Anda di halaman 1dari 29

BORANG PORTOFOLIO KASUS INTERNA

Nama Peserta : dr. Resky Anggaraini Putri


Nama Wahana : RS Siloam Buton
Topik : Ancylostomiasis
Tanggal Kasus : Pembimbing : dr. Nur Kurnia Putri Halim
Tanggal Presentasi :
Tempat Presentasi : RS Siloam Buton
Objektif Presentasi
 Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
 Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja  Dewasa □ Lansia □ Bumil
Bahan Bahasan  Tinjauan Pustaka □ Riset  Kasus □ Audit
Cara
□ Diskusi  Presentasi dan Diskusi □ Email □ Pos
Membahas
Data Pasien Nama : Tn. N No. RM : SHBN-1907-034382
Nama RS : RS Siloam Buton Telp : - Terdaftar sejak : 2019

Data Utama untuk Bahan Diskusi :


1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
 Diagnosis : Ancylostomiasis
 Gambaran Klinis :
Laki-laki usia 45 th datang dengan keluhan lemas sejak 5 bulan SMRS dan semakin
memberat sejak 2 minggu SMRS. Keluhan lain yang dirasakan pusing (+), mual (+),
muntah (-), batuk (-), sesak (+) kadang-kadang, NUH (+), Riw. Demam (-). Nafsu makan
menurun sejak 2 minggu SMRS. BAB cacing (-), BAK seperti biasa.
Tanda-Tanda Vital:
Tekanan Darah : 100/70 mmHg Nadi : 88x/menit
Pernapasan: 20x/Menit Suhu: 36.5oC
Status Lokalis:
Regio Abdomen :
 Inspeksi :
Datar dan Ikut gerak napas (+)
 Auskultasi :

1
Bising usus normal
 Palpasi :
nyeri tekan epigastrium (+), Hepatosplenomegali (-)
 Perkusi :
Timpani
2. Riwayat Pengobatan :
Belum ada upaya pengobatan sebelumnya.
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit :
Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.
4. Riwayat Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama seperti pasien.
5. Riwayat Pekerjaan :
Pasien bekerja sebagai petani dengan kebiasaan tidak memakai alas kaki
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik :
Pasien tinggal bersama istri dan anaknya.
7. Riwayat Imunisasi :
Riwayat imunisasi tidak diketahui.
Daftar Pustaka :
1. A. Mansjoer, Suprohaita, W.K. Wardhani, W. Setiowulan. 2000. Kapita
SelektaKedokteran. Edisi III, Jilid II. Jakarta : Penerbit Media Aesculapius,Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Ali S.A., Akhtar T., Maqbool A., Hussan A., Ikram S. 2013. Ancylostoma Duodenale
Seperated from Contaminated Soil. International Journal of Zoology and Research. 3: 27-
38.
3. Basuni Madihah, Muhi Jamail, Othman Nurulhasanah, Verweij Jaco J., Ahmad
Maimunah, Miswan Noorizan, Rahumatullah Anizah, et al. 2011. A Pentaplex Real-Time
Polymerase Chain Reaction Assay for Detection of Four Species of Soil-Transmitted
Helminths. Am. J. Trop. Med. Hyg., 84(2), pp. 338–343
4. Conlan J.V., Khamlome B., Vongxay K., Elliot A., Pallant L., Sripa B., et al. 2012. Soil-
Transmitted Helminthiasis in Laos: A Community-Wide Cross-Sectional Study of
Humans and Dogs in a Mass Drug Administration Environment. Am. J. Trop. Med. Hyg.
86(4): 624–634.
5. David R Haburchak, MD, FACP; Chief Editor: Pranatharthi Haran Chandrasekar, MBBS,
MD. Medscape International Journal. 2018. Ancylostomiasis., 218805, pp. 1-4
6. Friedman Andrew J., Ali Said M., and Albonico Marco. 2012. Safety of a New Chewable

2
Formulation of Mebendazole for Preventive Chemotherapy Interventions to Treat Young
Children in Countries withModerate-to-High Prevalence of Soil Transmitted Helminth
Infections. Journal of Tropical Medicine 12:590463
7. Hu Yan., Zhan Bin, Keegan Brian, Yiu1 Ying Y., Miller Melanie M., Jones Kathryn, et al.
2012 Mechanistic and Single-Dose In Vivo Therapeutic Studies of Cry5B Anthelmintic
Action against Hookworms Neglected Tropical Disease 11: 1900
8. Humphries D., Mosites E., Otchere J., Welbeck Amoani Twum , Lauren Woo , Hinckley
Jones-Sanpei, et al. 2011. Epidemiology of Hookworm Infection in Kintampo North
Municipality, Ghana: Patterns of Malaria Coinfection, Anemia, and Albendazole
Treatment Failure. Am. J. Trop. Med. Hyg., 84(5):792–800.
9. Jonker Femkje A. M., Calis Job C. J., Phiri Kamija, Brienen Eric A. T., Khoffi Harriet,
Brabin Bernard J., et al. 2012. Real-time PCR Demonstrates Ancylostoma duodenale Is a
Key Factor in the Etiology of Severe Anemia and Iron Deficiency in Malawian Pre-school
Children Neglected Tropical Disease 3:1555
10. Le Joncour A., Lacour S.A, Lecso G., Regnier S., Guillot J., and Caumes E. 2012. Case
Report: Molecular Characterization of Ancylostoma braziliense Larvae in a Patient with
Hookworm-Related Cutaneous Larva Migrans. Am. J. Trop. Med. Hyg. 86(5): 843–845
Hasil Pembelajaran :
1. Definisi, Epidemologi dan Etiologi penyakit Ancylostomiasis
2. Patofisiologi penyakit Ancylostomiasis
3. Gejala Klinik, Diagnosis dan pemeriksaan penunjang penyakit Ancylostomiasis
4. Diagnosis banding penyakit Ancylostomiasis
5. Penatatalaksanaaan penyakit Ancylostomiasis
6. Komplikasi penyakit Ancylostomiasis
7. Pencegahan penyakit Ancylostomiasis

RANGKUMAN HASIL PEMBELAJARAN

1. Subjektif :
Laki-laki usia 45 th datang dengan keluhan lemas sejak 5 bulan SMRS dan
semakin memberat sejak 2 minggu SMRS. Keluhan lain yang dirasakan
pusing (+), mual (+), muntah (-), batuk (-), sesak (+) kadang-kadang, NUH
(+), Riw. Demam (-). Nafsu makan menurun sejak 2 minggu SMRS. BAB
cacing (-), BAK seperti biasa.
2. Objektif :

3
 Status Present:
Sakit Sedang/Gizi baik/Composmentis
 Tanda Vital:
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 88 kali/ menit (Reguler, kuat angkat)
Pernapasan : 20 kali/ menit (Thoracoabdominal)
Suhu : 36.5oC (axial)
 Kepala:
Ekspresi : Biasa
Simetris Muka : Simetris
Deformitas : (-)
Rambut : Hitam, lurus, sulit dicabut
 Mata:
Eksoptalmus/ Enoptalmus: (-)
Gerakan : Ke segala arah
Tekanan Bola Mata : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kelopak Mata : Edema palpebral (-), ptosis (-)
Konjungtiva ODS : Anemis (+)
Sklera ODS : Ikterus (-)
Kornea ODS : Jernih, reflex kornea (+)
Pupil ODS : Bulat, isokor 2,5mm; RCL +; RCTL +

 Telinga:
Bentuk : Simetris
Pendengaran : Dalam batas normal
Sekret : (-)
 Hidung:
Deviasi septum : (-)
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
Hiperemis : (-)
 Mulut:

4
Bibir : Kering (-), stomatitis (-)
Gigi Geligi : Karies (-)
Gusi : Candidiasis oral (-), perdarahan (-)
Farings : Hiperemis (-)
Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
Lidah : Kotor (-)
 Leher:
Kel. Getah Bening : Tidak teraba, nyeri tekan (-)
Kel. Gondok : Tidak ada pembesaran, nyeri tekan (-)
Kaku Kuduk : (-)
Tumor : (-)
 Dada:
- Inspeksi : Simetris hemithoraks kiri dan kanan
- Bentuk : Normothoraks
- Buah Dada : Tidak ada kelainan
- Sela Iga : Tidak ada pelebaran
- Lain-lain : Barrel chest (-), massa tumor (-)
 Paru:
- Inspeksi : Bentuk simetris, pergerakan simetris,
retraksi Intercostals (-), irama nafas regular
- Palpasi:
 Fremitus Raba : Kiri = Kanan
 Nyeri Tekan : (-)
- Perkusi:
 Paru Kiri : Sonor
 Paru Kanan : Sonor
 Batas Paru Hepar : ICS VI anterior dextra
 Batas Paru Belakang Kanan :Vertebra thorakal IX
 Batas Paru Belakang Kiri :Vertebra thorakal X
- Auskultasi:
 Bunyi Pernapasan : Vesikuler
 Bunyi Tambahan : Ronkhi -/- Wheezing -/-

5
 Jantung:
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : Pekak, batas jantung kesan normal (batas jantung
kanan: linea parasternalis dextra, batas jantung kiri: linea
midclavicularis sinistra)
- Auskultasi :
 BJ I/II : Murni reguler
 Bunyi Tambahan : Bising (-)
 Perut:
- Inspeksi : Datar, ikut gerak napas, caput medusa (-)
- Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (+) epigastrium
 Hati : Tidak teraba
 Limpa : Tidak teraba
 Ginjal : Ballotement (-)
- Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-)
- Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
 Alat Kelamin : Tidak ada kelainan
 Anus dan Rektum : Tidak ada kelainan
 Kulit : Hiperemis (-)
 Punggung : Skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
- Palpasi : Gibbus (-)
- Nyeri Ketok : (-)
- Auskultasi : Rh -/- Wh -/-
 Ekstremitas
- Bentuk : Simetris, refleks fisiologis (+/+), refleks
patologis (-/-)
- Akral : Dingin, pucat (+), sianosis perifer
(-),bintik pendarahan (-)
- Kuku dan jari : Lengkap, normal
- Capillary refil test : < 2’’
3. Assessment :
Laki-laki usia 45 tahun datang dengan keluhan lemas sejak 5 bulan SMRS

6
dan semakin memberat sejak 2 minggu SMRS. Keluhan lain yang dirasakan
pusing (+), mual (+), muntah (-), batuk (-), sesak (+) kadang-kadang, NUH
(+), Riw. Demam (-). Nafsu makan menurun sejak 2 minggu SMRS. BAB
cacing (-), BAK seperti biasa. Pada pemeriksaan fisik ditemukan mata
conjungtiva anemis (+), Abdomen Nyeri tekan epigastrium (+), Bising usus
normal, ekstremitas telapak tangan dan kaki tampak pucat.
4. Diagnosis :
 Anemia ec Ancylostomiasisis
 Dyspepsia
5. Plan :
 Pengobatan
Pada pasien ini diberikan terapi:
- IVFD RL 28 tpm
- Inj Ceftriaxone 1gr/12j/iv
- Inj Ranitidin 50 mg/12j/iv
- Drip Farbion 1 amp/24 Jam
 Konsultasi
Perlu dilakukan konsultasi ke dokter spesialis penyakit dalam
 Rujukan
Pada kasus ini, rujukan tidak perlu dilakukan karena kasus ini masih dapat
ditangani di rumah sakit setempat.
 Kontrol
Kontrol pada pasien ini perlu dilakukan untuk follow-up keadaan umum
serta mencegah terjadinya komplikasi sehubungan dengan kasus ini.

7
A. RINGKASAN MATERI
PENDAHULUAN

Ancylostomiasis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi


cacing tambang. Infeksi cacing tambang masih merupakan masalah kesehatan di
dunia. Cacing ini banyak menginfeksi orang-orang di lingkungan yang sanitasinya
buruk, terutama pada daerah pedesaan. Di pedesaan bagian dari Puducherry,
wilayah pesisir selatan India, penduduk disana menghadiri berbagai departemen
rawat jalan di rumah sakit dengan berbagai keluhan saluran pencernaan dan
anemia. Jumlah total 2600 pasien diperiksa untuk mengetahui infeksi parasit
selama periode satu tahun (2007-2008) dengan menggunakan teknik parasitologi
standar. Dari 417 pasien positif, jumlah 286 (68,58%) telah terinfeksi cacing dan
131 (31,41%) telah terinfeksi selain infeksi cacing. Pria lebih banyak terinfeksi
daripada perempuan. Infeksi cacing tersebut diidentifikasi yakni Cacing tambang
(86,36%), Strongyloides stercoralis (6,29%), Ascaris lumbricoides (2,79%),

8
Trichuris trichiura, (1,04%), Enterobius (1,04%) dan Hymenolepis (2.44%).
Tingginya insiden infeksi akibat cacing tambang di daerah ini menyoroti fasilitas
sanitasi yang buruk dan berbagai faktor lingkungan seperti buang air besar di
udara terbuka yang menghasilkan kontaminasi tanah dengan cacing telur. Telur ini
akan matang dalam tanah yang lembab dan menjadi infektif bagi manusia. Di
daerah ini praktek tidak menggunakan alas kaki selama kegiatan sehari-hari
sangat umum sehingga memungkinkan hal tersebut menjadi faktor penyebab
terinfeksi cacing tambang.

Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar antara 30 – 50% di


berbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah
perkebunan seperti di perkebunan karet di Sukabumi, Jawa Barat (93,1%) dan di
perkebunan kopi di Jawa Timur (80,69%). Prevalensi infeksi cacing tambang
cenderung meningkat dengan meningkatnya umur. Tingginya prevalensi juga
dipengaruhi oleh sifat pekerjaan sekelompok karyawan atau penduduk. Sebagai
contoh dapat dikemukakan sebagai berikut : kelompok karyawan wanita maupun
pria yang menolah tanah di perkebunan teh atau karet, akan terus menerus
terpapar terhadap kontaminasi.

Beberapa spesies cacing tambang yang penting, diantaranya :

1. Necator americanus
2. Ancylostoma duodenale
3. Ancylostoma braziliense
4. Ancylostoma ceylanicum
5. Ancylostoma caninum

Cacing ini memerlukan tanah pasir yang gembur, tercampur humus dan
terlindung dari sinar matahari langsung. Telur cacing tambang menetas menjadi
larva rabditiform dalam waktu 24-36 jam untuk kemudian pada hari ke 5 – 8
menjadi bentuk filariform yang infektif. Suhu optimum bagi N.americanus adalah
28°C – 32 °C dan untuk A.duodenale adalah sedikit lebih rendah 23°C – 25 °C.
Ini salah satu sebab mengapa N.americanus lebih banyak ditemukan di Indonesia
daripada A.duodenale.

9
Larva filariform cacing tambang dapat bertahan 7 – 8 minggu di tanah dan
harus masuk menembus kulit manusia untuk meneruskan lingakaran hidupnya.
Larva cacing tambang ini memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya, oleh
karena itu olahan tanah dalam bentuk apapun di lahan pertanian dan perkebunan
akan menguntungkan pertumbuhan larva.

Pencegahan dan pemberantasan cacing-cacing ini adalah dengan :

1. Memutuskan rantai daun hidup dengan cara :


a. Berdefekasi di kakus
b. Menjaga kebersihan, cukup air bersih di kakus, mandi dan cuci tangan
secara teratur.
c. Pengobatan masal dengan antelmintik yang efektif, terutama pada
golongan rawan.
2. Pemberian penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang
baik dan cara menghindari infeksi cacing-cacing ini.
Pengalaman membuktikan, bahwa ketentuan-ketentuan yang tertera di atas
sangat sulit diterapkan di suatu masyarakat yang sedang berkembang. Pengertian
sanitasi lingkungan yang baik sulit dikembangkan dalam masyarakat yang
mempunyai keadaan sosio-ekonomi rendah, dengna keadaan seperti berikut :
- Rumah-rumah berhimpitan di daerah kumuh (slum area) di kota-kota besar
yang mempunyai sanitasi lingkungan buruk, khususnya tempat anak balita
tumbuh.
- Di daerah pedesaan anak berdefekasi dekat rumah dan orang dewasa di
pinggir kali, di lading dan perkebunan tempat ia bekerja.
- Penggunaan tinja yang mengandung telur hidup untuk pupuk di kebun
sayuran.
- Pengolah tanah pertanian/perkebunan dan pertambangan dengan tangan dan
kaki telanjang, tidak terlindung.
Pengobatan masal meskipun ada obat yang ampuh, sulit dilaksanakan, karena
harus dilakukan 3 – 4 kali setahun dan harga obat tidak terjangkau. Maka
penyuluhan kepada masyarakat menjadi penting sekali dan dititik beratkan pada
perubahan perilaku yang mempertinggi prevalensi infeksi cacing dan
mengembangkan sanitasi lingkungan yang baik. Dengan demikian keadaan
endemic dapat dikurangi dan angka kesakitan (morbiditas) yang tinggi dapat
diturunkan dalam masyarakat.

10
ANCYLOSTOMIASIS

Ancylostomiasis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi


cacing tambang. Infeksi cacing tambang pada manusia disebabkan oleh infeksi
cacing nematode parasit Necator americanus dan Ancylostoma duodenale dan
ditularkan melalui kontak dengan tanah yang terkontaminasi. Infeksi cacing
tambang adalah salah satu infeksi kronis yang paling umum, dengan perkiraan
740 kasus di daerah pedesaan miskin di daerah tropis dan subtropis. Karena
infeksi cacing tambang terjadi kebanyakan di kalangan orang-orang yang paling
miskin di dunia, infeksi cacing menduduki tempat yang unik dalam sejarah
modern. Sekarang, infeksi cacing tambang adalah di antara penyakit tropis yang
paling penting pada manusia memperlihatkan bahwa infeksi ini mempunyai
tingkat yang lebih tinggi dari trypanosomiasis Afrika, demam berdarah, penyakit
Chagas, schistosomiasis dan leprosy.

Jumlah terbesar kasus cacing tambang terjadi di Asia, diikuti oleh sub-
Sahara Afrika. Di China saja, sekitar 190 juta orang terinfeksi cacing tambang,
sebuah perkiraan yang didasarkan pada sebuah studi/penelitian nasional yang
melibatkan pemeriksaan spesimen kotoran yang diambil dari hampir 1.5 juta

11
orang antara 1988 dan 1992. N.Americanus adalah cacing tambang yang paling
umum di seluruh dunia, sementara A. duodenale lebih terbatas secara geografis.
Berbeda dengan spesies anthropophilic utama ini, tiga spesies cacing tambang
zoonotis adalah penyebab minor penyakit pada manusia. A. ceylanicum
menginfeksi anjing dan kucing dan juga bisa menginfeksi manusia tetapi tidak
dianggap sebagai pathogen penting. Cacing tambang anjing A. caninum
menyebabkan manusia enteritis eosinopholik di timur laut Australia, dan A.
braziliense menyebabkan cutaneous larva migrans.

1) Definisi Cacing Tambang

Cacing tambang
atau cacing cambuk
(h ookworm) adalah
cacing parasit
(nematoda) yang
Ancylostoma duodenale hidup di usus kecil,
pada mamalia seperti kucing, Necator americanus anjing ataupun
manusia. Spesies cacing tambang yang
menginfeksi manusia yaitu Ancylostoma duodenale dan Necator americanus.
Kedua spesies ini termasuk dalam Phylum Nematelminthes. Hospes dari
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah manusia, yang cacing
dewasanya berhabitat di usus halus manusia. Infeksi A. duodenale dan N.
americanus merupakan penyebab terpenting anemia defisiensi besi. Selain itu
infeksi cacing tambang juga merupakan penyebab hipoproteinemia yang
terjadi akibat kehilangan albumin, karena perdarahan kronik pada saluran
cerna. Penyakit yang disebabkan oleh Necator americanus adalah
Nekatoriasis, sedangkan Ancylostoma duodenale menyebabkan penyakit
Ankilostomiasis. Cacing tambang merupakan salah satu cacing usus yang
termasuk dalam kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah (soil
transmitted helminth). Daur hidup cacing tambang yaitu telur dikeluarkan
bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur menetas menjadi larva
rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform

12
yang dapat menembus kulit hospes kemudian berhabitat di usus halus dalam
tubuh hospes tersebut. Cacing tambang betina menghasilkan 9.000-10.000
butir telur seharinya. Infeksi cacing tambang paling sering ditemukan di
daerah yang hangat dan lembab, dengan tingkat sanitasi lingkungan yang
buruk.

Infeksi cacing tambang pada manusia terutama disebabkan oleh


Ancylostoma duodenale (A. duodenale) dan Necator americanus (N.
americanus). Kedua spesies ini termasuk dalam famili Strongyloidae dari
filum Nematoda. Selain kedua spesies tesebut, dilaporkan juga infeksi
zoonosis oleh A. braziliense dan A. caninum yang ditemukan pada berbagai
jenis karnivora dengan manifestasi klinik yang relatif lebih ringan, yaitu
creeping eruption akibat cutaneus larva migrans. Terdapat juga infeksi A.
ceylanicum yang diduga menyebabkan enteritis eosinofilik pada manusia.
Diperkirakan terdapat 1 miliar orang di seluruh dunia yang menderita infeksi
cacing tambang dengan populasi penderita terbanyak di daerah tropis dan
subtropis, terutama di Asia dan subsahara Afrika. Infeksi N. americanus lebih
luas penyebarannya dibandingkan A. duodenale, dan spesies ini juga
merupakan penyebab utama infeksi cacing tambang di Indonesia.

Infeksi A. duodenale dan N. americanus merupakan penyebab terpenting


anemia defisiensi besi. Selain itu infeksi cacing tambang juga merupakan
penyebab hipoproteinemia yang terjadi akibat kehilangan albumin, karena
perdarahan kronik pada saluran cerna. Anemia defisiensi besi dan
hipoproteinemia sangat merugikan proses tumbuh kembang anak dan berperan
besar dalam mengganggu kecerdasan anak usia sekolah. Penyakit akibat
cacing tambang lebih banyak didapatkan pada pria yang umumnya sebagai
pekerja di keluarga. Hal ini terjadi karena kemungkinan paparan yang lebih
besar terhadap tanah terkontaminasi larva cacing. Sampai saat ini infeksi
cacing tambang masih merupakan salah satu penyakit tropis terpenting.
Penurunan produktifitas sebagai indikator beratnya gangguan penyakit ini.
Dalam kondisi infeksi berat, infeksi cacing tambang ini dapat menempati

13
posisi di atas tripanosomiasis, demam dengue, penyakit chagas,
schisostomiasis dan lepra.

2) Morfologi Cacing Tambang

Gambar 1.1
Gambar 1.2 Gambar 1.3

Telur cacing tambang berbentuk oval (bulat lonjong), dinding sel (hialin)
tipis dan bening, dengan ukuran yang berbeda tergantung dari jenisnya.
Necator americanus memiliki ukuran telur 64 –76 mm x 36–40 mm
sedangkan Ancylostoma duodenale ukuran telurnya 56–60 mm x 36–40 mm.
Larva cacing tambang ini memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya, oleh
karena itu olahan tanah dalam bentuk apapun di lahan pertanian dan
perkebunan akan menguntungkan pertumbuhan larva (Gambar 1.1).

Ukuran larva Rhabditiform kedua cacing tambang ini adalah sama ± 250
mikron. Rongga mulut larva rhabditiform terbuka, sempit dan panjang,
memiliki esophagus 1/3 panjang badan bagian anterior (Gambar 1.2).

Ukuran larva Filariform cacing tambang panjangnya ± 700 mikron.


Rongga mulutnya tertutup, dan memiliki esophagus 1/4 panjang anterior
badan. Larva ini menginfeksi host (manusia) dengan penetrasi kulit. Larva
filariform merupakan bentuk infektif cacing ini (Gambar 1.3).

Cacing tambang betina dewasa berukuran panjang kurang lebih 1 cm.


Ujung ekor yang betina berbentuk runcing dan mempunyai sepasang organ
reproduksi (2 ovari). Bentuk badan N. americanus biasanya menyerupai huruf
S, sedangkan A. duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut (kapsula
buccal) N. americanus mempunyai benda kitin/ lempeng pemotong,
sedangkan pada A. duodenale ada dua pasang gigi/ 4 gigi ventral. Pada cacing
betina N. americanus menghasilkan telur 9000/hari dan pada A. duodenale

14
menghasilkan telur 10.000/hari. Cacing jantannya berukuran kurang lebih 0,8
cm, mempunyai organ reproduksi tunggal (testis) dengan ujung ekor yang
berbentuk tumpul, dilengkapi bursa kopulatriks.

Hospes parasit ini adalah manusia, cacing dewasa hidup di rongga usus
halus dengan giginya melekat pada mukosa usus. Cacing betina menghasilkan
9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1
cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk huruf S atau C
dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Telur cacing tambang yang
besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding
tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel antara lain, larva rhabditiform
panjangnya kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filariform panjangnya
kurang lebih 600 mikron.

3) Patofisiologi dan Klinis Penyakit

a. Invasi Larva Pada Jaringan

Beberapa rata-rata tertinggi dari penularan cacing tambang terjadi di


daerah pantai dunia, di mana tahap ketiga larva yang bisa menginfeksi dapat
bermigrasi secara bebas pada tanah berpasir di mana temperatur dan
kelembaban cukup optimal untuk kelangsungan hidup larva. Di wilayah-
wilayah ini, terpapar yang terjadi berulang-ulang oleh tahap ketiga larva N.
americanus atau A. duodenale menyebabkan pruritis local, erythematous,
papular local yang dikenal sebagai “ground itch”. Walaupun seluruh
permukaan tubuh rentan, ground itchi lebih sering muncul di tangan dan kaki,
yang merupakan tempat utama masuk untuk tahap ketiga larva. Berbeda
dengan ground itch, kulit yang diinvasi oleh zoonotik A. braziliense tahap
ketiga larva menghasilkan larva migrans cutaneous, atau “creeping eruption,”
sebuah kondisi dermatologis yang self-limited yang ditandai oleh lubang
serpiginous, 1 – 5 cm panjangnya. Disebabkan oleh tahap ketiga larva yang
bermigrasi pada epidermis, lubang mucul pada kaki di 39 persen kasus
(Gambar 1), pada bokong sebanyak 18 persen, dan pada abdomen sebanyak
16 persen; dalam kasus yang lain, lubang kebanyakan muncul dibagian bawah

15
kaki, lengan dan wajah. Di Amerika Serikat, larva migrans cutaneous
umumnya terlihat pada personel militer, pada pelancong yang pulang dari
tempat berlibur yang memiliki pantai berpasir, dan pada penduduk Florida dan
Gulf Coast; larva migrans ini berhasil ditangani dengan sukses dengan
penggunaan pengobatan oral jangka pendek dengan albendazole atau
ivermectin.

Gambar 1. Larva migrans cutaneous disebabkan oleh Ancylostoma braziliense.

16
Sementara di tanah, tahap ketiga larva berada dalam keadaan
pemberhentian perkembangan; perkembangan mulai kembali sesudah larva masuk
ke dalam host. Pada manusia, jalan masuk melalui kulit diikuti dalam waktu 10
hari oleh migrasi larva ke dalam paru-paru (Gambar 2), menyebabkan batuk dan
sakit tenggorokan. Infeksi cacing tambang paru-paru menyerupai sindrom Löffler
karena hubungannya dengan eosinophilia dalam paru-paru. Dalam kasus yang
jarang, pneumonitis menyertai larva migrans cutaneous. Cacing tambang
pneumonitis biasanya tidak parah, walaupun mungkin akan bertahan selama lebih
dari sebulan, sampai larva meninggalkan paru-paru dan masuk ke saluran
percernaan. Hal ini tidak dikenali secara umum bahwa A. duodenale tahap ketiga
larva menginfeksi manusia melalui mulut dan kulit. Ketika infeksi oleh A.
duodenale terjadi melalui mulut, migrasi awal dari tahap ketiga larva

menyebabkan sebuah sindrom yang dikenal dengan penyakit Wakana, yang


ditandai dengan mual, muntah, iritasi pharyngeal, batuk, kesulitan bernafas, dan
suara serak. Peningkatan tingkat sirkulasi IgE terjadi sebagai respon pada migrasi
larva tingkat tiga di paru-paru dan usus.

17
Gambar 2. Siklus kehidupan Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale

Keterangan Gambar 2 :

Manusia mendapatkan cacing tambang ketika tahap ketiga larva


yang bersifat infektif berada di tanah menembus kulit (seperti halnya juga
N. americanus and A. duodenale) atau ketika larva tersebut tertelan (hanya
A. duodenale). Larva masing-masing panjangnya kira-kira 600 µm dan
terhenti secara perkembangan. Setelah memasuki host, larva menerima
signal yang berasal dari host yang menyebabkan mereka kembali
berkembang. Larva kemudian migrasi melalui pembuluh darah dan tersapu
oleh sirkulasi aferen ke sisi kanan jantung dan kemudian ke pembuluh darah
paru-paru. Dari kapiler paru-paru, larva pecah dan memasuki parenkim, di
mana mereka naik ke alveoli, bronchioles, bronkus dan trakea. Setelah
terbatukan dan tertelan, larva memasuki saluran perncernaan, di mana
mereka berganti kulit dua kali dan berkembang menjadi dewasa. Kira-kira
enam atau delapan minggu berlalu dari saat pertama larva menginfeksi
manusia sampai mereka mencapai kematangan seksual dan berpasangan.
Tiap cacing tambang betina menghasilkan ribuan telur tiap harinya.
Kehilangan darah usus pada host inang dimulai tepat sebelum produksi telur
dan pelepasan dan berlanjut untuk kehidupan cacing tambang. Cacing
tambang ke luar dari tubuh melalui tinja. Ketika tersimpan dalam tanah,
dengan kehangatan yang memadai, keteduhan, dan kelembaban, telur
menetas dalam waktu 24 – 48 jam dan berkembang menjadi larva tahap
pertama. Larva-larva ini berganti kulit dua kali ketika mereka berkembang
menjadi tahap tiga. Larva adalah organism yang tidak diberi
makan/nonfeeding yang dapat hidup untuk beberapa minggu dalam tanah,
sampai mereka menghabiskan penggunaan cadangan metabolis lipid
mereka. Penularan cacing tambang yang paling dominan di daerah-daerah
di mana ada kelembaban yang tinggi dan kondisi tanah yang sesuai. Tanah
berpasir yang mengandung lumpur (contohnya, “lempung pasir”) adalah

18
yang paling disukai dan menjadi satu-satunya faktor prevalensi tinggi
infeksi cacing tambang di daerah-daerah pantai.

4) Gejala Klinis

a) Stadium larva : Larva filariform yang menembus kulit dalam jumlah yang
banyak secara sekaligus dapat menyebabkan perubahan kulit berupa :

 Gatal atau pruritus kulit, terutama di kaki (ground itch).


 Dermatitis dan kadang ruam makulopapula sampai vesikel; merupakan
tanda pertama yaNg dihubungkan dengan invasi larva cacing.
 Perubahan yang terjadi pada paru biasanya ringan. Selama berada di paru,
larva dapat menyebabkan kapiler-kapiler dalam alveoli paru menjadi peah
sehingga terjadi batuk darah. Berat ringannya kondisi ini ditentukan oleh
jumlah larva cacing yang melakukan penetrasi ke dalam kulit.
 Gejala-gejala pada usus terjadi dalam waktu 2 minggu setelah larva
melakukan penetrasi terhadap kulit. Larva cacing menyebabkan iritasi usus
halus. Gejala dari iritasi usus halus diantaranya adalah rasa tidak enak di
eprut, kembung, sering mengeluarkan gas (flatus), serta menret-mencret

b) Stadium dewasa, Gejala yang terjadi bergantung pada:


 Spesies dan jumlah cacing
Setiap satu cacing Ancylostoma duodenale akan menyebabkan kehilangan
darah sebanyak 0,08-0,34 cc setiap hari.
 Keadaan gizi penderita (Fe dan protein)
Infeksi cacing Ancylostoma dalam stadium dewasa dapat
menyebabkan terjadinya anemia hipokromik normositer serta eosinofilia.
Anemia terjadi setelah infestasi cacing dalam tubuh berlangsung selama
10-20 mingggu. Jumlah cacing dewasa yang diperlukan untuk
menimbulkan gejala anemia adalah lebih dari 500, tetapi bergantung pada
keadaan gizi hospes.

Eosinofilia akan jelas terlihat pada bulan pertama infeksi cacing.


Toksin cacing yang dapat menyebabkan anemia belum dapat dibuktikan.
Ancylotomiasis biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi

19
menyebabkan daya tahan tubuh berkurang. Prestasi kerja juga dapat
menurun akibat ancylostomiasis.

Gejala klinik dan diagnosis gejala klinik karena infeksi cacing tambang
antara lain lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap
penyakit, prestasi kerja menurun, dan anemia (anemia hipokrom mikrositer). Di
samping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing tambang utama yang berhubungan
dengan cedera pada manusia terjadi ketika parasit dewasa menyebabkan
kehilangan darah pada interstitial. Istilah “penyakit cacing tambang” merujuk
utamanya pada anemia karena kekurangan zat besi yang merupakan akibat dari
infeksi yang yang sedang atau berat. Kehilangan darah terjadi ketika cacing-
cacing tersebut menggunakan alat pemotong untuk menempelkan mereka pada
mucosa dan submucosa intestinal/usus dan mengerutkan esophagi otot mereka
untuk menciptakan tekanan negative, yang menghisap potongan jaringan kedalam
kapsul buccal mereka (Gambar 3). Kapiler dan arteriol pecah bukan hanya secara
mekanis tetapi juga secara kimiawi, melalui aksi dari enzim hidrolitis. Untuk
memastikan aliran darah, cacing tambang dewasa mengeluarkan agen/unsure
anticlotting. (Salah satunya, sebuah faktor VIIa/faktor inhibitor jaringan, yang
sedang dikembangkan sebagai sebuah unsure terapetis untuk memblokir
coagulopathy dari infeksi fulminant dikarenakan virus Ebola) Cacing tambang
mencerna sebagian dari darah extravasasi. Beberapa sel darah merah mengalami
lisis, sehingga melepaskan hemoglobin, yang dicerna oleh sebuah kaskade
hemoglobinases yang menandai usus parasit.

Manifestasi klinis utama dari penyakit cacing tambang adalah


konsekuensi dari kehilangan darah interstinal yang kronis. Anemia karena
kekurangan zat besi terjadi dan hypoalbuminemia berkembang ketika kehilangan
darah melebihi asupan dan cadangan zat besi host dan protein. Bergantung pada
status zat besi host, beban cacing tambang (yakni, intensitas infeksi, atau jumlah
cacing per orang) dari 40 sampai 160 cacing diasosiasikan dengan tingkat
hemoglobin di bawah 11g per desiliter. Namun, studi lain telah memperlihakan
bahwa anemia bisa terjadi dengan beban cacing tambang yang lebih ringan.

20
Karena infeksi oleh A.duodenale menyebabkan kehilangan darah yang lebih hebat
dibandingkan terinfeksi oleh N. americanus, tingkatan anemia karena kekurangan
zat besi yang disebabkan oleh cacing tambang bergantung pada spesies.

Gambar 3. Hubungan antara Berat Cacing Tambang dan Anemia.

Keterangan Gambar 3 :

Total jumlah telur kuantitatif berfungsi sebagai ukuran tidak langsung dari
berat cacing tambang dewasa (yakni, jumlah cacing per pasien). Tingkat
hemoglobin turun dalam proporsi terhadap infeksi.

Kebanyakan tanda fisik dari infeksi cacing tambang kronis mencerminkan


adanya anemia karena kekurangan zat besi. Selain itu, anasarca dari plasma
hypoproteinemia yang luas diasosiasikan dengan edema di wajah dan anggota
tubuh bagian bawah dan dengan perut gendut. Kulit menjadi licin dan
memperoleh warna kekuningan yang tidak sehat (sebuah fitur chlorosis tropis).
Cacing tambang dapat menyebabkan hypothermia yang cukup parah untuk
mengurangi demam yang disebabkan oleh malaria. Selain dari anemia microcytic
hypochromic, penemuan laboratorium yang paling menonjol adalah eosinophilia.
Eosinophilia mencapai puncaknya pada lima sampai Sembilan minggu setelah
awal infeksi, sebuah periode yang bertepatan dengan kemunculan cacing tambang
dewasa dalam usus. Pasien dengan beban cacing tambang yang lebih ringan
biasanya asympthomatis/tanpa gejala; namun, beberapa pasien melaporkan
perbaikan klinis subjektif setelah diobati. Beban cacing tambang yang sedang atau
berat mengakibatkan rasa sakit epigastris dan fisik yang lemah, mual, exertional

21
dyspnea, rasa sakit ekstremitis pada bagian bawah, palpitasi, nyeri sendi dan
sternum, sakit kepala, kelelahan dan impotensi. Pada orang dewasa, kapasitas
untuk bekerja mungkin akan terpengaruh secara berbeda-beda, dan banyak orang
melaporkan ketidakmampuan bekerja.

5) Pemeriksaan Penunjang

Untuk kepentingan diagnosis infeksi cacing tambang dapat dilakukan secara


klinis dan epidemiologis. Secara klinis dengan mengamati gejala klinis yang
terjadi pada penderita sementara secara epidemiologis didasarkan atas berbagai
catatan dan informasi terkait dengan kejadian infeksi pada area yang sama dengan
tempat tinggal penderita periode sebelumnya. Pemeriksaan penunjang saat awal
infeksi (fase migrasi larva) mendapatkan:

a) eosinofilia (1.000-4.000 sel/ml)

Anemia dikonfirmasi oleh CBC dan hasil apusan darah tepi yang
menunjukkan tanda-tanda khas anemia defisiensi besi. Mikroskopi
mengungkapkan hipokromik, sel darah merah mikrositik (RBC). Setelah
infeksi awal, eosinofilia biasanya muncul selama fase migrasi sebelum temuan
feses positif. Eosinofilia menetap disebabkan oleh perlekatan cacing dewasa
pada mukosa usus. Jumlah puncak eosinofil adalah 1350-3828 sel / μL pada 5-
9 minggu setelah paparan manusia eksperimental terhadap 45-50 larva
infektif. Eosinofilia dapat menjadi petunjuk untuk cacing tambang, serta
Strongyloides kutu, pada pasien yang terinfeksi secara kronis.

b) feses normal

Pemeriksaan penunjang pada cacing tambang dewasa dilakukan dan dapat


menemukan telur cacing dan atau cacing dewasa pada pemeriksaan feses. Hal-
hal penting pada pemeriksaan laboratorium, diantaranya adalah telur cacing
tambang yang ditemukan dalam tinja sering dikacaukan oleh telur A.
lumbricoides yang berbentuk dekortikasi. Tinja yang dibiarkan lebih dari 24
jam tanpa diawetkan maka telur yang ada di dalamnya akan berkembang,
menetas dan mengeluarkan larva labditiform. Larva labditiform cacing

22
tambang harus dibedakan dengan Stronyloides stercoralis dan
Trichostrongylus (melalui pembiakan larva metode Harada Mori). Telur cacing
tambang mudah rusak oleh perwanaan permanen dan telur lebih mudah di
lihat pada sediaan basah.

c) Radiologi

pemeriksaan CXR menunjukkan infiltrat alveolar difus selama migrasi


larva melalui paru-paru. Setelah infeksi terjadi di usus, kolonoskopi dapat
mengungkapkan ulserasi ileum dan kolon dan, kadang-kadang, cacing
tambang dewasa.

d) peningkatan kadar IgE.

Eosinofilia (bersama dengan peningkatan serum immunoglobulin E [IgE])


jarang terjadi pada kasus larva migrans kulit tetapi hampir secara universal
hadir dalam kasus enteritis eosinofilik. Dapat ditemukan peningkatan IgE dan
IgG4, tetapi pemeriksaan IgG4 tidak direkomendasikan karena tinggi
biayanya.

6) Diagnosis Banding

a. Ascariasis

Ascariasis adalah infeksi cacing yang paling umum, dengan prevalensi 804
juta kasus di seluruh dunia yang diperkirakan di seluruh dunia pada tahun
2013. Biasanya tanpa gejala, ascariasis adalah yang paling umum. pada anak-
anak di negara tropis dan berkembang, di mana mereka diabadikan oleh
kontaminasi tanah oleh kotoran manusia atau penggunaan kotoran yang tidak
diobati sebagai pupuk. Ascariasis simtomatik dapat bermanifestasi sebagai
retardasi pertumbuhan, pneumonitis, obstruksi usus, atau cedera hepatobilier
dan pankreas.

a) Epidemologi

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) memperkirakan


bahwa tingkat ascariasis di seluruh dunia pada 2015 adalah sebagai

23
berikut: 86 juta kasus di Cina, 204 juta di tempat lain di Asia Timur dan
Pasifik, 173 juta di Afrika sub-Sahara, 140 juta di India, 97 juta di tempat
lain di Asia Selatan, 84 juta di Amerika Latin dan Karibia, dan 23 juta di
Timur Tengah dan Afrika Utara. Antara tahun 1990 dan 2015, beban
penyakit ascariasis diperkirakan telah menurun hingga 75%. Namun, data
survei rusak karena kurangnya metode diagnostik standar. Karena umur
cacing dewasa di usus hanya 1-2 tahun, infeksi persisten sering
membutuhkan paparan ulang dan infeksi ulang. Frekuensi dan intensitas
infeksi tetap tinggi sepanjang hidup di daerah endemis dan berisiko bagi
orang tua dan orang muda. Dalam sebuah penelitian baru-baru ini di
pedesaan barat daya Nigeria, intensitas telur yang diekskresikan per gram
tinja di antara orang yang terinfeksi adalah 2.371 untuk Ascaris spesies,
1070 untuk cacing tambang, dan 500 untuk Trichuris spesies, dengan
tingkat yang sedikit lebih rendah di antara orang-orang di daerah
perkotaan.

b) Patofisiologi

Ascaris lumbricoides adalah yang terbesar dari nematoda umum


(cacing gelang) yang menginfeksi manusia. Cacing dewasa A
lumbricoides berwarna putih atau kuning dan panjang 15-35 cm (lihat
gambar pertama di bawah). Mereka hidup 10-24 bulan di jejunum dan
ileum tengah usus. Setiap hari, betina lumbricoides menghasilkan 240.000
telur, yang dibuahi oleh cacing jantan di dekatnya. Sebuah penelitian di
Cina menunjukkan bahwa 45% orang yang terinfeksi hanya bertelur, 40%
bertelur dan tidak dibuahi, dan 20% hanya bertelur yang tidak dibuahi.
Telur yang tidak dibuahi menyumbang hanya 6-9% dari telur yang
ditumpahkan. Telur yang dibuahi yang dilepaskan ke tanah yang
menguntungkan dapat menular dalam waktu 5-10 hari. Telur dapat
bertahan di tanah hingga 17 bulan. Infeksi terjadi melalui kontaminasi
tanah pada tangan atau makanan, konsumsi, dan penetasan telur
selanjutnya di usus kecil. larva tahap kedua melewati dinding usus dan
bermigrasi melalui sistem portal ke hati (4 hari) dan kemudian paru-paru

24
(14 hari). Paparan yang signifikan dapat menghasilkan pneumonia dan
eosinofilia selanjutnya. Gejala pneumonitis termasuk mengi, dispnea,
batuk tidak produktif, hemoptisis, dan demam. Larva dikeluarkan dan
ditelan, akhirnya mencapai jejunum, di mana mereka menjadi dewasa
pada sekitar 65 hari.

Cacing dewasa memakan produk pencernaan inang. Cacing besar dan


kusut dapat menyebabkan obstruksi usus (biasanya ileum), saluran umum,
pankreas, atau usus buntu. Rata-rata beban cacing bervariasi dari lebih
dari 16 hingga 4 dan muncul terkait dengan faktor inang, terutama usia,
geofag, dan kekebalan. Cacing tidak berkembang biak di host. Agar
infeksi dapat bertahan melebihi umur maksimum 2 tahun dari cacing,
harus dilakukan paparan ulang. Beberapa anak tampak sangat terinfestasi,
mungkin dari berbagai paparan kumulatif dari waktu ke waktu dan atau
defisiensi imun relatif.

c) Gejala Klinik

Gejala awal ascariasis, selama migrasi paru-paru awal (10 14 hari


pertama setelah konsumsi) termasuk batuk, dispnea, mengi, urtikaria,
hemoptisis, dan nyeri dada. Hal Ini terjadi secara musiman setelah hujan
di beberapa negara, seperti Arab Saudi. Wisatawan yang kembali juga
dapat mengalami sindrom Loeffler dari pneumonia eosinofilik jika
terpapar dalam lingkungan berisiko tinggi. Nyeri perut, distensi, kolik,
mual, anoreksia, dan diare intermiten dapat merupakan manifestasi
obstruksi usus parsial atau komplit oleh cacing dewasa. Penyakit kuning,
mual, muntah, demam, dan sakit perut yang parah atau menjalar dapat
menyarankan kolangitis, pankreatitis, abses hati, atau radang usus buntu.

Mengi dan takipnea dapat terjadi selama migrasi paru, terutama pada
orang dengan beban cacing yang tinggi. Urtikaria dan demam juga dapat
terjadi pada fase migrasi akhir. Distensi abdomen tidak spesifik tetapi
sering terjadi pada anak-anak dengan ascariasis. Nyeri perut, terutama di
kuadran kanan atas, hipogastrium, atau kuadran kanan bawah, mungkin

25
menunjukkan komplikasi ascariasis. Bukti kekurangan gizi akibat
ascariasis paling kuat untuk vitamin A dan C, serta protein, seperti
ditunjukkan oleh albumin dan studi pertumbuhan pada anak-anak yang
diamati secara prospektif. Beberapa studi belum mengkonfirmasi
keterlambatan nutrisi atau perkembangan karena ascariasis.

d) Diagnosis

- Laboratorium

Pemeriksaan tinja untuk ova dan parasit hampir selalu


mengungkapkan telur berukuran besar berwarna cokelat 60 μm X 50
μm pada penderita ascariasis. Namun, pemeriksaan feses mungkin
negatif untuk ovum hingga 40 hari setelah infeksi karena waktu yang
dibutuhkan untuk migrasi dan pematangan cacing. Permukaan luar
telur yang telah dibuahi memiliki lapisan mucopolysaccharide yang
tidak rata. Ascaris Larva dapat diamati pada sediaan basah mikroskopis
basah selama fase migrasi paru.

Jumlah CBC menunjukkan eosinofilia selama fase migrasi jaringan


infeksi. Tes serologis tidak berguna secara klinis untuk ascariasis.

- Radiologi

Radiologi yang berpraktik di Eropa dan Amerika Utara harus akrab


dengan kelainan yang tidak terduga tetapi spesifik yang terkait dengan
penyakit parasit, terutama di zaman meningkatnya migrasi dan
pariwisata ini. Rontgen dada mungkin menunjukkan kekeruhan yang
cepat berlalu selama migrasi paru.

Radiografi perut dapat menunjukkan pola pusaran cacing


intraluminal. Tingkat cairan udara berbasis sempit tanpa lengkung usus
pada film polos menunjukkan obstruksi parsial. Level cairan udara
berbasis luas dengan loop buncit menunjukkan obstruksi total. Cacing
telah semakin diidentifikasi dalam saluran empedu atau kantong
empedu dengan ultrasonografi dan pemindaian CT Scan.

26
- Pemeriksaan Lain

Endoskopi retrograde cholangiopancreatography (ERCP) telah


menjadi prosedur yang umum digunakan untuk diagnosis ascariasis
dan pengangkatan cacing dari saluran empedu. Kemudahan diagnosis
dan terapi dalam pengaturan yang sama membuat ERCP sangat
berharga ketika digunakan dengan ultrasonografi real-time. Prosedur
gabungan menghasilkan sensitivitas hampir 100%

e) Penatalaksanaan

Karena risiko komplikasi, pasien dengan ascariasis yang mengalami


infeksi cacing lainnya harus selalu menjalani perawatan untuk ascariasis
terlebih dahulu. Terapi medis biasanya tidak diindikasikan selama infeksi
paru aktif karena larva yang sekarat dianggap berisiko lebih tinggi untuk
pneumonitis yang signifikan. Gejala paru dapat diperbaiki dengan terapi
bronkodilator inhalasi atau kortikosteroid, jika perlu.

Albendazole 400 mg satu dosis oral adalah obat pilihan untuk


ascariasis pada pasien stabil yang lebih tua dari 12 bulan dengan infeksi
tanpa komplikasi. Sebuah studi tahun 2012 dari Indonesia menunjukkan
bahwa albendazole memberikan sterilisasisignifikan secara statistik lebih
baik Ascaris yang telurdaripada mebendazole tetapi tingkat kesembuhan
yang setara dan tingkat pengurangan telur. Tinjauan sistemik dan meta-
analisis dari 34 studi 2017 menunjukkan tingkat kesembuhan 95,7%
dengan albendazole dosis tunggal. Ascariasis umumnya hidup
berdampingan dengan infeksi whipworm, yang tampaknya paling rentan
terhadap mebendazole dosis tiga. Albendazole tidak dianjurkan selama
kehamilan, pyrantel pamoate adalah obat pilihan dalam kasus ini.

Terapi alternatif adalah mebendazole (tawaran 100 mg untuk 3 hari).


Mebendazole tidak dianjurkan selama kehamilan; pyrantel pamoate
adalah obat pilihan dalam kasus ini. Sebagai alternatif untuk albendazole
dan mebendazole, ivermectin dapat diberikan dalam dosis 150-200
mikrogram / kg berat badan.

27
Terapi obat hanya memengaruhi cacing dewasa. Jika pasien tinggal di
daerah endemis atau baru saja pindah, ia mungkin masih membawa larva
yang belum rentan. Pasien tersebut harus dievaluasi kembali dalam 3
bulan dan mundur jika feses tetap ada. Di daerah endemis, tingkat infeksi
ulang mendekati 80% dalam waktu 6 bulan.

f) Prognosis

Tingkat kesembuhan segera setelah albendazole dosis tunggal di Afrika


Selatan adalah 95%, dengan tingkat pengurangan sel telur lebih dari 99%.
Sebagian besar pasien yang dirawat menjadi terinfeksi ulang dalam
beberapa bulan kecuali mereka dipindahkan ke area sanitasi yang jauh
lebih baik.

7) Penatalaksanaana

Obat-obat antihemintes yang efektif melawan cacing tambang adalah sebagai


berikut :

 Albendazole dalam dosis tunggal 400 mg atau setiap hari selama 3 hari.

 Mebendazole 100 mg dua kali sehari selama 3 hari (lebih efektif daripada
dosis tunggal 500 mg).

 Thiabendazole dioleskan untuk menyerang larva yang bermigrasi dalam


larva kulit migran.

 Pyrantel pamoate dalam beberapa dosis 10 mg / kg, biasanya selama 3


hari.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) terus merekomendasikan


400 mg albendazole dosis tunggal di Situsnya (26 Juli 2018), tetapi mencatat
bahwa albendazole masih belum disetujui FDA untuk pengobatan infeksi cacing
tambang. Panduan Sanford untuk Terapi Antimikroba merekomendasikan
albendazole 400 mg setiap hari selama 3 hari atau mebendazole 100 mg dua kali
sehari selama 3 hari.

28
8) Pencegahan

Kontrol masyarakat terhadap infeksi cacing tambang sulit dilakukan kecuali


perbaikan substansial dalam kondisi sosial ekonomi, sanitasi, pendidikan, dan
ketersediaan alas kaki dapat dicapai. Program yang berhasil mencakup komponen
ekonomi, sanitasi, dan perawatan massal. Rekomendasi WHO saat ini untuk
infeksi cacing tambang termasuk terapi massa berkala untuk menurunkan beban
cacing secara keseluruhan sampai kondisi memungkinkan program fisik dan
pendidikan multikomponen. Tokoh masyarakat harus dilatih tentang rekomendasi
WHO. Sehubungan dengan sanitasi, pembuangan tinja saniter adalah pencegah
paling efektif, tetapi tidak layak di banyak negara berkembang. Mengenakan alas
kaki tidak dapat sepenuhnya mencegah infeksi karena larva dapat menembus
permukaan kulit yang bersentuhan dengan tanah yang terkontaminasi. Selain itu,
duodenale larvadapat dicerna.

9) Komolikasi

Seringnya terkena paparan akan mengakibatkan parasitisme berat dapat


menyebabkan perdarahan gastrointestinal akut, anemia akut berat, dan gagal
jantung kongestif. Dalam satu penelitian, anak-anak dengan helminthiasis
(termasuk infeksi yang disebabkan oleh cacing tambang dan cacing lainnya) dan
anemia adalah 8,7 kali lebih mungkin mengalami pertumbuhan terhambat dan 4,3
kali lebih mungkin mengalami berat badan kurang dari anak-anak tanpa anemia
dan infeksi.

29

Anda mungkin juga menyukai