Munculnya ilmu filsafat pada masa silam yang telah dipopulerkan oleh
beberapa tokoh filsafat Yunani kuno yakni diantaranya Heraklitos, Plato,
Aristoteles dan sebagainya telah menjadi sebab lahirnya para filsuf muslim,
diantaranya adalah al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi dan lain-lain.
1
PEMBAHASAN
Nama aslinya Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan ibn
Uzalagh al-Farabi, lahir di kota Wesij tahun 259 H/872 M, selisih satu tahun
setelah wafatnya filosof muslim pertama yaitu al-Kindi. Ayahnya dari Iran
menikah dengan wanita Turki kemudian ia menjadi perwira tentara Turki. Atas
dasar itulah al-Farabi dinasabkan sebagai orang Turki. Karir pemikiran filsafatnya
dalam menjembatani pemikiran Yunani dan Islam terutama dalam ilmu logika
(manthiq) dan filsafat sangat gemilang, sehingga gelar sebagai guru kedua (al-
mu’allim tsāni), layak disematkan. Diriwayatkan telah belajar logika di Baghdad
dari para sarjana Kristen Yuhanna ibn Hailan (w. 910 M) dan Abu Bisyr Matta
(w.940 M), perlu segera dicatat bahwa, Baghdad saat itu termasuk pewaris utama
tradisi filsafat dan kedokteran di Alexandria. Pertemuan dan pergumulan
pemikiran di Baghdad nantinya menjadi konektor pemikiran al-Farabi yang
meramu filsafat Islam dengan filsafat Yunani Neo-Platonis, 16 Al-Farabi dalam
perkembangannya juga tercatat sebagai guru Yahya ibn Adi (w. 974 M), seorang
penerjemah Kristen Nestorian sebagai tokoh logika Ibn al-Sarraj. Karir
pendidikannya cukup panjang hingga pada tahun 330/941 M. AlFarabi
meninggalkan Baghdad menuju Aleppo kemudian ke Kairo dan menghembuskan
nafas terakhirnya di Damaskus, tepatnya pada bulan Rajab pada tahun 339 H atau
Desember 950 M.1
1
M. Wiyono, “Pemikiran Filsafat Al-Farabi” Substantia, Vol 18 No. 1 (April 2016): 69.
2
mening- galkan negerinya untuk menuju ke Baghdad, pusat pemerintahan dan
ilmu
pengetahuan pada masanya untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius
seorang kristen, beliau belajar tentang ilmu logika dan filsafat serta belajar
Kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar Al Saraj. Selama berada di
Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika. Nampaknya pada
waktu pertama datang di Baghdad hanya sedikit saja bahasa Arab yang telah
dikuasainya. la sendiri mengatakan bahwa belajar ilmu nahwu (tata bahasa Arab)
pada Abu Bakar As-Saraj sebab imbalan pelajaran logika yang diberikan oleh Al-
Farabi kepadanya.
Sesudah itu ia pindah ke Harran salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia
kecil untuk berguru pada Yuhanna bin Jilan. Tetapi tidak lama kemudian ia
meninggalkan kota itu untuk kembali ke Baghdad dan untuk mendalami filsafat
sesudah ia menguasai ilmu mantik (logika), dan di Baghdad ia berdiam selama 30
tahun. Selama di Baghdad ia memakai waktunya untuk mengarang, berdiskusi,
memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Muridnya yang terkenal
pada masa ini adalah Yahya Ibnu Ady, filosof Kristen.
B. Karyanya
Al-Farabi sebagai seorang ahli pikir yang besar banyak menghasilkan karya,
baik yang berkenaan dengan filsafat maupun berkenaan dengan ilmu-ilmu yang
lainnya. Karangan beliau tidak kurang dari 128 buah kitab, Akan tetapi oleh karena
karangan-karangannya banyak berupa risalah kecil dan pendek, tidak banyak yang
besar dan tebal, maka sebagian dari karangannya banyak yang tidak dikenal dan
tidak diketahui. Diantara karyanya yang berkenaan dengan filsafat adalah sebagai
berikut:2
3
3. Tahsil as-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).
4. ’Uyun ul-Masail (Pokok-pokok Persoalan).
5. Ara’yu Ahl-il Madinah al-Fadilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota Negeri
Utama).
6. Ih-sha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).
7. Maqolat fi Ma’any al ‘Aql
8. Ihsa’ Al Ulum
9. Fushul Al Hukm
10. Al Siayat Al Madaniyyat
11. Risalat Al Aql dan lain-lain.3
C. Pemikirannya
1. Teori Emanasi
3
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof & Filsafatnya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2007), 68.
4
Harun Nasution, Falsafat & Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 26.
4
banyak (makhluk) ini tidak menimbulkan pengertian bahwa di dalam Yang Esa
ada pengertian yang banyak. Maksudnya, teori emanasi tidak menimbulkan
pengertian bahwa Tuhan itu sebanyak makhluk. Al-Farabi menyebut teori
emanasi sebagai Nadhariyatul Faidl. Dengan teori emanasi inilah al-Farabi
mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu.
Bagaimana yang banyak (alam) yang bersifat materi muncul dari Yang Esa
(Allah) yang jauh dari arti materi dan Maha Sempurna.
5
Dari Akal Kedua timbullah Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-
bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah) beserta jiwa dengan cara yang sama seperti
yang terjadi pada Akal Pertama. Dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan
planet Satumus (Zuhal), juga beserta jiwanya. Dari Akal Keempat keluarlah Akal
Kelima dan planet Yupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari Akal Kelima
keluarlah Akal Keenam dan planet Mars (Madiah) beserta jiwanya. Dari Akal
Keenam keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (as-Syams) beserta jiwanya. Dari
Akal Ketujuh keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus. (az-Zuharah) juga
beserta jiwanya. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet
Mercurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari Akal Kesembilan keluarlah Akal
Kesepuluh dan bulan (Qamar). Dengan demikian maka dari satu akal keluarlah
satu akal dan satu planet beserta jiwanya.
6
2. Teori Kenabian
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah teori kenabian yang sekaligus ditujukan untuk merespon
pendapat Ibnu al-Rāwandi (w. ± 910 M) yang lebih tegas penolakannya terhadap kenabian, dan al-Razi (w.
925 M) dengan kritik dan penolakannya pada kenabian masih kontroversi dan diragukan. Menurut al-
Farabi, nabi dan filsuf sama-sama mampu berkomunikasi dengan akal 10 yang tidak lain adalah Jibril,
karena keduanya sampai pada tingkat Akal Mustafad. Namun keduanya memiliki perbedaan, nabi mampu
berkomunikasi dengan akal 10 tanpa latihan khusus, sebab mendapat limpahan dari Tuhan berupa
kekuatan atau daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di dalamnya ada daya imaginasi luar biasa, berupa
al-hads (semacam insight khusus). Sementara filosof harus melalui latihan serius dan cukup lama.
Dengan demikian, nabi lebih tinggi tingkatannya daripada filsuf. Pada taraf ini dapat dikatakan bahwa
setiap nabi pasti seorang filsuf, tetapi setiap filsuf belum tentu seorang nabi
3. Filsafat jiwa
Jiwa menurut Al-Farabi bersifat rohani bukan materi, ia terwujud setelah
ada badan, dan jiwa tidak berpindah-pindah dari satu badan ke badan lain. Jiwa
manusia memancar dari akal 10. Jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai
berikut:
7
b. Akal Teoritis
Akal Teoritis terbagi kepada tiga tingkatan:
1) Akal Potensial, yaitu yang baru mempunyai potensi
berpikir dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk
dari materi.
2) Akal Aktual, yaitu yang telah dapat melepaskan arti-arti
dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud
dalam akal dengan sebenarnya, tidak lagi dalam bentuk
actual.
3) Akal Mustafad, yaitu yang telah dapat menangkap bentuk
semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan
mempunyai kesanggupan mengadakan komunikasi dengan
akal kesepuluh.
Berkenaan dengan keabadian jiwa, al-Farabi membedakan antara jiwa abadi dan
binasa. Jiwa yang abadi ialah jiwa yang utama yaitu jiwa yang mengetahui
kebaikan dan berbuat baik, dan dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa
yang seperti tidak dengan hancurnya badan yang termasuk dalam kelompok ini
adalah jiwa yang telah berada pada tingkat akal Mustafad. Sedang jiwa yang
binasa ialah jiwa Jâhîlâh. Yaitu jiwa yang tidak mencapai kesempurnaan karena
belum dapat melespakan diri dari ikatan materi. Jiwa yang seperti ini akan hancur
dengan hancurnya badan akan tetapi jiwa mengetahui kesenangan namun
menolaknya, ia tidak akan hancur dan akan abadi, namun abadi dalam
kesengsaraan.5
D. Filsafat Politik
5
Hadariansyah AB, Pengantar Filsafat Islam: Mengenal Filosof-Filosof Muslim dan Filsafat
Mereka (Yogyakarta: Kafusari Press, 2017), 38-39.
8
filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu disentuh
dengan nilai-nilai politik semata.
9
jumlah keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan seperti satu
anggota tubuh manusia yang lengkap. Jika salah satu organ tubuh sakit, maka
tubuh yang lain akan merasakannya. Demikian pula anggota masyarakat Negara
yang Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya,
hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan sepenanggungan.
Masing-masing mereka harus diberikan pekerjaan yang sesuai dengan keadaan
spesialisasi mereka.
Fungsi utama dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah
fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh
manusia.
Maka dari itu, Negara yang baik diibaratkan bagaikan orang yang sehat
karena pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu unsur dengan
unsur lainnya, sedangkan Negara yang buruk adalah ibarat orang yang sakit
karena kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di Negara itu.
10
5. Negeri Anarkis (jami’iah), yaitu Negara yang setiap penduduknya ingin
merdeka melakukan keinginan masing-masing.
PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Falsafat & Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
11