FRAKTUR PELVIS
DISUSUN OLEH:
Indra
111 2017 2063
PEMBIMBING:
dr. Fadil Mula Putra Sp.OT
i
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
FRAKTUR PELVIS
Responsi dengan judul “Fraktur Pelvis” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah
satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian
Pembimbing
ii
dr. Fadil Mula Putra, Sp. OT
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................. i
2.11Komplikasi ........................................................................................ 25
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Definisi
Patah tulang panggul adalah gangguan struktur tulang dari pelvis. Pada
orang tua, penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri. Namun, fraktur
yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas terbesar melibatkan pasukan
yang signifikan misalnya dari kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari
ketinggian. 2
2.2 Etiologi
Dengan makin meningkatnya kecelakaan lalu lintas mengakibatkan
dislokasi sendi panggul sering ditemukan. Dislokasi panggul merupakan suatu
trauma hebat. Patah tulang pelvis harus dicurigai apabila ada riwayat trauma yang
menekan tubuh bagian bawah atau apabila terdapat luka perut, memar, atau
hematom di daerah pinggang, sacrum, pubis atau perineum. 2
2.3 Epidemiologi
Dua pertiga dari fraktur panggul terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.
Sepuluh persen diantaranya di sertai trauma pada alat-alat dalam rongga panggul
seperti uretra,buli-buli,rektum serta pembuluh darah dengan angka mortalitas
sekitar 10 %. 2
2
2.4 Anatomi Pelvis
Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil
oleh struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-
ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat
oblik pendek yang melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca
posterior superior (SIPS) dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti halnya
serat longitudinal yang lebih panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke
spina iliaca posterior superior (SIPS) dan bergabung dengan ligamentum
sacrotuberale. Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan
dengan ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah
sebuah jalinan kuat yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek dorsal
spina iliaca posterior sampai ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini, bersama
dengan ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan stabilitas vertikal pada
pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas lateral sacrum dan
coccygeus sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica.
Ligamentum iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis keempat
dan kelima sampai ke crista iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang
dari processus transversus lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri (gambar 1).1
3
Gambar 2.4.1 Pandangan posterior (A) dan anterior (B) dari ligamentum pelvis.
Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat
pada pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas
pinggiran pelvis. Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan
sendi sacroliliaca. Cabang posterior arteri iliaca interna termasuk arteri
iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri glutea
superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar, yang terletak
secara langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna termasuk arteri
obturatoria, arteri umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda, arteri glutea inferior,
arteri rectalis dan arteri hemoroidalis. Arteri pudenda dan obturatoria secara
anatomis berhubungan dengan rami pubis dan dapat cedera dengan fraktur atau
perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini dan juga vena-vena yang
menyertainya seluruhnya dapat cedera selama adanya disrupsi pelvis (gambar 2).
Pemahaman tentang anatomi pelvis akan membantu ahli bedah ortopedi untuk
mengenali pola fraktur mana yang lebih mungkin menyebabkan kerusakan
langsung terhadap pembuluh darah mayor dan mengakibatkan perdarahan
retroperitoneal signifikan. 1
4
Gambar 2.4.2 Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah
mayor
yang terletak pada dinding dalam pelvis
5
Trauma Vertikal (SV)
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal
disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro iliaka pada sisi yang
sama. Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu
tungkai.
Trauma Kombinasi (CM)
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan diatas.
a. Fraktur avulsi
Sepotong tulang tertarik oleh kontraksi otot yang hebat. Fraktur ini
biasanya ditemukan pada olahragawan dan atlet. Muskulus Sartorius dapat
menarik spina iliaca anterior superior, rektus femoris menarik spina iliaca anterior
inferior , adductor longus menarik sepotong pubis, dan urat-urat lurik menarik
bagian-bagian iskium. Nyeri hilang biasanya dalam beberapa bulan. Avulsi pada
apofisis iskium oleh otot-otot lutut jarang mengakibatkan gejala menetap, dalam
hal ini reduksi terbuka dan fiksasi internal diindikasikan.
b. Fraktur langsung
Pukulan langsung pada pelvis, biasanya setelah jatuh dari tempat tinggi,
dapat menyebabkan fraktur iskium atau ala ossis ilii. Dalam hal ini memerlukan
bed rest total sampai nyeri mereda.
6
c. Fraktur-tekanan
Fraktur pada rami pubis cukup sering ditemukan dan sering dirasakan
tidak nyeri. Pada pasien osteoporosis dan osteomalasia yang berat. Yang lebih
sulit didiagnosis adalah fraktur-tekanan disekitar sendi sacroiliaca. Ini adalah
penyebab nyeri sacroiliaca yang tak lazim pada orangtua yang menderita
osteoporosis.
7
Pemuntiran vertical, tulang inominata pada satu sisi bergeser secara
vertical, menyebabkan fraktur vertical, menyebabkan fraktur rami pubis dan
merusak daerah sacroiliaca pada sisi yang sama. Ini secara khas terjadi tumpuan
dengan salah satu kaki saat terjatuh dari ketinggian. Cidera ini biasanya berat dan
tidak stabil dengan robekan jaringan lunak dan perdarahan retroperitoneal.
Tile (1988) membagi fraktur pelvis ke dalam cidera yang stabil, cidera
yang secara rotasi tak stabil dan cidera yang secara rotasi dan vertikal tak stabil.
1. Tipe A/stabil; ini temasuk avulsi dan fraktur pada cincin pelvis dengan
sedikit atau tanpa pergeseran.
o A1 : fraktur panggul tidak mengenai cincin
o A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur
2. Tipe B yaitu secara rotasi tidak stabil tapi secara vertikal stabil. Daya
rotasi luar yang mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak dan
membuka simfisis biasa disebut fraktur open book atau daya rotasi internal
yaitu tekanan lateral yang dapat menyebabkan fraktur pada rami
iskiopubik pada salah satu atau kedua sisi juga disertai cidera posterior
tetapi tida ada pembukaan simfisis.
o B1 : open book
o B2 : kompresi lateral ipsilateral
o B3 : kompresi lateral kontralateral (bucket-handle)
3. Tipe C yaitu secara rotasi dan vertical tak stabil, terdapat kerusakan pada
ligament posterior yang keras dengan cidera pada salah satu atau kedua
sisi dan pergeseran vertical pada salah satu sisi pelvis, mungkin juga
terdapat fraktur acetabulum.
o C1 : unilateral
o C2 : bilateral
o C3 : disertai fraktur asetabulum
8
Klasifikasi fraktur menurut Cey dan Conwell :
1. Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin
Fraktur avulsi
o Spina iliaka anterior posterior
o Spina iliaka anterior inferior
o Tuberositas ischium
Fraktur pubis dan ischium
Fraktur sayap ilium
Fraktur sacrum
Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus
2. Keretakan tunggal pada cincin panggul
Fraktur pada kedua ramus ipsilateral
Fraktur dekat atau subluksasi simpisis pubis
Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakroiliaka
3. Fraktur bilateral cincin panggul
Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis
Fraktur ganda dan atau dislokasi
Fraktur multiple yang hebat
4. Fraktur asetabulum
Tanpa pergeseran
Dengan pergeseran
2.7 Gambaran Klinik
Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel
yang dapat mengenai organ-organ lain dalam panggul. Keluhan berupa
gejala pembengkakan, deformitas serta perdarahan subkutan sekitar panggul.
Penderita datang dalam keadaan anemi dan syok karena perdarahan yang hebat.
Terdapat gangguan fungsi anggota gerak bawah.
9
Dislokasi dan fraktur dislokasi sendi panggul dibagi dalam 3 jenis : 3
1. Dislokasi posterior
Tanpa fraktur
Disertai fraktur rim posterior yang tunggal dan besar
Disertai fraktur komunitif asetabulum bagian posterior dengan atau tanpa
kerusakan pada dasar asetabulum.
Disertai fraktur kaput femur
Mekanisme trauma dislokasi posterior disertai adanya fraktur adalah kaput
femur dipaksa keluar ke belakang asetabulum melalui suatu trauma yang
dihantarkan pada diafisis femur dimana sendi pinggul dalama posisi fleksi atau
semi fleksi. Trauma biasanya terjadi karena kecelakaan lalu lintas dimana lutut
penumpang dalam keadaan fleksi dan menabrak dengan keras yang berada
dibagian depan lutut. Kelainan ini juga dapat terjadi sewaktu mengendarai motor.
50% dislokasi disertai fraktur pada pinggir asetabulum dengan fragmen kecil atau
besar. Penderita biasanya datang setelah suatu trauma yang hebat disertai nyeri
dan deformitas pada daerah sendi panggul. Sendi panggul teraba menonjol ke
belakang dalam posisi adduksi, fleksi dan rotasi interna .terdapat pemendekan
anggota gerak bawah. Dengan pemeriksaan rontgen akan diketahui jenis dislokasi
dan apakahdislokasi disertai fraktur atau tidak.3
2. Dislokasi anterior
Obturator
Iliaka
Pubik
Disertai fraktur kaput femur
10
3. Dislokasi sentral asetabulum
Hanya mengenai bagian dalam dinding asetabulum
Fraktur sebagian dari kubah asetabulum
Pergeseran menyeluruh ke panggul disertai fraktur asetabulum yang
komunitif
11
Anamnesis :
a. Keadaan dan waktu trauma
b. Miksi terakhir
c. Waktu dan jumlah makan dan minum yang terakhir
d. Bila penderita wanita apakah sedang hamil atau menstruasi
e. Trauma lainnya seperti trauma pada kepala
Pemeriksaan Klinik :
a. Keadaan umum
Denyut nadi, tekanan darah dan respirasi
Lakukan survey kemungkinan trauma lainnya
b. Lokal
Pemeriksaan nyeri :
o Tekanan dari samping cincin panggul
o Tarikan pada cincin panggul
Inspeksi perineum untuk mengetahui adanya Perdarahan,
pembengkakan dan deformitas
Tentukan derajat ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada
ramus dan simfisis pubis
Pemeriksaan colok dubur
2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan nyeri subjektif dan objektif, dan
pergerakan abnormal pada gelang panggul. Untuk itu, pelvis ditekan ke belakang
dan ke medial secara hati-hati pada kedua spina iliaka anterior superior, ke medial
pada kedua trokanter mayor, ke belakang pada simpisis pubis, dan ke medial pada
12
kedua krista iliaka. Apabila pemeriksaan ini menyebabkan nyeri, patut dicurigai
adanya patah tulang panggul.4
Kemudian dicari adanya gangguan kencing seperti retensi urin atau
perdarahan melalui uretra, serta dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk
melakukan penilaian pada sakrum, atau tulang pubis dari dalam.
Sinar X dapat memperlihatkan fraktur pada rami pubis, fraktur ipsilateral
atau kontra lateral pada elemen posterior, pemisahan simfisis, kerusakan pada
sendi sacroiliaca atau kombinasi. CT-scan merupakan cara terbaik untuk
memperlihatkan sifat cidera. 4
13
seperti halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale.
Cedera APC dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk
cabang-cabang pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat
dengan persendian sacroiliaca anterior.1
Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis
pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum
sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena
gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca interna,
arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini terjadi,
diduga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur.
14
Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan
hemipelvis mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola
cedera CM meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh
kombinasi dua vektor tekanan terpisah.
15
2.10 Manajemen Penanganan Fraktur Pelvis
16
j. Penilaian foto ronsen pelvis, perhatian kasus pada fraktur yang sering
disertai kehilangan darah banyak, misalnya fraktur yang meningkatkan
volume pelvis.
1. Cocokan identitas penderita pada film
2. Periksa foto secara sistemik ;
a. Lebar simpisis pubis-pemisahan lebih dari 1 cm menunjukkan
ada trauma pelvis posterior
b. Integritas ramus superior dan inferior pubis bilateral
c. Integritas asetabulum, kapsul dan kolum femur
d. Simetri ileum dan lebarnya sendi sakroiliaka
e. Simetri foramen sacrum dengan evaluasi linea arkuata
f. Fraktur prosessus transversus L5
3. Ingat, karena tulang pelvis berbentuk lingkaran jarang kerusakan
hanya pada satu tempat saja.
4. Ingat, fraktur yang meningkatkan volume pelvis, misalnya vertical
shear dan fraktur open-book, sering disertai Perdarahan banyak.
k. Teknik mengurangi Perdarahan
1. Cegah manipulasi berlebihan atau berulang-ulang
2. Tungkai bawah di rotasi ke dalam untuk menutup fraktur open-
book. Pasang bantalan pada tonjolan tulang dan ikat kedua tungkai
yang dilakukan rotasi. Tindakan ini akan mengurangi pergeseran
simpisis, mengurangi volume pelvis, bermanfaat untuk tindakan
sementara menunggu pengobatan definitif.
3. Pasang dan kembangkan PASG. Alat ini bermanfaat untuk
membawa/transport penderita.
4. Pasang external fixator pelvis (konsultasi orthopedi segera)
17
5. Pasang traksi skeletal (konsultasi orthopedi segera)
6. Embolisasi pembuluh darah pelvis melalui angiografi
7. Lakukan segera konsultasi bedah/ orthopedi untuk menentukan
prioritas
8. Letakkan bantal pasir di bawah bokong kiri-kanan jika tidak
terdapat trauma tulang belakang atau cara menutup pelvis yang lain
tidak tersedia.
9. Pasang pelvic binder
10. Mengatur untul transfer ke fasilitas terapi definitive jika tidak
mampu melakukannya.
Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat
memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan
ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an,
penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan tamponade pelvis dan
meningkatkan aliran balik vena untuk membantu resusitasi. Namun, penggunaan
MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin menyebabkan sindroma
kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu dari yang ada. Meskipun
masih berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis, MAST secara luas
telah digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil.
18
b. Pengikat dan Sheet Pelvis
19
Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan
fraktur pelvis disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin
berkontribusi pada deformitas pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah
dapat dicapai dengan membalut lutut atau kaki bersama-sama, dan hal ini dapat
memperbaiki reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan kompresi melingkar.
c. Fiksasi Eksternal
C-Clamp
20
dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya
tekan posterior tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar
harus dilatih untuk mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur
umumnya harus dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp
pada regio trochanter femur menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal
anterior standar untuk fiksasi sementara cedera APC.1
d. Angiografi
21
tersebut harus diembolisasi untuk mencegah resiko perdarahan tertunda yang
dapat terjadi bersama dengan lisis bekuan darah. Penulis lain menjelaskan
embolisasi non-selektif pada arteri iliaca interna bilateral untuk mengontrol lokasi
perdarahan multipel dan menyembunyikan cedera arteri yang disebabkan oleh
vasospasme.1
e. Balutan Pelvis
22
bahwa pasien cedera multipel dengan fraktur pelvis dapat dengan aman ditangani
menggunakan C-clamp dan balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal
juga efektif dalam mengontrol perdarahan arteri. 1
23
A, dibuat sebuah insisi vertikal midline 8-cm. Kandung kemih ditarik ke satu sisi,
dan tiga bagian spons tak terlipat dibungkus kedalam pelvis (dibawah pinggir
pelvis) dengan sebuah forceps. Yang pertama diletakkan secara posterior,
berbatasan dengan persendian sacroiliaca. Yang kedua ditempatkan di anterior
dari spons pertama pada titik yang sesuai dengan pertengahan pinggiran pelvis.
Spons ketiga ditempatkan pada ruang retropubis kedalam dan lateral kandung
kemih. Kandung kemih kemudian ditarik kesisi lainnya, dan proses tersebut
diulangi. B, Ilustrasi yang mendemonstrasikan lokasi umum enam bagian spons
yang mengikuti balutan pelvis.
24
kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus atau darah donor-universal non
crossmatch (yaitu, kelompok O negatif) diberikan dengan segera. Kurangnya
respon mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadi kehilangan darah yang
sedang berlangsung, dan angiografi dan/atau kontrol perdarahan dengan
pembedahan mungkin dibutuhkan. 1
25
Boffard dkk melakukan sebuah studi multicenter dimana pasien trauma berat yang
menerima 6 unit PRC dalam 4 jam setelah masuk diacak pada baik pengobatan
rFVIIa atau plasebo. Pada kelompok rFVIIa, jumlah transfusi sel darah secara
signifikan berkurang (kira-kira 2,6 unit sel darah merah; P = 0,02), dan terdapat
kecenderungan ke arah reduksi mortalitas dan komplikasi.
26
protokol tersebut dicari untuk dihindari. Pada satu seri, kematian 43
pasien, mewakili 60% kematian pada seri ini, dihubungkan secara keseluruhan
atau sebagai bagian dari fraktur pelvis. Pada 26 pasien yang fraktur pelvis-nya
dipertimbangkan sebagai penyebab kematian utama, 24 pasien mengalami syok
atau memiliki bukti klinis hipovolemia pada waktu masuk, dan 18 pasien
kehilangan darah akibat fraktur pelvis mereka segera setelah masuk rumah sakit.
27
tinggi. Alasan lain adalah kebanyakan algoritma pengobatan yang ditetapkan
berdasarkan kapabilitas institusi untuk dikembangkan. Meskipun prinsip
mendasar protokol-protokol tersebut berguna, mungkin juga penting untuk
memodifikasi algoritma-algoritma tersebut agar sesuai dengan sumber daya dan
staf ahli pada masing-masing institusi.
28
balutan pelvis. Pasien yang secara hemodinamik tetap tidak stabil mendapat
angiografi pelvis sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih,
pasien dipindahkan langsung ke ICU. CT-scan abdomen dapat dilakukan saat ini.
Jika pasien membutuhkan transfusi berkelanjutan ketika di ICU, penilaian
angiografi, jika sebelumnya belum dilakukan, maka harus dilakukan. 1
Gambar 2.10.5 Algoritma untuk pengobatan pasien dengan fraktur pelvis yang
muncul dengan instabilitas hemodinamik. Pasien yang belum dilakukan
laparotomi biasanya melakukan CT-scan abdomen yang dimulai di ICU. Di ICU,
pasien menerima resusitasi cairan lebih lanjut dan dihangatkan; berbagai usaha
dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. rFVIIa harus dipertimbangkan
jika kondisi pasien melawan semua intervensi lainnya.FAST = focused abdominal
sonography for trauma, PRBCs = packed red blood cells.
29
2.11 Komplikasi 2
a. Nyeri sacroiliaca sering ditemukan setelah fraktur pelvis tak stabil dan
kadang memerlukan artrodesis pada sendi sacroiliaca. Cidera saraf skiatika
biasanya sembuh tetapi kadang memerlukan eksplorasi. Cidera uretra berat
bisa menimbulkan striktur uretra, inkontinensia dan impotensi (Apley,
1995)
b. Ruptur uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis.
Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan
kerusakan pada cincin pelvis dapat menyebabkan robekan uretra pars
prostate-membranacea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang
berada di kavum pelvis menyebabkan hematom yang luas di kavum retzius
sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut robek, prostat beserta
buli-buli akan terangkat ke cranial. (Purnomo, 2007)
30
c. Fraktur Acetabulum
Terjadi apabila kaput femoris terdorong ke dalam pelvis. Fraktur ini
menggabungkan antara kerumitan fraktur pelvis dengan kerusakan sendi.
Ada 4 tipe fraktur acetabulum yaitu fraktur kolumna anterior, fraktur
kolumna posterior, fraktur melintang, dan fraktur kompleks. Gambaran
klinis agak tersamarkan krena mungkin terdapat cidera lain yang lebih
jelas/mengalihkan perhatian dari cidera pelvis yang lebih mendesak.
Pemeriksaan foto sinar-X perlu dilakukan (Apley, 1995)
d. Cidera pada sacrum dan koksigis
Pukulan dari belakang atau jatuh pada tulang ekor dapat mematahkan
sacrum dan koksigis. Terjadi memar yang luas dan nyeri tekan muncul bila
scrum atau koksigis dipalpasi dari belakang atau melalui rectum. Sensasi
dapat hilang pada distribusi saraf sakralis. Sinar-X dapat memperlihatkan ;
1) fraktur yang melintang pada sacrum dapat disertai fragmen bawah yang
terdorong ke depan, 2) fraktur koksigis kadang disertai fragmen bagian
bawah yang menyudut ke depan, 3) suatu penampilan normal kalau cidera
hanya berupa strain pada sendi sacrokoksigeal.(Apley, 1995)
Kalau fraktur bergeser, sebaiknya docoba untuk melakukan reduksi.
Fragmen bagian bawah dapat terdesak ke belakang lewat rectum. Reduksi
bersifat stabil, suatu keadaan yang menguntungkan. Pasien dibiarkan
untuk melanjutkan aktifitas normal, tetapi dianjurkan untuk menggunakan
suatu cincin karet atau bantalan Sorbo bila duduk. Kadang disertai keluhan
sulit kencing.(Apley, 1995). Nyeri yang menetap, terutama saat duduk
sering ditemukan setelah cidera koksigis. Kalau nyeri tidak berkurang
dengan penggunaan bantalan Sorbo atau oleh injeksi anastetik lokal
kedalam daerah yang nyeri, dapat dipertimbangkan eksisi koksigis (Apley,
1995).
31
DAFTAR PUSTAKA
Felson, D.T., 2008. Osteoarthritis. Dalam : Fauci, A., Hauser, L.S., Jameson, J.L.,
Ed. HARRISON's Principles of Internal Medicine Seventeenth Edition.
New York, United States of America. McGraw-Hill Companies Inc. :
2158-2165.
Klippel John H., Dieppe Paul A., Brooks Peter, et al. Osteoarthritis. In :
Rheumatology. United Kingdom : Mosby – Year Book Europe Limited,
1994 : 2.1 – 10.6.
Ambardini, RL. 2008. Peran latihan fisik dalam manajemen terpadu osteoarthritis.
Diakses tanggal 5 Agustus 2019.
32
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132256204/Latihan%20Fisik-
Manajemen%20Osteoartritis.pdf.
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit (Pathophysiology. Clinical Concecpt of Disease
Processes). EGC, Jakarta.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2006. Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4. Balai Penerbit FK UI, Jakarta.
33