Draf Proposal Penelitian Avrita Lianna (Ujian Seminar)
Draf Proposal Penelitian Avrita Lianna (Ujian Seminar)
Amerika Serikat merupakan bangsa dan negara yang memiliki pengaruh besar
berasal dari Eropa, seperti Inggris, Perancis, Portugis, dan Spanyol. Seiring
pun tidak lagi hanya kulit putih, melainkan juga orang-orang kulit hitam yang
tinggal sejak masa perbudakan di Amerika ataupun ras-ras lainnya dari berbagai
saling bersinggunggan, baik dengan suku asli Amerika ataupun dengan sesama
tersebut dapat dilihat dari kelompok yang memiliki pengaruh lebih besar atau
2 Kedudukan identitas yang hierarkis/ bertingkat dalam sejarah Amerika selalu menempatkan
orang-orang kulit putih Eropa pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan identitas lainnya.
“Throughout the Americas the process of miscegenation between Caucasoids, Amerindians, and Negroes
produced hybrid populations. It also produced a complicated social hierarchy in which racial
appearance or ancestry was perhaps the most important criterion of rank…Everywhere the European
whites dominated the American Indians and African slaves by force. ” (Sepanjang proses percampuran
antar etnis di Amerika antara Kaukasoid (orang-orang kulit putih), Amerika-Indian, dan orang kulit
hitam mengakibatkan munculnya populasi hibrid/ peranakan. Hal itu juga menimbulkan hierarki sosial
yang rumit di mana penampilan rasial atau keturunan barangkali menjadi standar yang begitu
penting…Di manapun orang-orang kulit putih Eropa mendominasi Amerika-Indian dan budak-budak
Afrika dengan paksa.) Charles Wagley, “On the Concept of Social Race in the Americas” dalam The
Nacirema Readings on American Culture, ed. James P. Spradley dan Michael A. Rynkiewich (USA:
Little, Brown and Company, 1975), 175-176.
3
Pencerahan, terutama konsep John Locke tentang kebebasan manusia. Selain itu,
disebarluaskan agar tertanam kuat dalam diri bangsa Amerika.3 Ajaran religius juga
terkenal dalam sejarah Amerika ialah John Winthrop dengan khotbahnya tentang
“A City Upon A Hill” atau A Model of Christian Charity.5 Khotbah tersebut salah
untuk menyucikan ajaran Tuhan dan mampu meraih kebahagiaan (the pursuit of
happiness) dengan menjadikan Amerika sebagai bangsa yang berjaya, atau sebagai
masyarakat di Amerika yang sangat hierarkis (seperti kaum kulit putih lebih unggul
daripada kaum kulit hitam). Berkat nilai-nilai dan ajaran tersebut, kemanusiaan di
Amerika semakin dihargai. Hal ini dapat dilihat ketika masa- masa awal
3 Steffen W. Schmidt, dkk., American Government and Politics Today (USA: Wadsworth, 1999),
16.
4 Puritanisme merupakan salah satu aliran keagamaan dalam agama Kristen. Aliran ini
berusaha mengajak penganut Kristiani untuk kembali pada ajaran-ajaran Kristen awal, karena
menurut aliran ini ajaran Kristen telah banyak berubah bahkan semakin terfragmentasi menjadi
berbagai aliran.
5 Www.pbs.org, “Peoples & Ideas: John Winthrop,” dalam God in America, diakses pada 10
Januari 2017, www.pbs.org/godinamerica/people/john-winthrop.html.
6 John Winthrop mengatakan kepada para jemaahnya untuk percaya kepada Hukum Tuhan
dan aturan terbaik yang dibuat oleh masyarakat. “Govern you and judge your causes by the rules of
God’s law and our own, according to our best skill” (Ketentuan dan penilaianmu disebabkan oleh
aturan dari hukum Tuhan dan kita, menurut kemampuan terbaik kita.) Matthew S. Holand, Bonds of
Affection: Civic Charity and the Making of America 一Winthrop, Jefferson, and Lincoln (USA:
Georgetown University Press, 1966), 61.
4
sebagai berikut.
“...that all Men are created equal, that they are endowed by their
Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life,
Liberty, and the pursuit of Happines … ”7 8
(...bahwa semua Manusia diciptakan sederajat, bahwa mereka
dianugerahi oleh Sang Pencipta dengan hak-hak yang tidak dihapuskan,
di antaranya yaitu Kehidupan, Kebebasan, dan mengejar
Kebahagiaan…)
ajaran Puritanisme telah menjadikan Amerika tumbuh sebagai bangsa dan negara
7 “The Declaration of Independence and the Constitution of the United States,” US. Citizenship
and Immigration Services, diakses pada 19 Juli 2017,
https://www.uscis.gov/sites/default/files/USCIS/Office%20of%20%Qtizenship/Citizenhip%20Res
ource%20Center%20Site/Publications/PDFs/M-654.pdf.
8 Kebudayaan Amerika dan permasalahannya dapat dilihat lebih lengkap pada buku James P.
Spradley dan Michael A. Rynkiewich, The Nacirema: Readings on American Culture (USA: Little,
Brown and Company, 1975), 8.
9 Kebudayaan dan politik adalah dua hal yang selalu melekat dan kerap menimbulkan beragam
persoalan. “Cultural theorists have shown how power, and therefore politics, is inherent in all practices
in symbolisation through which meaning is communicated. Culture structures institutional positions of
authority which validate particular perspective, creating hierarchies of subordination and obscuring or
exluding recognition of differences and inequalities.” (Para teoritisi kebudayaan telah menunjukkan
bagaimana kekuasaan, dan demikian juga politik, adalah melekat di segala praktik melalui simbolisasi
5
Presiden Amerika Serikat Tahun 2016 lalu, yakni fenomena wacana othering
Demokrat dan Partai Republik—menjadi dua blok yang bersaing dengan sangat
pemilihan presiden Amerika Serikat. Dalam masyarakat yang masih kental dengan
budaya patriarki, perempuan kerap kali dianggap kurang kompeten untuk ikut andil
dalam urusan politik. Namun demikian, hal ini berbeda dengan Hillary yang justru
tersebut. Hal ini karena pengalaman politik Hillary, antara lain sebagai Ibu Negara
selama dua periode pemerintahan Presiden Bill Clinton (1992-2000), senator untuk
negara bagian New York selama dua periode, hingga menteri luar negeri pada
dinilai miskin pengalaman dalam dunia politik, bahkan kerap dij adikan lelucon
bilamana Trump dapat memenangkan pemilihan presiden pada periode ini. Meski
yang mana berarti terdapat hubungan. Struktur- struktur institusi kebudayaan memiliki wewenang
untuk mengesahkan pandangan tertentu, menciptakan hierarki atas subordinasi/ peminggiran dan
menutupi atau menghilangkan pengakuan atas perbedaan dan ketidaksetaraan.) Kate Nash, The
Cultural Politics of Human Rights: Comparing the US and UK (USA: Cambridge University Press,
2009), 7.
6
atas Hillary. Dari angka 270 electoral votes sebagai batas minimal untuk menang,
Trump mendapatkan angka 306 votes dibanding Hillary yang hanya 206 votes.10
daripada Hillary. Dengan kata lain, Trump telah berhasil menarik perhatian
kelompok tersebut untuk memilihnya. Salah satu cara Trump—dan juga Partai
memakai jargon “Make America Great Again”. Jargon tersebut memiliki pesan
utama untuk mengajak seluruh warga Amerika agar turut serta dalam meraih
salah satunya adalah keresahan Amerika setelah muncul bangsa-bangsa lain yang
juga mampu meraih kejayaan seperti Jepang dan China. Lahirnya bangsa-bangsa
lainnya—menjadikan Amerika merasa tersaingi dan ingin tetap menjadi nomor satu
yang sedang tidak baik-baik saja, berhasil dimanfaatkan oleh Trump dari Partai
dengan identitas Trump, yaitu berkulit putih dan beragama Protestan. Dengan
demikian, ada juga kelompok lain yang merasa dirugikan apabila Trump menjadi
presiden, yaitu kelompok yang berada di luar identitas Trump maupun Partai
Republik. Dengan mengacu pada sejarah Amerika Serikat, kelompok yang dekat
dengan identitas Trump ataupun Partai Republik merujuk pada kaum white anglo-
Trump ataupun Partai Republik, antara lain merujuk pada kaum kulit hitam, kaum
untuk kalangan tertentu dengan status sosial tinggi, keturunan Protestan Inggris dan
diduga memiliki kekuatan finansial dan sosial yang besar.14 Identitas WASP sebagai
bukan kulit putih dan bukan penganut Protestan. Sedangkan yang dekat dengan identitas Trump
adalah mereka yang kulit putih dan Protestan.
13 Hal ini tampak dari pidato-pidato Trump yang diskriminatif terhadap kelompok- kelompok
minoritas. Lihat Lydia O’Connor dan Daniel Marans, “Here Are 16 Examples Of Donald Trump Being
Racist,” Huffpost.com, diakses pada 4 Januari 2018, https://www.huffingtonpost.com/entry/president-
donald-trump-racist- examples_us_584f2ccae4b0bd9c3dfe5566.
14 Adila Naily Huda, “White Anglo-Saxon Protestant dan Perjuangan Hak-Hak Sipil di Amerika
Serikat dalam The Civil Rights Movement Tahun 1960an” (Skripsi, Universitas Jenderal Soedirman,
2013), 32.
8
komunitas elit yang kuat tersebut melekat pada pendatang pertama (the first
setidaknya lebih setara dengan kelompok minoritas lain, seperti kaum kulit hitam,
property.
tetapi mereka dapat dikenali dengan persamaan warna kulit, agama, ataupun
keturunannya. Meski tidak ada klaim resmi bahwa WASP berada di pihak Trump
Trump sendiri ataupun sebagian anggota Partai Republik. Selain itu, karakter
Trump yang kerap menunjukkan sikap diskriminatif terhadap kaum minoritas,
barangkali juga menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum WASP. Hal ini terjadi
karena WASP seolah menemukan figur yang tepat untuk mewakili mereka dalam
15 Multikulturalis(me) adalah suatu gagasan atau tipe ideal tentang kondisi masyarakat yang
beragam, tetapi lebih luas dari pluralisme, lebih dari sekedar pengakuan atas keberagaman, ada
solidaritas atau ikatan tertentu. Lihat Paulus Wiworotomo, “Omongomong: Mendekati atau Menjauhi
Multikulturalisme,” PendarPena 2, no. 2 (2009), 11.
9
Di lain kesempatan, Trump juga pernah mengatakan hal negatif mengenai kaum
“When Mexico sends it people, they’re not sending their best. They’re
not sending you. They’re not sending yo-u. They’re sending people that
have lots of problems, and they’re bringing those problems with us.
16. Dr Omar Al-Ghazzi, “Trump’s ‘promised land’ of white masculine economic success,”
Electionanalysis2016.us, diakses pada 10 Januari 2017, http://www.electionanalysis2016.us/us- election-
analysis-2016/section-4-diversity-and-division/trumps-promised-land-of-white- masculine-economic-
success/.
They’re bringing drugs. They’re bringing crime. They’re rapists. And
some, I assume, are good people.’’11
(Ketika Meksiko mengirim orang-orangnya, mereka tidak mengirim
yang terbaik. Mereka tidak mengirimmu (orang-orang terbaik). Mereka
tidak mengirimmu. Mereka mengirim orang-orang yang memiliki
banyak masalah, dan mereka membawa masalahnya kepada kita
(Amerika). Mereka membawa narkoba. Mereka membawa kejahatan.
Mereka pemerkosa. Dan, hanya beberapa, saya anggap adalah orang
baik-baik.)
WASP. Namun demikian, belum tentu bagi kaum minoritas—kulit hitam, imigran,
merasa ketakutan apabila sosok seperti Trump berhasil terpilih menjadi Presiden
laman The New York Times dari seorang berkulit hitam yang memelintir jargon
“Make America Great Again” menjadi “Make America White Again,,.18 Di lain
tempat, seorang politisi Tennesse berkulit putih secara berani mendirikan billboard
20
kebudayaan yang berupa upaya penegasan kembali identitas WASP dan
17. Newsday.com Staff, “Donald Trump speech, debates, and campaign quotes,” Newsday.com,
diakses pada 10 Januari 2017, http://www.newsday.com/news/nation/donald-trump- speech-debates-and-
campaign-quotes-1.11206532.
18. Charles M. Blow, “Trump: Making America White Again,” The New York Times, diakses
pada 13 Desember 2016, nytimes.com/2016/11/21/opinion/trump-making-america-white- again.html.
19. “Make America White Again: Tennesse Politician Stands by Controversial Billboard”, diakses
pada 7 Juli 2017, globalnews.ca/news/2782551/make-america-white-again-tennessee- politician-stands-
by-controversial-billboard/.
20. Politik kebudayaan dapat berupa kontestasi antar berbagai simbol identitas budaya. Namun
demikian, politik kebudayaan tidak hanya sekedar kontestasi simbol-simbol, melainkan juga kontestasi
tentang imajinasi publik tentang bagaimana masyarakat seharusnya dijalankan, bagaimana relasi sosial
yang be^alan, organisasi/ lembaga macam apa yang dapat melakukannya, ketakutan kaum minoritas akan
wacana othering yang berlangsung selama periode Pemilihan Presiden di Amerika Serikat Tahun 2016 lalu.
Identitas merupakan hal yang selalu melekat dalam diri manusia, baik
sebagai individu maupun kelompok. Identitas tidak dapat dihentikan begitu saja
kelompok di luar identitas tertentu.16 17 Dengan kata lain, kelompok di luar identitas
kelompok lain yang dimaksud.18 Misalnya, kelompok kulit putih pada masa
mengatakan bahwa kulit hitam adalah ras manusia yang paling rendah, binatang
dan sebagainya.
sebuah keputusan yang adil dan setara. Ada kalanya politik kebudayaan cenderung
Fenomena politik kebudayaan dapat dilihat dari adanya ketakutan kaum minoritas
dan sebagainya. Ibid., Kate Nash, The Cultural Politics of Human Rights: Comparing the US and UK, 1-
2.
17 Manusia merupakan makhluk yang selalu memroduksi/ mengkonstruksi makna akan
identitasnya. “…that human identity is above all social, and that identity is about the creation of
meaning…about the individual’s processes of creation of meaning whilst participating as a social actor
in all spheres of social activity. ” (...bahwa identitas manusia lebih tinggi dari segala kemasyarakatan,
dan identitas merupakan karya yang memiliki makna…merupakan proses individu untuk menciptakan
makna selagi berpartisipasi sebagai aktor sosial di segala aktivitas sosial.) Hector Grad dan Luisa
Mardn Rojo, “Identities in Discourse: An Integrative View,” dalam Analysing Identities in Discourse, ed.
Rosana Dolon dan Julia Todoli (Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company, 2008),
3-4.
18 Ibid., “Identities in Discourse: An Integrative View,” 17.
19 “…culture as a form of politic: in other words, cultural politics.” (Kebudayaan sebagai wujud
dari politik: dengan kata lain, politik kebudayaan.) Penjelasan tentang kebudayaan sebagai wujud dari
politik atau bersifat politis dapat dilihat pada tulisan Zeus Leonardo, “Affirming Ambivalence:
Introduction to Cultural Politics and Education” dalam Handbook of Cultural Politics and Education,
ed. Zeus Leonardo (Rotterdam: Sense Publishers, 2010), 3.
12
diskriminatif terhadap kaum minoritas lebih khusus lagi melalui jargon “Make
一
wacana othering minoritas melalui jargon “Make America Great Again” dalam
Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2016. Penelitian ini berusaha mencari
berbagai penafsiran dari jargon ‘‘Make America Great Again” yang berkaitan
4. Perumusan Masalah
5. Pembatasan Masalah
othering minoritas melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan
6. Tujuan Penelitian
untuk:
7. Manfaat Penelitian
minoritas melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden
Amerika Serikat Tahun 2016. Dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu
14
itu, diharapkan pula hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan ataupun pembanding
bagi civitas akademika yang ingin melakukan penelitian terkait wacana othering
Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini antara lain dapat
(WASP) dan wacana othering minoritas melalui jargon “Make America Great
Again” dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2016. Manfaat praktis
lainnya dari penelitian ini barangkali dapat menjadi refleksi bagi pembaca dalam
meminimalisir konflik identitas yang dapat terjadi. Selain itu, hasil penelitian
di masyarakat.
8. Tinjauan Pustaka
penelitian. Hal ini karena melalui tinjauan pustaka dapat diketahui informasi-
informasi yang relevan dengan konteks penelitian, seperti kerangka pemikiran yang
akan dikaji serta penelitian-penelitian yang telah dilakukan sesuai dengan topik
15
ataupun metode penelitian yang diambil. Oleh karena itu, tinjauan pustaka dalam
penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni kerangka teoretis dan pemikiran penelitian
pustaka merupakan hal penting dalam melakukan penelitian. Hal ini karena
dengan topik penelitian ini. Adapun teori atau pemikiran yang relevan dengan
minoritas melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden
Amerika Serikat Tahun 2016 adalah: teori tentang politik kebudayaan, teori
16
tentang pemilihan umum dan partai politik, serta teori tentang wacana/
setiap manusia dan tidak dapat disangkal begitu saja. Identitas pun bukan sesuatu
biasanya berkaitan dengan kebudayaan, agama, jender, ras, etnis, hingga orientasi
seksual. Dengan adanya keberagaman budaya yang selalu sulit untuk disangkal,
(othering).
dihasilkan sebuah biner dan perlawanan diskursif antara ras-ras. Dengan kata lain,
24. “…Identitas juga bisa memicu pembunuhan dan membuat orang mati sia-sia. Rasa
keterikatan yang kuat (dan eksklusif) pada suatu kelompok bisa mengandung di dalamnya persepsi
tentang jarak dan keterpisahan dari kelompok lain.” Penjelasan tentang identitas dan kompleksitasnya
yang berkaitan dengan kekerasan dapat dilihat pada buku Amartya Sen, Kekerasan dan Identitas, te^j.
Arif Susanto (Tangerang: Ma^in Kiri, 2016), 4.
136.
17
dan perlawanan di antara kelompok, seperti halnya kulit putih yang dianggap lebih
yang dibangun dan menentukan bagaimana sistem politik tersebut akan dij alankan.
20 Nina Glick Schiller, “Cultural Politics and the Politics of Culture,” Researchgate.net, diakses
pada 16 Juli 2017,
https://www.researchgate.net/profile/Nina_Glick_Schiller/publication/249028797_Cultural_politic
s_and_the_politics_of_culture/links/54bbc7b10cf253b50e2dnc1/Cultural-politics-and-the- politics-of-
culture.pdf.
19
Amerika tersebutlah yang turut melahirkan apa yang disebut sebagai demokrasi.
tersebut terjadi lantaran tidak adanya aturan yang mengikat dan homogen dalam
21 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008),
105.
22 Ibid., Dasar-Dasar Ilmu Politik, 405-409.
20
antara lain ada yang menganut sistem partai tunggal, dwi-partai, dan multi-partai.
Dalam konteks Amerika Serikat yang menganut dwi-partai misalnya, memiliki dua
partai besar, yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat. Dwi-partai diartikan
dengan adanya dua partai di antara beberapa partai, yang berhasil memenangkan
dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran dan dengan demikian
Partai politik saling bersaing satu sama lain untuk meraih dukungan dan
suara dalam pemilihan umum. Di Amerika Serikat, pemilihan umum terdiri dari
tiga macam, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan senat di tiap
college, yakni keterpilihan presiden dan wakil presiden ditentukan oleh para
electors yang terdiri dari 100 anggota senat, 435 anggota House of Representatives,
dan 3 electors dari distrik Columbia, sehingga total electors adalah 538. Selain
electoral college, rakyat Amerika juga diberikan hak memilih melalui popular
vote, tetapi popular vote ini tidak memiliki pengaruh yang cukup berarti apabila
informasi yang disampaikan. Hal ini karena media tidak hanya bertindak sebagai
alat/ saluran untuk menyampaikan pesan politik melainkan juga sebagai agen/ aktor
politik itu sendiri.25 Peran yang dimainkan oleh media tersebut—baik sebagai alat
ataupun aktor sangat memengaruhi pola wacana yang coba disebarluaskan oleh
一
berbeda antar satu media dengan media lainnya, tergantung dinamika eksternal dan
ialah ideologi dan idealisme media. Sedangkan faktor eksternalnya ialah pasar dan
kampanye. Selain beredar melalui teks, wacana juga dapat berupa praktik diskursif.
Wacana merupakan istilah yang masih sangat ambigu. Wacana menurut kaum
Ideologi yang dianut oleh media atau aktor politik tertentu sangat memengaruhi
Pecheux ini mengarah pada politik pertentangan makna dalam diskursus.28 Hal ini
25 Harsono Suwardi, “Kata Pengantar,” dalam Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa:
Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik pen. Ibnu Hamad (Jakarta:
Granit, 2004), xvi.
26 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse
Analysis terhadap Berita-Berita Politik (Jakarta: Granit, 2004), 6.
27 Diane Macdonnel, Teori-Teori Diskursus, te^j. (Jakarta: Teraju, 2005), 21.
28 Ibid., Teori-Teori Diskursus, 21.
22
karena makna adalah bagian dari “ruang ideologi” dan diskursus/ wacana
memperlakukan diskursus sebagai sesuatu yang tidak berwujud dan tidak ada
bentuk diskursus (politik, teoretis atau lainnya) dapat berada dengan sendirinya.30 31
Dengan kata lain, diskursus hanya ada dalam diskursus itu sendiri dan tidak ada
eksistensinya di luar itu. Pernyataan ini menegaskan bahwa tidak ada apapun, tidak
pernyataan, dan kadang kala sebagai praktif regulatif yang dilihat dari sejumlah
bagi kekuasaan bekerja. Foucault tidak melihat kekuasaan sebagai zat tunggal,
mengatakan bahwa semuanya itu terbuka untuk dikritik.41 Dengan kata lain,
mencari makna atau penafsiran lain yang belum terlihat di samping makna yang
terhadap modernisme, dapat dilihat sebagai bentuk yang lebih radikal dari politik
modern.42
“Poststucturalism can be seen as a theoretical strategy—or series of
strategies—that responds to, and engages with, what has been termed
the ‘postmodern condition,…Postmodernity or postmodern are
ambiguous terms which tend to be bandied about rather
meaninglessly.”33 34 35 36 37
(Pascastrukturalisme dapat dilihat sebagai sebuah strategi teoritis—atau
seri strategi—yang merespon terhadap, dan menjadi bagian dari, apa
yang disebut „kondisi pascamodern5… Pascamodernitas atau
pascamodern merupakan istilah ambigu yang cenderung membelok-
belokkan maknanya daripada hampir meniadakan maknanya.)
Kondisi pascamodern merupakan tahap selanjutnya dari era modern dengan strategi
33 Gadis Arivia, “Kata Pengantar,” dalam Teori-Teori Diskursus: Kematian Strukturalisme dan
Kelahiran Posstrukturalisme Dari Althusser hingga Foucault, terj. (Jakarta: Mizan, 2005), xii.
34 Ibid.
35 Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuj Teori Budaya Populer, terj. (Yogyakarta:
Narasi, 2016), 277.
36 “…to understand the implication of poststructuralism for radical politic specifically.” (...untuk
memahami akibat dari pascastrukturalisme dari politik radikal secara khusus.) Penjelasan lebih
lengkap tentang pascastrukturalisme dan kaitannya dengan teori-teori politik dapat dilihat pada buku
Saul Newman, Power and Politics in Poststructuralist Thought: New theories of the political (London
and New York: Routledge, 2005), 1.
37 Ibid., Power and Politics in Poststructuralist Thought: New theories of the political , 3.
24
sebagai aliran pemikiran yang bertolak belakang; (2) tidak ada pascastrukturalisme
tunggal, yang ada hanyalah pluralitas pendekatan yang bernaung di bawah istilah
itu; dan (3) publikasi (atas) diskusi pascastrukturalisme hampir selalu dikacaukan
othering minoritas melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan
kebudayaan, teori tentang pemilihan umum dan partai politik, serta teori tentang
penelitian ini diharapkan dapat berjalan sesuai jalur teoretis dan pemikiran
mengetahui sejauh mana unsur kebaruan dari penelitian ini. Selain itu, dengan
antara berbagai penelitian yang sudah pernah dilakukan. Sedikitnya ditemukan tiga
minoritas melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden
Amerika Serikat Tahun 2016. Tiga penelitian terdahulu tersebut adalah: Pertama,
Sipil di Amerika Serikat dalam The Civil Rights Movement Tahun 1960an” yang
ditulis oleh Adila Naily Huda (2013); Kedua, skripsi dengan judul “Politik
1960-an” yang ditulis oleh Yudhiana Demistri (2015); dan Ketiga, skripsi dengan
Pernyataan Donald Trump Terhadap Islam Pada Media Online Merdeka.com” yang
Hak-Hak Sipil di Amerika Serikat dalam The Civil Rights Movement Tahun
Skripsi ini berfokus pada perjuangan kelompok minoritas yang bergerak melalui
The Civil Rights Movement tahun 1960-an. Perjuangan tersebut dilakukan dalam
pada metode penelitian dan perspektif yang melandasi, yaitu kualitatif dan
terletak pada teori yang digunakan, yakni teori politik identitas, serta pendekatan
Trump: Analisis Wacana Berita Pernyataan Donald Trump Terhadap Islam Pada
Serikat, topik tentang persoalan identitas budaya di sana, serta periode pemilihan
presiden di Amerika Serikat tahun 2016. Hanya saja, skripsi ini lebih berfokus pada
tema islamofobia, serta paradigma yang melandasi ialah paradigma kritis dengan
Perbedaan
TABEL 1. Matriks Penelitian Terdahulu Perbedaan terletak pada fokus
penulisan, yaitu perjuangan
Judul Penelitian Tahun Persamaan
2013 Persamaan terletak pada kelompok minoritas melalui
“White Anglo-Saxon konteks Amerika Serikat dan gerakan The Civil Rights
Protestant dan subjek penelitian kelompok Movement untuk menolak
Perjuangan Hak-Hak WASP. Selain itu, perspektif dominasi kelompok WASP yang
Sipil di Amerika yang melandasi juga memiliki mayoritas pada tahun 1960an.
Serikat dalam The Civil kesamaan yaitu Perbedaan lainnya terletak
Rights Movement pascastrukturalis. pada paradigma yang
Tahun 1960an” Adila melandasi, yaitu
Naily Huda (Skripsi konstruktivisme, dan
Universitas Jenderal pendekatan yang digunakan
Soedirman)
yaitu hermeneutika.
Kerangka teoretis yang
digunakan juga berbeda, yaitu
politik identitas.
9. Metodologi Penelitian
“Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun
peristiwa yang terjadi. Suatu teks/ peristiwa yang tersampaikan oleh seseorang
tidak hanya dapat ditafsirkan secara literal atau sebagaimana yang terucap/ tertulis,
tetapi sangat memungkinkan adanya tafsiran lain di balik penafsiran secara literal
39 “Ce n’est pas une demarche negative, mais une analyse genealogique d’une structure
construite que l,on veut desedimenter.” (Dekonstruksi bukanlah cara kerja yang negatif, melainkan
sebuah analisis genealogis terhadap struktur yang telah terkonstruksi yang hendak kita
desedimentasikan (dibuka lapis-lapisannya)). Pemaknaan Derrida tentang dekonstruksi dapat dilihat di
majalah Le Point, edisi tanggal 14 Oktober 2004, artikel wawancara oleh Franz-Oliver Giesbert
be^udul: “Ce que disait Derrida...’’ ,hlm. 108. A. Setyo Wibowo dalam makalah yang disampaikan di
Kelas Filsafat LSF Cogito 16 September 2017 berjudul: “Problem Pikiran/ Bahasa dan Dunia:
Khora’,hlm. 10.
40 Kaelan, Filsafat Bahasa: Semiotika dan Hermeneutika (Yogyakarta: Paradigma, 2009),
259.
29
terhadap segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan
struktur-struktur yang selama ini sudah mapan. Dengan kata lain, pascastrukturalis
pencerahan.43
atau masalah manusia yang didasarkan pada penciptaan gambaran holistik lengkap
terperinci, dan disusun dalam sebuah latar alamiah.44 Penelitian kualitatif dianggap
41 Robert Swan, “Post-modemisme,” dalam Ilmu Politik dalam Paradigma Abad Kedua Puluh
Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid I ed. John T. Ishiyama, dkk. (Ahmad Fedyani Saifuddin
(penj.) (Jakarta: Kencana, 2013), 18.
42 Listiyono Santoso, “Purnawacana: Postmodernisme: Kritik Atas Epistemologi Modern,” dalam
Epistemologi Kiri ed. Listiyono Santoso, dkk. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), 325.
43 Ibid.
44 John W. Creswell, Desain Penelitian, Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif (Jakarta: KIK Press,
2002), 1.
31
tepat sebagai metode untuk mencapai tujuan penelitian ini, karena penelitian ini
protestant (WASP) dan wacana othering minoritas melalui jargon “Make America
Great Again” dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2016. Hal ini
sejalan dengan apa yang diandalkan dalam metode penelitian kualitatif, yakni
ungkapan tertulis maupun verbal subjektif mengenai arti yang diberikan oleh subjek
yang dipelajari untuk kemudian menjadi jendela ke dalam kehidupan yang lebih
wacana. Analisis wacana dianggap sesuai dengan paradigma dan perspektif yang
utama dalam analisis wacana adalah mengkaji kekuasaan dalam wacana dan atas
wacana, yaitu penggunaan bahasa dalam tuturan dan tulisan, sebagai bentuk dari
„praktik sosial5 dan adanya hubungan dialektik antara peristiwa diskursif dengan
mencari penafsiran-penafsiran lain dari suatu teks/ peristiwa, yang dalam hal ini
45 Agus Salim, Teori dan Paradigma Sosial (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2001), 25-26.
46 Stefan Titscher, dkk., Metode Analisis Teks & Wacana ed. Abdul Syukur Ibrahim (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), 238-241.
32
wacana tertentu.47 Selain itu, analisis wacana sendiri memiliki keterkaitan erat
dengan kajian ilmu politik. Hal ini diungkapkan oleh John Wilson bahwa pada
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka fokus penelitian ini adalah melihat
melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden Amerika
Serikat Tahun 2016. Agar sistematis, fokus penelitian ini akan terbagi menjadi
Menentukan sasaran penelitian merupakan hal penting agar tujuan dari penelitian ini
sasaran penelitian ini akan diarahkan pada wacana terkait othering minoritas
melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden Amerika
Serikat Tahun 2016. Wacana yang akan dianalisa tidak hanya berupa teks media
saja, tetapi juga perilaku diskursif tertentu. Hal ini didasarkan pada pengertian
wacana sebelumnya, yaitu baik berupa teks, tuturan, maupun peristiwa tertentu atau
bisa juga disebut sebagai perilaku diskursif. Adapun sasaran penelitiannya adalah
sebagai berikut:
1) “Trump: Making America White Again” yang ditulis oleh Charles M. Blow
(seorang kulit hitam) di The New York Times pada 21 November 2016 (link:
nytimes.com/2016/11/21/opinion/trump-making-america-white-again.html);
globalnews.ca/news/2782551/make-america-white-again-tennessee- politician-
stands-by-controversial-billboard/);
3) “White evangelicals voted overwhelmingly for Donald Trump, exit polls show ”
https://www.washingtonpost.com/news/acts-of-faith/wp/2016/11/09/exit- polls-
show-white-evangelicals-voted-overwhelmingly-for-donald-trump/);
http://www.bbc.com/news/election-us-2016-37969112);
5) “Trump Victory Alarms Ga and Transgender Group” yang dimuat di The New
https://www.nytimes.com/2016/11/11/us/politics/trump-victory-alarms-gay-
and-transgender-groups.html).
penelitian ini peneliti akan mencari, mengumpulkan dan mengkaji literatur- literatur
yang terkait white anglo-saxon protestant (WASP) dan wacana othering minoritas
melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden Amerika
Serikat Tahun 2016, baik yang berasal dari buku-buku, media massa ataupun
internet.
Sumber data dalam penelitian terbagi menjadi dua jenis, yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer merupakan sumber data utama, sedangkan
data sekunder merupakan data pendukung atau pelengkap. Oleh karena itu, sumber
data primer dalam penelitian ini adalah wacana yang dalam hal ini ditunjukkan
melalui teks-teks media tentang white anglo-saxon protestant (WASP) dan wacana
othering minoritas melalui jargon “Make America Great Again” dalam Pemilihan
Presiden Amerika Serikat Tahun 2016. Sedangkan untuk data sekunder dalam
penelitian ini berupa buku, jurnal, maupun informasi dari internet yang relevan
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan sumber data
tertulis seperti buku, jurnal, tesis, artikel, maupun informasi dari internet yang
relevan dengan konteks penelitian. Adapun data yang dikumpulkan ialah mengenai
white anglo-saxon protestant (WASP) dan wacana othering minoritas melalui jargon
“Make America Great Again” dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun
2016. Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara membaca, menulis, dan
maka teknik analisis data yang akan digunakan adalah teknik analisis historis-
wacana dari Ruth Wodak. Historis-wacana ala Wodak dianggap sesuai karena unit
analisis wacana yang dikaji bukan sekedar teks tertulis ataupun tuturan, melainkan
juga berupa praktik diskursif. Praktik diskursif ini setidaknya memiliki empat
ras, bangsa, etnis, dan sebagainya; Kedua, praktik diskursif memiliki kemungkinan
kelompok sosial yang ada; Ketiga, praktik diskursif merupakan alat untuk
melakukan perubahan status quo; dan Keempat, praktik diskursif juga dapat
37
kompleks tindak linguistik yang berbarengan dan saling terkait dan berurutan yang
mengejawantah dalam dan pada bidang tindakan sosial sebagai tanda semiotik yang
50 Ruth Wodak dan Martin Reisigl, “Discourse and Racism,” dalam The Handbook of Discourse
Analysis ed. Deborah Schiffrin, Deborah Tannen, dan Heidi Hamilton (USA: Blackwell Publishers, 2001),
385.
51 Ibid., Metode Analisis Teks & Wacana, 257.
52 Ibid., Metode Analisis Teks & Wacana, 257.
38
Dengan tidak hanya melihat teks tertulis maupun tuturan, tetapi juga
dalam membentuk ketergantungan yang sama pada tema, konteks, dan varian teks.
Dimensi
kognitif
I Fungsi
komuni kati f, _ Afektivitas, Waktu, tempat,
Dimensi sosio-
i tuturan gender, tingkat penutur tert entu
psikologis
situasi, i penutur, tipe
tema kon fli k
! A
Dimensi
linguistik
DIWUJUDK AN
STRUK TU MACAM TIPE TEK S TEK S
R TEK S YANG
MAK RO
!
TEMATI
K
TEK S
Dari Gambar 2, tampak bahwa analisis wacana tidak sekedar memerhatikan teks
ekstralinguistik yang dimaksud dapat berupa situasi tuturan, status penutur (dilihat
dari gender, ras, etnis, dan lain-lain), waktu dan tempat tuturan/ perilaku diskursif,
psikologis.
terjadi kekeliruan dalam menganalisa data. Dalam hal ini keabsahan data yang
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain (di luar) data itu untuk
Secara rinci, waktu dan tahapan pelaksanaan penelitian yang akan dilakukan dapat
55 Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remadja Karya, 2005), 178.
40
Blow, Charles M. “Trump: Making America White Again.” The New York Times.
Diakses pada 13 Desember 2016.
nytimes.com/2016/11/21/opinion/trump-making-america-white-
again.html.
Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi
Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik. Jakarta:
Granit, 2004.
Holand, Matthew S. Bonds of Affection: Civic Charity and the Making of
America—Winthrop, Jefferson, and Lincoln. USA: Georgetown
University Press, 1966.
Huda, Adila Naily. “White Anglo-Saxon Protestant dan Perjuangan Hak-Hak Sipil
41
Nash, Kate. The Cultural Politics of Human Rights: Comparing the US and UK.
USA: Cambridge University Press, 2009.
O’Connor, Lydia dan Daniel Marans, “Here Are 16 Examples Of Donald Trump
Being Racist.” Huffpost.com. Diakses pada 3 Januari 2018.
https://www.huffingtonpost.com/entry/president-donald-trump-racist-
examples_us_584f2ccae4b0bd9c3dfe5566.
Salim, Agus. Teori dan Paradigma Sosial. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,
2001.
Santoso, Listiyono. “Purnawacana: Postmodernisme: Kritik Atas Epistemologi
Modern,,’ dalam Epistemologi Kiri ed. Listiyono Santoso, dkk.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015.
https://www.researchgate.net/profile/Nina_Glick_Schiller/publication/2
49028797—Cultural_politics—and—the_politics—of—
culture/links/54bbc7b 10cf253b50e2d11c1/Cultural-politics-and-the-
politics-of-culture.pdf.
Schmidt, Steffen W., dkk., American Government and Politics Today. USA:
Wadsworth, 1999.
Sen, Amartya. Kekerasan dan Identitas, teij. Arif Susanto. Tangerang: Marjin Kiri,
2016.
Strinati, Dominic. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, terj.
Yogyakarta: Narasi, 2016.
Titscher, Stefan, dkk. Metode Analisis Teks & Wacana ed. Abdul Syukur Ibrahim.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
“The Declaration of Independence and the Constitution of the United States.” U.S.
Citizenship and Immigration Services. Diakses pada 19 Juli 2017.
https://www.uscis.gov/sites/default/files/USCIS/Office%20of%20%Citi
zenship/Citizenhip%20Resource%20Center%20Site/Publications/PDFs
/M-654.pdf.
Trump, Donald J. Great Again: How to Fix Our Crippled America. USA:
Threeshold Editions, 2012.
Wagley, Charles. “On the Concept of Social Race in the Americas,,dalam The
Nacirema Readings on American Culture, ed. James P. Spradley dan
Michael A. Rynkiewich. USA: Little, Brown and Company, 1975.
hlm. 10.
Wodak, Ruth dan Martin Reisigl. “Discourse and Racism,” dalam The Handbook of
Discourse Analysis ed. Deborah Schiffrin, Deborah Tannen, dan Heidi
Hamilton. USA: Blackwell Publishers, 2001.