimbangkan KET terutama pada wanita usia reproduksi.
- Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang
membutuhkan Laparotomy
Perawatan appendicitis tanpa operasi

24
- Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat
berguna untuk Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit mendapat
intervensi operasi (misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi
mereka yang memilki resiko tinggi untuk dilakukan operasi
Rujuk ke dokter spesialis bedah.
Antibiotika preoperative
- Pemberian antibiotika preoperative efektif untuk menurunkan
terjadinya infeksi post opersi.
- Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative
dan anaerob
- Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah.
- Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai.
Biasanya digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan
Clindamycin, atau Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini
dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia
coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus
viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.

2.10 Prognosis
Kematian dari appendisitis di Amerika Serikat telah terus menurun dari
tingkat 9,9 per 100.000 pada tahun 1939, dengan 0,2 per 100.000 pada 1986.
Diantara faktor-faktor yang bertanggung jawab adalah kemajuan dalam anestesi,
antibiotik, cairan intravena, dan produk darah. Faktor utama dalam kematian
adalah apakah pecah terjadi pengobatan sebelum bedah dan usia pasien. Angka
kematian keseluruhan untuk anestesi umum adalah 0,06%. Angka kematian
keseluruhan dalam apendisitis akut pecah adalah sekitar 3%-peningkatan 50 kali
lipat. Tingkat kematian appendisitis perforasi pada orang tua adalah sekitar 15%
peningkatan lima kali lipat dari tingkat keseluruhan.

25
BAB IV
ANALISIS KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis, bahwa pasien seorang laki-laki berumur 21


tahun berinisial Tn. R mengeluh nyeri perut kanan bawah. Dari anamnesis
didapatkan riwayat perjalanan penyakit yaitu sejak ± 3 hari SMRS, pasien
mengeluh nyeri pada perut kanan bawah. Awalnya nyeri muncul di ulu hati
kemudian menjalar ke pusar, nyeri perut berpindah dan menetap di perut kanan
bawah. Nyeri dirasakan terus menerus sepanjang hari dan bertambah berat serta
pindah ke perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluh mual (+),
muntah > 3x, demam (+), nafsu makan berkurang. BAK dan BAB normal, perut
kembung (-).
Gejala utama pada appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Pada mulanya
terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul dengan sifat nyeri
ringan sampai berat. Hal tersebut timbul karena apendiks dan usus halus memiliki
asal persarafan yang sama yaitu nervus Thorakalis X, maka nyeri dirasakan mula-
mula di daerah eoigastrium dan periumbilikalis. Secara klasik, nyeri ini akan
terjadi beberapa jam dan akan menetap pada regio iliaka dextra, yaitu suatu nyeri
somatik yang menunjukkan telah terjadi rangsangan peritoneum parietal dengan
sifat nyeri lebih tajam.
Gejala lain didapatkan peningkatan suhu yang tidak terlalu tinggi, yaitu 37,50-
38,500C. Pada pasien suhu yaitu, 37,7 C. Tetapi bila suhu lebih tinggi, dapat
diduga telah terjadi perforasi. Gejala prodormal lainnya yaitu mual, muntah yang
biasanya ditemukan pada pasien appendisitis hampir 70% kasus.
Pada pemeriksaan fisik di daerah abdomen, pada inspeksi didapatkan perut
kembung (-), penonjolan perut kanan bawah (-), hal ini dapat menepis dugaan
perforasi apendiks. Nyeri tekan titik Mc Burney (+) dan rovsing sign (+), rebound
tenderness merupakan tanda yang khas pada kasus apendisitis. Rovsing sign
terjadi karena adanya rangsangan m. Psoas oleh peradangan yang terjadi pada
apendiks. Pada apendisitis peradangan yang merangsang peritoneum parietal

26
menyebabkan serabut saraf akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada
lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s.
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis
apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi terjadi peritonitis, maka bunyi peristaltik
usus atau tidak terdengar sama sekali. Pada pasien ini, bising usus (+) normal.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan
didapatkan leukosit meningkat sebesar 17.500/mm3. LED 52 mm/jam
menunjukkan suatu infeksi yang akut. Demam disebabkan akibat konsekuensi
pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dilakukan penilaian Alvarado
score:
Migration of pain :1
Anorexia :1
Nausea/vomiting :1
RLQ tenderness :2
Rebound :1
Elevated temperatur : 1
Leukocytosis :2
Left shift :-
Total points :9
Dari penilaian Alvarado score dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien ini
kemungkinan besar menderita Appendisitis akut.
Diagnosis banding pasien ini adalah gastroenteritis, dan batu ureter. Pada
pasien ini diagnosis gastroenteritis akut dapat ditiadakan karena tidak terdapat
tanda diare. Sedangkan pada pasien dengan batu ureter, ditandai dengan keluhan
BAK dengan nyeri saat BAK jika batu terletak di distal ureter, dan nyeri yang
terdapat pada batu ureter adalah nyeri kolik. Pada pasien ini, nyeri yang dirasakan
adalalah nyeri yang terus menerus.
Tatalaksana pada kasus ini adalah dengan appendektomi cito, karena
appendisitis termasuk kasus kedaruratan bedah dan harus segera ditangani dalam
waktu kurang dari 48 jam. Prognosis pada kasus ini Quo ad vitam dan quo ad
functionam bonam.

27
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi, F. Charles, The appendix in Schwartz’z Principles of Surgery 8th


edition, McGraw-Hill’s, 2007
Beuchamp, Evers, dan Maatox. Sabiston Textbookk of Surgery: The Biological
Basis of Modern Surgical Practice 19th Edition. Elsevier: (2012)1278-
1291
Burkitt, H.G., Quick, C.R.G., and Reed, J.B. 2007. Appendicitis. In: Essential
Surgery Problems, Diagnosis, and Management. 4th edition. London:
Elsevier, 389-398.
Craig, Sandy. (2014). Appendicitis. http://emedicine.medscape.com/
article/773895-overview#a0156 . October 12 th,2014. Update 21st July,
2014.
Crawford, J dan Kumar, V. 2007. Rongga Mulut dan Saluran Gastrointestinal. In:
Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC.
Depkes RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Depkes RI

Dorland, Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29, Ellis H, Calne
SR, Watson Chistopher. The 50th Anniversary Edition General Surgery:
Lecture Notes. Willey Blackwel. 2016: 201-204.
Eroschenko VP. 2010. Atlas Histologi diFiore dengan korelasi fungsional, edisi
ke− 11. Jakarta: EGC.

Kliegman, R. M., Stanton, B. F., Geme, J. W., Schor, N. F., Nelson Textbook of
Pediatrics 20th ed. Canada: Elsevier. 2011.

Norman S., Bulstrode W., O’Connel P.R. Bailey & Love’s Short Practice of
Surgery 25th Edition. Edward Arnold Publisher. London. 2008.
Prince, A Sylvia, Wilson, Lorraine M, editor Hartanto, Huriawati, Susi Natalia,
Sjamsuhidajat R. dan Jong W.D. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 4.
Jakarta:EGC.

28
Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition.
Mc-Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an
Enigma Electronic Publication.
Snell RS. 2006. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran, edisi ke-6. Jakarta:
EGC. hlm. 240−4.
Wulansari, Pita, Mahanani, Dewi Asih, Appendisitis in Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit vol 1, 6th edition, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 2006

29

Anda mungkin juga menyukai