A. Pendahuluan
Wacana Gender saat ini telah diaplikasikan dalam berbagai bentuk. Dalam
sisi kebijakan, saat ini tengah digodok Rancangan Undang-Undang Program
Kesetaraan Seksual (RUU PKS), Rancangan Undang-undang Pengarusutamaan
Gender (RUU PUG), dan sebagainya. Sebagian dari usul regulasi ini telah
diterapkan antara lain adalah kuota 30% calon anggota legislatif yang berasal dari
wanita.
Kontroversi dari isi RUU PKS meliputi : 1) hubungan di luar nikah asal
suka suka, dianggap sah, 2) pelegalan terhadap tindkaan aborsi1, sedangkan
kontroversi dalam RUU PUG tujuan utamanya adalah : Suatu Strategi yang
dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program
dan kegiatan pembangunan.2 kedua bentuk rancangan regulasi ini jelas
bertabrakan dengan nilai-nilai keislaman. Karena dalam ajaran islam, kedudukan
wanita di hadapan Allah itu sama, dengan peran dan fungsinya masing-masing.
Dan suatu program pembangunan seharusnya tidak dilandaskan pada pemikiran
feminisme.
Yang tak kalah penting dari produk wacana gender di Indonesia adalah
pengaruhnya di bidang studi islam. di IAIN sejak beberapa waktu lampau telah
dibentuk PSW (Pusat Studi Wanita), yang tujuan utama nya adalah melacak
‘genealogi patriarkhis’ dalam masyarakat muslim, bahkan sampai merombak
‘dominasi’ kelompok pria dalam penafsiran al Qur’an.
Penulisan makalah ini berusaha untuk menjelaskan apa yang dinamakan
dengan gerakan feminisme serta konsep gender. Menjelaskan konsep-konsep
dasar feminisme, secara teoritis. Bagaimana pemikiran feminisme/gender ini
1
Widia Primastika, RUU PKS Dianggap RUU Pro-Zina, Masuk Akalkah?
https://tirto.id/ruu-pks-dianggap-ruu-pro-zina-masuk-akalkah-dfqE , diakses pada tanggal 8
Agustus 2019
2
Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 5 RUU PUG
memiliki begitu banyak kelemahan dari sudut pandang sains/keilmuan Barat
maupun dalam ajaran islam. dan bagaimana pengaruhnya gerakan ini terhadap
studi keislaman di Indonesia.
3
Henry Shalahudin, Indahnya Keserasian Gender dalam Islam, (Jakarta: KMKI, 2012),
hlm. 9
budaya patriarkhis belaka, termasuk pada sifat ‘feminin’ yang juga dianggap
sebagai nurture(bukan nature). 4
Sudah tentu, hal ini tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan. Yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana sifat feminisme itu dapat dibentuk secara ‘serentak’
di seluruh kebudayaan/peradaban umat manusia? misalnya kegemaran ‘berhias’,
bagaimana hampir semua peradaban bangsa, kelompok sosial yang memiliki alat
reproduksi tertentu, mempunyai kebiasaan yang sama. padahal setiap kultur sosial
pasti berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.
Dari segi biologis, perbedaan laki-laki dan perempuan juga sangat terkait
dengan hormon. Dalam tubuh Laki-laki menghasilkan lebih banyak hormon
testosteron, menyebabkan kaum lelaki lebih agresif, lebih aktif, dan membentuk
otot yang lebih kuat dibandingkan wanita. Sedangkan wanita lebih banyak
menghasilkan hormon estrogen, yang berfungsi untuk mengendalikan
pertumbuhan dinding rahim. Kedua hormon ini sangat berbeda satu dengan yang
lainnya, yang sangat menentukan perbedaan karakteristika antar keduanya.
Sehingga, jika terdapat kesamaan karakter antara laki-laki dan perempuan, hanya
berupa kasus-kasus parsial (sangat sedikit), atau dikarenakan ‘suntikan hormon’.
Perbedaan ini tidak memungkinkan laki-laki dan perempuan dalam posisi
yang sama persis. Suatu cerita, dari pengalaman perusahaan telpon BellTelephone
Company di AS, pada tahun 1973 mereka memerlukan tenaga kerja wanita, untuk
mengisi pos-pos yang ditinggalkan oleh kaum lelaki. Mereka mempunyai
‘prasangka gender’ yang meletakkan posisi wanita betul-betul setara dengan pria.
Tetapi apa yang terjadi? Tetapi, jumlah pendaftar jauh lebih sedikit daripada
jumlah pos yang harus diisi (kebutuhan). Alasan sebagian besar dari wanita adalah
pekerjaan ini tidak lah cocok dengan wanita, karena melelahkan dan tidak cocok
dengan kondisi fisik mereka.5
Sudah tentu, tidak semua wanita mempunyai ciri feminin yang sama.
sebagian dari mereka sangat kuat, bahkan di beberapa kasus ditemukan wanita
4
Mary Stewart Van Leeuwen, Gender & Grace: Love, Work & Parenting in a Changing
World, (Ilinois: Intervarsity Press, 1990), hlm. 53
5
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender,
(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 31
yang mengisi pekerjaan yang ‘stereotip’ laki-laki, misalnya menjadi tukang. Tapi
jumlahnya sangat sedikit. Dan hal ini tidak bisa ‘digeneril’. Sifat dari pemikiran
‘feminis’ selalu menggeneralisir kasus-kasus sedikit. Jika dijumpai seorang
perempuan yang memiliki kekuatan dibandingkan rata-rata lelaki, maka mereka
‘menggunakan’ kasus tersebut untuk merombak kesepahaman bahwa pada
alamiahnya, laki-laki dan perempuan itu memang berbeda.
Hal ini dapat kita lihat pada kasus ‘LGBT’ yang juga diperjuangkan oleh
sebagian kelompok feminisme. Mereka menggunakan metode ‘falsifikasi’, suatu
metode dari Karl R Popper, yang menjadikan kasus-kasus tertentu untuk
merombak hal-hal yang mapan secara ilmiah. Misalnya, mereka menggunakan
kasus tentang seorang ‘anak’ yang memiliki kelamin ganda, atau menghasilkan
penyimpangan hormon, mereka jadikan ‘senjata’ untuk melegalkan perbuatan
LGBT.
‘alasan’ seperti ini sangat berbahaya. Karena hal ini dapat digunakan oleh
semua kelompok untuk melegalkan perbuatannya. Misalnya, jika suatu saat
kelompok pria ingin melegalkan kekerasan dalam rumah tangga, maka mereka
cukup mencarikan ‘kasus-kasus’ parsial untuk melegalkan perbuatan mereka.
Mereka melakukan penyelidikan kasus-kasus tertentu, yang pada ujungnya nanti
untuk meligitimasi bahwa ‘kekerasan’ merupakan suatu hal yang alamiah, dan
tidak perlu diperdebatkan. Pada zaman dahulu kelompok Nazi ketika melakukan
gerakan genoside terhadap keturunan Yahudi, juga dengan melakukan
‘penyimpangan’ terhadap ilmu pengetahuan terlebih dahulu. Sudah tentu, sains
yang dihasilkan ini tergantung dari kemauan suatu kelompok saja.
Jika kita melihat sejarah islam, kejadian ‘kasus tertentu’ juga terdapat pada
masa sayyidina Ali. Pada masa itu, terdapat suatu pertanyaan yang diajukan
kepada Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib tentang seseorang yang memiliki kelamin
ganda. Solusi (ijtihad) yang dilakukan oleh sayyidina Ali adalah dengan
‘menentukan’ dari saluran apa ia melakukan pembuangan air kecil (min ayyi
syai’in maa baala), dari situ ia menentukan bagaimana status identitasnya,
sebagai laki-laki dan perempuan.
C. Tuntutan Yang Tidak Realistis
6
Ibid., hlm. 33
Faktanya jumlah pendapatan lelaki di belahan dunia manapun, selalu
unggul dibandingkan dengan kaum perempuan. Persentase pendapatan wanita di
berbagai negara maju wanita tetap kalah. Seperti di Jepang, persentase pendapatan
wanita ‘hanya 35%, Korea 22% 28,9 di Singapura, 34% di AS, 35% di Prancis,
dst.7 Tetapi gerakan feminisme, menginginkan tingkat pencapaian perempuan
haruslah 50%:50%, sehingga secara basis (ekonomi) ‘derajat’ perempuan benar-
benar sama dibandingkan dengan kaum lelaki.
Hal di atas menunjukkan bukti, bahwa meskipun secara pendidikan dan
kesehatan, setara, tetapi keduanya memiliki produk yang berbeda. Karena
perempuan selalu ‘terbentur’ pada tembok yang sama, yaitu ‘tubuh’. pada awal
mulanya, sebelum usia 30 tahun, perempuan terlihat ‘fresh’ dan ingin berkarir
setingginya. Tetapi di atas 30 tahun, perempuan sudah menginginkan kehidupan
rumah tangga. Bahkan di negara maju, seperti di Jepang, 70% wanita Jepang
mengatakana bahwa tugas pengasuhan adalah tugas utamanya, dan sebagian
besarnya menyatakan bahwa wanita harus berada di rumah setidaknya anak nya
memasuki jenjang sekolah dasar.
Sebaliknya penelitian yang ada di Indonesia (dengan sampel di Manado,
jawa timur) menunjukkan bahwa 50% menyatakan bahwa penugasan anak
merupakan tanggungjawab istri. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi ‘peran
wanita’ di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan dengan persepsi atas peran
wanita yang ada di Jepang (sebagai negara maju). Hal ini menunjukkan bukti,
bahwa tidak ada korelasi antara kesejahteraan wanita dengan pembagian tugas
antara lelaki dan perempuan di rumah tangga.
Selain itu keyakinan kelompok feminis lainnya adalah mereka
tersubordinat oleh kelompok laki-laki, karena selama ini kedudukan mereka
(wanita) di bawah kontrol lelaki. Tetapi asumsi ini runtuh oleh penelitian yang
dilakukan oleh Prof. Yaumil. Dengan mengambil jumlah sampel sampai 180 dari
keluarga Jawa, batak dan Betawi, Prof. Yaumil menyimpulkan bahwa ibu yang
tidak bekerja justru mempunyai kekuasaan yang lebih besar dalam kebanyakan
7
Ibid., Hlm. 38
keputusan keluarga, terutama dari segi finansial.8 Dalam keluarga di Indonesia ini
berbeda dengan keluarga yang ada di Barat. Keuangan keluarga biasanya
disatukan dan diserahkan pengelolaan kepada si Istri. Hal ini berbeda dengan di
Barat, dimana pengelolaan keuangan terpisah-pisah.
Di atas merupakan keadaan makro tentang kondisi perempuan yang
sebenarnya tidak ‘bermasalah’. Tetapi, harus diakui dalam kasus-kasus tertentu,
perempuan berada benar-benar di bawah tekanan suami yang ‘sakit’. Di antara
jumlah ratusan juta istri, pasti ditemukan kasus-kasus yang ‘tidak biasa’ yang
jumlah nya mencapai puluhan hingga ratusan kasus. Terhadap kasus demikian ini,
hukum harus berdiri tegak melindungi siapapun (baik lelaki maupun perempuan)
yang jadi warganegaranya yang berada di bawah tekanan KDRT (kasus kekerasan
dalam rumah tangga). Tetapi, kasus KDRT tidak lah bisa dijadikan ‘senjata’ untuk
meneguhkan cita-cita gender. Jika dicarikan contoh-contoh parsial, juga banyak
ditemukan laki-laki berada di bawah kontrol ‘mulut’ istrinya.
Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan
kehidupan sosial, merupakan suatu sunnatullah yang tidak bisa dirombak. Jika
dirombak, maka akan menemui banyak mafsadah yang ditemukan di belakang
hari. Suatu usaha untuk merombak ini dilakukan berkali-kali, tetapi gagal. Laki-
laki dan perempuan (suami istri) benar-benar dibuat setara, seperti di Skandinavia
(antara tahun 1960-1980), dimana pengasuhan anak diserahkan kepada TPA
(Tempat Penitipan Anak), sedangkan ayah dan ibu mereka bekerja di tempat
masing-masing. Ternyata, dikemudian hari, ditemukan tingkat perceraian,
kenakalan remaja, kecanduan narkoba, pergaulan bebas, yang sangat tinggi pula.
Hanya menghasilkan jumlah pekerja wanita dan lelaki yang sama, tetapi
kebanyakan wanita yang bekerja pun, tetap bekerja di pekerjaan stereotip wanita,
seperti sebagai pelayan, suster, tempat penitipan anak, dan sebagainya.9
Jika lelaki dan perempuan dianggap hal yang sama, misalnya, juga
menghasilkan suatu keadaan yang tidak baik pula. misalnya, sifat feminin akan
dihilangkan, maka yang terjadi, perempuan akan jadi ‘fotokopi’ semata dari pihak
8
Ibid., hlm. 45
9
Ibid., hlm. 163
lelaki. Sehingga, biarkanlah perempuan berada dalam feminitasnya, dan lelaki
dalam sifat maskulin nya, beserta peran dan tanggungjawabnya.
Terjemahan : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain) Namun
diperbolehkan menginginkan agar mempunyai seperti apa yang dipunyai orang
lain tanpa mengharapkan hilangnya sesuatu itu dari orang lain tersebut (An
Nisa’ : 32).
F. Kesimpulan
Feminisme merupakan sebuah ideologi yang berasal dari worldview Barat.
Pemikirannya tidak dapat dilepaskan dari konsep-konsep yang diproduksi oleh
pemikiran Barat, seperti liberalisme, egalitarianisme dan pragmatisme. Feminisme
berbeda dengan ‘perjuangan wanita’, walaupun feminisme sering mengeluarkan
isu-isu terkait fakta ‘penindasan’ wanita. Kasus-kasus wanita yang depresi karena
tekanan suami, tidak lah dapat diselesaikan dengan jalur feminisme, melainkan
kasus kriminal, yang harus diselesaikan lewat jalur hukum, dengan peran polisi
sebagai aparat yang menanganinya, bukan aktivis perempuan.
Feminisme adalah bagian dari worldview Barat yang kini sedang
berhadapan dengan worldview Islam. keduanya mengalami perbenturan (clash of
civilization), karena keduanya mempunyai asumsi yang jauh berbeda satu sama
lainnya. Keduanya sama-sama memiliki asumsi yang tidak dapat dikatakan mana
yang lebih rasional dan mana yang tidak rasional, karena keduanya sama-sama
sebuah ‘keyakinan’ yang sifatnya imanent (menetap sebagai keyakinan dalam
diri). Karena ‘rasionalitas’ itu sendiri jika digunakan sebagai dasar menentukan
kebenaran sebuah etika, akan selalu ‘bercabang’, sesuai dengan kepentingan
pengguna rasio. Rasio akan mencarikan alasan seseorang untuk melakukan
pembenaran terhadap apa yang dipikirkannya. Tidak begitu dengan worldview
Islam, karena rasio harus tunduk pada ayat-ayat suci. Nalar (rasio) tidak dapat
menjustice apakah perbuatan zina itu dilarang atau tidak, tetapi wahyu dapat men-
justice suatu perbuatan itu terlarang atau tidak terlarang, dengan penjelasan yang
bersifat langsung.
Kecenderungan saat ini, worldview Barat hendak menundukkan
worldview Islam. ditanamkan lah masyarakat Islam dengan berbagai aneka
hiburan televisi, yang melalaikan manusia akan ‘hakekat tujuan hidup’ mereka
sendiri (yaitu untuk mengabdi kepada Allah), menjadi kehidupan yang serba
empiris. Dalam posisi seperti ini lah dunia Islam mudah dimasukkan berbagai
ideologi yang relevan dengan empirisme, yaitu liberal, pragmatisme, dan
seterusnya. Mereka masuk lewat berbagai pintu, dari pintu produk perundang-
undangan (RUU, Perda, Aturan, dst), masuk lewat wacana akademis (lewat PSW,
buku dan jurnal-jurnal ilmiah), masuk lewat pintu pemikiran keagamaan (lewat
institusi UIN/IAIN, Depag, bahkan pesantren).