RTA
RTA
KASUS
Pada tanggal 29 Agustus 2018 dikonsulkan pasien dari Poliklinik Ginjal dan
Hipertensi atas nama Ny. DS, perempuan usia 29 tahun, nomor MR 315-79-16
dengan keterangan klinis kontrol asidosis tubulus renal, diperiksakan urinalisis,
serum elektrolit, ureum, dan kreatinin dengan hasil sebagai berikut:
Universitas Indonesia
2
Kesan :
Hipokalemia
Hiperkloremia
Peningkatan kreatinin serum
Saran :
Pemeriksaan darah perifer lengkap
Pemeriksaan analisa gas darah
DATA TAMBAHAN
Anamnesis
Keluhan Utama
Tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang untuk kontrol karena obat habis.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku didiagnosis asidosis tubulus renal sejak usia 12 tahun. Pada tahun
2007 pasien masuk RSCM dengan keluhan lemas seluruh badan, dirawat selama 4
hari dengan diagnosis asidosis tubulus renal tipe 1.
Universitas Indonesia
3
Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 2. Hasil laboratorium tanggal 12 September 2007
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Universitas Indonesia
4
= 140-(114+14,10)
= 11,9 mEq/L
Asidosis metabolik
Hiperkloremia
Hipokalemia
Universitas Indonesia
5
Penatalaksanaan
TEORI SINGKAT
Asidosis tubulus renal (ATR) adalah kumpulan gangguan tubulus ginjal yang
bermanifestasi sebagai asidosis metabolik karena gangguan kemampuan tubulus
ginjal untuk melakukan fungsinya dalam menjaga keseimbangan asam basa. ATR
ditandai dengan asidosis hiperkloremik dengan anion gap yang normal. Dalam
menjaga keseimbangan asam basa, ginjal mereabsorpsi bikarbonat (HCO3) yang
difiltrasi di tubulus proksimal dan mensekresi asam (H+) di tubulus distal.1
Reabsorpsi HCO3 85-90% terjadi di tubulus proksimal. HCO3 difiltrasi
oleh glomerulus akan bereaksi dengan H+ di tubulus membentuk asam karbonat
(H2CO3). H2CO3 kemudian berdisosiasi dengan cepat menjadi karbondioksida
(CO2) dan air (H2O). Karbondioksida kemudian berdifusi bebas ke dalam sel dan
mengalami hidrasi dengan perantara enzim karbonik anhidrase (CA II)
membentuk asam karbonat. Asam karbonat akan mengalami ionisasi menjadi
bikarbonat dan ion hidrogen (H+). Ion hidrogen disekresikan dengan transport
aktif melewati membrane sel ke lumen tubulus bersamaan dengan reabsorpsi
natrium melalui pertukaran Na+ - H+. Hasil akhir proses ini adalah sekresi H+ dan
reabsorpsi bikarbonat.2
Sekresi H+ di tubulus distal terjadi dengan bantuan buffer fosfat dan
ammonia. Awalnya di tubulus proksimal, terjadi katalisis pembentukan H+ dan
H2CO3 oleh CA II. H+ dipompa ke lumen tubulus dan bikarbonat masuk ke cairan
ekstraseluler. H+ dalam lumen akan bergabung dengan ammonia membentuk ion
Universitas Indonesia
6
Universitas Indonesia
7
Nilai rujukan anion gap plasma adalah 8 – 16 mEq/L. Pada ATR, terjadi
pembuangan bikarbonat ke urin atau kegagalan sekresi H+ sehingga terjadi
pergantian bikarbonat oleh klorida, hal inilah yang menyebabkan asidosis
metabolik hiperkloremik dengan anion gap normal. 4
pH urin
Pengukuran pH urin dapat digunakan untuk menentukan baik/buruknya
mekanisme asidifikasi (pengasaman) urin. Pemeriksaan pH urin mengukur
aktifitas ion H+ bebas di urin, yang kurang dari 1% dari seluruh total proton yang
disekresi dari tubulus distal. pH urin pada keadaan asidosis sistemik biasanya
ditemukan <5,3; akan tetapi bila ditemukan pH≥5,3 harus menimbulkan
kecurigaan adanya defek sekresi H+ pada tubulus distal. Harus diperhatikan bahwa
pH urin tinggi juga dapat disebabkan karena adanya infeksi saluran kemih
terutama bakteri penghasil urea.6
Universitas Indonesia
8
PEMBAHASAN
Sebelum mendapat data tambahan
Diterima sampel Ny. DS, perempuan, usia 29 tahun, dengan keterangan klinis
kontrol asidosis tubulus renal, diperiksakan urinalisis, serum elektrolit, ureum,
dan kreatinin. Hasil pemeriksaan urinalisis dalam batas normal, dengan pH urin
7,5. Terdapat hipokalemia ringan dan hiperkloremia, namun pasien tidak
diperiksakan analisa gas darah. Serum kreatinin pasien meningkat dengan eGFR
47,1 mL/min/1.73 m2.
Pada ATR tipe 1, terjadi kegagalan ekskresi ion H+ yang bersifat asam
melalui urin, oleh karena itu pH urin akan cenderung basa dimana pada pasien ini
pH urinnya 7, dan hal ini sesuai dengan kondisi ATR tipe 1 yaitu pH urin ≥5,3.
Pemeriksaan urinalisis ini juga berfungsi untuk melihat tanda-tanda adanya kristal
kalsium yang terbentuk, sebab pH urin yang cenderung basa akan mempermudah
terbentuknya kristal kalsium.
Hipokalemia pada ATR tipe 1 belum jelas patofisiologinya, namun
hipotesa yang ada saat ini adalah karena kegagalan sel alfa di tubulus distal untuk
mempertahankan K+ sehingga terjadi peningkatan jumlah K+ yang keluar ke
lumen tubulus distal. Adanya kehilangan natrium melalui urin memicu stimulasi
aldosterone (hiperaldosteron) yang menyebabkan peningkatan ekskresi K+ melalui
urin. Kondisi asam di tubulus juga dapat menggangu reabsorpsi K+.7
Universitas Indonesia
9
Universitas Indonesia
10
paling menjadi perhatian untuk dipantau adalah kadar kalium dan klinis pasien.
Urinalisis diperiksakan untuk melihat pH urin. Pada ATR tipe 1 dengan urin
cenderung alkali, akan mudah terbentuk kristal kalsium dan fosfat. Pasien dengan
gangguan ginjal kronik seperti pada ATR, harus dilakukan pemeriksaan ureum
kreatinin berkala untuk mengetahui fungsi ginjalnya. Fungsi ginjal dapat menurun
pada pasien ATR karena kondisi patologis yang kronis pada ginjal. Pada tahun
2007 saat pertama kali terdiagnosis ATR, fungsi ginjal pasien masih dalam batas
normal. Namun karena defek yang terjadi adalah permanen dan kronis, dapat
terjadi penurunan fungsi ginjal.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan konjungtiva pasien pucat. Pasien
disarankan untuk pemeriksaan darah perifer lengkap untuk melihat adanya bukti
anemia. Anemia dapat terjadi pada kondisi penyakit kronik seperti pada ATR
yang telah diderita pasien selama 12 tahun. Anemia dapat mulai terjadi pada gagal
ginjal kronis (GGK), yaitu ketika fungsi ginjal sudah kurang dari 50%. Ginjal
yang sehat akan memproduksi eritropoetin, dimana eritropoetin berfungsi untuk
menstimulai sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit. Jika terjadi kerusakan
ginjal, produksi eritropoetin dapat terganggu sehingga produksi eritrosit di
sumsum tulang akan berkurang, yang akan memberikan manifestasi laboratorium
berupa anemia normositik normokrom.
SIMPULAN
Telah dilakukan pemeriksaan urinalisis, elektrolit serum, ureum dan kreatinin
pada sampel atas nama Ny.DS perempuan 29 tahun, dengan keterangan klinis
kontrol asidosis tubulus renal, pada tanggal 29 Agustus 2018. Kesan pemeriksaan
laboratorium adalah hiperkloremia dan hipokalemia ringan dengan pH urin
cenderung alkali, serta peningkatan serum kreatinin. Pasien disarankan
pemeriksaan analisa gas darah dan darah perifer lengkap. Setelah mendapat data
tambahan, diketahui pasien dengan riwayat pernah dirawat pada tahun 2007 (saat
usia pasien 18 tahun) di RSCM karena lemas seluruh badan, dari pemeriksaan
laboratorium pada tahun 2007 didapatkan asidosis metabolik hiperkloremia,
hipokalemia, anion gap normal, dengan pH urin cenderung alkali. Diagnosis saat
itu ditegakkan sebagai asidosis tubulus renal tipe 1. Pasien saat ini menjalani
Universitas Indonesia
11
kontrol berkala setiap bulan, setiap hari mengkonsumsi obat yang mengandung
kalium dan bikarbonat. Pemeriksaan laboratorium untuk pemantauan terapi dan
melihat adanya komplikasi. Setelah data tambahan, pasien disarankan untuk
pemeriksaan darah perifer lengkap untuk melihat status hematologi pasien, karena
kerusakan ginjal kronis dapat mengganggu produksi eritropoetin, yang berakibat
produksi eritrosit di sumsum tulang menurun, dan dapat bermanifestasi pada
pemeriksaan hematologi yaitu anemia normositik normokrom.
Universitas Indonesia