Anda di halaman 1dari 43

1

1. Judul Penelitian : White Anglo-Saxon Protestant (WASPJ dan

Wacana Othering Minoritas melalui Jargon

“Make America Great Again” dalam Pemilihan

Presiden Amerika Serikat Tahun 2016

2. Ruang Lingkup Analisis Politik Kontekstual

3. Latar Belakang Masalah

Multikulturalisme merupakan gagasan penting bagi masyarakat

majemuk dengan beragam perbedaan. Multikulturalisme idealnya ditanamkan di

banyak negara yang menginginkan demokrasi, seperti halnya di Amerika Serikat.

Amerika Serikat merupakan bangsa dan negara yang memiliki pengaruh besar

hampir di seluruh sektor kehidupan masyarakat di dunia. Amerika Serikat juga

merupakan rujukan bagi negara-negara lain yang ingin mengembangkan demokrasi

dengan memerhatikan perbedaan-perbedaan pada masyarakatnya, seperti perbedaan

etnis, ras, bahasa, agama, dan lain-lain.

Dengan beranggotakan 13 koloni/ negara bagian, Amerika

mendeklarasikan kemerdekaannya pada 4 Juli 1776.1 Koloni-koloni tersebut

berasal dari Eropa, seperti Inggris, Perancis, Portugis, dan Spanyol. Seiring

berjalannya waktu, penduduk Amerika menjadi semakin beragam, bahkan rasnya

1 Ditemukannya benua Amerika oleh Columbus pada abad 15 menyebabkan bangsa-bangsa


Eropa, seperti Inggris, Perancis, Portugis, dan Spanyol berbondong-bondong datang untuk melakukan
ekspansi dan kolonisasi terhadap suku asli Amerika. Hal inilah yang melatarbelakangi penyebutan
“koloni” hingga kemudian berkembang menjadi “negara bagian” setelah deklarasi kemerdekaan.
2

pun tidak lagi hanya kulit putih, melainkan juga orang-orang kulit hitam yang

tinggal sejak masa perbudakan di Amerika ataupun ras-ras lainnya dari berbagai

belahan dunia yang melakukan migrasi ke negara tersebut.

Keberagaman budaya di Amerika yang sudah terjadi sejak sebelum


negara tersebut merdeka—telah menjadi kesulitan tersendiri dalam membentuk

identitas nasional. Kesulitan yang dimaksud lantaran banyaknya budaya yang

saling bersinggunggan, baik dengan suku asli Amerika ataupun dengan sesama

pendatang dari Eropa. Kesulitan-kesulitan tersebut diakibatkan oleh adanya

persinggungan antarbudaya yang menimbulkan adanya struktur hierarkis identitas

kebudayaan sejak masa kolonialisme, dan mungkin hingga saat ini.

Struktur hierarkis identitas memiliki dampak politis. Dampak politis

tersebut dapat dilihat dari kelompok yang memiliki pengaruh lebih besar atau

mayoritas untuk menentukan “aturan main” selama masa kolonialisme ataupun

sesudahnya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan identitas-identitas budaya di

Amerika bersifat hierarkis.2

Dalam perjalanannya menuju revolusi kemerdekaan, orang-orang Eropa

yang telah menetap di Amerika banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai Abad

2 Kedudukan identitas yang hierarkis/ bertingkat dalam sejarah Amerika selalu menempatkan
orang-orang kulit putih Eropa pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan identitas lainnya.
“Throughout the Americas the process of miscegenation between Caucasoids, Amerindians, and Negroes
produced hybrid populations. It also produced a complicated social hierarchy in which racial
appearance or ancestry was perhaps the most important criterion of rank…Everywhere the European
whites dominated the American Indians and African slaves by force. ” (Sepanjang proses percampuran
antar etnis di Amerika antara Kaukasoid (orang-orang kulit putih), Amerika-Indian, dan orang kulit
hitam mengakibatkan munculnya populasi hibrid/ peranakan. Hal itu juga menimbulkan hierarki sosial
yang rumit di mana penampilan rasial atau keturunan barangkali menjadi standar yang begitu
penting…Di manapun orang-orang kulit putih Eropa mendominasi Amerika-Indian dan budak-budak
Afrika dengan paksa.) Charles Wagley, “On the Concept of Social Race in the Americas” dalam The
Nacirema Readings on American Culture, ed. James P. Spradley dan Michael A. Rynkiewich (USA:
Little, Brown and Company, 1975), 175-176.
3

Pencerahan, terutama konsep John Locke tentang kebebasan manusia. Selain itu,

terdapat pula tiga nilai fundamental—equality, liberty, property—yang

disebarluaskan agar tertanam kuat dalam diri bangsa Amerika.3 Ajaran religius juga

turut mewarnai kebudayaan Amerika seperti Puritanisme.4 5


Tokoh Puritan yang

terkenal dalam sejarah Amerika ialah John Winthrop dengan khotbahnya tentang

“A City Upon A Hill” atau A Model of Christian Charity.5 Khotbah tersebut salah

satunya menyebutkan bahwa orang-orang Amerika merupakan orang-orang terpilih

untuk menyucikan ajaran Tuhan dan mampu meraih kebahagiaan (the pursuit of

happiness) dengan menjadikan Amerika sebagai bangsa yang berjaya, atau sebagai

“A City Upon A Hill” di antara bangsa-bangsa lainnya.6

Nilai-nilai Abad Pencerahan, tiga nilai fundamental (equality, liberty,

property), dan ajaran Puritanisme memiliki dampak besar terhadap struktur

masyarakat di Amerika yang sangat hierarkis (seperti kaum kulit putih lebih unggul

daripada kaum kulit hitam). Berkat nilai-nilai dan ajaran tersebut, kemanusiaan di

Amerika semakin dihargai. Hal ini dapat dilihat ketika masa- masa awal

kemerdekaan, orang-orang Amerika mulai memikirkan untuk menyudahi

perbudakan terhadap kaum kulit hitam. Penghargaan terhadap kemanusiaan

3 Steffen W. Schmidt, dkk., American Government and Politics Today (USA: Wadsworth, 1999),
16.
4 Puritanisme merupakan salah satu aliran keagamaan dalam agama Kristen. Aliran ini
berusaha mengajak penganut Kristiani untuk kembali pada ajaran-ajaran Kristen awal, karena
menurut aliran ini ajaran Kristen telah banyak berubah bahkan semakin terfragmentasi menjadi
berbagai aliran.
5 Www.pbs.org, “Peoples & Ideas: John Winthrop,” dalam God in America, diakses pada 10
Januari 2017, www.pbs.org/godinamerica/people/john-winthrop.html.
6 John Winthrop mengatakan kepada para jemaahnya untuk percaya kepada Hukum Tuhan
dan aturan terbaik yang dibuat oleh masyarakat. “Govern you and judge your causes by the rules of
God’s law and our own, according to our best skill” (Ketentuan dan penilaianmu disebabkan oleh
aturan dari hukum Tuhan dan kita, menurut kemampuan terbaik kita.) Matthew S. Holand, Bonds of
Affection: Civic Charity and the Making of America 一Winthrop, Jefferson, and Lincoln (USA:
Georgetown University Press, 1966), 61.
4

tersebut tersurat dalam The Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan)

sebagai berikut.
“...that all Men are created equal, that they are endowed by their
Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life,
Liberty, and the pursuit of Happines … ”7 8
(...bahwa semua Manusia diciptakan sederajat, bahwa mereka
dianugerahi oleh Sang Pencipta dengan hak-hak yang tidak dihapuskan,
di antaranya yaitu Kehidupan, Kebebasan, dan mengejar
Kebahagiaan…)

Nilai-nilai fundamental Amerika—equality, liberty, property—dan

ajaran Puritanisme telah menjadikan Amerika tumbuh sebagai bangsa dan negara

yang dianggap lebih multikulturalis dan demokratis daripada bangsa-bangsa

lainnya. Namun demikian, sebagaimana kebudayaan yang memiliki sifat dinamis

dan fleksibel, Amerika selalu punya kemungkinan untuk mengalami permasalahan


o

budaya. Permasalahan budaya tersebut dapat memengaruhi aspek kehidupan yang

lain, salah satunya politik.

Hubungan antara kebudayaan dan politik merupakan hubungan yang

tidak bisa dipisahkan. Antara kebudayaan dan politik, keduanya saling

memengaruhi satu sama lain—politik dibutuhkan oleh kebudayaan dan kebudayaan

dibutuhkan oleh politik.9 Hal ini dapat dilihat pada Pemilihan

7 “The Declaration of Independence and the Constitution of the United States,” US. Citizenship
and Immigration Services, diakses pada 19 Juli 2017,
https://www.uscis.gov/sites/default/files/USCIS/Office%20of%20%Qtizenship/Citizenhip%20Res
ource%20Center%20Site/Publications/PDFs/M-654.pdf.
8 Kebudayaan Amerika dan permasalahannya dapat dilihat lebih lengkap pada buku James P.
Spradley dan Michael A. Rynkiewich, The Nacirema: Readings on American Culture (USA: Little,
Brown and Company, 1975), 8.
9 Kebudayaan dan politik adalah dua hal yang selalu melekat dan kerap menimbulkan beragam
persoalan. “Cultural theorists have shown how power, and therefore politics, is inherent in all practices
in symbolisation through which meaning is communicated. Culture structures institutional positions of
authority which validate particular perspective, creating hierarchies of subordination and obscuring or
exluding recognition of differences and inequalities.” (Para teoritisi kebudayaan telah menunjukkan
bagaimana kekuasaan, dan demikian juga politik, adalah melekat di segala praktik melalui simbolisasi
5

Presiden Amerika Serikat Tahun 2016 lalu, yakni fenomena wacana othering

(peliyanan) kaum minoritas.

Pemilihan Presiden Amerika Serikat pada bulan November 2016 lalu

telah mendapat banyak perhatian masyarakat di seluruh penjuru dunia. Seperti

pemilihan-pemilihan sebelumnya, dua partai besar di Amerika Serikat—Partai

Demokrat dan Partai Republik—menjadi dua blok yang bersaing dengan sangat

kuat. Partai Demokrat mengusung kandidat presiden perempuan yang bernama

Hillary Clinton. Sedangkan Partai Republik mengusung seorang konglomerat

terkemuka yaitu Donald Trump.

Hillary adalah calon presiden perempuan pertama dalam sejarah

pemilihan presiden Amerika Serikat. Dalam masyarakat yang masih kental dengan

budaya patriarki, perempuan kerap kali dianggap kurang kompeten untuk ikut andil

dalam urusan politik. Namun demikian, hal ini berbeda dengan Hillary yang justru

dinilai cukup berpengalaman jika terpilih menjadi presiden di negeri adidaya

tersebut. Hal ini karena pengalaman politik Hillary, antara lain sebagai Ibu Negara

selama dua periode pemerintahan Presiden Bill Clinton (1992-2000), senator untuk

negara bagian New York selama dua periode, hingga menteri luar negeri pada

periode pertama pemerintahan Presiden Obama. Berbeda dengan Hillary, Trump

dinilai miskin pengalaman dalam dunia politik, bahkan kerap dij adikan lelucon

bilamana Trump dapat memenangkan pemilihan presiden pada periode ini. Meski

yang mana berarti terdapat hubungan. Struktur- struktur institusi kebudayaan memiliki wewenang
untuk mengesahkan pandangan tertentu, menciptakan hierarki atas subordinasi/ peminggiran dan
menutupi atau menghilangkan pengakuan atas perbedaan dan ketidaksetaraan.) Kate Nash, The
Cultural Politics of Human Rights: Comparing the US and UK (USA: Cambridge University Press,
2009), 7.
6

demikian, hasil pemilihan presiden justru menunjukkan angka keunggulan Trump

atas Hillary. Dari angka 270 electoral votes sebagai batas minimal untuk menang,

Trump mendapatkan angka 306 votes dibanding Hillary yang hanya 206 votes.10

Kemenangan Trump atas Hillary setidaknya menunjukkan

kecenderungan bahwa ada kelompok di Amerika yang lebih menginginkan Trump

daripada Hillary. Dengan kata lain, Trump telah berhasil menarik perhatian

kelompok tersebut untuk memilihnya. Salah satu cara Trump—dan juga Partai

Republik, tentunya—untuk menarik perhatian warga Amerika adalah dengan

memakai jargon “Make America Great Again”. Jargon tersebut memiliki pesan

utama untuk mengajak seluruh warga Amerika agar turut serta dalam meraih

kembali kejayaan Amerika seperti di masa lampau.

Jargon “Make America Great Again” memiliki beberapa latar belakang,

salah satunya adalah keresahan Amerika setelah muncul bangsa-bangsa lain yang

juga mampu meraih kejayaan seperti Jepang dan China. Lahirnya bangsa-bangsa

yang semakin berjaya tersebut—dan mungkin akan diikuti oleh bangsa-bangsa

lainnya—menjadikan Amerika merasa tersaingi dan ingin tetap menjadi nomor satu

di dunia. Selain romantisme kejayaan masa lalu, di Amerika sendiri terdapat

berbagai persoalan yang dianggap menghambat kejayaan Amerika: seperti

persoalan imigran,persoalan ketenagakerjaan, persoalan agama, dan sebagainya.11


12 13
Keinginan menjadi nomor satu di dunia dan persoalan internal negara tersebut

10 Data dari “2016 Election Results,’ diakses pada 11 Januari 2017,


http://edition.cnn.com/election/results.
11 Latar belakang dan blue print dari jargon ‘‘Make America Great Again” dapat dilihat lebih
lengkap di tulisan Donald J. Trump, Great Again: How to Fix Our Crippled America (USA: Threeshold
Editions, 2012).
12 Di luar identitas Trump di sini maksudnya adalah dengan melihat identitas dari Trump
terlebih dahulu (kulit putih dan seorang Protestan), maka di luar identitas Trump adalah mereka yang
7

yang sedang tidak baik-baik saja, berhasil dimanfaatkan oleh Trump dari Partai

Republik untuk menjadi presiden Amerika Serikat, dengan memunculkan jargon

“Make America Great Again”.

Berkaitan dengan persoalan internal, kemenangan Trump dapat dilihat

sebagai tanda adanya kelompok tertentu di Amerika yang lebih menginginkan

sosok Trump daripada Hillary. Kelompok tersebut kemungkinan sangat berkaitan

dengan identitas Trump, yaitu berkulit putih dan beragama Protestan. Dengan

demikian, ada juga kelompok lain yang merasa dirugikan apabila Trump menjadi

presiden, yaitu kelompok yang berada di luar identitas Trump maupun Partai

Republik. Dengan mengacu pada sejarah Amerika Serikat, kelompok yang dekat

dengan identitas Trump ataupun Partai Republik merujuk pada kaum white anglo-

saxon protestant (WASP). Sedangkan kelompok yang berada di luar identitas

Trump ataupun Partai Republik, antara lain merujuk pada kaum kulit hitam, kaum

imigran, penganut kepercayaan non-Protestan, hingga kaum lesbian-


13
gay-bisexual-transgender (LGBT).

WASP merupakan kelompok yang sudah ada sejak masa kolonialisme

Amerika. Istilah white anglo-saxon protestant sebenarnya adalah istilah informal

untuk kalangan tertentu dengan status sosial tinggi, keturunan Protestan Inggris dan

diduga memiliki kekuatan finansial dan sosial yang besar.14 Identitas WASP sebagai

bukan kulit putih dan bukan penganut Protestan. Sedangkan yang dekat dengan identitas Trump
adalah mereka yang kulit putih dan Protestan.
13 Hal ini tampak dari pidato-pidato Trump yang diskriminatif terhadap kelompok- kelompok
minoritas. Lihat Lydia O’Connor dan Daniel Marans, “Here Are 16 Examples Of Donald Trump Being
Racist,” Huffpost.com, diakses pada 4 Januari 2018, https://www.huffingtonpost.com/entry/president-
donald-trump-racist- examples_us_584f2ccae4b0bd9c3dfe5566.
14 Adila Naily Huda, “White Anglo-Saxon Protestant dan Perjuangan Hak-Hak Sipil di Amerika
Serikat dalam The Civil Rights Movement Tahun 1960an” (Skripsi, Universitas Jenderal Soedirman,
2013), 32.
8

komunitas elit yang kuat tersebut melekat pada pendatang pertama (the first

settlers) di Amerika, terutama kepada mereka yang berpengaruh besar dalam

mendirikan Amerika yaitu para pendiri bangsa. Namun demikian, seiring

berjalannya waktu, Amerika tumbuh dan berkembang sebagai bangsa yang

dianggap lebih multikulturalis dan demokratis, sehingga posisi kaum WASP

setidaknya lebih setara dengan kelompok minoritas lain, seperti kaum kulit hitam,

kaum imigran, kelompok LGBT, dan sebagainya.15 Semakin pudarnya

keistimewaan atau posisi hierarkis pada identitas tertentu dikarenakan Deklarasi

Kemerdekaan Amerika Serikat, dan nilai-nilai fundamentalnya—equality, liberty,

property.

WASP mungkin tidak pernah mengklaim dirinya sebagai kaum WASP,

tetapi mereka dapat dikenali dengan persamaan warna kulit, agama, ataupun

keturunannya. Meski tidak ada klaim resmi bahwa WASP berada di pihak Trump

ataupun Partai Republik, orang-orang WASP—meskipun tidak semuanya—

memiliki kecenderungan kepadanya karena persamaan identitas, baik dengan

Trump sendiri ataupun sebagian anggota Partai Republik. Selain itu, karakter
Trump yang kerap menunjukkan sikap diskriminatif terhadap kaum minoritas,

barangkali juga menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum WASP. Hal ini terjadi

karena WASP seolah menemukan figur yang tepat untuk mewakili mereka dalam

menegaskan kembali identitas WASP, terutama setelah minoritas semakin gencar

memperjuangkan hak-haknya agar setara dengan kaum mayoritas.

15 Multikulturalis(me) adalah suatu gagasan atau tipe ideal tentang kondisi masyarakat yang
beragam, tetapi lebih luas dari pluralisme, lebih dari sekedar pengakuan atas keberagaman, ada
solidaritas atau ikatan tertentu. Lihat Paulus Wiworotomo, “Omongomong: Mendekati atau Menjauhi
Multikulturalisme,” PendarPena 2, no. 2 (2009), 11.
9

Kecenderungan WASP dengan Trump ataupun Partai Republik semakin

menjadi manakala Trump menjanjikan lapangan pekerjaan bagi para pekerja

Amerika, terutama pekerja kulit putih.


“While Hillary Clinton was not a ‘bigpromises’ candidate and sought to
keep the conversation about the present, Donald Trump tapped into
bygone pasts and a future still to come. He told Americans how the
greatness they yearn for, and they know to have existed in history, was
stolen from them by ‘the establishment’— Washington insiders who do
not care about ordinary people. Trump fixated on the message that
Americans were once great and can be great tomorrow.”16 (Saat Hillary
Clinton bukanlah kandidat dengan „janji besar5 dan mencoba untuk
menjaga pembicaraan tentang masa kini, Donald Trump menyingkirkan
masa silam dan akan mendatangkan masa depan (cerah). Dia berbicara
tentang kerinduan akan kejayaan Amerika, dan ia tahu apa yang terjadi
pada sejarah, telah dicuri dari mereka melalui „lembaga5
(kekuasaan) orang-orang Washington yang tidak peduli dengan orang-

orang sederhana (miskin). Trump justru merayu kita dengan pesan


bahwa Amerika pernah besar dan Amerika akan menjadi besar esok.)

Di lain kesempatan, Trump juga pernah mengatakan hal negatif mengenai kaum

imigran Mexico, yang membuat WASP semakin sulit mendapatkan pekerjaan.

“When Mexico sends it people, they’re not sending their best. They’re
not sending you. They’re not sending yo-u. They’re sending people that
have lots of problems, and they’re bringing those problems with us.

16. Dr Omar Al-Ghazzi, “Trump’s ‘promised land’ of white masculine economic success,”
Electionanalysis2016.us, diakses pada 10 Januari 2017, http://www.electionanalysis2016.us/us- election-
analysis-2016/section-4-diversity-and-division/trumps-promised-land-of-white- masculine-economic-
success/.
They’re bringing drugs. They’re bringing crime. They’re rapists. And
some, I assume, are good people.’’11
(Ketika Meksiko mengirim orang-orangnya, mereka tidak mengirim
yang terbaik. Mereka tidak mengirimmu (orang-orang terbaik). Mereka
tidak mengirimmu. Mereka mengirim orang-orang yang memiliki
banyak masalah, dan mereka membawa masalahnya kepada kita
(Amerika). Mereka membawa narkoba. Mereka membawa kejahatan.
Mereka pemerkosa. Dan, hanya beberapa, saya anggap adalah orang
baik-baik.)

Adanya tawaran menarik oleh Trump ataupun Partai Republik


10

setidaknya berhasil menarik dukungan dari orang-orang Amerika, terutama kaum

WASP. Namun demikian, belum tentu bagi kaum minoritas—kulit hitam, imigran,

non-Protestan, ataupun kaum LGBT. Kaum minoritas di Amerika justru cenderung

merasa ketakutan apabila sosok seperti Trump berhasil terpilih menjadi Presiden

Amerika Serikat. Ketakutan—dan mungkin upaya perlawanan—tersebut muncul di

laman The New York Times dari seorang berkulit hitam yang memelintir jargon

“Make America Great Again” menjadi “Make America White Again,,.18 Di lain

tempat, seorang politisi Tennesse berkulit putih secara berani mendirikan billboard

bertuliskan “Make America White Again”.19 Fenomena- fenomena tersebut

setidaknya menunjukkan ada kecenderungan praktik politik

20
kebudayaan yang berupa upaya penegasan kembali identitas WASP dan

17. Newsday.com Staff, “Donald Trump speech, debates, and campaign quotes,” Newsday.com,
diakses pada 10 Januari 2017, http://www.newsday.com/news/nation/donald-trump- speech-debates-and-
campaign-quotes-1.11206532.
18. Charles M. Blow, “Trump: Making America White Again,” The New York Times, diakses
pada 13 Desember 2016, nytimes.com/2016/11/21/opinion/trump-making-america-white- again.html.
19. “Make America White Again: Tennesse Politician Stands by Controversial Billboard”, diakses
pada 7 Juli 2017, globalnews.ca/news/2782551/make-america-white-again-tennessee- politician-stands-
by-controversial-billboard/.
20. Politik kebudayaan dapat berupa kontestasi antar berbagai simbol identitas budaya. Namun
demikian, politik kebudayaan tidak hanya sekedar kontestasi simbol-simbol, melainkan juga kontestasi
tentang imajinasi publik tentang bagaimana masyarakat seharusnya dijalankan, bagaimana relasi sosial
yang be^alan, organisasi/ lembaga macam apa yang dapat melakukannya, ketakutan kaum minoritas akan
wacana othering yang berlangsung selama periode Pemilihan Presiden di Amerika Serikat Tahun 2016 lalu.

Identitas merupakan hal yang selalu melekat dalam diri manusia, baik

sebagai individu maupun kelompok. Identitas tidak dapat dihentikan begitu saja

melainkan terus berproses dan berubah. Perubahan identitas tersebut berlangsung

melalui konstruksi terus-menerus, baik oleh si pemilik identitas ataupun oleh


11

kelompok di luar identitas tertentu.16 17 Dengan kata lain, kelompok di luar identitas

tertentu memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk menentukan identitas

kelompok lain yang dimaksud.18 Misalnya, kelompok kulit putih pada masa

kolonialisme memiliki kekuasaan untuk mengonstruksi identitas kulit hitam, seperti

mengatakan bahwa kulit hitam adalah ras manusia yang paling rendah, binatang

dan sebagainya.

Persoalan tentang identitas budaya sangat erat hubungannya dengan

politik kebudayaan. Politik kebudayaan, secara singkat menganggap kebudayaan

sebagai sesuatu yang politis.19 Beragamnya identitas budaya dan permasalahan

akibat persinggungan antarbudaya, dapat diatasi melalui langkah-langkah politis.

Namun demikian, langkah-langkah politis yang diambil kadang kala bukanlah

sebuah keputusan yang adil dan setara. Ada kalanya politik kebudayaan cenderung

lebih mengafirmasi kepentingan-kepentingan kelompok identitas budaya tertentu.

Dalam konteks Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2016 lalu,

politik kebudayaan hadir dan mewarnai perjalanan politik bangsa tersebut.

Fenomena politik kebudayaan dapat dilihat dari adanya ketakutan kaum minoritas

dan sebagainya. Ibid., Kate Nash, The Cultural Politics of Human Rights: Comparing the US and UK, 1-
2.
17 Manusia merupakan makhluk yang selalu memroduksi/ mengkonstruksi makna akan
identitasnya. “…that human identity is above all social, and that identity is about the creation of
meaning…about the individual’s processes of creation of meaning whilst participating as a social actor
in all spheres of social activity. ” (...bahwa identitas manusia lebih tinggi dari segala kemasyarakatan,
dan identitas merupakan karya yang memiliki makna…merupakan proses individu untuk menciptakan
makna selagi berpartisipasi sebagai aktor sosial di segala aktivitas sosial.) Hector Grad dan Luisa
Mardn Rojo, “Identities in Discourse: An Integrative View,” dalam Analysing Identities in Discourse, ed.
Rosana Dolon dan Julia Todoli (Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company, 2008),
3-4.
18 Ibid., “Identities in Discourse: An Integrative View,” 17.
19 “…culture as a form of politic: in other words, cultural politics.” (Kebudayaan sebagai wujud
dari politik: dengan kata lain, politik kebudayaan.) Penjelasan tentang kebudayaan sebagai wujud dari
politik atau bersifat politis dapat dilihat pada tulisan Zeus Leonardo, “Affirming Ambivalence:
Introduction to Cultural Politics and Education” dalam Handbook of Cultural Politics and Education,
ed. Zeus Leonardo (Rotterdam: Sense Publishers, 2010), 3.
12

di Amerika apabila sosok seperti Trump ataupun Partai Republik di belakangnya

berhasil menjadi presiden dan mendominasi berbagai sektor kehidupan, khususnya

di Amerika. Kaum WASP yang mayoritas memiliki kecenderungan untuk berada di

balik wacana othering kaum minoritas, mengingat janji-janji Trump yang

disampaikan kepada kaum WASP yang juga diikuti pernyataan- pernyataan

diskriminatif terhadap kaum minoritas lebih khusus lagi melalui jargon “Make

America Great Again”.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian tentang white anglo-saxon protestant (WASP) dan

wacana othering minoritas melalui jargon “Make America Great Again” dalam

Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2016. Penelitian ini berusaha mencari

berbagai penafsiran dari jargon ‘‘Make America Great Again” yang berkaitan

dengan kekuasaan di balik ataupun atas wacana othering. Dengan demikian,

penelitian yang berupaya mengungkap dan mengkaji kekuasaan (power) ini

memiliki signifikansi dengan kajian ilmu politik.

4. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1) Mengapa white anglo-saxon protestant (WASP) memiliki kecenderungan untuk

mewacanakan othering minoritas melalui jargon “Make America Great

Again” dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2016?

2) Bagaimana white anglo-saxon protestant (WASP) mewacanakan othering

minoritas melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan


Presiden Amerika Serikat Tahun 2016?
13

5. Pembatasan Masalah

Berdasarkan perumusan masalahnya, maka penelitian ini akan dibatasi

pada pembahasan mengenai white anglo-saxon protestant (WASP) dan wacana

othering minoritas melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan

Presiden Amerika Serikat Tahun 2016.

6. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pembatasan masalahnya, maka tujuan penelitian ini adalah

untuk:

1) mengetahui dan memahami alasan mengapa white anglo-saxon protestant

(WASP) memiliki kecenderungan untuk mewacanakan othering minoritas

melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden

Amerika Serikat Tahun 2016;

2) memahami dan mendeskripsikan bagaimana white anglo-saxon protestant

(WASP) mewacanakan othering minoritas melalui jargon “Make America

Great Again” dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2016.

7. Manfaat Penelitian

7.1 Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan sumbangan

pemahaman mengenai white anglo-saxon protestant (WASP) dan wacana othering

minoritas melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden

Amerika Serikat Tahun 2016. Dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu
14

pengetahuan, khususnya bagi Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman. Selain

itu, diharapkan pula hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan ataupun pembanding

bagi civitas akademika yang ingin melakukan penelitian terkait wacana othering

minoritas di Amerika Serikat.

7.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini antara lain dapat

memberikan informasi kritis bagi pembaca tentang white anglo-saxon protestant

(WASP) dan wacana othering minoritas melalui jargon “Make America Great

Again” dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2016. Manfaat praktis

lainnya dari penelitian ini barangkali dapat menjadi refleksi bagi pembaca dalam

melihat politik kebudayaan di lingkungan sosialnya sendiri, memberikan

pemahaman tentang pluralisme maupun multikulturalisme sehingga dapat

meminimalisir konflik identitas yang dapat terjadi. Selain itu, hasil penelitian

tentang analisis wacana ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan

dalam memahami, menafsirkan, maupun membongkar suatu wacana yang meluas

di masyarakat.

8. Tinjauan Pustaka

Tinj auan pustaka merupakan bagian penting dalam melakukan

penelitian. Hal ini karena melalui tinjauan pustaka dapat diketahui informasi-

informasi yang relevan dengan konteks penelitian, seperti kerangka pemikiran yang

akan dikaji serta penelitian-penelitian yang telah dilakukan sesuai dengan topik
15

ataupun metode penelitian yang diambil. Oleh karena itu, tinjauan pustaka dalam

penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni kerangka teoretis dan pemikiran penelitian

serta penelitian terdahulu.

8.1 Kerangka Teoretis dan Pemikiran Penelitian

Kerangka teoretis dan pemikiran penelitian sebagai bagian dari tinjauan

pustaka merupakan hal penting dalam melakukan penelitian. Hal ini karena

kerangka teoretis dan pemikiran penelitian akan mengarahkan peneliti pada

permasalahan penelitian, yaitu melalui teori-teori atau pemikiran yang relevan

dengan topik penelitian ini. Adapun teori atau pemikiran yang relevan dengan

penelitian mengenai white anglo-saxon protestant (WASP) dan wacana othering

minoritas melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden

Amerika Serikat Tahun 2016 adalah: teori tentang politik kebudayaan, teori
16

tentang pemilihan umum dan partai politik, serta teori tentang wacana/

diskursus dan pascastrukturalisme.

Akar utama permasalahan politik kebudayaan berangkat dari

beragamnya identitas budaya di masyarakat. Identitas selalu melekat dalam diri

setiap manusia dan tidak dapat disangkal begitu saja. Identitas pun bukan sesuatu

yang ahistoris, ia terbentuk seiring perjalanan sejarah, terutama kolonialisme dan

imperialisme. Ia dikonstruksi terus-menerus, baik oleh dirinya sendiri ataupun oleh

sekelompok lain di luar dirinya yang lebih mendominasi. Persoalan identitas

biasanya berkaitan dengan kebudayaan, agama, jender, ras, etnis, hingga orientasi

seksual. Dengan adanya keberagaman budaya yang selalu sulit untuk disangkal,

maka dengan sendirinya identitas-identitas yang berserakan tersebut menciptakan

kompleksitas, seperti marjinalisasi, subordinasi, penindasan, ataupun peliyanan


24

(othering).

Othering sudah terjadi sejak masa kolonialisme, seperti yang menimpa

orang-orang kulit hitam dan perempuan. Menurut Abdul JanMohamed, “Pelainan”

(othering) sejumlah besar rakyat, dan pengonstruksian mereka sebagai terbelakang

dan rendah tergantung kepada yang disebut “alegori Manichean”,di mana

dihasilkan sebuah biner dan perlawanan diskursif antara ras-ras. Dengan kata lain,

adanya sistem biner berdampak pada struktur identitas yang hierarkis

24. “…Identitas juga bisa memicu pembunuhan dan membuat orang mati sia-sia. Rasa
keterikatan yang kuat (dan eksklusif) pada suatu kelompok bisa mengandung di dalamnya persepsi
tentang jarak dan keterpisahan dari kelompok lain.” Penjelasan tentang identitas dan kompleksitasnya
yang berkaitan dengan kekerasan dapat dilihat pada buku Amartya Sen, Kekerasan dan Identitas, te^j.
Arif Susanto (Tangerang: Ma^in Kiri, 2016), 4.

136.
17

25. Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003),


18

dan perlawanan di antara kelompok, seperti halnya kulit putih yang dianggap lebih

layak daripada kulit hitam.

Othering merupakan salah satu kompleksitas identitas, selain

penindasan, subordinasi, marjinalisasi, dan sebagainya. Dalam

perkembangannya, kompleksitas identitas tersebut kemudian mendapat perhatian

dari kalangan intelektual, yang akhirnya melahirkan teori tentang politik

kebudayaan. Politik kebudayaan merupakan arena bagi berbagai identitas budaya

untuk eksis di masyarakat.


“The term (cultural politics) refers to the processes through which
relations of power are asserted, accepted, contested, or subverted by
means of ideas, values, symbols, and daily practices. Power is the ability
to make somebody do something, and relations of po^er include
domination, oppression, discipline, struggle, resistance, rebellion, co-
option, subversion, and sedition …cultural politics are concerned with
the ways in which culture is used to legitimate the “social relations of
inequality” and to contribute to “the struggle to transform them”. ”20
(Istilah politik kebudayaan merujuk pada proses terhadap relasi
kekuasaan yang dinyatakan, diterima, diperjuangkan, atau ditumbangkan
oleh ide-ide, nilai, simbol, dan kebiasaan sehari-hari. Kekuasaan adalah
kemampuan untuk membuat seseorang melakukan sesuatu, dan relasi
kekuasaan di dalamnya termasuk dominasi, penindasan, pendisiplinan,
perjuangan, perlawanan, pemberontakan, keputusan, penumbangan, dan
pendurhakaan... politik kebudayaan berfokus pada budaya macam apa
yang digunakan untuk melegitimasi “relasi sosial yang tidak setara” dan
memberi sumbangan pada “perjuangan untuk perubahan masyarakat”.)

Dengan demikian, kebudayaan suatu masyarakat sangat memengaruhi pola politik

yang dibangun dan menentukan bagaimana sistem politik tersebut akan dij alankan.

Sebagai contoh adalah politik kebudayaan Amerika. Budaya

20 Nina Glick Schiller, “Cultural Politics and the Politics of Culture,” Researchgate.net, diakses
pada 16 Juli 2017,
https://www.researchgate.net/profile/Nina_Glick_Schiller/publication/249028797_Cultural_politic
s_and_the_politics_of_culture/links/54bbc7b10cf253b50e2dnc1/Cultural-politics-and-the- politics-of-
culture.pdf.
19

Amerika dengan nilai-nilai fundamental—seperti equality, liberty, dan property—

turut memengaruhi sebagian besar sistem politik yang dijalankan di Amerika.

Nilai-nilai fundamental yang memiliki pengaruh terhadap sistem politik di

Amerika tersebutlah yang turut melahirkan apa yang disebut sebagai demokrasi.

Demokrasi merupakan sistem politik mutakhir yang dianggap lebih baik

daripada sistem-sistem lainnya meski masih memiliki beberapa kekurangan.

Demokrasi sendiri menurut The United Nations Educational, Scientific and

Cultural Organization (UNESCO) masih memiliki ambiguitas.21 Ambiguitas

tersebut terjadi lantaran tidak adanya aturan yang mengikat dan homogen dalam

menjalankan demokrasi di setiap negara yang mengaku menganutnya. Namun

demikian, demokrasi setidaknya memiliki beberapa syarat utama, yakni adanya

mekanisme pergantian kekuasaan melalui pemilihan umum dan partai politik.

Partai politik merupakan sebuah organisasi yang penting dalam sistem

demokrasi. Dengan hadirnya partai politik dapat bermanfaat sebagai penggerak

demokrasi dan memberikan kontribusi bagi masyarakat ataupun kelompok-

kelompok di dalamnya. Partai politik memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai

sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, pendidikan politik,

manajemen konflik, dan representasi kepentingan kelompok.22 Dua fungsi yang

disebutkan terakhir dapat digunakan untuk mengafirmasi kepentingan kelompok

minoritas yang berkaitan dengan polemik politik kebudayaan.

Di setiap negara, klasifikasi sistem kepartaian dapat berbeda-beda,

21 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008),
105.
22 Ibid., Dasar-Dasar Ilmu Politik, 405-409.
20

antara lain ada yang menganut sistem partai tunggal, dwi-partai, dan multi-partai.

Dalam konteks Amerika Serikat yang menganut dwi-partai misalnya, memiliki dua

partai besar, yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat. Dwi-partai diartikan

dengan adanya dua partai di antara beberapa partai, yang berhasil memenangkan

dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran dan dengan demikian

mempunyai kedudukan dominan.23 24

Partai politik saling bersaing satu sama lain untuk meraih dukungan dan

suara dalam pemilihan umum. Di Amerika Serikat, pemilihan umum terdiri dari

tiga macam, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan senat di tiap

negara bagian, dan pemilihan anggota House of Representatives. Dalam pemilihan

presiden dan wakil presiden, pemungutan suara dilakukan melalui electoral

college, yakni keterpilihan presiden dan wakil presiden ditentukan oleh para

electors yang terdiri dari 100 anggota senat, 435 anggota House of Representatives,

dan 3 electors dari distrik Columbia, sehingga total electors adalah 538. Selain

electoral college, rakyat Amerika juga diberikan hak memilih melalui popular

vote, tetapi popular vote ini tidak memiliki pengaruh yang cukup berarti apabila

seorang kandidat telah menang di electoral college.

Pemilihan umum dan berbagai aktivitas politik lainnya selalu

menggunakan media sebagai corong politiknya. Media merupakan sarana untuk

memengaruhi preferensi politik masyarakat melalui berbagai bentuk pemberitaan/

informasi yang disampaikan. Hal ini karena media tidak hanya bertindak sebagai

alat/ saluran untuk menyampaikan pesan politik melainkan juga sebagai agen/ aktor

23 Ibid., Dasar-Dasar Ilmu Politik, 416.


24 Ibid., American Government and Politics Today, 325.
21

politik itu sendiri.25 Peran yang dimainkan oleh media tersebut—baik sebagai alat

ataupun aktor sangat memengaruhi pola wacana yang coba disebarluaskan oleh

media, terutama tentang bagaimana media mengemas berita- berita politik

berdasarkan realitas yang terjadi.

Hasil konstruksi realitas politik yang diwacanakan melalui media dapat

berbeda antar satu media dengan media lainnya, tergantung dinamika eksternal dan

internalnya, serta strategi pengonstruksian yang dipilih.26 Faktor internal tersebut

ialah ideologi dan idealisme media. Sedangkan faktor eksternalnya ialah pasar dan

kenyataan politik yang terjadi.

Dalam setiap pemilihan umum, setiap kandidat pasti akan membawa

wacananya masing-masing melalui media, baik berupa visi-misi, diskusi publik,

janji-janji politik, debat antarkandidat, hingga jargon yang digunakan untuk

kampanye. Selain beredar melalui teks, wacana juga dapat berupa praktik diskursif.

Wacana merupakan istilah yang masih sangat ambigu. Wacana menurut kaum

strukturalis, seperti Althusser misalnya, sangat berkaitan dengan ideologi.27

Ideologi yang dianut oleh media atau aktor politik tertentu sangat memengaruhi

konstruksi wacana yang ingin disebarluaskan. Sedangkan menurut Pecheux, “kata,

ekspresi, proposisi, dan sebagainya berubah maknanya menurut posisi yang

ditempatkan oleh orang yang menggunakannya”,sehingga pernyataan

Pecheux ini mengarah pada politik pertentangan makna dalam diskursus.28 Hal ini

25 Harsono Suwardi, “Kata Pengantar,” dalam Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa:
Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik pen. Ibnu Hamad (Jakarta:
Granit, 2004), xvi.
26 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse
Analysis terhadap Berita-Berita Politik (Jakarta: Granit, 2004), 6.
27 Diane Macdonnel, Teori-Teori Diskursus, te^j. (Jakarta: Teraju, 2005), 21.
28 Ibid., Teori-Teori Diskursus, 21.
22

karena makna adalah bagian dari “ruang ideologi” dan diskursus/ wacana

merupakan salah satu bentuk spesifik dari ideologi.29

Lain halnya dengan Althusser dan Pecheux, Hindess dan Hirst

melangkah lebih jauh dalam memaknai diskursus. Hindess dan Hirst

memperlakukan diskursus sebagai sesuatu yang tidak berwujud dan tidak ada

bentuk diskursus (politik, teoretis atau lainnya) dapat berada dengan sendirinya.30 31

Dengan kata lain, diskursus hanya ada dalam diskursus itu sendiri dan tidak ada

eksistensinya di luar itu. Pernyataan ini menegaskan bahwa tidak ada apapun, tidak

ada kebenaran murni yang eksis di luar diskursus/ wacana.

Menurut Foucault wacana kadang kala dianggap sebagai bidang dari

semua pernyataan, kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok

pernyataan, dan kadang kala sebagai praktif regulatif yang dilihat dari sejumlah

pernyataan. Seperti yang dikatakan Foucault misalnya, wacana merupakan sarana

bagi kekuasaan bekerja. Foucault tidak melihat kekuasaan sebagai zat tunggal,

melainkan sangat plural dan berada di mana-mana. Setiap kekuasaan tersebut

menghasilkan dan memroduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring

untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. 32 Dalam Archeology of

Knowledge, Foucault memaparkan bahwa kekuasaan memegang

peranan penting dalam pembentukan pengetahuan.39 Secara singkat, artinya

discource =knowledge =power.40

Kepercayaan mengenai kebenaran yang tidak tunggal tersebut sangat

29 Ibid., Teori-Teori Diskursus, 48.


30 Ibid., Teori-Teori Diskursus, 77.
31 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis TeksMedia (Yogyakarta: LKiS, 2001), 2.
32 Ibid., Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, 66-67.
23

erat dengan karakteristik pascastrukturalisme. Pascastrukturalis sangat skeptis

terhadap metanarasi-metanarasi yang selama ini menempati posisi mapan dan

mengatakan bahwa semuanya itu terbuka untuk dikritik.41 Dengan kata lain,

apapun menjadi mungkin untuk dilakukan oleh seorang pascastrukturalis, termasuk

mencari makna atau penafsiran lain yang belum terlihat di samping makna yang

secara umum telah mendominasi.

Kritik terus-menerus yang dilakukan oleh kaum pascastrukturalis

terhadap modernisme, dapat dilihat sebagai bentuk yang lebih radikal dari politik

modern.42
“Poststucturalism can be seen as a theoretical strategy—or series of
strategies—that responds to, and engages with, what has been termed
the ‘postmodern condition,…Postmodernity or postmodern are
ambiguous terms which tend to be bandied about rather
meaninglessly.”33 34 35 36 37
(Pascastrukturalisme dapat dilihat sebagai sebuah strategi teoritis—atau
seri strategi—yang merespon terhadap, dan menjadi bagian dari, apa
yang disebut „kondisi pascamodern5… Pascamodernitas atau
pascamodern merupakan istilah ambigu yang cenderung membelok-
belokkan maknanya daripada hampir meniadakan maknanya.)

Kondisi pascamodern merupakan tahap selanjutnya dari era modern dengan strategi

teoretis strukturalisme. Namun demikian, garis demarkasi antara strukturalisme dan

pascastrukturalisme sendiri agak sulit ditarik. Hal ini karena: ⑴ pascastrukturalisme

lebih dipahami sebagai perbaikan dan perkembangan dari strukturalisme daripada

33 Gadis Arivia, “Kata Pengantar,” dalam Teori-Teori Diskursus: Kematian Strukturalisme dan
Kelahiran Posstrukturalisme Dari Althusser hingga Foucault, terj. (Jakarta: Mizan, 2005), xii.
34 Ibid.
35 Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuj Teori Budaya Populer, terj. (Yogyakarta:
Narasi, 2016), 277.
36 “…to understand the implication of poststructuralism for radical politic specifically.” (...untuk
memahami akibat dari pascastrukturalisme dari politik radikal secara khusus.) Penjelasan lebih
lengkap tentang pascastrukturalisme dan kaitannya dengan teori-teori politik dapat dilihat pada buku
Saul Newman, Power and Politics in Poststructuralist Thought: New theories of the political (London
and New York: Routledge, 2005), 1.
37 Ibid., Power and Politics in Poststructuralist Thought: New theories of the political , 3.
24

sebagai aliran pemikiran yang bertolak belakang; (2) tidak ada pascastrukturalisme

tunggal, yang ada hanyalah pluralitas pendekatan yang bernaung di bawah istilah

itu; dan (3) publikasi (atas) diskusi pascastrukturalisme hampir selalu dikacaukan

oleh upaya-upaya yang simultan dalam mendefinisikan pascamodernisme dan

pascamodern (semacam kekacauan terminologi).38

Menyesuaikan dengan konteks penelitian ini—WASP dan wacana

othering minoritas melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan

Presiden Amerika Serikat Tahun 2016—maka kerangka teoretis dan pemikiran

penelitian yang telah disampaikan akan dikontekstualisasikan dengan topik

penelitian. Kontekstualisasi tersebut akan menarik teori tentang politik

kebudayaan, teori tentang pemilihan umum dan partai politik, serta teori tentang

wacana dan pascastrukturalisme ke dalam konteks penelitian. Dengan demikian,

penelitian ini diharapkan dapat berjalan sesuai jalur teoretis dan pemikiran

penelitian agar tujuan penelitian dapat tercapai.

8.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu penting untuk diketahui agar peneliti dapat

mengetahui sejauh mana unsur kebaruan dari penelitian ini. Selain itu, dengan

mengetahui penelitian terdahulu, peneliti dapat memosisikan fokus penelitiannya di

antara berbagai penelitian yang sudah pernah dilakukan. Sedikitnya ditemukan tiga

penelitian terdahulu yang dianggap relevan untuk diperbandingkan dengan

38 Alexander Aur, “Pascastrukturalisme Michel Foucault dan Gerbang Menuju Dialog


Antarperadaban,” dalam Teori-Teori Kebudayaan, ed. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto
(Yogyakarta: Kanisius, 2005), 145-146.
25

penelitian mengenai white anglo-saxon protestant (WASP) dan wacana othering

minoritas melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden

Amerika Serikat Tahun 2016. Tiga penelitian terdahulu tersebut adalah: Pertama,

skripsi yang berjudul “White Anglo-Saxon Protestant dan Perjuangan Hak-Hak

Sipil di Amerika Serikat dalam The Civil Rights Movement Tahun 1960an” yang

ditulis oleh Adila Naily Huda (2013); Kedua, skripsi dengan judul “Politik

Identitas Kelompok Amerika Indian di Amerika Serikat: Representasi Perjuangan

Kesetaraan American Indian Movement Pasca-The Civil Rights Movement Tahun

1960-an” yang ditulis oleh Yudhiana Demistri (2015); dan Ketiga, skripsi dengan

judul “Islamofobia dalam Kampanye Donald Trump: Analisis Wacana Berita

Pernyataan Donald Trump Terhadap Islam Pada Media Online Merdeka.com” yang

ditulis oleh Avissa Suseno (2016).

Pertama, dalam skripsi “White Anglo-Saxon Protestant dan Perjuangan

Hak-Hak Sipil di Amerika Serikat dalam The Civil Rights Movement Tahun

1960an” ditemukan beberapa persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini.

Skripsi ini berfokus pada perjuangan kelompok minoritas yang bergerak melalui

The Civil Rights Movement tahun 1960-an. Perjuangan tersebut dilakukan dalam

rangka menolak dominasi kelompok WASP yang mayoritas. Persamaan terletak

pada metode penelitian dan perspektif yang melandasi, yaitu kualitatif dan

perspektif pascastrukturalis. Sedangkan perbedaannya terletak pada kerangka

teoretis yang digunakan, yakni politik identitas, serta paradigma konstruktivisme

dan pendekatan hermeneutika.

Kedua, skripsi berjudul “Politik Identitas Kelompok Amerika Indian di


26

Amerika Serikat: Representasi Peijuangan Kesetaraan American Indian Movement

Pasca-The Civil Rights Movement Tahun 1960-an” bertujuan untuk memahami

pola politik identitas dari kelompok Amerika-Indian. Persamaan terletak pada

kontekstualisasi Amerika Serikat dan topik mengenai identitas budaya di sana,

serta perspektif pascastrukturalis yang melandasi penelitian tersebut. Perbedaannya

terletak pada teori yang digunakan, yakni teori politik identitas, serta pendekatan

penelitiannya yaitu hermeneutik.

Ketiga, skripsi dengan judul “Islamofobia dalam Kampanye Donald

Trump: Analisis Wacana Berita Pernyataan Donald Trump Terhadap Islam Pada

Media Online Merdeka.com” memiliki persamaan kontekstualisasi Amerika

Serikat, topik tentang persoalan identitas budaya di sana, serta periode pemilihan

presiden di Amerika Serikat tahun 2016. Hanya saja, skripsi ini lebih berfokus pada

tema islamofobia, serta paradigma yang melandasi ialah paradigma kritis dengan

pendekatan analisis wacana kritis. Untuk lebih jelasnya, perbandingan antara

penelitian terdahulu ini dapat dilihat pada tabel berikut.


27

Perbedaan
TABEL 1. Matriks Penelitian Terdahulu Perbedaan terletak pada fokus
penulisan, yaitu perjuangan
Judul Penelitian Tahun Persamaan
2013 Persamaan terletak pada kelompok minoritas melalui
“White Anglo-Saxon konteks Amerika Serikat dan gerakan The Civil Rights
Protestant dan subjek penelitian kelompok Movement untuk menolak
Perjuangan Hak-Hak WASP. Selain itu, perspektif dominasi kelompok WASP yang
Sipil di Amerika yang melandasi juga memiliki mayoritas pada tahun 1960an.
Serikat dalam The Civil kesamaan yaitu Perbedaan lainnya terletak
Rights Movement pascastrukturalis. pada paradigma yang
Tahun 1960an” Adila melandasi, yaitu
Naily Huda (Skripsi konstruktivisme, dan
Universitas Jenderal pendekatan yang digunakan
Soedirman)
yaitu hermeneutika.
Kerangka teoretis yang
digunakan juga berbeda, yaitu
politik identitas.

Perbedaan terletak pada


kerangka teoretis yang
digunakan, yaitu penelitian ini
Persamaan terletak pada menggunakan teori politik
“Politik Identitas 2015 kontekstualisasi Amerika identitas, sehingga penelitian ini
Kelompok Amerika Serikat, serta topik mengenai lebih memfokuskan pada
Indian di Amerika identitas budaya. Selain itu, perjuangan kesetaraan
Serikat: Representasi perspektif yang melandasi juga American Indian Movement.
Perjuangan memiliki kesamaan, yakni Perbedaan lain terletak pada
Kesetaraan American pascastrukturalis. pendekatan penelitiannya,
Indian Movement yakni hermeneutik.
Pasca-7he Civil Rights
Movement Tahun
1960-an” Yudhiana
Demistri (Skripsi Perbedaan terletak pada fokus
Universitas Jenderal penelitian, yakni hanya
Soedirman) berfokus pada pernyataan-
Persamaan terletak pada topik pernyataan Trump yang berisi
“Islamofobia dalam 2016 kecaman terhadap Islam,
yang diangkat, yaitu berkaitan
Kampanye Donald Trump: terutama yang diterbitkan oleh
dengan Pemilihan Presiden
Analisis Wacana Berita media online Merdeka.com.
Amerika Serikat Tahun 2016,
Pernyataan Donald Trump Selain itu, penelitian ini
di mana Donald Trump
Terhadap Islam pada Media menggunakan paradigma dan
sebagai salah satu
Online Merdeka.com” pendekatan yang berbeda,
kandidatnya.
Avissa Suseno (Skripsi yakni paradigma kritis dan
Universitas Islam pendekatan analisis wacana
Negeri Syarif kritis.
Hidayatullah Jakarta)
28

9. Metodologi Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan white

anglo-saxon protestant (WASP) dan wacana othering minoritas melalui jargon

“Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun

2016. Untuk mencapai tujuan tersebut, paradigma nonpositivisme—tepatnya

dekonstruksionisme—mendasari peneliti dalam melakukan penelitian ini.

Paradigma dekonstruksionisme sesuai untuk melihat struktur yang terkonstruksi

dalam suatu teks/ peristiwa yang hendak dibuka lapis-lapisannya.39

Dekonstruksi memungkinkan adanya penafsiran lain dari suatu teks/

peristiwa yang terjadi. Suatu teks/ peristiwa yang tersampaikan oleh seseorang

tidak hanya dapat ditafsirkan secara literal atau sebagaimana yang terucap/ tertulis,

tetapi sangat memungkinkan adanya tafsiran lain di balik penafsiran secara literal

tersebut. Menurut Derrida, dekonstruksi merupakan alternatif untuk menolak

segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. 40 Dengan

demikian, dekonstruksi menolak adanya pemaknaan tunggal maupun pemaknaan

yang bersifat hierarkis/ oposisi biner.

Berkaitan dengan penolakan dekonstruksi terhadap pemaknaan tunggal,

maka peneliti dilandasi oleh perspektif pascastrukturalis. Pascastrukturalis melihat

39 “Ce n’est pas une demarche negative, mais une analyse genealogique d’une structure
construite que l,on veut desedimenter.” (Dekonstruksi bukanlah cara kerja yang negatif, melainkan
sebuah analisis genealogis terhadap struktur yang telah terkonstruksi yang hendak kita
desedimentasikan (dibuka lapis-lapisannya)). Pemaknaan Derrida tentang dekonstruksi dapat dilihat di
majalah Le Point, edisi tanggal 14 Oktober 2004, artikel wawancara oleh Franz-Oliver Giesbert
be^udul: “Ce que disait Derrida...’’ ,hlm. 108. A. Setyo Wibowo dalam makalah yang disampaikan di
Kelas Filsafat LSF Cogito 16 September 2017 berjudul: “Problem Pikiran/ Bahasa dan Dunia:
Khora’,hlm. 10.
40 Kaelan, Filsafat Bahasa: Semiotika dan Hermeneutika (Yogyakarta: Paradigma, 2009),
259.
29

bahwa kebenaran tidaklah tunggal, tetapi relatif dan plural. Perspektif


30

pascastrukturalis memandang realitas atau struktur yang ada di masyarakat adalah

subjektif dan diinterpretasikan secara subjektif pula.41

Pascastrukturalis berdampingan dengan pascamodernisme menolak

metanarasi strukturalisme dan modernisme. Sebagai sebuah perspektif, maka

pascamodern dan pascastrukturalis dapat diartikan sebagai ketidakpercayaan

terhadap segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan

segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi—seperti Hegelianisme, Liberalisme,

Marxisme, atau apapun.42 Pascastrukturalis mengajak untuk mengkritisi kembali

struktur-struktur yang selama ini sudah mapan. Dengan kata lain, pascastrukturalis

adalah suatu gerakan global renaissans atas renaissans; pencerahan atas

pencerahan.43

9.1 Metode Penelitian

Berdasarkan paradigma dan perspektif yang melandasi penelitian ini,

maka peneliti akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif

didefinisikan sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial

atau masalah manusia yang didasarkan pada penciptaan gambaran holistik lengkap

yang dibentuk dengan kata-kata, dengan melaporkan pandangan informan secara

terperinci, dan disusun dalam sebuah latar alamiah.44 Penelitian kualitatif dianggap

41 Robert Swan, “Post-modemisme,” dalam Ilmu Politik dalam Paradigma Abad Kedua Puluh
Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid I ed. John T. Ishiyama, dkk. (Ahmad Fedyani Saifuddin
(penj.) (Jakarta: Kencana, 2013), 18.
42 Listiyono Santoso, “Purnawacana: Postmodernisme: Kritik Atas Epistemologi Modern,” dalam
Epistemologi Kiri ed. Listiyono Santoso, dkk. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), 325.
43 Ibid.
44 John W. Creswell, Desain Penelitian, Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif (Jakarta: KIK Press,
2002), 1.
31

tepat sebagai metode untuk mencapai tujuan penelitian ini, karena penelitian ini

dituntut untuk memperoleh pemahaman yang luas tentang white anglo-saxon

protestant (WASP) dan wacana othering minoritas melalui jargon “Make America

Great Again” dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2016. Hal ini

sejalan dengan apa yang diandalkan dalam metode penelitian kualitatif, yakni

ungkapan tertulis maupun verbal subjektif mengenai arti yang diberikan oleh subjek

yang dipelajari untuk kemudian menjadi jendela ke dalam kehidupan yang lebih

dalam dari subjek tersebut.45

9.2 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

wacana. Analisis wacana dianggap sesuai dengan paradigma dan perspektif yang

melandasi penelitian ini, yaitu dekonstruksionisme dan pascastrukturalis. Kegiatan

utama dalam analisis wacana adalah mengkaji kekuasaan dalam wacana dan atas

wacana, yaitu penggunaan bahasa dalam tuturan dan tulisan, sebagai bentuk dari

„praktik sosial5 dan adanya hubungan dialektik antara peristiwa diskursif dengan

situasi, institusi, dan struktur sosial yang mewadahinya.46

Berdasarkan pengertian analisis wacana di atas, maka pendekatan ini

memiliki kesesuaian dengan paradigma dekonstruksi. Dekonstruksi berusaha

mencari penafsiran-penafsiran lain dari suatu teks/ peristiwa, yang dalam hal ini

teks/ peristiwa tersebut adalah wacana. Sedangkan kesesuaian analisis wacana

45 Agus Salim, Teori dan Paradigma Sosial (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2001), 25-26.
46 Stefan Titscher, dkk., Metode Analisis Teks & Wacana ed. Abdul Syukur Ibrahim (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), 238-241.
32

dengan perspektif pascastrukturalis dapat diketahui dari pemaparan Foucault bahwa

setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan

wacana tertentu.47 Selain itu, analisis wacana sendiri memiliki keterkaitan erat

dengan kajian ilmu politik. Hal ini diungkapkan oleh John Wilson bahwa pada

dasarnya analisis wacana memiliki kecenderungan yang bersifat politis, bahkan

dapat dikatakan pula semua analisis wacana adalah wacana politik.48

9.3 Fokus Penelitian

Menentukan fokus penelitian merupakan hal penting untuk menghindari

pembahasan yang terlalu lebar ataupun ketidaksesuaian dengan tujuan penelitian.

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka fokus penelitian ini adalah melihat

bagaimana white anglo-saxon protestant (WASPJ mewacanakan othering minoritas

melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden Amerika

Serikat Tahun 2016. Agar sistematis, fokus penelitian ini akan terbagi menjadi

beberapa aspek dan sub-aspek sebagai berikut.

47 Ibid., Analisis Wacana, 66.


48 Wacana/ diskursus dapat dikatakan memiliki sifat politis. “Given that on some definitions
almost all discourse may be considered political (Saphiro 1981), then all analyses of discourse are
potentially political, and, therefore, on one level, all discourse analysis is political discourse.” (Telah
diberikan beberapa definisi yang hampir semuanya mungkin memiliki pertimbangan politik, dan semua
analisis wacana memiliki potensi politik, dan dengan demikian, pada satu tingkat, semua analisis wacana
adalah wacana politik.) John Wilson, “Political Discourse”, dalam The Handbook of Discourse Analysis
ed. Deborah Schiffrin, Deborah Tannen, dan Heidi Hamilton (USA: Blackwell Publishers, 2001), 398.

9.4 Sasaran Penelitian

Menentukan sasaran penelitian merupakan hal penting agar tujuan dari penelitian ini

dapat tercapai. Berdasarkan tujuan dan fokus penelitian, maka


White Anglo-Saxon Karakteristik Bangsa Sub-Aspek Kajian Penelitian
TABEL (WASP)
Protestant 2. Matriks
dan
Fokus Kajian Penelitian
Amerika dan Sejarah Deskripsi Sejarah Amerika Serikat:
Wacana Othering Perkembangan Kolonialisme, Perbudakan, Revolusi
Fokus Kajian Penelitian Aspek Kajian Penelitian Deskripsi Karakter Kebudayaan
Minoritas melalui Jargon Kebudayaannya Kemerdekaan, Hingga Demokrasi 33
“Make America Great Amerika Serikat: Nilai Fundamental,
Again” dalam Pemilihan Puritanisme, dan Paradoks Biformity
Presiden Amerika Serikat
Tahun 2016

Politik Kebudayaan Amerika Deskripsi Politik Kebudayaan


Serikat dan Pemilihan Amerika Serikat
Presiden Amerika Serikat
Tahun 2016 Deskripsi Sistem Pemilihan Umum
dan Partai Politik di Amerika Serikat

Deskripsi Pemilihan Presiden Amerika


Serikat Tahun 2016

Deskripsi Latar Belakang Jargon “Make


America Great Again” dalam Pemilihan
Presiden Amerika Serikat Tahun 2016

WASP dan Wacana Othering Deskripsi WASP dan Kaum Minoritas


Minoritas Melalui Jargon di Amerika Serikat: Sejarah dan
“Make America Great Again” Kekinian
dalam Pemilihan Presiden
Amerika Serikat Tahun 2016 Deskripsi alasan WASP memiliki
kecenderungan untuk melakukan
wacana othering kaum minoritas
melalui jargon “Make America Great
Again” dalam Pemilihan Presiden
Amerika Serikat Tahun 2016

Deskripsi bagaimana WASP melakukan


Wacana Othering Minoritas melalui
Jargon “Make America Great Again”
dalam Pemilihan Presiden Amerika
Serikat Tahun 2016
34

sasaran penelitian ini akan diarahkan pada wacana terkait othering minoritas

melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden Amerika

Serikat Tahun 2016. Wacana yang akan dianalisa tidak hanya berupa teks media

saja, tetapi juga perilaku diskursif tertentu. Hal ini didasarkan pada pengertian

wacana sebelumnya, yaitu baik berupa teks, tuturan, maupun peristiwa tertentu atau

bisa juga disebut sebagai perilaku diskursif. Adapun sasaran penelitiannya adalah

sebagai berikut:

1) “Trump: Making America White Again” yang ditulis oleh Charles M. Blow

(seorang kulit hitam) di The New York Times pada 21 November 2016 (link:

nytimes.com/2016/11/21/opinion/trump-making-america-white-again.html);

2) “ ‘Make America White Again': Tennessee politician stands by controversial

billboard” yang dimuat di globalnews.ca pada 23 Juni 2016 (link:

globalnews.ca/news/2782551/make-america-white-again-tennessee- politician-

stands-by-controversial-billboard/);

3) “White evangelicals voted overwhelmingly for Donald Trump, exit polls show ”

dimuat di The Washington Post pada 9 November 2016 (link:

https://www.washingtonpost.com/news/acts-of-faith/wp/2016/11/09/exit- polls-

show-white-evangelicals-voted-overwhelmingly-for-donald-trump/);

4) “Trump election: Up to three million migrants ‘to be targeted,” yang dimuat

di BBC News pada 14 November 2016 (link:

http://www.bbc.com/news/election-us-2016-37969112);

5) “Trump Victory Alarms Ga and Transgender Group” yang dimuat di The New

York Times pada 10 November 2016 (link:


35

https://www.nytimes.com/2016/11/11/us/politics/trump-victory-alarms-gay-

and-transgender-groups.html).

9.5 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) dengan

bentuk deskriptif-analitis. Penelitian pustaka merupakan penelitian yang mengacu

pada literatur-literatur terkait permasalahan penelitian.49 Dengan demikian, dalam

penelitian ini peneliti akan mencari, mengumpulkan dan mengkaji literatur- literatur

yang terkait white anglo-saxon protestant (WASP) dan wacana othering minoritas

melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden Amerika

Serikat Tahun 2016, baik yang berasal dari buku-buku, media massa ataupun

internet.

9.6 Jenis dan Sumber Data

Sumber data dalam penelitian terbagi menjadi dua jenis, yaitu data

primer dan data sekunder. Data primer merupakan sumber data utama, sedangkan

data sekunder merupakan data pendukung atau pelengkap. Oleh karena itu, sumber

data primer dalam penelitian ini adalah wacana yang dalam hal ini ditunjukkan

melalui teks-teks media tentang white anglo-saxon protestant (WASP) dan wacana

othering minoritas melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan

Presiden Amerika Serikat Tahun 2016. Sedangkan untuk data sekunder dalam

penelitian ini berupa buku, jurnal, maupun informasi dari internet yang relevan

dengan konteks penelitian.

49 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor, 2004), 4.


36

9.7 Teknik Pengumpulan Data

Dengan menggunakan jenis penelitian pustaka, maka teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan sumber data

tertulis seperti buku, jurnal, tesis, artikel, maupun informasi dari internet yang

relevan dengan konteks penelitian. Adapun data yang dikumpulkan ialah mengenai

white anglo-saxon protestant (WASP) dan wacana othering minoritas melalui jargon

“Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun

2016. Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara membaca, menulis, dan

mengolahnya sesuai dengan tujuan penelitian.

9.8 Teknik Analisis Data

Berdasarkan pendekatan penelitian yang digunakan—analisis wacana—

maka teknik analisis data yang akan digunakan adalah teknik analisis historis-

wacana dari Ruth Wodak. Historis-wacana ala Wodak dianggap sesuai karena unit

analisis wacana yang dikaji bukan sekedar teks tertulis ataupun tuturan, melainkan

juga berupa praktik diskursif. Praktik diskursif ini setidaknya memiliki empat

urgensi utama, yaitu: Pertama, ia memainkan peran penting dalam menentukan

permulaan dan produksi kondisi sosial seperti mengonstruksi kategori kelompok

ras, bangsa, etnis, dan sebagainya; Kedua, praktik diskursif memiliki kemungkinan

untuk mengabadikan, mereproduksi, ataupun membenarkan status quo kelompok-

kelompok sosial yang ada; Ketiga, praktik diskursif merupakan alat untuk

melakukan perubahan status quo; dan Keempat, praktik diskursif juga dapat
37

memiliki pengaruh untuk membongkar atau mendestruksi status quo tertentu.50

Konsep wacana menurut Wodak dan Reisigl merupakan kumpulan

kompleks tindak linguistik yang berbarengan dan saling terkait dan berurutan yang

mengejawantah dalam dan pada bidang tindakan sosial sebagai tanda semiotik yang

saling terkait secara tematik.51 52


Hubungan-hubungan tersebut kemudian disebut

sebagai interdiskursivitas (antarwacana) dan intertekstualitas (antarteks).

Selengkapnya dapat dilihat pada gambar berikut ini.

GAMBAR 1. Hubungan Interdiskursif dan Intertekstual Antarwacana,


Topik Wacana, Genre, dan Teks.58

50 Ruth Wodak dan Martin Reisigl, “Discourse and Racism,” dalam The Handbook of Discourse
Analysis ed. Deborah Schiffrin, Deborah Tannen, dan Heidi Hamilton (USA: Blackwell Publishers, 2001),
385.
51 Ibid., Metode Analisis Teks & Wacana, 257.
52 Ibid., Metode Analisis Teks & Wacana, 257.
38

Dengan tidak hanya melihat teks tertulis maupun tuturan, tetapi juga

praktik diskursif, maka historis-wacana juga memerhatikan intertekstualitas. Untuk

melihat kerangka wacana berupa praktik diskursif tersebut, Wodak menggunakan

teori perencanaan dan pemahaman teks yang menggambarkan secara sistematis

dalam membentuk ketergantungan yang sama pada tema, konteks, dan varian teks.

Di samping itu, terdapat juga kemungkinan untuk mengetahui perbedaan antara

mode tulis dan lisan dan perbedaan sistematis penerimaan teks.53


Skema
RENCANA K ERANGK A
SK EMA

Dimensi
kognitif
I Fungsi
komuni kati f, _ Afektivitas, Waktu, tempat,
Dimensi sosio-
i tuturan gender, tingkat penutur tert entu
psikologis
situasi, i penutur, tipe
tema kon fli k

! A
Dimensi
linguistik

DIWUJUDK AN
STRUK TU MACAM TIPE TEK S TEK S
R TEK S YANG
MAK RO

!
TEMATI
K
TEK S

GAMBAR 2. Perencanaan Teks.54

Dari Gambar 2, tampak bahwa analisis wacana tidak sekedar memerhatikan teks

atau aspek linguistik saja, tetapi juga faktor-faktor ekstralinguistik. Faktor

ekstralinguistik yang dimaksud dapat berupa situasi tuturan, status penutur (dilihat

dari gender, ras, etnis, dan lain-lain), waktu dan tempat tuturan/ perilaku diskursif,

hingga dari aspek sosio-psikologis yang dapat berupa keanggotaan kelompok

53 Ibid., Metode Analisis Teks & Wacana, 256.


54 Ibid., Metode Analisis Teks & Wacana, 261.
39

dalam masyarakat dan konstruksinya selama ini yang memengaruhi kondisi

psikologis.

9.9 Keabsahan Data

Keabsahan data perlu dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan

terjadi kekeliruan dalam menganalisa data. Dalam hal ini keabsahan data yang

akan dilakukan adalah model triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain (di luar) data itu untuk

keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. 55 Adapun

teknik triangulasi yang akan digunakan adalah triangulasi penyelidik, yaitu

memanfaatkan orang lain sebagai pengamat untuk mengecek kembali derajat

kepercayaan dan keabsahan data.

10. Jadwal Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan.

Secara rinci, waktu dan tahapan pelaksanaan penelitian yang akan dilakukan dapat

dilihat pada tabel berikut:

TABEL 3. Rencana Kegiatan Penelitian


Waktu (bulan ke-)
Tahap dan Kegiatan Penelitian
1 2 3 4 5 6
Persiapan Menyusun Penelitian V V
Pengumpulan Data V V V
Pengolahan dan Analisis Data V V V
Penyusunan Laporan V V
DAFTAR PUSTAKA

55 Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remadja Karya, 2005), 178.
40

Al-Ghazzi, Omar. “Trump’s ‘promised land5 of white masculine economic


success,” Electionanalysis2016.us. Diakses pada 10 Januari 2017.
http://www.electionanalysis2016.us/us-election-analysis-2016/section- 4-
diversity-and-division/trumps-promised-land-of-white-masculine-
economic-success/.

Arivia, Gadis. “Kata Pengantar,” dalam Teori-Teori Diskursus: Kematian


Strukturalisme dan Kelahiran Posstrukturalisme Dari Althusser hingga
Foucault, terj. Jakarta: Mizan, 2005.

Aur, Alexander. “Pascastrukturalisme Michel Foucault dan Gerbang Menuju Dialog


Antarperadaban,” dalam Teori-Teori Kebudayaan, ed. Mudji Sutrisno
dan Hendar Putranto. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Blow, Charles M. “Trump: Making America White Again.” The New York Times.
Diakses pada 13 Desember 2016.
nytimes.com/2016/11/21/opinion/trump-making-america-white-
again.html.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,


2008.

Creswell, John W. Desain Penelitian, Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif. Jakarta:


KIK Press, 2002.

Demistri, Yudhiana. “Politik Identitas Kelompok Amerika Indian di Amerika


Serikat: Representasi Perjuangan Kesetaraan American Indian Movement
Pasca-The Civil Rights Movement Tahun 1960-an.” Skripsi, Universitas
Jenderal Soedirman, 2015.

Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS,


2001.

Grad, Hector dan Luisa Martin Rojo. “Identities in Discourse: An Integrative


View,” dalam Analysing Identities in Discourse, ed. Rosana Dolon dan
Julia Todoli. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing
Company, 2008.

Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi
Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik. Jakarta:
Granit, 2004.
Holand, Matthew S. Bonds of Affection: Civic Charity and the Making of
America—Winthrop, Jefferson, and Lincoln. USA: Georgetown
University Press, 1966.

Huda, Adila Naily. “White Anglo-Saxon Protestant dan Perjuangan Hak-Hak Sipil
41

di Amerika Serikat dalam The Civil Rights Movement Tahun 1960an”


Skripsi, Universitas Jenderal Soedirman, 2013.

Kaelan. Filsafat Bahasa: Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma,


2009.

Leonardo, Zeus. “Affirming Ambivalence: Introduction to Cultural Politics and


Education” dalam Handbook of Cultural Politics and Education, ed.
Zeus Leonardo. Rotterdam: Sense Publishers, 2010.

Loomba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Jogjakarta: Bentang Budaya,


2003.

Macdonnel, Diane. Teori-Teori Diskursus, teij. Jakarta: Teraju, 2005.

“Make America White Again: Tennesse Politician Stands by Controversial


Billboard.” Diakses pada 7 Juli 2017.
globalnews.ca/news/2782551/make-america-white-again-tennessee-
politician-stands-by-controversial-billboard/.

Moleong, Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya, 2005.

Nash, Kate. The Cultural Politics of Human Rights: Comparing the US and UK.
USA: Cambridge University Press, 2009.

Newman, Saul. Power and Politics in Poststructuralist Thought: New theories of


the political. London and New York: Routledge, 2005.

Newsday.com Staff. “Donald Trump speech, debates, and campaign quotes.”


Newsday.com. Diakses pada 10 Januari 2017.
http://www.newsday.com/news/nation/donald-trump-speech-debates-
and-campaign-quotes-1.11206532.

O’Connor, Lydia dan Daniel Marans, “Here Are 16 Examples Of Donald Trump
Being Racist.” Huffpost.com. Diakses pada 3 Januari 2018.
https://www.huffingtonpost.com/entry/president-donald-trump-racist-
examples_us_584f2ccae4b0bd9c3dfe5566.

Salim, Agus. Teori dan Paradigma Sosial. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,
2001.
Santoso, Listiyono. “Purnawacana: Postmodernisme: Kritik Atas Epistemologi
Modern,,’ dalam Epistemologi Kiri ed. Listiyono Santoso, dkk.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015.

Schiller, Nina Glick. “Cultural Politics and the Politics of Culture.”


Researchgate.net. Diakses pada 16 Juli 2017,
42

https://www.researchgate.net/profile/Nina_Glick_Schiller/publication/2
49028797—Cultural_politics—and—the_politics—of—
culture/links/54bbc7b 10cf253b50e2d11c1/Cultural-politics-and-the-
politics-of-culture.pdf.

Schmidt, Steffen W., dkk., American Government and Politics Today. USA:
Wadsworth, 1999.

Sen, Amartya. Kekerasan dan Identitas, teij. Arif Susanto. Tangerang: Marjin Kiri,
2016.

Spradley, James P., dan Michael A. Rynkiewich. The Nacirema: Readings on


American Culture. USA: Little, Brown and Company, 1975.

Strinati, Dominic. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, terj.
Yogyakarta: Narasi, 2016.

Suseno, Avissa. “Islamofobia dalam Kampanye Donald Trump: Analisis Wacana


Berita Pernyataan Donald Trump terhadap Islam pada Media Online
Merdeka.com.” Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2016.

Suwardi, Harsono. “Kata Pengantar,” dalam Konstruksi Realitas Politik dalam


Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-
Berita Politik penulis Ibnu Hamad. Jakarta: Granit, 2004.

Swan, Robert. “Post-modernisme,” dalam Ilmu Politik dalam Paradigma Abad


Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid I ed. John T.
Ishiyama, dkk., terj. Ahmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: Kencana, 2013.

Titscher, Stefan, dkk. Metode Analisis Teks & Wacana ed. Abdul Syukur Ibrahim.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

“The Declaration of Independence and the Constitution of the United States.” U.S.
Citizenship and Immigration Services. Diakses pada 19 Juli 2017.
https://www.uscis.gov/sites/default/files/USCIS/Office%20of%20%Citi
zenship/Citizenhip%20Resource%20Center%20Site/Publications/PDFs
/M-654.pdf.
Trump, Donald J. Great Again: How to Fix Our Crippled America. USA:
Threeshold Editions, 2012.

Wagley, Charles. “On the Concept of Social Race in the Americas,,dalam The
Nacirema Readings on American Culture, ed. James P. Spradley dan
Michael A. Rynkiewich. USA: Little, Brown and Company, 1975.

Wibowo, Setyo A. Makalah yang disampaikan di Kelas Filsafat LSF Cogito 16


September 2017 berjudul: “Problem Pikiran/ Bahasa dan Dunia: Khora”,
43

hlm. 10.

Wilson, John. “Political Discourse”,dalam The Handbook of Discourse Analysis


ed. Deborah Schiffrin, Deborah Tannen, dan Heidi Hamilton. USA:
Blackwell Publishers, 2001.

Wiworotomo, Paulus. “Omongomong: Mendekati atau Menjauhi


Multikulturalisme,” PendarPena 2, no. 2 (2009), 11.

Wodak, Ruth dan Martin Reisigl. “Discourse and Racism,” dalam The Handbook of
Discourse Analysis ed. Deborah Schiffrin, Deborah Tannen, dan Heidi
Hamilton. USA: Blackwell Publishers, 2001.

Www.pbs.org. “Peoples & Ideas: John Winthrop,” dalam God in America.


Diakses pada 10 Januari 2017. www.pbs.org/godinamerica/people/john-
winthrop.html.

Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor, 2004.

“2016 Election Results” Diakses pada 11 Januari 2017.


http://edition.cnn.com/election/results.

Anda mungkin juga menyukai