Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

HIV/AIDS

Oleh :

I Putu Arya Wijayantha ( 19089144017 )


Made Benny Prince ( 19089144016 )

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG
2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................................. i
BAB I
TINJAUAN TEORITIS ................................................................................................. 1
1.1 TINJAUAN TEORITIS MEDIS............................................................................. 1
1.1.1 Definisi .................................................................................................................
1.1.2 Klarifikasi HIV/AIDS .......................................................................................... 1
1.1.3 Etiologi................................................................................................................. 1
1.1.4 Manifestasi klinis ................................................................................................. 1
1.1.5 Patofisiologi ......................................................................................................... 1
1.1.6 Komplikasi ........................................................................................................... 1
1.1.7 Pemeriksaan Penunjang Diagnosa ....................................................................... 1
1.1.8 Penatalaksanaan Medis ........................................................................................ 1
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN HIV/AIDS..................................................... 3
2.1 Pengkajian ............................................................................................................... 3
2.2 Diagnosa Keperawatan Teori .................................................................................. 3
2.3 Rencana Asuhan Keperawatan ................................................................................ 3
BAB III
PENUTUP ...................................................................................................................... 5
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 5
3.2 Saran ........................................................................................................................ 5
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 7
BAB I

TINJAUAN TEORITIS

1.1. TINJAUAN TEORITIS MEDIS

1.1.1 Definisi

1. HIV

Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang termasuk dalam
family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan menggunakan RNA nya dan DNA penjamu
untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama masa inkubasi yang panjang. Seperti
retrovirus lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang (klinik laten), dan utamanya
penyebab munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem
imun dan menghancurkannya. Hal ini terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit
untuk mereplikasikan diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit
(Nursalam 2007).
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV ini
bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia, dan
HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan
lentivirus atau retroviridae. Genom virus ini adalah RNA, yang mereplikasi dengan
menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia (Finch, Moss, Jeffries
dan Anderson, 2007 ).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari
sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit.
Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah
putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh
manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.
Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang
terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus
bisa sampai nol) (KPA, 2007).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini
secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse transcriptase
untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi
secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup
mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat
mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan
lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau
media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi
tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik
akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi
oportunistik (Zein, 2006).
2. AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh
ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa
adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti
keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya
(Laurentz, 2005).
AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome dan menggambarkan
berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi virus HIV (Brooks, 2009). Virus HIV ini akan menyerang sel-sel sistem imun
manusia, yaitu sel T dan sel CD4 yang berperan dalam melawan infeksi dan penyakit dalam
tubuh manusia. Virus HIV akan menginvasi sel-sel ini, dan menggunakan mereka untuk
mereplikasi lalu menghancurkannya. Sehingga pada suatu tahap, tubuh manusia tidak dapat lagi
mengatasi infeksi akibat berkurangnya sel CD4 dan rentan terhadap berbagai jenis penyakit lain.
Seseorang didiagnosa mengalami AIDS apabila sistem pertahanan tubuh terlalu lemah untuk
melawan infeksi, di mana infeksi HIV pada tahap lanjut (AVERT, 2011).

1.1.2 Klarifikasi HIV/AIDS


Klarifikasi HIV/AIDS pada orang dewasa menurut CDC (Centers for Disease Control)
dibagi atas empat tahap, yakni :

1. Infeksi HIV akut


Tahap ini disebut juga sebagai infeksi primer HIV. Keluhan muncul
setelah 2-4 minggu terinfeksi. Keluhan yang muncul berupa demam, ruam
merah pada kulit, nyeri telan, badan lesu, dan limfadenopati. Pada tahap ini, diagnosis jarang
dapat ditegakkan karena keluhan menyerupai banyak penyakit lainnya dan hasil tes serologi
standar masih negatif (Murtiastutik, 2008).

2. Infeksi Seropositif HIV Asimtomatis


Pada tahap ini, tes serologi sudah menunjukkan hasil positif tetapi gejala
asimtomatis. Pada orang dewasa, fase ini berlangsung lama dan penderita bisa tidak
mengalami keluhan apapun selama sepuluh tahun atau lebih. Berbeda dengan anak- anak, fase
ini lebih cepat dilalui (Murtiastutik, 2008)

3. Persisten Generalized Lymphadenopathy (PGL)


Pada fase ini ditemukan pembesaran kelenjar limfe sedikitnya di dua tempat selain
limfonodi inguinal. Pembesaran ini terjadi karena jaringan limfe berfungsi sebagai tempat
penampungan utama HIV. PGL terjadi pada sepertiga orang yang terinfeksi HIV
asimtomatis. Pembesaran menetap, menyeluruh, simetri, dan tidak nyeri tekan (Murtiastutik,
2008).

4. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)


Hampir semua orang yang terinfeksi HIV, yang tidak mendapat pengobatan, akan
berkembang menjadi AIDS. Progresivitas infeksi HIV bergantung pada karakteristik virus
dan hospes. Usia kurang dari lima tahun atau lebih dari 40 tahun, infeksi yang menyertai, dan
faktor genetik merupakan faktor penyebab peningkatan progresivitas. Bersamaan dengan
progresifitas dan penurunan sistem imun, penderita HIV lebih rentan terhadap infeksi.
Beberapa penderita mengalami gejala konstitusional, seperti demam dan penurunan berat
badan, yang tidak jelas penyebabnya. Beberapa penderita lain mengalami diare kronis dengan
penurunan berat badan. Penderita yang mengalami infeksi oportunistik dan tidak mendapat
pengobatan anti retrovirus biasanya akan meninggal kurang dari dua tahun kemudian
(Murtiastutik, 2008).

1.1.3 ETIOLOGI
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus
ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari
HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung
3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen
tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein
replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus
terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat
efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi
protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus.
Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang
lain (Brooks, 2005).

1.1.4 MANIFESTASI KLINIS


Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu
gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
1. Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
2. Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
h. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008),
gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
1. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi
kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak
mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang
lain.
2. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi
seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita
HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar
getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam,
batuk dan pernafasan pendek.
3. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,
gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit
yang disebut AIDS. Gejala Minor

Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan
mengikut fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu selepas
infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis,
limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia, penurunan berat
badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy,
mucocutaneous ulceration, dan erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini
muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis
dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba
daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang akibat
respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV akan
mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan
bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara langsung
berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang
tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien dengan tingkat RNA
virus HIV yang rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,
gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit
yang disebut AIDS.

1.1.5 PATOFISIOLOGI
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa
dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan
dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada
saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV
) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang
juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang
terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan
pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded
DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian
terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali
virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh tidak dihancurkan
oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel
T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi
antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan mempertahankan tubuh
terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper terganggu, mikroorganisme yang biasanya
tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan
penyakit yang serius.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T
penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak
memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4
dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per
ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur
oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan
menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis
mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi
infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
1.1.6 KOMPLIKASI
Komplikasi primer :
• MCMD (Minor Cognitive Motor Disorder
• Neurobiologi (meningitis, mylopati, neuropati )
• Infeksi (toxoplasmosis, ensefalitis, cytomegalovirus/CMV
• Leikoencepalopati multifoksl progresif (neoplasma dan delirium)

1.1.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSA


Jika seseorang terinfeksi, semakin cepat dia tahu lebih baik. Pasien dapat tetap sehat
lebih lama dengan pengobatan awal dan dapat melindungi orang lain dengan mencegah
transmisi. Tes-tes ini mendeteksi keberadaan virus dan protein yang menghasilkan sistem
kekebalan tubuh untuk melawan virus. Protein ini yang dikenal sebagai antibodi, biasanya tidak
terdeteksi sampai sekitar 3-6 minggu setelah infeksi awal. Maka jika melakukan tes 3 hingga 6
minggu selepas paparan akan memberi hasil tes yang negatif (Swierzewski, 2010).
Menurut University of California San Francisco (2011), ELISA (enzyme-linked
immunosorbent assay) adalah salah satu tes yang paling umum dilakukan untuk menentukan
apakah seseorang terinfeksi HIV. ELISA sensitif pada infeksi HIV kronis, tetapi karena antibodi
tidak diproduksi segera setelah infeksi, maka hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu
setelah infeksi. Walaupun hasil tes negatif pada waktu jendela, seseorang itu mempunyai risiko
yang tinggi dalam menularkan infeksi. Jika hasil tes positif, akan dilakukan tes Western blot
sebagai konfirmasi. Tes Western blot adalah diagnosa definitif dalam mendiagnosa HIV. Di
mana protein virus ditampilkan oleh acrylamide gel electrophoresis, dipindahkan ke kertas
nitroselulosa, dan ia bereaksi dengan serum pasien. Jika terdapat antibodi, maka ia akan
berikatan dengan protein virus terutama dengan protein gp41 dan p24. Kemudian ditambahkan
antibodi yang berlabel secara enzimatis terhadap IgG manusia. Reaksi warna mengungkapkan
adanya antibodi HIV dalam serum pasien yang telah terinfeksi (Shaw dan Mahoney, 2003) Tes
OraQuick adalah tes lain yang menggunakan sampel darah untuk mendiagnosis infeksi HIV.
Hasil tes ini dapat diperoleh dalam masa 20 menit. Hasil tes positif harus dikonfirmasi dengan
tes Western blot (MacCann, 2008).
Tes ELISA dan Western blot dapat mendeteksi antibodi terhadap virus, manakala
polymerase chain reaction (PCR) mendeteksi virus HIV. Tes ini dapat mendeteksi HIV bahkan
pada orang yang saat ini tidak memproduksi antibodi terhadap virus. Secara khusus, PCR
mendeteksi “proviral DNA”. HIV terdiri dari bahan genetik yang dikenal RNA. Proviral DNA
adalah salinan DNA dari RNA virus. PCR digunakan untuk konfirmasi kehadiran HIV ketika
ELISA dan Western blot negatif; dalam beberapa minggu pertama setelah infeksi, sebelum
antibodi dapat dideteksi; jika hasil Western blot tidak tentu dan pada bayi baru lahir dimana
antibodi ibunya merumitkan tes lain (Swierzewski, 2010).

1.1.8 PENATALAKSANAAN MEDIS


1. Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi
cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang kurang
baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis
direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap HIV/AIDS adalah 200
atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV
dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif
(HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan:
a. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan
pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari
viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
b. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat
reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim
viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan
materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine,
delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
c. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya
sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan
dilepaskan.
2. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang mengidap
HIV(+) dapatmenularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan
masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa
bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua
pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak.
Obat–obatan tersebut adalah:
a. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28
minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan
angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan
terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek
dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki
pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
b. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan
satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa dosis
tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya
digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan
tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
3. Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral, yang
dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang
menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun
terinfeksi occupational. Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP, maka
suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang yang bersangkutan.
Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan orang tersebut mengerti
obat–obatan, keperluan untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks
yang aman dan memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk
PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah
memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP yang
berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi yang potensial
ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat
bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka
keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak merekomendasikan proses
terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut
dapat memberikan efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak
aman.
4. Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi untuk mencegah
baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan pemberian vaksin HIV
terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi pengobatan untuk
mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi virus, atau
menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat bermutasi,
tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan tidak tersingkirkan secara sempurna
oleh respon imun inang setelah infeksi primer (Brooks, 2005).
5. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nasokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien di
lingkungan perawatan kritis
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN HIV/AIDS

2.1 PENGKAJIAN
1. Riwayat: tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
2. Penampilan umum: pucat, kelaparan.
3. Gejala subyektif: demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari
berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
4. Psikososial: kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan
perasaan takut, cemas, meringis.
5. Status mental: marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, with drawl, hilang
interest pada lingkungan sekitar, gangguan proses pikir, hilang memori, gangguan atensi
dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.
6. HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada bibir
atau mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.
7. Neurologis: gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan, kaku kuduk,
kejang, paraplegia.
8. Muskuloskletal: focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
9. Kardiovaskuler; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
10. Pernapasan: dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu pernapasan,
batuk produktif atau non produktif.
11. GI: intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare, inkontinensia,
perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
12. GU: lesi atau eksudat pada genital,
13. Integument: kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.

2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN TEORI


1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d obstruksi jalan nafas : spasme jalan nafas, sekresi
tertahan, banyaknya mukus
2. Pola napas tidak efektif b.d penurunan energi, kelelahan, nyeri, kecemasan
3. Hipertermia b.d proses penyakit, peningkatan metabolisme, dehidrasi
4. Nyeri b.d agen injury biologis
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d ketidakmampuan
pemasukan atau mencerna makanan atau mengabsorpsi zat-zat gizi berhubungan dengan
faktor biologis, psikologis
6. Kurang Pengetahuan b.d kurangnya paparan atau informasi
7. Defisit volume cairan b.d kegagalan mekanisme pengaturan
8. Kerusakan integritas kulit b.d perubahan status metabolik
9. Resiko infeksi dengan factor resiko prosedur Infasif, malnutrisi, imonusupresi ,
ketidakadekuatan imun buatan , tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb,
Leukopenia, penekanan respon inflamasi), tidak adekuat pertahanan tubuh primer
10. Inkontinensia bowel b.d diare kronis
11. Kelelahan b.d anemia, status penyakit
12. Tidak efektifnya mekanisme koping keluarga b.d kemampuan dalam mengaktualisasi
diri
13. Deficit perawatan diri b.d kelemahan fisik
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. AIDS disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu


suatu lentivirus dari golongan retroviridae. Transmisi infeksi HIV dapat melalui
hubungan seksual, darah atau produk darah yang terinfeksi, jarum yang terkontaminasi,
serta transmisi vertikal dari ibu ke anak Gejala klinis pada infeksi HIV meliputi stadium:
Serokonversi, periode inkubasi, AIDS - related complex atau persistent generalized
lymphadenopathy, periode AIDS Diagnosis infeksi HIV dan AIDS dapat dilakukan
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang meliputi
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Penatalaksanaan penderita
dengan infeksi HIV atau AIDS meliputi pengobatan suportif, pengobatan infeksi
oportunistik dengan antibiotik, antijamur, antiparasit, antivirus dan glukokortikoid,
pengobatan neoplasma, serta pengobatan dengan antiretroviral (ARV). Dalam
penatalaksanaan infeksi HIV, saat ini digunakan kombinasi dari beberapa obat
sekaligus, yang disebut highly active antiretroviral therapy (HAART). WHO
menganjurkan pemberian ARV untuk negara yang mempunyai dana yang terbatas
dengan kombinasi: 2NRTI + INNRTI atau abacavir atau PI.

2. Penderita HIV/AIDS seringkali tidak mau membuka status mereka ke orang lain
karena mereka takut dan khawatir orang-orang akan menjauhi bahkan mengucilkan
mereka dari lingkungan sekitarnya. Sebaliknya bagi mereka yang bersedia untuk open
status, biasanya mereka yang telah mendapatkan dukungan dari keluarga dan teman-
teman dekat mereka, sehingga mereka tidak khawatir akan pengakuan keberadaan mereka.

3. Penatalaksanaan HIV secara klinis pada kehamilan terus dikembangkan untuk menekan
transmisi secara vertikal. Salah satunya dengan pemberian antiretrovirus yang
bertujuan untuk mengurangi viral load serendah mungkin. Penatalaksanaan yang efektif
untuk mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak tergantung pada saat kapan
wanita tersebut mengetahui status HIV-nya sehingga dapat ditentukan penatalaksanaan
secepatnya. Oleh karena itu, peranan konseling dan tes HIV bagi ibu hamil sangat
penting sebagai deteksi dini terhadap infeksi HIV.
4. Untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA perlu
diadakannya penyuluhan dan edukasi yang benar tentang apa itu HIV/AIDS dan
bagaimana cara penularannya sehingga masyarakat tidak perlu sampai mengucilkan
ODHA tetapi justru dapat memberikan dukungan dan motivasi kepada mereka untuk
dapat bertahan hidup dan berdaya di lingkungan masyarakat.
5. Pemerintah telah menetapkan program nasional berupa Kebijakan dan Strategi dalam
mencegah dan menberantas AIDS di Indonesia. Dan hal ini tentunya dapat lebih
disosialisasikan lagi, ditambah dengan adanya subsidi pemerintah berupa pemberian obat-
obatan ARV bagi penderita HIV/AIDS.

3.2. Saran

1. Masyarakat membutuhkan edukasi tentang bahaya penyakit HIV/AIDS dan bagaimana cara
penularannya yang benar agar stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dapat diluruskan. Untuk itu
perlu diadakannya seminar dan penyuluhan tentang HIV/AIDS serta diselenggarakannya
acara testimonial dari para ODHA untuk pelajar dan mahasiswa.
2. ODHA butuh mendapat perhatian dan dukungan dari masyarakat dan pemerintah, selain itu
dukungan kawan sebaya juga dapat memberikan semangat hidup bagi penderita HIV/AIDS.
DAFTAR PUSTAKA

Agus P, dkk : Kedaruratan Medik : Edisi Revisi, Binarupa Aksara, Jakarta, 2000
Doenges M.E. (2008) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ).
Philadelpia, F.A. Davis Company.
Hafid, Abdul, dkk., editor : Sjamsuhidajat,R. dan de Jong, Wim. 2007. Buku Ajar Ilmu
Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta.
Desmon Katiandagho, SST., M.Kes. Epid : Epidemiologi HIV-AIDS : In Media, 2015
Nursalam, Ninuk Dian K, Misutarno, Fitriana Kurniasari S : Asuhan Keperawatan pada
Pasien Terinfeksi HIV/AIDS : Edisi 2, Salemba Medika, 2010.
Widoyono : Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya: Edisi Kedua, Erlangga, 2011
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, WHO : Kajian Epidemiologi HIV Indonesia
2016 : Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, 2017

Anda mungkin juga menyukai