Anda di halaman 1dari 11

1

KASUS
Pada tanggal 29 Agustus 2018 dikonsulkan pasien dari Poliklinik Ginjal dan
Hipertensi atas nama Ny. DS, perempuan usia 29 tahun, nomor MR 315-79-16
dengan keterangan klinis kontrol asidosis tubulus renal, diperiksakan urinalisis,
serum elektrolit, ureum, dan kreatinin dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium 29 Agustus 2018


Jenis pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Urinalisis
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Leukosit 0-1 /LPB 0-5
Eritrosit 0-1 /LPB 0-2
Silinder Negatif 0-2/LPK, silinder
hialin (1+)
Sel epitel 1+ 1+ (ada), sel epitel
gepeng negatif
Kristal Negatif
Bakteria Negatif Negatif
Berat jenis 1.010 1.005-1.030
pH 7.5 4.5-8.0
Albumin Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Darah/Hb Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen 3,2 𝜇mol/L 3.2-16.0
Nitrit negatif Negatif
Leukosit esterase negatif Negatif
Elektrolit serum
Natrium 137 mEq/L 136-145
Kalium 3.0 mEq/L 3.5-5.1
Klorida 109.5 mEq/L 98.0-107.0
Kimia Klinik
Ureum 35 mg/dL 15.0-40.0
Kreatinin 1.50 mg/dL 0.60-1.20
2
eGFR 47.1 mL/min/1.73 m 94-142

Universitas Indonesia
2

Kesan :
 Hipokalemia
 Hiperkloremia
 Peningkatan kreatinin serum
Saran :
 Pemeriksaan darah perifer lengkap
 Pemeriksaan analisa gas darah

DATA TAMBAHAN

Anamnesis

Keluhan Utama
Tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang untuk kontrol karena obat habis.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku didiagnosis asidosis tubulus renal sejak usia 12 tahun. Pada tahun
2007 pasien masuk RSCM dengan keluhan lemas seluruh badan, dirawat selama 4
hari dengan diagnosis asidosis tubulus renal tipe 1.

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat sakit serupa dengan pasien disangkal.
- Ibu pasien menderita diabetes mellitus.

Riwayat pekerjaan dan sosial-ekonomi


Pasien saat ini adalah seorang ibu rumah tangga, pembayaran dengan
menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional.
Pemeriksaan Fisik
KU/Kesadaran : Sedang/compos mentis
Tekanan darah : 120 / 70 mmHg
Nadi : 85 x/menit
Pernapasan : 18 x/ menit
Suhu : 36,4 ⁰C

Universitas Indonesia
3

Mata : Konjungtiva tampak pucat


JVP : 5 – 2 cmH20, tidak ada pembesaran KGB
Dada : Bentuk dan gerak simetris
Paru : Vesikuler, tidak ada ronkhi pada kedua paru, tidak ada wheezing.
Jantung : BJ I&II normal, tidak ada murmur dan gallop
Abdomen : Datar dan supel, bising usus normal
Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada edema.

Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 2. Hasil laboratorium tanggal 12 September 2007
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Analisa gas darah


pH 7.339 7.350-7.450
pCO2 27,20 mm Hg 35.00-45.00
pO2 95.5 mm Hg 75.00-100.00
HCO3 14,10 mmol/L 21.00-25.00
Total CO2 20,35 mmol/L 21.00-27.00
Base Excess -10,40 mmol/L -2.50-+2.50
O2 Saturation 96,50 % 95.00-98.00

Standard HCO3 15,20 mmol/L 22.0-24.0


Urinalisis
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Leukosit 0-1 /LPB 0-5
Eritrosit 0-1 /LPB 0-2
Silinder Negatif 0-2/LPK, silinder
hialin (1+)
Sel epitel 1+ 1+ (ada), sel epitel
gepeng negatif
Kristal Negatif
Bakteria Negatif Negatif
Berat jenis 1.010 1.005-1.030
pH 7.0 4.5-8.0
Albumin Negatif Negatif

Universitas Indonesia
4

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Darah/Hb Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen 3,2 𝜇mol/L 3.2-16.0
Nitrit negatif Negatif
Leukosit esterase negatif Negatif
Elektrolit serum
Natrium 140 mEq/L 136-145
Kalium 1.8 mEq/L 3.5-5.1
Klorida 114 mEq/L 98.0-107.0
Kimia Klinik
Ureum 22 mg/dL 15.0-40.0
Kreatinin 0.8 mg/dL 0.60-1.20
2
eGFR 107.6 mL/min/1.73 m 94-142

Anion gap serum= Na-(Cl+HCO3)

= 140-(114+14,10)

= 11,9 mEq/L

Kesan setelah data tambahanan

 Asidosis metabolik
 Hiperkloremia
 Hipokalemia

Kesimpulan setelah data tambahan

 Pasien dengan riwayat asidosis metabolik hiperkloremik dengan anion gap


normal, pH urin cenderung basa, dengan hipokalemia berat. Ditegakan
sebagai asidosis tubulus renal tipe 1.
 Saat ini hipokalemia ringan dan hiperkloremia dengan pH urin cenderung
basa

Universitas Indonesia
5

Saran setelah data tambahanan

 Pemeriksaan darah perifer lengkap


Diagnosis
Asidosis tubulus renal tipe I

Penatalaksanaan

 KSR 3x1 tablet


 Bikarbonat 3x2 tablet

TEORI SINGKAT
Asidosis tubulus renal (ATR) adalah kumpulan gangguan tubulus ginjal yang
bermanifestasi sebagai asidosis metabolik karena gangguan kemampuan tubulus
ginjal untuk melakukan fungsinya dalam menjaga keseimbangan asam basa. ATR
ditandai dengan asidosis hiperkloremik dengan anion gap yang normal. Dalam
menjaga keseimbangan asam basa, ginjal mereabsorpsi bikarbonat (HCO3) yang
difiltrasi di tubulus proksimal dan mensekresi asam (H+) di tubulus distal.1
Reabsorpsi HCO3 85-90% terjadi di tubulus proksimal. HCO3 difiltrasi
oleh glomerulus akan bereaksi dengan H+ di tubulus membentuk asam karbonat
(H2CO3). H2CO3 kemudian berdisosiasi dengan cepat menjadi karbondioksida
(CO2) dan air (H2O). Karbondioksida kemudian berdifusi bebas ke dalam sel dan
mengalami hidrasi dengan perantara enzim karbonik anhidrase (CA II)
membentuk asam karbonat. Asam karbonat akan mengalami ionisasi menjadi
bikarbonat dan ion hidrogen (H+). Ion hidrogen disekresikan dengan transport
aktif melewati membrane sel ke lumen tubulus bersamaan dengan reabsorpsi
natrium melalui pertukaran Na+ - H+. Hasil akhir proses ini adalah sekresi H+ dan
reabsorpsi bikarbonat.2
Sekresi H+ di tubulus distal terjadi dengan bantuan buffer fosfat dan
ammonia. Awalnya di tubulus proksimal, terjadi katalisis pembentukan H+ dan
H2CO3 oleh CA II. H+ dipompa ke lumen tubulus dan bikarbonat masuk ke cairan
ekstraseluler. H+ dalam lumen akan bergabung dengan ammonia membentuk ion

Universitas Indonesia
6

ammonium (NH4+) yang akan diekskresikan ke urin bersama dengan klorida


dalam bentuk NH4Cl.2
ATR diklasifikasikan menjadi: 3
a. Tipe 1 : asidosis tubulus renal distal (ATR distal), yaitu gangguan eksresi
ion H+ di tubulus distal.
b. Tipe 2 : ATR proksimal, yaitu gangguan reabsorpsi bikarbonat di tubulus
proksimal.
c. Tipe 3: tipe campuran (gabungan tipe 1 dan tipe 2)
d. Tipe 4 : ATR hiperkalemia, yang disebabkan karena hipoaldosteronisme.

Karakteristik ATR tipe 1 ditandai dengan pH urin yang cenderung alkali


walaupun tubuh mengalami asidosis sistemik. Reabsorpsi HCO3- di tubulus
proksimal berlangsung normal, akan tetapi terjadi penurunan sekresi H+ (dalam
bentuk NH4+) yang menyebabkan peningkatan pH urin. Pada anak-anak
ditemukan kelainan ATR tipe 1 primer, yaitu mutasi gen yang menyebabkan
gangguan transporter asam basa di ginjal (gen SLC4A1, ATP6V0A4, atau
ATP6V1B1), sedangkan pada orang dewasa ATR distal bisa disebabkan karena
autoimun, sering dijumpai pada pasien dengan penyakit systemic lupus
erythematosus dan sindrom Sjögren. Pada ATR tipe 1, sel alfa di tubulus distal
tidak dapat mengekskresi H+ dan gagal mempertahankan K+, sehingka terjadi
asidemia dan hipokalemia.1,3
Gejala klinis pada ATR tipe 1 tidak spesifik, yaitu berupa gejala lemas, sakit
kepala, hilang kesadaran, hingga koma, dan pada anak-anak dapat disertai dengan
gagal tumbuh. ATR harus dicurigai bila ditemukan keadaan asidosis metabolik
hiperkloremia dengan anion gap plasma yang normal (8-16 mmol/L) pada pasien
tanpa gejala kehilangan bikarbonat yang disebabkan gangguan gastrointestinal
dan tidak mengkonsumsi asetazolamid.1,3

Anion gap plasma


Anion gap plasma dapat diukur dengan persamaan sebagai berikut

Anion gap plasma = Na+-( Cl- + HCO3-)

Universitas Indonesia
7

Nilai rujukan anion gap plasma adalah 8 – 16 mEq/L. Pada ATR, terjadi
pembuangan bikarbonat ke urin atau kegagalan sekresi H+ sehingga terjadi
pergantian bikarbonat oleh klorida, hal inilah yang menyebabkan asidosis
metabolik hiperkloremik dengan anion gap normal. 4

Urine anion gap (UAG)


Pemeriksaan UAG menunjukkan gambaran tidak langsung sekresi NH4+ pada
pasien dengan asidosis metabolik hiperkloremia. Nilai UAG positif artinya
ekskresi NH4+ di urin rendah, hal ini didapat pada kasus ATR tipe 1. Jika nilai
UAG negatif artinya ekskresi NH4+ di urin tinggi seperti pada kasus diare atau
ATR tipe 2. Pada ATR tipe 1, penurunan ekskresi NH4+ di urin, diikuti juga
dengan penurunan ekskresi klorida di urin, oleh karena itu terjadi hiperkloremia.
UAG dihitung dengan mengukur konsentrasi elektrolit di urin: 5

UAG = Na+ + K+ - Cl-

pH urin
Pengukuran pH urin dapat digunakan untuk menentukan baik/buruknya
mekanisme asidifikasi (pengasaman) urin. Pemeriksaan pH urin mengukur
aktifitas ion H+ bebas di urin, yang kurang dari 1% dari seluruh total proton yang
disekresi dari tubulus distal. pH urin pada keadaan asidosis sistemik biasanya
ditemukan <5,3; akan tetapi bila ditemukan pH≥5,3 harus menimbulkan
kecurigaan adanya defek sekresi H+ pada tubulus distal. Harus diperhatikan bahwa
pH urin tinggi juga dapat disebabkan karena adanya infeksi saluran kemih
terutama bakteri penghasil urea.6

Universitas Indonesia
8

Gambar 1. Hubungan pH urin dengan kadar bikarbonat plasma6

PEMBAHASAN
Sebelum mendapat data tambahan
Diterima sampel Ny. DS, perempuan, usia 29 tahun, dengan keterangan klinis
kontrol asidosis tubulus renal, diperiksakan urinalisis, serum elektrolit, ureum,
dan kreatinin. Hasil pemeriksaan urinalisis dalam batas normal, dengan pH urin
7,5. Terdapat hipokalemia ringan dan hiperkloremia, namun pasien tidak
diperiksakan analisa gas darah. Serum kreatinin pasien meningkat dengan eGFR
47,1 mL/min/1.73 m2.
Pada ATR tipe 1, terjadi kegagalan ekskresi ion H+ yang bersifat asam
melalui urin, oleh karena itu pH urin akan cenderung basa dimana pada pasien ini
pH urinnya 7, dan hal ini sesuai dengan kondisi ATR tipe 1 yaitu pH urin ≥5,3.
Pemeriksaan urinalisis ini juga berfungsi untuk melihat tanda-tanda adanya kristal
kalsium yang terbentuk, sebab pH urin yang cenderung basa akan mempermudah
terbentuknya kristal kalsium.
Hipokalemia pada ATR tipe 1 belum jelas patofisiologinya, namun
hipotesa yang ada saat ini adalah karena kegagalan sel alfa di tubulus distal untuk
mempertahankan K+ sehingga terjadi peningkatan jumlah K+ yang keluar ke
lumen tubulus distal. Adanya kehilangan natrium melalui urin memicu stimulasi
aldosterone (hiperaldosteron) yang menyebabkan peningkatan ekskresi K+ melalui
urin. Kondisi asam di tubulus juga dapat menggangu reabsorpsi K+.7

Universitas Indonesia
9

Pada kondisi fisiologis, H+ dalam lumen tubulus akan bergabung dengan


ammonia membentuk ion ammonium (NH4+) yang akan diekskresikan ke urin
bersama dengan klorida dalam bentuk NH4Cl. Kondisi ATR tipe 1 dimana terjadi
kegagalan eksresi H+ melalui urin, menyebabkan Cl (klorida) juga tidak disekresi.
Oleh karena itu terjadi keadaan hiperkloremi di darah. Pada ATR tipe 1, dijumpai
asidosis metabolik hiperkloremi dengan anion gap plasma normal, dan eGFR >25
mL/menit. Anion gap plasma pada pasien belum dapat dihitung sebab belum ada
data HCO3- dari analisa gas darah. Penurunan fungsi ginjal pada pasien ini dapat
disebabkan karena ATR yang sudah berlangsung kronis.
Pasien disarankan untuk pemeriksaan darah perifer lengkap untuk
mengetahui status hematologinya sebab pasien menderita suatu penyakit kronis.
Pasien juga disarankan untuk pemeriksaan analisa gas darah, untuk mengetahui
apakah pasien masih dalam kondisi asidosis sistemik.

Setelah data tambahan


Dari anamnesa diketahui bahwa pasien datang untuk kontrol bulanan (kontrol obat
habis) untuk penyakit asidosis tubulus renal tipe 1 yang telah dideritanya sejak
usia 12 tahun, dan pada tahun 2007 pernah dirawat karena keluhan lemas seluruh
badan disertai nafas yang berat, ditegakkan sebagai asidosis tubulus renal tipe 1
dengan hipokalemia berat. Pada periksaan laboratorium yang dilihat dari data
resume pasien, didapatkan hasil asidosis metabolik, hiperkloremia, dan
hipokalemia berat. Anion gap plasma pasien normal yaitu 11,9 mEq/L. Dari
urinalisis didapatkan pH 7 (cenderung alkali). Tidak ada data elektrolit urin dari
rekam medis pasien, sehingga UAG tidak diketahui.
Pasien secara berkala setiap bulan melakukan pemeriksaan laboratorium
untuk pemantauan terapi yang diterima yaitu obat yang mengandung kalium dan
bikarbonat. Kalium diberikan untuk koreksi hipokalemia akibat ATR yang
diderita, sebab kekurangan kalium dapat menyebabkan kelemahan otot-otot pada
pasien, dan yang paling berat sampai kelemahan otot pernafasan. Oleh karena itu
pemeriksaan elektrolit serum rutin dilakukan untuk pemantauan terapi. Diberikan
bikarbonat untuk mengkoreksi keadaan asidosis metabolik, namun pada pasien ini
tidak diperlukan pemeriksaan analisa gas darah untuk pemantauan terapi, hal yang

Universitas Indonesia
10

paling menjadi perhatian untuk dipantau adalah kadar kalium dan klinis pasien.
Urinalisis diperiksakan untuk melihat pH urin. Pada ATR tipe 1 dengan urin
cenderung alkali, akan mudah terbentuk kristal kalsium dan fosfat. Pasien dengan
gangguan ginjal kronik seperti pada ATR, harus dilakukan pemeriksaan ureum
kreatinin berkala untuk mengetahui fungsi ginjalnya. Fungsi ginjal dapat menurun
pada pasien ATR karena kondisi patologis yang kronis pada ginjal. Pada tahun
2007 saat pertama kali terdiagnosis ATR, fungsi ginjal pasien masih dalam batas
normal. Namun karena defek yang terjadi adalah permanen dan kronis, dapat
terjadi penurunan fungsi ginjal.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan konjungtiva pasien pucat. Pasien
disarankan untuk pemeriksaan darah perifer lengkap untuk melihat adanya bukti
anemia. Anemia dapat terjadi pada kondisi penyakit kronik seperti pada ATR
yang telah diderita pasien selama 12 tahun. Anemia dapat mulai terjadi pada gagal
ginjal kronis (GGK), yaitu ketika fungsi ginjal sudah kurang dari 50%. Ginjal
yang sehat akan memproduksi eritropoetin, dimana eritropoetin berfungsi untuk
menstimulai sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit. Jika terjadi kerusakan
ginjal, produksi eritropoetin dapat terganggu sehingga produksi eritrosit di
sumsum tulang akan berkurang, yang akan memberikan manifestasi laboratorium
berupa anemia normositik normokrom.

SIMPULAN
Telah dilakukan pemeriksaan urinalisis, elektrolit serum, ureum dan kreatinin
pada sampel atas nama Ny.DS perempuan 29 tahun, dengan keterangan klinis
kontrol asidosis tubulus renal, pada tanggal 29 Agustus 2018. Kesan pemeriksaan
laboratorium adalah hiperkloremia dan hipokalemia ringan dengan pH urin
cenderung alkali, serta peningkatan serum kreatinin. Pasien disarankan
pemeriksaan analisa gas darah dan darah perifer lengkap. Setelah mendapat data
tambahan, diketahui pasien dengan riwayat pernah dirawat pada tahun 2007 (saat
usia pasien 18 tahun) di RSCM karena lemas seluruh badan, dari pemeriksaan
laboratorium pada tahun 2007 didapatkan asidosis metabolik hiperkloremia,
hipokalemia, anion gap normal, dengan pH urin cenderung alkali. Diagnosis saat
itu ditegakkan sebagai asidosis tubulus renal tipe 1. Pasien saat ini menjalani

Universitas Indonesia
11

kontrol berkala setiap bulan, setiap hari mengkonsumsi obat yang mengandung
kalium dan bikarbonat. Pemeriksaan laboratorium untuk pemantauan terapi dan
melihat adanya komplikasi. Setelah data tambahan, pasien disarankan untuk
pemeriksaan darah perifer lengkap untuk melihat status hematologi pasien, karena
kerusakan ginjal kronis dapat mengganggu produksi eritropoetin, yang berakibat
produksi eritrosit di sumsum tulang menurun, dan dapat bermanifestasi pada
pemeriksaan hematologi yaitu anemia normositik normokrom.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai