Anda di halaman 1dari 22

Laporan Praktik Kunjungan

Balai Litbang P2B2 Banjarnegara

KELOMPOK IV :
Agung Karyawanto P07133216047
Florentina Witri P07133216051
Susy Anggraini P07133216055
Ari Rahmawati P07133216060
Djamhariadin P07133216064
Kustini P07133216066
Asih Mahastuti P07133216067
Juwita Eka H P07133216071

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV ALIH JENJANG


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Profil Balai Litbang P2B2 Banjarnegara


1. Kelembagaan
a. Sejarah
Bermula dari Proyek Intensification of Communicable Disease Control
– Asian Development Bank (ICDC-ADB) yang dimulai pada tahun 1998, yaitu
suatu proyek Intensifikasi Pemberantasan Penyakt Menular (IPPM) yang meliputi
penyakit Malaria, ISPA, TBC dan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I). Proyek ICDCADB ini dilaksanakan di enam propinsi yaitu :
Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Proyek ini terdistribusi 21 Kabupaten di
enam Provinsi tersebut. Untuk menunjang upaya menurunkan kejadian malaria
di daerah ICDC-ADB maka dibangun institusi penunjang proyek bernama
Stasiun Lapangan Pemberantasan Vektor (SLPV)di enam Provinsi, salah satunya
di Provinsi Jawa Tengah, SLPV ini berkedudukan di Banjarnegara Provinsi Jawa
Tengah dengan Annual Parasite Incidence tertinggi diantara empat kabupaten
pelaksana proyek ICDC-ADB lainnya di Jawa Tengah, yaitu : Banjarnegara,
Jepara, Kebumen, dan Pekalongan. SLPV inisecara adminstratif bertanggung
jawab kepada Kanwil Departemen Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, tetapi
secara teknis kepada Kepala Direktur Pemberantasan Penyakit Bersumber
Binatang (P2B2). SLPV Banjarnegara mulai beroperasi tanggal 15 Agustus
1999 yang menempati rumah kontrakan di Jalan Al Munawaroh No. 11
Banjarnegara sampai dengan bulan September 2000. Gedung baru kemudian
dibangun di atas tanah Pemda Banjarnegara dengan luas tanah 1360 m2.
Pembangunan gedung mulai tanggal 6 Januari 2000 dan selesai tanggal 3 Mei
2000. Kemudian baru ditempati sejak tanggal 14 September 2000. Dengan
diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah, SLPV
tidak diintegrasikan ke dalam Dinas Kesehatan Provinsi, tetapi masih merupakan
UPT Pusat dibawah Badan Litbangkes bernama UPF-PVRP. Hal ini
dimaksudkan agar SLPV dapat bermanfaat lebih luas bagi kabupaten/provinsi
lain di luar Jawa Tengah. Dengan berakhirnya Proyek ICDC-ADB aset UPF-
PVRP yang ada di Provinsi harus diberdayakan. Untuk itu oleh Badan
Litbangkes dan dibantu oleh Ditjen PPM-PLdiusulkanlah kelembagaan UPF-
PVRP kepada Menpan. Dengan persetujuan Menpan, Menteri Kesehatan dengan
SK Nomor : 1406/MENKES/SK/IX/2003, tanggal : 30 September 2003
menetapkan kelembagaan UPF-PVRP di enam Provinsi menjadi Loka Litbang
P2B2. Merujuk Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 894/Menkes/Per/IX/2008,
Loka Litbang P2B2 Banjarnegara mempunyai Unggulan Penelitian dan
Pengembangan di bidang Penyakit Bersumber Rodensia. Pada tanggal 5 Mei
2011 berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 920 /
Menkes/Per/V/2011, status kelembagaan meningkat dari Loka Litbang P2B2
Banjarnegara (Eselon IVA) menjadi Balai Litbang P2B2 Banjarnegara (Eselon
IIIB).
b. Tugas
Melakukan Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber
Binatang.
c. Fungsi
1) Penyusunan rencana dan program penelitian dan pengembangan
pengendalian penyakit bersumber binatang.
2) Pelaksanaan kerjasama penelitian dan pengembangan pengendalian penyakit
bersumber binatang.
3) Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan penyusunan laporan penelitian dan
pengembangan pengendalian penyakit bersumber binatang.
4) Pelaksanaan penelitian dan pengembangan pengendalian penyakit sesuai
keunggulannya.
5) Penentuan karakteristik epidemiologi penyakit bersumber binatang.
6) Pengembangan metode dan teknik pengendalian penyakit bersumber
binatang.
7) Pengelolaan sarana penelitian dan pengembangan pengendalian penyakit
bersumber binatang serta pelayanan masyarakat.
8) Pengembangan jejaring informasi dan ilmu pengetahuan teknologi kesehatan.
9) Pelaksanaan diseminasi dan promosi hasil-hasil penelitian dan pengembangan
pengendalian penyakit bersumber binatang.
10) Pelaksanaan urusan ketatausahaan dan kerumahtanggaan. Berikut ini adalah
Struktur Organisasi Balai Litbang P2B2 Banjarnegara sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 920/Menkes/Per/V/2011
Sumber Daya
a. Sumber Daya Manusia
Sampai dengan Desember 2014, Balai Litbang P2B2 Banjarnegara memiliki
pegawai sebanyak 61 orang yang terdiri dari 38 orang PNS, 20 orang tenaga
kontrak dan 3 orang CPNS tahun 2013. Grafik berikut menggambarkan fluktuasi
jumlah pegawai Balai Litbang P2B2 Banjarnegara selama dua belas tahun
terakhir.
b. Sarana Prasarana
1) Gedung Kantor
Gedung kantor A seluas 280 m2 dibangun pada tahun 2010, terdiri atas dua
lantai. Lantai pertama terdiri dari ruang Kepala Balai, ruang Kepala Sub
Bagian Tata Usaha, ruang sekretaris pimpinan, dan ruang staf administrasi.
Sedangkan lantai dua terdiri dari ruang Kepala Seksi dan staf program dan
kerjasama, ruang Kepala Seksi dan staf pelayanan penelitian, dan ruang
peneliti.
2) Laboratorium Terpadu
Gedung laboratorium terpadu seluas 564 m2 dibangun pada tahun
2010 terdiri atas dua lantai. Lantai pertama terdiri dari Instalasi Rodentologi,
Parasitologi, Entomologi, Bakteriologi. Sedangkan lantai dua terdiri dari
ruang teknisi, ruang diskusi dan ruang kendali IT, instalasi Epidemiologi, GIS
dan Statistik serta ruang menyusui.
1.1 Instalasi Parasitologi
Instalasi parasitologi memiliki kemampuan antara lain : Pembuatan
preparat malaria sediaan darah tipis dan tebal, Pembuatan preparat malaria
dan filaria dengan pewarnaan giemsa, Pemeriksaan parasit malaria dan
filaria secara mikroskopis, Pemeriksaan parasit malaria dengan rapid test,
Menghitung densitas (human malaria) pada sediaan darah tipis dan tebal,
Menghitung parasitemia pada hewan coba, Pembuatan preparat
endoparasit dan pemeriksaaan serta bisa melakukan pemeriksaan telur
cacing pada feses tikus.
1.2 Instalasi Entomologi
a) Ruang praktikum entomologi
Instalasi entomologi memiliki kemampuan antara lain : Mampu
mengidentifikasi nyamuk dewasa, serta mengidentifikasi telur dan
jentik nyamuk, menghitung siklus gonotropik, mendeteksi kejadian
transovari pada nyamuk aedes, Identifikasi nyamuk penular malaria
(menemukan sporozoit) dan filariasis (larva cacing ditubuh nyamuk),
menghitung umur relatif nyamuk, menentukan bionomik/perilaku
nyamuk vektor malaria di suatu daerah endemis malaria, Instalasi
entomologi juga mampu mengidentifikasi pinjal pada tikus dan
pemeriksaan / identifikasi ektoparasit pada tikus. Instalasi
entomologi juga memiliki kemampuan untuk melakukan ujiuji yaitu
susceptibility atau resistensi nyamuk dewasa terhadap insektisida,
melakukan bioassay pada nyamuk dewasa (IRS, fogging) dan jentik,
dan mampu melakukan uji presipitin pada nyamuk Kemampuan lain
yang dimiliki Instalasi Entomologi adalah pembuatan awetan nyamuk
(pinning) dan jentik ( mounting), pembuatan replika nyamuk.
Instalasi entomologi juga menyediakan material hewan coba
(telur,jentik,nyamuk) serta pinning.
b) Rearing Nyamuk
Rearing nyamuk merupakan bagian dari kegiatan instalasi
entomologi, kegiatan ini bertujuan untuk mengembangbiakkan koloni
nyamuk. Saat ini koloni yang ada adalah nyamuk dari genus Aedes,
terdapat rak untuk penetasan telur, serta pemeliharaan jentik dan
nyamuk. Ruang rearing terhubung dengan kandang hewan yang
didalamnya digunakan untuk memelihara marmut yang digunakan
untuk pakan nyamuk.
Kegiatan rearing entomologi larva yang berubah menjadi pupa
di catat jumlahnya. Dari hasil pencatatan dapat di buat grafik untuk
mengetahui perkembangan pupa nyamuk.
1.3 Instalasi Rodentologi
a) Ruang praktikum Rodentologi
Instalasi rodentologi memiliki kemampuan antara lain :
(1) Taksonomi (inventarisasi spesies dan identifikasi)
(2) Berbagai ragam teknik trapping (pengumpulan tikus) baik hidup
maupun mati
(3) Metode pengawetan spesimen baik basah maupun kering
(4) Uji reproduksi
(5) Koloni rodent
(6) Menyediakan hewan coba tikus.
b) Ruang Rearing Mencit
Ruang rearing mencit merupakan bagian dari instalasi
rodentologi. Menempati ruang berukuran 50 m2, terdapat 1 unit Mice
cage and racks dan box kandang. Ruang ini digunakan untuk
mengembangbiakkan mencit (Mus musculus albino) galur swiss dan
balb-c serta tikus putih (Rattus norvegicus albino) yang digunakan
untuk penelitian, baik oleh peneliti Balai Litbang P2B2 Banjarnegara
maupun dari instansi lain.
1.4 Instalasi Bakteriologi
Kemampuan instalasi bakteriologi antara lain :
a) Melakukan pemeriksaan bakteri Leptospira dengan metode kultur
b) Melakukan pemeriksaan bakteri Leptospira dengan metode PCR
c) Melakukan pemeriksaan penyakit Leptospirosis menggunakan rapid
diagnostic test
d) Melakukan pemeriksaan bakteri pes dengan metode pengecatan
wayson
e) Melakukan pemeriksaan dan identifikasi serotype virus Dengue
dengan metode RT-PCR
f) Melakukan pemeriksaan virus Dengue dengan metode imunositokimia
g) Melakukan pemeriksaan virus Chikungunya dengan metode RT-PCR
h) Melakukan uji bakteriologi dari berbagai sampel seperti feses atau air
1.5 Instalasi Epidemiologi dan Biostatistik

Kemampuan instalasi epidemiologi, GIS dan Statistik antara lain:


Telaah Epidemiologi penyakit bersumber binatang,Menyiapkan pedoman
tool kit penelitian indikasi KLB/KLB P2B2,Memberi masukan dalam
menentukan desain penelitian, Memberi masukan dalam rencana
pengolahan dan analisa data, Membantu dalam pengolahan data,
Melakukan analisis secara spasial kasus malaria, leptospirosis dan pes

3) Studio Multimedia
Berupa bangunan seluas 180 m2, dengan 2 set meja tamu, 6 unit AC,
80 kursi, LCD viewer, layar ukuran 6 x 4 m, perangkat audio / sound system,
DVD Player. Memiliki koleksi film antara lain film tentang kehidupan tikus,
film “Awas Leptospirosis”, film tentang filariasis, film tentang demam
berdarah dengue dan film kunjungan PAUD/TK.
4) Perpustakaan
Perpustakaan menyediakan buku-buku referensi untuk menunjang
kegiatan penelitian dan pengembangan dengan jumlah koleksi 677 judul buku
dan 856 eksemplar, untuk koleksi majalah dan jurnal sebanyak 52 judul jurnal
dan majalah dengan jumlah total 319 eksemplar.
5) Green House
Green house dibangun selain untuk penghijauan di lingkungan kantor
juga ditujukan untuk koleksi dan memelihara berbagai tanaman pengusir
nyamuk berdasarkan referensi dan tanaman pemandul tikus.
Praktik Identifikasi dan Pembedahan Nyamuk

A. Pelaksanaan
Hari / Tanggal : Senin, 17 April 2017
Tempat : Laboratorium Entomologi
B. DASAR TEORI
Vektor adalah anthropoda yang dapat menimbulkan dan menularkan suatu
infectious agent dari sumber infeksi kepada induk semag yang rentan. Bagi dunia
kesehatan masyarakat, binatang yang termasuk kelompok vector yang dapat merugikan
kehidupan manusia karena disamping mengganggu secara langsung juga sebagai
perantara penularan penyakit. Hewan yang termasuk kedalam vector penyakit yaitu salah
satunya Nyamuk. Vector nyamuk yang terdapat di pemukiman perkotaan dapat
memberikan dampak terhadap kesehatan masyarakat, antara lain nyamuk AedesAegypti
(menyebabkan penyakit demam beradarah dan cikungunya),Anopheles (menyebabkan
penyakit malaria) dan nyamuk Culex (menyebabkan penyakit kaki gajah).

Nyamuk jantan dan betina dewasa perbandingan 1 : 1, nyamuk jantan keluar


terlebih dahulu dari kepompong, baru disusul nyamuk betina, dan nyamuk jantan tersebut
akan tetap tinggal didekat sarang, sampai nyamuk betina keluar dari kepompong, setelah
betina keluar, maka nyamuk jantan akan langsung mengawini betina sebelum mencari
darah. Selama hidup nyamuk betina hanya sekali kawin, dalam bertelur nyamuk betina
dapat mengeluarkan sampai 300 butir telur dan dalam perkembangan telur bergantung
pada beberapa factor antara lain temperature dan kelembaban serta species dari nyamuk.

Tingginya populasi nyamuk sangat membahayakan kehidupan manusia.


Keberadaan vector sebagai suatu yang merugikan tersebut harus ditanggulangi dengan
pengendalian vector. Untuk itu dilakukan pembedahan pada nyamuk untuk mengetahui
pada bagian kelenjar liur ada tidaknya sporozooit, pada lambung mengetahui ada
tidaknya parasit, dan pada ovarium ditujukan untuk mengetahui telah berapa kali nyamuk
tersebut bertelur dan mengetahui umur populasi. Ovarium nyamuk dapat dibedakan
menjadi dua yaitu ovarium paraous dan nulliparous.
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui peralatan yang digunakan dalam pembedahan.
2. Untuk mengetahui cara pembedahan nyamuk.
3. Untuk mengindentifikasi bagian dalam tubuh nyamuk.
D. Alat dan Bahan
Alat:
1. Jarum seksi
2. Pinset
3. Deckglass
4. Slide
5. Mikroskop Stereo (untuk pembedahan)
6. Mikroskop Compound (untuk pengamatan)
7. Objek glass

Bahan:

1. Nyamuk segar
2. Chloroform
3. Kapas
4. Air

E. Prosedur Kerja
1. Matikan nyamuk menggunakan kapas yang telah diberi Chloroform
2. Nyamuk yang telah mati diletakkan pada objek glass yang telah ditetesi air.
3. Tempelkan abdomen mengenai aquades (lakukan dibawah mikroskop stereo).
4. Cara peletakan nyamuk yaitu bagian kepala diletakkan pada bagian kiri, dan pada
abdomen dibagian kanan.
5. Gunakan 2 jarum bedah yaitu untuk melakukan pembedahan abdomen, tangan kiri
memegang jarum yang tumpul dan ditusukkan pada toraks sedangkan tangan kanan
memegang jarum yang runcing yang diletakkan pada bagian ujung abdomen.
6. Tangan kanan yang memegang jarum runcing yang merobek segmen perut ruas
dengan cara ditarik perlahan-lahan ke belakang, sampai ovarium keluar.
7. Setelah ovarium keluar lakukan pemeriksaan dibawah mikroskop compound dengan
pembesaran 100 kali , amati ovarium apakah parous dan nulliparous dengan
mengetahui ciri sebagai berikut:
- Apabila yang tracheola sudah terurai dan tidak menggulung, berarti nyamuk
sudah pernah bertelur atau parous.
- Apabila tracheola masih menggulung, berarti nyamuk belum pernah bertelur atau
nulliparous.

F. Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan pada di laboratorium balai
litbang P2B2 Banjarnegara maka diperoleh hasil yaitu dari 2 nyamuk dewasa yang
dibedah terdapat 2 diantaranya berhasil diidentifikasi ovarium parrous atau telah
mengeluarkan telur. Hal ini dapat diamati berdasarkan hasil pengamatan mikroskop
pembesaran 100xdilihat dari ada tidaknya dilatasi pada ovarium, apabila tardapat dilatasi
maka ovarium tersebut sudah pernah bertelur sedangkan bila tidak terdapat dilatasi maka
nyamuk tersebut belum pernah bertelur (nulli parrous).

G. Kesimpulan
Dari praktikum tersebut dapat disimpulkan bahwa umur populasi dari nyamuk
(parrousitas) dapat ditentukan melalui identifikasi ovarium nyamuk dan semakin tinggi
nilai parrositas nyamuk maka semakin tinggi potensi penyebaran nyamuk.
IDENTIFIKASI PAKAN DARAH NYAMUK DENGAN METODE
IMUNODIFUSI
Waktu : Senin, 17 Apri 2017
Tempat : Laboratorium Mikrobiologi,Biomol,Imunologi

A. Dasar Teori
Nyamuk merupakan salah satu vektor yang berperan penting dalam penularan
penyakit. Karakterisitik perilaku nyamuk dalam penularan penyakit bervariasi antara
spesies nyamuk di satu daerah dengan spesies di daerah yang lain. Salah satu aspek
yang penting dalam interaksi vektor dengan inangnya adalah perilaku kesukaan pakan
darah (host preference), dimana setiap spesies vektor akan memilih spesies inang
dalam kisaran yang terbatas.
Salah satu penyakit yang penularannya dipengaruhi oleh perilaku kesukaan
pakan darah dari nyamuk vektornya adalah malaria. Sebagaimana diketahui, nyamuk
Anopheles memiliki host preference dengan kisaran yang luas meliputi, manusia,
ternak, unggas hingga kelompok reptile. Spesies Anopheles yang lebih suka
menghisap darah manusia (antropofilik) akan menjadi vektor yang kompeten dalam
proses penularan malaria.
Teknik serokgi berdasarkan reaksi imunodifusi menggunakan gel agar telah
digunakan secara luas untuk mengidentifikasi darah inang dalam tubuh vektor. Reaksi
positif ditunjukkan dengan sebuah garis presipitasi yang terbentuk pada darah
pertemuan antara antigen dan antibody. Dasar dari teknik ini adalah adanya migrasi
antigen dan antibody bersamaan ke arah masing-masing melalui matrix gel agar. Pada
saat terjadi kontak antara antigen dan antibodi spesifik maka keduanya akan
membentuk sebuah garis presipitasi yang terperangkap dalam matrix gel agar dan
menghasilkan suatu garis yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Garis presipitasi
akan terbentuk apabila konsentrasi antigen dan antibodi berada dalam kondisi
optimum.

B. Bahan Dan Cara Kerja


Bahan dan peralatan yang di butuhkan untuk pengumpulan dan pengiriman
bahan/spesimen untuk uji presipitin adalah:
1. Nyamuk hasil tangkapan dengan kondisi perut kenyang darah (blood fed).
2. Kertas saring yang berbentuk lingkaran dengan garis tengah 10 cm.
3. Agar gel yang dicetak dalam petri dish dan diberi lubang
4. Mikro pipet
5. Senter
6. Larutan PBS
7. Pelat tetes
8. Lumpang porselin
9. Human antisera
C. Cara Kerja:

Pengumpulan sampel darah dari tubuh nyamuk


1. Kertas saring dibagi menjadi 16 bagian
2. Nyamuk dari spesias dengan metode penangkapan yang sama di keluarkan darahnya
dengan menekan ujung abdomen di atas kertas saring dengan menggunakan jarum
seksi atau sudut kaca benda.
3. Darah nyamuk di atas kertas di ratakan sehingga meresap
4. Bersihkan jarum seksi atau kaca benda untuk menghindari kontaminasi antara tetes
darah dari nyamuk satu dengan yang lainnya.
5. Setelah kertas saring terisi semua dengan tetes darah di lanjutkan dengan kertas
saring berikutnya.
6. Seluruh kertas saring yang telah terisi darah kemudian di masukkan kedalam
amplop yang ukurannya lebih besar dari kertas saring tersebut.
7. Amplop berisi specimen tersebut di masukkan kedalam kotak kardus yang telah di
isi dengan silika gel lalu dibawa ke laboratorium tempat pengujian dilaksanakan.

Penentuan pakan darah dengan uji imunodifusi


1. Disiapkan gel agar yang telah dicetak dalam petri dish dan diberi lubang
2. Kertas saring digunting pada bagian yang mengandung sampel darah
3. Potongan kertas saring yang mengandung sampel darah tersebut direndam dalam
200 ul larutan PBS 1 x dalam pelat tetes dan dibiarkan hingga semua darah yang ada
di kertas larut
4. Larutan human antisera diisikan ke lubang gel agar yang ada di posisi tengah,
sedangkan lubang disekelilingnya diisi dengan sampel darah dari tubuh nyamuk
5. Petri dish ditutup dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang
6. Pengamatan garis presispitasi dilakukan dengan bantuan pencahayaan menggunakan
senter. Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya garis presisipitasi pada agar yang
terletak antara lubang sampel dan lubang antisera.

D. Hasil dan Pembahasan


Praktik dilakukan di laboratorium mikrobiologi,Biomol, imunologi.
Praktik dilakukan dari pengambilan sampel darah nyamuk Saat praktik uji presipitas
hanya dilakukan secara simulasi saja artinya melakukan praktik tetapi tidak sampai
mendapatkan hasil. Karena uji presipitasi membutuhkan waktu 24 jam untuk
mengetahui hasilnya.
IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN TIKUS

A. Pelaksanaan

Waktu : Senin, 17 April 2017


Tempat : Laboratorium Rodentiologi

B. Dasar Teori

Rodent, baik disadari atau tidak, kenyataanya telah menjadi saingan bagi
manusia. Lebih dari itu insect dan rodent, pada dasarnya dapat mempengaruhi
bahkan mengganggu kehidupan manusia dengan berbagai cara. Dalam hal jumlah
kehidupan yang terlibat dalm gangguan tersebut, erat kaitanya dengan
kejadian/penularan penyakit.hal demikian dapat dilihat dari pola penularan penyakit
pest yang melibatkan empat faktor kehidupan, yakni Manusia, pinjal , kuman dan
tikus.
Upaya untuk mempelajari kehidupan tikus menjadi sangat relefan.
Salah satunya adalah mengetahui jenis atau spesies tikus yang ada, melalui
identifikasi maupun deskripsi. Untuk keperluan ini dibutuhkan kunci identifikasi
tikus atau tabel deskripsi tikus, yang memuat ciri–ciri morfologi masing – masimg
jenis tikus. Ciri–ciri morfologi tikus yang lazim dipakai untuk keperluan tersebut di
antaranya adalah : berat badan (BB), panjang kepala ditambah badan (H&B), ekor
(T), cakar (HF), telinga (E), tengkorak (SK) dan susunan susu (M). Disamping itu,
lazim pula untuk diketahui bentuk moncong,warna bulu, macam bulu ekor, kulit
ekor, gigi dan lain-lain.
Klasisifikasi Tikus :
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Class : Mammalia
Ordo : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Bandicota
Ordo Rodentia merupakan ordo dari kelas Mammalia yang terbesar karena
memiliki jumlah spesies terbanyak yaitu 2.000 spesies (40 %) dari 5.000 spesies
untuk seluruh kelas Mammalia. Dari 2.000 spesies Rodentia, hanya kurang lebih
150 spesies tikus yang ada di Indonesia dan hanya 8 spesies yang paling berperan
sebagai host (vektor) dari agent patogen terhadap manusia dan hama pertanian.
Delapan spesies tersebut yaitu Rattus norvegicus (tikus riol/got/selokan/kota),
Rattus-rattus diardii (tikus rumah/atap), Mus musculus (mencit rumah), Rattus
exulans (tikus ladang), Bandicota indica (tikus wirok), Rattus tiomanicus (tikus
pohon), Rattus argentiventer (tikus sawah), Mus caroli (mencit ladang).
Rattus norvegicus, Rattus rattus dan Mus musculus mempunyai
distribusi geografi yg menyebar diseluruh dunia sehingga disebut sebagai hewan
kosmopolit. Sisanya hanya sekitar Asia dan Asia Tenggara saja. Tikus wirok, tikus
riul, tikus sawah dan mencit ladang termasuk hewan terestrial yang dicirikan
dengan ekor relatif pendek terhadap kepala dan badan serta tonjolan pada telapak
kaki yang relatif kecil dan halus. Tikus pohon, tikus rumah (atap), tikus ladang dan
mencit rumah termsuk hewan arboreal yang dicirikan dengan ekor yang panjang
serta tonjolan pada telapak kaki yang besar dan kasar. Salah satu ciri terpenting dari
Ordo Rodentia (hewan pengerat) adalah kemampuannya untuk mengerat benda-
benda yang keras. Maksud mengerat untuk mengurangi pertumbuhan gigi serinya
terus menerus. Pertumbuhan gigi seri yang terus menerus disebabkan oleh tidak
adanya penyempitan pada bagian pangkalnya sehingga terdapat celah yang disebut
diastema. Diastema berfungsi untuk membuang kotoran yg ikut terbawa dengan
pakannya masuk kedalam mulut. Rodentia tidak mempunyai gigi taring, sehingga
ada celah antara geraham dan gigi seri (diastema).

C. Alat Dan Bahan

Alat :
1. Sarung tangan
2. Masker
3. Penggaris
4. Sisir tikus
5. Karung
6. Baskom
7. Alat tulis
8. Jarum suntik
9. Gunting
10. Pinset
Bahan

1. Tikus hidup
2. Ketamin
3. Atropin
D. CaraKerja

1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan


2. Memindahkan / memasukkan tikus dari dalam perangkap ke dalam karung
3. Mengeluarkan tikus dari dalam karung dan menyuntiknya dengan ketamin +
atropin 0,3 ml
4. Menunggu beberapa menit hingga tikus terbius dan mati
5. Meletakkan tikus di dalam baskom.
6. Menyisir bulu tikus di atas baskom untuk mengetahui ada atau tidaknya pinjal
pada tikus
7. Menimbang tikus dan mencatat hasil pengukurannya
8. Melakukan pengukuran :
a. panjang seluruhnya / total length (TL) dari ujung moncong sampai panjang
ekor
b. Panjang ekor / tail (T) dari pangkal ekor/anus sampai ujung ekor.
c. Panjang telapak kaki belakang / hind foot (HF) dari tumit sampai ujung
kuku/cakar
d. Panjang telinga / ear dari lekukan dibelakang telinga sampai ujung daun
telinga.
9. Mencatat hasil pengukuran tikus yang diperiksa
10. Melakukan pembedahan pada tikus.
11. Mengambil organ tikus.
12. Mengukur panjang testis tikus.

E. Hasil Dan Pembahasan

Balai Litbang P2B2 Banjarnegara merupakan salah satu instansi kesehatan yang
melaksanakan program penelitian dan pengembangan serta program pencegahan dan
pengendalian terhadap vektor-vektor penyakit menular. Balai Litbang P2B2 Banjarnegara
mempunyai beberapa Instalasi, salah satunya adalah Instalasi parasitologi yang
mempunyai salah satu tugas yakni pemeriksaan endoparasit pada tikus.
Kunjungan di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara dilaksanakan pada hari Jumat, 14
Juli 2017. Proses pembelajaran di Ruang Praktikum Entomologi Instalasi Parasitologi Balai
Litbang P2B2 Banjarnegara yaitu berupa penjelasan teoritis dan praktik pembedahan
tikus.
Setelah melakukan identifikasi, diperoleh hasil sebagai berikut :
Tikus 1
1. Bobot tubuh : 280 gram
2. Panjang keseluruhan (TL) : 410 mm
3. Panjang Ekor (T) : 200 mm
4. Panjang telinga (E) : 19 mm
5. Panjang Telapak Kaki (HF) : 36 mm
6. Panjang x lebar testis : 18 x 9 mm
7. Jenis kelamin : jantan

Tikus 2

1. Bobot tubuh : 240 gram

2. Panjang keseluruhan (TL) : 390 mm

3. Panjang Ekor (T) : 180 mm


4. Panjang telinga (E) : 17 mm
5.Panjang Telapak Kaki (HF) : 33 mm
6. Panjang mamae : 12 mm
7. Jenis kelamin : betina

F. Kesimpulan

Dari hasil kunjungan praktikum identifikasi morfologi dan pembedahan tikus


di Laboratorium Balai Litbang P2B2 Banjarnegara didapatkan kesimpulan bahwa
jenis tikus yang diidentifikasi yaitu spesies Rattus norvegicus yang berjenis
kelamin jantan dan betina.
APLIKASI INSEKTISIDA

A. Pelaksanaan
Waktu : Jumat,14 Juli 2017
Tempat : Belakang laboratorium
B. Dasar Teori
Mewabahnya penyakit demam berdarah di seluruh Indonesia akhir-akhir ini bukan
hanya disebabkan oleh sikap dan pola hidup tidak higienis. Pemansan global juga memicu
pertumbuhan nyamuk sebagai pembawa penyakit tersebut, dalam hal ini nyamuk dapat
bertahan hidup dan berkembang di daerah yang sebelumnya tidak mungkin. Pemanasan
global membuat nyamuk yang selama ini hidup di daerah panas dan daerah dengan
ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan laut, mampu berkembang biak dan
bertahan hidup di luar daerah-daerah tersebut. Juga hal ini membuat daya tahan nyamuk
Aedes aegyptie makin kuat. Siklus hidup makin cepat, dan populasi nyamuk tentu saja
meningkat pesat. (Anies, 2006: 25).
Menurut DEPKES RI (2003:45) Penyemprotan rumah dengan efek residual (IRS =
Indoor Residual Spraying) telah lama dilakukan dalam pemberantasan malaria di Indonesia.
Sampai sekarang cara ini masih dipakai karena dipandang paling tepat dan besar manfaatnya
untuk memutuskan transmisi, murah dan ekonomis. Penyemprotan IRS adalah suatu cara
pemberantasan vektor dengan menempelkan racun serangga tertentu dengan jumlah (dosis)
tertentu secara merata pada permukaan dinding yang disemprot dengan tujuan untuk
memutus rantai penularan karena umur nyamuk menjadi lebih pendek sehingga tidak sempat
menghasilkan sporozoit didalam kelenjar ludahnya.
Dalam melaksanakan penyemprotan IRS (indoor residual spraying) diperlukan beberapa
persyaratan sebagai berikut :
1. Cakupan bangunan yang disemprot (coverage) Rumah atau bangunan dalam daerah
tersebut harus diusahakan agar semuanya disemprot. Yang dimaksud rumah atau bangunan
yaitu tempat tinggal yang digunakan malam hari untuk tidur.
2. Cakupan permukaan yang disemprot (completeness) Cakupan permukaan yang disemprot
adalah semua permukaan (dinding, pintu, jendela, almari dsb) yang seharusnya disemprot.
3. Pemenuhan dosis (sufficiency) Dosis yang dipergunakan yaitu dosis sesuai petunjuk
pemakaian yang tertera pada tiap saset insektisida.

C. Alat Dan Bahan


1. Spray-can : Alat semprot (Spray-can) yang digunakan untuk kegiatan
penyemprotan karakteristik sebagai berikut :
Kapasitas tangki : 3 US Gallon 11,36 liter
Tinggi tangki : 56 cm
Berat tangki : 5 kg
2. APD (Alat Pelindung Diri)
3. Alat ukur (lidi/kayu 46 cm)
Bahan
a. Air
b. Insektisida (Bahan kimia/Bendiocrab).
D. Hasil dan Pembahasan
Hasil dalam praktikum kali ini tidak ada dikarenakan mahasiswa tidak ditunjukan dan
praktik secara langsung,hanya di jelaskan secara teori.
E. Kesimpulan
Mahasiswa dapat mengerti secara teori saja tetapi belum bisa mengaplikasikan dikarenakan
tidak dilaksanakan praktik secra langsung
BIOASSAY LARVA
A. Pelaksanaan
Waktu : Jumat,14 Juli 2017
Tempat : Laboratorium Entomologi

B. Dasar Teori
Kegiatan bioassay larva dilakukan agar mengetahui evektifitas dari insektisida yang
digunakan. Uji bioassay adalah suatu uji untuk mengetahui kekuatan atau daya bunuh
insektisida baik terhadap nyamuk dewasa maupun jentik(Sugeng Abdullah, 2003).
Abate adalah nama dagang dari temephos, yang dari bahan jenis yaitu insektisida
golongan organofosfat yang digunakan untuk memberantas jentik nyamuk. Temefos
digunakan sejak tahun 1970 dalam bentuk granula pasir.Penggunaannya pada tempat
penampungan air minum dan telah dinyatakan aman oleh WHO dan DepKes RI.(Fajar,
2009). Dosis evektif abate yang dibutuhkan untuk membunuh jentik nyamuk dalam air adalah
10 gr untuk 100 liter air. Sifat abate berbeda dengan DDT hal ini karena DDT (dikloro difenil
tetrakloroetana) dapat terakumulasi di dalam tubuh, sedangkan abate tidak terakumulasi di
dalam tubuh.
Pada dasarnya abate setelah ditaburkan kedalam penampung air, bubuk abate akan
segera menempel di dinding penampung air, sehingga kadarnya di dalam air minum lebih
rendah dibanding di dinding penampung air. Daya tempelnya mampu bertahan 2 sampai 3
bulan. Abate sebaiknya hanya diaplikasikan pada wadah penampungan air yang sulit dan
jarang dikuras. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir terjadinya keracunan abate terhadap
manusia.
C. Metode
Metode yang digunakan didalam pengujian abate terhadap larva nyamuk adalah
metode bioassay. Bioassay yaitu uji efektifitas insectisida terhadap suatu mikroorganisme,
pada percobaan ini digunakan larva Ae. Aegypti yang sudah pada instar III.
D. Bahan dan alat
Bahan
1 larva nyamuk Ae. Aegypti instar III
2 air
3 ABATE
4 Dog food
Alat
1 paper cup ( 3 buah)
2 pipet larva
3 labu ukur
4 becker glass

E. Cara Kerja
a) Tentukan dosis 1mg/200ml, 3mg/200ml, 5mg/200ml, 7mg/200ml, 9mg/200ml,
b) Menyiapkan air sebanyak 200ml, di ukur menggunakan labu ukur,
c) Masukan air kedalam paper cup sebanyak 200ml
d) Menimbang Abate sebanyak 1 mg, 3mg, 5mg, 7mg, 9mg, menggunakan timbangan
analitik, caranya : masukan terlebih dahulu tabung krus kemudian nyalakan
timbangan ubah masa jenisnya dari gram ke miligram, masukan abate untuk di
timbang secara perlahan.
e) Campurkan masing – masing abate dengan air yang telah di masukan ke papercup,
tanpa di aduk,
f) Masukan larva 5 ekor ke dalam masing-masing kontainer,
g) Larva di beri makan dogfood yang telah dihaluskan menggunakan mortir,cukup 1
pucuk pengaduk,
i) Perlakuan di lakukan selama 24 jam,
k) Setelah 24 jam perlakuan di hitung jumlah larva yang mati.

F. Hasil Pembahasan
Hasil dari praktikum kali ini tidak ada, dikarenakan hanya teori dan praktik
memasukan jentik ke dalam paper cup.

G. Kesimpulan
Mahasiswa dapat mengetahui secara teori namun belum bisa mempraktikan secara
meyeluruh.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai