Nasionalisme Pemuda Kini
Nasionalisme Pemuda Kini
Jika kita bandingkan nasionalisme pemuda masa kini dengan pemuda masa
perjuangan kemerdekaan, tentu sangat jauh berbeda. Pemuda masa perjuangan
kemerdekaan selalu diidentikkan dengan pejuang, pemberontak, dan pemberani.
Maka tidak mengherankan ketika pada 1945, Belanda menyebut aktivis-aktivis
yang menentang Belanda sebagai “Pemuda”.
Selain itu, di era modern dan serba instan ini, tidak sedikit pemuda yang terikut arus
menjadi generasi instan. Generasi hedonis, individualis, dan apatis. Mereka lebih
suka nongkrong di pusat perbelanjaan, pusat hiburan, dan dunia maya. Tidak peduli
dengan masa depan bangsanya, rakyat miskin, dan persoalan yang ada di
sekitarnya. Bagi mereka, yang terpenting adalah kesenangan diri.
Sangat tidak mungkin seseorang yang asyik dengan diri sendiri, bisa mencintai
bangsanya. Pemuda yang tidak mengenal bangsa dan segala persolannya, tidak
mungkin memiliki kemauan dan kemampuan memperjuangkan bangsanya. Seperti
yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer, “tak mungkin orang dapat mencintai
negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau
tidak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan
untuknya”.
Pemuda yang apatis dan anasioanlis tersebut tidak bisa disalahkan juga. Karena, hal
ini tidak berdiri sendiri, tapi ada hubungan kausilitas. Banyak faktor yang
menyebabkan memudarnya semangat nasionalisme generasi muda. Pertama,
kurangnya penanaman nilai-nilai kebangsaan. Lembaga pendidikan formal sebagai
tempat paling strategis dalam membangun semangat kebangsaan, ternyata belum
menemukan jalan terang. Masih kabur. Kita lihat misalnya dalam pelajaran sejarah
dan kewarganegaraan, siswa biasanya dibebani dengan berbagai hafalan. Bukan
penyadaran. Siswa akhirnya tidak jauh berbeda dengan burung beo yang hanya bisa
mengucapkan lima sila Pancasila. Metode pembelajaran yang hanya satu arah,
membuat siswa menjadi tidak kreatif dan kritis, sehingga nasionalisme yang
terbangun hanyalah palsu.
Upaya membangun semangat nasionalisme yang tidak didasarkan pada sikap kritis,
kreatif, dan ilmiah, hanyalah menghambur-hamburkan waktu. Justru hal ini hanya
melanggengkan status quo dan penindasan yang semakin masif. Di lembaga
pendidikan, sangat jarang siswa mendiskusikan Pasal 33 UUD 1945 dan kaitannya
dengan kesejahteraan rakyat. Mereka hanya disuruh menghafal isi pasal 33 tersebut,
tetapi tidak memahaminya. Jangankan siswa, banyak juga pemuda mahasiswa tidak
memahaminya.
Ketiga, minimnya keteladanan dari pemimpin. Perilaku pemimpin yang korup dan
mengkhianati rakyat, telah meracuni pemuda. Pemimpin-pemimpin seperti inilah
sebenarnya yang paling bersalah di bangsa ini. Merekalah sesungguhnya yang tidak
memiliki semangat nasionalisme karena telah menghancurkan bangsa yang telah
diperjuangkan dengan susah payah oleh pejuang-pejuang (khususnya pemuda)
dulu. Padahal, pemimpin itu harusnya menjadi cermin bagi generasi muda.
Keempat, minimnya ruang bagi pemuda untuk mengembangkan potensi dan
kepemimpinannya. Membangun semangat nasionalisme itu membutuhkan proses.
Semangat nasionalisme seseorang bisa muncul dan berkembang ketika dirinya
diberi tanggungjawab. Persoalannya adalah ruang bagi pemuda untuk berproses dan
mengembangkan potensi kepemimpinannya sangat sempit. Kalaupun pemuda
memasuki ruang, katakanlah organisasi kemasyarakatan dan partai politik, pemuda
seringkali hanya ditempatkan sebagai pion dalam percaturan politik kekuasaan.