Anda di halaman 1dari 10

BAHAYA STUNTING PADA ANAK

LATAR BELAKANG

Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 menunjukkan prevalensi Balita stunting di Indonesia masih
tinggi, yakni 29,6% di atas batasan yang ditetapkan WHO (20%). Penelitian Ricardo dalam
Bhutta tahun 2013 menyebutkan balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian
anak balita di dunia dan menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun.

Untuk menekan angka tersebut, masyarakat perlu memahami faktor apa saja yang menyebabkan
stunting. Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan
otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak
normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir.

Kekurangan gizi dalam waktu lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan sampai awal
kehidupan anak (1000 Hari Pertama Kelahiran). Penyebabnya karena rendahnya akses terhadap
makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman pangan dan
sumber protein hewani.

Faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan
kepada anak juga menjadi penyebab anak stunting apabila ibu tidak memberikan asupan gizi
yang cukup dan baik. Ibu yang masa remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan
laktasi akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak.

Hasil Riskesdas 2013 menyebutkan kondisi konsumsi makanan ibu hamil dan balita tahun 2016-
2017 menunjukkan di Indonesia 1 dari 5 ibu hamil kurang gizi, 7 dari 10 ibu hamil kurang kalori
dan protein, 7 dari 10 Balita kurang kalori, serta 5 dari 10 Balita kurang protein.

Faktor lainnya yang menyebabkan stunting adalah terjadi infeksi pada ibu, kehamilan remaja,
gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan hipertensi. Selain itu,
rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses sanitasi dan air bersih menjadi
salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan anak.
Untuk mencegahnya, perbanyak makan makanan bergizi yang berasal dari buah dan sayur lokal
sejak dalam kandungan. Kemudian diperlukan pula kecukupan gizi remaja perempuan agar
ketika dia mengandung ketika dewasa tidak kekurangan gizi. Selain itu butuh perhatian pada
lingkungan untuk menciptakan akses sanitasi dan air bersih.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan
RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemkes melalui
nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan
alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id. (D2) (depkes, 2018)

Menurut data dari WHO, di seluruh dunia, 178 juta anak di bawah usia lima tahun diperkirakan
mengalami pertumbuhan terhambat karena stunting.

Stunting adalah permasalahan gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam
rentang yang cukup waktu lama, umumnya hal ini karena asupan makan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan gizi. Permasalahan stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru akan
terlihat ketika anak sudah menginjak usia dua tahun.

Bagi UNICEF, stunting didefinisikan sebagai persentase anak-anak usia 0 sampai 59 bulan,
dengan tinggi badan di bawah minus (stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting
kronis), hal ini diukur dengan menggunakan standar pertumbuhan anak yang dikeluarkan oleh
WHO.

Selain mengalami pertumbuhan terhambat, stunting juga kerap kali dikaitkan dengan penyebab
perkembangan otak yang tidak maksimal. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan mental dan
belajar tidak maksimal, serta prestasi belajar yang buruk.

Selain itu, efek jangka panjang yang disebabkan oleh stunting dan kondisi lain terkait kurang
gizi, acap kali dianggap sebagai salah satu faktor risiko diabetes, hipertensi, obesitas dan
kematian akibat infeksi.

Penyebab Stunting
Situs Adoption Nutrition menyebutkan, stunting berkembang dalam jangka panjang karena
kombinasi dari beberapa atau semua faktor-faktor berikut:

1. Kurang gizi kronis dalam waktu lama


2. Retardasi pertumbuhan intrauterine
3. Tidak cukup protein dalam proporsi total asupan kalori
4. Perubahan hormon yang dipicu oleh stres
5. Sering menderita infeksi di awal kehidupan seorang anak.

Perkembangan stunting adalah proses yang lambat, kumulatif dan tidak berarti bahwa asupan
makanan saat ini tidak memadai. Kegagalan pertumbuhan mungkin telah terjadi di masa lalu
seorang.

Gejala Stunting

1. Anak berbadan lebih pendek untuk anak seusianya


2. Proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih muda/kecil untuk usianya
3. Berat badan rendah untuk anak seusianya
4. Pertumbuhan tulang tertunda

Mencegah Stunting

Diakibatkan oleh asupan gizi yang kurang, mencegah Stunting tentu dapat dilakukan dengan
memenuhi kebutuhan gizi yang sesuai. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana
jalan yang paling tepat agar kebutuhan gizi dapat tercukupi dengan baik?

Dampak Stunting umumnya terjadi karena diakibatkan oleh kurangnya asupan nutrisi pada 1.000
hari pertama anak. Hitungan 1.000 hari di sini dimulai sejak janin sampai anak berusia 2 tahun.

Jika pada rentang waktu ini, gizi tidak dicukupi dengan baik, dampak yang ditimbulkan memiliki
efek jangka pendek dan efek jangka panjang. Gejala stunting jangka pendek meliputi hambatan
perkembangan, penurunan fungsi kekebalan, penurunan fungsi kognitif, dan gangguan sistem
pembakaran. Sedangkan gejala jangka panjang meliputi obesitas, penurunan toleransi glukosa,
penyakit jantung koroner, hipertensi, dan osteoporosis.
Oleh karena itu, upaya pencegahan baiknya dilakukan sedini mungkin. Pada usia 1.000 hari
pertama kehidupan, asupan nutrisi yang baik sangat dianjurkan dikonsumsi oleh ibu hamil. Tidak
hanya untuk mencukupi kebutuhan nutrisi dirinya, asupan nutrisi yang baik juga dibutuhkan
jabang bayi yang ada dalam kandungannya.

Lebih lanjut, pada saat bayi telah lahir, penelitian untuk mencegah Stunting menunjukkan
bahwa, konsumsi protein sangat mempengaruhi pertambahan tinggi dan berat badan anak di atas
6 bulan.

Anak yang mendapat asupan protein 15 persen dari total asupan kalori yang dibutuhkan terbukti
memiliki badan lebih tinggi dibanding anak dengan asupan protein 7,5 persen dari total asupan
kalori.

Anak usia 6 sampai 12 bulan dianjurkan mengonsumsi protein harian sebanyak 1,2 g/kg berat
badan. Sementara anak usia 1 – 3 tahun membutuhkan protein harian sebesar 1,05 g/kg berat
badan. Jadi, pastikan si kecil mendapat asupan protein yang cukup sejak ia pertama kali
mencicipi makanan padat pertamanya. (Masyarakat, 2018)

DokterSehat.Com– Apa itu stunting? Stunting adalah gangguan pertumbuhan kronis pada anak
akibat kekurangan nutrisi dalam waktu lama. Sehingga anak yang terkena stunting umumnya
bertubuh lebih pendek dibanding anak seusianya. Di Indonesia, angka stunting cukup tinggi,
yaitu sekitar 7,8 juta dari 23 juta balita atau sekitar 35,6 persen. Angka ini menyebabkan WHO
menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk untuk balita dan anak-anak.
Dampak Stunting pada Anak
Umumnya stunting adalah gangguan yang sering ditemukan pada balita, khususnya usia 1-3
tahun. Pada rentang usia tersebut, ibu dapat mengenal apakah anak mengalami stunting atau
tidak. Dampak stunting yang bisa terlihat antara lain:
1. Mengganggu Pertumbuhan tinggi dan berat anak
Stunting adalah salah satu dari berbagai penyebab anak lebih pendek dibandingkan dengan rata-
rata anak seusianya. Berat badannya pun cenderung jauh di bawah rata-rata anak sebayanya.
2. Tumbuh kembang anak tidak optimal
Stunting juga bisa terlihat pada tumbung kembang anak dimana anak menjadi terlambat jalan
atau kemampuan motoriknya kurang optimal.
3. Memengaruhi kecerdasan dan kemampuan belajar anak
Menurut sebuah penelitian, stunting adalah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap IQ anak
lebih rendah dibanding anak seusianya. Anak akan sulit belajar dan berkonsentrasi akibat
kekurangan gizi.
4. Mudah terserang penyakit
Penderita stunting dapat mudah terserang penyakit dan berisiko terkena berbagai penyakit saat
dewasa seperti diabetes, jantung, kanker dan stroke. Bahkan stunting juga bisa berujung pada
kematian usia dini.
Penyebab Stunting pada Anak
Meski gejala stunting baru dapat terlihat ketika balita, namun sebenarnya untuk memahami
penyebab stunting adalah hal yang dapat dilakukan sejak bayi masih di dalam kandungan:
1. Nutrisi ibu
Ibu hamil yang kurang mengonsumsi makanan bergizi seperti asam folat, protein, kalsium, zat
besi, dan omega-3 cenderung melahirkan anak dengan kondisi kurang gizi. Kemudian saat lahir,
anak tidak mendapat ASI eksklusif dalam jumlah yang cukup dan MPASI dengan gizi yang
seimbang ketika berusia 6 bulan ke atas.
2. Cara pemberian makan
Pemberian makanan pelengkap yang tidak cukup dan kekurangan nutrisi penting di samping
asupan kalori murni adalah salah satu penyebab pertumbuhan pada anak terhambat. Anak-anak
perlu diberi makanan yang memenuhi persyaratan minimum dalam hal frekuensi dan keragaman
makanan untuk mencegah kekurangan gizi.
3. Kebersihan lingkungan
Ada kemungkinan besar hubungan antara pertumbuhan linier anak-anak dan praktik sanitasi
rumah tangga. Kontaminasi jumlah besar bakteri fecal oleh anak-anak kecil ketika meletakkan
jari-jari kotor atau barang-barang rumah tangga di mulut mengarah ke infeksi usus. Ini
memengaruhi status gizi anak-anak dengan mengurangi nafsu makan, mengurangi penyerapan
nutrisi, dan meningkatkan kehilangan nutrisi.
Penyakit-penyakit yang berulang seperti diare dan infeksi cacing usus (helminthiasis) yang
keduanya terkait dengan sanitasi yang buruk telah terbukti berkontribusi terhadap terhambatnya
petumbuhan anak. Enteropati lingkungan adalah sindrom yang menyebabkan perubahan pada
usus kecil orang dan dapat terjadi karena kurangnya fasilitas sanitasi dasar dan terkena
kontaminasi feses dalam jangka panjang.
Penelitian pada tingkat global telah menemukan bahwa proporsi stunting yang dapat dikaitkan
dengan lima atau lebih episode diare sebelum usia dua tahun adalah 25%. Karena diare terkait
erat dengan air, sanitasi dan kebersihan (WASH), ini merupakan indikator yang baik untuk
hubungan antara WASH dan pertumbuhan yang terhambat.
Sejauh mana peningkatan dalam keamanan air minum, penggunaan toilet dan praktik mencuci
tangan yang baik berkontribusi untuk mengurangi stunting tergantung pada seberapa buruk
praktik-praktik ini sebelum intervensi.
Pencegahan Stunting pada Anak
Untuk mencegah anak stunting, ibu bisa mencegahnya sejak masa kehamilan. Beberapa tips yang
bisa Ibu lakukan untuk mencegah stunting adalah:

1. Memperbaiki pola makan dan mencukupi kebutuhan gizi selama kehamilan


2. Memperbanyak konsumsi makanan yang mengandung zat besi dan asam folat
untuk mencegah cacat tabung saraf.
3. Memastikan anak mendapat asupan gizi yang baik khususnya pada masa
kehamilan hingga usia 1000 hari anak.
4. Selain itu stunting adalah gangguan yang juga dapat dicegah dengan
meningkatkan kebersihan lingkungan dan meningkatkan akses air bersih di
lingkungan rumah. (sehat, 2019)

Situasi Balita Pendek (STUNTING) di Indonesia (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI)

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu masalah
gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta
balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun 2017, lebih dari
setengah balita stunting di dunia Gambar 1. Tren Prevalensi Balita Pendek di Dunia Tahun 2000-
2017 32,6 2000 2005 2010 2015 2017 0 5 10 15 20 25 30 35 29,3 26,1 23,2 22,2 sumber: Joint
Child Malnutrition Eltimates, 2018 berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya
(39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari
Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%).

Gambar 2. Proporsi Jumlah Balita Pendek di Asia Tahun 2017


Definisi

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang
jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih
dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting
termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial
ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita
stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan
fisik dan kognitif yang optimal.

Situasi Nasional

Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia.
Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki
prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan
gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi
29,6% pada tahun 2017.
Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah persalinan
mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting. Faktor lainnya pada ibu yang
mempengaruhi adalah postur tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang
masih remaja, serta asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan. Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa sebelum Hamil, Masa
Hamil, Persalinan, dan Masa sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta
Pelayanan Kesehatan Seksual, faktor-faktor yang memperberat keadaan ibu hamil adalah terlalu
muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan, dan terlalu dekat jarak kelahiran. Usia kehamilan ibu
yang terlalu muda (di bawah 20 tahun) berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah
(BBLR). Bayi BBLR mempengaruhi sekitar 20% dari terjadinya stunting.

Dari data Riskesdas tahun 2013, diketahui proporsi kehamilan pada remaja usia 10-14 tahun
sebesar 0,02% dan usia 15-19 tahun sebesar 1,97%. Proporsi kehamilan pada remaja lebih
banyak terdapat di perdesaan daripada perkotaan.
Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek dan jangka
panjang. 1. Dampak Jangka Pendek. a. Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian; b.
Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal; dan c. Peningkatan biaya
kesehatan. 2. Dampak Jangka Panjang. a. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih
pendek dibandingkan pada umumnya); b. Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya; c.
Menurunnya kesehatan reproduksi; d. Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat
masa sekolah; dan e. Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.menurut WHO

(file:///C:/Users/USER/Downloads/Buletin-Stunting-2018.pdf)

Anda mungkin juga menyukai