Anda di halaman 1dari 29

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus:

PERFORASI GASTER

Oleh:

Ezra Hans Soputra, S.Ked


04054821820094

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Periode 30 April - 9 Juli 2018

Muara Enim, Juni 2018

dr. Yustina, Sp.B

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................................... ii


DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
BAB I .................................................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................. 1
BAB II ................................................................................................................................ 2
2.1. Identifikasi ......................................................................................................... 2
2.2. Anamnesis .......................................................................................................... 2
2.3. Pemeriksaan Fisik ............................................................................................. 3
2.4. Pemeriksaan Penunjang ................................................................................... 4
2.5. Pemeriksaan Anjuran ....................................................................................... 5
2.6. Diagnosis Banding ............................................................................................. 5
2.7. Diagnosis Kerja ................................................................................................. 5
2.8. Tatalaksana ....................................................................................................... 5
2.9. Prognosis ............................................................................................................ 5
BAB III............................................................................................................................... 6
3.1. Landasan Teori ................................................................................................. 6
3.1.1. Anatomi dan Fisiologi Lambung ............................................................. 6
3.2. Perforasi Gaster .............................................................................................. 10
3.2.1. Definisi ..................................................................................................... 10
3.2.2. Etiologi dan Faktor Resiko..................................................................... 11
3.2.3. Epidemiologi ............................................................................................ 12
3.2.4. Klasifikasi ................................................................................................ 13
3.2.5. Patofisiologi ............................................................................................. 13
3.2.6. Gejala Klinis ............................................................................................ 14
3.2.7. Penegakan Diagnosis............................................................................... 15
3.2.8. Pemeriksaan Penunjang ......................................................................... 15
3.2.9. Diagnosis Banding ................................................................................... 16
3.2.10. Tatalaksana ............................................................................................. 17
3.2.11. Komplikasi ............................................................................................... 18
3.2.12. Prognosis .................................................................................................. 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Perforasi ulkus peptikum adalah suatu defek mukosa atau submukosa
berbatas tegas menembus lapisan muskularis hingga lapisan serosa mukosa
disebabkan karena ketidakseimbangan antara faktor agresif dengan faktor
pelindung mukosa atau terputusnya kontinuitas/integrasi mukosa (Berardi dan
Lynda 2005; Tarigan, 2006; Akil, 2006). Menurut Kin Tong Chung pada tahun
2017, insiden kejadian ulkus peptikum sekitar 1,5-3% dan prevalensi pasien ulkus
peptikum mengalami perforasi sekitar 5%. Berdasarkan lokasi perforasi, perforasi
gaster lebih banyak terjadi (82,8%) diikuti perforasi duodenal (14,3%) dan perforasi
pylori (2,9%) (Sondashi et al., 2011).
Penyebab utama dari perforasi ulkus peptikum adalah penggunaan obat anti-
inflamasi nonsteroid (NSAID), merokok, Helicobacter pylori dan diet tinggi garam
(Saverio et al., 2014). Penyebab lain dari gastroduodenal perforasi adalah trauma,
neoplasma, dan benda asing korosif. Sekitar 27-28% kasus trauma yang
berhubungan kasus keganasan/malignancy mengalami komplikasi perforasi karena
adanya obstruksi meningkatkan tekanan intralumen dan respon dari kemoterapi
tumor transmural (Saverio et al., 2014).
Perforasi akut mungkin merupakan gejala pertama daripada ulkus peptik dan
kasus mortilitas pada orang tua dapat mencapai sehingga 20 persen. Tanda dan
gejala klasik seperti nyeri epigastrium yang berat, rigiditas seperti papan (board-
like rigidity) serta adanya udara bebas di bawah diafragma pada foto toraks, selalu
mengarah kepada 80 % diagnosis pada pasien. Namun, tidak semua kasus perforasi
kelihatan jelas gejalanya.
Apabila tindakan operasi dan pemberian antibiotik berspektrum luas cepat
dilakukan maka prognosisnya dubia ad bonam. Sedangkan bila diagnosis, tindakan,
dan pemberian antibiotik terlambat dilakukan maka prognosisnya menjadi dubia ad
malam. Hasil terapi meningkat dengan diagnosis dan penatalaksanaan dini.
Peran dokter dalam menegakkan kasus peritonitis sangat penting sebagai
langkah awal untuk menentukan tatalaksana. Hal inilah yang mendorong penulis
membahas kasus ini sebagai tambahan informasi untuk mengidentifikasi dan
menegakkan diagnosis perforasi gaster serta menentukan tatalaksana sehingga
prognosis menjadi lebih baik.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identifikasi
Nama : Ny. Ning Minu
Usia : 78 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Alamat : Penanggiran
Nomor Rek. Med : 235785
MRS : 10 Juni 2018
2.2. Anamnesis
Autoanamnesis dan Alloanamnesis dengan pasien dan anak pasien pada hari
Minggu tanggal 10 Juni 2018 pukul 17.00 WIB

Keluhan Utama: Nyeri Seluruh Perut


Keluhan Tambahan: Mual, Lemas, Tidak Nafsu Makan

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang dengan keluhan nyeri seluruh lapangan perut kurang lebih
1 hari yang lalu yang semakin bertambah hebat. Nyeri muncul tiba-tiba dan
terus menerus terutama di ulu hati. Pasien menyangkal adanya demam, mual
(+), muntah (-), pusing (-), sesak nafas (-), lemas (+). Pasien juga merasa tidak
nafsu makan karena merasa mual. Pasien mengaku masih dapat BAB dan
mengatakan warna seperti biasa. BAK normal. Pasien kemudian dibawa ke RS.
H.M Rabaim.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat sakit maag yang sudah lama dan tidak diketahui sejak kapan
pastinya
- Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal
- Riwayat Hipertensi disangkal
- Riwayat Diabetes Melitus disangkal

2
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
- Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga disangkal

Riwayat Pengobatan
- Riwayat penggunaan obat-obat maag (+)
- Riwayat operasi disangkal

Riwayat Trauma
Riwayat Trauma disangkal

2.3.Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 150/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 102 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 25 x/menit
Suhu : 37,0 °C

Keadaan Spesifik
Kepala
- Bentuk : Simetris, Normosefali
- Rambut : Dalam batas normal, tidak mudah di cabut
- Mata : Pupil isokor (+), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-
/-)
- Hidung : Sekret (-), napas cuping hidung (-)
- Telinga : Sekret (-)
- Mulut : Sianosis (-), edema (-), mulut kering (-), cheilitis (-)
- Tenggorokan : Faring hiperemis (-), Tonsil T1-T1, uvula di tengah
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks
Paru-paru
- Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-/-)
- Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri

3
- Perkusi : Sonor
- Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-).

Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : Cembung
- Auskultasi : Bising usus menghilang
- Palpasi : Tegang, masa (-),ballotement (-/-),
defans muskuler (+), nyeri tekan (+)
- Perkusi : Hipertimpani, pekak hati menghilang, nyeri ketok (+),
shifting dullness (-)

Genitalia : Dalam Batas Normal


Ekstremitas : Akral dingin (+/+), CRT >2 detik
Rectal Toucher : Tidak Dilakukan

2.4. Pemeriksaan Penunjang


- Pemeriksaan Laboratorium (Darah Rutin) (10 Juni 2018)
Parameter Nilai Normal Hasil Interpretasi
Hb 12-16 g/dL 6,2 g/dL Menurun
Leukosit 5 – 10.103/µL 9,64.103/µL Normal
Eritrosit 4 – 5,5.106/µL 2,90.106/µL Menurun
Trombosit 150 – 450.103/ 459.103/µL Meningkat
µL
Golongan darah A+

4
2.5. Pemeriksaan Anjuran
- Pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi
- Foto thoraks AP duduk

2.6. Diagnosis Banding


- Pneumoperitonium ec. Susp. Perforasi Gaster
- Pneumoperitonium ec. Susp. Perforasi Usus

2.7. Diagnosis Kerja


Pneumoperitonium ec susp. Perforasi Gaster

2.8. Tatalaksana
Nonmedikamentosa
- Puasa
- Pasang NGT
- Pasang kateter
- Edukasi
 Memberikan informasi kepada pasien mengenai penyakit
 Memberikan informasi kepada pasien mengenai komplikasi
 Memberikan informasi kepada pasien mengenai rencana terapi
Medikamentosa
- IVFD
- Antibiotik
- Proton pump inhibitor
- Antasid
Operatif
Pro Laparotomi Eksplorasi

2.9. Prognosis
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanationam : dubia

5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Landasan Teori
3.1.1. Anatomi dan Fisiologi Lambung

Gambar 1. Anatomi Lambung (Tortora & Derrickson, 2009).


Gaster (lambung) merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar
terletak di bagian atas abdomen. Secara kasar lambung berbentuk seperti huruf J,
mempunyai dua lubang (ostium cardiacum dan ostium pyloricum), dua curvatura
(curvatura major dan curvatura minor), dan dua permukaan (facies anterior dan
facies posterior). Gaster dibagi dalam bagian-bagian berikut:
1. Fundus: berbentuk kubah, menonjol ke atas, dan terletak di sebelah kiri
ostium cardiacum. Biasanya fundus penuh dengan udara.
2. Corpus: terbentang dari ostium cardiacum sampai incisura angularis
(lekukan yang selalu ada pada bagian bawah curvatura minor).
3. Antrum Pyloricum: terbentang dari incisura angularis sampai pylorus.
4. Pylorus: bagian lambung yang berbentuk paling tubular. Dinding ototnya
yang tebal membentuk sphincter pyloricus. Rongga pylorus dinamakan
canalis pyloricus (Snell, 2007).
Curvatura minor membentuk pinggir kanan gaster dan dihubungkan ke hepar
oleh omentum minus. Curvatura major jauh lebih panjang dari curvatura minor dan
terbentang dari kiri ostium cardiacum melalui kubah fundus dan sepanjang pinggir
kiri gaster. Omentum (ligamentum) gastrolienale terbentang dari bagian atas

6
curvatura major sampai ke lien. Omentum majus terbentang dari bagian bawah
curvatura major sampai ke colon transversum (Snell, 2007).
Oesophagus memasuki gaster di ostium cardiacum. Ostium pyloricum
dibentuk oleh canalis pyloricus. Tunica muscularis stratum circulare yang meliputi
gaster jauh lebih tebal di daerah ini dan membentuk sphincter pyloricum secara
anatomis dan fisiologis. Batas gaster (lambung) bagian anterior adalah arcus
costalis sinister, dinding anterior abdomen, diafragma, pleura sinistra, basis
pulmonis sinistrae, pericardium, lobus quadratus dan lobus hepatis sinister. Pada
bagian posterior gaster (lambung) dibatasi oleh omentum minus, pankreas (corpus
dan cauda), arteri lienalis, diafragma, glandula suprarenalis sinistra, bagian atas ren
sinister, dan mesocolon transversum (Snell, 2007).

Gambar 2. Arteri pada lambung (Moore et al., 2010).


Gaster (lambung) diperdarahi oleh pembuluh arteri dan vena. Arteri gastrica
dextra dan sinistra mengalirkan darah ke curvatura minor. Arteri gastroepiploica
dextra dan sinistra mengalirkan darah ke curvatura major. Arteri gastricae breves
berasal dari arteri lienalis mengalirkan darah ke fundus (Snell, 2007).

Gambar 3. Vena pada lambung (Moore et al., 2010).

7
Vena pada gaster (lambung) mengalirkan darah ke dalam sirkulasi portal.
Vena gastrica dextra dan sinistra bermuara ke vena porta. Vena gastricae brevis
dan vena gastroepiploica sinistra bermuara ke dalam vena lienalis dan vena
gastroepiploica dextra bermuara ke dalam vena mesenterica superior (Snell,
2007).

Gambar 4. Aliran Limfe pada Lambung ( Clinically Oriented Anatomy,


2005).
Pembuluh limfe pada lambung (gaster) mengikuti perjalanan arteri menuju
ke nodi gastrici sinistri dan dextri, nodi gastroepiploici sinistri dan dextri, serta
nodi gastrici breves. Semua cairan limfe dari gaster akhirnya berjalan ke nodi
coeliaci (Snell, 2007).

Gambar 5. Persyarafan pada Lambung (Guyton dan Hall, 2011).


Lambung (gaster) dipersyarafi oleh serabut saraf simpatik yang berasal dari
plexus coeliacus dan serabut parasimpatik dari nervi vagi (Snell, 2007).
Lambung (gaster) secara fisiologis mempunyai dua fungsi yaitu fungsi
motorik dan fungsi sekresi. Fungsi motorik lambung terdiri dari tiga proses yakni:

8
1. Penyimpanan sejumlah besar makanan sampai makanan dapat diproses di
dalam lambung, duodenum, dan traktus intestinal bawah;
2. Pencampuran makanan dengan sekresi dari lambung sampai membentuk
suatu campuran setengah cair yang disebut kimus; dan
3. Pengosongan kimus dengan lambat dari lambung ke dalam usus halus
pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorpsi yang tepat
oleh usus halus (Guyton, 2011).
Proses penyimpanan diawali dengan masuknya makanan ke dalam lambung
dan terjadi peregangan pada lambung. Peregangan lambung menimbulkan “refleks
vasovagal” yang ditransmisikan ke batang otak dan kemudian kembali ke lambung
untuk mengurangi tonus di dalam otot dinding korpus lambung. Dinding korpus
lambung akan menonjol keluar secara progresif, menampung jumlah makanan
sampai suatu batas saat lambung berelaksasi sempurna, yaitu 0,8-1,5 L (Guyton,
2011).
Proses pencampuran terjadi selama lambung berisi makanan dan tercampur
oleh getah asam lambung yang disekresi oleh kelenjar gastrik pada hampir seluruh
dinding korpus lambung kecuali sepanjang garis sempit curvatura minor. Proses ini
diawali dengan terbentuk gelombang konstriktor peristaltik/gelombang pencampur
lemah di bagian tengah sampai ke arah antrum sekitar satu kali setiap 15 sampai 20
detik. Saat gelombang konstriktor menjadi sangat kuat, potensial aksi peristaltik
akan membentuk cincin konstriktor dan mendorong isi antrum di bawah tekanan ke
arah pilorus. Otot pilorus akan berkontraksi menghalangi pengosongan setiap
gelombang peristaltik mendekati pilorus. Dua mekanisme kerja pencampuran pada
lambung dengan gerakan cincin konstriktif peristaltik dan kerja memeras arah
terbalik, disebut “retropulsi” (Guyton, 2011).
Proses pengosongan lambung ditimbulkan oleh kontraksi peristaltik kuat di
dalam antrum. Pada saat yang bersamaan pengosongan dilawan oleh berbagai
tingkat resistensi terhadap berlalunya kimus di pilorus. Pengosongan hanya diatur
dalam derajat sedang oleh faktor-faktor lambung seperti derajat pengisian lambung
dan efek perangsangan gastrin pada peristaltik lambung. Kontrol pengosongan
lambung terutama terletak pada sinyal umpan balik penghambat enterogastrik dan
umpan balik hormonal oleh CCK. Mekanisme penghambat umpan balik terjadi saat
kimus di usus halus sudah terlalu banyak, kimus bersifat sangat asam karena
mengandung banyak protein atau lemak yang belum dicerna, bersifat hipotonik atau
hipertonik, atau mengiritasi. Dalam keadaan ini, kecepatan pengosongan lambung
dibatasi sampai sejumlah kimus dapat diproses di dalam usus halus (Guyton, 2011).

9
Gambar 6. Kelenjar Oksintik pada lambung (Harison, 2008).
Fungsi kedua yaitu sebagai fungsi sekresi. Kelenjar oksintik dan kelenjar
pilorus merupakan kelenjar tubular pada mukosa lambung. Kelenjar oksintik
terletak pada bagian dalam korpus dan fundus, meliputi 80% bagian proksimal
lambung. Fungsi dari kelenjar oksintik adalah mensekresi asam hidroklorida,
pepsinogen, faktor intrinsik, dan mukus. Kelenjar pilorus terletak pada bagian
antrum lambung, 20% bagian distal lambung. Fungsi dari kelenjar pilorus terutama
mensekresi mukus untuk melindungi mukosa pilorus dari asam lambung dan
mensekresi hormon gastrin (Guyton, 2011).
Fase sekresi lambung dibagi menjadi tiga fase yakni fase sefalik, fase gastrik
dan fase intestinal. Pada fase sefalik, sekresi lambung berlangsung bahkan sebelum
makanan masuk ke dalam lambung, terutama sewaktu makanan sedang dikonsumsi.
Fase sefalik timbul akibat melihat, membaui, membayangkan, atau mencicipi
makanan. Pada fase gastrik, saat makanan masuk ke lambung, refleks vasovagal
akan ditransmisikan ke otak dan kembali ke lambung menimbulkan refleks enterik
setempat dan terjadi mekanisme pembentukan hormon gastrin. Pada fase intestinal,
keberadaan makanan di bagian atas usus halus, khususnya pada duodenum akan
terus mengakibatkan lambung mensekresi sejumlah kecil getah pencernaan akibat
sejumlah kecil gastrin dilepaskan oleh mukosa duodenum (Guyton, 2011).

3.2.Perforasi Gaster
3.2.1. Definisi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perforasi adalah pembuatan lubang
pada kertas, kartu, dan sebagainya; pelubangan; lubang kecil (pada kertas, karton,
dan sebagainya). Menurut Kamus Terminologi Medis tahun 2007, perforasi adalah
lubang yang melewati jaringan atau membran secara utuh. Jadi, Perforasi gaster
adalah pecahnya atau terbentuknya lubang pada gaster yang disebabkan oleh faktor
trauma dan nontrauma.

10
3.2.2. Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi berdasarkan trauma maupun nontrauma:
Non Trauma a. Akibat volvulus gaster karena overdistensi dan
iskemia
b. Spontan pada bayi baru lahir yang terimplikasi syok
dan stress ulcer.
c. Ingesti aspirin, anti inflamasi non steroid, dan steroid :
terutama pada pasien usia lanjut.
d. Adanya faktor predisposisi: termasuk ulkus peptik
e. Perforasi oleh malignansi intraabdomen atau limfoma
f. Benda asing (misalnya jarum pentul) dapat
menyebabkan perforasi esofagus, gaster, atau usus
dengan infeksi intraabdomen, peritonitis, dan sepsis.
Trauma a. Trauma iatrogenik setelah pemasangan pipa
nasogastrik saat endoskopi.
b. Luka penetrasi ke dada bagian bawah atau abdomen
(misalnya tusukan pisau)
c. Trauma tumpul pada gaster : trauma seperti ini lebih
umum pada anak daripada dewasa dan termasuk
trauma yang berhubungan dengan pemasangan alat,
cedera gagang kemudi sepeda, dan sindrom sabuk
pengaman.

Penyebab umum terjadinya tukak lambung adalah difusi balik asam-pepsin


melalui mukosa yang terluka dan menjadi tukak karena gastritis. Faktor yang turut
berperan menyebabkan tukak lambung adalah infeksi bakteri Helicobacter pylori,
penggunaan obat (alkohol, steroid, nikotin, aspirin, dan NSAID) dan makanan yang
mengiritasi lambung, seperti cabai dan merica (Sjamsuhidajat, 2010).
Prevalensi H. Pylori sekitar 50%-80% pada pasien perforasi duodenal.
Penyakit ulkus peptikum berulang banyak terjadi pada pasien dengan infeksi H.
pylori. Risiko infeksi H. pylori berulang signifikan dengan penurunan terapi
penghambat pompa proton, tetapi penghambat pompa proton hanya berhasil pada
pasien ulkus pengguna NSAID (Kin Tong Chung, Vishalkumar G Shelat, 2017).

11
Penggunaan NSAID sebagai analgesik, anti-inflamasi, dan antipiretik banyak
digunakan di masyarakat luas. NSAID diketahui dapat meningkatkan risiko
terjadinya perforasi ulkus peptikum. Seperempat pengguna NSAID jangka panjang
mengakibatkan terbentuknya ulkus peptikum dan 2-4% akan mengalami
perdarahan atau perforasi. Interaksi obat steroid dan penghambat pengambilan
serotonin selektif juga dapat meningkatkan risiko penyakit ulkus peptikum
sementara penghambat cyclo-oxygenase-2 selektif sedikit yang berhubungan
dengan penyakit ulkus peptikum (Chung KT, 2017).
Tembakau dapat menghambat sekresi bikarbonat pankreas sehingga dapat
meningkatkan keasaman duodenum dan menghambat kesembuhan pasien ulkus
duodenum. Penelitian meta analisis menyatakan 23% pasien ulkus peptikum
memiliki hubungan dengan kebiasaan merokok tetapi pada beberapa studi tidak
ditemukan perbedaan pengguna tembakau pada pasien dengan H. pylori negatif, H.
pylori positif, dan ulkus duodenum non-NSAID yang mengindikasi pembatasan
dalam kebiasaan merokok (Kin Tong Chung, Vishalkumar G Shelat, 2017).
Penyebab lain dari timbulnya perforasi gaster adalah konsumsi alkohol
berlebihan dan peningkatan produksi asam seperti pada gastrinoma dan sindrom
Zollinger-Ellison (ZES). Konsumsi alkohol dapat merusak mukosa gaster dan
menstimulasi sekresi gastrin tetapi tidak ada bukti bahwa alkohol dapat
menyebabkan ulkus peptikum. Pada sindrom Zollinger-Ellison (ZES), gastrin
mensekresi tumor pada pankreas dan menstimulasi sel parietal pada lambung untuk
meningkatkan keasaman. Peningkatan asam pada lambung menyebabkan ulserasi
mukosa gastrointestinal (Chung KT, 2017).

3.2.3. Epidemiologi
Menurut Kin Tong Chung pada tahun 2017, insiden kejadian ulkus peptikum
sekitar 1,5-3% dan prevalensi pasien ulkus peptikum mengalami perforasi sekitar
5%. Berdasarkan lokasi perforasi, perforasi gaster lebih banyak terjadi (82,8%)
diikuti perforasi duodenal (14,3%) dan perforasi pylori (2,9%) (Sondashi et al.,
2011).
Anand (2012) menyatakan bahwa prevalensi munculnya perforasi ulkus
peptikum berkisar 11-14% pada pria dan 8-11% pada wanita. Di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang, 61 pasien perforasi gaster nontrauma dari bulan 1
Juli 2012 sampai 30 Juni 2014 telah ditatalaksana di subbagian bedah digestif
departemen bedah terdiri dari 44 orang laki-laki dan 17 orang perempuan. Sebanyak
14 orang pada tahun 2012 (bulan Juli sampai Desember), 34 orang pada tahun 2013

12
(bulan Januari sampai Desember) dan 13 orang pada tahun 2014 (bulan Januari
sampai Juni) (Billy, 2015).
3.2.4. Klasifikasi
Berdasarkan gejala, keadaan umum, dan pemeriksaan fisik dapat dibagi
menjadi 3 tahap, yakni (Sujono Hadi, 2013):
1. Tahap I
Penderita mengeluh nyeri hebat dan perut tegang disebabkan karena cairan
lambung dan makanan masuk ke dalam kavum peritonii, sehingga memberikan
rangsangan pada peritoneum. Disamping itu penderita mengeluh nausea dan
vomitus. Kulit penderita menjadi dingin, walaupun suhu normal, frekuensi inspirasi
biasanya bertambah dangkal, pernafasan kostal nadi normal atau bertambah cepat.
Tensi biasanya normal tetapi jika sistole di bawah 100 mmHg, prognosis pasien
buruk. Auskultasi di abdomen tidak ditemukan bising usus (Sujono Hadi, 2013).
2. Tahap II
Terjadi 2-6 jam setelah perforasi. Nyerinya bertambah berat, kulit panas,
dinding abdomen keras seperti papan (boardlike abdominal regidity), disertai
dengan pernafasan kostal (Sujono Hadi, 2013).
3. Tahap III
Peritonitis generalisata terjadi 6-12 jam setelah perforasi karena invasi bakteri
ke dalam kavum peritonii. Keluhan dari penderita akan bertambah berat, perut
bertambah tegang, nyeri, suhu meningkat, takikardi, pernafasan bertambah cepat
dan dangkat (Sujono Hadi, 2013).
3.2.5. Patofisiologi
Timbulnya tukak lambung berhubungan dengan sekresi asam lambung yang
berlebihan. Asam lambung dapat dijumpai di bagian bawah esofagus, lambung dan
duodenum bagian atas (first portion = bulbus). hal ini terjadi dikarenakan bulbus
masih selalu menerima asam lambung beberapa cm ke jurusan anal, misalnya pada
pars desendens duodeni, asam empedu dan cairan pankreas dapat
meniadakan/menetralisir pekerjaan asam lambung, akibatnya tidak pernah atau
jarang orang menderita tukak (Sujono Hadi, 2013).
Destruksi lapisan mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam
patogenesis ulkus peptikum. Telah diketahui bahwa mukosa antrum lebih rentan
terhadap difusi balik dibandingkan dengan fundus. Selain itu, kadar asam
bikarbonat (penetral asam utama bagi duodenum dan pankreas untuk melindungi
mukosa) yang rendah dalam analisis lambung pada penderita ulkus peptikum
diduga disebabkan oleh meningkatnya difusi balik bukan disebabkan oleh

13
penurunan produksi asam bikarbonat (Doherty GM, 2010; Sherwood L, 2010;
Price, 2005).
Berdasarkan etiologi, perforasi dibagi menjadi perforasi trauma dan
nontrauma. Perforasi nontrauma terjadi karena adanya ketidakseimbangan faktor
ofensif dan defensif pada lambung yang menyebabkan ulkus pada bagian gaster.
Ketika ulkus menembus lapisan serosa dinding lambung terjadi perforasi pada
gaster. Perforasi trauma terjadi karena luka akibat trauma pada gaster menembus
lapisan serosa dinding lambung.
Normalnya, lambung relatif bebas dari bakteri karena tingkat keasamannya
tinggi. Apabila terjadi perforasi, asam lambung dapat mencapai rongga peritoneum
dan terjadilah peritonitis kimiawi. Apabila perforasi tidak segera ditangani, partikel
makanan dapat mencapai peritoneum dan menimbulkan peritonitis bakteri. Adanya
bakteri pada rongga peritoneum merangsang influks sel radang akut. Kemudian
terjadi inflamasi difusi pada omentum, organ dalam hipoksia memfasilitasi
pertumbuhan bakteri anaerob, mengganggu kemampuan granulosit untuk
membunuh bakteri, dan terjadi peningkatan degradasi sel. Jika dibiarkan dapat
terjadi sepsis, kegagalan multi organ, dan syok (Elita, 2014).
3.2.6. Gejala Klinis
Pada perforasi gaster, penderita akan merasa nyeri hebat seperti ditikam dan
timbulnya mendadak terutama di bagian epigastrium karena rangsangan
peritoneum oleh asam lambung, empedu, dan enzim pankreas. Cairan lambung
akan mengalir ke parakolika kanan, menimbulkan nyeri perut bagian kanan bawah,
kemudian menyebar ke seluruh perut. Pada fase awal belum ada infeksi atau biasa
dikenal dengan fase peritonitis kimia. Nyeri pada bahu terjadi karena rangsangan
peritoneum permukaan bawah diafragma. Reaksi peritoneum berupa pengenceran
zat asam akan mengurangi keluhan sementara sampai terjadi peritonitis bakteria
(Riwanto, 2005).
Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan pada defans muskular.
Pekak hati dapat hilang karena udara bebas dibawah diafragma. Peristaltik usus
menurun akibat kelumpuhan sementara usus. Jika terjadi peritonitis bakteri,
penderita akan mengalami takikardi, hipotensi, kenaikan suhu badan, dan tampak
letargi karena syok toksik (Riwanto, 2005).
Rangsangan peritonium juga menimbulkan nyeri pada setiap gerakan karena
pergeseran antarperitoneum. Nyeri subjektif dirasakan ketika penderita bergerak,
seperti berjalan, bernafas, menggerakkan badan, batuk, dan mengejan. Nyeri
objektif dapat dirasakan berupa nyeri ketika digerakkan seperti palpasi, tekanan
dilepaskan, colok dubur, tes psoas, dan tes obturator (Riwanto, 2005).

14
3.2.7. Penegakan Diagnosis
Pada pasien perforasi ulkus peptikum, cairan lambung masuk peritoneum
menyebabkan nyeri hebat mendadak. Pada awalnya pasien dapat melokalisir nyeri
waktu gejala pertama kali timbul. Cairan lambung akan menyebar ke seluruh
abdomen bagian atas hingga waktu tertentu menyebar ke seluruh abdomen. Hal ini
dapat menyebabkan pasien bernafas dalam atau sulit bergerak. Biasanya pasien
akan berbaring karena nyeri hebat dan bernafas dangkal tanpa menggerakkan
abdomen. Pada keadaan umum pasien ditemukan pucat, berkeringat, nadi cepat dan
hipotensi tetapi masih memiliki suhu tubuh normal (Michael Cotton, 2016).
Pada Pemeriksaan Fisik dilakukan inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi.
Pada inspeksi, abdomen tidak mengalami distensi/kembung. Jika selama enam jam
ditemukan tanda difusi peritonitis, pasien akan mengalami distensi/kembung pada
lambung. Pada auskultasi terdengar suara bising usus lemah bahkan hilang setelah
terjadi difusi peritonitis. Pada palpasi teraba abdomen keras (broadlike rigidity) dan
tanda peritonitis yakni kekakuan otot abdomen/defans muskular. Setelah 3-6 jam
dari onset pertama kali, rasa nyeri pasien akan berkurang seiring dengan rigiditas
atau kekakuan pada abdomen berkurang. Saat ini pasien merasa lebih baik (silent
interval). Pada perkusi terdengar bunyi timpani yang seharusnya pekak di
sepanjang permukaan hati karena udara masuk ke ruang antara hati dan dinding
abdomen (Michael Cotton, 2016).
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium
terutama hitung leukosit dan mengukur kadar Hb. Biasanya pada perforasi gaster
ditemukan leukositosis dan anemia. Pemeriksaan rontgen abdomen dilakukan
untuk mendeteksi adanya udara bebas subdiafragma, ligamen falsiformis dan batas
cairan-udara dengan melihat pada hasil rontgen berupa garis bayangan udara antara
diafragma dan hati atau lambung. Teknik foto rontgen abdomen yang digunakan
adalah posisi tegak atau duduk dan left lateral decubitus (LLD). Pemeriksaan
ultrasonografi (USG) maupun CT Scan juga dapat dilakukan untuk memastikan
apakah pasien mengalami perforasi dan perlu dilakukan operasi (Michael Cotton,
2016).
3.2.8. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Foto Polos Abdomen
Posisi erect
a. Sejumlah kecil udara bebas umumnya terlihat pertama di kuadran kanan
atas sebagai daerah radiolusen yang terletak di antara hemidiafragma
kanan dan hepar.

15
b. Volume sekecil 2 ml sudah dapat diidentifikasi.
c. Gas juga dapat dilihat di bawah hemidiafragma kiri.
d. Pasien harus dalam posisi tegak selama minimal 5 menit sebelum
diambil untuk memungkinkan udara bebas untuk menumpuk di bawah
diafragma.

Gambar 4. Foto polos abdomen posisi erect. Tampak udara bebas pada
subdiafragma kanan (tanda bintang putih)

Posisi Dekubitus
Pada pasien tidak mungkin dapat mempertahankan posisi tegak cukup
lama. Dalam posisi ini, udara bebas akan terletak antara aspek lateral
hepar dan diafragma.
3.2.9. Diagnosis Banding
Perforasi gaster didiagnosis dengan penyakit akut abdomen lainnya, yakni:
perforasi gaster, pankreatitis, appendisitis, dan perforasi oesophageal. Diagnosis
akut abdomen yang sulit ditegakkan adalah pankreatitis dan appendisitis karena
memiliki perbedaan akan kebutuhan operasi dan perbedaan insisi. Pada perforasi
ditemukan rasa nyeri yang menjalar ke bahu, biasanya pada sebelah kanan pasien,
tanpa demam (berkembang terakhir pada perforasi), syok (kekakuan general pada
appendisitis tidak terjadi syok), dan aspirasi cairan lambung >11. Pada pankreatitis
didapatkan nyeri menjalar ke punggung, tidak ditemukan demam, syok, dan riwayat
penggunaan alkohol. Pada appendisitis ditemukan nyeri pada pusat abdomen yang
berpindah ke fossa iliaca kanan, demam, dan terdapat sedikit aspirasi cairan
lambung berupa mukoid atau bercampur dengan cairan empedu. Pada perforasi
oesophageal, pasien muntah tanpa alasan dengan rasa nyeri hebat pada epigastrik
dan retrosternal bawah, atau menyebar ke kedua bahu (Michael Cotton, 2016).

16
Kanker lambung juga merupakan salah satu diagnosis banding dari perforasi
gaster dengan gejala nyeri epigastrium, rasa berat dan kembung. Pasien akan
merasa cepat kenyang, timbul anoreksia, penurunan berat badan, anemia karena
kehilangan darah kronik (jarang ditemukan), perdarahan masif dan disfagia. Nyeri
perut, hepatomegali, asites, teraba masa pada colok dubur dan pembesaran pada
kelenjar limfa supraklavikula menandakan kanker sudah menyebar. Pada pasien
seringkali juga ditemukan keadaan perforasi gaster sebagai manifestasi lanjutan
dari tumor ganas pada lambung (Sjamsuhidajat, 2010).
3.2.10. Tatalaksana
Tatalaksana awal pasien perforasi gaster adalah menstabilkan ABC (Airway,
Breathing, Circulation) dan mengatasi syok. Dalam mengatasi syok, kita perlu
memberikan cairan kristaloid dan koloid sampai target perbaikan tercapai. Terapi
cairan yang diberikan berupa infus 1-3L ring laktat dengan cepat untuk mengoreksi
dehidrasi atau hipotensi. Jika pasien datang >12 jam sejak pasien mengalami
perforasi, infus diberikan lebih banyak. Akses intravena, terapi cairan, puasa,
medikamentosa (antibiotik dan analgesik), pemasangan kateter dan NGT perlu
diperhatikan pada pasien perforasi gaster. Aspirasi cairan lambung perlu dilakukan
setidaknya setengah dari jumlah cairan yang berada di kavitas peritoneum sebelum
operasi. Transfusi darah tidak dianjurkan kecuali pasien mengalami perdarahan
walaupun sebenarnya sudah jarang ditemukan. Premedikasi pasien dengan morfin
IV (Michael Cotton, 2016).
Menurut NHS tahun 2014 tatalaksana laparatomi segera dilakukan sesudah
penilaian dan resusitasi. Pasien dinilai keadaan umumnya dengan Early Warning
Score (denyut nadi, temperatur, tekanan darah sistolik, frekuensi pernafasan,
saturasi oksigen, kesadaran, dan suplementasi oksigen) dalam waktu 30 menit sejak
masuk rumah sakit. Resusitasi cairan segera dilakukan dengan pemberian laktat
secara arteri. Antibiotik segera diberikan dalam waktu 1 jam sejak masuk rumah
sakit pada pasien sepsis atau suspek peritonitis/perforasi. CT scan segera dilakukan
dalam waktu 2 jam sejak permintaan dan dalam waktu 1 jam secara verbal
dilaporkan serta dikonsultasikan dengan konsultan bedah (NHS, 2014). Operasi
dilakukan dalam waktu enam jam sejak pasien masuk rumah sakit untuk kasus
emergensi atau segera seperti pada kasus perforasi gaster. Jika pasien menunda
operasi hingga dua belas jam, prognosis pasien jelek. Jika pasien survived, 50%
pasien membutuhkan perawatan medis ulkus peptikum lebih lanjut dan <10%
pasien dianjurkan untuk dilakukan operasi lagi (Michael Cotton, 2016).
John Mikulicz-Radecki (1850-1905) adalah ahli bedah pertama yang
melakukan operasi penutupan perforasi ulkus peptikum dengan prosedur penutupan

17
perforasi sederhana. Setiap dokter yang menghadapi perforasi gaster harus
melakukan laparatomi, mencari perforasi, dan mencegah inflamasi dengan cara
membersihkan rongga abdomen dengan hati-hati (Prabu, Shivani, 2014).
Operasi untuk perforasi gaster dapat dilakukan secara laparaskopi dan
pembedahan terbuka dengan hasil yang sama dengan sedikit komplikasi dari teknik
laparaskopi berupa infeksi luka operasi. Menurut Michael Cotton tahun 2016
laparatomi segera memiliki tujuan untuk menutup lubang pada duodenum atau
lambung dan untuk mengeluarkan cairan pada kavitas peritoneum. Saat ini metode
laparaskopi lebih sering dilakukan pada kasus perforasi gaster. Beberapa metode
pembedahan untuk terapi perforasi ulkus peptikum diantaranya:
1. Omentoplasty Simple (Mikulitz 1887).
2. Penjahitan perforasi dengan vagotomy, biasanya vagotomy gaster
proksimal (PGV).
3. Trunkal vagotomy dengan gastrienterik anastomosis jika terjadi stenosis.
4. Eksisi tepi perforasi tanpa vagotomy (pada pasien dengan risiko rendah).
5. Gastektomi parsial pada pasien dengan risiko operasi yang rendah
Teknik-teknik tersebut dapat dilakukan pada perforasi gaster dan duodenum
dengan atau tanpa stenosis (Dordevic, et al, 2011).
3.2.11. Komplikasi
1. Kegagalan Luka Operasi
Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap lapisan
luka operasi) dapat terjadi segera atau lambat. Faktor-faktor berikut ini
dihubungkan dengan kegagalan luka operasi:
a. Malnutrisi
b. Sepsis
c. Uremia
d. Diabetes mellitus
e. Terapi kortikosteroid
f. Obesitas
g. Batuk yang berat
h. Hematoma (dengan atau tanpa infeksi)
i. Abses abdominal terlokalisasi
j. Kegagalan multiorgan
2. Syok Septik
Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang menimbulkan
manifestasi sistemik, seperti kekakuan, demam, hipotermi (pada
septikemia gram negatif dengan endotoksemia), leukositosis atau

18
leukopenia (septikemia berat), takikardi, dan kolaps sirkuler. Syok septik
dihubungkan dengan kombinasi hal-hal berikut:
a. Hilangnya tonus vasomotor
b. Peningkatan permeabilitas kapiler
c. Depresi miokardial
d. Pemakaian leukosit dan trombosit
e. Penyebaran substansi vasoaktif kuat, seperti histamin, serotonin, dan
prostaglandin, menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
f. Aktivasi komplemen dan kerusakan endotel kapiler
3.2.12. Prognosis
Sistem skoring yang digunakan untuk memprediksi mortalitas dan morbiditas
dari perforasi ulkus peptikum terutama perforasi gaster yakni Boey score, Manheim
Peritonitis Index (MPI), American Society of Anesthesiologist score, dan Acute
Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE II) (Prabhu, Shivani, 2014).
Jika tindakan operasi dan pemberian antibiotik spektrum luas cepat dilakukan,
prognosis pasien dubia ad bonam (Elita, 2014).
Angka prediksi klinis atau sistem skoring yang telah digunakan untuk
memprediksi angka mortalitas perforasi gaster perioperatif yakni Boey score,
Manheim Peritonitis Index (MPI), American Society if Anesthesiologist (ASA)
Score, dan Acute Physiology and Chrinoc Health Evaluation (APACHE II) (Prabhu,
Shivani, 2004).

Tabel 1. Kriteria penilaian Boey’s Score

Sumber: Lohsiriwat V, Prapasrivorakul S, Lohsiriwat D, 2009.

Boey’s score merupakan hasil dari penelitian Boey tahun 1982 dan divalidasi
pada tahun 1987. Sistem skoring boey adalah sistem skoring yang umum digunakan
karena simpel dan memiliki nilai prediksi tinggi untuk menilai mortalitas dan
morbiditas pada kasus perforasi ulkus peptikum (Arichi C, et al., 2007, Lohsiriwat
V, et al., 2009).

19
Tabel 2. Kriteria penilaian Manheim Peritonitis Index (MPI)

Sumber: Wacha H, Linder MM, 1987.

Kriteria Manheim Peritonitis Index dikembangkan oleh Wacha dan Linder


tahun 1983 berdasarkan penelitian retrospektif dari 1253 pasien peritonitis dengan
20 kemungkinan faktor risiko. Jika skor < 15 tingkat mortalitasnya 0%; Jika skor
berkisar antara 16-25, tingkat mortalitasnya 4%; dan jika skor > 25 tingkat
mortalitasnya 82,5% (Nichakankitti et al., 2016).

20
Tabel 3. Kriteria penilaian American Society of Anesthesiologist (ASA)
Score

Sumber: Sjamsuhidajat, de Jong, 2010.


American Society of Anesthesiologist (ASA) Score pertama kali di rilis dalam
buku oleh American Society of Anesthesiologist tahun 1941 dan terdapat 6 derajat
kondisi pasien yang dilihat pada pasien preoperatif yang terdapat pada tabel 3
(Saklad M., 1941).

Tabel 4. Kriteria penilaian variabel fisiologi akut pada Acute Physiology


and Chronic Health Evaluation (APACHE II)

21
Tabel 5. Kriteria penilaian variabel usia pada Acute Physiology and
Chronic Health Evaluation (APACHE II)

Sumber: Knaus WA, Draper EA, Wagner DP, Zimmerman JE.,1985.

Tabel 6. Kriteria penilaian variabel komorbid pada Acute Physiology and


Chronic Health Evaluation(APACHE II)

Sumber: Knaus WA, Draper EA, Wagner DP, Zimmerman JE., 1985.

Sistem skoring APACHE II dikembangkan oleh Knauset et al. pada tahun


1985. sistem skoring ini berkembang dengan sangat cepat dan banyak digunakan
pada pasien ICU di Amerika Serikat. Sistem skoring APACHE II mencatat nilai
variabel terburuk dalam 24 jam pertama masuk ICU dan terdiri dari tiga variabel,
yakni variabel fisiologi akut, variabel usia dan variabel penyakit kronik peyerta
(komorbid) (Knaus WA et al., 1985).
Peptic ulcer perforation (Pulp) score adalah salah satu penilaian prognostik
pasien perforasi ulkus peptikum. Pulp score digunakan untuk memprediksi secara
akurat mortalitas pasien 30 hari setelah menjalani operasi pada pasien perforasi
ulkus peptikum dan menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan Boey score
dan ASA score. Pulp score berasal dari penelitian Moller, Engebjerg, Adamsen,
Bendix, dan Thomsen di Denmark tahun 2011 dengan jumlah sampel 2668 pasien
perforasi ulkus peptikum pascaoperasi. Tujuh faktor dimasukkan dalam pulp score
dengan beban skor masing-masing faktor yang berbeda dan total skor 18 menjadi
skor tertinggi. Rata-rata usia 70,9 tahun dan 55% wanita. Hasil penelitian
menunjukkan cutt-off point optimal 7, positive predictive value 25% untuk total
skor 0-7 dan 38% untuk total skor ≥8.

22
Tabel 7. Kriteria penilaian peptic ulcer perforation (pulp) score

Sumber: Moller, Engebjerg, Adamsen, Bendix, dan Thomsen, 2011.

Hasil penelitian Moller, Engebjerg, Adamsen, Bendix, dan Thomsen tahun


2011 di Denmark seperti pada Tabel 7. menunjukkan faktor-faktor yang
mempengaruhi prognosis pasien perforasi ulkus peptikum. Faktor-faktor tersebut
yakni usia, faktor komorbid, faktor predisposisi (konsumsi steroid), onset keluhan
utama, keadaan pasien (syok) saat masuk rumah sakit, nilai serum kreatinin, dan
American society of Anesthesiologist (ASA) score.

Tabel 8. Klasifikasi risiko berdasarkan hasil pulp score

Sumber: Moller, Engebjerg, Adamsen, Bendix, dan Thomsen, 2011.


Nilai pulp score dibagi menjadi dua bagian yakni high-risk mortality dan low-
risk mortality berdasarkan cut-off point yang didapatkan oleh penelitian di Denmark
tahun 2011.

23
BAB IV
ANALISIS KASUS

Ny. Ning Minu, seorang perempuan berusia 78 tahun mengeluhkan Pasien


datang dengan keluhan nyeri seluruh lapangan perut kurang lebih 1 hari yang lalu
yang semakin bertambah hebat. Nyeri muncul tiba-tiba dan terus menerus terutama
di ulu hati. Keluhan nyeri beserta seluruh karakteristik nyeri pada pasien ini sudah
terjadi peritonitis akut (karena nyeri dirasakan di seluruh lapang abdomen), namun
hal penting yang perlu diketahui adalah awalnya nyeri hanya dirasakan di ulu hati
saja (regio epigastrium). Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk dan nyeri epigastrik
sebelum terjadinya nyeri di seluruh abdomen disertai adanya riwayat sakit maag
serta minum obat-obat maag mengarahkan kemungkinan diagnosis pada perforasi
ulkus peptikum. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda tanda vital (TD : 150/80
mmHg, Nadi: 102 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, RR : 25 x/menit,
Suhu: 37,0°C). Hal ini mengarah ke arah gejala sepsis. Pada pemeriksaan abdomen
ditemukan adanya bising usus menghilang, nyeri tekan dan nyeri lepas positif pada
seluruh lapang abdomen, dan defans muscular positif serta pekak hepar
menghilang. Pemeriksaan abdomen pada pasien ini jelas menunjukan adanya
peritonitis umum karena ditemukan trias peritonitis yang sering digunakan secara
klinis adalah adanya nyeri tekan, nyeri lepas, dan defans muscular pada seluruh
lapang abdomen. Bising usus yang menghilang merupakan tanda paralisis
peristaltis usus yang umum ditemukan pada pasien peritonitis. Pemeriksaan
penunjang berupa laboratorium (darah rutin) didapatkan anemia. Hal ini dapat
terjadi oleh karena komplikasi dari ulkus peptikum yang sudah lama diderita.
Pemeriksaan laboratorium juga menunjukkan jumlah leukosit yang normal
dibandingkan dengan apa yang seharusnya terjadi pada pasien dengan peritonitis.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan hasil ini, namun untuk memastikannya
kembali diperlukan pemeriksaan darah rutin. Dari seluruh gejala-tanda klinis, serta
pemeriksaan penunjang, ditetapkan diagnosis kerja untuk pasien ini adalah
peritonitis difus ec suspek perforasi gaster. Pasien direncanakan untuk dilakukan
operasi laparatomi. Pasien langsung dipuasakan makan dan minum, dipasang NGT
untuk dekompresi, dan dipasang kateter, diberikan infus RL sebanyak 20tpm,
antibiotik (sefalosporin generasi ketiga yaitu cefoperazon dengan dosis 2 x 1 gram
intravena dikombinasikan dengan metronidazole untuk bakteri anaerob yaitu 3x500
mg intravena), proton pump inhibitor dan antasid untuk mencegah produksi asam
lambung.

24
DAFTAR PUSTAKA

Akil, H.A.M. 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: FKUI.
Anand, B.S., Katz, J. 2012. Peptic Ulcer Disease. Medscape Reference, Professor.
Department of Internal Medicine, Division of Gastroenterology, Baylor
College of Medicine, (http://emedicine.medscape.com/article/181753-
overview, diakses pada tanggal 16 Juni 2018).
Berardy, R., & Lynda, S., 2010, Peptic Ulcer Disease dalam Pharmacotherapy and
Pathophysiologic Approach, Sixth Edition. US: Medical Publishing
Division by The McGraw-Hill Companies. 629–648.
Cotton, Michael. 2016. Primary Surgery volume one: Non-Trauma second edition.
Jerman : Global Help.
Doherty GM. 2010. Chapter 15. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT
Essentials of Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill.
Dordevic, Ivana., Zlatic, Aleksandar., Jankovic, Irena. 2011. Treatment of
Perforative Peptic Ulcer. Scientific Journal of the Faculty of Medicine in Nis.
Serbia. 5(2): 60-65,
(https://www.scribd.com/document/228954679/Treatment-of-Perforative-
Peptic-Ulcer, diakses pada tanggal 14 Juni 2018).
Guyton, AC. 2011. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 12. Jakarta: EGC. Hal.
821 – 866.
Kin Tong Chung, Vishalkumar G Shelat. 2017. Perforated peptic ulcer-an update.
World J Gastrointest Surg. Jan 27;9(1): 1-12,
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5237817/, diakses pada
tanggal 14 Juni 2018).
Knaus WA, Draper EA, Wagner DP, Zimmerman JE. 1985. APACHE II: a severity
of disease classification system. Crit Care Med. 13(10):818-29,
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3928249, diakses pada tanggal 24
Juni 2018).
Lohsiriwat V, Prapasrivorakul S, Lohsiriwat D. 2009. Perforated peptic ulcer:
clinical presentation, surgical outcomes, and the accuracy of the Boey
scoring system in predicting postoperative morbidity and mortality. World J
Surg. 33:80–5, (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18958520, diakses
pada tanggal 23 Juni 2018).
Moller, et al. 2011. The Peptic Ulcer Perforation (PULP) score: a predictor of
mortality following peptic ulcer perforation. A cohort study. An International
Journal of Anesthesiology and Intensive Care, Pain, and Emergency

25
Medicine Journal. 56(5): 655-662,
(http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1399-
6576.2011.02609.x/abstract, diakses pada tanggal 10 Juni 2018).
Moore, KL., Dalley, AF. 2006. Clinically Oriented Anatomy. 5th Edition.
Peter, Billy, 2015. Karakteristik pasien perforasi gaster nontrauma di Subbagian
Bedah Digestif RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Prabu,V, Shivani. A. 2014. An Overview of History, Pathogenesis and Treatment
of Perforated Peptic Ulcer Disease with Evaluation of Prognostic Scoring in
Adults. Annals of Medical and Helath Sciences Research Vol 4,
(http://www.amhsr.org/articles/an-overview-of-history-pathogenesis-and-
treatment-of-perforated-peptic-ulcer-disease-with-evaluation-of-prognostic-
scori.pdf, diakses pada tanggal 20 Juni 2017).
Price, S.A dan Wilson, L.M. 2002. Patofisiologi : Konsep Klinis dan Proses- proses
Penyakit Volume 1 Edisi ke-6 Terjemahan oleh: Pendit Bramh U. et al.
Jakarta: EGC. Hal 502.
Riwanto Ign. 2003. Lambung dan Duodenum dalam Buku Ajar Ilmu Bedah Ed.2
Jakarta: EGC.
Saverio et al. 2014. Diagnosis and Treatment of Perforated or Bleeding Peptic
Ulcers: 2013 WSES position paper. World Journal of Emergency Surgery.
9:45. (https://wjes.biomedcentral.com/articles/10.1186/1749-7922-9-45,
diakses pada tanggal 14 Juni 2018).
Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah,Edisi 3. Jakarta: EGC.
Snell, Richard. 2007. Neuroanatomi Klinik, edisi kedua. Jakarta: EGC.
Sondashi KJ, Odimba BFK, Kelly P. 2011. A Cross-sectional Study on Factors
Associated with Perforated Peptic Ulcer Disease in Adults Presenting to
UTH, Lusaka. Medical Journal of Zambia. 38: 15-22,
(https://www.ajol.info/index.php/mjz/article/view/81398, diakses pada
tanggal 14 Juni 2018).
Sujono Hadi. 2013. Ulkus Peptikum dalam:Gastroenterologi. Edisi 1.
Bandung:Alumni. 204-251.
Tarigan, P., 2009. Tukak Gaster. Dalam: Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi,
I.,Simadibrata, M., Setiati, S., (eds).Buku Ajar Ilmu Penyakit Ilmu Dalam
Edisi VJilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
Tortora, G.J. dan Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and
Physiology.Twelfth Edition. Asia: Wiley.
Wacha H, Linder MM, Feldman U, Wesch G, Gundlach E, Steifensand RA. 1987.
Mannheim peritonitis index – prediction of risk of death from peritonitis:

26
construction of a statistical and validation of an empirically based index.
Theoretical Surg. 1:169–77,
(https://www.researchgate.net/publication/279893979_Mannheim_peritoniti
s_index_prediction_of_risk_of_death_from_peritonitis_construction_of_a_s
tatistical_and_validation_of_an_empirically_based_index, diakses pada
tanggal 24 Juli 2017).

27

Anda mungkin juga menyukai