Umar Ibn Khattab merupakan sahabat fenomenal. Pada masa
pemerintahannya menaklukkan beberapa wilayah, seperti Persia, Mesir dan Palestina. Umar merupakan perpaduan antara ketegasan, keberanian dan intelektualitas. Beberapa hukum dalam islam dalam al Qur’an turun karena ‘usulan’ Umar ibn Khattab, dan banyak diantaranya termuat dalam al Qur’an. Seperti usulan Umar agar maqom Ibrahim dijadikan tempat untuk berdoa, maka turun (al Baqarah 125), usulan Umar ibn Khattab agar perempuan berhijab jika bertemu dengan laki-laki, kemudian turun lah ayat yang berkenaan dengan nya, yaitu pada Al Ahzab 53. Koodifikasi al Qur’an untuk pertama kali juga diusulkan oleh Umar, kemudian disempurnakan pada masa Utsman Ibn Affan. Selain itu, ‘tradisi’ sholat tarawih berjama’ah juga dihasilkan dari ‘ijtihad’ Umar Ibn Khattab. Sehingga banyak Ijtihad beliau yang memberikan kontribusi besar, dan dirasakan sampai sekarang. Tetapi ada beberapa hasil ‘ijtihad’ Umar yang dianggap menyalahi teks ayat al Qur’an, seperti tidak memberikan hukum potong tangan kepada pencuri, tidak membagikan zakat kepada muallaf, memberikan hukuman tambahan bagi peminum khamr dan sebagainya. Sudah tentu, Umar Ibn Khattab, sebagai khalifah berbeda kedudukannya dengan orang awam. Sebagai khalifah, ia harus memberikan keputusan secara cepat dan tepat berdasarkan nash secara benar di tengah kondisi sosial yang khusus. Dalam kasus penerapan, selalu berbeda antara ‘teori’ dan ‘realitas’. Sebagaimana dapat kita saksikan pada fenomena penegakan hukum, misalnya di bidang lingkungan hidup. Menurut Undang-undang, seorang yang sengaja melakukan pencemaran, bisa dikenakan denda sampai 1 Miliar. Tetapi pada prakteknya, hakim mengeluarkan putusan berdasarkan banyak pertimbangan, kemudian jatuh putusan yang jauh di bawah tuntutan perundang-undangan. Dalam hal ini tidak bisa dikatakan bahwa hakim ‘telah menghilangkan’ rumusan perundang-undangan. Ijtihad Umar sebagai khalifah ini memang pada kenyataannya, mengundang kontroversi dari kelompok liberal di Indonesia. Menurut orang Liberal, bahwa Umar ibn Khattab tidak memberikan hukuman potong tangan kepada si pencuri (Umar pernah membebaskan dua kasus pencurian, yaitu pencurian harta baitul maal di kala musim pacelik, dan seorang budak yang mencuri perhiasan majikannya), itu menandakan bahwa Umar Ibn Khattab dalam berijtihad mengabaikan nash-nash yang bersifat qoth’i (seperti al Maidah ayat 38). Kemudian, mereka membuat sebuah kesimpulan bahwa nash yang qoth’i sekalipun juga termasuk wilayah ‘ijtihad’, sehingga hukum islam, meskipun berdasarkan nash yang jelas, bisa berubah sesuai dengan keadaan. Apa yang dilakukan oleh Umar Ibn Khattab, oleh sebagian ulama, tidak lah melanggar nash al Qur’an. Sifat hukum sendiri semestinya juga fleksibel, termasuk hukum Islam, meskipun secara ‘bunyi teks’ bersifat kaku dan tak dapat diubah. Pada beberapa waktu lalu juga terdapat kasus, seorang ibu (yang sudah tua) dilaporkan anaknya karena pencurian kayu. Jika hakim ‘berpegang’ pada bunyi teks hukum, maka si ibu pasti terjerat pasal. Dan, banyak hakim di Indonesia ini yang masih berpegang pada prinsip kekakuan hukum, sehingga lahir lah pemikiran ‘hukum Progressif’, yang dipengaruhi oleh pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo. Sifat penegakan hukum syariat adalah fleksibel, meskipun teks nya ‘kaku’. Diusahakan menghindari pelaksanaan penegakan hukum hudud, sebagaimana sabda Nabi dari Aisyah: “ Tangguhkanlah sanksi terhadap orang Islam semampumu. Jika ada jalan keluar, maka biarkan mereka melewati jalan itu” (HR Abu Dawud dan Nasai). sehingga terdapat kaedah ‘lebih baik salah dalam membebaskan seseorang dari hukuman, daripada salah dalam pelaksaan hukuman’. Hal ini juga berlaku ketika rasulullah dimintai seorang perempuan agar merajam dirinya, karena ia telah melakukan zina. Rasulullah tidak langsung menyegerakan hukuman, tetapi setelah diminta sampai beberapa kali, rasul baru membuat keputusan untuk merajam perempuan, dan dilaksanakan setelah masa kelahiran dan penyusuan anak. Hal yang sama juga dialami oleh Umar yang didesak untuk membuat keputusan untuk memotong tangan orang yang tidak mampu, di tengah kondisi musim paceklik. Ini lah yang menyebabkan negara- negara yang menerapkan hukum potong tangan, sangat jarang diterapkan hukum Islam, sekalipun itu pada masa pemerintahan Taliban di Afghanistan sekalipun. Faktor ‘kondisi terdakwa’ berperan penting dalam pertimbangan seorang qadhi dalam membuat putusan. Dan tidak selama nya, seseorang itu dihukum ringan, ada kala nya, seseorang itu bisa dihukum berat. Seperti Umar Ibn Khattab pernah membuat putusan untuk mencambuk seorang pemabuk melebihi dari nash, yaitu sampai 80 kali cambukan. Dalam kondisi tertentu, memang seorang hakim harus membuat keputusan yang tepat berdasarkan kondisi seseorang, begitu juga jika di Indonesia. Misalnya hukuman bagi seorang koruptor dnegan tingkat pencurian sampai triliunan rupiah kerugian negara, hanya didakwa 5 tahun penjara. Seharusnya memang putusan hakim melebihi dari ‘bunyi’ teks hukum, tanpa harus ‘mengeliminir’ aturan itu sendiri. Tujuan orang liberal dalam membahas ijtihad Umar sama sekali tidak lah didasari pada faktor kemaslahatan dalam fiqh. Tetapi tujuan mereka adalah mendekonstruksikan syariah, dalam hal ini mengaburkan batas antara yang qoth’i dan yang zhanni. Jika batasan ini kabur, maka semua nash bisa dikaburkan sedemikian rupa, sehingga ayat al Qur’an turun derajatnya, dari pedoman yang jelas, turun derajatnya menjadi teks-teks yang relatif, ambigu,dan terbuka terhadap semua penafsiran, sehingga membawa pada sikap skeptis.