Oleh :
AULIA RISKITASARI
YURISKE AGNOVIANTO
SRI WULAN EKAWATI
PENDAHULUAN
Hemolisis darah/
eritrosit
Preeklampsia/
Eklampsia HELLP sindrom
Kematian maternal:
Dekompensasiokordis,
Sembuh baik ANC Terminasi hamil:
Acute vascular accident,
teratur Persalinan Impending eklampsia, Fetal
Kegagalan organ vital,
berencana distress, Solusioplasenta,
Perdarahan, IUGR-asfiksia
Kriteria Eden, Biofisikprofil
fetal buruk
1) Kontraksi yang berkembang: Menjadi lebih lama, lebih kuat, dan atau
lebih dekat jaraknya bersama dengan berjalannya waktu, biasanya disebut
“Sakit” atau “Sangat Kuat” dan terasa didaerah perut pinggang, atau
keduanya.
2) Aliran cairan ketuban yang deras dari vagina: Disebabkan oleh robekan
membran yang besar.
3) Pelebaran leher rahim: Leher rahim membuka sebagai respon terhadap
kontraksi yang berkembang.(Simkin, 2007).
d. Teori syaraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm terjadi
pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis, seperti
pada kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian terbawah
janin.
(Mochtar & Krisnanto, 2008).
e. Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm
telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007)
menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah
mengami kehamilan postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami kehamilan postterm pada kehamilan berikutnya. Bilamana
seorang ibu mengalami kehamilan postterm saat melahirkan anak
perempuan, maka besar kemungkinan anak perempuannya akan mengalami
kehamilan postterm. (Kistka et al, 2007).
(Kapita Selekta Kedokteran Jilid I Edisi III, 2008)
5. Faktor predisposisi
Seorang ibu yang mengalami kehamilan postdate mempunyai kecenderungan
untuk melahirkan lewat waktu pada kehamilan berikutnya (Saifuddin, 2014).
Sebuah kecenderungan genetik kehamilan postdate telah didemonstrasikan.
Seorang wanita yang lahir lewat waktu memiliki 49% peningkatan risiko
melahirkan anak melampaui usia kehamilan 42 minggu, risikonya adalah 23% jika
ayah dari anak tersebut lahir lewat waktu sedangkan annecephaly janin dan
kekurangan surfaktan plasenta adalah penyebab langka kehamilan yang melebihi
taksiran persalinan (Wang, et al, 2014).
6. Faktor risiko
Faktor risiko yang diketahui untuk kehamilan postdate adalahn kehamilan
postdate sebelumnya, nuliparitas, usia ibu yang lebih tua dari 30 tahun dan
obesitas (Wang, et al , 2014). Dibandingkan dengan wanita berat badan normal,
risiko dari kehamilan postdate pada wanita dengan obesitas hampir dua kali
lipatnya. Risiko sectio caesarea maupun induksi persalinan pada kehamilan ini,
meningkat bersaman dengan umur ibu dan BMI serta lebih dari dua kali lipatnya
pada wanita berumur ≥35 tahun. Risiko lima kali lipat terlihat pada wanita
primigravida. Dengan kata lain nuliparitas, peningkatan umur ibu dan obesitas
merupakan faktor risiko terkuat untuk kehamilan postdate dan sectio caesarea
maupun induksi persalinan (Roos, et al, 2010).
c. Pada serviks belum matang (skor bishop < 6) kita perlu menilai keadaan
janin lebih lanjut lagi apabila kehamilan tidak dilahirkan.
c. Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan dalam dilakukan untuk menentukan penipisan dan
dilatasi serviks. Pemeriksaan vagina juga mengindentifikasikan bagian
presentasi janin dan menyingkirkan kemungkinan prolaps tali pusat.
Periksa dalam harus dihindari kecuali jika pasien jelas berada dalam masa
persalinan atau telah ada keputusan untuk melahirkan.
d. Pemeriksaan penunjang
1) Dengan tes lakmus, cairan amnion akan mengubah kertas lakmus
merah menjadi biru.
2) Pemeriksaan leukosit darah, bila meningkat > 15.000 /mm3
kemungkinan ada infeksi.
3) USG untuk menentukan indeks cairan amnion, usia kehamilan, letak
janin, letak plasenta, gradasi plasenta serta jumlah air ketuban.
4) Kardiotokografi untuk menentukan ada tidaknya kegawatan janin
secara dini atau memantau kesejahteraan janin. Jika ada infeksi
intrauterin atau peningkatan suhu, denyut jantung janin akan
meningkat.
5) Amniosintesis digunakan untuk mengetahui rasio lesitin - sfingomielin
dan fosfatidilsterol yang berguna untuk mengevaluasi kematangan paru
janin. ( Arief Monsjoer, dkk, 2001 : 313 )
5. Komplikasi KPD(Ketuban Pecah Dini)
Ada tiga komplikasi utama yang terjadi pada ketuban pecah dini adalah
peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatal oleh karena prematuritas,
komplikasi selama persalinan dan kelahiran yaitu resiko resusitasi, dan yang
ketiga adanya risiko infeksi baik pada ibu maupun janin. Risiko infeksi karena
ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya
penyebab infeksi (Sarwono, 2008).
Sekitar tiga puluh persen kejadian mortalitas pada bayi preterm dengan ibu
yang mengalami ketuban pecah dini adalah akibat infeksi, biasanya infeksi
saluran pernafasan (asfiksia). Selain itu, akan terjadi prematuritas. Sedangkan,
prolaps tali pusat dan malpresentrasi akan lebih memperburuk kondisi bayi
preterm dan prematuritas (Depkes RI, 2007).
Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada ketuban pecah dini,
flora vagina normal yang ada bisa menjadi patogen yang bisa membahayakan
baik pada ibu maupun pada janinnya. Morbiditas dan mortalitas neonatal
meningkat dengan makin rendahnya umur kehamilan.
Komplikasi pada ibu adalah terjadinya risiko infeksi dikenal dengan
korioamnionitis akibat jalan lahir telah terbuka, apalagi bila terlalu sering
dilakukan pemeriksaan dalam. Dari studi pemeriksaan histologis cairan
ketuban 50% wanita yang melahirkan prematur, didapatkan korioamnionitis
(infeksi saluran ketuban), akan tetapi sang ibu tidak mempunyai keluhan
klinis. Infeksi janin dapat terjadi septikemia, pneumonia, infeksi traktus
urinarius dan infeksi lokal misalnya konjungtivitis (Sualman, 2009).
Selain itu juga dapat dijumpai perdarahan postpartum, infeksi puerpuralis
(nifas), peritonitis, atonia uteri dan septikemia, serta dry-labor. Ibu akan
merasa lelah karena berbaring di tempat tidur, partus akan menjadi lama, maka
suhu badan naik, nadi cepat dan tampaklah gejala-gejala infeksi (Manuaba,
2008).
6. Penatalaksanaan KPD(Ketuban Pecah Dini)
Konservatif
Rawat di rumah sakit.
Berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau erit\romisin bila tidak tahan
dengan ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari).
Jika umur kehamilan < 32 – 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih
keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
Jika umur kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes
busa negatif : beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi dan
kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah in partu, tidak ada infeksi,
berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam.
Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan
induksi.
Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin).
Pada usia kehamilan 32-34 minggu, berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan
spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal
selama 2 hari, deksametason i.m 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.
(Saifudin A.B. 2006. Ketuban Pecah Dini, Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Hal : 218-220)
Aktif
Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal pikirkan
seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50µg intravaginal tiap 6
jam maksimal 4 kali.
Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan
diakhiri jika :
a. Bila skor pelvik < 5, lakukanlah pematangan serviks, kemudian
induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea.
b. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.
(Sarwono P,. 2009).
Table 2.1 Skor Bishop
Skor
Faktor
0 1 2
Pembukaan serviks
0 1-2 3-4
(cm)
Hepatitis B merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang
disebabkan oleh virus hepatitis B. Virus hepatitis B merupakan jenis virus DNA
untai ganda, famili hepadnavirus dengan ukuran sekitar 42 nm yang terdiri dari 7
nm lapisan luar yang tipis dan 27 nm inti di dalamnya. Masa inkubasi virus ini
antara 30-180 hari rata-rata 70 hari. Virus hepatitis B dapat tetap infektif ketika
disimpan pada 30-32°C selama paling sedikit 6 bulan dan ketika dibekukan pada
suhu -15°C dalam 15 tahun (WHO, 2002).
Virus ini memiliki tiga antigen spesifik, yaitu antigen surface, envelope, dan
core. Hepatitis B surface antigen (HBsAg) merupakan kompleks antigen yang
ditemukan pada permukaan VHB, dahulu disebut dengan Australia (Au) antigen
atau hepatitis associated antigen (HAA). Adanya antigen ini menunjukkan infeksi
akut atau karier kronis yaitu lebih dari 6 bulan. Hepatitis B core antigen (HbcAg)
merupakan antigen spesifik yang berhubungan dengan 27 nm inti pada VHB
(WHO, 2002). Antigen ini tidak terdeteksi secara rutin dalam serum penderita
infeksi VHB karena hanya berada di hepatosit.
2.4.3 Patogenesis
Masa inkubasi infeksi HB bervariasi, yaitu sekitar 45-120 hari, dengan rerata
60-90 hari. Variasi tersebut tergantung jumlah virus yang menginfeksi, cara
penularan, dan faktor host (WHO, 2002). Sel hati manusia merupakan target
organ bagi virus hepatitis B. Virus ini mula-mula melekat pada reseptor spesifik di
membran sel hati kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hati.
Dalam sitoplasma, VHB melepaskan mantelnya sehingga melepaskan
nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus dinding sel hati
(Mustofa & Kurniawaty, 2013).
HBsAg tidak hanya diproduksi dari cccDNA, tetapi juga berasal dari
rentetan DNA VHB pada antigen permukaan open-reading frame (ORF) yang
berintegrasi dengan genome hepatosit. HBsAg diproduksi dalam jumlah banyak
dan bersirkulasi di serum pada individu yang terinfksi VHB (Hadziyannis, 2013).
Secara teori, cccDNA merupakan indikator terbaik dalam aktivitas transkripsi
VHB di hepatosit. Level HBsAg berhubungan dengan level cccDNA (Lee, 2012).
Pada hepatitis B kronik, HBsAg menetap selama lebih dari 6 bulan tanpa
pembentukan antibodi anti-HBs ialah karena respon imun terutama sel T
sitotoksik terhadap virus lemah sehingga produksi HBsAg ke sirkulasi berlebihan
dan anti-HBs tidak terdeteksi (Ganem et al., 2004).
Setelah 2-6 hari urin menjadi gelap, tinja menjadi lebih pucat, dan timbul
ikterus. Sindrom demam, atralgia, artritis, dan ruam urtikaria atau makulopapular
terjadi pada 10% pasien sebelum onset ikterus. Pada anak-anak, sindrom ini
mungkin lebih jelas dan disebut akrodermatitis papular (sindrom Gianotti). Biasa
terjadi hepatomegali yang nyeri tekan dan licin serta splenomegali pada 15%
kasus. Penyakit yang akut lebih sering terjadi pada orang dewasa (Mandal &
Wilkins, 2006).
Banyak pasien dewasa pulih secara komplit dari infeksi VHB, namun 5-10%
akan tidak total bersih dari virus akibat gagal memberikan tanggapan imun yang
adekuat sehingga terjadi infeksi hepatitis B perisiten, dapat bersifat karier inaktif
atau hepatitis kronis yang tidak menunjukkan gejala, tapi infeksi ini tetap menjadi
sangat serius dan dapat mengakibatkan kerusakan hati atau sirosis, kanker hati dan
kematian (WHO, 2002; Hazim, 2010).
Banyaknya jumlah virus yang menginfeksi dan usia pasien yang terinfeksi
merupakan faktor penting yang menentukan hepatitis B akut atau kronis. Hanya
sedikit proporsi infeksi VHB akut yang terlihat secara klinis. Kurang dari 10%
anak dan 30-50% dewasa dengan infeksi VHB akut yang mengalami penyakit
ikterik. Banyak kasus hepatitis B akut yang subklinik, dan 250 IU/ml secara
manual diencerkan pada 1:500-1:2.000 agar dapat dibaca dalam 27 jarak kalibrasi.
Sedangkan jika sampel dengan level HBsAg90%, hepatitis kronis aktif.
2.5.1 Definisi
Distosia bahu adalah suatu keadaan dimana setelah kepala dilahirkan, bahu
anterior tidak dapat lewat di bawah simfisis pubis. Kondisi ini merupakan
kegawatdaruratan obstetri karena bayi dapat meninggal jika tidak segera
dilahirkan (WHO,2013).
2.5.2 Diagnosis
Tanda distosia bahu yang harus diamati penolong persalinan adalah:
b. Kepala bayi tetap melekat erat di vulva atau bahkan tertarik kembali (turtle
sign)
• Diabetes melitus
• Secondary arrest
2.7.1 PENGKAJIAN
Tanggal/jam pengkajian : Tempat :
Tanggal/jam :
No register :
1. Data Subjektif
a. Biodata
Umur : Wanita hamil yang berusia di bawah 20 tahun atau di atas 35
tahun memiliki resiko yang lebih besar mengalami penyakit dalam
kehamilan (Prawirohardjo, Sarwono 2010).
Pekerjaan : menentukan status ekonomi dan pola aktifitas
pasien. Secara epidemiologi status ekonomi rendah, cenderung
menjadi faktor predisposisi masalah komplikasi kebidanan (Roberts
et al., 2003).
b. Keluhan utama : Keluhan utama yang dapat terjadi pada ibu dengan
pre eklamsia, dengan gangguan berat (PEB) adalah: bengkak pada
tungkai dan/atau wajah, pandangan kabur, nyeri ulu hati, nyeri
kepala hebat, mual muntah berlebihan(Prawirohardjo
Sarwono,2010).
Pada persalinan dengan kehamilan postdate dapat ditemukan
ialah gerakan janin yang jarang, yaitu secara subyektif <10-12 kali
dalam 12 jam (Sujiyatini, 2009), USG di temukan AFI ≤ 8cm.
Ibu menjadi cemas bilamana kehamilan terus berlangsung
melewati taksiran persalinan akan menambah frustasi ibu dan juga
akan mempengaruhi janin (Prawirohardjo, 2008).
Pada pasien yang memiliki diagnose KPD memiliki kelihan
Keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina, Cairan vagina
berbau amis(tidak seperti bau amoniak), Demam ata menggigil, nyeri
pada perut dicurigai amnionitis (Saifuddin, 2002).
c. Riwayat menstruasi
HPHT : untuk menentukan usia kehamilan. Pre eklamsia, umumnya
terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu (Phyllis August, 2015).
Kenaikan tekanan darah sebelum usia kehamilan dengan disertai
tanda pre eklamsia disebut superimposed pre eklamsia. Menstruasi
terakhir juga untuk mengakomodir postdate
e. Riwayat obstetris : Resiko PE, KPD, dan postdate meningkat pada
pasien nulipara (Stehman Breen, 2002).
f. Riwayat hamil ini : Riwayat kehamilan ini seperti riwayat mual
muntah hebat, kehamilan kembar, atau hamil dengan in vitro
fertilizationkhususnya IVF dengan sperma atau sel telur donor
meningkatkan resiko pre eklamsia, KPD dan postdate (ACOG,
2013).
g. Riwayat KB : Riwayat penggunaan KB hormonal kombinasi
meningkatkan resiko terjadinya peningkatan tekanan darah, penyakit
jantung, tromboemboli vena, serta stroke (Chrisandra L. Shufelt,
2009)
h. Riwayat kesehatan : Menderita tekanan darah tinggi sebelum hamil,
Diabetes Mellitus, dan adanya penyakit atau gangguan pada ginjal
meningkatkan resiko terjadinya pre eklampsia (Chesley dalam
Cunningham, 2007). Pre eklamsia dalam kehamilan dapat
memperberat penyakit yang telah ada sebelumnya karena tekanan
darah yang sangat tinggi mempengaruhi fungsi organ.
i. Riwayat kesehatan keluarga : Ibu, ayah atau keluarga menderita
tekanan darah tinggi, saudara kandung yang pernah pre eklamsia /
eklamsia pada kehamilan, persalinan atau nifas meningkatkan resiko
terjadinya pre eklamsia berat (Bezzera P.C, 2010).
j. Riwayat Psikososial, sosial dan budaya
Perkawinan :Pernikahan ke dua cenderung pre eklamsia/eklamsia,
resiko sering timbul pada wanita multipara dengan suami baru, hal
ini disebabkan oleh maladaptasi imun tubuh. pendampingan keluarga
terhadap kehamilan ibu akan mempengaruhi kondisi psikis dan
berakibat pada kehamilan (Tubbergen, 1999).
Psikologi : Keadaan psikologis ditanyakan untuk mengetahui apakah
kehamilan ibu diharapkan atau tidak dan apakah keluarga
mendukung kehamilan ibu saat ini atau tidak (Saifudin, 2010). Jika
kehamilan tidak diharapakan dan keluarga tidak mendukung maka
ibu cenderung akan mengalami stress dan stress merupakan salah
satu factor predisposisi dari hipertensi (Indriyani, 2013). Psikologi
yang buruk akan berpengaruh pada tekanan darah ibu.
k. Pola fungsional, Kebutuhan dasar manusia
l. Nutrisi:defisiensi nutrisi, terutama kalsium, folat, dan seng dapat
meningkatkan resiko preeklamsia, KPD, post dan penyakit
kehamilan lainnya
m. Eliminasi : Penurunan jumlah output urine < 500 cc/24 jam
merupakan salah satu gejala klinis preeklamsia dengan gangguan
berat (Prawirohardjo Sarwono, 2010).
n. Aktivitas dan istirahat : Aktifitas kerja yang padat dengan beban
kerja tinggi, bekerja lebih dari 6 jam sehari, shift malam, atau bekerja
lebih ari lima hari kerja berturut – turut dalam seminggu, serta
bekerja berat dan lebih banyak berdiri meningkatkan resiko
terjadinya pre eklamsia (Haelterman et al., 2007).
2. Data Obyektif
d. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : lemah – baik
Kesadaran : compos mentis – penurunan kesadaran.
TD :Tekanan darah sistolik 140 – 160 mmHg atau
diastolik 90 – 100 mmHg (Pre eklampsia) systole ≥160
atau diastole ≥110 mmHg (Pre eklampsia Berat)
(Prawirohardjo, 2010)
Pernapasan : < 16 x/menit, 16 – 24 x/menit
BB : kenaikan >11 – 13 kg. Peningkatan berat badan yang pesat
dapat diakibatkan oleh oedema berat yang terjadi pada muka
dan/atau tungkai. Obesitas meningkatkan resiko pre eklamsia
(Roberts et al., 2013)
e. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi dan palpasi
1) Muka : dapat terjadi pembengkakan pada muka (Sofian, 2011).
2) Mata : identifikasi sklera, konjungtiva bisa merah muda/pucat
dan pandangan pada kasus preeklampsia berat biasa terjadi
gangguan visus. Skotomata, penglihatan kabur, atau diplopia
merupakan gejala yang lazim didapatkan pada preeklamsia berat
dan eklamsia.(cunningham, 2010).
f. Perut :
Leopold I : TFU bisa sesuai UK bisa > besar atau bisa lebih kecil.
Bagian yang terdapat di fundus bisa kepala, bokong atau kosong.
Kehamilan kembar dapat meingkatkan resiko pre eklamsia karena
pada kehamilan kembar ukuran plasenta umumnya lebih besar
daripada kehamilan tunggal (Bdolah, 2007). Pre eklamsia berat dapat
menyebabkan IUGR karena perfusi plasenta yang tidak optimal
(Roberts et al., 2013).
Leopold II : bisa teraba bagian kepala, bokong atau punggung
ataupun bagian kecil janin.
Leopold III : bisa teraba bokong, kepala atau kosong. Bisa
digoyangkan ataupun tidak bisa digoyangkan
Leopold IV : bisa konvergen / divergen
g. Ekstremitas atas dan bawah : dapat terjadi oedema pada kaki dan jari
tangan (Sofian, Amru. 2011)
- Auskultasi : Normal (120 –
160x/detik), takikardi atau bradikardi. Tekanan darah tinggi
pada ibu dapat mempengaruhi perfusi plasenta yang juga
mempengaruhi denyut jantung janin.
- Perkusi : Reflek patella bisa (+)
atau (-). Umumyapada pasien preeklamsia terjadi hiperrefleks.
Jika refleks patella (-) pasien tidak dapat diberikan MgSO4
sebagai antikejang. Pertimbangkan pemberian antikejang lain
seperti diazepam dan fenitoin (Prawirohardjo, 2010).
h. Pemeriksaan penunjang di puskesmas
Proteinuria kualitatif +2 (Pre eklampsia Ringan)
Proteinuria kualitatif > +3 (Pre eklampsia Berat)
ROT ≥ 20 mmHg = positif
MAP ≥ 90 mmHg = positif
Hasil pemeriksaan HBsAg = R/NR
i. Pemeriksaan penunjang di rumah sakit
j. Pemeriksaan darah lengkap. Mengetahui platelet, kreatinin serum,
albumin, HBsAg dan lain-lain
k. Fungsi Hati (SGOT/SGPT). Peningkatan enzim hati meningkat pada
pasien pre eklamsia dengan HELLP syndrome.
l. Fungsi ginjal (BUN/SC). Tekanan darah tinggi dalam waktu yang
panjang dapat mempengaruhi fungsi ginjal.
m. Protein urine kuantitatif (esbach). Pemeriksaan protein urine
kuantitatif dilakukan untuk mengetahui nilai absolute protein yang
dikeluarkan dalam 24 jam. Pemeriksaan ini penting untuk menilai
adanya perburukan kondisi atau evaluasi terapi yang telah diberikan.
n. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)dan NST dilakukan untuk
mengetahui kesejahteraan janin. Pemeriksaan USG yang dicurigai
mengalami IUGR, janin memiliki ukuran yang lebih kecil dibanding
usia kehamilannya. Sedangkan, pemeriksaan NST menunjukkan
kecenderungan fetal distress. Untuk mengetahui apakah terjadi
insufiensi plasenta akut atau kronis, perlu dilakukan USG dan NST
bila curiga terjadinya fetal growth restriction (Prawirohardjo, 2010).
2.7.2 Intrepretasi data dasar
Setelah didapatkan data subjektif dan data objektif, maka dapat
diidentifikasikan diagnosis, masalah, diagnosis/masalah potensial, dan
kebutuhannya berdasarkan hasil analisis yang sesuai sebagai berikut:
1. Diagnosa kebidanan
G... P... / UK > 20 minggu / tunggal atau gemelli / hidup atau IUFD /
intrauterin/ presentasi kepala, Presentasi bokong, atau letak lintang /
kesan jalan lahir normal / CPD, KU ibu dan janin baik sampai lemas
dengan PEB + HBsAg positif + postdate + KPD
Atau jika bayi sudah lahir
Papah postpartum……. jam dengan riwayat PEB + HBsAg positif +
postdate + KPD
2. Masalah : Masalah adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman
klien yang ditemukan dari hasil pengkajian atau yang menyertai
diagnosis. Menurut Sarwono (2010) keluhan yang sering dirasakan
saat pemeriksaan yang berhubungan dengan penderitapreeklampsia
adalah pusing, nyeri kepala, lemas, gangguan penglihatan / visus atau
nyeri epigastrium
3. Masalah : yang dapat terjadi pada ibu bersalin dengan preeklasmpsia
berat biasanya ketidaknyamanan akibat penyakitnya seperti mual.
Pada pasien dengan KPD dan HBsAg positif memunculkan masalah
ketidak nyamanan terutama kondisi suhu tubuh, nyeri karena ketuban
yang sudah keluar lebih dulu
4. Kebutuhan disesuaikan dengan masalah dan diagnosa.
Hal tersebut harus didukung oleh data dasar (subjektif ataupun
objektif). Tindakan atau asuhan apa yang akan diberikan kepada ibu
bersalin dengan preeklampsia berat, KPD, post date dan HBsAg positif
sesuai dengan wewenang bidan
2.7.3 Diagnosa dan masalah potensial
Mengidentifikasi diagnosa dan masalah potensial sesuai dengan diagnosa
dan masalah yang sudah diidentifikasi.
1. Diagnosa potensial: Merupakan hal-hal yang berkaitan dengan
pengalaman pasien yang ditemukan dari hasil pengkajian yang
menyertai diagnosa (Varney, 2007).
Dengan timbulnya preeklampia atau eklampsia, prognosis bagi ibu
dan janinnya buruk, sehingga frekuensi retardasi pertumbuhan janin
dan partus prematurus meningkat secara bermakna karena awitan
penyakit yang relatif dini pada kehamilan serta keparahan proses itu
sendiri. (Cunningham, 2010).
2. Masalah : Masalah adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman
klien yang ditemukan dari hasil pengkajian atau yang menyertai
diagnosis. Menurut Sarwono (2010) keluhan yang sering dirasakan
saat pemeriksaan yang berhubungan dengan penderitapreeklampsia
adalah pusing, nyeri kepala, lemas, gangguan penglihatan / visus atau
nyeri epigastrium
2.7.4 Identifikasi kebutuhan tindakan segera
Identifikasi Tindakan Segera Kolaborasi/Rujukan: Tindakan yang
dilakukan berdasarkan data baru yang diperoleh secara terus menerus dan
dievaluasi supaya bidan dapat melakukan tindakan segera dengan tujuan
agar dapat mengantisipasi masalah yang mungkin muncul sehubungan
dengan keadaan yang dialami ibu (Varney, 2004). Identifikasi tindakan
segera untuk mencegah kejang, perdarahan intrakranial, sesak nafas,
mencegah gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan bayi sehat
(Prawirohardjo, 2010).
TINJAUAN KASUS
A. DATA SUBYEKTIF
1. Identitas Pasien
Nama Ibu : Ny. T Nama Suami : Tn. A
2. Alasan kunjungan :
Datang dari Poli risti dengan diagnose KPP > 12 jam + PE + Postdate.
3. Keluhan utama :
Sedikit pusing, Keluar air sejak pagi jam 02.30 (18/09)
4. Riwayat Menstruasi
HPHT : 8-12-2018
HPL : 15-09-2019
7. Riwayat Penggunaan KB
Ibu tidak pernah menggunakan kontrasepsi.
8. Riwayat kesehatan
Ibu tidak menderita penyakit HT, TBC, HIV, DM, Jantung. Ibu memiliki
infeksi hepatitis.
B. DATA OBYEKTIF
1. Pemeriksaan UmumKesadaran : composmentis
TD : 145/80 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Suhu : 37 oC
RR : 20 x/mnt
BB saat ini : 78 kg
2. Pemeriksaan Fisik
a. Muka : konjungtiva merah muda, sklera putih,
b. Leher : tidak ada pembesaran vena jugularis, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid, tiak ada pembesaran kelenjar limfe
c. Dada : puting susu menonjol dan bersih, colustrum belum keluar.
d. Abdomen : tidak terdapat luka bekas operasi
- Leopold I : Teraba bulat, lunak, dan tidak melenting, TFU 2 jari bawah
px.
- Leopold II : Teraba keras, memanjang seperti papan di sebelah kanan
perut ibu dan teraba bagian-bagian kecil janin di sebelah kiri perut ibu.
- Leopold III : teraba bagian janin bulat, keras, melenting, dapat
digoyangkan di bagian bawah uterus
- Leopold IV: Divergen
- Penurunan kepala : 2/5
- TFU: 35 cm
- TBJ : (35-11) x 155 = 3720 gram
- DJJ : 148 x/menit
- His: 1x15” / 10 menit
e. Ekstremitas : atas tidak ada oedem, bawah tidak ada oedem dan varices
f. Genetalia : vulva dan vagina tidak ada varices, tidak ada oedema,
tidak ada kondiloma lata dan kondiloma akuminata.
g. Pemeriksaan dalam (VT) oleh bidan pukul 13.30 WIB didapatkan Ø 1
cm, eff 25%, selaput ketuban positif merembes jernih, presentasi kepala,
denominator sutura sagitalis arah melintang, Hodge I.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan lab 18/09/2019
- HB 12,4 g/dL
- Protein : Negatif
- Albumin : 2,1 (L)
- PITC : NR
- HBsAg : R
- Sifilis : NR
-
C. ANALISIS
GIP0000 UK 40-41 minggu Tunggal, Hidup intrauterine, prsentase kepala, KPP
<12 jam + PE + postdate + HBsAg positif + obes grade 1
D. PENATALAKSANAAN
Jam Penatalaksanaan Oleh
18/09 - Memberitahu ibu hasil pemeriksaan Wulan dan
13.30 - Melakukan pemasangan NST bidan jaga
- Melakukan pemasangan infus + pengambilan
sampel darah untuk cek laborat.
- pro lapor DPJP
Wulan,
19/09 - Timbang terima Krisma dan
- Membantu Px makan
07.00 bidan jaga
CATATAN PERKEMBANGAN
S : kenceng-kenceng
P:
KALA II
Kala III
O :
TFU 2 jari diatas pusat, kontraksi uterus lembek, tidak teraba janin kedua,
kandung kemih teraba
P:
Kala IV
S : merasa mules
O : KU Ibu baik
TTV :
TFU setinggi pusat, kontraksi uterus baik, kandung kemih tidak teraba
A : P1001 kala IV + HbSAg (+) + PE + laserasi perineum grade 2
P :
CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal : 20-09-2019, Jam : 01.30 WIB
O :
TTV
Pemeriksaan Fisik
Genitalia: Perdarahan 50 cc
P :
PEMBAHASAN
Ny. T dengan status primipara. Wanita yang pernah hamil sekali dengan
janin mencapai titik mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang mengalami
ketuban pecah dini berkaitan dengan kondisi psikologis, mencakup sakit saat
hamil, gangguan fisiologis seperti emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan
(Cunninghan, 2006). Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat
ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga
memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama
pada pasien risiko tinggi. Adapun factor risiko terjadinya ketuban pecah dini
yaitu; perdarahan vagina yang tidak diketahui penyebabnya, abrubsio plasenta,
inkompentensi serviks, infeksi vagina dan intraamnion, merokok, kehamilan
ganda, polihidramnion, pengobatan steroid kronis, status sosial ekonomi yang
rendah, anemia, dan perempuan single (Norwitz E, 2001).
Ny. T dengan status primipara juga memiliki risiko lebih besar preeklamsi
(7 sampai 10%) jika dibandingkan dengan multipara (levono, 2009). Kejadian
preeklamsia lebih tinggi pada kehamilan pertama sebagai akibat dari reaksi imun
maternal terhadap agen paternal yang diekspresikan plasenta dan reaksi ini
kemungkinan menyebabkan gangguan invasi trofoblas dan disfungsi plasenta
lainnya (S. Hernandez-Diaz et al., 2009). Kehamilan pertama dengan pasangan
baru meningkatkan resiko mengalami preeklamsia yang terkait dengan respon
imun ibu terhadap gen ayah janin yang diekspresikan oleh plasenta dalam
kehamilan (Karen Melchiorre et al., 2014). Pada ibu primipara maka
kemungkinan terjadinya kelainan dan komplikasi cukup besar baik pada kekuatan
his (power), jalan lahir (passage), dan kondisi janin (passager) yang bisa
menyebabkan terjadinya kehamilan postdate.
Faktor risiko lainnya yang dimiliki oleh Ny. T adalah usia, Ny.T dengan
usia 34 tahun, berdasarkan teori usia ibu yang lebih tua dari 30 tahun dan obesitas
(Wang, et al , 2014). Dibandingkan dengan wanita berat badan normal, risiko dari
kehamilan postdate pada wanita dengan obesitas hampir dua kali lipatnya. Pada
fisiologi persalinan, produksi progesteron mengalami penurunan sehingga otot
rahim lebih sensitif terhadap oksigen. Akibatnya, otot rahim mulai berkontraksi
setelah tercapai tingkat penurunan progesteron tertentu. Perubahan keseimbangan
estrogen dan progesteron dapat mengubah sensitivitas otot rahim sehingga sering
terjadi kontraksi Braxton Hicks. Menurunnya konsentrasi progesteron akibat
tuanya usia kehamilan menyebabkan oksitosin meningkatkan aktivitas sehingga
persalinan dimulai. Namun pada obesitas, lemak berlebih dalam tubuh akan
diubah menjadi progesteron dan esterogen yang akan mempengaruhi peningkatan
kadar dalam tubuh, sedangkan, seharusnya otot rahim mulai berkontraksi setelah
tercapai tingkat penurunan progesteron tertentu (Mochtar, 2009).
5.1 Kesimpulan
1. Komplikasi yang dialami oleh ibu merupakan kumpulan dari berbagai
masalah kebidanan yang terjadi pada ibu saat ini
2. Pada setiap persalinan patologis pertama-tama harus selalu dipikirkan bahwa
hal itu bersumber pada kelainan plasenta, yang bisa membahayakan bagi ibu
dan bayi.
3. Dari kasus pada Ny. “T” dengan PE, KPP, postdate, distosia bahu, retensio
plasenta dan manual plasenta maka dapat disimpulkan bahwa
penatalaksanaan kasus ini sesuai dengan teori sehingga dapat mempercepat
pasien keluar dari rumah sakit.
4. Asuhan kebidanan yang diberikan meliputi pengkajian data subjektif dan
objektif, penegakan diagnosis serta penatalaksanaan yang telah dilaksakan
sesuai dengan konsep dasar asuhan kebidanan.
5.2 Saran
5.2.1 Untuk Petugas
Petugas harus senantiasa melaksanakan tindakan yang sesuai dengan
protap (prosedur tetap) dalam menatalaksana suatu kondisi pada pasien.
Pada kasus ini, protap telah dilakukan dan hal ini harus tetap dipertahankan
agar bisa menatalaksana masalah pasien dengan hasil yang optimal.
5.2.2 Untuk Klien dan Keluarga
Diharapkan ibu dan keluarga lebih kooperatif dalam melaksankan
anjuran yang diberikan oleh dokter/bidan/perawat agar dapat mendukung
asuhan yang diberikan, sehingga masalah ibu dapat segera teratasi dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Akhtar, Selina, Selina Begum, dan Sultana Ferdousi, 2011, Calcium and Zinc
Deficiency in Preeclamptic Women, Bangladesh Soc Physiol Ed. 6
halaman 94-99
Angsar, M. Dikman, 2010, “Hipertensi dalam Kehamilan” dalam Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo editor Abdul Bari Saifuddin, Jakarta:
YBPSP
APH Guideliness. 2015. Antepartum haemorrhage (excluding placenta praevia).
Women’s Health Service. Christchurch Women’s Hospital.
Bezerra et al., 2010, Family history of hypertension as an important risk factor for
the development of severe preeclampsia, diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20423274pada tanggal 13
September 2016
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL et al. 2007. Williams Obstetri 21nd.
Jakarta: EGC.
Cunningham, Garry. 2013. Williams Obstetrics, 23rd Ed. Alih bahasa Brahm dkk.
Obstetri Williams, Ed. 23, Vol. 2. Jakarta: EGC
Cunningham, F. G., Et all. 2005. Williams Obstetrics. USA : McGRAW HILL
Cunningham. 2006. Obstetri William. Edisi 21. Jakarta : EGC
Cynthia,D.White, Preeklampsia-Selfcare diakses dari
https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/patientinstructions/000606.htm
pada tanggal 12 September 2016
Depkes RI. 2009. Pedoman Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi dengan Stiker. Jakarta: Depkes RI.
Depkes, RI. 2009. Pedoman program perencanaan persalinan dan pencegahan
komplikasi dengan stiker. Depkes RI. Jakarta.
Doenges, Marilynn E, dan Moorhouse, Mary Frances. 2001. Rencana
Perawatan Maternal/Bayi. Jakarta : EGC
Fraser, Diane M and Cooper,Margaret A. 2009. Myles Buku Ajar Bidan Myles
Buku Ajar Bidan ed.14 alih bahasa Sri Rahayu, Jakarta: EGC
Gilbert, Jeffrey S, Michael J. Ryan, Babbette B. LaMarca, Mona Sedeek, Sydney
R. Murphy, Joey P. Granger, 2008, Pathophysiology of Hypertension
during Preeclampsia: Linking Placental Ischaemia with Endotelial
Dysfungction, American Journal of Physiology - Heart and Circulatory
Physiology Dipublikasi pada 1 Februari 2008 Vol.294 no. 2, Diakses dari
http://ajpheart.physiology.org/content/294/2/H541.long pada tanggal 13
September 2016
Haelterman et al., 2007, Population-based study on occupational risk factors for
preeclampsia and gestational hypertension, diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17717623, pada tanggal 12
September 2016
Indri Maharani. 2012. Hubungan kadar hemoglobin pada perdarahan antepartum
dengan skor apgar. Karya Tulis Ilmiah. Jurnal Media Medika Muda. UNDIP.
Semarang.
Institute of Obstetricians and Gynaecologists, Royal College of Physicians of
Ireland dan Clinical Strategy and Programmes Directorate, Health Service
Executive, 2013, The Diagnosis and Management of Pre-Eclampsia and
Eclampsia Clinical Practice Guideline, diakses dari
http://www.hse.ie/eng/about/Who/clinical/natclinprog/obsandgynaeprogram
me/guideeclamspsia.pdfhttp://www.hse.ie/eng/about/Who/clinical/natclinpro
g/obsandgynaeprogramme/guideeclamspsia.pdf
Kemenkes RI. 2013. Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
Rujukan . Jakarta
Leveno KJ, Cunningham FG, Bloom SL et al. 2009. Obstetri Williams Panduan
Ringkas. Jakarta: EGC.
Londok THM, Lengkong RA, Suparman. 2013. Karakteristik perdarahan
antepartum dan perdarahan postpartum. Jurnal e-Biomedik.
Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. 2010. Pengantar Kuliah Obstetri.
Jakarta: EGC
Manuaba, Ida Bagus Gde. 2007. Pengantar kuliah obstetric. EGC. Jakarta.
Marmin, dkk. 2011. Asuhan Kebidanan Patologi. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Matsuo et al., 2007, Late postpartum eclampsia: report of two cases managed by
uterine curettage and review of the literature. Am J Perinatol. 2007;24:257–266
Norwitz dan Schorge. 2007. Obstetric Gynekologi At A Glance. Alih bahasa Diba
Artisyanti. At A Glance Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Erlangga
Norwitz, Errol. R, dkk. 2007. At Glance Obstetri dan Ginekologi edisi kedua.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Nugroho, Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika
Nurasiah, A; Ani, R; Dewi, L.B. 2012. Asuhan Persalinan Normal Bagi Bidan.
Bandung: PT. Refika Aditama
Oxorn, H dan Forte, W. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi & Fisiologi Persalinan.
Yogyakarta: C.V Andi Offset
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Diagnosis dan Tata laksana
Preeklampsia. 2016. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Himpunan Kedokteran Feto Maternal.
Pertiwi Wara. 2014. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu Untuk
Mendukung Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu. Jakarta:Kemenkes RI.
Petchey, Louisa, 2011, IVF increases risk of Preeclampsia by 40 percent, diakses
dari http://www.bionews.org.uk/page_110221.asp pada tanggal 13
September 2016
Powe, Camile et al, 2011, Preeclampsia, a Disease of the Maternal Endothelium,
diakses dari CrossRefMedlineGoogle
Scholarhttp://circ.ahajournals.org/content/123/24/2856.full pada tanggal 13
September 2016
Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta :s PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Roberts et al., 2003, Nutrient involvement in preeclampsia, diakses dari
http://jn.nutrition.org/content/133/5/1684S.full pada tanggal 12 September
2016
Roberts, James, Cuningham, Marshal Lindheimer, 2009, Chesley's Hypertensive
Disorders in Pregnancy: Edition 3, San Diego: Academic Press
RS Dr Soetomo, 2008, “Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya.
Saifuddin. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Sibai, B.M. et al, 2014, Risk factors associated with preeclampsia in healthy
nulliparous women diakses dari
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0002937897700048 pada
tanggal 14 September 2016
Sofian, Amru. 2011, Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi, Ed. 3, Jilid 1., Jakarta
:EGC
Sondakh, Jenny. 2013. Asuhan Kebidanan Persalinan & Bayi Baru Lahir. Jakarta:
Erlangga
Steehman-Breen, 2002, Increased risk of preeclampsia among nulliparous
pregnant women with idiopathic hematuria diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12237651Am J Obstet Gynecol.pada
tanggal 13 September 2016
Sujiyatini; Mufdillah; Asri, H. 2009. Asuhan Patologi Kebidanan. Yogyakarta:
Nuha Medika
Sunarsih, Priska. 2015. Hubungan usia dan paritas ibu hamil dengan kejadian
perdarahan antepartum di RSUD Abdoel Moeloek Bandar Lampung tahun
2013. Jurnal Kebidanan.
Tanneta, Dione dan Ian Sargent, 2013, Placental Disease and the Maternal
Syndrome of Preeclampsia: Missing Links?, diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3838579/ pada tanggal
14September 2016
Tubbergen et al., 1999, Change in paternity: a risk factor for preeclampsia in
multiparous women? Diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10660264 pada tanggal 14
September 2016
Varney, H. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC
Varney, Helen, et al. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan volume 2. Jakarta : EGC
Wardana G A. 2007. Faktor Resiko Plasenta Previa.
Wiknjosastro, Hanifa. 2010. Ilmu kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta.