Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

Munculnya ilmu filsafat pada masa silam yang telah dipopulerkan oleh
beberapa tokoh filsafat Yunani kuno yakni diantaranya Heraklitos, Plato,
Aristoteles dan sebagainya telah menjadi sebab lahirnya para filsuf muslim,
diantaranya adalah al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi dan lain-lain.

Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan


kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih
tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti
kata yang sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar
piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun.
Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya
Aristoteles.

Di dalam makalah ini pemakalah akan membahas tentang biografi, karya-


karya, dan pemikirannya.

1
PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat al-Farabi

Nama aslinya Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan ibn
Uzalagh al-Farabi, lahir di kota Wesij tahun 259 H/872 M, selisih satu tahun
setelah wafatnya filosof muslim pertama yaitu al-Kindi. Ayahnya dari Iran
menikah dengan wanita Turki kemudian ia menjadi perwira tentara Turki. Atas
dasar itulah al-Farabi dinasabkan sebagai orang Turki. Karir pemikiran filsafatnya
dalam menjembatani pemikiran Yunani dan Islam terutama dalam ilmu logika
(manthiq) dan filsafat sangat gemilang, sehingga gelar sebagai guru kedua (al-
mu’allim tsāni), layak disematkan. Diriwayatkan telah belajar logika di Baghdad
dari para sarjana Kristen Yuhanna ibn Hailan (w. 910 M) dan Abu Bisyr Matta
(w.940 M), perlu segera dicatat bahwa, Baghdad saat itu termasuk pewaris utama
tradisi filsafat dan kedokteran di Alexandria. Pertemuan dan pergumulan
pemikiran di Baghdad nantinya menjadi konektor pemikiran al-Farabi yang
meramu filsafat Islam dengan filsafat Yunani Neo-Platonis, 16 Al-Farabi dalam
perkembangannya juga tercatat sebagai guru Yahya ibn Adi (w. 974 M), seorang
penerjemah Kristen Nestorian sebagai tokoh logika Ibn al-Sarraj. Karir
pendidikannya cukup panjang hingga pada tahun 330/941 M. AlFarabi
meninggalkan Baghdad menuju Aleppo kemudian ke Kairo dan menghembuskan
nafas terakhirnya di Damaskus, tepatnya pada bulan Rajab pada tahun 339 H atau
Desember 950 M.1

Sejak kecilnya, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar


biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain ialah
bahasa-bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan. Kendatipun Al Farabi adalah
seorang tokoh terkemuka dikalangan para filosof Muslim, namun informasi
tentang dirinyasangatlah terbatas. Ia tidak merekam liku-liku kehidupannya begitu
juga para muridnya. Menurut beberapa Literatur, Al-Farabi dalam usia 40 tahun

1
M. Wiyono, “Pemikiran Filsafat Al-Farabi” Substantia, Vol 18 No. 1 (April 2016): 69.

2
mening- galkan negerinya untuk menuju ke Baghdad, pusat pemerintahan dan
ilmu
pengetahuan pada masanya untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius
seorang kristen, beliau belajar tentang ilmu logika dan filsafat serta belajar
Kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar Al Saraj. Selama berada di
Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika. Nampaknya pada
waktu pertama datang di Baghdad hanya sedikit saja bahasa Arab yang telah
dikuasainya. la sendiri mengatakan bahwa belajar ilmu nahwu (tata bahasa Arab)
pada Abu Bakar As-Saraj sebab imbalan pelajaran logika yang diberikan oleh Al-
Farabi kepadanya.

Sesudah itu ia pindah ke Harran salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia
kecil untuk berguru pada Yuhanna bin Jilan. Tetapi tidak lama kemudian ia
meninggalkan kota itu untuk kembali ke Baghdad dan untuk mendalami filsafat
sesudah ia menguasai ilmu mantik (logika), dan di Baghdad ia berdiam selama 30
tahun. Selama di Baghdad ia memakai waktunya untuk mengarang, berdiskusi,
memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Muridnya yang terkenal
pada masa ini adalah Yahya Ibnu Ady, filosof Kristen.

B. Karyanya

Al-Farabi sebagai seorang ahli pikir yang besar banyak menghasilkan karya,
baik yang berkenaan dengan filsafat maupun berkenaan dengan ilmu-ilmu yang
lainnya. Karangan beliau tidak kurang dari 128 buah kitab, Akan tetapi oleh karena
karangan-karangannya banyak berupa risalah kecil dan pendek, tidak banyak yang
besar dan tebal, maka sebagian dari karangannya banyak yang tidak dikenal dan
tidak diketahui. Diantara karyanya yang berkenaan dengan filsafat adalah sebagai
berikut:2

1. Aghradlu ma Ba’da at-Thabi’ah.


2. Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua
Filosof-, Maksunyad Plato dan Aristoteles).
2
Hadariansyah AB, Pengantar Filsafat Islam: Mengenal Filosof-Filosof Muslim dan Filsafat
Mereka (Yogyakarta: Kafusari Press, 2017), 34.

3
3. Tahsil as-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).
4. ’Uyun ul-Masail (Pokok-pokok Persoalan).
5. Ara’yu Ahl-il Madinah al-Fadilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota Negeri
Utama).
6. Ih-sha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).
7. Maqolat fi Ma’any al ‘Aql
8. Ihsa’ Al Ulum
9. Fushul Al Hukm
10. Al Siayat Al Madaniyyat
11. Risalat Al Aql dan lain-lain.3

C. Pemikirannya

Ia berkeyakinan bahwa filsafat tidak boleh dibocorkan dan sampai ketangan


orang awam. Oleh karena itu para filosof harus menuliskan pendapat mereka
dalam gaya Bahasa yang gelap, agar tidak dapat diketahui oleh sembarang orang,
dengan demikian iman serta keyakinan nya tidak menjdi kacau.4

Pemikiran filsafat yang paling penting di antara filsafat yang dimunculkan


Al-Farabi ialah pendapatnya tentang kejadian alam secara emanasi. Selain itu ia
juga membicarakan tentang jiwa, kenabian, dan teori politik.

1. Teori Emanasi

Kata Emanasi disebut emanation yang berarti proses munculnya sesuatu


dari pemancaran; bahwa yang dipancarkan substansinya sama dengan yang
memancarkan. Sedangkan dalam filsafat, emanasi adalah proses terjadinya wujud
yang beraneka ragam, baik langsung atau tidak langsung, bersifat jiwa atau
materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber dari segala sesuatu yakni Tuhan,
yang menjadi sebab dari segala yang ada, karenanya setiap wujud ini merupakan
bagian dari Tuhan. Tujuan utama teori ini adalah untuk menjelaskan bahwa yang

3
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof & Filsafatnya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2007), 68.
4
Harun Nasution, Falsafat & Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 26.

4
banyak (makhluk) ini tidak menimbulkan pengertian bahwa di dalam Yang Esa
ada pengertian yang banyak. Maksudnya, teori emanasi tidak menimbulkan
pengertian bahwa Tuhan itu sebanyak makhluk. Al-Farabi menyebut teori
emanasi sebagai Nadhariyatul Faidl. Dengan teori emanasi inilah al-Farabi
mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu.
Bagaimana yang banyak (alam) yang bersifat materi muncul dari Yang Esa
(Allah) yang jauh dari arti materi dan Maha Sempurna.

Emanasi dalam pemikiran Al-Farabi adalah Tuhan sebagai akal, berpikir


tentang diri-Nya, dan dari pemikiran itu timbul suatu maujud lain. Tuhan itu
adalah Wujud Pertama dan dengan pemikiran itu timbul Wujud Kedua yang juga
mempunya substansi. Itu disebut dengan Akal Pertama yang tak bersifat materi.
Wujud Kedua ini berpikir tentang Wujud Pertama dan dari pemikiran inilah
timbul Wujud Ketiga. Proses ini terus berlangsung hingga pada Wujud X/ Akal
Kesepuluh.

Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal Pertama,


mengandung dua segi. Pertama segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyya)
yaitu wujud yang mumkin. Kedua segi lain yaitu wujudnya yang nyata yang
terjadi karena adanya Tuhan sebagai Dzat yang menjadikan. Sekalipun akal
pertama tersebut satu (tunggal), namun pada dirinya terdapat bagian-bagian yaitu
adanya dua segi tersebut yang menjadi obyek pemikirannya. Dengan adanya segi-
segi ini, maka dapat dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari Akal
Pertama.

Dari pemikiran Akal pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang


wajib (yang nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya
maka keluarlah Akal Kedua. Dari pemikiran Akal Pertama dalam kedudukannya
sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya, timbullah langit pertama
atau benda lanjut terjauh (as-sama al-ula; alal-a’la) dengan jiwanya sama sekali
jiwa langit tersebut. Jadi dari dua obyek pengetahuan yaitu dirinya dan wujudnya
yang mumkin keluarlah dua macam makhluk tersebut yaitu bendanya benda langit
dan jiwanya

5
Dari Akal Kedua timbullah Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-
bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah) beserta jiwa dengan cara yang sama seperti
yang terjadi pada Akal Pertama. Dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan
planet Satumus (Zuhal), juga beserta jiwanya. Dari Akal Keempat keluarlah Akal
Kelima dan planet Yupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari Akal Kelima
keluarlah Akal Keenam dan planet Mars (Madiah) beserta jiwanya. Dari Akal
Keenam keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (as-Syams) beserta jiwanya. Dari
Akal Ketujuh keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus. (az-Zuharah) juga
beserta jiwanya. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet
Mercurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari Akal Kesembilan keluarlah Akal
Kesepuluh dan bulan (Qamar). Dengan demikian maka dari satu akal keluarlah
satu akal dan satu planet beserta jiwanya.

Dari Akal Kesepuluh sesuai dengan dua seginya yaitu wajibul-wujud


karena Tuhan maka keluarlah manusia beserta jiwanya. Dan dari segi dirinya yang
merupakan wujud yang mumkin, maka keluarlah empat unsur dengan perantaraan
benda-benda langit. Dan di akal ke X ini dayanya sudah lemah sehingga sudah
tidak bisa menghasilkan akal yang sejenisnya.

Maujudul Awwal Akal berfikir


Berfikir tentang Tuhan
Tuhan tentang dirinya
Wujud 2 Akal 1 Langit
Wujdu 3 Akal 2 Bintang
Wujud 4 Akal 3 Saturnus
Wujud 5 Akal 4 Yupiter
Wujud 6 Akal 5 Mars
Wujud 7 Akal 6 Matahari
Wujud 8 Akal 7 Venus
Wujud 9 Akal 8 Mercuri
Wujud 10 Akal 9 Rembulan
Wujud 11 Akal 10 (Akal Fa’al) Wujud Roh

6
2. Teori Kenabian

Pemikiran al-Farabi yang lain adalah teori kenabian yang sekaligus ditujukan untuk merespon
pendapat Ibnu al-Rāwandi (w. ± 910 M) yang lebih tegas penolakannya terhadap kenabian, dan al-Razi (w.
925 M) dengan kritik dan penolakannya pada kenabian masih kontroversi dan diragukan. Menurut al-
Farabi, nabi dan filsuf sama-sama mampu berkomunikasi dengan akal 10 yang tidak lain adalah Jibril,
karena keduanya sampai pada tingkat Akal Mustafad. Namun keduanya memiliki perbedaan, nabi mampu
berkomunikasi dengan akal 10 tanpa latihan khusus, sebab mendapat limpahan dari Tuhan berupa
kekuatan atau daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di dalamnya ada daya imaginasi luar biasa, berupa
al-hads (semacam insight khusus). Sementara filosof harus melalui latihan serius dan cukup lama.
Dengan demikian, nabi lebih tinggi tingkatannya daripada filsuf. Pada taraf ini dapat dikatakan bahwa
setiap nabi pasti seorang filsuf, tetapi setiap filsuf belum tentu seorang nabi

3. Filsafat jiwa
Jiwa menurut Al-Farabi bersifat rohani bukan materi, ia terwujud setelah
ada badan, dan jiwa tidak berpindah-pindah dari satu badan ke badan lain. Jiwa
manusia memancar dari akal 10. Jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai
berikut:

I. Daya bergerak, yang terbagi kepada tiga yaitu


a. Makan
b. Memelihara
c. Berkembang
II. Daya mengetahui, yang terbagi kepada dua yaitu:
a. Merasa
b. Imajinasi
III. Daya berpikir, yang terbagi kepada dua yaitu:
a. Akal Praktis

7
b. Akal Teoritis
Akal Teoritis terbagi kepada tiga tingkatan:
1) Akal Potensial, yaitu yang baru mempunyai potensi
berpikir dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk
dari materi.
2) Akal Aktual, yaitu yang telah dapat melepaskan arti-arti
dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud
dalam akal dengan sebenarnya, tidak lagi dalam bentuk
actual.
3) Akal Mustafad, yaitu yang telah dapat menangkap bentuk
semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan
mempunyai kesanggupan mengadakan komunikasi dengan
akal kesepuluh.

Berkenaan dengan keabadian jiwa, al-Farabi membedakan antara jiwa abadi dan
binasa. Jiwa yang abadi ialah jiwa yang utama yaitu jiwa yang mengetahui
kebaikan dan berbuat baik, dan dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa
yang seperti tidak dengan hancurnya badan yang termasuk dalam kelompok ini
adalah jiwa yang telah berada pada tingkat akal Mustafad. Sedang jiwa yang
binasa ialah jiwa Jâhîlâh. Yaitu jiwa yang tidak mencapai kesempurnaan karena
belum dapat melespakan diri dari ikatan materi. Jiwa yang seperti ini akan hancur
dengan hancurnya badan akan tetapi jiwa mengetahui kesenangan namun
menolaknya, ia tidak akan hancur dan akan abadi, namun abadi dalam
kesengsaraan.5

D. Filsafat Politik

Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia juga


menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan dengan
kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan para
filosof muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka para

5
Hadariansyah AB, Pengantar Filsafat Islam: Mengenal Filosof-Filosof Muslim dan Filsafat
Mereka (Yogyakarta: Kafusari Press, 2017), 38-39.

8
filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu disentuh
dengan nilai-nilai politik semata.

Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah


kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat
bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan
alami untuk bermasyarakat.

Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat,


yakni:
1. Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah). Masyarakat sempurna
adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-
unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu
mempunyai kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam diri
manusia unsur-unsurnya itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatanya.
Selanjutnya, masyarakat yang sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga
bahagian, pertama masyarakat sempurna besar (gabungan banyak bangsa
yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta bekerjasama,
biasa disebut perserikatan bangsa-bangsa), kedua masyarakat sempurna
sedang (masyarakat yang terdiri atas suatu bangsa yang menghuni di satu
wilayah dari bumi biasa disebut negara nasional), ketiga masyarakat
sempurna kecil (masyarakat yang terdiri atas para penghuni satu kota
(negara kota).
2. Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah).
Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang
kehidupannya kecil seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di
tingkat desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini, yang
kehidupan masyarakat masih jauh dari ketidak sempurnaan adalah
keluarga.

Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama adalah, kategori yang


pertama, yaitu masyarakat yang sempurna (al-Mujtami’ al-Hikmah), yang mana

9
jumlah keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan seperti satu
anggota tubuh manusia yang lengkap. Jika salah satu organ tubuh sakit, maka
tubuh yang lain akan merasakannya. Demikian pula anggota masyarakat Negara
yang Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya,
hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan sepenanggungan.
Masing-masing mereka harus diberikan pekerjaan yang sesuai dengan keadaan
spesialisasi mereka.

Fungsi utama dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah
fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh
manusia.

Maka dari itu, Negara yang baik diibaratkan bagaikan orang yang sehat
karena pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu unsur dengan
unsur lainnya, sedangkan Negara yang buruk adalah ibarat orang yang sakit
karena kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di Negara itu.

Negara yang buruk tersebut banyak macamnya, misalnya Negara yang


fasik, Negara yang bodoh, atau Negara yang sesat. Dalam hal ini, al-Farabi
menunjukkan sebuah tamsilan Negara yang bodoh, ia membagi menjadi lima
macam:

1. Negeri Darurat (daruriah), yaitu Negera yang penduduknya memperoleh


minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum, pakaian, dan tempat
tinggal.
2. Negeri Kapitalis (baddalah), yaitu Negara yang penduduknya
mementingkan kekayaan harta dan benda.
3. Negeri Gila Hormat (kurama), yaitu Negara yang penduduknya
mementingkan kehormatan saja.
4. Negeri Hawa Nafsu (khissah wa Syahwah), yaitu Negara yang
penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya.

10
5. Negeri Anarkis (jami’iah), yaitu Negara yang setiap penduduknya ingin
merdeka melakukan keinginan masing-masing.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ia berkeyakinan bahwa filsafat tidak boleh dibocorkan dan sampai


ketangan orang awam. Oleh karena itu para filosof harus menuliskan pendapat
mereka dalam gaya Bahasa yang gelap, agar tidak dapat diketahui oleh
sembarang orang, dengan demikian iman serta keyakinan nya tidak menjdi
kacau.

Pemikiran filsafat yang paling penting di antara filsafat yang dimunculkan


Al-Farabi ialah pendapatnya tentang kejadian alam secara emanasi. Selain itu
ia juga membicarakan tentang jiwa, kenabian, dan teori politik.

DAFTAR PUSTAKA

Hadariansyah AB, Pengantar Filsafat Islam: Mengenal Filosof-Filosof Muslim


dan Filsafat Mereka, Yogyakarta: Kafusari Press, 2017.

Zar Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof & Filsafatnya, Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada, 2007.

Harun Nasution, Falsafat & Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.

M. Wiyono, “Pemikiran Filsafat Al-Farabi” Substantia, Vol 18 No. 1 (April


2016).

11

Anda mungkin juga menyukai