Anda di halaman 1dari 3

IJTIHAD UMAR TENTANG HUKUM POTONG TANGAN,

MENYALAHI NASH QOTH’I?


Oleh : Akhmad Arifin

Umar Ibn Khattab merupakan sahabat fenomenal. Pada masa


pemerintahannya menaklukkan beberapa wilayah, seperti Persia, Mesir dan
Palestina. Umar merupakan perpaduan antara ketegasan, keberanian dan
intelektualitas. Beberapa hukum dalam islam dalam al Qur’an turun karena
‘usulan’ Umar ibn Khattab, dan banyak diantaranya termuat dalam al Qur’an.
Seperti usulan Umar agar maqom Ibrahim dijadikan tempat untuk berdoa, maka
turun (al Baqarah 125), usulan Umar ibn Khattab agar perempuan berhijab jika
bertemu dengan laki-laki, kemudian turun lah ayat yang berkenaan dengan nya,
yaitu pada Al Ahzab 53. Koodifikasi al Qur’an untuk pertama kali juga diusulkan
oleh Umar, kemudian disempurnakan pada masa Utsman Ibn Affan. Selain itu,
‘tradisi’ sholat tarawih berjama’ah juga dihasilkan dari ‘ijtihad’ Umar Ibn
Khattab. Sehingga banyak Ijtihad beliau yang memberikan kontribusi besar, dan
dirasakan sampai sekarang.
Tetapi ada beberapa hasil ‘ijtihad’ Umar yang dianggap menyalahi teks
ayat al Qur’an, seperti tidak memberikan hukum potong tangan kepada pencuri,
tidak membagikan zakat kepada muallaf, memberikan hukuman tambahan bagi
peminum khamr dan sebagainya. Sudah tentu, Umar Ibn Khattab, sebagai khalifah
berbeda kedudukannya dengan orang awam. Sebagai khalifah, ia harus
memberikan keputusan secara cepat dan tepat berdasarkan nash secara benar di
tengah kondisi sosial yang khusus.
Dalam kasus penerapan, selalu berbeda antara ‘teori’ dan ‘realitas’.
Sebagaimana dapat kita saksikan pada fenomena penegakan hukum, misalnya di
bidang lingkungan hidup. Menurut Undang-undang, seorang yang sengaja
melakukan pencemaran, bisa dikenakan denda sampai 1 Miliar. Tetapi pada
prakteknya, hakim mengeluarkan putusan berdasarkan banyak pertimbangan,
kemudian jatuh putusan yang jauh di bawah tuntutan perundang-undangan. Dalam
hal ini tidak bisa dikatakan bahwa hakim ‘telah menghilangkan’ rumusan
perundang-undangan.
Ijtihad Umar sebagai khalifah ini memang pada kenyataannya,
mengundang kontroversi dari kelompok liberal di Indonesia. Menurut orang
Liberal, bahwa Umar ibn Khattab tidak memberikan hukuman potong tangan
kepada si pencuri (Umar pernah membebaskan dua kasus pencurian, yaitu
pencurian harta baitul maal di kala musim pacelik, dan seorang budak yang
mencuri perhiasan majikannya), itu menandakan bahwa Umar Ibn Khattab dalam
berijtihad mengabaikan nash-nash yang bersifat qoth’i (seperti al Maidah ayat 38).
Kemudian, mereka membuat sebuah kesimpulan bahwa nash yang qoth’i
sekalipun juga termasuk wilayah ‘ijtihad’, sehingga hukum islam, meskipun
berdasarkan nash yang jelas, bisa berubah sesuai dengan keadaan.
Apa yang dilakukan oleh Umar Ibn Khattab, oleh sebagian ulama, tidak
lah melanggar nash al Qur’an. Sifat hukum sendiri semestinya juga fleksibel,
termasuk hukum Islam, meskipun secara ‘bunyi teks’ bersifat kaku dan tak dapat
diubah. Pada beberapa waktu lalu juga terdapat kasus, seorang ibu (yang sudah
tua) dilaporkan anaknya karena pencurian kayu. Jika hakim ‘berpegang’ pada
bunyi teks hukum, maka si ibu pasti terjerat pasal. Dan, banyak hakim di
Indonesia ini yang masih berpegang pada prinsip kekakuan hukum, sehingga lahir
lah pemikiran ‘hukum Progressif’, yang dipengaruhi oleh pemikiran Prof. Satjipto
Rahardjo.
Sifat penegakan hukum syariat adalah fleksibel, meskipun teks nya ‘kaku’.
Diusahakan menghindari pelaksanaan penegakan hukum hudud, sebagaimana
sabda Nabi dari Aisyah: “ Tangguhkanlah sanksi terhadap orang Islam
semampumu. Jika ada jalan keluar, maka biarkan mereka melewati jalan itu” (HR
Abu Dawud dan Nasai). sehingga terdapat kaedah ‘lebih baik salah dalam
membebaskan seseorang dari hukuman, daripada salah dalam pelaksaan
hukuman’. Hal ini juga berlaku ketika rasulullah dimintai seorang perempuan agar
merajam dirinya, karena ia telah melakukan zina. Rasulullah tidak langsung
menyegerakan hukuman, tetapi setelah diminta sampai beberapa kali, rasul baru
membuat keputusan untuk merajam perempuan, dan dilaksanakan setelah masa
kelahiran dan penyusuan anak. Hal yang sama juga dialami oleh Umar yang
didesak untuk membuat keputusan untuk memotong tangan orang yang tidak
mampu, di tengah kondisi musim paceklik. Ini lah yang menyebabkan negara-
negara yang menerapkan hukum potong tangan, sangat jarang diterapkan hukum
Islam, sekalipun itu pada masa pemerintahan Taliban di Afghanistan sekalipun.
Faktor ‘kondisi terdakwa’ berperan penting dalam pertimbangan seorang
qadhi dalam membuat putusan. Dan tidak selama nya, seseorang itu dihukum
ringan, ada kala nya, seseorang itu bisa dihukum berat. Seperti Umar Ibn Khattab
pernah membuat putusan untuk mencambuk seorang pemabuk melebihi dari nash,
yaitu sampai 80 kali cambukan. Dalam kondisi tertentu, memang seorang hakim
harus membuat keputusan yang tepat berdasarkan kondisi seseorang, begitu juga
jika di Indonesia. Misalnya hukuman bagi seorang koruptor dnegan tingkat
pencurian sampai triliunan rupiah kerugian negara, hanya didakwa 5 tahun
penjara. Seharusnya memang putusan hakim melebihi dari ‘bunyi’ teks hukum,
tanpa harus ‘mengeliminir’ aturan itu sendiri.
Tujuan orang liberal dalam membahas ijtihad Umar sama sekali tidak lah
didasari pada faktor kemaslahatan dalam fiqh. Tetapi tujuan mereka adalah
mendekonstruksikan syariah, dalam hal ini mengaburkan batas antara yang qoth’i
dan yang zhanni. Jika batasan ini kabur, maka semua nash bisa dikaburkan
sedemikian rupa, sehingga ayat al Qur’an turun derajatnya, dari pedoman yang
jelas, turun derajatnya menjadi teks-teks yang relatif, ambigu,dan terbuka
terhadap semua penafsiran, sehingga membawa pada sikap skeptis.

Anda mungkin juga menyukai