Anda di halaman 1dari 10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Keloid adalah tumor jinak akibat proses penyembuhan yang tumbuh

meluas melewati batas luka aslinya hingga menginvasi jaringan normal didaerah

sekitarnya. Sebagai tumor jinak fibroproliferatif, keloid ditandai dengan deposisi

berlebih extra cellular matrix, khususnya kolagen, fibronektin, elastin,

proteoglikan, dan faktor pertumbuhan seperti TGF β (Halim et al, 2012). Keloid

bisa terjadi diseluruh bagian tubuh akan tetapi lebih sering terjadi di bahu,

dada,leher, lengan atas, dan pipi (Kakar et al, 2006). Keloid terjadi akibat proses

penyembuhan luka abnormal yang terjadi pada individu yang rentan secara

genetik. Keloid muncul pada bekas luka sebagai jaringan parut yang akan terus

tumbuh menginvasi jaringan normal disekitar lokasi luka aslinya hingga mencapai

ukuran tertentu (Wolfram et al, 2009).

2.2 Epidemiologi

Keloid bisa terjadi pada semua usia tetapi insiden tertinggi terjadi antara

10 sampai 30 tahun. Rata – rata usia pasien wanita yang mengalami keloid adalah

22.3 tahun dan usia rata- rata pasien laki – laki adalah 22.8 tahun (Seifert,2008).

Di negara berkembang sendiri setiap tahunya terdapat 100 juta penderita

dengan keluhan parut. Sekitar 55 juta kasus terjadi akibat luka pembedahan elektif

dan 25 juta kasus terjadi akibat pembedahan kasus trauma (Pratiwi dan

Perdanakusuma, 2010)

2.3 Etiologi dan Patogenesis

Keloid termasuk satu diantara penyakit kulit lain yang muncul akibat

proses penyembuhan luka. Saat ini masih belum ada hipotesis terpadu yang

menjelaskan mengenai patogenesis terjainya keloid (Seo et al, 2013). Proses

pembentukan keloid dipicu oleh trauma kulit dan paparan genetik (Wolfram et al,

2009). Gen autosomal dominan dengan penetrasi tidak lengkap dan juga

autosomal resesif yang diwariskan, terlihat diantara keluarga dengan keloid. Akan

tetapi gen autosomal dominan dengan penetrasi tidak lengkap merupakan kasus

yang sering terjadi pada keloid (Halim et al, 2012). Keloid juga bisa muncul

spontan tanpa adanya riwayat trauma pada kulit (Kelly, 2004). Trauma kulit bisa

terjadi akibat acne, folikulitis, tindik, luka bakar, lacerasi, dan luka bekas operasi.

Kebanyakan keloid akan muncul pada pada 3 bulan, dan beberapa keloid terjadi 1

tahun setalah trauma kulit (Chike-Obi et al, 2009). Penelitian terbaru

memfokuskan interaksi antara keloid yang berasal dari fibroblas dan extra cellular

matrix. Proses penyembuhan luka membutuhkan interaksi komplek antara

berbagai macam sel, extra cellular matrix, dan sitokin (Seifert, 2008). Regulasi

keseimbangan yang ketat antara sintesis dan degradasi dari extra cellular matrix

sangat penting untuk pembentukan scar normal. Jika keseimbangan ini terganggu

akibat peningkatan produksi extra cellular matrix atau penurunan degradasi extra

cellular matrix, parut hipertropik dan keloid bisa saja akan terjadi (Seifert, 2008).

Faktor penyebab utama keloid adalah produksi kolagen yang terus menerus, defek

remodeling pada struktur sel dan matriks ekstraselular, pembentukan sel-sel

infiltrasi yang berlebihan, dan kurangnya jaringan elastis akibat peningkatan

aktivitas metabolik fibroblast. Di keloid sintesis kolagen mencapai 20 kali lebih


besar dibandingkan dengan kulit normal tanpa jaringan parut (Wolfram et al,

2009).

Proses penyembuhan luka normal dan pembentukan keloid memiliki

gambaran histologi yang mirip pada stase awal, karakteristik pertumbuhan

fibroblas keloid mirip dengan fibroblas jaringan kulit normal. Fibroblas pada

keloid mensintesis prokolagen tipe-I dan fibronektin yang lebih tinggi juga

tampak peningkatan beberapa faktor pertumbuhan termasuk vascular endothelial

growth faktor, transforming growth factor β1 dan β2. Ketika proses penyembuhan

luka telah selesei, aktifitas TGF- β kembali normal tetapi pada keloid TGF- β

mengalami produksi berlebih. Growth factor inilah yang bertanggung jawab

terhadap peningkatan proliferasi fibroblas keloid dan produksi kolagen berlebih

(Wolfram et al, 2009). Berdasarkan gambaran histologi, fibroblast keloid

mengalami peningkatan kolagen dan glikosaminoglikan. Hal ini menunjukan

terjadinya peningkatan aktvitas metabolik pada fibroblas keloid. Peneletian pada

jaringan keloid menunjukan adanya mast cell dan histamine. Adanya histamine

menjelaskan kemungkinan adanya gejala pruritus yang dikeluhkan oleh pasien

keloid. Dan nyeri pada keloid mungkin diakibatkan karena adanya neuropathy

pada serabut saraf kecil.

2.4 Gambaran Klinis

Keloid yang muncul sebagai manifestasi penyembuhan luka dapat

menganggu penampilan secara estetika dan dapat menimbulkan gangguan

psikologis pada penderitanya (Pratiwi dan Perdanakusuma, 2010). Gangguan

psikologis dan estetika yang ditimbulkan keloid lebih berat dibandingkan akibat

jaringan parut lain, yaitu parut hipertrofik. Diagnosis keloid dan parut hipertrofik

kadang sulit ditegakan karena manifestasi klinik yang hampir serupa. Keloid

muncul sebagai tumor yang berwarna kemerahan yang meluas menginvasi

jaringan normal disekitar luka aslinya (Guix et al, 2001). Keloid tumbuh sebagai

nodul yang tegas, disertai rasa gatal dan nyeri. Awalnya keloid berwarna pink atau

merah dan terus tumbuh, hal ini tidak terjadi pada parut hipertrofik yang tidak

terus tumbuh setelah mencapai ukuran tertentu (Seifert, 2008).

Keloid muncul sebagai nodul berbatas tegas yang sering terjadi pada bahu,

dada, punggung atas, leher bagian belakang, lengan atas, daun telinga, dan pipi.

Keloid mempunyai ukuran yang bervariasi mulai 2 sampai 3mm. Keloid memiliki

bentuk yang bervariasi mulai dari simetris hingga tidak beraturan. Warna keloid

juga bervariasi mulai dari kemerahan pada lesi yang baru hingga merah pucat

pada lesi yang telah lama.

Gambar 2.1 Ciri khas keloid tumbuh di jaringan kulit normal disekitarnya dengan
penampakan seperti cakar dan pusat lesi yang datar serta berwarna putih (Seifert, 2008)

2.5 Diagnosis

Ketika seorang pasien datang dengan parut abnormal, membedakan keloid

dari parut hipertrofik adalah hal penting. Diagnosis keloid ditegakkan berdasarkan

gambaran klinik serta riwayat trauma terutama trauma kulit. Beberapa pasien

keloid datang dengan keluhan mengalami rasa gatal dan sensasi terbakar di sekitar

parut keloid. Manifestasi keloid berupa lesi eritema tanpa kelenjar rambut dan

kelenjar kulit lain yang semestinya ditemukan pada kulit normal. Konsistensi

keloid bisa dirasakan mulai dari lembek seperti adonan hingga kenyal dan keras.

Pada pemeriksaan histologi, kolagen yang terdapat pada dermis kulit normal atau

jaringan parut normal terlihat tidak menegang dan tersusun secara acak.

Sedangkan pada keloid, terlihat kolagen yang menegang dan tersusun sejajar

dengan epidermis. Kolagen ini juga terlihat lebih tebal dibandingkan dengan

kolagen pada jaringan normal (Tuan dan Nichter, 1998).

2.6 Diagnosis Banding

Keloid dapat dibedakan dengan parut hipertrofik dengan melihat

penampakan gambaran klinisnya. Parut hipertrofik merupakan bekas luka yang

menonjol pada kulit akan tetapi tetap berada pada luka aslinya (Kaartinen, 2011).

Sedangkan keloid merupakan bekas luka yang menonjol pada kulit dengan terjadi

pelebaran pada jaringan normal disekitar luka aslinya (Kaartinen, 2011).

Diagnosis banding keloid yaitu alergi kontak dermatitis memiliki lesi sama

seperti keloid pada daun telinga, tetapi pada pemerikasan histologis lesi ini

menunjukan infiltasi padat dari limfosit dan pembentukan folikel limpoid dari

pada kolagen padat yang dijumpai pada lesi keloid.


2.7 Penatalaksanaan

Terdapat banyak modalitas terpai untuk keloid, akan tetapi belum ada yang

mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan berdasarkan studi yang telah

dilakukan. Prinsip terpenting pada penatalaksanaan bekas luka ada mencegah

terjadinya keloid (Gauglitz, 2009). Pencegahan yang bisa dilakukan untuk

mencegah timbulnya keloid, antara lain dengan menghindari operasi kosmetik

yang tidak perlu sekali pada pasien yang diketahui berpotensi mengalami keloid.

Pentalaksanaan keloid masih bersifat empiris karena belum diketahui pasti

penyebabnya. Terapi pada penyakit ini diindikasikan jika terdapat gejala, seperti

nyeri, parestesia, pruritus, dan juga kosmetik (Sukasah, 2007).

Terapi konvensional yang biasanya dilakukan ialah menggunakan

koritkosteroid, cryosurgery, operasi eksisi, dan terapi interferon. Triamcinolone

acetonide (TCA) adalah kortikosteroid yang sering dipakai dalam konsentrasi 10

– 40 mg/ml yang dilakukan secara intralesi (Kelly, 2009). Cryosurgery memiliki

beberapa keuntungan antara lain mudah dilakukan dengan biaya murah dan

memiliki tingkat rekurensi paling minimal dibandingkan dengan modalitas terapi

yang lain. Selain itu cryosurgery juga memiliki kekurangan yang perlu

dipertimbangkan antara lain munculnya edema dan rasa tidak nyaman setelah

terapi dan permanen hipopigmentasi bisa terjadi (Har-Shai et al, 2003). Eksisi

yang diikuti dengan terapi radiasi dinilai efektif dalam penghapusan keloid.

Apabila hanya dilakukan sebagai terapi tunggal tanpa terapi tambahan, operasi

eksisi mempunyai tingkat rekurensi 50%-80% (Kelly, 2009). Untuk penggunaan

terapi modern dengan 585nm pulsed dye laser setelah dilakukan operasi eksisi

dipercaya menurunkan risiko munculnya kembali keloid akibat paparan energy


panas yang tingi (Alster dan Handrick, 2000). Terapi Interferon α, interferon β,

dan interferon ϒ menurunkan fibroblas keloid memproduksi kolagen I, III, dan

IV. Penggunan interteferon setelah dilakukan operasi eksisi dapat menurunkan

tingkat rekurensi munculnya keloid (Wolfram et al, 2009).

Belum muncul adanya suatu penatalaksanaan yang optimal untuk keloid

hingga saat ini dan kekambuhan penyakit setelah terapi kemungkinan bisa terjadi.

Pasien yang menginginkan terapi keloid, harus diberitahukan mengenai

kekambuhan yang mungkin terjadi setelah terapi. Informed consent harus

dilakukan pada semua tindakan medis dengan penjelasan yang lengkap mengenai

pilihan terapi, efektifitas terapi, kekambuhan penyakit, dan biaya terapi (Gupta

dan Sharma, 2011).

2.8 Komplikasi

Keloid memicu terjadinya kondisi sekunder, gejala, atau munculnya

gangguan lain. Beberapa gejala yang muncul akibat keloid seperti nyeri,

parestesia, dan pruritus (Sukasah, 2009). Berdasarkan gambaran klinis dan

lokasinya, keloid menyebabkan masalah penurunan penampilan sesorang. Hal ini

mampu memberikan masalah stress psikologis terhadap penderitanya. Pada

daerah persendian yang terdapat lesi keloid, menyebabkan tegangan kulit

meningkat sehingga ruang gerak daerah persendian terganggu.

2.9 Tindakan Preventif

Saat ini masih belum ada bukti ilmiah mengenai efikasi pengobatan dan

pencegahan luka parut (Kaartinen, 2011). Akan tetapi ada beberapa langkah yang

bisa dilakukan untuk mencegah timbulnya keloid. Pada pasien yang mempunyai

riwayat keloid memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami keloid lagi setelah

trauma kulit maupun luka akibat operasi. Oleh karena itu, operasi yang memang

benar-benar tidak mendesak untuk dilakukan sebaiknya dihindari. Dan apabila

dilakukan operasi pada pasien dengan riwayat keloid perlu dilakukan komunikasi

mengenai masalah keloid yang memiliki kemungkinan besar untuk muncul.

Prinsip pencegahan keloid adalah dengan menghindari trauma pada kulit, baik

trauma akibat operasi maupun trauma non operasi.

3.0 Kualitas Hidup Pasien Keloid

Pasien dengan keloid dan parut hipertrofik kebanyakan menghindari

mengunjungi kolam renang umum dikarenakan stigma yang mereka alami

(Seifert, 2008). Memiliki stigma dan tidak diterima secara penuh dilingkungan

sosial adalah masalah utama dari semua orang yang “berbeda” dibandingkan

dengan orang “normal”. Disamping manifestasi klinik, masalah psikologi

terutama kualitas hidup adalah ukuran yang sangat penting dalam menilai

seseorang itu sehat. Karena penatalaksanaan keloid yang tergolong sulit dan tidak

banyak mencapai harapan, suatu pengembangan kuesioner untuk mengukur

kualitas hidup pasien dengan keloid dan parut hipertrofik sangat diperlukan.

The World Health Organization (WHO) mengembangkan suatu konsep

mengenai Quality of Life (QOL) dari pandangan luas mengenai informasi tentang

fisik, sosial, dan psikologi yang sehat. Sehat bukan hanya berarti terbebas dari

segala penyakit, tetapi mampu untuk hidup produktif dan menikmati hidup

(Seifert, 2008). Kuesioner mengenai kualitas hidup seseorang digunakan untuk


mengevaluasi atau membandingkan efek yang komplek dari hasil suatu

pengobatan. Kuesioner kualitas hidup disusun berdasarkan informasi dari sudut

pandang pasien mengenai dampak penyakit terhadap kehidupan sehari-hari

mereka dan juga sebagai evalusai terhadap keuntungan pengobatan yang telah

diterima pasien. (Seifert, 2008).

Penilaian keparahan penyakit kulit tidak harus selalu dilakukan dengan

melihat dampaknya terhadap stress psikologi, dan kepercayaan diri. Oleh karena

itu, banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui kualitas hidup pada pasien

yang mengalami penyakit kulit kronis seperti psoriasis dan atopik dermatitis.

Penelitian ini menunjukan penurunan kualitas hidup pasien psoriasis sama dengan

pasien yang menderita gagal jantung berat dan diabetes mellitus (Seifert, 2008)

3.1 Pengukuran Kualitas Hidup Pasien Keloid

Pasien yang mengalami penyakit dengan resistensi tingi terhadap terapi

seperti pasien denga keloid, perlu dilakukan suatu pengukuran untuk mengetahui

kualitas hidupnya. Pengukuran ini dilakukan dengan harapan mampu

memperbaiki kualitas hidup pasien keloid.

Dermatology Life Quality Index atau DLQI yang berkembang pada tahun

1994 merupakan alat ukur kualitas hidup yang spesifik pada pasien dermatologi.

Kuesioner ini mengandung 10 nomor pertanyaan sederhana yang didesain untuk

pasien dewasa yang berusia diatas 16 tahun. Pertanyaan yang terdapat dalam

kuesioner menilai aktivitas harian, gejala, perasaan pasien, waktu luang, pekerjaan

atau sekolah, dan pengobatan. Setiap pertanyaan memiliki skor 0 sampai 3 dengan

nilai 3 = gangguan sangat besar, 2 = besar, 1= kecil, 0 = tidak ada gangguan, 0 =


pertanyaan tidak sesuai, dan khusus pertanyaan nomor 7 jawaban ya memiliki

skor 3 dan tidak memiliki skor 0.

Nilai kumulatif skor maksimal adalah 30 dan terendah 0. Nilai kumulatif

skor DLQI 0-1 (grade 1) keloid dikatakan tidak memiliki pengaruh terhadap

kualitas hidup, nilai 2-5 (grade 2) pengaruh ringan terhadap kualitas hidup, nilai

6-10 (grade 3) pengaruh sedang terhadap kualitas hidup, nilai 11-20 (grade 4)

pengaruh berat terhadap kualitas hidup, dan nilai (21-30) pengaruh sangat berat

terhadap kualitas hidup. Jadi dapat disimpulkan semakin tinggi skor DLQI maka

semakin terganggu kualitas hidup yang dialami pasien.

Kuisioner DLQI pernah digunakan untuk mengukur kalitas hidup pasien

yang mengalami luka parut akibat thyroidectomy (Choi et al, 2014). Rata – rata

skor DLQI pada pasien yang mengalami parut akibat thyroidectomy lebih besar

daripada pada pasien yang mengalami parut hipertropik maupun keloid (Choi et

al, 2014). Kualitas hidup pasien dengan parut yang terlihat lebih buruk

dibandingkan dengan parut yang tidak terlihat. Luka parut akibat tradisional

thyroidectomy terletak pada leher bagian depan yang mudah dilihat oleh orang

lain. Hal ini menjelaskan kenapa luka parut akibat thyroidectomy memiliki nilai

DLQI yang lebih tinggi daripada pasien dengan parut hipertrofik maupun keloid

yang lesinya tidak selalu terlihat akibat tertutup oleh pakaian (Choi, 2014).

Anda mungkin juga menyukai