Anda di halaman 1dari 22

Tinjauan Pustaka IV

Jumat, 25 Agustus 2017

SEKUELE TUBERKULOSIS

Diyan Ekawati

Narasumber : Dr. Heidy Agustin, Sp.P (K)


DR. Dr. Aziza G. Icksan, Sp.Rad (K)

Penanggung jawab : Dr. Priyanti Z. Soepandi, Sp.P (K), MARS

PESERTA PPDS I PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN
JAKARTA
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa tugas
tinjauan pustaka ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan
plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang
dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.

Jakarta, 22 Agustus 2017

Diyan Ekawati
ABSTRACT

Sequelae is abnormal condition as a result of disease, injury or therapy. Tuberculosis


sequelae induce persistent respiratory symptom, increase risk for lower respiratory tract
infection, dan functional disturbance. This condition cause high burden for patient and
family. Commonly found TB sequelae is fibrosis, bronchiectasis, destroyed lung and
aspergiloma. The patient’s complaining symptom vary, it’s depend to type of lesion,
extent of lesion dan chronic process of this condition. Chest x ray and HRCT have a role
in TB sequelae evaluation. Tuberculosis sequelae have a correlation with chronic airflow
limitation, it can be found at the beginning, during therapy or after therapy.

Keywords: Tuberculosis sequelae, spirometry in former tuberculosis, HRCT in


tuberculosis.

ABSTRAK

Sekuele merupakan kondisi tidak normal yang terjadi akibat penyakit, cedera atau terapi.
Sekuele TB menyebabkan keluhan respirasi yang menetap, meningkatkan risiko infeksi
saluran napas bawah berulang dan gangguan fungsional. Kondisi tersebut menyebabkan
beban berat bagi pasien dan keluarga. Sekuele TB yang sering ditemukan antara lain:
fibrosis, bronkiektasis, luluh paru dan aspergiloma. Gejala yang dikeluhkan pasien
bervariasi, tergantung kepada jenis lesi, luas lesi dan proses kronik perjalanan kondisi
tersebut Foto toraks dan HRCT memiliki peranan dalam evaluasi sekuele TB. Sekuele
TB berhubungan dengan terjadinya hambatan aliran udara kronik yang dapat ditemukan
pada awal diagnosis, selama terapi atau setelah terapi.

Kata kunci: Sekuele tuberculosis, spirometri pada bekas TB, HRCT pada tuberkulosis.
PENDAHULUAN

Indonesia memiliki kasus Tuberculosis (TB) terbanyak ke-2 di Asia Tenggara


setelah India. Berdasarkan survey prevalens TB nasional pada tahun 2013-2014
incidence rate TB 403 (278-550) per 100.000 penduduk dan prevalens TB 660
(523-813) per 100.000 penduduk.1 Tercatat 44 % kasus mendapatkan terapi directly
observed treatment short-course (DOTs). Data kohort yang dilakukan sejak tahun
2012 mencatat success rate pada kasus baru sebanyak 86% dengan jumlah kasus
yang tidak dapat dilacak 5%. Success rate pada kasus kambuh sebanyak 71%
dengan jumlah kasus yang tidak dapat dilacak 15%. Pada kasus TB-HIV dilaporkan
success rate 49%, death rate 24% dan jumlah kasus yang tidak dapat dilacak 17%.2

Sekuele merupakan kondisi tidak normal yang terjadi akibat penyakit, cedera atau
terapi. Yoneda mencoba untuk mendefinisikan sekuele TB dalam ruang lingkup
yang sempit dan luas. Definisi sekuele TB secara sempit adalah status patologi yang
diakibatkan oleh perubahan patologi dan anatomi yang terjadi selama proses
penyembuhan TB dan membutuhkan terapi terhadap gejala yang dikeluhkan pasien.
Definisi yang lebih luas dari sekuele TB adalah status patologi dengan berbagai
gejala yang disebabkan oleh cedera organ akibat TB.3 Harada dkk mendefinisikan
sekuele TB sebagai deformitas yang terjadi akibat proses penyembuhan TB.4 Dheda
dkk memberikan istilah remodeling paru setelah infeksi TB sebagai definisi sekuele
TB.5 Belum ada kesepakatan para ahli mengenai definisi sekuele TB.

Bekas TB adalah pasien yang telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap.
Sekuele TB dapat muncul berupa kerusakan anatomis yang menetap tanpa gejala
pada sebagian kecil kasus. Sebagian besar sekuele TB menyebabkan keluhan
respirasi yang menetap, risiko infeksi saluran napas berulang dan gangguan
fungsional. Kondisi tersebut menyebabkan beban berat bagi pasien dan keluarga.
Berkurangnya kualitas hidup, disabilitas dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh
sistem penjamin kesehatan merupakan hal lain yang terkait dengan kondisi ini.6
Tinjauan pustaka ini akan membahas epidemiologi, patogenesis , gejala, gambaran
radiologis dan hasil pemeriksaan spirometri sekuele TB. Sekuele yang akan dibahas
adalah fibrosis, bronkiektasis, luluh paru dan aspergiloma.
EPIDEMIOLOGI

Sekuele TB dapat ditemukan berupa gambaran radiologi tanpa disertai gejala atau
sekuele TB dengan konsekuensi klinis yang membutuhkan terapi jangka panjang.
Konsekuensi klinis dapat berupa gejala respirasi yang menetap atau infeksi saluran
napas bawah berulang.7 Penelitian Rassuna di RS Persahabatan terhadap pasien TB
paru klinis menunjukkan 50% kasus TB paru klinis dengan lesi minimal memiliki
sekuele pada akhir masa pengobatan. Sekuele pada kelompok dengan lesi sedang
sebanyak 77% sedangkan pada kelompok lesi luas sebanyak 83%.8 Harada dkk
melaporkan prevalens sekuele TB sebesar 6 % dan angka kematian 5% pertahun.
Rasio laki-laki berbanding perempuan adalah 2:1.4

Rajeswari dkk mendapatkan 47% pasien yang sudah menyelesaikan pengobatan TB


masih mengeluhkan gejala respirasi. Keluhan ini lebih sering ditemukan pada
pasien yang mengalami keterlambatan pengobatan lebih dari 3 bulan.9 Penelitian di
lima (Peru) oleh Cabrera-Rivero mendapatkan 41.6% pasien yang menyelesaikan
pengobatan TB memiliki sekuele TB berupa keluhan respirasi yang menetap.10
Penelitian lain di Rwanda terhadap 206 pasien bekas TB yang berkunjung ke rumah
sakit rujukan tersier menemukan sekuele TB pada foto toraks seluruh pasien yang
mengikuti penelitian tersebut.11 Prediktor timbulnya sekuele TB pada foto toraks
adalah usia tua, jenis kelamin perempuan, lamanya gejala dikeluhkan (dihubungkan
dengan diagnosis yang terlambat), kepatuhan terhadap pengobatan, riwayat
pengobatan TB sebelumnya, riwayat merokok, HIV negatif dan tingkat pendidikan
yang rendah.12,11

PATOFISIOLOGI SEKUELE PADA TB

Pecahnya kavitas kesaluran napas merupakan awal penyebaran TB. Mycobacterium


tuberculosis (M. tuberculosis) masuk ke dalam paru melalui inhalasi droplet nuclei
yang memiliki ukuran kecil (≤ 1-2 mm).13 Hasil penelitian Nardell yang termuat
dalam tinjauan pustaka oleh Fenton dan Vermeuleun menyatakan sekitar 10%
kuman yang terhirup akan mencapai paru sedangkan sisanya akan tertahan
disaluran napas atas.14 Masuknya M. tuberculosis kedalam paru dikenali oleh
reseptor sehingga terjadi opsonisasi. Proses opsonisasi menyebabkan M.
tuberculosis memancarkan sinyal kemotaktik dan mengaktivasi makrofag sehingga
terbentuk fagolisosom dan terjadi lisis bakteri. Aktivasi makrofag oleh cell
mediated immunity (CMI) diikuti dengan proses destruksi makrofag sehingga
terjadi akumulasi dan pembentukan nekrosis perkijuan yang sering dihubungkan
dengan kematian kuman.5

Gambar 1. Granuloma tuberkulosis


Dikutip dari (15)

Respon potensial tubuh terhadap M. tuberculosis bervariasi. Terdapat empat respon


potensial yang mungkin terjadi yaitu: (1) respon awal yang efektif dan tuntas
membunuh M. tuberculosis sehingga tidak terjadi infeksi, (2) M. tuberculosis
mengalami pertumbuhan didalam makrofag sehingga terjadi TB primer, (3) M.
tuberculosis menjadi dorman dan tidak menimbulkan penyakit (TB laten).
Manifestasi ini dapat diketahui dari pemeriksaan mantoux test (tuberculin skin test)
atau interferon-gamma release assays (IGRAs) dan (4) M. tuberkulosis laten
berkembang biak sehingga menjadi sakit.16

Tanda patologis utama yang ditemukan pada TB adalah pembentukan granuloma


atau tuberkel. Pembentukan granuloma sangat penting dalam upaya untuk
mengontrol dan membatasi infeksi. Berdasarkan berbagai penelitian Russel dkk
menyimpulkan bahwa granuloma juga memiliki kontribusi bagi perkembangan
awal dan penyebaran M. tuberculosis.17 Bentuk klasik granuloma kaseosa terdiri
dari bagian tengah yang merupakan elemen nekrosis, dikelilingi oleh berbagai tipe
makrofag yang dibatasi oleh sel limfosit (CD4+, CD8+ dan sel B) dan jaringan
fibrosis. Model granuloma dapat dilihat pada gambar 1.15

Selain granuloma kaseosa terdapat berbagai komposisi granuloma TB, diantaranya


granuloma tanpa bagian nekrotik, granuloma yang memiliki banyak sel netrofil,
granuloma fibrotik dan granuloma dengan kavitas.18 Keragaman tipe granuloma
menyebabkan terbentuknya karakteristik lingkungan mikro yang berbeda. Hasil
akhirnya berupa pertumbuhan, penyebaran atau eliminasi M. tuberculosis.
Pembentukan granuloma dipengaruhi oleh kualitas respon imun lokal, patogenitas
bakteri, jumlah bakteri, beratnya kondisi imunopatologis dan kondisi pejamu secara
keseluruhan.15

Gambar 2. Perkembangan granuloma


Dikutip dari (15)

Respon yang diharapkan ketika terbentuk granuloma adalah pemecahan granuloma


yang diikuti dengan degradasi matriks ekstraseluler sehingga jaringan paru kembali
menjadi jaringan yang normal.5 Respon terhadap granuloma dipengaruhi oleh
keseimbangan antara mediator pro-inflamasi dan anti-inflamasi di lokasi infeksi,
seperti terlihat pada gambar 2.15 Respon yang tidak sesuai pada proses sakit,
pengobatan dan penyebuhan dapat menyebabkan timbulnya sekuele TB. Dheda dkk
menyebutkan sekuele TB terdiri dari: bekas kavitas, jaringan fibrosis, distorsi
bentuk paru karena hilangnya sebagian volume paru, dan bronkiektasis.5

Proses penyembuhan berbeda pada setiap jenis granuloma. Pada bagian tengah
granuloma (lesi perkijuan) daerah yang mengalami nekrosis akan mengeras dan
terkadang tampak terpisah dari proses peradangan disekitarnya dengan membentuk
jaringan pelindung yang lebih fibrotik dibagian luar. Nekrosis secara perlahan
diabsorbsi oleh jaringan yang mengalami granulasi sehingga granuloma hilang
secara perlahan dan digantikan oleh jaringan parut. Kelenjar getah bening yang
mengalami penyembuhan memiliki granuloma dan giant cell yang akan digantikan
oleh fibrosis yang masih lunak dan inflamasi limfositik non spesifik.19 Sekuele TB
dapat ditemukan pada parenkim paru, saluran napas, pembuluh darah, mediastinum
dan pleura. Ringkasan lokasi sekuele dan jenis sekuele dapat dilihat pada tabel 1.7

Tabel 1. Lokasi dan jenis sekuele TB


Lokasi sekuele Jenis sekuele
Parenkim paru Tuberkuloma
Kavitas berdinding tipis
Sikatrik
Luluh paru
Aspergiloma
Fibrosis
Lung scar cancer
Saluran napas Bronkiektasis
Stenosis trakeobronkial
Broncholithiasis
Pembuluh darah Arteritis pulmoner atau arteritis bronkial
Trombosis
Dilatasi arteri bronkial
Rasmussen aneurysm
Mediastinum Kalsifikasi kelenjar limfe
Fistula esophagomediastinal atau esophagobronchial
Pericarditis konstriktif
Mediastinitis fibrosis
Pleura Empyema kronik
Fibrothorax
Fistula bronchopleural
Pneumotoraks
Dikutip dari (7)
Fibrosis

Kerusakan paru dapat terjadi akibat berbagai penyebab. Kerusakan paru yang
terjadi akan diikuti oleh fase peradangan dan fase perbaikan. Fase perbaikan atau
penyembuhan adalah proses dinamik yang melibatkan sistem imun, struktur biologi
jaringan dan fisiologi saluran napas. Respons yang tidak terkendali dari salah satu
elemen tersebut menyebabkan respons perbaikan berubah menjadi kondisi
patologis. Saat terjadi kerusakan pada struktur parenkim paru sel radang akan
berproliferasi dan pindah ke daerah yang mengalami kerusakan, memperbaiki
jaringan yang rusak dan melakukan apoptosis untuk mencegah penumpukan
kolagen yang berlebihan.20

Fibrosis sebagai sekuele TB ditemukan sebanyak 25%-64,3% pada pasien bekas


TB.8,11,21 Fibrosis merupakan perubahan struktur paru yang terjadi karena
berkurangnya kolagen matriks ekstraseluler oleh fibroblast atau tipe sel lain.
Fibrosis dapat terjadi pada jaringan interstisial sebagai kapsul yang mengelilingi
kavitas, dengan atau tanpa distorsi arsitektur paru. Distorsi pada arsitektur paru
tergantung dari jaringan penyangga yang mengalami pengurangan atau
menghilang. Proses penyembuhan yang tidak sempurna dapat menyebabkan
kelainan anatomis paru yang terjadi karena fibrosis yang luas, traction
bronchiectasis dan bronkostenosis yang secara keseluruhan menyebabkan
berkurangnya volume paru.5 Progresivitas TB menyebabkan terjadinya peyebaran
infeksi pada area yang luas, pembentukan kavitas dan fibrosis.22

Bronkiektasis

Bronkiektasis didefinisikan sebagai pelebaran bronkus yang menetap dan tidak


normal.23 Prabhakar dkk melaporkan bronkiektasis sebagai kelainan anatomis
utama yang terlihat pada foto toraks pasien bekas TB (53%).21 Reid membagi
bronkiektasis menjadi 3 bentuk utama yaitu: (1) tubular ditandai dengan dilatasi
bronkus, (2) varicose ditandai dengan dilatasi bronkus dengan beberapa lekukan
(3) kistik ditandai dengan dilatasi bronkus yang diakhiri dengan pembentukan
kantung.24 Whitwell menemukan peradangan pada dinding bonkus terutama pada
saluran napas kecil. Dilatasi bronkus terjadi karena berkurangnya elastin atau
rusaknya otot dan kartilago. Dari penelitian ini ditemukan 3 bentuk utama
bronkiektasis yaitu: follicular, saccular dan atelektasis. Bentuk yang paling banyak
ditemukan adalah follicular. Bentuk follicular merupakan istilah lain dari
bronkiektasis tubuler pada klasifikasi Reid.25

Gambar 3. Klasifikasi bronkiektasis menurut Reid. A) tubular, B) varicose, dan


C) kistik
Dikutip dari (26)

Bronkiektasis dapat terjadi sebagai hasil keterlibatan dinding bronkial pada TB


yang diikuti oleh fibrosis. Meskipun bronkiektasis dapat terjadi sebagai akibat dari
bronkostenosis sikatrik, penyebab yang lebih sering adalah destruksi dan fibrosis
parenkim paru disertai dilatasi bronkus (traction bronchiectasis).27,28 Sampai saat
ini belum diketahui apakah bronkiektasis dimulai dari satu bagian saluran napas
kemudian menyebar kebagian lain atau sejak awal merupakan proses yang terjadi
bersamaan pada beberapa bagian saluran napas.26 Distribusi bronkiektasis pada
pasien bekas TB berbeda dengan bronkiektasis pada penyebab lain. Bronkiektasis
yang ditemukan pada segmen apikal dan posterior lobus atas paru sangat mungkin
disebabkan oleh TB.21,27-29 Penelitian lain mendapatkan hasil distribusi
bronkiektasis pada bekas TB ditemukan pada lobus tengah paru kanan. Keterlibatan
kelenjar limfe didaerah proksimal bronkus menjadi salah satu penyebab obstruksi
saluran napas.25,30

Luluh paru

Luluh paru adalah gambaran radiologi yang menunjukan kerusakan jaringan paru
yang berat, ditandai dengan ditemukannya gambaran atelektasis, ektasis atau
multikavitas dan fibrosis parenkim paru.31 Rajasekar dkk melaporkan 83% kasus
luluh paru di India terjadi karena TB.32 Luluh paru pada TB terjadi karena perjalana
penyakit yang kronik dan terapi yang tidak adekuat sehingga terjadi kerusakan
parenkim yang luas. Kerusakan yang terjadi berupa obstruksi kelenjar getah bening,
kolaps saluran napas distal, nekrosis dan infeksi sekunder.33 Pasien dengan luluh
paru memperlihatkan gambaran fibrosis dan penyusutan dari paru, emfisema,
deformitas dan dilatasi bronkus, bula dan kavitas ditemukan pada 40-60% kasus.4

Atelektasis sikatrik adalah temuan yang sering ditemukan setelah TB post primer.
Lebih dari 40% pasien dengan TB postprimer mengalami fibrosis paru yang dapat
memberikan manifestasi berupa atelektasis pada lobus atas, retraksi hilus,
hiperinflasi lobus bawah sebagai kompensasi dan tarikan mediastinum kearah paru
yang fibrosis. Gambaran fibrosis yang tidak spesifik seperti parenchymal bands,
nodul fibrosis dan kavitas atau traction bronchiectasis kadang dijumpai. Penebalan
pleura apikal yang berhubungan dengan fibrosis dapat tampak seperti proliferasi
jaringan lemak ekstrapleura dan atelektasis perifer pada computerize tomography
scanning (CT-Scan).7

Aspergiloma

Prevalens Aspergiloma pada bekas TB sebesar 11%. Diantara pasien dengan


aspergilloma 25%–55% memiliki riwayat TB dengan kavitas.34 Tipe aspergilosis
ditentukan oleh status imun dan penyakit paru yang mendasari. Aspergilloma
biasanya ditemukan dalam bentuk massa didalam kavitas yang terbentuk dari hifa,
mukus dan jaringan-jaringan mati yang menggumpal. Pada pemeriksaan radiologi
terlihat massa solid bertbentuk bulat atau oval dengan opasitas jaringan lunak
didalam kavitas. Pada umumnya massa akan dipisahkan dari kavitas oleh rongga
udara dengan berbagai bentuk dan ukuran sehingga terjadi air crescent sign.35
Pemisahan massa dengan kavitas menyebabkan massa dapat bergerak didalam
kavitas. Franquet dkk menyebutkan bahwa penebalan dinding kavitas dan pleura
merupakan tanda awal aspergilloma yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas.36

GEJALA PADA SEKUELE TB

Sekuele pada bekas TB dapat menyebabkan munculnya gejala yang dikeluhkan


oleh pasien. Gejala sekuele TB bervariasi berdasarkan jenis lesi, luas lesi dan proses
kronik perjalanan kondisi tersebut. Prabhakar dkk mendapatkan data gejala yang
sering dikeluhkan pasien bekas TB yang memiliki gambaran bronkiektasis pada
foto toraks berupa: batuk (95%), sesak (90%) dan hemoptisis (35%).21 Gejala yang
sering dikeluhkan pada pasien bekas TB dengan luluh paru adalah batuk (84,8%-
95%), sesak yang progresif (74,2%-90%), infeksi saluran napas bawah yang
berulang, demam (42,2%) dan hemoptisis (12,1%-35%). 21 37

Akkara dkk mendapatkan data 10,6% pasien bekas TB dengan sekuele pada foto
toraks tidak memiliki keluhan.37 Penelitian oleh Carette dkk menyatakan bahwa
pada awal terjadinya luluh paru pasien mungkin tidak memiliki keluhan tetapi
sebagian besar keluhan akan muncul 10 tahun kemudian.38 Aspergilloma dapat
berkembang tanpa memberikan gejala pada pasien. Hemoptisis merupakan gejala
yang sering dikeluhkan pada pasien aspergilloma (50%–90%).34 Keluhan lain yang
sering ditemukan pada aspergiloma adalah demam, nyeri dada, batuk, fatigue dan
berat badan yang turun.39
GAMBARAN SEKUELE TB PADA PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Sekuele TB dapat terlihat pada foto toraks maupun pemeriksaan CT-Scan.


Terbentuknya sekuele pada toraks diduga berhubungan dengan usia, jenis kelamin
perempuan, diagnosis yang terlambat, kepatuhan terapi dan riwayat pengobatan TB
sebelumnya.12 Berbagai jenis sekuele TB yang dapat dilihat pada foto toraks dan
CT-Scan dapat dilihat pada tabel 2. Sensistivitas dan spesivitas pemeriksaan
radiologi berbeda-beda sesuai dengan jenis dan letak lesi. Tinjauan pustaka ini
hanya akan membahas foto toraks dan CT-Scan toraks pada fibrosis, bronkiektasis,
luluh paru dan aspergiloma.

Tabel 2. Sekuele TB pada pemeriksaan foto toraks dan CT-Scan

Modalitas pemeriksaan Gambaran yang dapat dilihat


Foto toraks Kavitas berdinding tipis
Aspergiloma (fungus ball)
Bronkiektasis
Fibroparenchymal/reticular opacities
Atelektasis
Kalsifikasi pada kelenjar getah bening mediastinum
Penebalan pleura/kalsifikasi
CT-Scan Kavitas berdinding tipis
Aspergiloma
Bronkiektasis dan penebalan dinding bronkus
Fibroparenchymal/reticular opacities
Atelektasis
Nodul yang kecil dengan atau tanpa kalsifikasi
Subcentimetric kelenjar getah bening dengan atau
tanpa kalsifikasi
Penebalan pleura/kalsifikasi
Dikutip dari (40)

Selain menilai sekuele berdasarkan jenis lesinya beberapa penelitian menilai derajat
beratnya kerusakan berdasarkan skor atau kelompok lesi. Di Naso dkk menilai
derajat kerusakan paru setelah pemberian obat anti TB (OAT) berdasarkan
banyaknya jumlah zona yang terkena sesuai dengan indeks Willcox. Menurut
indeks Willcox derajat kerusakan paru dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: (1)
Kelompok I adalah kelompok yang memiliki sekuele pada 1 zona, tanpa kavitas,
(2) Kelompok II adalah kelompok yang memiliki sekuele pada 2-3 zona atau 1 zona
disertai dengan kavitas, (3) Kelompok III adalah kelompok yang memiliki sekuele
pada lebih dari 3 zona, dengan atau tanpa kavitas.41 Penilaian derajat kerusakan
paru pada beberapa penelitian dihubungkan dengan gangguan fungsional.

Penilaian beratnya sekuele TB melalui pemeriksaan CT-Scan dapat dilakukan


dengan beberapa sistem skoring diantaranya adalah klasifikasi menurut Goddard
dan Destroyed Lung Score (DLS). Penilaian berdasarkan DLS dilakukan dengan
melakukan pemberian skor terhadap seluruh potongan yang diperiksa. Nilai yang
diberikan mengacu pada klasifikasi berikut: nilai 0: tidak ditemukan abnormalitas
jaringan paru, nilai 1 : ditemukan lesi < 25%, nilai 2: ditemukan lesi 25-50%, nilai
3: ditemukan lesi 50-75%, dan nilai 4: ditemukan lesi > 75%. Selanjutnya nilai dari
masing-masing potongan dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah total potongan.
Pada penelitian oleh Lee dkk median DLS pada pasien luluh paru adalah 2,6
(rentang nilai: 1,7-3,9).42

Tabel 3. Sekuele TB pada foto toraks berdasarkan hasil dari berbagai penelitian
Penelitian Subjek penelitian Sekuele pada foto toraks
Rassuna 8 Pasien TB paru klinis kasus Fibrosis (57,6%)
baru. Penebalan pleura (28,8%)
Kalsifikasi (22%).8
Musafiri dkk11 Pasien bekas TB dengan Retraksi dan fibrosis (64,3%)
keluhan sesak. Bronkiektasis (57,4%)
Kavitas (41,1%)
Bullae (10,4%).
Prabhakar Pasien bekas TB yang Bronkiektasis (53%)
dkk21 memiliki keluhan batuk Fibrosis (25%)
berdahak, sesak, demam dan Luluh paru 15%
batuk darah. Bola jamur 7%.
Menon dkk43 TB paru, mediastinal dan 40,36% memiliki sekuele,
pleuritis TB sekuele terbanyak:
Fibrosis (57%)
Kavitas (32%)
Bronkiektasid (6%)
Kalsifikasi (3,5%)

Gambaran bronkiektasis pada foto toraks dapat berupa: kepadatan yang pararel dan
linear, tram-track opacities, gambaran cincin ektasis menggambarkan penebalan
dan abnormalitas dinding bronkus yang melebar, opasitas pada percabangan
bronkus (terjadi bila bronkus dipenuhi oleh cairan) dan fibrosis peribronkial. High
resolution computerize tomography (HRCT) lebih sensitif dan spesifik bila
dibandingkan dengan foto toraks dalam mengevaluasi sekuele TB. Penelitian oleh
Bhalla dkk melakukan penilaian terhadap 162 sampel, bronkiektasis dapat dilihat
pada 124 sampel yang diperiksa HRCT sedangkan dengan foto toraks hanya dapat
ditegakkan diagnosis pada 71 sampel.40 Penelitian oleh Grenier dkk menyimpulkan
HRCT dapat digunakan sebagai baku emas dalam menetapkan diagnosis
bronkiektasis.44

Tabel 4. Sekuele TB pada pemeriksaan HRCT

Penelitian Subyek penelitian Sekuele pada HRCT


Prabhakar dkk21 Pasien bekas TB yang Traction bronchiectasis (42%)
memiliki keluhan batuk Mixed bronchiectasis (25%)
berdahak, sesak, demam dan Saccular bronchiectasis (15%)
batuk darah. Cystic bronchiectasis (13%)
Central bronchiectasis (6%)
Jung dkk45 Pasien bekas TB yang cicatrization atelectasis
memiliki gambaran luluh paru (84.1%)
pada foto toraks. Emfisema (29.5%)
Kerusakan jaringan paru yang
luas (27.3%)
Bronkiektasis (88.6%).
Rhee dkk46 Pasien bekas TB yang Traction bronchiectasis (79,5%)
memiliki gambaran luluh paru Penebalan pleura (54,1%)
lebih dari 1 lobus

Bronkiektasis ditemukan pada 30%–60% pasien TB postprimer aktif dengan


menggunakan pemeriksaan HRCT sedangkan pada bekas TB bronkiektasis
ditemukan 71%–86%. Bronkiektasis yang ditemukan pada segmen apikal dan
posterior lobus atas paru sangat mungkin disebabkan oleh TB.27-29 Gambaran
HRCT bronkiektasis dapat berupa: (1) diameter internal bronkus lebih lebar
daripada lebar arteri pulmoner yang ada didekatnya, (2) kegagalan bronkus untuk
meruncing, (3) gambaran bronkus yang ditemukan pada area terluar parenkim paru
(1-2 cm dari dinding dada).47 Gambaran radiologi aspergiloma dapat berupa kavitas
berdinding tebal yang biasanya ditemukan pada lobus atas paru. Massa di dalam
kavitas dapat dilihat pada CT-Scan dan dapat berpindah posisi apabila pasien
bergerak.35
Penelitian terhadap 44 pasien bekas TB dengan luluh paru di Korea dengan usia
rata-rata 62,2±9,4 tahun memperlihatkan berbagai macam kelainan yang ditemukan
pada HRCT. Kelainan yang ditemukan pada parenkim paru adalah cicatrization
atelectasis pada 37 kasus (84.1%), emfisema pada 13 kasus (29.5%), serta
kerusakan jaringan paru yang luas pada 12 kasus (27.3%). Bronkiektasis
merupakan kelainan yang banyak ditemukan pada saluran napas (n=39, 88.6%).
Rata-rata jumlah segmen yang mengalami kerusakan 7.7 (kisaran 4-14). Bagian
yang paling sering terjadi kerusakan adalah segmen apicoposterior dari lobus atas
kiri (n=36, 81.8%), diikuti oleh segmen superior dan inferior dari lingula (n=34,
77.3%). Luasnya kerusakan berhubungan dengan menurunnya fungsi paru.45

SPIROMETRI PADA PASIEN DENGAN SEKUELE TB

Pemeriksaan fungsi paru dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis dan kualitas
gangguan yang terjadi pada sistem pernapasan. Hasil pemeriksaan fungsi paru
harus didukung dengan riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Sekuele TB berhubungan dengan terjadinya
hambatan aliran udara kronik yang dapat ditemukan pada awal diagnosis, selama
terapi atau setelah terapi.48 Beratnya obstruksi saluran napas pada bekas TB
dipengaruhi oleh luasnya kerusakan paru, penundaan pengobatan, riwayat
pengobatan TB yang didapatkan, lama terapi, produksi sputum dan komorbid pada
pasien tersebut.49-51 PPOK merupakan komorbid utama (28%) diikuti oleh
hipertensi (12%), diabetes mellitus tipe 2 (5%) dan coronary artery disease (5%).21

Willcox dan Ferguson melakukan penelitian kohort selama 16 tahun terhadap 71


pasien bekas TB berusia kurang dari 45 tahun. Obstruksi saluran napas kronik
ditemukan pada 68% subyek penelitian.49 Penelitian Plit dkk menunjukkan
perbaikan kapasitas vital paksa (KVP) lebih besar bila dibandingkan perbaikan
volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) selama masa pengobatan. Data
tersebut menunjukkan terapi yang adekuat dapat mencegah gangguan restriksi.52
Onset penyakit paru obstruktif pada pasien bekas TB ditemukan bervariasi. Data
yang diperoleh dari penelitian Hnizdo dkk menunjukkan rata-rata waktu
ditemukannya gangguan obstruksi setelah pengobatan TB adalah 4,6 tahun (interval
satu bulan sampai dengan 31 tahun). Hilangnya fungsi paru terbesar ditemukan
pada masa pengobatan 6 bulan dan kerusakan tersebut tidak mengalami
penambahan setelah 12 bulan.53

Beberapa penelitian menunjukkan beratnya gangguan ventilasi berhubungan


dengan banyaknya jumlah episode pengobatan. Penelitian terhadap 2.599
penambang emas di Afrika menunjukkkan beratnya derajat gangguan aliran udara
bertambah dengan bertambahnya jumlah episode pengobatan TB. VEP1 kurang dari
80% prediksi ditemukan 18.4% pada pasien yang mendapatkan pengobatan TB satu
kali, pasien dengan episode pengobatan TB 2 kali sebanyak 27.1% dan 35.2% pada
pasien yang mendapatkan pengobatan TB tiga kali atau lebih.53 Hasil spirometri
pasien bekas TB yang dirangkum dari berbagai penelitian tertera pada tabel 4.

Kim dkk mengikuti 159 pasien bekas TB dengan luluh paru, seratus dua puluh
delapan diantaranya (80,5%) mengalami hambatan aliran udara pernapasan.
Eksaserbasi lebih sering ditemukan pada pasien yang mengalami hambatan aliran
udara bila dibandingkan dengan yang tidak mengalami hambatan aliran udara
(89.1% vs 67.7%, p=0.009). Indeks massa tubuh merupakan faktor prediktor lain
untuk terjadinya eksaserbasi (HR 0.944, 95% CI 0.895~0.996). Penurunan nilai
VEP1 27 ml pertahun pada pasien dengan gangguan aliran udara, sedangkan pada
pasien tanpa gangguan aliran udara penurunan VEP1 sekitar 2 ml/tahun.54

Rhee dkk melakukan penelitian terhadap 595 pasien yang menyelesaikan


pengobatan TB dan memiliki sekuele radiologi berupa luluh paru yang melibatkan
lebih dari satu lobus. Subjek dalam penelitian ini tidak merokok dan bukan bekas
perokok. Hasil penelitan ini memperlihatkan hubungan yang bermakna antara
jumlah lobus yang terkena dengan kapasitas vital paksa (KVP) atau volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Tidak terdapat hubungan antara jumlah lobus
yang terkena dan rasio VEP1/KVP. Eksaserbasi berhubungan dengan VEP1
dan .jumlah lobus yang terkena. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
jumlah eksaserbasi dengan rasio VEP1/KVP.46
Tabel 5. Hasil spirometri pada pasien bekas TB
Penelitian Desain Subyek yang Jumlah Hasil spirometri
dan lokasi penelitian diteliti sampel
Baiq dkk 55 Case Bekas TB dengan 47 Obstruksi 55,3%
Pakistan series keluhan sesak Restriksi 29,7%
Campuran (obstruksi dan
restriksi) 14,8%
Prabhakar Cross Bekas TB dengan 60 Obstruksi 18%
dkk21 sectional keluhan batuk Restriksi 10%
India berdahak, sesak, Campuran 72%
demam,
hemoptisis.
Usia 17-69 tahun
Singh dan Cross Bekas TB dengan 48 Obstruksi 56,25%
Chaudhary56 sectional keluhan batuk Restriksi 10,4%
India atau sesak.
Usia 18-60 tahun
Verma dkk57 Cross Bekas TB dengan 92 Obstruksi 16,3%
India sectional hasil pulasan BTA Restriksi 40,21%
negatif pada awal Campuran 22,80%
terapi.
Usia > 12 tahun
Di Naso Cross Bekas TB 27 Pengobatan TB 1 kali (15
dkk41 sectional orang):
Normal 20%
Obstruksi 33,3%
Restriksi 20%
Campuran 26,7%
Pengobatan TB >1 kali (12
orang, termasuk pasien TB
MDR):
Normal 0%
Obstruksi 25%
Restriksi 0%
Campuran 75%
Lee dkk42 Cross Bekas TB dengan 25 Obstruksi 64%
sectional gambaran foto Restriksi 36%
toraks luluh paru
PLATINO Survei Penduduk 5,571 Obstruksi 30,7% (kelompok
58
berbasis berusia > 40 tahun yang pernah mendapatkan
Amerika populasi terapi TB)
Latin yang Obstruksi 13,9% (kelompok
dilakukan yang tidak pernah mendapat
di terapi TB)
Amerika Laki-laki dengan riwayat
Latin (5 pengobatan TB memiliki
kota risiko 4,1 kali utuk
besar) mengalami obstruksi saluran
napas
Catatan: BTA = basil tahan asam, MDR = multidrug resistant
KESIMPULAN

1. Sekuele TB dapat terjadi pada berbagai fase perjalanan penyakit TB.


2. Sekuele TB dapat ditemukan berupa gambaran radiologis tanpa gejala,
keluhan respirasi yang menetap atau infeksi saluran napas bawah yang
berulang.
3. Gejala yang dikeluhkan oleh pasien yang memiliki sekuele TB bervariasi
berdasarkan jenis lesi, luas lesi dan proses kronik perjalanan kondisi
tersebut.
4. Spirometri dan pemeriksaan radiologi memiliki peranan penting dalam
evaluasi sekuele TB.
5. Gangguan ventilasi berupa obstruksi dan restriksi sering ditemukan pada
bekas pasien TB.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization.Global tuberculosis report 2015. France: World


Health Organization; 2015.p.20-1.
2. Tuberculosis Control in the South-East Asia Region. Annual TB report 2015.
India: World Health Organization. Regional Office for South-East Asia;
2015.p.3-8.
3. Yoneda R. Tuberculosis sequelae. Kekkaku.1990;65(12):827-9.
4. Harada S, Harada Y, Kitahara Y, Takamoto M, Ishibashi T, Shinoda A.
Tuberculosis sequelae: Clinical aspects. Kekkaku.1990;65(12):831-8.
5. Dheda K, Booth H, Huggett JF, Johnson MA, Zumla A, Rook GAW. Lung
remodeling in pulmonary tuberculosis. J Infect Dis. 2005;192:1201-10.
6. Ehrlich RI, Adams S, Baatjies R, Jeebhay MF. Chronic airflow obstruction and
respiratory symptoms following tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis. 2011;
15(7):886-91.
7. Kim HY, Song K-S, Goo JM, Lee JS, Lee KS, Lim T-H. Thoracic sequelae and
complications of tuberculosis. RadioGraphics. 2001; 21:839-60
8. Rassuna V. Pengamatan hasil akhir pengobatan tuberkulosis paru BTA negatif
kasus baru di RS Persahabatan [tesis]. [Jakarta]: Universitas Indonesia; 2008.
9. Rajeswari R, Muniyandi M, Balasubramanian R, Narayanan PR. Perceptions of
tuberculosis patients about their physical, mental and social well-being: a field
report from south India. Soc Sci Med. 2005;60:1845-53.
10. Proaño l, Rudgard W, Gayoso O. The cost of tuberculosis sequelae. Eur Respir
J. 2014;44:822-4.
11. Musafiri S, Dusabejambo V, Munganyinka BC, Manzi O, Kalisa L, Rutayisire
PC. The aftermath of pulmonary tuberculosis: Predictors of severe pulmonary
sequelae and quality of life of patients visiting a tertiary level of care in Rwanda,
East Africa. Austin J Pulm Respir Med. 2015;2(2):1-4.
12. Al-Hajjaj MS, Joharjy IA. Predictor of radiology sequelae of pulmonary
tuberculosis. Acta Radiol. 2000;41:533-7.
13. Riley RL, Mills CC, Nyka W, Weinstock N, Storey PB, Sultan LU, et al. Aerial
dissemination of pulmonary tuberculosis: a two-year study of contagion in a
tuberculosis ward. Am J Epidemiol. 1995;142:3-14.
14. Fenton MJ, Vermeulen MW. Immunopathology of tuberculosis: Roles of
macrophages and monocytes. Infect Immun. 1996;64(3):683-90.
15. Cadena AM, Fortune SM, Flynn JL. Heterogeneity in tuberculosis. Nat Rev
Immunol. 2017:1-12
16. Dannenberg AM. Roles of cytotoxic delayed-type hypersensitivity and
macrophage-activating cell-mediated immunity in the pathogenesis of
tuberculosis. Immunobiology. 1994;191:461-73.
17. Russell DG, Cardona P-J, Kim M-J, Allain S, Altare F. Foamy macrophages and
the progression of the human TB granuloma. Nat Immunol. 2009;10(9):943-8.
18. Flynn JL, Chan J, Lin PL. Macrophages and control of granulomatous
inflammation in tuberculosis. Mucosal Immunol. 2011;4:271-8.
19. Lukas SB. Histophatology. In: Davies PD, Barnes PF, Gordon SB, Ed. Clinical
Tuberculosis. 4th Ed. London: Hodder & Stoughton Ltd; 2008. p.105-16.
20. Wilson MS, Wynn TA. Pulmonary fibrosis: pathogenesis, etiology and
regulation. Mucosal Immunol. 2009;2(2):103-21.
21. Prabhakar RP, Nageswar RG, Bhanu B, Ramakrishna R, Venu M. A Clinical
study of post-tubercular bronchiectasis. Ijomas. 2014;2(1):1-5.
22. Lee KS, Song KS, Lim TH, Kim PN, Kim IY, Lee BH. Adult-onset pulmonary
tuberculosis: findings on chest radiographs and CT-scans. Am J Roentgenol.
1993;160:753-8.
23. Barker AF. Bronchiectasis. N Engl J Med. 2002;346:1383-93.
24. Reid L. Reduction in bronchial subdivisions in bronchiectasis. Thorax.
1950;5:223-47.
25. Whitwell F. A study of the pathology and pathogenesis of bronchiectasis.
Thorax. 1952;7:213-9.
26. King PT. The pathophysiology of bronchiectasis. Int J Chron Obstruct Pulmon
Dis. 2009;4:411-9.
27. Lee KS, Hwang JW, Chung MP, Kim H, Kwon OJ. Utility of CT in the
evaluation of pulmonary tuberculosis in patients without AIDS. Chest.
1996;110:977-84.
28. Hatipoglu ON, Osma E, Manisali M, Ucan ES, Balci P, Akkoclu A, et al. High
resolution computed tomographic findings in pulmonary tuberculosis. Thorax.
1996;51:397-402.
29. Cartier Y, Kavanagh PV, Johkoh T, Mason AC, Muller NL. Bronchiectasis:
accuracy of high-resolution CT in the differentiation of specific diseases. Am J
Roentgenol. 1999;173:47-52.
30. Brock RC. Post-tuberculosis broncho-stenosis and bronchiectasis of the middle
lobe. Thorax. 1950;5:5-11.
31. Tim Kelompok Kerja Tuberkulosis, Ed. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan
tata Laksana di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia;
2011.p.9-19.
32. Rajasekharan S, Vallinayagi V, Jeyaganesh D. Unilateral lung destruction: a
computed tomographic evaluation. Ind J Tub. 1999;46:183-7.
33. Ryu YJ, Lee JH, Chun E-M, Chang JH, Shim SS. Clinical outcomes and
prognostic factors in patients with tuberculous destroyed lung. Int J Tuberc
Lung Dis. 2011;15(2):246-50.
34. Jung CY, Jeon YJ, Rho BH. Radiologic findings and lung function in patients
with tuberculous destroyed lung. Chest. 2011;140:766A.
35. Pennington JE. Aspergillus lung disease. Med Clin North Am. 1980;64:475-90.
36. Prasad A, Agarwal K, Deepak D, Atwal SS. Pulmonary aspergillosis: What CT
can offer before it is too late. J Clin Diagn Res. 2016;10(4):TE01-TE05.
37. Franquet T, Muller NL, Gimenez a, Guembe P, Torre JDL, Bague S. Spectrum
of pulmonary aspergillosis: histologic, clinical and radiologic findings.
RadioGraphics. 2001;21(4):1-21.
38. Akkara SA, Shah AD, Adalja M, Akkara AG, Rathi A, Shah DN. Pulmonary
tuberculosis: the day after. Int J Tuberc Lung Dis. 2013;17(6):810-13.
39. Carette M, Blanchon F, Milleron B, Brocard H. Destroyed lung. Sem Hop.
1979;55(17):843-53.
40. P. Munoz, Guinea J, Bouza E. Update on invasive aspergillosis: clinical and
diagnostic aspects. Clin Microbiol Infect. 2006;12:24-39.
41. Bhalla AS, Goyal A, Guleria R, Gupta AK. Chest tuberculosis: radiological
review and imaging recomendations. Indian J Radiol Imaging. 2015;25(3):213-
24.
42. DiNaso FC, Pereira JS, Schuh SJ, Unis G. Functional evaluation in patients with
pulmonary tuberculosis sequelae. Rev Port Pneumol. 2011;17(5):216-21.
43. Lee EJ, Lee SY, In KH, Yoo SH, Choi EJ, Oh Y, et al. Routine pulmonary
function test can estimate the extent of tuberculous destroyed lung. Scientific
World J. 2012; 1012:1-5.
44. Grenier P, Maurice F, Musset D, Menu Y, Nahum H. Bronchiectasis: assessment
by thin-section CT. Radiology. 1986;161:95-9.
45. Menon B, Nima G, Dogra V, Jha S. Evaluation of the radiological sequelae after
treatment completion in new cases of pulmonary, pleural, and mediastinal
tuberculosis. Lung India. 2015;32(3):241-5.
46. McGuinness G, Naidich DP. CT of airways disease and bronchiectasis. Radiol
Clin North Am. 2002;40:1-19.
47. Salvi SS, Barnes PJ. Chronic obstructive pulmonary disease in non-smokers.
Lancet. 2009;374:733-43.
48. Willcox PA, Ferguson AD. Chronic obstructive airways disease following
treated pulmonary tuberculosis. Respir Med. 1989;83:195-8.
49. Byrne AL, Marais BJ, Mitnick CD, Lecca L, Marks GB. Tuberculosis and
chronic respiratory disease: a systematic review. Int J of Infect Lung Dis.
2015;32:138-46.
50. Lee C-H, Lee M-C, Lin H-H, Shu C-C, Wang J-Y, Lee L-N, et al. Pulmonary
tuberculosis and delay in anti-tuberculous treatment are important risk factors
for chronic obstructive pulmonary disease. Plos One. 2012;7(5):e37978.
51. Rhee CK, Yoo KH, Lee JH, Park MJ, Kim WJ, Park YB, et al. Clinical
characteristics of patients with tuberculosis-destroyed lung. Int J Tuberc Lung
Dis. 2013;17(1):67-75.
52. Ehrlich RI, Adams S, Baatjies R, Jeebhay MF. Chronic airflow obstruction and
respiratory symptoms following tuberculosis: a review of South African studies.
Int J Tuberc Lung Dis. 2011;15(7):886-91.
53. Hnizdo E, Singh T, Churchyard G. Chronic pulmonary function impairment
caused by initial and recurrent pulmonary tuberculosis following treatment.
Thorax. 2000;55:32-8.
54. Baiq IM, Saeed W, Khalil KF. Post-tuberculous chronic obstructive pulmonary
disease. J Coll Physicians Surg Pak. 2010;20(8):542-4.
55. Singh B, Chaudhary O. Trends of pulmonary impairment in person with treated
pulmonary tuberculosis. Int J Med Res Prof. 2015;1(1):8-11.
56. Verma SK, Kumar S, Narayan KV, Sodhi R. Post tubercular obstructive airway
impairment. Indian J Allergy Asthma Immunol. 2009;23(2):95-9.
57. Menezes AMB, Hallal PC, Perez-Padilla R, Jardim JRB, Muin A, Lopez MV,
et al. Tuberculosis and airflow obstruction: evidence from the PLATINO study
in Latin America. Eur Respir J. 2007;30(6):1180-5.
58. Kim S, Lee J, Park Y, Lee C-H, Lee S-M, Yim J-J, et al. Impact of airflow
limitation on acute exacerbations in patients with destroyed lung by
tuberculosis. J Korean Med Sci. 2015;30:737-42.

Anda mungkin juga menyukai