Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

BAHASA JURNALISTIK

Disusun guna memenuhi tugas

Mata kuliah : Dasar-Dasar Jurnalistik

Dosen pengampu : Nanang Qosim, M.Pd

Disusun Oleh:

Sunarsih (1608056036)

Dian Kusumawardani (1608056055)

Baiti Indah Pertiwi (1608056064)

PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahasa merupakan cermin budaya suatu suku bangsa. Adapula yang mengatakan
bahwa bahasa merupakan jantung kebudayaan suatu bangsa. Pimpinan redaksi mjalah
kebudayaan basis (Yogyakarta), Dick Hartoko, pernah mengatakan bahwa dalam bahasa
itu terungkap sistem nilai dan lambang yang dianut dan dipakai oleh bangsa yang
bersangkutan.
Dalam penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi, dikenal dengan bahasa lisan
dan tulis. Keduanya terikat pada hukum-hukum , norma, aturan, kaidah serta prinsip-
prinsip dan sifat yang dimiliki bahasa yang digunakan.tiap bahasa harus tunduk pada tata
bahasa masing-masing.1
Adapun bahasa jurnalistik aspek terpenting dalam dunia jurnalistik. Seluruh
pekerjaan jurnalistik harus dituangkan dalam bentuk behasa. Tanpa bahasa, maka tugas
dan karya jurnalistik dipastikan tidak ada. Dari tahun ke tahun, bahasa jurnalistikpun
terus tumbuh dan berkembang dikalangan pers atau jurnalis. Bahasa jurnalistik telah
berkembang menjadi ragam bahasa tersendiri yang ikut memperkaya ragam-ragam
bahasa lain di indonesia
Makalah ini akan membahas tentang bahasa jurnalistik termasuk ciri ciri bahasa
jurnalistik dan kendala dalam berbahasa yang baik.2

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian bahasa jurnalistik?
2. Apa saja ciri-ciri bahasa jurnalistik?
3. Apa saja pedoman pemakaian bahsa pers?
4. Apa saja kendala bahasa yang baik?

1 Sedia willing barus, Jurnalistik petunjuk teknis menulis berita. Jakarta: Erlangga, 2010. hal 113.

2 Syarifudin Yunus, jurnalistik terapan. Bogor: Ghalia Indonesia,2015 h.79


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bahasa Jurnalistik
Menurut S.Wojowasito dari IKIP Malang dalam Karya Latihan Wartawan
Persatuan Wartawan Indonesia (KLW PWI) di Jawa Timur (1978), bahasa jurnalistik
adalah bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian dan majalah-
majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa tersebut haruslah jelas dan mudah
dibaca oleh mereka dengan ukuran intelek yang minimal, sehingga sebagian besar
masyarakat yang melek huruf dapat menikmati isinya. Walaupun demikian, bahasa
jurnalistik yang baik haruslah ssuai dengan norma-norma tata bahasa yang antara lain
terdiri atas susunan kalimat yang benar dan pilihan kata yang cocok (Anwar, 1991:1-2).
Begitu pula menurut pakar bahasa terkemuka dari Bandung JS Badudu, bahasa
jurnalistik harus singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat
itu harus dipenuhi oleh bahasa jurnalistik mengingat media massa dinikmati oleh lapisan
masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Orang tidak harus menghabiskan
waktunya hanya untuk membaca surat kabar. Harus lugas, tetapi jelas, agar mudah
dipahami. Orang tidak perlu mesti mengulang-ulang apa yang dibacanya karena
ketidakjelasan bahasa yang digunakan dalam surat kabar itu (Anwar, 1991:2).
Bahasa jurnalistik tunduk pada bahasa baku. Menurut JS Badudu, bahasa baku
ialah bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling
besar wibawanya. Bahasa baku digunakan dalam situasi resmi baik bahasa lisan maupun
bahasa tulisan: misalnya, bahasa yang digunakan dalam berkhotbah, memberikan
ceramah, pelajaran, berdiskusi, memimpin rapat; bahasa yang digunakan dalam surat-
menyurat resmi,, menulis laporan resmi, buku, skripsi, disertasi. Demikian juga bahasa
koran dan majalah, bahasa siaran televisi dan radio haruslah baku agar dapat dipahami
oleh orang yang membaca dan mendengarnya diseluruh negeri. Kata dan kalimat dalam
bahasa jurnalistik harus efektif.3
Dari pendapat para pakar dan uraian diatas, maka bahasa jurnalistik didefinisikan
sebagai bahasa yang digunakan oleh para wartawan, redaktur, atau pengelola media
massa dalam menyusun dan menyajikan, memuat, menyiarkan, dan menayangkan berita

3 Drs. AS Haris Sumadiria, M.Si, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis. Bandung: Simbiosa
Rakatama Media, 2016. hal 7.
serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar, aktual, penting dan atau menarik
dengan tujuan agar mudah dipahami isinya dan cepat ditangkap maknanya.

Sebagi Media Komunikasi


Menurut (Hikmat dan Purnama, 2005:164) Apakah memang ada yang disebut bahasa
jurnalistik itu secara khusus? Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah antara ya dan tidak. Ya,
karena memang ada perbedaan-perbedaan tertentu antara bahasa yang dipai dalam karya-
karya jurnalistik dan bahasa yang dipakai dalam karya-karya tulis lainnya. Tidak, karena
bahasa jurnalistik juga sama saja dengan bahasa yang digunakan secara umum, yaitu
mengikuti aturan-aturan bahasa yang baku, mengikuti tatabahasa yang berlaku dan
mempergunakan kosakata yang sama.
Tetapi dalam penulisan jurnalistik ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan yaitu sifat
tulisan jurnalistik sebagai media komunikasi massa. Kenyataan ini memberikan tekanan akan
pentingnya sifat-sifat sederhana, jelas, dan langsung dalam suatu tulisan berita. Dengan
demikian, bahasa jurnalistik itu harus ringkas, mudah dipahami, dan langsung menerangkan
apa yang dimaksudkan.
Sebagian besar isi surat kabar atau isis berita dalam radio atau televisi adalah hasil
pekerjaan jurnalistik. Jurnalistik adalah pencatatn kenyataan sehari-hari, jurnal fakta-fakta
sehari-hari. Ada hasil karya tulis lainnya yang bukan merupakan pencatatan kenyataan sehari-
hari, yaitu antara lain kesusastraan. Kesusastraan adalah ekspresi yang terbaik dalam bentuk
tulisan mengenai pikiran-pikiran yang terbaik.
Dengan membandingkan dua jenis karya tulis tersebut kita akan dapat menangkap secara
lebih jelas apa yang membedakan bahasa jurnalistik dengan bahasa karya tulis lainnya, di
antaranya bahasa sastra. Karya jurnalistik terutama berpangkal pada kenyataan-kenyataan,
pada fakta-fakta. Karya kesusastraan , naik dalam bentuk novel, drama, syair, sajak, dan
sebaginya, terutama berpangkal pada pikiran, perasaan dan juga bisa berupa khayalan atau
fiksi.
Selain berpangkal pada kenyataan, karya jurnalistik juga dibatasi oleh keharusan untuk
menyampaikan informasi secara cepat. Karya jurnalistik memang ditulis dengan tergesa-gesa
ingat tentang “journalirn is history in a hurry,” jurnalisme adalah sjarah yang (ditulis) tergesa-
gesa. Oleh karena itu, bahasa yang digunakannya juga bahasa yang cocok untuk ditangkap
dengan cepat, yaitu sederhana, jelas, dan langsung. sedang, bahasa sastra syaratnya harus
indah. Keindahan merupakan prasyarat bagi karya kesusastraan dalam mengemukakan
gagasan, perasaan, baik yang berdasarkan kenyataan maupun khayal. Karena itulah bahasa
kesusastraan kadang-kadang tidak sederhana, tetapi penuh bunga-bunga dari kiasan.

Istilah-istilah Pinjaman

Perkembangan bahasa jurnalistik Indonesia dalam empat dekade terakhir ini sangatlah
pesat. Kepesatannya dapat terlihat jika kita membandingkan bahasa yang dipakai surat kabar-
surat kabar empat puluh tahun yang lalu dengan bahasa yang dipakai surat kabar-surat kabar
sekarang. Banyak istilah-istilah yang tadinya masih menggunakan bahasa asing, misalnya,
kini sudah ada istilah yang baru dalam bahasa Indonesia.

Istilah-istilah atau kosakata baru sebagai pengganti istilah-istilah dan kosakata-kosakata


asing dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun perdagangan bukan
saja ditemukan terus-menerus oleh badan-badan resmi, tetapi juga diusahakan oleh kalangan
pers sendiri, terutama oleh kantor berita. Ratusan istilah dan kosakata telah dihasilkan dengan
cara demikian. Dan bukan hanya dihasilkan, tetapi juga bahkan dipopulerkan.

Salah satu masalah yang sering dihadapi pers Indonesia adalah masalah mengusahakan
“pemurnian” bahasa dengan menyingkirkan perkataan-perkataan asing yang pada dasarnya
sudah populer di masyarakat. Penyempurnaan bahasa jurnalistik oleh pers Indonesia tidak
termasuk melakukan hal seperti itu. Penggantian istilah asing yang sudah diserap ke dalam
bahasa Indonesia dengan istilah baru malah akan menimbulkan kesulitan. Sebaliknya salah
jika menggunakan istilah asing padahal ada istilah dalam bahasa Indonesianya untuk itu.

Penggunaan istilah asing dalam penulisan berita memang sebaiknya dihindari atau paling
tidak dikurangi. Tetapi, jika untuk istilah asing itu tidak ada penggantiannya dalam bahasa
Indonesia, tidak perlu takut untuk menggunakannya. Bukankah di dunia ini tidak ada satu
bahasa pun bersih dari pengaruh asing? Bahasa Inggris saja yang termasuk bahasa yang sudah
sempurna, daftar kosakatanya penuh dengan kata-kata yang berasal dari bahasa asing, bahkan
yang berasal dari bahasa Indonesia (baca: Melayu) misalnya amok dari kata amuk.

Menurut sejarah perkembangannya, daftar kosakata bahasa Indonesia diperkaya


dipercaya dengan tiga cara: (1) Melalui peminjaman dari bahasa asning (banyak meminjam
dari bahasa Portugis, Belanda, Cina, dan Arab); (2) Melalui peminjaman dari bahasa diaek (di
antaranya bahasa dialek Betawi banyak mempengaruhi bahasa Indonesia); (3) Melalui
peminjaman dari bahasa pergaulan.

Dalam usaha memperkaya bahasa melalui peminjaman bahasa dialek dan bahasa
pergaulan ini, pers juga berjasa mempopulerkas kata-kata pinjaman dari golongan-golongan
atau lingkungan-lingkungan sosial di desa, di kota, di ladang, di pabrik, di pasar dan
sebagainya, yang akhirnya menjadi kosakata-kosakata dalam bahasa nasional. Oleh karena
itulah, seorang wartawan yang akan tidak mau ketinggalan ingin memberikan kontribusi
kepada perkembangan bahasa nasionalnya, sebaiknya berusaha mengetahui benar bahasa
yang digunakan oleh kelompok masyarakat yang diliputinya, sehingga istilah-istilah yang
dipakai oleh lingkungan kelompok masyarakat tersebut dapat dipopulerkan untuk
memperkaya bahasa nasional.4

B. Ciri-ciri Bahasa Jurnalistik


1. Ringkas
Yang dimaksud ringkas yaitu dalam dunia jurnalistik, penulis harus hemat kata.
Penggunaan kata-kata yang mubazir harus dihilangkan. Secara mendasar bisa
dikatakan , dengan menggunakan kata yang sesedikit mungkin, bisa mewakili kalimat
atau kata yang panjang, dengan prinsip economy of words atau hemat kata. Dengan
tegas pula , dalam menulis berita misalnya, penulis harus menghilangkan kata-kata
mubazir. Mubazir disini dimaksudkan kata yang papabila tidak dipakai , tidak akan
mengganggu arti . Demikian pula apabila bdihilangkan tidak akan mengubah makna
dan lancarnya jalan bahasa dan membuat kalimat itu lebih kuat kesannya
2. Jelas
Ragam bahasa jurnalistik hendaknya selalu menggunakan kata-kata yang jelas
maknanya sehingga mudah dipahami pembaca. Tulisan(berita ) dalam majalah/Koran
sekolah atau madding jangan sampai mengundang kesempatan siswa pembaca untuk
bertanya-tanya dalam hati hanya karena penggunaan kata yang kuarang jelas. Buat
tulisan yang tidak membingungkan pembaca, tetapi juga tidak membosankan bagi
orang yang sudah tau. Hindarilah singkatan-singkatan yang dapat membingungkan,
meskipun itu dirasa lebih ringkas. Selain itu, kalimat ambigu perlu dihindari dean cara
mendekatkan keterangan dengan kata yang di terangkan. Penggunaan kata asing juga

4 Hikmat Kusumaningrat, Jurnalistik teori dan Praktik.Bantung: PT Remaja Rosdakarya.2012. hal 165-167
perlu dihindari apabila memungkinkan, kecuali apabila kata tersebit tidak ada
padananya dalam bahasa Indonesia
3. Tertib
Ciri ragam bahasa jurnalistik lainya adalah tertib . tertib artinya penulisan harus
patuh pada aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku dalam menulis berita, tertib
mengenai penggunaan bahasa, susuanan kata, prioritas, dan sebagainya. Apabila dalam
menulis berita, staf redaksi kurang memperhatikan kaidah diatas akan dijumpai
kekacauan komunikasi, bahkan akibatnya lebih dari itu. Kekacauan akan bisa timbul
apabila pembaca yang terlibat dalam komunikasi tidak menggunakan kerangka acuan
yang sama, yang telah disepakati
4. Singkat
Seorang penulis (staf redaksi) dalam menulis berita hendaknya menggunakan
kaliamat yang singkat. Untuk itu, masalah penggunaan tanda baca titik (.) , koma (,),
dan tanda baca lain dalam sebuah kalimat harus benar-benar diperhatikan. Selain itu,
penulisan atau penggunaan kata yang singkat dalam sebuah kaliamat diharapkan
pembaca dapat lebih cepat untuk memahami berita yang dibaca. Kaliamat-kalimat
yang panjang memungkinkan pembaca mengalami kesulitan dalam memahami isi
berita. Kata yang singkat, padat , berisi bisa menimbulkan penghematan-penghematan
energy untuk menyita perhatian, penggunaan halaman, waktu, dan sebagainya
5. Menarik
Menulis berita dengan menarik sangat penting dan merupakan tugas seseorang
staf redaksi. Menulis berita dengan menarik dipengaruhi oleh kemampuan seseorang
staf redaksi. Kejadian yang sangat penting dan menarik apabila dituang dalam tulisan
secara tidak menarik bisa jadi dijauhi oleh pembaca sehingga pembaca malas untuk
meluangkan waktunya untuk memebaca berita tersebut.
Kiat-kiat dalam menulis berita dengan menarik, antara lain
a) Hindari ungkapan klise, segala sesuatu yang klise biasanya kurang
menarik, kadang-kadang malah membosankan
b) Hindari hal yang monoton. Penggunaan kata ataupun kelompok kata yang
sama dan terus-menerus bisa mengakibatkan kejenuhan akibat penggunaan nada
yang sama, kurang bervariasi. Hal-hal yang sama dan banyak diulang dalam
menulis naskah atau berita dapat menyebabkan kejenuhan bagi para pembaca.5

C. Pedoman Pemakaian Bahasa Pers

5 Imam Rosidi, menulis… siapa takut, Yogyakarta: Kanisius, 2009. Hal 25-28
Dalam kaitan pemakaian bahasa jurnalistik, berikut merupakan Pedoman
Pemakaian Bahasa Pers yang pernah dikeluaran oleh Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) di Jakarta. Adapun aspek penting yang menjadi perhatian dalam konteks bahasa
jurnalistik, antara lain sebagai berikut:6
1. Wartawan hendaknya knsekuen melaksanakan Pedomaan Ejaan Bahasa Indonesia
Yang Disempurnakan (EYD). Hal ini harus diperhatikan oleh para korektor karena
kesalahan paling menonjol dalam surat kabar sekarang ini ialah kesalahan ejaan.
2. Wartawan hendaknya membatasi diri dalam singkatan atau akronim. Kalaupun
harus menulis akronim, maka satu kali ia harus menjelaskan dalam tanda kurung
kepanjangan akronim tersebut supaya tulisannya dapat dipahami khalayak ramai.
3. Wartawan hendaknya tidak menghilangkan imbuhan bentuk awal atau prefiks.
Pemenggalan kata awalan me- dapat dilakukan dalam kepala berita mengingat
keterbatasan ruang. Akan tetapi, pemenggalan jangan sampai disamaratakan sehingga
merembet pula ke tubuh berita.
4. Wartawan hendaknya menulis dengan kalimat-kalimat pendek. Pengutaraan
pikirannya harus logis, teratur, lengkap dengan kata pokok, sebutan, kata tujuan
(subjek, predikat, objek). Menulis dengan induk kalimat dan anak kalimat yang
mngandung banyak kata akan membuat kalimat tidak dapat dipahami, lagi pula
prinsip yang harus dipegang ialah “satu gagasan atau satu ide dalam satu kalimat”.
5. Wartawan hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan klise yang sering dipakai
dalam transisi berita, seperti kata-kata sementara itu, dapat ditambahkan, perlu
diketahui, dalam rangka. Dengan demikian akan menghilangkan monotomi
(keadaan/bunyi yang selalu sama saja) dan sekaligus menerapkan penghematan kata.
6. Wartawan hendaknya menghilangkan kata mubazir, seperti adalah (kata kerja
kopula), telah (penunjuk masa lampau), untuk (sebagai terjemahan to), dari (sebagai
terjemahan of), bahwa (sebagai kata sambung), dan bentuk jamak yang tidak perlu
diulang.
7. Wartawan hendaknya mendisiplinkan pikiran agar tidak mencampuradukkan
dalam satu kalimat bentuk pasif dan bentuk aktif.
8. Wartawan hendaknya menghindari kata-kata asing dan istilah yang terlalu teknis
ilmiah dalam berita. Kalaupun terpaksa menggunakannya, maka satu kali harus
dijelaskan pengertian dan maksudnya istilah teknis tersbut.
9. Wartawan hendaknya sedapat mungkin menaati kaidah tata bahasa.

6 Syarifudin Yunus, Jurnalistik Terapan, Bogor:Ghalia Indonesia, 2015. Hal: 82-84


10. Wartawan hendaknya ingat bahasa jurnalistik ialah bahasa yang komunikatif dan
spesifik sifatnya, dan karangan yang baik dinilai dari tiga aspek yaitu isi, bahasa, dan
teknik penyajiannya.

D. Kendala-kendala Berbahasa yang Baik


Tanggungjawab wartawan itu berat, terutama wartawan media cetak, karena
mereka dapat dimintai pertanggungjawaban tentang bahasa yang ditulisnya. Apa yang
mereka tulis semuanya terekam, dan apa yang terekam ditiru orang. Seperti telah berkali-
kali disinggung, bahasa jurnalistik itu hampir selalu jelas, meskipun gaya tulisannya tidak
istimewa, ia mengkuti aturan tentang bahasa yang sederhana, ringkas, dan langsung.
Tetapi, sudah terlalu sering terjadi bahasa di surat kabar terasa rutin, dangkal, atau
dinodai oleh banyak kesalahan yang sebenarnya dapat dihindari.
Ada beberapa kendala yang menghalangi terciptanya penggunaan bahasa
jurnalistik yang baik dalam karya jurnalistik. Ada desakan hati, tekanan-tekanan atau
kekecewaan-kekecewaan yang membuat bahasa jurnalistik menjadi bahasa surat kabar
apa jebakan-jebakan yang menjerat para wartawan yang mengetetahui bagaimana
berbahasa dengan baik tetapi ternyata terpeleset ke jurang kesalahan.
Inilah lima kendala utama yang harus diwaspadai oleh setiap wartawan:
1. Menulis dibawah tekanan waktu
Kecepatan merupakan salah satu keharusan dalam menulis berita. Baik kecepatan
dalam arti menyampaikan informasi, maupun kecepatan dalam arti penulisannya
karena dikejar waktu oleh tenggal (deadline) yang harus dipatuhi. Penulis berita yang
dikejar tenggat nyaris tidak punya waktu untuk memoles tulisannya, untuk
memperindah tulisannya dengan kata-kata yang tepat, untuk memangkas kalimat-
kalimat yang tidak perlu agar membuat tulisan buruk menjadi baik atau membuat
tulisan baik menjadi sempurna. Sifat penanganan berita yang tergesa-gesa itu sedikit
banyak menjadi kendala untuk tercapainya kualitas penulisan berita yang baik.
Tetapi, hal ini jangan sampai membuat kecerobohan, yang mengatasnamakan
kecepatan, berkembang menjadi kebiasaan esok hari. Memang tidak ada resep untuk
mengobati konsekuensi dari adanya tuntutan tenggat atau deadline ini. Para wartawan
harus dapat menikmati keadaan seperti itu. Meskipun demikian, tekanan tenggat bisa
sedikit dikurangi dengan mengembangkan keterampilan untuk lebih dulu membuat
rencana bagi setiap berita yang akan dibuat serta belajat untuk membuat tekanan
tenggat atau deadline menjadi pelumas dan bukan pengekang.
2. Kemasabodohan dan kecerobohan
Selain tergesa-gesa, hal lain yang dapat mengencerkan gaya penulisan berita
adalah kemalasan, kemalasan yang dimaksudkan di sini adalah kemalasan berpikir,
kemalasan mencari kata-kata, atau istilah-istilah yang tepat. Orang cenderung
mengikuti apa yang sudah dilakukan orang, tidak mau menciptakan sendiri. Dengan
adanya kemalasan ini timbul sikap masa bodoh, :Ah, nanti kan dibetulkan oleh
Redaktur.” Dari sikap masa bodoh yang diakibatkan oleh sikap tidak bertanggung
jawab timbul kecerobohan. Wartawan ceroboh menggunakan istilah-istilah yang
sudah klise, tidak ada penyegaran dalam menggunakan diksi, dan redaktur juga
demikian. Akibatnya, ada sebuah surat kabar lokal yang menuliskan judul seperti ini:
“Bordir Tasik Terkenal, Tapi Tak Punya Khas.” Redaktur yang membuat judul ini,
yang mungkin hanya mengangkatnya dari dalam berita yang ditulis wartawannya
sudah dihinggapi sikap malas tadi. Maksud judul itu barangkali; “Bordir Tasik
Terkenal, Tapi Tak Punya Ciri Khas.”
Kemasabodohan dan kecerobohanini juga muncul ketika penulis berita malas
mencari kata-kata yang tepat untuk sesuatu maksud yang hendak ia katakan. Padahal,
ini merupakan tonggak untuk dapat menulis baik. Bahasa Indonesia jika diggunakan
dnegan baik dan benar akan menjadi alat efektif untuk menyampaikan informasi
maupun penerangan. Bahasa ini meskipun sering dikeluhkan dengan apik dan tidak
ceroboh akan menghasilkan kalimat-kalimat yang memenuhi syarat hemat kata.
Sederhana. Jelas, dan langsung.
3. Malas mengikuti petunjuk
Petunjuk dalam menggunakan bahasa tertulis adalah tata bahasa, kamus, dan
pedoman ejaan yang disempurnakan (EYD). Petunjuk bahasa untuk jurnalistik bisa
ditambah lagi, yaitu “Sepuluh Pedoman Pemakaian Bahasa dalam Pers”. Sampai saat
ini buku ini masih ditulis, misalnya masih terdengar ada penyiar televisi
mengucapkan konstruksi kalimat rancu seperti ini: “Dengan didirikannya koperasi d
dsa itu, akan memberikan kesejahteraan kepada warga.” Bukan hanya televisi, tetapi
juga masih ada surat kabar yang melakukannya meskipun sudah jarang dijumpai.
Kalimat di atas adalah kalimat majemuk dengan anak kalimat preposional
(memakai kata sambung: dengan). Jika diuraikan, kalimat tersebut terdiri dari dua
frasa, yaitu frasa “dengan didirikannya koperasi” dan frasa “akan memberikan
kesejahteraan”. Padalah, sebagai kalimat majemuk kalimat tersebut seharusnya terdiri
dari anak kalimat atau induk kalimat yang konstruksi kalimatnya sempurna, yaitu ada
pokok kalimat (subjek)-nya, ada sebutan (predikat)-nya, dan kalau perlu ada
pelengkap penderita (objek)-nya. Kalimat majemuk tersebut tidak sempurna karena
kita tidak menemukan mana induk kalimatnya. Jika frasa “akan memberikan
kesejahteraan” dijadikan induk kalimat, maka seharusnya ia mempunyai “subjek”
atau “pokok kalimat” agar ia menjadi kalimat sempurna, mislnya menjadi
“kesejahteraan pun akan dapat diberikan kepada warga.” Kalimat ini memiliki subjek,
yaitu “kesejahteraan” sebagai subjek dan “diberikan” sebagai predikat. Jadi, kalimat
majemuk diatas sekarang memenuhi ketentuan tata bahasa dan karenanya lebih enak
didengar: “Dengan didirikannya koperasi di desa itu, kesejahteraan pun akan dapat
diberikan kepada warga.”
Selain konstruksi kalimat, yang harus diperhatikan juga adalah penggunaan kata-
kata baru. Misalnya kata “simak” akhir-akhir ini penggunaanya cenderung
melenceng. Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan, kata “sima” artinya (1)
mendengarkan (memperhatikan baik-baik apa yang diucapkan dan dibaca orang.
Padanannya dalam bahasa Inggri adalah to listen; (2) menyimak kembali, meninjau
(memeriksa) kembali. Tetapi, beberapa media menggunakannya dalam arti “melihat”
dan “mengungkap.”
Demikian pula kata batu “menengarai” yang akhir-akhir ini digunakan sebagai
ganti perkataan “mesinyalir”, hendaknya digunakan secara hati-hati. Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia kita jumpai arti “tengara” sebagai tanda; alamat (dengan
kentongan dsb). Jadi, berdasarkan kamus, “menengarai” artinya “menandai” atau
:memebrikan alamat atau isyarat”.
Dalam menggunakan kata-kata baru, wartawan hendaknya berhati-hati untuk
tidak menggunakannya secara sembrono tanpa mengusut dulu asl-usul kata-kata baru
itu. Kalau dalam kamus tidak berhasil dijumpai kata-kata tersebut, paling tidak tunda
dulu pengunaannya sampai diperoleh keyakinan akan artinya setelah bertanya kepada
ahlinya.
Memurnikan bahasa dengan membuang kata-kata asing dan menggantikannya
dengan kata-kata bahasa sendiri, seperti pernah dikemukakan di bagian lain buku ini,
memang baik. Tetapi, janganlah hendaknya kata-kata baru itu digunakan dengan arti
yang tidak konsisten, karena hal tersebut akan membuat orang bingung.
4. Ikut-ikutan
Tokoh terkenal biasanya menjadi acuan khalyak ramai. Dan tidak mustahil ditiru
orang banyak. Ini bukan saja terjadi dalam perilaku, dalam cara berpakaian, tetapi
juga dalam berbahasa. Dulu, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, banyak
para petinggi negara mengucapkan akhiran kata kan menjadi ken karena Bung Karno
berbuat demikian. Misalnya, kata akan menjadi aken, kata “memberitakan” menjadi
“memberitaken.” Presiden Soeharto yang semasa pemerintahan Soekarno masih
menjadi perwira tinggi, bahkan sampai ia menjadi presiden pun masih belum dapat
meninggalkan kebiasaan mengucapkan ken itu.
Dalam jurnalistik, penggunaan kata-kata “pasalnya” dan “akan halnya” menjadi
mode dalam menulis berita karena dua kata itu dimulai penggunaannya secara
menarik oleh majalah Tempo. Ikut-ikutan seperti itu memang tidak dilarang. Tetapi
jika pengguaan kata-kata populer itu dilakukan terlalu sering, maka “pesonanya” akan
lenyap. Bahkan, tidak mustahil kata-kata tersebut akan menjadi klise dan tidak
menarik.
5. Merusak arti
Pilihan kata merupakan hal yang penting dalam menulis, terutama dalam menulis
berita untuk surat kabar. Harus tepat dalam memilih kata untuk kalimat yang dibuat.
Misalnya, “memukul” lain daripada “meninju.” Memukul bisa dengan telapak tangan
atau dengan alat pemukul, tetapi meninju hanya dengan tinju, dengan kepalan tangan
anda, contoh lainnya.
Perampok itu menginjak punggung pembantu rumah tangga tersebut ketika
perempuan itu jatuh telentang. (Telentang artinya tergeletak dengan wajah ke ata.
Jadi, mustahil diinjak punggungnya).
Hakim menunda sidang selama setengah jam, tetapi ketika kembali ke ruangan
sidang, pembela tetap pada pendiriannya, (tidak jelas siapa yang kembali ke ruang
sidang, hakim atau pembela?).
Popularitas Golkar menurul 13 persen, dari 55 ke 42. (Penurunan dari 55 ke 42
berbeda dengan penururnan persentase 13 persen. Itu adalah penurunan sebesar 24
persen karena 42 adalah 76 persen dari 55).
Karena yang enak didengar tetapi maknanya sering mengecoh adalah kata
“mengungkapkan.” Misalnya sering terbaca dalam berita, “Polisi mengungkapkan
bahwa bulan lau dalam periode seperti tahun silam, perampokan menurun dengan 64
kejadian.” Mengungkapkan artinya melahirkan perasaan hati (dengan perkataan air
muka atau gerak-gerik). Di sini kata yang tepat mungkin bukan “mengungkapkan”
tetapi “mengemukakan” atau “menyatakan” saja.7

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahasa jurnalistik didefinisikan sebagai bahasa yang digunakan oleh para
wartawan, redaktur, atau pengelola media massa dalam menyusun dan menyajikan,
memuat, menyiarkan, dan menayangkan berita serta laporan peristiwa atau pernyataan
yang benar, aktual, penting dan atau menarik dengan tujuan agar mudah dipahami isinya
dan cepat ditangkap maknanya. Adapun ciri-ciri bahasa jurnalistik yaitu ringkas, jelas,
tertib, singkat, dan menarik. Sedangkan kendala penggunaan bahasa jurnalistik yang baik
dalam karya jurnalistik yaitu; 1. Menulis di bawah tekanan waktu; 2. Kemasabodohan
dan kecerobohan; 3. Malas mengikuti petunjuk; 4. Ikut-ikutan; dan 5. Merusak arti.

B. Kritik dan Saran


Demikian pembahasan makalah kami, semoga apa yang kita pelajari tentang
bahasa jurnalistik ini dapat menambah pengetahuan kita, kami menyadari dalam makalah
ini banyak kekurangan baik dalam hal pengetikan, penyampaian, dan penjelasan. Kritik
dan saran sangat kami perlukan untuk menambah kesempurnaan makalah kami
kedepanya. Dan atas perhatianya kami mengucapkan banyak terimakasih.

7 Hikmat Kusumaningrat, Jurnalistik teori dan Praktik.Bantung: PT Remaja Rosdakarya.2012. hal 167-170
DAFTAR PUSTAKA

Barus, Sedia willing.2010. Jurnalistik petunjuk teknis menulis berita. Jakarta: Erlangga.

Kusumaningrat , Hikmat. 2012. Jurnalistik teori dan Praktik.Bantung: PT Remaja Rosdakarya.

Rosidi , Imam. 2009. menulis… siapa takut, Yogyakarta: Kanisius.

Yunus , Syarifudin. 2015. jurnalistik terapan. Bogor: Ghalia Indonesia.

Sumadiria, Haris. 2016. Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis. Bandung:
Simbiosa Rakatama Media.
BIOGRAFI PENULIS

Penulis I

Nama : Sunarsih

NIM : 1608056036

Prodi : Pendidikan Matematika

No.HP : 089668942301

Alamat Asal : Desa Meteseh RT003 RW004 Kaliori, Rembang

Alamat Tinggal : Wisma Putri 9 Bintang Tanjung Sari

Penulis II

Nama : Dian Kusumawardani

NIM :1608056055

Prodi : Pendidikan Matematika

No.HP : 081280437949

Alamat Asal : Desa Karangrandu RT007 RW001 Pecangaan, Jepara

Alamat Tinggal : Wisma Putri 9 Bintang Tanjung Sari

Penulis III

Nama : Baiti Indah Pertiwi

NIM : 1608056064

Prodi : Pendidikan Matematika


No.HP : 082313532695

Alamat Asal : Desa Purbosari RT015 RW002 Kec.Seluma Barat Kab.Seluma, Bengkulu

Alamat Tinggal : Dusun Kaliancar, Kel.Podorejo RT003 RW001 Ngaliyan, Semarang

Anda mungkin juga menyukai