Anda di halaman 1dari 64

LAPORAN KASUS SEMINAR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. A DENGAN DIAGNOSA POST


OP TREPANASI DI RUANG MUTIARA RUMAH SAKIT
PHC SURABAYA

ajukan untuk
memperoleh gelar
SarjanKeperawatan
(S. Kep)
di Sekolah

Tinggi I
lmu Ke
1. Astriani Rohmawati., S.Kep (1830016)
2. Febri Ika Safitri., S.Kep (1830042)
3. Jasinta Firda Pratiwi., S.Kep (1830050)
4. Nasa Fasalino., S.Kep (1830065)
5. Siska Dwi Astuti., S.Kep (1830089)
sehatan Hang Tuah Surabay

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA


PROGRAM PROFESI NERS
2018
HALAMAN PENGESAHAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. A DENGAN DIAGNOSA
POST OP TREPANASI DI RUANG MUTIARA RUMAH
SAKIT PHC SURABAYA

Mengetahui

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

Dedi Irawandi., S.Kep., Ns., M.Kep Kustri Winarni Amd.Kep

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Asuhan keperawatan pada Tn. A dengan diagnosa Post op trepanasi” dengan
tepat waktu dan digunakan untuk melengkapi tugas praktek klinik profesi ners
stase keperawatan medikal bedah. Penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada :
1. Ibu kustri dan Mbak meta selaku pembimbing klinik
2. Dedi Irawandi., S.Kep., Ns., M.Kep selaku pembimbing institusi

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada


makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Surabaya, 10 Desember 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan masalah ........................................................................................ 3
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penulisan ....................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1 Pengertian Cidera Kepala ............................................................................ 4
2.2 Pengertian Subdural Hematoma .................................................................. 4
2.3 Anatomi dan Fisiologi Otak ........................................................................ 5
2.4 Etiologi ..................................................................................................... 13
2.5 Manifestasi Klinis ..................................................................................... 14
2.6 Patofisiologi .............................................................................................. 14
2. 7 WOC .......................................................................................................... 21
2.7 Pemeriksaan penunjang ............................................................................. 18
2.8 Penatalaksanaan......................................................................................... 18
2.9 Asuhan Keperawatan................................................................................. 22
2.9.1 Pengkajian ............................................................................................... 22
2.9.2 Riwayat kesehatan ..................................................................................... 22
2.9.3 Pemeriksaan Fisik ..................................................................................... 23
2.10 Diagnosa Keperawatan yang muncul ........................................................ 27
BAB 3 TINJAUAN KASUS ................................................................................ 28
BAB 4 PEMBAHASAN ...................................................................................... 52
4.1 Pengkajian ................................................................................................. 52
4.2 Diagnosis Keperawatan ............................................................................. 53
4.3 Perencanaan ............................................................................................... 54
4.4 Pelaksanaan ............................................................................................... 55
4.5 Evaluasi ..................................................................................................... 56
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 57
5.1 Simpulan.................................................................................................... 57

iv
5.2 Saran ..................................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 58

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma kepala merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008). Trauma kepala dapat
disebabkan karena adanya benturan atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari
terjadinya trauma kepala yang paling fatal adalah kematian. Selain itu trauma
kepala dapat menyebabkan komplikasi infeksi atau pendarahan. Epidural
hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara
tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek atau menyerupai
lensa cembung. Subdural hematom (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di
antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih terjadi dibandingkan EDH ditemukan
sekitar 30% dengan trauma kepala berat. Tindakan yang sering dilakukan saat
terjadi perdarahan di ruang kepala adalah trepanasi atau kraniotomi yaitu suatu
tindakan membuka tulang kepala dengan tujuan mencapai otak untuk tindakan
pembedahan definitif. Trauma kepala juga menyebabkan perubahan fisik dan
psikologis. Trauma kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian
akibat trauma-trauma. Trauma kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh
karena itu, diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan
morbiditas dan mortilitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya
rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan
berkurangnya pemilihan fungsi.

1
2

Berdasarkan tingkat keparahannya, trauma kepala dibagi menjadi tiga,


yaitu trauma kepala ringan, sedang, dan berat. Trauma kepala ringan dapat
menyebabkan gangguan sementara pada fungsi otak. Penderita dapat merasa
mual, pusing, linglung, atau kesulitan mengingat untuk beberapa saat. Penderita
trauma kepala sedang juga dapat mengalami kondisi yang sama, namun dalam
waktu yang lebih lama.
Bagi penderita trauma kepala berat, potensi komplikasi jangka panjang
hingga kematian dapat terjadi jika tidak ditangani dengan tepat. Perubahan
perilaku dan kelumpuhan adalah beberapa efek yang dapat dialami penderita
dikarenakan otak mengalami kerusakan, baik fungsi fisiologisnya maupun
struktur anatomisnya. Selain itu, trauma kepala juga dapat dibedakan menjadi
trauma kepala terbuka dan tertutup. Trauma kepala terbuka adalah apabila trauma
menyebabkan kerusakan pada tulang tengkorak sehingga mengenai jaringan otak.
Sedangkan trauma kepala tertutup adalah bila trauma yang terjadi tidak
menyebabkan kerusakan pada tulang tengkorak, dan tidak mengenai otak secara
langsung.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013,
jumlah data yang dianalisis seluruhnya 1.027.758 orang untuk semua umur.
Adapun responden yang tidak pernah mengalami trauma kepala 942.984 orang
dan yang pernah mengalami trauma kepala 84.774 orang. Sebanyak 34.409 kasus
trauma kepala disebabkan karena transportasi sepeda motor, yang menjadi
penyebab trauma kepala kedua tertinggi (40,6%) setelah jatuh (40,9%). Prevalensi
trauma secara nasional adalah 8,2%. Prevalensi trauma kepala tertinggi
berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun
(11,7%), dan pada laki-laki (10,1%), (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Sedangkan jumlah
pasien dengan tindakan trepanasi di RS PHC Surabaya periode tahun 2016
sebanyak 20 kasus, pada tahun 2017 sebanyak 39 kasus dan periode tahun 2018
sampai bulan Oktober sebanyak 25 kasus. Jadi tindakan trepanasi yang dilakukan
di RS PHC sampai dengan bulan Oktober tahun 2018 adalah sebanyak 84 kasus.
Pasien trauma kepala mengalami ketidakmampuan untuk beraktivitas
sehingga mengalami gangguan mobilisasi dan memungkinkan terjadinya
3

perubahan bahkan kerusakan neurologi berat. Ketidakmampuan pasien trauma


kepala dengan gangguan mobilisasi membuat pasien hanya berbaring saja tanpa
mampu untuk mengubah posisi. Efek dari gangguan mobilisasi akan
mempengaruhi pada kondisi psikologis dan fisiologis pasien.
1.2 Rumusan masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada Tn. A dengan diagnosa medis dengan post
op trepanasi di Ruang Mutiara, RS PHC Surabaya ?
1.3 Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan umum penulisan karya ilmiah ini adalah penulis mengetahui asuhan
keperawatan pada pasien dengan post op trepanasi.
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mengetahui dan mampu:
a. Melakukan pengkajian pada Tn. A dengan post op trepanasi.
b. Merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. A dengan post op trepanasi.
c. Menyusun intervensi keperawatan pada Tn. A dengan post op trepanasi.
d. Melakukan implementasi keperawatan pada Tn. A dengan post op trepanasi
e. Melakukan evaluasi keperawatan pada Tn. A dengan post op trepanasi.
f. Melakukan dokumentasi keperawatan pada Tn. A dengan post op trepanasi.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis.
Memberikan pengalaman yang nyata dan menambah pengetahuan tentang
asuhan keperawatan pasien dengan post op trepanasi.
2. Bagi institusi
Dapat digunakan sebagai informasi bagi institusi pendidikan dalam
pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan di masa yang datang, terutama
masalah keperawatan.
3. Bagi rumah sakit
Bermanfaat bagi perawat untuk melakukan asuhan keperawatan yang lebih
profesional dalam melakukan tugasnya dan mendapatkan pembaharuan
pengetahuan.
4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Cidera Kepala


Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas (Mansjoer, 2007)
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
Menurut Brain Injury Assosiation of America cidera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik (Longlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006)
Dari beberapa penegertian di atas dapat disimpulkan bahwa trauma kepala
atau cidera kepala adalah suatu kerusakan yang menimpa struktur kepala yang
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar yang dapat menimbulkan
gangguan fugsional jaringan otak.

2.2 Pengertian Subdural Hematoma


Menurut Depkes RI (1995: 63) Subdural Hematoma adalah perdarahan
yang terjadi antara durameter dan arakhnoid yang biasanya meliputi perdarahan
vena. Sedangkan menurut Carolyn M. Hudak, alih bahasa Monica E.D Adiyanti
(1996).
5

228) hematoma subdural adalah akumulasi darah di bawah lapisan meningeal


durameter dan diatas lapisan arakhnoid yang menutupi otak. Definisi lain
dikemukakan oleh Arif Mansjoer, dkk (2000: 8) bahwa hematoma subdural ialah
pengumpulan darah dalam rongga antara durameter dan membran subarakhnoid
yang bersumber dari robeknya vena.
Dari ketiga pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa hematoma
subdural adalah akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara durameter
dan arakhnoid yang biasanya disebabkan karena perdarahan vena.

2.3 Anatomi dan Fisiologi Otak


Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar-
agar dan terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu kranium
(tengkorak), yang secara absolut tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada
orang dewasa. Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari
permukaan luar adalah: kulit kepala yang mngandung rambut, lemak dan jaringan
lainnya, tulang tengkorak, meningens (selaput otak dan liquor serebrospinalis).
(Satyanegara, 1998: 12).
Otak dibagi dalam beberapa bagian:
1. Serebrum (otak besar)
Merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur,
mengisi depan atas rongga tengkorak, masing-masing disebut fase kranialis
anterior atas dan fase kranialis media.
Pada otak besar ditemukan beberapa lobus, yaitu:
a. Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan
siklus sentralis. Lobus ini terlihat dalam 2 fungsi serebral utama, yaitu: (1) kontrol
motorik gerakan volunter termasuk fungsi bicara, dan (2) kontrol berbagai
ekspresi emosi, moral dan tingkah laku etika. Fungsi aktifitas motoriknya
diekspresikan melalui: korteks somato-motorik primer (area Brodmann 4), korteks
premotor dan suplemen (area Brodmann 6), frontal eye field (area Brodmann 8)
dan pusat bicara Broca (area Brodmann 44), sedangkan kontrol ekspresif dari
emosi dan moral dilaksanakan oleh korteks pre frontal (Satyanegara, 1998: 15)
6

b. Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakangi oleh


karaco oksipitalis. Lobus parietal dikaitkan untuk evaluasi sensorik umum dan
rasa kecap, dimana selanjutnya akan dintegrasi dan diproses untuk menimbulkan
kesiagaan tubuh terhadap lingkungan eksternal. (Satyanegara, 1998: 17)
c. Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di
depan lobus oksipitalis. Lobus temporalis mempunyai peran fungsionil yang
berkaitan dengan pendengaran, keseimbangan dan juga sebagian dari emosi-
memori.
d. Lobus oksipitalis, yang mengisi bagian belakang daris erebrum lobus
oksipitalis sangat penting fungsinya sebagai kortex visual. Secara umum, fungsi
serebrum terdiri dari:
1) mengingat pengalaman-pengalaman masa lalu
2) pusat persyarafan yang menangani; aktifitas mental, akal, inteligensi,
keinginan dan memori.
3) pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil.
Penampang lateral lobus-lobus otak

Sumber: Satyanegara, L. Djoko Listiano, Ilmu Bedah Saraf Edisi


III, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998
2. Batang otak (trunkus serebri)
Batang otak adalah pangkal otak yang merilei pesan-pesan antara medula
spinalis dan otak. Batang otak terdiri dari:
a. Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara
serebrum dengan mesensefalon. Kumpulan dari sel syaraf yang terdapat di
7

bagian depan lobus temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut


menghadap ke samping.
Fungsi dari diensefalon:
1) vaso kontruktor, mengecilkan pembuluh darah
2) respiratori, membantu proses persyarafan
3) mengontrol kegiatan reflek
4) membantu pekerjaan jantung
Diensefalon tersusun atas struktur Hipothalamus yang berfungsi sebagai
pusat integrasi susunan saraf otonom, regulasi temperatur, keseimbangan cairan
dan elektrolit, integrasi sirkuit siklus bangun-tidur, intake makanan, respon
tingkah laku terhadap emosi, pengontrolan endokrin, dan respon seksual.
Thalamus berfungsi sebagai pusat persediaan dan integrasi bagi semua jenis
impuls sensorik, kecuali penciuman.thalamus memainkan peranan penting dalam
transmisi impuls nyeri.(satyanegara, 1998:20).
Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol
ke atas, 2 di sebelah atas disebut korpus quadrigeminus superior dan 2 di sebelah
bawah disebut korpus quadrigeminus inferior, serat saraf okulomotorius berjalan
ke veritral di bagian medial. Serat-serat saraf nervus troklearis berjalan ke arah
dorsal menyilang garis tengah ke sisi lain.
Fungsinya terdiri dari:membantu pergerakan mata dan mengangkat
kelopak mata. memutar mata dan pusat pergerakan mata. Pons varoli, brakium
pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons varoli dengan serebelum,
terletak didepan serebelum di antara otak tengah dan medula oblongota, disini
terdapat premotoksid yang mengatur gerakan pernafasan dan reflek. Fungsi dari
pons varoli terdiri dari:
1) Penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula
oblongata dengan serebelum
2) Pusat syaraf nervus trigeminus. Medula oblongata, merupakan bagian dari
batang otak yang paling bawah yang menghubungkan pons varoli dengan
medula spinalis. Bagian bawah medula oblongata merupakan
persambungan medula spinalis ke atas dan bagian atas medula oblongata
disebut kanalis sentralis di daerah tengah bagian ventral medula oblongata.
8

Fungsi medula oblongata merupakan organ yang menghantarkan impuls


dari medula spinalis dan otak yang terdiri dari: mengontrol pekerjaan
jantung, mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktor), pusat pernafasan
(respiratory centre), mengontrol kegiatan reflek. Otak dilindungi oleh
selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan:
a. Duramater (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal
dan kuat, di bagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan
duramater propia di bagian dalam. Di dalam kanal vertebralis kedua
lapisan ini terpisah. Duramater pada tempat tertentu mengandung
rongga yang mengalirkan arah vena dari otak, rongga ini dinamakan
sinus longitudinal superior, terletak di antara kedua hemisfer otak.
b. Arakhnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan
piameter membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak
yang meliputi seluruh susunan syaraf sentral. Medula spinalis terhenti
setinggi di bawah lumbal I-II terdapat sebuah kantong berisi cairan,
berisi saraf perifer yang keluar dari medula spinalis dapat
dimanfaatkan untuk mengambil cairan otak yang disebut pungsi
lumbal.
c. Piamater (lapisan sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak,
piamater berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur
jaringan ikat yang disebut trabekel. Tepi falks serebri membentuk
sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang
mengeluarkan darah dari falks serebri. Tentorium memisahkan serebri
dengan sereblum.(Syaifuddin, 1997: 124).
3. Jenis Cedera Kepala
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, kaparahan,
dan morfologi cedera.
a. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramater
- Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil)
9

- Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)


- Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)

b. Keparahan cedera
Menurut (Mansjoer, Arief 2000:5), (Hudak and Gallo, alih bahasa
Monica E.D Adiyanti, 1996:226)
 Ringan : Skala koma Glasgow (Glasglow Coma Scale,
GCS) 14-15 Suatu keadaan dimana kepala mendapat trauma
ringan dengan hasil penilaian tingkat kesadaran (GCS) yaitu
13-15, klien sadar penuh, atentif dan orientatif. Klien tidak
mengalami kehilangan kesadaran, bila hilang kesadaran
misalnya konkusio, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat
terlarang. Klien biasanya mengeluh nyeri kepala dan pusing.
Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit
kepala.
 Sedang : GCS 9-13. Suatu keadaan cedera kepala dengan
nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12, tingkat kesadaran
lethargi, obturded atau stupon. Gejala lain berupa muntah,
amnesia pasca trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum,
otorea atau rinorea cairan cerebrospinal dan biasanya terdapat
kejang.
 Berat : GCS 3-8. Cedera kepala dengan nilai tingkat
kesadaran (GCS) yaitu 3-8, tingkat kesadaran koma. Terjadi
penurunan derajat kesadaran secara progresif. Tanda
neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur
depresi kranium. Mengalami amnesia > 24 jam, juga meliputi
kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intra kranial.
c. Morfologi
1. Fraktur tengkorak : kranium : linear/stelatum; depresi/non
depresi; terbuka/tertutup: basis dengan/tanpa kebocoran cairan
serebrospinal dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII
10

2. Lesi intrakranial : fokal: menurut:Suzanne C Smeltzer, et. al,


alih bahasa Agung Waluyo (2001:2212), Tuti Pahria,dkk
(1996:49)
3. Epedural adalah pengumpulan darah di dalam ruang epidural
(ekstradural) di antara tengkorak dan duramater. Keadaan ini
sering diakibatkan dari fraktur atau rusak (laserasi), dimana
arteri ini berada di antara duramater putus atau rusak (laserasi),
dimana arteri ini berada diantara duramater dan tengkorak
daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal hemoragi
karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak. Gejala
ditimbulkan oleh hematoma luas, disebabkan oleh perluasan
hematoma. Biasanya terlihat adanya kehilangan kesadaran
sebentar pada saat cedera, diikuti dengan pemulihan yang
nyata secara perlahan-lahan. Gejala klasik atau temporal
berupa kesadaran yang makin menurun disertai anisokor pada
mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontra lateral.
Sedangkan hematoma epidural di daerah frontal dan parietal
atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran
(biasanya somnolen) yang tidak membaik setelah beberapa
hari. Banyaknya perdarahan terjadi karena proses desak ruang
akut, bila cukup besar akan menimbulkan herniasi misalnya
pada perdarahan epidural, temporal yang dapat menyebabkan
herniasi unkus. Perdarahan Intrakranial berdasarkan lokasi
akibat cedera kepala menurut:Suzanne C Smeltzer, et. al, alih
bahasa Agung Waluyo (2001:2212), Tuti Pahria,dkk (1996:49)
adalah sebagai berikut:
a) Hematoma Epidural
Hematoma Epidural Adalah pengumpulan darah di dalam
ruang epidural (ekstradural) di antara tengkorak dan duramater.
Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur atau rusak (laserasi),
dimana arteri ini berada di antara duramater putus atau rusak
(laserasi), dimana arteri ini berada diantara duramater dan
11

tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal


hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.
Gejala ditimbulkan oleh hematoma luas, disebabkan oleh
perluasan hematoma. Biasanya terlihat adanya kehilangan
kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti dengan pemulihan
yang nyata secara perlahan-lahan. Gejala klasik atau temporal
berupa kesadaran yang makin menurun disertai anisokor pada
mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontra lateral.
Sedangkan hematoma epidural di daerah frontal dan parietal atas
tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran
(biasanya somnolen) yang tidak membaik setelah beberapa hari.
Banyaknya perdarahan terjadi karena proses desak ruang akut,
bila cukup besar akan menimbulkan herniasi misalnya pada
perdarahan epidural, temporal yang dapat menyebabkan herniasi
unkus.
b) Hematoma Subdural
Adalah pengumpulan darah diantara durameter dan
arakhnoid yang biasanya meliputi perdarahan vena. Paling
sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga terjadi
kecenderungan perdarahan yang serius dari aneurisma, hemoragi
subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat
putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang
subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, subakut atau
kronik, tergantung pada ukuran pembuluh yang terkena dan
jumlah perdarahan yang ada.
c) Hematoma Subdural Akut, sering dihubungkan dengan
cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau laserasi.
Biasanya pasien dalam keadaan koma dan/ atau tanda gejala
klinis: sakit kepala, perasaan kantuk dan kebingungan, respon
yang lambat dan gelisah. Tekanan darah meningkat dengan
frekuensi nadi lambat dan pernafasan cepat sesuai dengan
12

peningkatan hematoma yang cepat. Keadaan kritis terlihat


dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
d) Hematoma subdural sub akut, biasanya berkembang 7-10
hari setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri
yang agak berat dan dicurigai pada pasien yang gagal untuk
meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Tanda dan gejala
sama seperti pada hematoma subdural akut. Tekanan serebral
yang terus menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran
yang dalam. Angka kematian pasien hematoma subdural akut
dan subakut tinggi, karena sering dihubungkan dengan kerusakan
otak.
e) Hematoma subdural kronik, terjadi karena cedera kepala
minor. Mulanya perdarahan kecil memasuki di sekitar membran
vaskuler dan pelan-pelan meluas. Gejala klinis mungkin tidak
terjadi/ terasa dalam beberapa minggu atau bulan. Keadaan ini
pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan
motorik, lansia cenderung yang paling sering mengalami cedera
kepala tipe ini sekunder akibat atropi otak, yang diperkirakan
akibat proses penuaan. Cedera kepala minor dapat
mengakibatkan dampak yang cukup untuk menggeser isi otak
secara abnormal dengan sekuela negatif.
f) Hematoma Intraserebral
Adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini
biasanya terjadi pada cedera kepala dimana mendesak ke kepala
sampai daerah kecil (cedera peluru atau luka tembak, cedera
tumpul). Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan
oleh hipertensi sistemik yang menyebabkan degenerasi dan
ruptur pembuluh darah, ruptur kantung aneurisma, anomali
vaskuler, tumor intrakranial. Akibat adanya substansi darah
dalam jaringan otak akan menimbulkan edema otak, gejala
neurologik tergantung dari ukuran dan lokasi perdarahan.
13

2.4 Etiologi
Menurut Satyanegara, (1998:148) Kebanyakan cedera kepala merupakan
akibat salah satu dari kedua mekanisme dasar yaitu:
a. Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu
obyek atau sebaliknya.
b. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang
hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan.
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma
kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak
20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan
sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama
trauma kepala (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Kecelakaan lalu lintas
dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak
32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap
pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika
Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya trauma kepala
adalah seperti berikut :Kecelakaan Lalu Lintas. Kecelakaan lalu lintas adalah
dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau
benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna
jalan raya (IRTAD, 1995).
1. Jatuh Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun
atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gaya gravitasi bumi, baik
ketika masih digerakkan turun maupun sesudah sampai ketanah.
2. kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang
lain, atau menyebabkan kerusakan fisik padabarang atau orang lain (secara
paksaan).
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti
translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala
bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat
searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan
(akselerasi) pada arah tersebut.
14

Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-
tiba dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka
kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba
mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala.
Kecederaan di bagian muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat,
2009).

2.5 Manifestasi Klinis


a. Perdarahan Subarachnoid
1) Nyeri kepala hebat
2) Kaku kuduk.
Berdasarkan GCS (Glassgow Coma Scale) :
1. Cidera Kepala Ringan (CKR): Kehilangan kesadaran /amnesia <30 menit, tidak
ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral.
2. Cidera Kepala Sedang (CKS): Kehilangan kesadaran dan atau amnesia <30
menit tetapi kurang dari 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia >24 jam, juga meliputi kontusio
cerebral, laserasi, atauhematoma intracranial.
4. Cidera Kepala Berat (CKB)

2.6 Patofisiologi
Patofisiologi trauma kepala menurut: Sylvia Anderson, et,al., alih bahasa
Peter Anugerah (1995: 1011); Satyanegara, (1998: 150); Carolyn M. Hudak, et,
al., alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996: 226) adalah sebagai berikut:
Trauma kepala dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat
akan menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya
secara mendadak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa
ini dikenal dengan sebutan cedera akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek
mekanis, akselerasi dan deselerasi merupakan kejadian yang serupa, hanya
berbeda arahnya saja. Efek akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior ke
anterior adalah serupa dengan deselerasi kepala anterior-posterior.
15

Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan
atau memar pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut
akan mengakibatkan gejala defisit neurologis yang tanda-tandanya adalah
penurunan kesadaran yang progresif, reflek Babinski yang positif, kelumpuhan
dan bila kesadaran pulih kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak
organik.
Trauma kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi
karena pada dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-
sel endotelnya. Sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke
jaringan otak karena adanya perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler
dengan tekanan interstisial.
Akibat cedera kepala, otak akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak
dan duramater, kemudian terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada vena-
vena “gantung” (bridging veins). Robeknya vena yang menyilang dari kortex ke
sinus-sinus venosus dapat menyebabkan subdural hematoma, karena terjadi
pengisian cairan pada ruang subdural akibat dari vena yang pecah. Selanjutnya
pergeseran otak juga menimbulkan daerah-daerah yang bertekanan rendah (cedera
regangan) dan bila hebat sekali dapat menimbulkan kontusi kontra-kup.
Akibat dari adanya edema, maka pembuluh darah otak akan mengalami
penekanan yang berakibat aliran darah ke otak berkurang, sehingga akan hipoksia
dan menimbulkan iskemia yang akhirnya gangguan pernapasan asidosis
respiratorik (Penurunan PH dan peningkatan PCO2 ). Akibat lain dari adanya
perdarahan otak dan edema serebri yang paling berbahaya adalah terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial yang timbul karena adanya proses desak ruang
sebagai akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di dalam otak. Peningkatan
intra kranial yang terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema yang
bertambah secara progresif, akan menyebabkan koma dengan TIK yang terjadi
karena kedua hemisfer otak atau batang otak sudah tidak berfungsi
21

2. 7 WOC
Kecelakaan Jatuh

CEDERA KEPALA

Fraktur tulang
Ruptur vena dalam ruang tengkorak.
Keluar darah dari
serebral
hidung dan telinga
Aliran Jejas dan luka
meningen terbuka
Hematom Subdural media rusak
Sesak nafas,
terdengar bunyi
grogling, ada Perdarahan
HS akut HS Sub HS kronis gelembung udara Hematom epidural
(24-48 jam) Akut > beberapa di hidung
Past cedera 48-2mgg mgg/bulan post
post cedera hipovolemia
Menekan lobus
cedera temporalis
MK: bersihan
jalan nafas tidak
Robek ruang efektif TD turun,
Gangguan subdural Hematom brakikardi, CRT
neurologis > 2 detik,
sianosis
Perdarahan
Peningkatan TIK
lambat 7-10 Kekurangan
Gangguan hari volume cairan
mobilitas fisik
Sakit kepala, penurunan 22
Darah hematom dan
kesadaran atau
kerusakan sel dalam
hilangnya kesadaran,
arah hematom
muntah proyektil

Hematom meningkat
Perubahan perfusi
jaringan

Hemiparase , diatas pupil


18

2.7 Pemeriksaan penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus, tetapi untuk memontoring
keadaan kadar O2 dan Co2 dalam tubuh dilakukan pemeriksaan AGD
adalah salah satu pemeriksaan diagnostic untuk menentukan status
respirasi.
b. CT-Scan: Mengidentifikasi adanya hemoragik dan menentugan
pergeseran jaringan otak.
c. Foto Rontgen: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur)
perubahan struktur garis (pendarahan/edema), fragmen tulang.
d. MRI: sama dengan CT-Scan/tanpa kontras
e. Angiografi Serebral: menunjukan kelainan sirkulasi serebral,
perdarahan
f. Pemeriksaan fungsi lumbal: mengetahui kemungkinan perdarahan
subarachnoid.
g. ABGs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan intrakranial.
h. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intracranial.

2.8 Penatalaksanaan
(1) Cedera Kepala Ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat
dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan CT Scan bila memenuhi kriteria
berikut :
a. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya
berjalan) dalam batas normal
b. Foto servikal jelas normal
c. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien
selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke
bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan.
1) Kriteria perawatan di rumah sakit :
2) Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT scan
19

3) Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun


4) Adanya tanda dan gejala neurologis fokal
5) Intoksikasi obat atau alkohol
6) Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
7) Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien
di rumah.
2. Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio
otak), dengan skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan
mengikuti perintah) dan CT scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini
dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri
kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbulnya lesi
intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala
sedang adalah minimal.
3. Cedera kepala berat : setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital,
keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi
intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada
indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi.
Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat
intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan
primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak
sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan intrakranial yang
meningkat.
a. Anti kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan
harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-
lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak
berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/ kgBB diberikan intravena
perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/ menit.pada
cedera kepala berat, Antikejang fenitoin diberikan 15-20 mg/kgBB
bolus intavena, kemudian 300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi
kejang pascatrauma dini (minggu pertama) dari 14% menjadi 4% pada
pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin
tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika
20

pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10


hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karena kadar subterapi sering
disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
b. Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau
nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin (biasanya hari ke-2
perawatan)
c. Temperatur badan: demam (temperatur > 101 oF) mengeksaserbasi
cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau
kompres dingin. Pengobatan penyebab (antibiotik) diberikan bila perlu.
d. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien
dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi,
hiperglikemia dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai
sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason
10 mg intravena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam)
e. Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau
koagulopati memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan
harus mendapat ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1
g per oral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
f. Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien
dengan cedera kepala terbuka masih kontroversial. Golongan penisilin
dapat mengurangi resiko meningitis penumokok pada pasien dengan
otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat
meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
g. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi
h. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20%
atau glukosa 40% atau gliserol 10%
i. Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak
dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus 5%, aminofusin, aminofel
21

(18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian


diberikan makanan lunak.
j. Pembedahan, meliputi kraniotomi atau kraniektomi atau trepanasi
Pada trauma berat, karena hari-hari pertama didapatkan penderita
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan
elektrolit, maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan,
dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5%
8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan
diberikan melalui nasogastrik tube (2500-3000 TKTP). Pemberian protein
tergantung nilai urea N. (kapita selekta kedokteran edisi ketiga jilid dua
4. Komplikasi
a. Sindrompasca konkusi
Nyeri kepala, vertigo, depresi dan gangguan konsentrasi dapat menetap
bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi setelah
cedera vestibular
b. Kebocoran cairan serebro spinal
Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi jika hubungan
Antara rongga subaraknoid dan telinga tengah atau sinus paranasal
akibat fraktur basis hanya kecil dan tertutup jaringan otak, maka hal ini
tidak akan terjadi dan pasien mungkin mengalami meningitis
dikemudian hari. Selain terapi infeksi, komplikasi ini membutuhkan
reparasi bedah untuk robekan dura. Eksplorasi bedah juga dibutuhkan
terjadi kebocoran cairan serebrospinal presisten.
c. Epilepsy pascatrauma
Terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal ( dalam
minggu pertama setelah cedera), amnesia pasca trauma yang lama
(lebih dari 24 jam), fraktur depresi cranium, hematoma intracranial.
d. Komplikasi lanjut cedera kepala ini (dapat terjadi pada cedera kepala
ringan) dapat mengakibatkan demensia.
22

2.9 Asuhan Keperawatan


2.9.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data
baik subyektif atau obyektif dan kemudian menganalisanya. Data-data
dalam pengkajian ini meliputi: (Pahria, Tuti ,dkk, 1996: 55)
1. Identitas klien
Identitas klien meliputi nama klien, umur klien biasanya pada usia
produktif atau pada lansia, jenis kelamin mayoritas pria, agama,
pendidikan, pekerjaan klien biasanya berhubungan dengan sarana
transportasi, status marital, suku bangsa, tanggal masuk rumah sakit,
tanggal pengkajian, golongan darah, no.medrek, diagnosa medis dan
alamat.
2. Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
2.9.2 Riwayat kesehatan
1. Alasan masuk Rumah Sakit
Biasanya penyebab trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas,
namun tidak menutup kemungkinan faktor lain. Oleh karena itu pada
Alasan klien masuk Rumah Sakit perlu dikaji mengenai kapan, dimana,
penyebab, bagaimana proses terjadinya, apakah klien pingsan, muntah atau
perdarahan dari hidung atau telinga.
2. Keluhan utama saat dikaji
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala sedang datang ke
rumah sakit dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS = 9-12), sedangkan
apabila klien sudah sadar penuh biasanya akan merasa bingung,mengeluh
muntah, dispnea, tachipnea, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah,
paralise, hemiparese, luka di kepala, akumulasi sputum pada saluran nafas,
adanya liquor dari hidung dan telinga dan adanya kejang yang disebabkan
karena proses benturan akselerasi-deselerasi pada setiap daerah lobus otak
yang dapat menyebabkan konkusio atau kontusio serebri yang
mengakibatkan penurunan kesadaran kurang atau bisa lebih dari 24 jam.
23

3. Riwayat kesehatan dahulu


Perlu dikaji apakah klien pernah mengalami trauma kepala atau
penyakit sistem syaraf serta penyakit sistemik. Perlu dikaji juga apakah
klien memiliki kebiasaan kebut-kebutan di jalan raya, memakai Helm
dalam mengendarai kendaraan, meminum minuman beralkohol atau obat-
obatan terlarang.

4. Riwayat kesehatan keluarga


Kaji mengenai adanya penyakit keturunan, penyakit menular,
kebiasaan buruk dalam keluarga seperti merokok atau keadaan kesehatan
anggota keluarga.
2.9.3 Pemeriksaan Fisik
1. Sistem pernafasan
Didapatkan adanya perubahan pola nafas baik irama, kedalaman
maupun frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (cheyne
stokes, ataxia breathing), bunyi nafas ronchi atau stridor, adanya sekret
pada trakheo bronkhiolus, adanya retraksi dinding dada.
2. Sistem kardiovaskuler
Dalam pemeriksaan didapatkan perubahan tekanan darah menurun
kecuali apabila terjadi peningkatan tekanan intra kranial maka tekanan
darah meningkat, denyut nadi tachikardi, kemudian bradikardi atau
iramanya tidak teratur sebagai kompresi kerja jantung untuk membantu
mengurangi tekanan intra kranial.
3. Sistem pencernaan
Pada klien post craniotomy biasanya didapatkan bising usus yang
normal atau bisa juga menurun apabila masih ada pengaruh anestesi, perut
kembung, bibir dan mukosa mulut tampak kering, klien dapat mual dan
muntah. kadang-kadang konstipasi karena klien tidak boleh mengedan atau
inkontinensia karena klien tidak sadar. Pada perkusi abdomen terdengar
timpani, nyeri tekan pada daerah epigastrium, penurunan berat badan.
24

4. Sistem perkemihan
Pada pengkajian akan didapatkan retensi urine pada klien sadar,
sedangkan pada klien tidak sadar akan didapatkan inkontinensia urine dan
fekal, jumlah urine output biasanya berkurang. Terdapat
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia
atau hipokalemia.
5. Sistem muskuloskeletal
Pada klien post craniotomy biasanya ditemukan gerakan-gerakan
involunter, kejang, gelisah, ataksia, paralisis dan kontraktur, kekuatan otot
mungkin menurun atau normal.
6. Sistem integumen
Pada klien post craniotomy tampak luka pada daerah kepala, suhu
tubuh mungkin di atas normal, banyak keringat. Pada hari ketiga dari
operasi biasanya luka belum sembuh karena masih agak basah/ belum
kering. biasanya masih terdapat hematoma pada klien dengan perdarahan
di meningen. Data fisik yang lain adalah mungkin didapatkan luka lecet
dan perdarahan pada bagian tubuh lainnya. Bentuk muka mungkin
asimetris.
7. Sistem persyarafan
a. Test fungsi serebral: Klien mengalami penurunan kesadaran
maka dalam orientasi, daya ingat, perhatian dan perhitungan
serta fungsi bicara klien sehingga hasil pemeriksaan status
mentalnya kurang dari normal atau kurang dari 20 ditandai
dengan amnesia, gangguan kognitif, dll.
b. Tingkat kesadaran: Biasanya tingkat kesadaran berkisar antara
obtunded sampai lethargi. Kuantitas: nilai GCS: 9-12
c. Pengkajian bicara
1) Proses reseptif: Biasanya didapatkan kesulitan mengucapkan
kata-kata yang leih dari satu kata misalnya “sakit kepala”
atau “rumah sakit”
2) Proses ekspresif: Biasanya didapatkan bicara kurang lancar,
tidak spontan dan tidak jelas
25

3) Test nervus kranial (Lumbantobing, 2003: 24), (Tuti Pahria,


dkk, 1996: 55)
d. Nervus I (olfaktorius): Memperlihatkan gejala penurunan daya
penciuman dan anosmia bilateral yang disebabkan karena
terputusnya serabut olfaktorius selain karena trauma kepala juga
bisa disebabkan oleh infeksi.
e. Nervus II (optikus): Pada trauma oksipitalis, memperlihatkan
gejala berupa penurunan daya penglihatan, penurunan lapang
pandang
f. Nervus III, IV, VI (okulomotorius, troklearis, abdusen): Pada
trauma kepala yang disertai dengan perdarahan intrakranial akan
menyebabkan gangguan reaksi pupil yang lambat/ midriasis
karena tekanan pada bagian pinggir nervus III yang mengandung
serabut parasimpatis. Gangguan kelumpuhan N IV, namun jarang
terjadi. Kelumpuhan N IV menyebabkan terjadinya diplopia,
gejala lainnya berupa refek cahaya menurun, anisokor.
g. Nervus V (trigeminus): Gangguan ditandai adanya anestesi daerah
dahi.
h. Nervus VII (fasialis): Pada trauma kepala yang mengenai neuron
motorik atas unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya
lipatan nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata dan
hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior
i. Nervus VIII (akustikus): Pada pasien sadar gejalanya berupa
menurunnya daya pendengaran dan keseimbangan tubuh.
j. Nervus IX, X, XI (glosofaringetus, vagus, assesoris): Gejala
jarang ditemukan karena klien akan meninggal apabila trauma
mengenai syaraf tersebut. Adanya hiccuping (cegukan) karena
kompresi pada nervus vagus yang menyebabkan spasmodik dan
diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cegukan
yang terjadi biasanya beresiko peningkatan tekanan intrakranial.
26

k. Nervus XII (hipoglosus): Gejala yang biasa timbul adalah


jatuhnya lidah ke salah satu sisi, disfagia, dan disartria. Hal ini
menyebabkan adanya kesulitan menelan.
8. Data psikologis (Tuti Pahria, dkk, 1996: 57)
Pasien yang mengalami penurunan kesadaran, maka data
psikologis tidak dapat dikaji. Sedangkan pada pasien yang tingkat
kesadarannya agak normal (GCS: 13-15) akan terlihat adanya gangguan
emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium.
9. Data sosial
Data yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan
dengan orang-orang terdekat dan yang lainnya. Kemampuan
berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Pada klien yang
mengalami penurunan kesadaran data sosial tidak dapat dikaji. Sedangkan
pada klien yang tingkat kesadarannya normal, pada klien trauma kepala
akan didapatkan kesulitan berkomunikasi bila area trauma pada lobus
temporal.
10. Data spiritual
Data spiritual pada klien dengan penurunan kesadaran tidak dapat
dikaji, sehingga data ketaatan klien terhadap agamanya, semangat dan
falsafah hidup serta keTuhanan yang diyakini klien tidak dapat terkaji.
11. Pemeriksaa penunjang
a. CT Scan (tanpa/ dengan kontras): mengidentifikasi hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan:
Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/ infark
mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.
b. MRI: Sama dengan CT Scan dengan/ tanpa menggunakan kontras
c. Angiografi serebral: Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,
seperti pergeseran jaringan otak akibat oedema, perdarahan, trauma
d. EEG: Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis
27

e. Sinar X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),


pergeseran struktur garis tengah (karena perdarahan, oedema), adanya
fragmen tulang.
f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons): Menentukan fungsi
kortexs dan batang otak.
g. PET (Position Emission Tomography): Menunjukkan perubahan
aktifitas metabolisme pada otak
h. Fungsi Lumbal, CSS: Dapat mendeteksi kemungkinan adanya
perdarahan subarakhnoid dan memastikan bocornya CSS sehingga terjadi
iritasi meningen mengakibatkan meningitis
i. Pemeriksaan toksikologi: Mendeteksi obat yang mungkin
bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran.
j. Kadar antikonvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui
tingkat therapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
2.10 Diagnosa Keperawatan yang muncul
Menurut NANDA 2018-2020) diagnosa keperawatan yang dapat muncul
setelah pasca trauma kepala adalah:
1. Ketidakefektifan pola nafas
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d trauma
3. Nyeri akut b.d agens cidera fisik
4. Hambatan mobilitas fisik b.d kekuatan otot
5. Intoleran aktivitas
6. Sindrom pasca trauma
7. Defisiensi volume cairan
8. Resiko infeksi area pembedahan
28

BAB 3
TINJAUAN KASUS

FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
PENDEKATAN REVIEW OF SISTEM (Adaptasi Henderson & Roy)

Tgl Pengkajian : 1 Desember 2018 Jam : 08.00 WIB


Tgl MRS : 29 November 2018 No Rekam Medik : 232XXXX
Ruang : Mutiara 2 Diagnosa Medis : Post Operasi Trepanasi

I. PENGKAJIAN
A. IDENTITAS
1. Nama : Tn.A 6. Pekerjaan : Sopir Truck
2. Umur : 48 th 7. Suku Bangsa : Madura
3. Agama : Islam 8. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Pendidikan : SMA 9. Status Perkawinan : Kawin
5. Alamat : Surabaya 10. Penanggung Biaya : BPJS

B. RIWAYAT SAKIT DAN KESEHATAN


1. Keluhan Utama Nyeri di daerah kepala post operasi
2. Riwayat Penyakit Pasien datang ke IGD pada tanggal 29 November 2018, pkl
Sekarang 13:56 WIB dengan keadaan pingsan. Keluarga pasien
mengatakan bahwa Tn.A mengalami kecelakaan kerja jatuh dari
truck kurang lebih ketinggian 2 meter dan terdapat perdarahan
hidung dan telinga. Selama di IGD didapatkan pemeriksaan
tanda-tanda vital yaitu : TD: 110/72 mmHg, S: 36,50C, N :
76x/mnt, RR : 18x/mnt, SPO2: 95% memakai alat bantu MNR
10 lpm, GCS:111, Akral HKM dan diberikan terapi Obat injeksi
santagesik 1000 mg, ranitidine 50 mg, kalnex 500 mg dan infus
RL 14tpm. Dokter melakukan tindakan operasi trepanasi kepala
29

cito jam 16.30 dan setalah post op Tn.A diobservasi di ruang


ICU selama 1 hari. Pada tanggal 30 November 2018 jam 19.00
Tn.A sadar dengan GCS 456 kemudian dipindahkan di ruang
mutiara 2. Tanggal 1 Desember 2018 jam 08.00 saat dikaji
pasien mengatakan bahwa nyeri di daerah kepala setelah di
lakukan tindakan pembedahan pada luka jahitan operasi, nyeri
yang dirasakan tertekan menjalar di kepala bagian kiri dengan
skala 4 menggunakan VAS dan nyeri timbul secara terus
menerus terlihat Tn.A memegang kepala yang nyeri sambil
menyeringai kesakitan. k/u baik, GCS 456, Akral: HKM TD:
130/82 mmHg, S: 36,50C, N : 98x/mnt, RR : 18x/mnt, SPO2:
97% dengan O2 nasal 3 lpm.
Pada saat di inspeksi Kepala Adanya luka jahitan post op
trepanasi di temporalis. kondisi luka tertutup dan kasa kering,
tidak terdapat rembesan, tidak berbau, dan terdapat drain vakum
penuh. Dokter memberi advice untuk bedrest. Ketika px mandi,
eliminasi dan mobilitas di tempat tidur tampak dibantu oleh
keluarga dan perawat.
3. Riwayat Penyakit Tidak ada
Dahulu
4. Riwayat Penyakit Hipertensi
Keluarga
5. Riwayat Allergi Tidak ada
6. Keadaan Umum: Kesadaran : Composmentis
GCS : 456
7. Tanda Vital
TD: 130/82 mmHg, S: 36,50C, N : 98x/mnt, RR : 18x/mnt SPO2: 97% dengan O2 nasal
3 lpm.
30

C. Genogram

Keterangan :
: Perempuan : Meninggal
: Laki-laki : Pasien
: Tinggal serumah : Sedarah

D. PEMERIKSAAN FISIK B1-B6


1) B1 : Breath/Pernapasan
1. Inspeksi
a. Bentuk dada : Normo Chest e. Pergerakan : Simetris
b. Sesak napas : Tidak f. Batuk : (-) Sekret : (-)
c. Pola napas : Normal g. Irama Napas : Reguler
d. Alat Bantu napas : Tidak ada alat bantu nafas
2. Palpasi
Taktil / Vokal fremitus : Teraba
3. Perkusi
Bunyi lapang paru : Sonor
4. Auskultasi
a. Suara napas : Vesikuler
b. Suara napas tambahan : Tidak ada
MASALAH KEPERAWATAN : Tidak Ada Masalah Keperawatan
31

2) B2 / Blood / Sirkulasi
1. Inspeksi
a. Ictus Cordis : Normal
b. Nyeri Dada : Tidak ada
c. Pembesaran Kelenjar Getah Bening : Tidak Ada
2. Palpasi
a. CRT : < 2 dtk c. Akral : Hangat, Kering, Merah
b. Oedema : Tidak ada
3. Perkusi
Perkusi jantung : Pekak
4. Auskultasi
Bunyi Jantung : S1-S2 Tunggal
MASALAH KEPERAWATAN : Tidak Ada Masalah Keperawatan

3) B3/ Brain / Persarafan


1. Inspeksi
a. GCS Eye : 4 Verbal : 5 Motorik : 6 Total : 15
a. Kepala : Adanya luka jahitan post op trepanasi di temporalis. kondisi
luka tertutup dan kasa kering, tidak terdapat rembesan, tidak berbau, dan
terdapat drain vakum penuh.
b. Nyeri kepala :
- P : Luka jahitan operasi
- Q : Tertekan
- R : kepala bagian kiri
- S : 4 menggunakan VAS
- T : Terus menerus
c. Parese : Tidak ada
2. Wajah dan Pengelihatan
a. Mata : Simetris e. Kelainan : Tidak ada
b. Pupil : Isokor 2 mm / 2 mm f. Reflex Cahaya :+/+
c. Konjungtiva/Sklera : Tidak anemis g. Gangguan/kelainan : Tidak ada
d. Lapang Pandang : Normal
32

3. Pendengaran
a. Telinga : Terdapat balutan c. Kelainan : Tidak ada
b. Gangguan : Tidak ada d. Alat bantu : Tidak ada
4. Penciuman
a. Bentuk Hidung : Simetris
b. Septum : Simetris d. Polip : Tidak ada
c. Gangguan/kelainan : Tidak ada
5. Lidah
a. Kebersihan : Bersih
b. Kesulitan telan : Tidak
c. Berbicara : Tidak mampu
Palpasi
a. Reflek fisiologis : Tidak ada
b. Reflek patologis : Tidak ada
c. Nervus I (Saraf Olfaktorius) :
Pasien mampu membedakan bau
d. Nervus II (Saraf Optikus) :
Lapang pandang baik, pasien tidak mengunakan kacamata
e. Nervus III (Saraf Okulomotorius) :
Pergerakan bola mata baik, respon pupil terhadap cahaya +/+ 2mm/2mm
f. Nervus IV (Saraf Troklearis) :
Pasien mampu menggerakkan bola mata ke atas dan ke bawah
g. Nervus V (Saraf Trigeminus) :
Pasien dapat mengunyah dengan baik dan kondisi rahang baik
h. Nervus VI (Saraf Abdusens) :
Pasien mampu melihat tangan perawat
i. Nervus VII (Saraf Fasialis) :
Senyum pasien simetris, gerakan dahi simetris, pasien dapat
mengembungkan pipi dengan baik
j. Nervus VIII (Saraf Vestibulokoklearis) :
Pasien tidak mampu mendengarkan pertanyaan yang diajukan oleh perawat
jika jaraknya jauh harus dekat sekitar 15 cm.
33

k. Nervus IX (Saraf Glosofaringeus) :


Pasien tidak mengalami kesulitan dalam menelan
l. Nervus X (Saraf Vagus) :
Pasien dapat menelan dengan baik dan mampu membuka mulut
m. Nervus XI (Saraf Aksesorius) :
Pasien mampu mengangkat bahu kiri dan kanan
n. Nervus XII (Saraf Hipoglosus) :
Pasien bisa bicara
MASALAH KEPERAWATAN :
1. Nyeri Akut
2. Risiko Infeksi

4) B4/ Bladder/ Perkemihan


1. Inspeksi
a. Kebersihan : bersih
b. Eliminasi Urine SMRS Frek : 5x/hari
Jumlah : 1800 cc/hari Warna : Kuning jernih
c. Eliminasi Urine MRS Frek : 4x/hari
Jumlah : 1600 cc/hari Warna : Kuning jernih terpasang kateter
d. Gangguan : Tidak ada
2. Palpasi
a. Kandung Kemih : Tidak ada gangguan
b. Nyeri tekan : Tidak ada
MASALAH KEPERAWATAN : Tidak Ada Masalah Keperawatan

5) B5/ Bowel/ Pencernaan


1. Inspeksi
a. Mulut : Bersih
b. Membran Mukosa : Lembab
c. Gigi/Gigi Palsu : Tidak ada
d. Faring : Tidak ada pembesaran kelenjar Tyroid
34

e. Diit (makan & minum) SMRS : Nasi + Lauk


Diit di RS: Diit :- Frek : 3x/hari
Porsi : 1 porsi
Nafsu makan : normal Mual : tidak
Muntah : Tidak NGT : Tidak terpasang (-)
Frekuensi minum : 3x/hari Jumlah : 1800cc Jenis : Air mineral
Makan habis 1 porsi
BB SMRS : 60 Kg TB: 160 cm
BB MRS : 60 Kg
IMT : 23 (Normal)
Abdomen
a. Bentuk abdomen : Simetris
b. Kelainan abdomen : Tidak ada
c. Hepar : Tidak ada pembesaran hepar
d. Lien : Tidak ada pembesaran lien
e. Rectum dan Anus : Tidak ada hemoroid
f. Eliminasi alvi SMRS Frekuensi : 1x/hari
Warna : Kuning kecoklatan Konsistensi : Padat dan Lunak
g. Eliminasi alvi MRS Frekuensi : 1x/2hari
Warna : Kuning kecoklatan Konsistensi : Lunak
2. Palpasi
Tidak ada nyeri tekan abdomen
MASALAH KEPERAWATAN : Tidak ada masalah keperawatan

6) B6 / Bone/ Muskuloskletal
1. Inspeksi
a. ROM : Aktif
b. Kekuatan Otot : 5555 5555
5555 5555
Keterangan :
5 = mampu melawan tahanan normal, 4 = mampu melawan tahanan ringan, 3 =
mampu melawan grafitasi, 2 = mampu menggerakkan sendi, 1 = terdapat kontraksi
35

otot, 0 = tidak ada kontraksi otot.


MASALAH KEPERAWATAN : Tidak ada masalah keperawatan

E. PEMERIKSAAN FISIK PERSISTEM


1) Endokrin
1. Keadaan Tiroid
a. Pembesaran : Tidak ada
b. Nyeri Tekan : Tidak ada
2. Terkait Diabetes Melitus
a. Kadar Gula Darah : -
3. Terkait Pertumbuhan (Tidak ada gangguan)
4. Terkait Hormon Reproduksi (Tidak ada gangguan)
5. Terkait Hormon Adrenal (Tidak ada gangguan)

MASALAH KEPERAWATAN : Tidak Ada Masalah Keperawatan

2) Sistem Repoduksi / Genitalia


1. Hernia inguinalis : Tidak ada
2. Masalah seksual yang berhubungan dengan penyakit : Tidak ada
3. Masalah atau perhatian seksual : Tidak ada gangguan

MASALAH KEPERAWATAN : Tidak Ada Masalah Keperawatan

F. PEMERIKSAAN FISIK PERPOLA


1) Pola Istirahat Tidur
1. Istirahat tidur SMRS :
Siang : 13.00-15.00 WIB
Malam : 21.00-06.00 WIB
2. Jam tidur malam MRS : -
Tn.A selalu memejamkan mata, membuka mata pada saat ada yang datang dan
mengajaknya berbicara.
3. Kualitas tidur : Baik
4. Masalah tidur : Tidak ada gangguan
36

MASALAH KEPERAWATAN : Tidak Ada Masalah Keperawatan

2) Kemampuan Perawatan Diri / Personal Hygiene

SMRS MRS Skor :

1. Mandi 1 3
1 : Mandiri
2. Berpakaian /dandan 1 3
3. Toileting/eliminasi 1 3
2 : Alat bantu
4. Mobilitas di tempat tidur 1 3
5. Berpindah 1 3 3 : Dibantu orang
6. Berjalan 1 3
lain dan alat
7. Naik Tangga 1 -
8. Berbelanja 1 -
4 : Tergantung
9. Memasak 1 -
/tidak mampu
10. Pemeliharaan rumah 1 -
MASALAH KEPERAWATAN : Intoleran aktivitas

3) Psikososiocultural
Pola Konsep Diri
Ideal diri : pasien berharap cepat sembuh
Harga diri : pasien pasrah dengan penyakit yang dideritanya
Citra diri : pasien menyukai seluruh bagian tubuhnya
Peran diri : pasien bekerja sebagai supir truck.
Identitas diri : pasien seorang ayah dari 2 anak

Pola Peran – Hubungan


Pekerjaan : Swasta
Masalah keluarga mengenai perawatan di RS : tidak ada

Pola nilai – Kepercayaan


Agama : islam
Pelaksanaan ibadah : selama di RS Tn.A tidak bisa melakukan ibadah yaitu sholat.
37

Pola Koping
Masalah utama selama MRS (penyakit, biaya, perawatan diri) : Tidak ada
Kehilangan perubahan yang terjadi sebelumnya : Ya, pasien lebih banyak istirahat
Kemampuan adaptasi : baik
MASALAH KEPERAWATAN : Tidak Ada Masalah Keperawatan

Pemeriksaan Penunjang Tanggal 1 Desember 2018


A. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 14,3 g/dL 11,7 – 15,5 g/dL
Eritrosit 4,84 10^6/µL 3,8 – 5,2 10^6/µL
Trombosit 347.000 /mm³ 150.000–450.000 /mm³
Hematokrit 42,5 % 35 – 47 %
Leukosit 10.500 /mm³ 4.000-11.000/mm³
Kimia Klinik Hasil Nilai Normal
Natrium 142,2 mmol/L 136,0-144,0 mmol/L
Kalium 3,95 mmol/L 3,6-5 mmol/L

B. Radiologi
1. CT Scan Kepala
EDH di temporal kiri disertai pneumatocele dengan fraktur di temporal kiri
Kesan fraktur di basis carnii dan dinding sphenoid kanan serta fraktut septum
nasi
Tampak pula hematosinus sphenoidalis, ethmoidalis, frontalis dan maxillaris
kanan kiri
Edema cerebri
Mastoiditis kronis sisi kanan
Tidak tampak fraktur didaerah cervical, klasifikasi ligamentum nuchae (+)
38

III. TERAPI MEDIS (FARMAKOLOGIS)


Terapi Obat
No Dosis Indikasi Kontraindikasi Efek Samping
di Ruang Mutiara
1. Reaksi anafilaksis
1. Nyeri akut atau kronik berat 1. Hipersensitif terhadap
2. Dyspnea
3x1 seperti sakit kepala, sakit gigi, santagesik
1. Injeksi Santagesik 3. Urtikaria
1000 mg tumor, nyeri pasca op dan 2. Hamil
4. Hipotensi
nyeri pasca cedera. 3. Hipotensi
5. Syok sirkulasi
2 Injeksi Ceftriaxone 2x1 1. Meningitis 1. Hipersensitif terhadap 1. Mual atau muntah
1000 mg 2. Pneumonia ceftriaxone dan obat antibiotic 2. Sakit perut
3. Keracunan darah’ cephalosporin lainnya 3. Sakit kepala atau pusing
4. Gonore 2. Neonatus yang mengalami 4. Lidah sakit atau bengkak
5. Infeksi kulit hiperbilirubinemia 5. Berkeringat
6. Sepsis 3. Tidak digunakan dengan larutan
7. ISK atau produk yang mengandung
8. ISPA kalsium pada bayi.
9. Infeksi telinga
10. Profilaksis bedah
3. Injeksi Ondancetrone 3x1 - Gastroenteritis-mual - Hipersensitivitas terhadap - Tanda reaksi alergi seperti
4 mg - Mual dan muntah ondancetrone ruam, gatal, kemerahan,
39

- Penggunaan bersamaan dengan bengkak dengan atau


opomorphine tanpa demam, sulit
bernapas atau berbicara,
pembengkakakn pada
mulut, wajah, lidah atau
tenggorokan
- Nyeri dada
- Pusing atau pingsan
- Denyut nadi cepat/lambat
- Demam
- Kejang
- Kesemutan dan kram
- Nyeri pinggang
- Sulit berkemih
- Perubahan tajam
penglihatan
4. Hemobion 1x1 - Anemia karena perdarahan - Intoleransi terhadap obat - Mual
- Anemia pada kehamilan - Penyakit ginjal - Muntah
- Gastritis atrofi - Kembung
- Peningkatan aktivitas kelenjar - Gangguan saluran cerna
40

paratiroid bagian atas


- Diare
5. Flunarizine 1x1 - Migrain - Penyakit hati - Mengantuk dan depresi
6 mg - Mencegah gangguan pembuluh - Penyakit parkinson - Kecemasan
darah otak dan tepi - Riwayat Depresi - Mulut kering
- Vertigo
Infuse RL 14 tpm Indikasi RL Kontraindikasi RL Efek Samping RL
- Tetani hipokalasemik - alergi terhadap sodium laktat - nyeri dada
- Ketidakseimbangan elektrolit - pada bayi baru lahir RL tidak - detak jantung tidak normal
tubuh boleh diberikan bersamaan - turunnya tekanan darah
- Diare dengan ceftriaxone - kesulitan bernapas
- Luka bakar - batuk
6. - Gagal ginjal akut - bersin-bersin
- Kadar natrium rendah - ruam kulit
- Kekurangan kalium - gatal pada kulit
- Kekurangan kalsium - sakit kepala
- Kehilangan banyak darah dan
cairan
- Hipertensi
41

IV. ANALISA DATA


No Data Etiologi Masalah
1. DS : Agens cedera fisik Nyeri akut
Tn.A mengatakan bahwa nyeri di daerah (Post Op trepanasi) (SDKI, 2017)
kepala setelah di lakukan tindakan
pembedahan
- P : Luka jahitan operasi
- Q : Tertekan
- R : kepala bagian kiri
- S : 4 menggunakan VAS
- T : Terus menerus

DO :
- Pasien k/u baik, GCS 456 perfusi HKM
- Pasien tampak Tn.A memegang kepala
sambil menyeringai kesakitan
- TD: 130/82 mmhg, S: 36,50C, N :
98x/mnt, RR : 18x/mnt SPO2: 97%
dengan O2 nasal 3 lpm.
2. DS : - Prosedur invasif Risiko infeksi
DO : (SDKI, 2017)
- Adanya luka jahitan post op trepanasi
di temporalis tertutup kasa kering
kondisi luka tertutup, tidak terdapat
rembesan, tidak berbau
- terdapat drain vakum penuh dan
produksi drain kurang lebih 40 cc
(tidak dibuang)
3. DS: Keluarga mengatakan bahwa biasanya Imobilitas Intoleran aktivitas
kalau mandi, BAB/BAK dibantu oleh (Nanda-I 2018-
keluarga dan perawat. 2020)

DO: Ketika px mandi, eliminasi dan


mobilitas di tempat tidur tampak dibantu oleh
keluarga dan perawat.

V. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d agens cedera fisik (Post Op trepanasi)
2. Risiko Infeksi b.d Prosedur invasif
3. Intoleran aktivitas b.d imobilitas
42

VI. PRIORITAS MASALAH KEPERAWATAN


TANGGAL PARAF
NO MASALAH KEPERAWATAN
Ditemukan Teratasi (Nama)
1 Desember 3 Desember ϒ
1. Nyeri Akut
2018 2018 Astrid
1 Desember 3 Desember ϒ
2. Risiko Infeksi
2018 2018 Astrid
1 Desember 3 Desember ϒ
3. Intoleran aktivitas
2018 2018 Astrid
43

VII. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa
No Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
1. Nyeri Akut b.d Setelah dilakukan 1. Tanda-tanda vital dalam rentang 1. Bina hubungan saling percaya 1. Membina hubungan saling percaya
agens cedera fisik asuhan keperawatan normal agar perawat lebih dekat dengan
(Post op selama 3x24 jam - Systole : 100-130 mmHg pasien dan bisa melakukan
Trepanasi) diharapkan nyeri - Diastole : 60-90 mmHg pengkajian sampek evaluasi
berkurang - Suhu : 36-37,50C dengan lancar
- RR : 14-20x/menit 2. Observasi intensitas nyeri setiap 2. Untuk mengetahui tingkat nyeri
- SpO2 : 95-100% 3 jam sekali yang dialami pasien
- Nadi : 60-100x/menit
2. Skala nyeri berkurang dari 4 3. Jelaskan pada pasien sebab- 3. Pemahaman pasien tentang
menjadi 2 sebab timbulnya nyeri penyebab nyeri yang terjadi akan
3. Pasien mengungkapkan mengurangi ketegangan pasien
perasaan nyaman berkurangnya 4. Bantu penanganan terhadap 4. Teknik relaksasi bisa mengurangi
nyeri nyeri, yaitu teknik relaksasi rasa nyeri yang dirasakan pasien
4. Ekspresi wajah pasien rileks nafas dalam setiap 3 jam sekali
(Tarik nafas dari hidung tahan
selama 2 detik lalu hembuskan
perlahan dari mulut lakukan
selama 3 kali)
5. Observasi TTV 5. Mengetahui kedaan umum pasien
6. Hasil kolaborasi dengan dokter 6. Obat analgesic dapat membantu
dalam pemberian obat analgesic mengurangi nyeri pasien
atau anti nyeri Injeksi
44

Santagesik 1000 mg
2. Risiko Infeksi b.d Setelah dilakukan 1. Klien bebas dari tanda dan 1. Observasi Drain vakum penuh 1. Mengobservasi secara rutin agar
Prosedur Invasif asuhan keperawatan gejala infeksi setiap 8 jam sekali tidak terjadi komplikasi
selama 3x24 jam 2. Menunjukkan kemampuan
diharapkan tidak untuk mencegah timbulnya 2. Observasi luka post 2. Jika obsevasi luka tidak pernah
ditemukan tanda- infeksi pembedahan setiap hari dikontrol dapat memicu bakteri
tanda infeksi 3. Menunjukkan perilaku hidup datang
sehat 3. Perhatikan teknik isolasi 3. Membatasi pengunjung dapat
4. TTV dalam batas yang normal dengan batasi pengunjung mencegah terjadinya infeksi pada
terutama suhu : 36-370C pasien
5. Hasil pemeriksaan lab leukosit 4. Ganti iv line dengan teknik 4. Menganti iv line sesuai dengan
dalam batas normal 4000- aseptik setiap 3 hari sekali SOP dan teknik aseptic dapat
11000/mm³ mencegah terjadinya plebitis dan
infeksi
5. Jelaskan pada keluarga 5. Penjelasan yang adekuat dapat
tentang penularan infeksi membuat pengetahuan pasien dan
dapat membuat pasien lebih
kooperatif saat dilakukan
tindakan keperawatan
6. Ajarkan pada keluarga dan 6. Mencuci tangan dengan benar
pasien tentang cara cuci dapat mencegah infeksi silang
tangan dengan benar
7. Anjurkan untuk menjaga 7. Kebersihan lingkungan dan
kebersihan lingkungan dan pasien dapat mencegah terjadinya
kebersihan pasien infeksi nosokomial
8. Hasil kolaborasi dengan 8. Antibiotik berguna untuk
45

dokter dalam pemberian obat membunuh bakteri gram positif


antibiotik dan bakteri gram negative
- Injeksi Ceftriaxone 50 mg
2x1
9. Kolaborasi dengan petugas lab 9. Leukosit yang terlalu tinggi atau
untuk mengobservasi hasil rendah merupakan tanda infeksi
leukosit
3. Intoleran aktivitas Setelah dilakukan Kebutuhan perawatan diri pasien 1. Observasi tingkat fungsional 1. Melalui tindakan ini perawat dapat
b.d imobilitas asuhan keperawatan dilakukan secara mandiri pasien dalam melakukan menentukan tindakan yang sesuai
selama 3x24 jam perawatan diri untuk memenuhi kebutuhan pasien
diharapkan pasien 2. Bantu pasien sebagian atau 2. Untuk memenuhi kebutuhan
dapat melakukan sepenuhnya saat melakukan perawatan diri pasien dan
perawatan diri perawatan diri; mandi dan meningkatkan perasaan mandiri
secara mandiri berpakaian pasien
3. Ajarkan keluarga dalam 3. Keluarga berperan penting dalam
memenuhi kebutuhan perawatan perawatan diri pasien untuk
diri pasien; mandi dan mencegah komplikasi yang
berpakaian diakibatkan oleh infeksi
4. Kolaborasi dengan keluarga 4. Untuk meningkatkan pengetahuan
dalam pemenuhan kebutuhan keluarga dalam perawatan diri
perawatan diri anggota keluarga yang sakit
46

VIII. IMPLEMENTASI & EVALUASI


No. Tanggal Masalah Waktu Implementasi Paraf Waktu Evaluasi Paraf
Keperawatan
1. 1-12-2018 Nyeri Akut 07.15 - Membina hubungan saling percaya ƪ 14.00 S: Pasien mengatakan nyeri ƪ
b.d agens 07.30 - Mengobservasi tanda-tanda vital : ƪ berkurang dengan skala nyeri 3
cedera fisik TD: 103/69 mmHg, S:36,2 0C, dengan menggunakan VAS
(Post op N:84x/mnt, RR: 18x/mnt, SpO2 : 98% O : k/u: baik, GCS: 456, Akral:
Trepanasi) dengan O2 nasal GCS: 456, Akral: HKM, HKM, kesadaran: composmentis
kesadaran: composmentis A : Masalah teratasi sebagian
07.45 - Mengobservasi dan mencatat tingkat nyeri ƪ P : Intervensi dilanjutkan no 1, 2, 3,
setiap 3 jam sekali 4 dan 6
Pasien mengatakan skala nyeri: 4 ƪ
08.00 - Menjelaskan pada pasien sebab-sebab
timbulnya nyeri ƪ
08.15 - Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam
setiap 3 jam sekali ƪ
08.30 - Memberi terapi obat hasil kolaborasi
dengan dokter yaitu Santagesik 1000 mg
3x1 ƪ
10.45 - Mengobservasi dan mencatat tingkat nyeri
setiap 3 jam sekali
Pasien mengatakan skala nyeri: 3 ƪ
11.15 - Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam
setiap 3 jam sekali
Risiko Infeksi 08.45 - Mengobservasi drain setiap 8 jam sekali ƪ 14.00 S : Pasien mengatakan sudah faham ƪ
b.d Prosedur 09.00 - Mengobservasi luka post pembedahan ƪ mengenai langkah-langkah cuci
Invasif setiap hari sekali tangan
09.15 - Memperhatikan teknik isolasi dengan ƪ O:
batasi pengunjung - Pada saat observasi luka tidak
09.30 - Mengganti iv line dengan teknik aseptik ƪ ditemukan tanda tanda infeksi
47

setiap 3 hari sekali seperti bengkak, suhu badan


09.45 - Memberi edukasi pada keluarga tentang ƪ panas, nyeri, dan kemerahan
penularan infeksi - Pasien tampak memperhatikan
10.00 - Mengajarkan pada keluarga dan pasien ƪ edukasi cuci tangan yang
tentang cara cuci tangan dengan benar diberikan perawat
10.15 - Menganjurkan untuk menjaga kebersihan ƪ - S:36,2 0C dalam batas normal
lingkungan dan kebersihan pasien - hasil leukosit 10.500 /mm³
10.30 - Melakukan terapi obat hasil kolaborasi ƪ dalam batas normal
dengan dokter dalam pemberian obat A : masalah teratasi sebagian
antibiotic Injeksi Ceftriaxone 1000 mg 2x1 P : intervensi dilanjutkan no 1, 2, 3,
11.00 - Mengkolaborasi dengan petugas lab untuk ƪ 9 dan 10
mengobservasi hasil leukosit
Intoleran 11.30 - Mengbservasi tingkat fungsional pasien ƪ 14.00 S : Keluarga pasien mengatakan ƪ
aktivitas b.d dalam melakukan perawatan diri Tn.A masih perlu bantuan makan,
imobilitas 11.45 - Membantu pasien sebagian atau ƪ berpakaian, BAB dan BAK.
sepenuhnya saat melakukan perawatan O : Ketika px mandi, eliminasi dan
diri; mandi dan berpakaian mobilitas di tempat tidur tampak
12.00 - Mengajarkan keluarga dalam memenuhi ƪ dibantu oleh keluarga dan perawat.
kebutuhan perawatan diri pasien; mandi A : masalah teratasi sebagian
dan berpakaian P : intervensi dilanjutkan nomor1,
12.45 - Mengkolaborasi dengan keluarga dalam ƪ 2 dan 4
pemenuhan kebutuhan perawatan diri
2 2-12-2018 Nyeri Akut 08.00 - Mengobsevasi tanda-tanda vital : ƪ 14.00 S: ƪ
b.d agens TD: 120/70 mmHg, S:37 0C, - Pasien mengatakan nyeri
cedera fisik N:69x/mnt, RR: 20x/mnt, SpO2 : 98% k/u: berkurang dengan skala nyeri 2
(Post op baik, GCS: 456, Akral: HKM, kesadaran: dengan menggunakan VAS
Trepanasi) composmentis - Pasien mengungkapkan
08.15 - Mengobservasi dan mencatat tingkat nyeri ƪ perasaan nyaman berkurangnya
setiap 3 jam sekali nyeri
Pasien mengatakan skala nyeri 3 O:
48

08.30 - Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam ƪ - k/u: baik, GCS: 456, Akral:
untuk mengurangi tingkat nyeri setiap 3 HKM, kesadaran:
jam sekali ƪ composmentis
08.45 - Memberi terapi obat hasil kolaborasi - ekspresi wajah pasien tampak
dengan dokter yaitu Santagesik 1000mg rileks
3x1 A : masalah teratasi sebagian
11.15 - Mengobservasi dan mencatat tingkat nyeri ƪ P : intervensi dilanjutkan no 1, 2, 3
setiap 3 jam sekali dan 6
Pasien mengatakan skala nyeri: 2
Risiko Infeksi 10.00 - Mengobservasi drain setiap 8 jam sekali ƪ 14.00 S : Pasien mengatakan sudah faham ƪ
b.d Prosedur 10.15 - Memperhatikan teknik isolasi dengan ƪ mengenai langkah-langkah cuci
Invasif batasi pengunjung tangan
10.30 - Melakukan terapi hasil kolaborasi dengan ƪ O:
dokter dalam pemberian obat antibiotic - Pada saat observasi luka tidak
Injeksi Ceftriaxone 1000 mg 2x1 ditemukan tanda tanda infeksi
10.45 - Mengkolaborasi dengan petugas lab untuk ƪ seperti bengkak, suhu badan
mengobservasi hasil leukosit panas, nyeri, dan kemerahan
- terdapat drain vakum penuh
dan produksi drain kurang
lebih 40 cc (tidak dibuang)
- S:37 0C, dalam batas normal
- hasil leukosit 10.500 /mm³
dalam batas normal
A : masalah teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan no 1, 2,
dan 10
Intoleran 11.45 - Mengobservasi tingkat fungsional pasien ƪ 14.00 S : Keluarga pasien mengatakan ƪ
aktivitas b.d dalam melakukan perawatan diri Tn.A masih perlu bantuan makan,
imobilitas 12.00 - Membantu pasien sebagian atau ƪ berpakaian, BAB dan BAK.
sepenuhnya saat melakukan perawatan O : Ketika px mandi, eliminasi dan
49

diri; mandi dan berpakaian mobilitas di tempat tidur tampak


12.15 - Mengkolaborasi dengan keluarga dalam ƪ dibantu oleh keluarga dan perawat.
pemenuhan kebutuhan perawatan diri A : masalah teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan nomor 1

3 3-12-2018 Nyeri Akut 08.00 - Mengobservasi tanda-tanda vital : ƪ 14.00 S: ƪ


b.d agens TD: 124/84 mmHg, S:36,4 0C, - Pasien mengatakan nyeri kepala
cedera fisik N:70x/mnt, RR: 19x/mnt, SpO2 : 98% , hilang
(Post op k/u: baik, GCS: 456, Akral: HKM, - Pasien mengungkapkan
Trepanasi) kesadaran: composmentis perasaan nyaman berkurangnya
08.30 - Mengobservasi dan mencatat tingkat nyeri ƪ nyeri
setiap 3 jam sekali O:
pasien mengatakan skala nyeri 1 - k/u: baik, GCS: 456, Akral:
09.00 - Memberi terapi obat hasil kolaborasi ƪ HKM, kesadaran:composmentis
dengan dokter yaitu Santagesik 1000 mg - ekspresi wajah pasien tampak
3x1 rileks
11.30 - Mengobservasi dan mencatat tingkat nyeri ƪ A : masalah teratasi
setiap 3 jam sekali P : intervensi dihentikan
pasien mengatakan nyeri kepala post op
pembedahan sudah hilang
Risiko Infeksi 10.00 - Mengobservasi drain setiap 8 jam sekali ƪ 14.00 S : Pasien mengatakan sudah faham ƪ
b.d Prosedur 10.15 - Mengobservasi luka post pembedahan ƪ mengenai langkah-langkah cuci
Invasif setiap hari sekali tangan
11.00 - Melakukan terapi obat hasil kolaborasi ƪ O:
dengan dokter dalam pemberian obat - Pada saat observasi luka tidak
antibiotic Injeksi Ceftriaxone 1000 mg 2x1 ditemukan tanda tanda infeksi
seperti bengkak, suhu badan
panas, nyeri, dan kemerahan
- S:36,4 0C, dalam batas normal
- hasil leukosit 10.500 /mm³
50

dalam batas normal


- terdapat drain vakum penuh dan
produksi drain kurang lebih 40
cc (tidak dibuang)
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
Intoleran 11.45 - Mengbservasi tingkat fungsional pasien ƪ 14.00 S : Tn.A sekarang sudah bisa ƪ
aktivitas b.d dalam melakukan perawatan diri melakukan aktivias sendiri tanpa
imobilitas bantuan seperti makan, berpakaian,
BAB dan BAK.
O:-
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
51

EVALUASI SUMATIF

Waktu Evaluasi sumatif


No. Diagnosa Keperawatan

1 Senin Nyeri Akut b.d agens cedera S:


- Pasien mengatakan nyeri kepala hilang
3 Desember fisik (Post op Trepanasi)
- Pasien mengungkapkan perasaan
2018 nyaman berkurangnya nyeri
O:
- k/u: baik, GCS: 456, Akral: HKM,
kesadaran:composmentis
- ekspresi wajah pasien tampak rileks
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
2 Senin Risiko Infeksi b.d Prosedur S : Pasien mengatakan sudah faham
mengenai langkah-langkah cuci tangan
3 Desember Invasif
O:
2018 - Pada saat observasi luka tidak
ditemukan tanda tanda infeksi seperti
bengkak, suhu badan panas, nyeri, dan
kemerahan
- S:36,4 0C, dalam batas normal
- hasil leukosit 10.500 /mm³ dalam batas
normal
- terdapat drain vakum penuh dan
produksi drain kurang lebih 40 cc (tidak
dibuang)
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
3 Senin Intoleran aktivitas b.d S : Tn.A sekarang sudah bisa melakukan
imobilitas aktivias sendiri tanpa bantuan seperti makan,
3 Desember
berpakaian, BAB dan BAK.
2018 O:-
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
52

BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Pengkajian
Klien seorang laki – laki berusia 48 tahun, beragama Islam, bertempat tinggal di
Surabaya dan bekerja sebagai supir truck. Klien masuk IGD pada tanggal 29 November 2018,
pada pkl 13:56 WIB dengan keadaan pingsan. Keluarga pasien mengatakan bahwa Tn.A
mengalami kecelakaan kerja jatuh dari truck kurang lebih ketinggian 2 meter dan terdapat
perdarahan hidung dan telinga. Selama di IGD didapatkan pemeriksaan tanda-tanda vital
yaitu : TD: 110/72 mmHg, S: 36,50C, N : 76x/mnt, RR : 18x/mnt, SPO2: 93% memakai alat
bantu O2 Nasal, GCS:111, Akral HKM dan diberikan terapi Obat injeksi santagesik 1000 mg,
ranitidine 50 mg, kalnex 5000 mg dan infus RL 14tpm. Dokter melakukan tindakan operasi
trepanasi kepala cito jam 16.30 dan setalah post op Tn.A diobservasi di ruang ICU selama 1
hari. Hal ini sesuai dengan pernyataannya (Mansjoer, 2007) yang mengatakan Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif
dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Pada tanggal 30 November 2018 jam
19.00 Tn.A sadar dengan GCS 456 kemudian dipindahkan di ruang mutiara 2.
Pada pengkajian sistem pernapasan penulis tidak menemukan masalah keperawatan
yang terjadi pada klien. Pola napas klien normal, tidak ada sumbatan jalan napas, bentuk dada
normo chest, tidak ada produksi sputum, tidak ada penggunaan otot bantu napas dan tidak ada
pernapasan cuping hidung.
Pada pengkajian sistem kardiovaskuler penulis tidak menemukan masalah
keperawatan yang terjadi pada klien. Ictus cordis normal, tidak ada nyeri dada, klien
mengalami perdarahan pada telinga, tidak ada pembesaran getah bening, CRT < 2 detik, akral
hangat kering merah, tidak ada odem, perkusi jantung pekak, bunyi jantung S1 S2 tunggal.
Pada pengkajian sistem persarafan, penulis menemukan adanya masalah keperawatan
yang terjadi pada klien. Penulis menemukan tidak adanya penurunan status kesadaran pada
klien dimana nilai Glasgow Coma Scale klien 4 5 6 adanya luka jahitan post op trepanasi di
temporalis. kondisi luka tertutup dan kasa kering, tidak terdapat rembesan, tidak berbau, dan
terdapat drain vakum penuh sehingga dapat berisiko infeksi. Klien mengeluh nyeri pada luka
jahitan rasanya seperti ditusuk benda tajam pada kepala bagian kiri, skala 5 dari 10 dan
terjadi secara terus menerus (tiap waktu).
53

Pada pengkajian sistem perkemihan, penulis tidak menemukan masalah keperawatan


karena dari hasil pengkajian klien tidak mengalami distensi kandung kemih, frekuensi urine
MRS 1600 cc/hari, warna kuning jernih, klien tidak terpasang pampers.
Pada pengkajian sistem pencernaan, penulis tidak menemukan masalah keperawatan
karena hasil pengkajian mulut tampak bersih , membrane mukosa lembab, tidak ada gigi
palsu, tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, diit nasi + lauk, nafsu makan klien normal, klien
tidak terpasang NGT.
Pada pengkajian sistem muskuluskeletal, penulis tidak menemukan masalah
keperawatan karena hasil pengkajian kekuatan otot klien penuh, tidak ada fraktur, rentang
gerak sendi bebas, turgor kulit elastis, dan warna kulit sawo matang.

4.2 Diagnosis Keperawatan


Analisa data pada tinjauan pustaka hanya berisi teori, namun pada kenyataannya
dilapangan, analisa data diseseuaikan dengan keluhan-keluhan yang telah dialami klien.
Kesenjangan yang didapatkan oleh penulis yaitu tentang diagnosis-diagnosis
keperawatan yang tertuang di tinjauan pustaka tidak semunya di dapatkan dalam tinjauan
kasus. Diagnosis keperawatan yang tertuang dalam tinjauan pustaka berjumlah delapan
diagnosis keperawatan namun diagnosis keperawatan yang penulis temukan di tinjauan
kasus berjumlah 2 diagnosis. Adapun diagnosis-diagnosis keperawatan yang tertuang
dalam tinjauan pustaka adalah sebagai berikut:
1. Ketidakefektifan pola nafas
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d trauma
3. Nyeri akut b.d agens cidera fisik
4. Hambatan mobilitas fisik b.d kekuatan otot
5. Intoleransi aktivitas
6. Sindrom pasca trauma
7. Defisiensi volume cairan
8. Resiko infeksi area pembedahan
54

Dari delapan diagnosis tersebut hanya tersebut, diagnosis yang muncul pada
tinjauan kasus antara lain:
1. Nyeri akut b.d agens cidera fisik
2. Resiko infeksi area pembedahan
3. Intolerasnsi aktivitas

Pada diagnosis nyeri akut berhubungan dengan agens cidera fisik penulis menemukan
pada pemeriksaan CT Scan terdapat EDH di temporal kiri disertai pneumatocele dengan
fraktur di temporal kiri, Kesan fraktur di basis carnii dan dinding sphenoid kanan serta fraktut
septum nasi, tampak pula hematosinus sphenoidalis, ethmoidalis, frontalis dan maxillaris
kanan kiri, Edema cerebri, Mastoiditis kronis sisi kanan, Tidak tampak fraktur didaerah
cervical, klasifikasi ligamentum nuchae (+), saat pengkajian klien mengeluh nyeri di kepala
setelah dilakukan operasi trepanasi, pada pengkajian nyeri klien mengeluh pada luka jahitan
operasi trepanasi terasa seperti ditusuk benda tajam dengan skala nyeri 5 dari 10, nyeri
muncul secara terus menerus. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Brain Injury
Assosiation of America cidera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Longlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Pada diagnosis risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif penulis
menemukan Adanya luka jahitan post op trepanasi di temporalis tertutup kasa kering kondisi
luka tertutup, tidak terdapat rembesan, tidak berbau, dan terdapat drain vakum penuh. Pada
pemeriksaan laboratorium adanya hasil pemeriksaan leukosit dengan nilai normal yaitu
10.500/ mm3 pada klien, hal ini merupakan salah satu tidak adanya menifestasi reaksi
inflamasi didalam otak klien akibat adanya cedera dan adanya peningkatan metabolisme sel-
sel otak. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Mansjoer: 2000) yang mengatakan bahwa salah
satu tanda terjadinya reaksi inflamasi yaitu adanya nilai leukosit yang tinggi, yang merupakan
manifestasi dari pertahanan tubuh seseorang. Selain itu tanda-tanda lain dari adanya reaksi
inflamasi yaitu adanya tumor (bengkak), dolor, rubor (kemerahan), kalor (panas) dan
fungsiolesa.
4.3 Perencanaan
Setelah penulis menentukan diagnosis keperawatan yang sesuai dengan kondisi klien,
selanjutnya penulis merumuskan rencana tindakan untuk mengatasi masalah-masalah
55

keperawatan yang muncul pada klien. Dalam merumuskan perencanaan, penulis merumuskan
tindakan-tindakan keperawatan berdasarkan diagnosis yang sesuai dengan kondisi klien,
selain itu penulis mencantumkan tujuan dan kriteria hasil pada setiap diagnosis yang ada pada
klien. Adapun fungsi dari penulisan tujuan dan kriteria hasil adalah untuk menilai berhasil
atau tidaknya asuhan keperawatan yang penulis lakukan pada klien. Penulis memberikan
asuhan kepada klien kurang lebih selama tiga hari terhitung mulai tanggal 1 desember 2018.
Perencanaan keperawatan yang penulis susun untuk diagnosis nyeri akut berhubungan
dengan agens cedera fisik antara lain : mengobservasi intensitas nyeri menggunakan skala
nyeri setiap 8 jam sekali, membantu dan ajarkan penanganan terhadap nyeri, mengajarkan
teknik relaksasi dan distraksi setiap 8 jam sekali, menjelaskan pada pasien sebab-sebab
timbulnya nyeri, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgesic atau anti nyeri.
Adapun perencanaan keperawatan untuk diagnosis risiko infeksi berhubungan dengan
prosedur invasif antara lain: mengobservasi drain vakum penuh setiap 8 jam sekali,
melakukan rawat luka rutin satu kali dalam sehari, memperhatikan teknik isolasi dengan
batasi pengunjung, mengganti iv line dengan teknik aseptik setiap 3 hari sekali.

4.4 Pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah realisasi dari perencanaan yang telah
penulis susun berdasarkan kondisi klien. Pelaksanaan tindakan keperawatan dilakukan
secara terkoordinasi sesuai dengan rencana keperawatan yang telah penulis buat. Dalam
pelaksanaan tindakan keperawatan penulis melakukan pendelegasian tindakan
keperawatan kepada sesama teman sejawat sesuai dengan shift, karena penulis tidak
mungkin bisa mengikuti klien secara langsung selama 24 jam. Dalam pelaksanaan
tindakan keperawatan, penulis mengadakan kerjasama dengan pihak perawat ruangan yang
selalu memberikan arahan dan bimbingan. Adapun pelaksanaan tindakan keperawatan
untuk mengatasi diagnosis nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik yang telah
penulis lakukan diantaranya yaitu : mengobservasi intensitas nyeri menggunakan skala
nyeri setiap 8 jam sekali, membantu dan ajarkan penanganan terhadap nyeri, mengajarkan
teknik relaksasi dan distraksi setiap 8 jam sekali, menjelaskan pada pasien sebab-sebab
timbulnya nyeri, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgesic atau anti nyeri,
memberikan posisi head up 300 pada klien, hal ini dilakukan agar membantu
memperlancar aliran darah balik vena kepala sehingga dapat mengurangi tekanan
intracranial. Adapun pelaksanaan tindakan keperawatan untuk mengatasi diagnosis resiko
56

infeksi berhubungan dengan prosedur invasif yang penulis lakukan diantaranya yaitu :
mengobservasi drain vakum penuh setiap 8 jam sekali, melakukan rawat luka rutin satu
kali dalam sehari, memperhatikan teknik isolasi dengan batasi pengunjung, mengganti iv
line dengan teknik aseptik setiap 3 hari sekali. Pelaksanaan tindakan keperawatan yang
telah penulis lakukan, semuanya disesuaikan dengan kondisi klien saat dirawat di ruangan.
Dalam pelaksanaan tindakan keperawatan, penulis bekerja sama dengan teman sejawat dan
perawat ruangan.
4.5 Evaluasi
Hasil evaluasi kasus berdasarkan masalah yang dihadapi klien, dua diagnosis
keperawatan yaitu nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik dan resiko infeksi
berhubungan dengan prosedur invasif, masalah dapat teratasi. Evaluasi pelaksanaan tindakan
keperawatan untuk diagnosis nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik adalah
sebagai berikut : pada hari pertama klien mengatakan skala nyeri berkurang dari 5 menjadi 4
dalam rentang skala 0 – 10, GCS : 4 5 6, akral hangat kering merah, frekuensi tekanan darah
103/69 mmHg, Suhu 360 c , Nadi : 84x/menit, RR : 18x/menit. Pada hari kedua klien
mengatakan skala nyeri berkurang dari 5 menjadi 3 dalam rentang skala (1-10), klien
mengungkapkan perasaan nyaman berkurangnya nyeri, kondisi umum klien tampak baik,
ekspresi wajah klien tampak rileks. Pada hari ketiga klien mengatakan nyeri pada bagian
kepala hilang, wajah pasien tampak rileks. Evaluasi pelaksanaan tindakan keperawatan untuk
diagnosis resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif adalah sebagai berikut : pada
hari pertama klien mengatakan sudah paham mengenai langkah – langkah cuci tangan, klien
tampak memperhatikan edukasi cuci tangan yang diberikan perawat, ketika dilakukan rawat
luka jahitan post op terlihat kondisi luka kering tidak terdapat pendarahan. Pada hari kedua
luka bekas jahitan post op terlihat kondisi luka kering tidak terdapat perdarahan, jumlah drain
50cc. Pada hari ketiga luka tampak kering dan tidak terjadi infeksi seperti kemerahan dan
bengkak.
57

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Trauma Kepala atau cidera kepala adalah suatu kerusakan yang menimpa
struktur kepala yang disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar yang dapat
menimbulkan gangguan fugsional jaringan otak. Gejala umum dari Trauma Kepala
adalah penurunan kesadaran yang progresif, reflek babinski yang positif, kelumpuhan
dan bila kesadaran pulih kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak organik.
Diagnosa keperawatan yang timbul pada Tn. A ini adalah nyeri akut b.d agens
cedera fisik (Post Op trepanasi), risiko infeksi b.d prosedur invasif. Asuhan keperawatan
yang diberikan selama perawatan yaitu mengobservasi tanda-tanda vital setiap 6 jam,
memantau suhu setiap 3 jam, mempertahankan posisi kepala tetap netral (head up 300),
memantau status neurologi tiap 6 jam sekali, membantu dan mengajarkan penanganan
terhadap nyeri (teknik relaksasi dan distraksi), melakukan rawat luka rutin, mengganti
iv line dengan teknik aseptic, menjelaskan pada keluarga tentang penularan infeksi.
5.2 Saran
Dalam makalah ini tertuang informasi yang dapat digunakan sebagai kerangka
acuan dalam pelayanan kesehatan serta diharapkan pembaca dapat menerapkan secara
nyata asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosea medis Trauma Kepala serta
sebagai salah satu referensi dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan pemberian
asuhan keperawatan.
58

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.Jakarta : EGC


Effendy, Nasrul. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. Jakarta : EGC
Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi. Alih Bahasa Indah R. Wardhani.
Jakarta: Erlangga
Herdman, Kamitsuru. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klarifikasi
2018-2020. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Masnjoer, Arif, dkk. 2003. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga. Jakarta : Media
Aesculapius
Pahria, Tuti, dkk. 1996. Asuhan Keperawatan pada Paien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: EGC
Price, Sylvia Anderson, dkk. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Edisi IV,alih bahasa Peter Anugerah. Jakarta : EGC
Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun 2013. Diakses tanggal 5 Desember 2018
darihttp://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%20 2013.pdf.
Satyanegara, L. Djoko Listiano. 1998. Ilmu Bedah Saraf Edisi III. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Smeltzer, S. Suzanne, Bare, G.Brenda.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth, Edisi VIII volume 3. Alih Bahasa Agung Waluyo. Jakarta
: EGC
59

Anda mungkin juga menyukai