2. Fisiologi
Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat
dikeluarkan kolon mengubah 1000-2000mL kimus isotonik yang masuk setiap
hari dari ileum menjadi tinja semipadat dengan volume sekitar 200-250mL.
Sebagian besar absorpsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan proksimal
kolon, sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorpsi, sedangkan kolon
bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses
sampai waktu yang tepat untuk ekskresi feses dan oleh karena itu disebut
kolon penyimpanan. Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat
secara normal pada kolon pengabsorpsi. Bakteri-bakteri ini mampu
mencernakan sejumlah kecil selulosa, dengan cara ini menyediakan beberapa
kalori nutrisi tambahan untuk tubuh (Sherwood, 2014).
B. DEFENISI
Tumor merupakan suatu pertumbuhan sel tubuh yang mengalami
transformasi dan tumbuh secara autonom tanpa kendali pertumbuhan sel normal
sehingga memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan sel normal pada
umumnya. Tumor adalah suatu benjolan atau struktur yang menempati area
tertentu pada tubuh dengan pertumbuhan sel-sel baru (neoplasma) yang
membelah secara tidak terkendali dan tidak memiliki fungsi bagi tubuh.
Pertumbuhan tumor dapat bersifat jinak atau ganas dalam tubuh sehingga tumor
dapat membahayakan keselamatan hidup seseorang (Handerson, 1997 & FKUI,
2008).
Tumor sigmoid adalah pertumbuhan jaringan abnormal dalam tubuh
akibat adanya ketidakseimbangan pertumbuhan dan regenerasi sel pada daerah
kolon sigmoid. Sigmoid merupakan bagian terakhir kolon desenden yang
berbentuk huruf “S” dan berlanjut membentuk rektum dengan bentuk lurus
(Sherwood, 2014).
C. ETIOLOGI
Penyebab tumor hingga saat ini sulit diketahui. Namun, faktor pencetus
tumor diantaranya: usia, jenis kelamin, respon kekebalan, dan virus. Selain itu,
penyebab tumor rektosigmoid pada usus besar telah dikenali dari beberapa faktor
predisposisi (Price &Wilson, 2005) yaitu:
1. Usia
Resiko terkena kanker kolon meningkat dengan bertambahnya usia.
Kebanyakan kasus terjadi pada orang yang berusia 60 – 70 tahun. Jarang
sekali ada penderita kanker kolon yang usianya di bawah 50 tahun. Kalaupun
ada, bisa dipastikan dalam sejarah keluarganya ada yang terkena kanker kolon
juga
2. Polip kolon
Polip adalah suatu massa seperti tumor yang menonjol ke dalam lumen
usus. Polip dapat terbentuk akibat pematangan, peradangan atau arsitektur
mukosa yang abnormal. Polip ini bersifat nonneoplatik dan tidak memiliki
potensi keganasan. Polip yang terbentuk akibat proliferasi dan displasia epitel
disebut polip adenomatosa atau adenoma.
3. Riwayat kanker
Seseorang yang pernah terdiagnosis mengidap kanker kolon (bahkan
pernah dirawat untuk kanker kolon) beresiko tinggi terkena kanker kolon lagi
dikemudian hari. Wanita yang pernah mengidap kanker ovarium (indung
telur), kanker uterus, dan kanker payudara juga memiliki resiko yang lebih
besar untuk terkena kanker kolon.
4. Faktor keturunan/genetika
Sejarah adanya kanker kolon dalam keluarga, khususnya pada keluarga
dekat. Orang yang keluarganya punya riwayat penyakit FAP (Familial
Adenomatous Polyposis) atau polip adenomatosa familial memiliki resiko
100% untuk terkena kanker kolon sebelum usia 40 tahun bila FPA-nya tidak
diobati. Penyakit lain dalam keluarga adalah HNPCC (Hereditary Non
Polyposis Colorectal Cancer), yakni penyakit kanker kolorektal nonpolip
yang menurun dalam kelurga atau syndrome Lynch.
5. Penyakit kolitis (radang kolon) ulseratif yang tidak terobati
6. Kebiasaan merokok
Perokok memiliki resiko jauh lebih besar untuk terkena kanker kolon
dibandingkan dengan yang bukan perokok. Meskipun penelitian awal tidak
menunjukkan hubungan merokok dengan kejadian tumor rektosigmoid, tetapi
penelitian terbaru menunjukkan perokok jangka lama (periode induksi 30-40
tahun) mempunyai risiko relatif 1,5-3 kali terkena tumor rektosigmoid.
7. Pola makan (kebiasaan makan)
Pernah diteliti bahwa kebiasaan makan banyak daging merah (dan
sebaliknya sedikit makan buah, sayuran serta ikan) turut meningkatkan resiko
terjadinya kanker kolon. Hal ini karena daging merah banyak mengandung zat
besi yang jika sering dikonsumse akan mengakibatkan kelebihan zat besi.
8. Teralalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung pewarna, apalagi
jika pewarnanya adalah pewarna non makanan
9. Terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung bahan pengawet
10. Kurangnya aktivits fisik
Jika individu tidak aktif secara fisik, maka individu tersebut memilki
kesempatan lebih besar terkena tumor rektosigmoid. Meningkatkan aktivitas
fisik adalah salah satu upaya untuk mengurangi risiko terkena penyakit tumor
ini.
11. Obesitas
Lebih dari 20 penelitian, mencakup lebih dari 3000 kasus secara
konsisten mendukung bahwa terdapat hubungan yang positif antara obesitas
dan kejadian tumor rektosigmoid
12. Konsumsi alkohol
Hubungan tumor rektosigmoid dengan konsumsi alkohol tidak jelas.
Meskipun kebanyakan hasil penelitian menunjukkan hubungan yang positif
antara konsumsi alkohol dengan kejadian tumor rektosigmoid.
D. PATOFISIOLOGI
Kanker kolon dan rektum (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan
epitel usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan
menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur
sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke bagian
tubuh yang lain (paling sering ke hati) Japaries, 2013.
Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi penyumbatan
lumen usus dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus serta perdarahan.
Penetrasi kanker dapat menyebabakan perforasi dan abses, serta timbulnya
metastase pada jaringan lain. Prognosis relativ baik bila lesi terbatas pada
mukosa dan submukosa pada saat reseks dilakukan, dan jauh lebih jelek telah
terjadi metastase ke kelenjar limfe (Japaries, 2013).
Mnenurut Diyono (2013), tingkatan kanker kolorektal dari duke sebagai
berikut :
1. Stadium 1 : terbatas hanya pada mukosa kolon (dinding rektum dan kolon)
2. Stadium 2 : menembus dinding otot, belum metastase
3. Stadium 3 : melibatkan kelenjar limfe
4. Stadium 4 : metastase ke kelenjar limfe yang berjauhan dan ke organ lain.
Kanker kolorektal merupakan salah satu kanker usus yang dapat tumbuh
secara lokal dan bermetastase luas. Adapaun cara penyebaran ini melalui
beberapa cara. Penyebaran secara lokal biasanya masuk ke dalam lapisan dinding
usus sampai ke serosa dan lemak mesentrik, lalu sel kanker tersebut akan
mengenai organ disekitarnya. Adapun penyebaran yang lebih luas lagi di dalam
lumen usus yaitu melalui limfatik dan sistem sirkulasi. Bila sel tersebut masuk
melalui sistem sirkulasi, maka sel kanker tersebut dapat terus masuk ke organ
hati, kemudian metastase ke organ paru-paru.penyebaran lain dapat ke adrenal,
ginjal, kulit, dan otak. Sel kanker pun dapat menyebar ke daerah peritoneal pada
saat akan dilkukan reseksi tumor (Diyono, 2013).
Hampir semua kanker kolorektal ini berkembang dari polip adenoma
jenis villous, tubular, dan vilotubular. Namun dari ketiga jenis adenoma ini,
hanya jenis villous dan tubular yang diperkirakan akan menjadi premaglina. Jenis
tubuar berstruktur seperti bola dan bertungkai, sedangkan jenis villous
berstruktur tonjolan seperti jari-jari tangan dan tidak bertangkai. Kedua jenis ini
tumbuh menyerupai bunga kol di dalam kolon sehingga massa tersebut akan
menekan dinding mukosa kolon. Penekanan yang terus menerus ini akan
mengalami lesi-lesi ulserasi yang akhirnya akan menjadi perdarahan kolon.
Selain perdarahan, maka obstruski pun kadang dapat terjadi. Hanya saja lokasi
tumbuhnya adenoma tersebut sebagai acuan. Bila adenoma tumbuh di dalam
lumen luas (asenden dan tranversum), maka obstruksi jarang terjadi. Hal ini
dikarenakan isi (feses masih mempunyai konsentrasi air cukup) masih dapat
melewati lumen tersebut dengan mengubah bentuk (disesuaikan dengan lekukan
lumen karena tonjolan massa). Tetapi bila adenoma tersebut tumbuh dan
berkembang di daerah lumen yang sempit (desendens atau bagian bawah), maka
obstruksi akan terjadi karena tidak dapat melewati lumen yang telah terdesak
oleh massa. Namun kejadian obstruksi tersebut dapat menjadi total atau parsial
(Diyono, 2013).
Secara genetik, kanker kolon merupakan penyakit yang kompleks.
Perubahan genetik sering dikaitkan dengan perkembangan dari lesi permaligna
(adenoma) untuk adenokarsinoma invasif. Rangkaian peristiwa molekuler dan
genetik yang menyebabkan transformasi dari keganasan polip adenomatosa.
Proses awal adalah mutasi APC (Adenomatosa Poliposis Gen) yang pertama kali
ditemukan pada individeu dengan keluarga adenomatosa poliposi = FAP
(Familial Adenomatous Polyposis). Protein yang dikodekan olh APC penting
dalam aktivasi pnkogen c=myc dan siklin D1 yang mendorong pengembangan
menjadi fenotipe ganas (Muttaqin, 2013)
E. MANIFESTASI KLINIK
Gejala sangat ditentukan oleh lokasi tumor, tahap penyakit dan fungsi
segmen usus tempat tumor berlokasi tekanan (Smeltzer & G.Bare, 2001)
1. Adanya perubahan dalam defekasi
2. Baik mucus maupun darah segar sering terlihat pada feses.
3. Konstipasi
4. Perubahan dalam penampilan feses
5. Tenesmus
6. Anemia dan pendarahan rectal merupakan keluhan yang umum terjadi akibat
kehilangan darah kronik
7. perubahan defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks.
8. Feses dapat kecil dan berbentuk seperti pita.
9. Pertumbuhan pada sigmoid atau rectum dapat mengenai radiks saraf,
pembuluh limfe atau vena, menimbulkan gejala-gejala pada tungkai atau
perineum.
10. Nyeri pinggang/abdomen bagian kiri bawah
11. Diare dan sering berkemih dapat timbul sebagai akibat gejala yang sering
terjadi.
F. KOMPLIKASI
Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan obstruksi usus parsial atau
lengkap. Pertumbuhan dan ulserasi dapat juga menyerang pembuluh darah
sekitar kolon yang menyebabkan hemoragi. Perforasi dapar terjadi dan
mengakibatkan pembentukan abses. Peritonitis dan/atau sepsis dapat
menimbulkan syok (Smeltzer & G.Bare, 2001).
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan pada tumor rektosigmoid diantaranya
(Kementerian Kesehatan RI, 2015)
1. Laboratorium
a) Hematologik : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis
b) Kimia darah
c) Tumor marker CEA
2. Pemeriksaan radiologi
Terdapat beberapa macam pemeriksaan penunjang yang terbukti efektif untuk
diagnosis karsinoma kolorektal, yaitu endoskopi, CT Scan, MRI, barium
enema, dan CEA (Sjamsuhidajat, 2004):
a) Endoskopi
Jenis endoskopi yang dapat digunakan adalah sigmoidosskopi rigid,
sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi. Sigmoidoskopi Rigid digunakan
untuk visualisasi kolon dan rektum sebenarnya kurang efektif
dibandingkan dengan sigmoidoskopi fleksibel (Sjamsuhidajat, 2004).
Sigmoidoskopi Fleksibel yaitu visualisasi langsung pada 40 hingga 60 cm
terminal rektum dan kolon sigmoid dapat dilakukan dengan persiapan
yang minim dan lebih nyaman bagi pasien. Enam puluh persen dari semua
tumor usus besar dapat terlihat secara langsung menggunakan alat ini
(Price & Wilson, 2006). Kolonoskopi adalah pemeriksaan endoskopi yang
sangat efektif dan sensitif dalam mendiagnosis karsinoma kolorektal.
Tingkat sensitivitas di dalam mendiagnosis adenokarsinoma atau polip
kolorektal adalah 95% (Sjamsuhidajat, 2004).
Pemeriksaan endoskopi yang dapat dilakukan:
Sigmoidoskopi rigid / Rektoskopi,
Sigmoidoskopi fleksibel (lebih efektif dibandingkan dengan
sigmoidoskopi rigid untuk visualisasi kolon dan rektum)
Kolonoskopi (Akurasi sama dengan kombinasi enema barium kontras
ganda + sigmoidoskopi fleksibel untuk KKR atau polip > 9 mm.
b) CT Scan dan MRI
CT Scan dan MRI digunakan untuk mendeteksi metastasis ke kelenjar
getah bening retroperitoneal dan metastasis ke hepar. Akurasi pembagian
stadium dengan menggunakan CT-Scan adalah 80% dibanding MRI 59%.
Untuk menilai metastase kelenjar getah bening akurasi CT-Scan adalah
65%, sedang MRI 39% (Sjamsuhidajat, 2004).
c) Barium Enema
Merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan untuk mendeteksi
gangguan kolon. Penambahan kontras-udara dengan radiografi enema
barium bersifat akurat hingga 90% pemeriksaan (Price & Wilson, 2006).
d) CEA (Carcinoembrionik Antigen) Screening
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel
yang masuk ke dalam peredaran darah dan digunakan sebagai marker
serologi untuk memonitor status karsinoma kolorektal dan mendeteksi
rekurensi dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan non
spesifik untuk bisa digunakan sebagai screening karsinoma kolorektal
(Kendal & Tao, 2013).
H. PENATALAKSANAAN
Beberapa penatalaksanaan pada umor rektosigmoid ialah (Smeltzer & G.Bare,
2001):
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi utama untuk kanker rektum. Beberapa
metode yang dipakai antara lain :
a. Transanal excision. Metode ini digunakan untuk lesi yang superfisial
pada pasein dengan derajat I atau II.
b. Low anterior resection (LAR). Metode ini digunakan untuk lesi yang
terletak di tengah atau 1/3 atas rektum.
c. Coloanal anastomosis
d. Abdominal perineal resection (APR)
2. Kemoterapi dan Radioterapi
Kemoterapi dan radioterapi biasa dilakukan pada pasien dengan
stadium Dukes C untuk menurunkan tingkat rekurensi, meningkatkan
tingkat keberhasilan operasi, dan memelihara keutuhan sfingter anus.
Radioterapi preoperatif dapat menurunkan angka rekurensi setelah
pembedahan dari 27% menjadi 11%, dan meningkatkan angka
keberhasilan jangka panjang dari 48% menjadi 58%. Konsensus The US
National Institutes of Health merekomendasikan kemoradioterapi
preoperatif untuk semua stadium II dan III.
3. Penyinaran (radioterapi) : Terapi radiasi menggunakan sinar gelombang
partikel berenergi tinggi misalnya sinar X atau sinar gamma untuk
merusak daerah yang ditumbuhi tumor dan merusak genetik sel tumor.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian keperawatan dengan masalah gastrointestinal menurut Smeltzer &
Bare (2013) sebagai berikut:
1. Kaji riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang : mendapatkan informasi tentang perasaan
lelah, adanya nyeri abdomen atau rektal dan karakteristiknya (lokasi,
fekuensi, durasi, berhubungan dengan makan atau defekasi), pola
eliminasi terdahulu dan saat ini, deskripsi tentang warna, bau, dan
konsistensi feses, mencakup adanya darah dan mucus, serta terapiobat saat
ini
b) Riwayat kesehatan masa lalu : mengenai penyakit usus inflamasi kronis
atau polip pada kolon, rektal atau sikmoid
c) Riwayat kesehatan keluarga : adanya riwayat penyakit pada bagian kolon
d) Kaji kebiasaan diet : mencakup masukan lemak dan/atau serat serta
jumlah konsumsi alkohol
e) Kaji riwayat penurunan berat badan
2. Pengkajian objektif
a) Auskultasi abdomen terhadap bising usus
b) Palpasi abdomenuntuk area nyeri tekan, distensi, dan massa padat
c) Inspeksi spesimen feses terhadap karakterdan adanya darah
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
3. Ansietas
C.RENCANA / INTERVENSI KEPERAWATAN
Rencana/intervensi keperawatan berdasarkan diagnosa yaitu sebagai berikut :
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Nyeri akut NOC NIC
Definisi : Pengalaman sensori dan Pain level Pain Management
emosional yang tidak menyenagkan Lakukan
Pain control
yang muncul akibat kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial Confort level pengkajian
atau digambarklan dalam hal nyeri secara
kerusakan sedemikian Kriteria Hasil :
komrehensif
rupa(internatonal Association for Mampu mengontrol
termasuk
the study of Pain : awitan yang tiba- nyeri (tahu penyebab
tiba atau lambat dari intensitas lokasi,
ringan hingga berat dengan akhir nyeri, mampu
karakteristk,
yang dapat diantisipasi atau menggunakan tehnk
durasi,
diprediksi dan berlangsung <6 nonfarmakologi
bulan frekuemsi,
untuk mengurangi
Batasan karakteristik : kualitas dan
Perubahan selera makan nyeri, mencari
faktor
Perubahan tekanan darah bantuan
Perubahan frekuensi jantung presipitasi
Perubahan Melaporkan bahwa
frekuensi Observasi
pernafasan nyeri berkurang
Laporan isyarat reaksi
dengan
Perilaku distraksi nonverbal dari
(mis.berjalan mondar- menggunakan
mandir mencari orang lain ketidaknyaman
dan atau aktvitas lain, manajemen nyeri
an
aktivitas yang berulang) Mampu mengenali
Sikap melindungi area nyeri Gunakan
nyeri (skala,
Dilatasi pupil tekhnik
intensitas, frekuensi
komunikasi
dan tanda nyeri)
teraupetik
Menyatakan rasa
untuk
nyaman setelah nyeri mengatahui
berkurang pengalaman
nyeri pasien
Kaji kultur
yang
mempengaruhi
respon nyeri
Evaluasi
bersama pasien
dan tim
kesehatan lain
tentang
ketidaefektifan
kontrol nyeri
masa lampau
Kontrol
lingkungan
yang dapat
mempengaruhi
nyeri seperti.
Suhu ruangan,
pencahayaan
dan kebisingan
Kurangi faktor
presipitasi
nyeri
Kaji tipe dan
sumber nyeri
untuk
menentukan
intervensi
Berikan
analgetik untuk
mengurang
nyer i
Ajarkan tehnik
nonfarmakolog
i
Tingkatkan
istirahat
Analgesik
Administration
Tentukan
lokasi,
karakteristik,
kualitas dan
derajat nyeri
sebelum
pemberian
analgetik
Cek instruksi
dokter tentang
jenis obat,
dosis dan
frekuesni
Cek riwayat
alergi
Pilih analgesik
yang
diperlukan atau
kombinas dari
analgesik
ketika
pemberian
lebih dari satu
Tentukan
pilihan
analgesik
tergantung tipe
dan beratnya
nyeri
Pilih rute
pemberian
secara IV, IM
untuk
pengobatan
nyeri secara
teratur
2 Ketidakseimbangan nutrisi NOC NIC
kurang dari kebutuhan tubuh
Nutritonal status : Nutrition
Definisi : asupan nutrisi tidak
Nutritional status : management
cukup untuk memenuhi kebutuhan
food and fluid
metabolic Kaji adanya
Intake
Batasan karakteristik alergi makanan
Kram abdomen Nutritional status : Kolaborasi
Nyeri abdomen nutrient intake dengan ahli
Menghindari makanan Weight control gizi untuk
Berat badan 20% atau lebih Kriteria Hasil : menentukan
dibawah berat badan ideal Adanya peningkatan numlah kalori
Sherwood, L. (2014). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (8 ed.). Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & G.Bare, B. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth (8 ed.). Jakarta: EGC.