Anda di halaman 1dari 90

LAPORAN KOMPREHENSIF

ASUHAN KEBIDANAN PATOLOGIS DENGAN


KPP <12 JAM + PE + POSTDATE + HBSAG POSITIF + OBES GRADE 1+
Distosia bahu + Manual plasenta
DI RUANG VKRSUD DR. MOHAMMAD SOEWANDHIE
SURABAYA

Oleh :
AULIA RISKITASARI
YURISKE AGNOVIANTO
SRI WULAN EKAWATI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehamilan merupakan proses berkembangnya embrio di dalam rahim seorang
wanita. Selama masa kehamilan, ibu dan bayi yang dikandung dapat berada resiko
kesehatan yang tidak terduga. Oleh karena itu seluruh kehamilan harus dapat
terpantau oleh tenaga kesehatan yang terlatih. Setiap harinya diseluruh dunia
terdapat 800 kematian perempuan yang berkaitan dengan kehamilan dan
persalinan (WHO, 2015).
Kematian ibu 99% terdapat pada negara berkembang. Angka kematian ibu dan
angka kematian bayi di Indonesia masih terbilang tinggi, berdasarkan Survei
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan Angka
Kematian Ibu (AKI) 359 per 100.000 kelahiran hidup sedangkan Angka Kematian
Bayi (AKB) mengalami penurunan sedikit dari tahun 2007 yaitu 32 per 1.000
kelahiran hidup. Dikutip dari Depkes 2013 bahwa jumlah kematian ibu di Provinsi
Jawa Timur mengalami penurunan yang cukup bermakna, dari 642 kematian
(tahun 2013) menjadi 291 kematian (hingga Agustus 2014). Penyebab terbanyak
kematian ibu hamil adalah preeklampsia dan sebagian besar juga diakibatkan
keterlambatan pengambilan keputusan keluarga untuk membawa ibu hamil
berisiko tinggi ke pusat rujukan (Depkes, 2014).
Peran bidan dalam upaya penurunan AKI adalah memberikan asuhan salah
satunya dengan antenatal care (ANC). ANC adalah pengupayaan observasi
berencana dan teratur terhadap ibu hamil melalui pemeriksaan, pendidikan,
pengawasan secara dini terhadap komplikasi dan penyakit ibu yang dapat
memengaruhi kehamilan (Manuaba, 2010).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Preeklamsia


2.1.1 Hipertensi Dalam Kehamilan
Hipertensi dalam kehamilan di definisikan sebagai tekanan darah sistolik
sekurang-kurangnya 140 mmHg dan tekanan diastolic sekurang-kurangnya 90
mmHg. Signifikan setiap pengukuran tekanan darah berhubungan dengan usia
gestasi dalam kehamilan. Nilai tersebut diukur sekurang-kurangnya dua kali
dengan perbedaan waktu 6 jam atau lebih dalam keadaan istirahat (Manuaba,
2008).
Wanita hamil dengan tekanan darah ≥140/90
mmHg

UK < 20 minggu UK > 20


minggu

Tanpa atau Onset baru/Peningkatan Dengan Tanpa gangguan


protein uria protein uria, peningkatan gangguan organ organ
yang stabil tekanan darah, gejala
multi organ

Hipertensi Hipertensi kronis


Superimposed Pre Preeklampsi Hipertensi
Kronis
eklampsia a Gestasiona

Gambar 2.1 Klasifikasi tekanan darah tinggi sesuai usia kehamilan


2.1.2 Definisi Pre Eklampsia
Preeklamsia merupakan kelainan multi sistem tubuh dengan karakteristik
tekanan darah tinggi dan adanya protein urine atau disfungsi organ pada
kehamilan di atas 20 minggu pada wanita yang sebelumnya memiliki tensi
normal (Phyllis August, 2015).
Preeklampsia dan eklampsia dianggap sebagai maladaptation syndrome
(sindrom yang muncul karena kegagalan adaptasi) akibat vasopasme
menyeluruh dengan segala akibatnya (Nugroho, 2010).
2.1.3 Klasifikasi preeklamsia
Bukti – bukti juga menunjukkan bahwa preeklamsia merupakan proses
dinamis dan progresif sehingga diagnosa ‘preeklamsia ringan’ sudah tidak
tepat lagi (Preeclampsia Foundation, 2013). Kriteria diagnostik yang lebih
tepat digunakan adalah preeklamsia tanpa tanda gangguan berat dan
preeklampsia dengan gangguan berat (ACOG, 2013). Seperti telah disebutkan
sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru
terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya
gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak
dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ
spesifik akibat preeklampsia tersebut. Berikut adalahklasifikasi preeklamsia
berdasarkan rekomendasi ACOG tahun 2013 dan POGI 2016 :
1. Preeklamsia tanpa tanda gangguan berat
Kriteria minimal Preeklampsia
1) Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik
atau 90 mmHg diastolik pada 2 kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama.
2) Dan Protein urin : Protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes
urin dipstick > positif 1
Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat di ikuti salah satu
dibawah ini :
a. Trombositopenia : Trombosit < 100.000/microliter
b. Gangguan ginjal : Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan
penigkatan kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi
dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya.
c. Gangguan Liver : Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / region kanan atas
abdomen.
d. Edema paru
e. Gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus.
f. Gangguan sirkulasi : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction
(FGR), atau di dapatkan
g. Uteroplasenta : adanya Absent or Reversed end Diastolic Velocity
(ARDV)
2. Preeklamsia dengan gangguan berat
Gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan
menjadi kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan
preeklampsia berat. Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi
pemberatan preeklampsia atau preklampsia berat adalah salah satu
dibawah ini :
Kriteria Preeklampsia berat (diagnosis preeklampsia dipenuhi dan jika
didapatkan salah satu kondisi klinis dibawah ini :
a. Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik
atau 110 mmHg diastolik pada 2 kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama.
b. Dan Protein urin : Protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes
urin dipstick > positif 1
Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat di ikuti salah satu
dibawah ini :
a. Trombositopenia : Trombosit < 100.000/microliter
b. Gangguan ginjal : Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan
penigkatan kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi
dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya.
c. Gangguan Liver : Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / region kanan atas
abdomen.
d. Edema paru : Penderita preeklampsia berat mempunyai risiko besar
terjadinya edema paru. Edema paru dapat disebabkan oleh payah
jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapilar, dan
menurunnya diuresis.
Edema dapat terjadi pada kehamilan normal. Edema terjadi karena
hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapilar. Edema yang
patologik adalah edema yang nondependent pada muka dan tangan,
atau edema generalisata. Kadang-kadang edema tidak terlihat jelas
pada pemeriksaan, tetapi termanifestasi sendiri dalam bentuk kenaikan
berat badan mendadak yang disebut sebagai occult oedema atau edema
tersamar. Kenaikan berat badan yang mendadak sebanyak 1 kg atau
lebih dalam seminggu (atau 3 kg dalam sebulan) adalah indikasi
preeklampsia.
e. Gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus.
f. Gangguan sirkulasi : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction
(FGR), atau di dapatkan
g. Uteroplasenta : adanya Absent or Reversed end Diastolic Velocity
(ARDV) Preeklampsia-eklampsia memberi pengaruh buruk pada
kesehatan janin yang disebabkan oleh menurunnya perfusi
uteroplasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel
pembuluh darah plasenta.
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara
kuantitas protein urinterhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi
protein urin masif ( lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria
pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi
mengkategorikan lagi preeklampsia ringan, dikarenakan setiap
preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat
mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan
dalam waktu singkat (PNPK, 2016).
2.1.4 Etiologi
Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Banyak teori dikemukakan para ahli yang mencoba menerangkan
penyebabnya, namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan.
Menurut Sarwono 2010, beberapa teori yang dikemukakan adalah:
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotel
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
4. Teori adaptasi kardiovaskulargenetik
5. Teori defisiensi gizi
6. Teori inflamasi
2.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi Preeklamsia
Kegagalan migrasi trofoblas interstitial sel dan endothelial trofoblast ke dalam arterioli miometrium

Penyakit Maternal: Faktor Imunologis, Faktor trofoblast


Hipertensi kebutuhan darah, nutrisi, berlebihan:hamil
dan oksigen tidak terpenuhi ganda,mola hidatidosa,
Kardiovaskular
hamil + DM
Penyakit Ginjal setelah 20 minggu

Iskemia region uteroplasenter

Terapi HDK: Bahan toksis Sitokin


Medikamentosa menurut: Perubahan terjadi: bahan Lipid Peroksid
Vasokonstriksi, Pritchard, toksis, aktivitas Kreatinin
ZuspanatauSibai. endothelium meningkat, meningkat
Terminasi Kehamilan perlu endotel

Hipertensi Permeabilitas Kapiler Perlukaan Endotel


Meningkat

Iskemia organ vital Edema dan Timbunan trombosit


nekrosis Perdarahan Perlekatan
Menimbulkan gangguan fungsi, fibrin.Terjadi
Khusus darahnya: fibrinolisis
 Hemokonsentrasi
 Hipovolumia Trombositopenia
Tromboksan A2
meningkat

Hemolisis darah/
eritrosit

Preeklampsia/
Eklampsia HELLP sindrom

Kematian maternal:
Dekompensasiokordis,
Sembuh baik ANC Terminasi hamil:
Acute vascular accident,
teratur Persalinan Impending eklampsia, Fetal
Kegagalan organ vital,
berencana distress, Solusioplasenta,
Perdarahan, IUGR-asfiksia
Kriteria Eden, Biofisikprofil
fetal buruk

Pengobatan Berhasil : Pengawasan


hamil ketat dan teratur, Persalinan
non-traumatis, Ibu dan janin sehat
optimal, Pengawasan post partum
Gambar 2.2 Patofisiologgi preeklamsi
1) Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Plasenta merupakan organ utama yang beperan dalam pathogenesis
preeklamsia. Preeklamsia dapat terjadi hanya dengan adanya plasenta
tanpa melibatkan fetus, hal ini dibuktikan pada kasus kehamilan mola
tanpa janin, dimana resiko kejadian preeklamsia mengalami peningkatan.
Pada implantasi plasenta normal, sel sitotrofoblas embrio menginvasi
dinding rahim maternal. Setelah invasi, sitotrofoblas mencapai lapisan otot
polos dan endotel arteri desidua maternal. Interaksi ini menyebabkan
terjadinya perubahan pada pembuluh darah maternal (remodeling spiral
arteries) yang menyebabkan kapasitas pembuluh darah meningkat dan
resistensi pembuluh darah menurun, hal ini berfungsi untuk meningkatkan
akses oksigen dan nutrisi untuk pertumbuhan janin dan plasenta. Dalam
proses invasi vascular ini, sitotrofoblas berdiferensiasi dari fenotip epitel
menjadi fenotip endotel, proses ini disebut dengan pseudovaskulogenesis
atau mimikri vaskuler. Pada preeklamsia, sitotrofoblas gagal berdiferiansi
menjadi fenotip endotel invasif, invasi arteri spiralis sangat dangkal, dan
pembuluh darahnya berukuran kecil dengan resistensi tinggi (Camille E.
Powe, 2011). Hal ini meningkatkan kemungkinan terhambatnya aliran
darah dan resiko cedera akibat iskemia/reperfusi, yang merupakan stimuli
kuat terjadinya stress oksidatif (Dionne Tanneta dan Ian Sargent, 2013)
2) Teori iskemia plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotel
b. Iskemia plasenta : Seperti yang dijelaskan sebelumnya, plasenta
merupakan organ utama yang berperan dalam patofisiologi
preeklamsia. Invasi trofoblast yang tidak adekuat yang menyebabkan
remodeling arteri spiralis yang tidak sempurna sehingga terjadi
iskemia plasenta. Plasenta dengan perfusi buruk dan hipoksik
mensintesis dan melepaskan faktor vasoaktif seperti solublefms-like
tyrosine kinase (sFlt-1), sitokin, dan angiotensin II (ANG II)
autoantibodi reseptor tipe 1 (AT1-AA) dalam jumlah besar. Vasoaktif
yang beredar dalam jumlah besar dapat mengganggu keseimbangan
faktor relaksasi dan kontraksi lapisan sel tunggal endotel yang terdapat
pada lapisan luminal pembuluh darah yang berfungsi menjaga
hemostasis vaskuler. Saat keseimbangan ini terganggu, terjadi
vasokontriksi dan inflamasi vaskuler (Jeffrey S. Gilbert, 2007). sFlt-1
juga ditemukan menginduksi terjadinya peningkatan tekanan darah dan
proteinuria pada hewan coba yang digunakan untuk penelitian
mengenai preeklamsia (Camille E. Powe, 2011).
c. Radikal bebas dan gangguan keseimbangan antioksidan : Radikal
bebas merupakan senyawa kimia dengan elektron yang tidak
berpasangan pada orbit terluarnya, elektron yang tidak berpasangan ini
membuat senyawa tersebut bersifat paramagnetik dan reaktif. Pada
kehamilan normal, peningkatan jumlah antioksidan dalam sistem
sirkulasi ditemukan seiring dengan peningkatan usia kehamilan.
Namun pada kehamilan dengan preeklamsia terjadi gangguan titik
keseimbangan antioksidan (Leif Matthiessen et al., 2005). Gangguan
keseimbangan prooksidan-antioksidan plasenta meningkatkan jumlah
produk radikal bebas lipid peroksidase dalam sistem sirkulasi. Kontak
pembuluh darah dengan produk peroksidase yang bersirkulasi
menyebabkan disfungsi endotel vaskuler dengan menginduksi
kerusakan membrane endotel (M. Agnihitori et al., 2013).
d. Disfungsi endotel : Invasi trofoblast yang tidak sempurna
menyebabkan gangguan remodeling arteri spiralis sehingga terjadi
iskemia/reperfusi plasenta dan proses inflamasi. Dalam sel trofoblas
terjadi stress oksidatif karena pembentukan radikal bebass yang tidak
seimbang yang terbentuk dari berbagai sumber seperti XO, eNOS tidak
berpasangan, NADPH oksidase, dan mitokondria. Selanjutnya
gabungan dari berbagai proses ini menyebabkan pembentukan
peroksinitrit, lipid peroksidase, modifikasi protein, aktivasi MMP, dan
kerusakan DNA yang berkontribusi dalam terjadinya disfungsi endotel
(L.C. Sanchez-Aranguren et al., 2014).
3) Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Toleransi imun maternofetal penting untuk mempertahankan kehamilan.
Berbanding terbalik dengan kehamilan normal, terdapat indikasi bahwa
pada kehamilan dengan preeclampsia terdapat peningkatan respon
inflamasi dan terjadi perubahan imun Th1. Pada kehamilan normal,
terdapat dominasi sel Th2, sedangkan pada khamilan dengan preeklamsia
terdapat dominasi sel Th1.
Pada kehamilan dengan preeklamsia, ditemukan bahwa trofoblas
mengalami apoptosis yang lebih cepat dan dalam jumlah banyak (Leif
Matthiesen, 2005). Mikropartikel trofoblas dan sinsitiotrofoblas yang
mengalami apoptosis secara terlepas secara konstan dari plasenta selama
kehamilan dan masuk dalam sirkulasi maternal. Selanjutnya, partikel -
partikel yang telepas tersebut memicu respon imun ibu (Dekker dan Sibai,
1998, dalam Yvonne Jonsson, 2005), serta menyebabkan aktivasi endotel
sistemik secara berlebihan yang ditemukan dalam preeklamsia (Leif
Matthiesen, 2005).
4) Teori adaptasi kardiovaskuler
Selama kehamilan jantung mengalami remodeling, yaitu peningkatan
dimensi ventrikel dan atrium, ketebalan dinding ventrikel kiri, dan masa
jantung yang disebabkan oleh hipertropi. Gangguan dalam proses
remodeling, khususnya pada bagian ventrikel kiri dapat menjadi salah satu
penyebab preeklamsia. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang
menemukan bahwa wanita yang mengalami insufisiensi plasenta yang
disertai dengan disfungsi ventrikel kiri cenderung mengalami preeklamsia
dini, sedangkan wanita yang hanya mengalami insufisiensi plasenta tanpa
gangguan funsi jantung cenderung mengalami preeklamsia pada
kehamilan lanjut atau tidak mengalami preeklamsia (Karen Melchiorre et
al., 2014).
5) Teori genetik
Ibu, ayah atau keluarga menderita tekanan darah tinggi, saudara kandung
yang pernah pre eklamsia/eklamsia pada kehamilan, persalinan atau nifas
meningkatkan resiko terjadinya pre eklamsia berat (Bezzera P.C, 2010).
Selain itu, riwayat preeklamsia dan tekanan darah tinggi dari pihak suami
juga berpengaruh besar terhadap kejadian preeklamsia, karena preeklamsia
terjadi karena faktor genetik ibu dan janin, yang berarti juga melibatkan
genetik ayah janin. pada wanita yang mengalami preeklamsia
kemungkinan terdapat variasi gen yang mempengaruhi keseimbangan
cairan, fungsi endotel vaskuler, serta perkembangan plasenta yang
menyebabkan preeklamsia. Sejauh ini interaksi genotip maternal-fetal
yang ditemukan berpengaruh terhadap preeklamsia diantaranya adalah
IGF1, IL4R, IGF2R, GNB3, CSF1, dan THBS4. (F.J. Valenzuela et al.,
2012).
6) Teori defisiensi gizi
a. Kalsium : Kadar kalsium serum yang rendah dalam kehamilan
berpengaruh terhadap peningkatan hormon paratiroid dan rennin yang
kemudian meningkatkan kalsium intraseluler pada otot polos
vaskuler. Peningkatan kalsium dalam otot polos tersebut
menyebabkan vasokontriksi sehingga terjadi peningkatan resistensi
vaskuler. Peningkatan resistensi vaskuler ini memicu peningkatan
tekanan darah pada wanita dengan preeklamsia (Selina Akhtar et al.,
2011).
b. Seng : Seng diperlukan dalam fungsi enzim antioksidan yang
berperan untuk melindungi dari kerusakan akibat radikal bebas.
Kekuragan seng dapat menyebabkan fungsi potensial antioksidan sel
melemah yang menyebabkan peningkatan tekanan darah (Selina
Akhtar et al., 2011).
c. Folat : Folat merupakan penyumbang metal penting dalam tubuh, dan
oleh karena itu merupakan faktor penting dalam sintesis protein dan
DNA.peran penting metal lainnya adalah dalam konversi homosistein
menjadi methionin. Intake folat yang kurang atau gangguan
metabolisme folat genetik berhubungan dengan peningkatan
homosistein serum. Pada preeklamsia terjadi peningkatan homosistein
serum, oleh karena itu diperkirakan defisiensi folat berperan penting
dalam kejadian preeklamsia (J. M. Roberts, 2003).
7) Teori stimulus inflamasi
Kehamilan normal memicu respon inflamasi sistemik ringan. Respon
tersebut bervariasi dari satu wanita ke wanita lainnya,dapat berupa aktivasi
monosit, granulosit, maupun endotel. Endotel merupakan komponen
sistem inflamasi. Sel endotel memegang peranan penting dalam respon
inflamasi sistemik dan mediasi inflamasi lokal. Karena pada preeklamsia
terjadi gangguan endotel, maka hal ini juga mengakibatkan gangguan
respon inflamasi. Seluruh respon inflamasi yang terjadi secara fisiologis
pada kehamilan normal menjadi berlebihan pada preeklamsia (Redman
dan Sargen, 2009).
2.1.6 Faktor risiko
1) Primigravida/nulipara : Wanita nulipara memiliki risiko lebih besar (7
sampai 10 persen) jika dibandingkan dengan wanita multipara
(Leveno, 2009). Kejadian preeklamsia lebih tinggi pada kehamilan
pertama sebagai akibat dari reaksi imun maternal terhadap agen
paternal yang diekspresikan plasenta dan reaksi ini kemungkinan
menyebabkan gangguan invasi trofoblas dan disfungsi plasenta lainnya
(S. Hernandez-Diaz et al., 2009).
2) Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan ganda,
diabetes melitus, hidrops fetalis, bayi besar : Menurut Roberts dan
Redman, 1993 (Fraser, 2009), plasentasi abnormal dan penurunan
perfusi plasenta juga dapat terjadi pada kondisi yang berhubungan
dengan penyakit mikrovaskular, misalnya diabetes, hipertensi, atau
trombofilia. Hal ini dapat terjadi jika terdapat massa plasenta yang
besar seperti pada kehamilan kembar atau penyakit trofoblastik
gestasional (mola hidatidosa). Ibu yang menderita penyakit ini berisiko
tinggi mengalami preeklampsia.
3) Umur yang ekstrim : Wanita hamil yang berusia di atas 35 tahun
memiliki resiko yang lebih besar mengalami preeklamsia. Wanita
berusia diatas 35 tahun mempunyai resiko sangat tinggi terhadap
terjadinya preeklampsia. Menurut Spellacy yang dikutip Cunningham
(2007) insiden hipertensi karena kehamilan meningkat 3 kali lipat pada
wanita diatas 40 tahun dibandingkan dengan wanita yang berusia 20 -
30 tahun.
4) Preeklamsia pada kehamilan sebelumnya : Wanita yang mengalami
preeklamsia pada kehamilan sebelumnya memiliki kemungkinan yang
lebih tinggi mengalami preeklamsia pada kehamilan berikutnyaSibai et
al., 1986 dalam L. Myatt dan L.B. carpenter 2007). Hal disebabkan
karena preeklamsia dipengaruhi oleh faktor genetik. Selain itu,
disfungsi endotel serta perubahan sistem sistemik yang disebabkan
oleh preeklamsia pada kehamilan sebelumnya menyebabkan wanita
lebih rentang mengalami preeklamsia pada kehamilan berikutnya.
Caritis et al. (1998), menemukan bahwa 19% wanita yang mengalami
preeklamsia akan mengalami preeklamsia kembali pada kehamilan
berikutnya.
5) Kehamilan pertama oleh pasangan baru : Kehamilan pertama dengan
pasangan baru meningkatkan resiko mengalami preeklamsia. Hal ini
terkait dengan respon imun ibu terhadap gen ayah janin yang
diekspresikan oleh plasenta dalam kehamilan (Karen Melchiorre et al.,
2014).
6) Sosial ekonomi rendah : Sosial ekonomi rendah meruapakan salah satu
faktor resiko terjadinya preeklamsia terkait dengan teori defisiensi gizi.
Masyarakat dengan sosial ekonomi rendah umunya kurang
memperhatikan asupan gizi harian. Secara epidemiologi status
ekonomi rendah, cenderung menjadi faktor predisposisi pre eklamsia
(Roberts et al., 2003).
7) In vitro fertilization (IVF) : Wanita yang hamil melalui metode IVF
mengalami 40% peningkatan resiko mengalami preeklamsia karena
menumbuhkan dan mengembangkan sel telur dan embrio di luar tubuh
mengurangi kemampuannya untuk berimplantasi dan menginvasi
lapisan uterus. Hal ini menyebabkan gangguan perfusi plasenta yang
merupakan stimuli kuat terjadinya stress oksidatif. Selain itu, pasien
IVF juga umumnya berusia lebih tua serta dengan kehamilan ganda,
sehingga kemungkinan mengalami preeklamsia menjadi lebih tinggi
(Louisa Petchey, 2011).Resiko preeklamsia pada wanita dengan IVF
lebih meningkat bila IVF menggunakan sel telur atau sperma donor.
8) Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia : Adanya faktor
keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotip ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Telah terbukti
bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak
perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya
8% anak menantu mengalami preeklampsia (Angsar, 2008).
9) Aktifitas berat : Aktifitas kerja yang padat dengan beban kerja tinggi,
bekerja lebih dari 6 jam sehari, shift malam, atau bekerja lebih ari lima
hari kerja berturut – turut dalam seminggu, serta bekerja berat dan
lebih banyak berdiri meningkatkan resiko terjadinya pre eklamsia
(Haelterman et al., 2007).
10) Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
: Menurut Chesley (1985) yang dikutip oleh Cunningham (2007)
preeklampsia juga terjadi pada multipara yang menderita penyakit
vaskuler, termasuk hipertensiessensialyang kronis, diabetes mellitus,
dengan penyakit ginjal.
2.1.7 Tanda dan Gejala
1. Tanda
a. Peningkatan berat badan yang pesat dapat diakibatkan oleh oedema
berat yang terjadi pada muka dan/atau tungkai. Obesitas
meningkatkan resiko pre eklamsia (Roberts et al., 2013).Peningkatan
berat badan tiba – tiba dalam kehamilan merukan salah satu indikator
pre eklamsia, BMI lebih dari 30 beresiko lebih besar mengalami pre
eklamsia (Preeclampsia Foundation, 2010).
b. Tekanan darah tinggi : Pada preeklamsia terjadi hipoksia plasenta,
sehingga plasenta melepaskan faktor vasoaktif yang mengganggu
keseimbangan sistem kerja endotel pembuluh darah. Gangguan
keseimbangan ini mengakibatkan vasokontriksi dan respon inflamasi
yang meningkatkan tekanan darah (Jeffrey S. Gilbert, 2007).
c. Output urine berkurang dan proteinuria : Penurunan output urine
(oliguria), peningkatan kreatinin serum atau plasma (>90µmol/L),
dan ekskresi protein urine >300mg/24 jam merupakan manifestasi
klinis yang menunjukkan bahwa sistem ginjal terpengaruh oleh
tekanan darah tinggi (Department of Health Northern Teritory
Government Australia, 2012).
d. Perubahan reflex : Perubahan refleks serta gejala lainnya seperti
nyeri kepala dan gangguan penglihatan terjadi karena pengaruh
tekanan darah tinggi terhadap sistem neurologis (Department of
Health Northern Teritory Government Australia, 2012).
e. Bengkak pada tungkai dan/atau wajah : Bengkak tungkai pada pasien
pre eklamsia disebabkan oleh akumulasi kelebihan cairan, selain itu
bengkak persisten juga dapat menunjukkan kerusakan funsi ginjal
yang menyebabkan protein dikeluarkan melalui urine dalam jumlah
berlebih (Shaun Cho, 2002).
2. Gejala
a. Nyeri kepala berat atau ringan dan gangguan penglihatan : Nyeri
kepala dan gangguan penglihatan sering terjadi pada pasien
preeklamsia. Gejala -gejala tersebut merupakan gejala neorologis
prodromal. Gejala neurologis tersebut mengindikasikan terbentuknya
edema serebral dan vasospasme pembuluh darah retinal dan serebral
(CMCQQ, 2013).
b. Nyeri ulu hati : Merupakan gejala yang menunjukkan bahwa
penyakit mempengaruhi hepatoseluler karena nekrosis periportal
atau parenkim, peregangan kapsul hati dan/atau perdarahan (Cooray
S., at al., 2011 dalam CMQQ 2013).
c. Mual muntah : Mual muntah umumnya terjadi pada kehamilan awal
sebelum usia kehamilan 16 minggu. Namun, jika mual muntah berat
mulai terjadi pada pertengahan kehamilan, hal ini dapat merupakan
salah satu gejala preeklamsia.
2.1.8 Skrining preeklamsi
Skrining preeklamsia dapat mulai diakukan sejak usia kehamilan 11
sampai 13 minggu dengan menganalisis karakteristik demografi ibu,
termasuk riwayat medis dan obstetri, MAP (Mean Arterial Pressure) dan
marker biofisikal dan biokimia yang memiliki efektifitas tinggi dalam
mengidentifikasi kemungkinan terjadinya preeklamsia dini (Jonathan Lai et
al., 2012). Deteksi dini preeklamsia memberikan waktu bagi tenaga
kesehatan dan pasien melakukan perencanaan monitoring dan
penatalaksanaan klinis, serta identifikasi komplikasi secara dini (Silva Costa
et al., 2011). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan
skrining preeklamsia menurut Silva Costa et al adalah sebagai berikut:
1. Riwayat Maternal : Riwayat maternal termasuk etnis, paritas, dan
riwayat mengalami preeklamsia atau anggota keluarga mengalami
preeklamsia merupakan beberapa faktor resiko terjadinya preeklamsia
dalam kehamilan. Riwayat pasien terkait dengan preeklamsia dapat
diskrining mulai pertemuan pertama pasien dengan bidan. Penelitian
menunjukkan bahwa 25% pasien dengan resiko tinggi mengalami
preeklamsia dalam kehamilannya, dibandingkan dengan 5% pada
populasi umum.
2. MAP (Mean Atrerial Pressure) : Skrining ini dilakukan pada usia
kehamilan minimal 18-24 minggu maksimal 32 minggu, dalam posisi
terlentang. Tekanan darah mencerminkan keadaan sirkulasi maternal
dan tekanan perfusi darah ke jaringan tubuh. Dalam keadaan normal
MAP (pada trimester III sedikit lebih rendah dari nilai sebelum
kehamilan atau awal kehamilan.
Pada trimester III, tekanan darah pada posisi telentang yang lebih
tinggi dibandingkan posisi miring merupakan pertanda adanya ancaman
akan terjadinya penyakit hipertensi. Dalam keadaan normal, pada posisi
telentang tekanan darah justru lebih tinggi dibandingkan posisi miring
kekiri (Widjmarko,2009).
Rumus penghitungan MAP :
𝑺 + 𝟐𝑫
𝟑
Keterangan:
S: nilai Sistole
D: nilai diastole
MAP dinyatakan positif bila hasil perhitungannya ≥90mmHg.
3. ROT (Roll Over Test) : Adanya respon hipertensif yang terjadi pada
perubahan posisi ibu hamil 28 – 32 minggu dari posisi miring menjadi
telentang merupakan prediktor terjadinya Hipertensi Gravidarum.
Placental bed pada kehamilan normal dan preeklampsia. Pada
preeklampsia, perubahan fisiologi pada arteri uteroplasenta tidak melewati
“deciduomyometrial junction” sehingga terdapat segmen yang menyempit
antara arteri radialis dengan desidua Reproduksi (Brosen, 1977).
Pasien dalam posisi terlentang hasil constant, kemudian pasien tensi
miring setelah pemeriksaan Leopold ±5-10’. Penghitungan : Hasil diastole
terlentang-diastole miring, Jika hasil ≥ 15-20 mmHg makan positif
beresiko, Nilai prediktif dari Roll-Over test ini hanya 33%.
4. BMI (Body Mass Index) : Body Mass Index, yang merupakan ukuran yang
digunakan untuk menilai proporsionalitas perbandingan antara tinggi dan
berat seseorang. Rumus untuk BMI adalah berat badan (dalam kilogram)
dibagi dengan tinggi badan kuadrat (dalam meter)
BMI = BB (kg)/TB2 (m)
Jika hasil : 30-34 Obesitas grade I
35-39 Obesitas grade II
≥ 40 Obesitas grade III
5. Hasil pemeriksaan yang didapat menunjukkan positif 2 dari BMI,ROT dan
MAP maka dapat terjadi dua kemungkinan yaitu Resiko Tinggi Pre
Eklamsia (dengan penatalaksanaan rujuk balik ke poli KIA untuk tindak
lanjut sesuai KSPR) dan Resiko Tinggi Pre Eklamsia (dengan
penatalaksanaan perbaiki faktor resiko monitoring melalui buku KIA,
P4K,KSPR. Pemberian Acetosal 100 mg/hari s/d usia kehamilan 36
minggu, kalsium, vit.C dan vit.E, ANC setiap 2 minggu s/d 34 minggu
usia kehamilan, kemudian 1 minggu sekali. Usia kehamilan 36 minggu
rujuk untuk persalinan oleh tenaga kesehatan kompetensi di UK 37
minggu di rumah sakit yang memiliki fasilitas memadai. Inpartu per
vaginam dengan Infus RL life line MAK III misoprostol 3tab/rectal,
observasi ketat 2 jam post partum, IMD jika dimungkinkan dan rawat
gabung) (Panduan Praktis Penanganan Pre Eklampsia/Eklampsia Dan
Perdarahan Postpartum, 2013)
6. USG
a. Doppler arteri uterine : Plasentasi yang buruk serta remodeling arteri
spiralis yang kurang optimal merupakan salah satu faktor penting yang
diperkirakan menyebabkan terjadinya preeklamsia dan eklamsia,
pertumbuhan janin terhambat, serta komplikasi terkait lainnya. Pada
kehamilan dengan kondisi tersebut, sirkulasi uteroplasenta tetap pada
keadaan resistensi tinggi, dan kondisi ini dapat diketahui dengan USG
Doppler arteri uterina. Sebagian besar penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa Doppler arteri uterina efektif dilakukan pada
trimester kedua, namun saat ini mulai semakin banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa penggunaan Doppler pada trimester pertama
cukup efektif untuk memprediksi preeklamsia dan pertumbuhan janin
terhambat.
b. Volume plasenta dan 3D Power Doppler : USG tiga dimensi
memberikan gambaran visual anatomi janin yang lebih jelas jika
dibandingkan dengan USG konvensional 2 dimensi. Dengan semakin
berkembangnya USG 3D Power Doppler serta analisis histogram 3D
Power Doppler kuantitatif, pengukuran aliran darah plasenta secara
kuantitatif dan kualitatif semakin mudah dilakukan. USG ini dapat
memberikan gambaran karakteristik pembuluh darah plasenta seperti
densitas, percabangan, perubahan caliber, serta lipatan pembuluh
darah.
7. Biomarker : Marker biokimia preeklamsia merupakan faktor sirkulasi,
dimana pengukurannya dapat digunakan sebagai prediktor kejadian
preeklamsia. Beberapa marker yang diperiksa merupakan produk dari sel
trofoblas atau desidua yang berdekatan dengan plasenta yang
merefleksikan disfungsi plasenta yang merupakan aspek penting dalam
pathogenesis preeklamsia. Beberpa biomarker yang sering diperiksa untuk
skrining preeklamsia diantaranya adalah Pregnancy-associated Placental
Protein A, Placental protein 13, Cystatin C, sel janin, sel bebeas RNA dan
DNA janin, serta inhibin A dan aktivin A.
2.1.9 Penatalaksanaan
1. Perawatan Ekspektatif Pada Preeklampsia tanpa Gejala Berat
a. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia
tanpa gejala berat denganusia kehamilan kurang dari 37 minggu
dengan evaluasi maternal dan janin yang lebih ketat.
b. Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus
preeklampsia tanpa gejala berat.
c. Evaluasi ketat yang dilakukan adalah:
- Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh
pasien
- Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis
- Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap mingguLevel
evidence II, Rekomendasi C
- Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan
2 kali dalam seminggu)
- Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi
menggunakan dopplervelocimetry terhadap arteri umbilikal
direkomendasikan
Gambar 2.3 Menejemen eksploratif preeklamsia
Sumber : Bagan ini diadaptasi oleh Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Diagnosis dan Tata laksana Preeklampsia 2016
2. Preeklampsia berat
Penatalaksanaan preeklamsia yang dilakukan tergantung dari berbagai
faktor, termasuk berat tidaknya kondisi preeklampsia, komplikasi seperti
HELLP syndrome atau impending eklamsia, usia kehamilan, kondisi ibu
dan janin, serta fasilitas dan sumber daya yang tersedia. Disebut
impending eklampsia bila preeklamsia disertai gejala subyektif berupa
nyeri kepala hebat, gangguan visus, mual muntah, nyeri epigastrum dan
kenaikan progresif tekanan darah. Pengelolaan preeklamsia dan eklampsia
mencakup pencegahan kejang pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan,
pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat.

Gambar 2.4 Menejemen eksploratif preeklamsia berat


Sumber : Bagan ini diadaptasi oleh Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Diagnosis dan Tata laksana Preeklampsia 2016
3. Penanganan sebelum rujukan
Bila ibu dengan pre eklamsia berat ditemukan di fasilitas pelayanan
kesehatan primer, perlu dilakukan rujukan segera ke rumah sakit yang
mampu menangani dan merawat pasien pre eklamsia serta kemungkinan
komplikasi yang terjadi pada ibu dan janin. Namun sebelum dilakukan
rujukan ke rumah sakit, didahului dengan pemberian MgSO4 awal.
4. Monitoring selama di rumah sakit
Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-
tanda klinik berupa: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrum, dan
kenaikan cepat berat badan. Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat
badan, pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan
leboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST.
5. Manajemen umum perawatan preeklampsia dengan gangguan berat
a. Sikap terhadap penyakit: pengobatan medikamentosa
- Penderita preeklamsia dengan gangguan berat harus segera masuk
rumah sakit untuk rawat inap dianjurkan tirah baring miring ke
kiri. Perawatan yang penting pada preeklamsia dengan gangguan
berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklamsia dan
eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru
dan oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas,
tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan
oliguria ialah hipovolemia, vasospasme.
- Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan
koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa: 5% Ringer-dextrose
atau cairan garam faali jumlah tetesan < 125 cc / jam atau Infus
Dextrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan Infus Ringer
laktat (60-125 cc / jam) 500 cc. Dipasang Folley Cateter untuk
mengukur pengeluaran urine. Oliguria terjadi bila produksi urin <
30 cc / jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc / 24 jam. Diberikan
antasida untuk menetralisir asam lambung hingga bila mendadak
kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung yang
sangat asam. Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak
dan garam.
- Pemberian obat antikejang
Obat anti kejang lini pertama yang digunakan untuk pencegahan
kejang pada preeklamsia dan kejang ulangan pada eklamsia adalah
MgSO4.
Syarat pemberian MgSO4 adalah menurut Prawirohardjo 2010:
 Refleks patella positif
 Pernafasan lebih dari 16 kali/menit
 Diuresis 100 cc dalam 4 jam terakhir
 Harus tersedia calcium gluconas 1 gr 10% (diberikan IV pelan
pada intoksikasi MgSO4)
Kontraindikasi:
 MgSO4 tidak boleh diberikan pada pasien dengan kerusakan
miokardial serta sumbatan pada jantung.
 Intoksikasi MgSO4: Pada beberapa kasus, jika MgSO4
diberikan melebihi dosis aman, dapat terjadi efek toksisitas
berat. Beberapa respon intoksikasi MgSO4 terkait dosis yang
dapat terjadi sebagai berikut (Lu JF, 2000):
1) Mual muntah
2) Refleks patella hilang (konsentrasi MgSO4 plasma
mencapai 3,5 sampai 5 mmol/L)
3) Depresi pernafasan (konsentrasi MgSO4 plasma mencapai
5 sampai 6,5 mmol/L)
4) Kardiak arrest (konsentrasi MgSO4 plasma mencapai lebih
dari 12,5 mmol/L)
5) Penurunan kesadaran
Jika syarat pemberian MgSO4 tidak terpenuhi obat-obat lain
yang dapat dipertimbangkan untuk diberikan sebagai antikejang:
1) Diazepam
2) Fenitoin
3) Nimodipine (WHO, 2011)
Difenihidantoin obat antikejang untuk epilepsi telah banyak
dicoba pada penderita pre eklampsia.
Pemberian MgSO4 sebagai anti kejang lebih efektif dibanding
dengan fenitoin. Diberikan 4 gram MgSO4 intravena (40% dalam
10 cc) selama 15 menit. Kemudian diberikan infus 6 gram dalam
larutan Ringer / 6 jam atau diberikan 4 gram atau 5 gram IM.
Selanjutnya diberikan 4 gram IM tiap 4 jam – 6 jam. Syarat
pemberian MgSO4 harus tersedia antidotum yakni Kalsium
Glukonas 10% 1 g (10% dalam 10 cc) IV 3 menit, reflek patella
(+) kuat, frekuensi pernapasan > 16 kali / menit. Pemberian
Magnesium Sulfat dihentikan bila ada tanda intoksinasi. Setelah 24
jam pasca persalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir.
- Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema
paru-paru, payah jantung kongestif atau anasarka.
- Pemberian antihepertensi
1) Antihipertensi Lini Pertama : Nifedepin: dosis 10-20 mg per
oral, diulangi setelah 30 menit; maksimum 120 mg dalam 24
jam.
2) Antihipertensi Lini Kedua : Sodium nitroprusside: 0,25 µg
IV/kg/menit, infus, ditingkatkan 0,25 µg IV/kg/5 menit.
b. Sikap terhadap kehamilannya
Berdasar Williams Obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala preeklampsia berat selama perawatan, maka sikap
terhadap kehamilannya terbagi menjadi aktif dan konservatif.
1) Perawatan aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi
bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa.
- Ibu :
a) Umur kehamilan > 37 minggu
b) Adanya tanda gejala impending eklampsia
c) Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu keadaan
linik dan laboratorik memburuk
d) Diduga terjadi solusio plasenta
e) Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan
- Janin:- Adanya tanda-tanda fetal distress
a) Adanya tanda-tanda IUGR
b) NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
c) Terjadinya oligohodramnion
- Laboratorium: Adanya tanda-tanda sindrom HELLP, khususnya
menurunnya trombosit dengan cepat
2) Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm < 37
minggu tanpa disertai tanda-tandaimpending eklampsia dengan
keadaan janin baik. Diberikan pengobatan sama dengan pengobatan
medikamentosa pada pengelolaan secara aktif(Prawirohardjo Sarwono,
2010).
c. Perawatan preeklamsia di RS dilakukan:
1) Perawatan Konservatif
Perawatan konservatif pada kehamilan premature < 32 minggu
terutama < 30 minggu memberikan prognosa yang buruk. Diperlukan
lama perawatan koservatif sekitar 7-15 hari.
Indikasi : Pada umur kehamilan < 34 minggu (estimasi berat janin <
2000 g tanpa ada tanda-tandaimpending eklampsia).
- Pengobatan :
a) Dikamar bersalin (selama 24 jam)
b) Tirah baring, penilaian kesejahteraan janin secara kontinyu
c) Infus RL yang mengandung 5% dextrose 60-125 cc/jam
d) Dosis awal MgSO4 20% 4 gram IV sebagai larutan 40% selama 5
menit. Segera dilanjutkan dengann15 ml MgSO4 40% 6 gram
dalam larutan RL/ringel asetat selama 6 jam. Jika kejang berulang
setelah 15 menit, berikan MgSO4 40% 2 gram IV selama 5 menit
(kalau tidak ada kontra indikasi pemberian MgSO4)
e) Siapkan antidotum Ca Glukonas 1 gram (20 ml dalam larutan 10%)
IV. Jika terjadi henti nafas bantu pernapasan dengan ventilator.
f) Diberikan antihipertensi : nifedipin 5-10 mg setiap 8 jam dapat
diberikan bersama dengan methyl dopa 250-500 mg setiap 8 jam.
Nifedipin dapat diberikan ulang sublingual 5-10 mg dalam waktu
30 menit pada keadaan tekanan sitolik > 180 mmHg atau diastolik
> 110 mmHg. (cukup satu kali saja)
g) Dilakukan pemeriksaan lab tertentu (fungsi hepar dan ginjal) dan
produksi protein urine kuantitatif 24 jam
h) Konsultasi dengan bagian lain, baian mata, jantung atau bagian lain
sesuai dengan indikasi.
i) Pengobatan dan evaluasi selama rawat tinggal di ruang bersalin
(setelah 24 jam)
j) Tirah baring
k) Obat-obat : Roboransia (multivitamin), Aspirin dosis rendah 87,5
mg sehari satu kali, Anthipertensi, penggunaan Atenolol dan β
blocker (dosis regimen) dapat dipertimbangkan pada pemberian
kombinasi
l) Diet tinggi protein, rendah karbohidrat
- Perawatan konservatif dianggap gagal bila :
a) Ada tanda-tanda impending eklampsia
b) Kenaikan progresif tekanan darah
c) Ada sindroma HELLP
d) Ada kelainan fungsi ginjal
e) Penilaian kesejahteraan janin jelek
2) Perawatan Aktif
Indikasi:
a) Hasil kesejahteraan janin jelek
b) Ada gejala impending eklampsia
c) Ada sindrom HELLP
d) Kehamilan late preterm (>34 minggu estimasi berat janin > 2000 g)
e) Apabila perawatan konservatif gagal
d. Pengobatan medisinal
1) Segera rawat inap
2) Tirah baring miring ke satu sisi
3) Infus RL yang mengandung 5% dextrose dengan 60-125 cc/jam
4) Pemberian anti kejang : MgSO4
5) Dosis awal : MgSO4 20% 4 gram IV sebagai larutan 40% selama 5
menit. Segera dilanjutkan dengann15 ml MgSO4 40% 6 gram dalam
larutan RL/ringel asetat selama 6 jam. Jika kejang berulang setelah 15
menit, berikan MgSO4 40% 2 gram IV selama 5 menit (kalau tidak
ada kontra indikasi pemberian MgSO4)
6) Dosis ulangan : MgSO4 1 gram/jam melalui infuse ringel asetat/ringel
laktat yang diberikan sampai 24 jam post partum
e. Pengobatan Obstetrik
1) Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada tiap penderita
dilaksanakan pemeriksaan NST
2) Seksio sesar dikerjakan bila : NST jelek, ibu belum inpartu dengan
skor pelvik jelek (skor bishop <5 ), kegagalan drip oksitosin
3) Induksi dengan drip oxytocin dikerjakan bila : NST baik, ibu belum
inpartu degnan skor pelvik baik (skor bishop >5)
2.1.10 Komplikasi
1. Pada Ibu : Eklampsia, Solusio plasenta, Perdarahan subskapula hepar,
Kelainan pembekuan darah (DIC), Sindrom HELPP (hemolisis, elevated,
liver, enzymes dan low platelet count), Ablasio retina, Gagal jantung
hingga syok dan kematian.
2. Pada Janin : Terhambatnya petumbuhan dalam uterus, Prematur, Asfiksia
Neonatorum, Kematian dalam uterus.
2.2 Konsep Dasar Kehamilan Postdate
Kehamilan adalah suatu peristiwa alami dan fisiologis yang terjadi pada
wanita yang didahului oleh suatu peristiwa fertilisasi yang membentuk zigot dan
akhirnya menjadi janin yang mengalami proses perkembangan dan akhirnya
menjadi janin yang mengalami proses perkembangan dan pertumbuhan di dalam
uterus sampai proses persalinan (Sarwono, 2013). Kehamilan adalah pertumbuhan
dan perkembangan janin intrauterine (dalam kandungan) dimulai sejak konsepsi
dan berakhir sampai permulaan persalinan (Muchtar, 2010).
Kehamilan posterm, disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat
waktu, kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy,
postdate/posdatisme atau pascamaturitas, adalah kehamilan yang berlangsung
sampai 42 minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari pertama haid terakhir
menurut rumus Naegele dengan siklus haid rata-rata 28 hari ((WHO 1977, FIGO
1986) Sarwono, 2013).
Kehamilan lewat bulan merupakan suatu kondisi antepartum yang dibedakan
dengan sindrom pasca maturitas dan merupakan kondisi neonatal yang didiagnosis
setelah pemeriksaan bayi baru lahir. Definisi standar untuk kehamilan lewat bulan
adalah 294 hari setelah hari pertama menstruasi terakhir atau 280 hari setelah
ovulasi. Istilah lewat bulan (postdate) digunakan karena tidak menyatakan secara
langsung pemahaman mengenai lama kehamilan dan maturitas janin (Varney H,
2007). Menurut Prawirohardjo (2007) pada kasus persalinan postdate, umur
kehamilan lebih dari 42 minggu. Kehamilan postdate adalah suatu kehamilan yang
berakhir antara 40 dan 42 minggu (Julie, et al, 2010).

2.2.1 Fisiologi persalinan

Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin+uri),


yang dapat hidup ke dunia luar melalui jalan lahir atau jalan lain (Mochtar, 2009).
1. Teori persalinan
Hal yang menjadi penyebab mulainya persalinan belum diketahui benar, yang
ada hanyalah merupakan teori-teori yang kompleks. Teori penyebab
persalinan adalah sebagai berikut :
a. Teori Keregangan
Otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam batas tertentu.
Setelah melewati batas tertentu, maka akan terjadi kontraksi sehingga
persalinan dapat dimulai.
b. Teori Penurunan Progesteron
Proses penuaan plasenta terjadi mulai umur kehamilan 28 minggu dimana
terjadi penimbunan jaringan ikat sehingga pembuluh darah mengalami
penyempitan dan buntu. Produksi progesteron mengalami penurunan
sehingga otot rahim lebih sensitif terhadap oksigen. Akibatnya, otot rahim
mulai berkontraksi setelah tercapai tingkat penurunan progesteron
tertentu.
c. Teori Oksitosin Internal
Oksitosin dikeluarkan oleh kelenjar hipofisis pars posterior. Perubahan
keseimbangan estrogen dan progesteron dapat mengubah sensitivitas otot
rahim sehingga sering terjadi kontraksi Braxton Hicks. Menurunnya
konsentrasi progesteron akibat tuanya usia kehamilan menyebabkan
oksitosin meningkatkan aktivitas sehingga persalinan dimulai.
d. Teori Prostaglandin
Konsentrasi prostaglandin meningkat sejak umur kehamilan 15 minggu,
yang dikeluarkan oleh desidua. Pemberian prostaglandin saat hamil dapat
menimbulkan kontraksi otot rahim sehingga hasil konsepsi dapat
dikeluarkan. Prostaglandin dianggap sebagai pemicu terjadinya
persalinan(Sarwono, 2013).
2. Tanda-tanda Persalinan
Tanda-tanda persalinan dibagi menjadi tiga kategori yaitu tanda kemungkinan
persalinan, tanda awal persalinan, dan tanda positif persalinan. Ibu hamil dapat
saja mengalami semua tanda persalinan ini atau sebagian.
a. Tanda kemungkinan persalinan :
1) Sakit Pinggang: Nyeri yang samar, ringan, mengganggu, dan dapat
hilang-timbul.
2) Kram pada perut bagian bawah: Seperti kram menstruasi, dan dapat
disertai dengan rasa tidak nyaman di paha.
3) Tinja yang lunak: Buang air beberapa kali dalam beberapa jam, dapat
disertai dengan kram perut atau gangguan pencernaan.
4) Desakan untuk berbenah: Lonjakan energi yang mendadak menyebabkan
ibu hamil melakukan banyak aktivitas dan keinginan untuk menuntaskan
persiapan bagi bayi.
b. Tanda Awal Persalinan
1) Kontraksi yang tidak berkembang: Kontraksi cenderung mempunyai
panjang, kekuatan, dan frekuensi yang sama. Kontraksi pra persalinan ini
dapat berlangsung singkat atau terus menerus selama beberapa jam
sebelum berhenti atau mulai berkembang.
2) Keluarnya darah: Aliran lendir yang bernoda darah dari vagina

3) Rembesan cairan ketuban dari vagina: Disebabkan oleh robekan kecil


pada membran.
c. Tanda Positif Persalinan

1) Kontraksi yang berkembang: Menjadi lebih lama, lebih kuat, dan atau
lebih dekat jaraknya bersama dengan berjalannya waktu, biasanya disebut
“Sakit” atau “Sangat Kuat” dan terasa didaerah perut pinggang, atau
keduanya.
2) Aliran cairan ketuban yang deras dari vagina: Disebabkan oleh robekan
membran yang besar.
3) Pelebaran leher rahim: Leher rahim membuka sebagai respon terhadap
kontraksi yang berkembang.(Simkin, 2007).

3. Patogenesis dan etiologi kehamilan postdate


Penyebab pasti dari kehamilan postterm sampai saat ini masih belum diketahui
(Wiknjosastro, 2008). Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan
penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:

a. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya


kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh
progesteron melewati waktu yang semestinya.
b. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita
hamil pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab
terjadinya kehamilan
c. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta
sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi
estrogen. Proses ini selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya
produksi prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan
janin seperti anensefalus atau hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar
hipofisis janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan
baik sehingga kehamilan berlangsung lewat bulan

d. Teori syaraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm terjadi
pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis, seperti
pada kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian terbawah
janin.
(Mochtar & Krisnanto, 2008).
e. Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm
telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007)
menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah
mengami kehamilan postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami kehamilan postterm pada kehamilan berikutnya. Bilamana
seorang ibu mengalami kehamilan postterm saat melahirkan anak
perempuan, maka besar kemungkinan anak perempuannya akan mengalami
kehamilan postterm. (Kistka et al, 2007).
(Kapita Selekta Kedokteran Jilid I Edisi III, 2008)

4. Manifestasi klinis kehamilan postdate


Menurut Arif Mansjoer (2001) keadaan klinis yang dapat ditemukan ialah
gerakan janin yang jarang, yaitu secara subyektif < 7x/ 20 menit atau secara
obyektif dengan KTG <10x/ 20 menit.
Pada bayi akan ditemukan tanda-tanda lewat waktu yang terbagi menjadi:
a. Stadium I : Kulit kehilangan vernik kaseosa dan terjadi maserasi
sehingga kulit kering, rapuh dan mudah mengelupas.
b. Stadium II : Seperti stadium I disertai pewarnaan mekonium
(kehijauan) di kulit.
c. Stadium III : Seperti stadium I disertai pewarnaan kekuningan pada
kuku, kulit, dan tali pusat.
Keadaan klinis yang mungkin ditemukan ialah :
a. Air ketuban yang berkurang
b. Gerakan janin yang jarang
Bila telah dilakukan pemeriksaan ultrasonografi serial terutama sejak
trimester pertama maka hampir dapat dipastikan usia kehamilan. Sebaliknya
pemeriksaan yang sesaat setelah trimester III sukar untuk memastikan usia
kehamilan.
(Sarwono, 2013).

5. Faktor predisposisi
Seorang ibu yang mengalami kehamilan postdate mempunyai kecenderungan
untuk melahirkan lewat waktu pada kehamilan berikutnya (Saifuddin, 2014).
Sebuah kecenderungan genetik kehamilan postdate telah didemonstrasikan.
Seorang wanita yang lahir lewat waktu memiliki 49% peningkatan risiko
melahirkan anak melampaui usia kehamilan 42 minggu, risikonya adalah 23% jika
ayah dari anak tersebut lahir lewat waktu sedangkan annecephaly janin dan
kekurangan surfaktan plasenta adalah penyebab langka kehamilan yang melebihi
taksiran persalinan (Wang, et al, 2014).
6. Faktor risiko
Faktor risiko yang diketahui untuk kehamilan postdate adalahn kehamilan
postdate sebelumnya, nuliparitas, usia ibu yang lebih tua dari 30 tahun dan
obesitas (Wang, et al , 2014). Dibandingkan dengan wanita berat badan normal,
risiko dari kehamilan postdate pada wanita dengan obesitas hampir dua kali
lipatnya. Risiko sectio caesarea maupun induksi persalinan pada kehamilan ini,
meningkat bersaman dengan umur ibu dan BMI serta lebih dari dua kali lipatnya
pada wanita berumur ≥35 tahun. Risiko lima kali lipat terlihat pada wanita
primigravida. Dengan kata lain nuliparitas, peningkatan umur ibu dan obesitas
merupakan faktor risiko terkuat untuk kehamilan postdate dan sectio caesarea
maupun induksi persalinan (Roos, et al, 2010).

7. Diagnosis kehamilan postdate


Pemeriksaan dapat dilakukan menurut Sujiyantini (2009), antara lain:
a. Berat badan ibu turun dan lingkaran perut mengecil air ketuban
berkurang.
b. Pemeriksaan rontgenologik. Dengan pemeriksaan ini pada janin matur
dapat ditemukan pusat osifikasi pada oscubuid, bagian distal femur dan
bagian proksimal tubia, diameter biparietal 9,8 cm lebih. Kekurangan
pemeriksaan ini mungkin adalah pengaruh tidak baik pada janin.
c. Pemeriksaan dengan USG. Dengan pemeriksaan ini diameter biparietal
kepala janin dapat diukur dengan teliti tanpa bahaya. Juga bisa ditemukan
kalsifikasi pada plasenta.
d. KTG / NST untuk menilai ada atau tidaknya gawat janin.
e. Pemeriksaan sitologik vagina untuk menentukan insufisiensi placenta
f. Pemeriksaan sitologik liquor amnii. Air ketuban diambil dengan
amniosintesis baik transvaginal maupun transabdominal. Air ketuban
akan bercampur lemak dari sel-sel kulit yang dilepas janin setelah
kehamilan mencapai lebih dari 36 minggu.
g. Pemeriksaan PH darah dibawah 7,20 dianggap sebagai tanda gawat janin.
h. Pemeriksaan amnioskopi untuk melihat derajat kekeruhan air ketuban
menurut warnanya yaitu bila keruh dan kehitaman berarti air ketuban
bercampur mekonium dan bisa mengakibatkan gawat janin
(Prawirohardjo, 2013).
8. Komplikasi
Pada ibu bersalin dengan postdate dapat mengalami komplikasi menurut
Wiknjosastro (2007), antara lain:
a. Komplikasi pada ibu
Morbiditas dan mortalitas pada ibu: dapat meningkatkan sebagian
akibat dari makrosomia janin dan tulang tengkorak menjadi lebih keras
yang menyebabkan distosia persalinan, partus lama, meningkatkan
tindakan obstetrik dan persalinan traumatis atau perdarahan postpartum
akibat bayi besar.
Aspek emosi: ibu dan keluarga menjadi cemas bilamana kehamilan
terus berlangsung melewati taksiran persalinan.
b. Komplikasi pada janin
1) Kelainan pertumbuhan janin
2) Berat janin
Bila terjadi perubahan anotomik yang besar pada plasenta, maka
terjadi penurunan berat janin. Dari penelitian Vorherr tambah bahwa
sesudah kehamilan 36 minggu grafik rata-rata pertumbuhan janin
mendatar dan Nampak adanya penurunan setelah usia kehamilan 42
minggu.
3) Sindrom post maturitas
Pada neonatus dengan ditemukan beberapa tanda seperti gangguan
pertumbuhan, dehidrasi, kulit kering, keriput seperti kertas (hilangnya
lemak subkutan), kuku tangan dan kaki panjang, warna coklat
kehijauan atau kekuningan pada tali pusat, muka tampak menderita
dan rambut kepala banyak atau tebal.
c. Komplikasi perinatal
Kematian perinatal menunjukkan peningkatan setelah 42 minggu atau
lebih. Sebagian besar terjadi saat intrapartum, umumnya disebabkan oleh:

1) Insufisiensi plasenta, akibatnya: pertumbuhan janin terhambat


2) Oligohidramnion; terjadi kompresi tali pusat
Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG.
(Cunningham,et al, 2010).
3) Keluar mekonium kental, berakibat terjadinya aspirasi mekonium pada
janin. Kehamilan postdate dapat membahayakan janin karena sensitive
terhadap rangsangan kontraksi, yang menimbulkan asfiksia sampai
kematian dalam rahim (Manuaba, 2010).
4) Selain komplikasi diatas dapat terjadi Makrosomia. Dengan plasenta
yang masih baik, dapat terjadi tumbuh kembang janin dengan berat
4500 gram yang disebut makrosomia. Akibatnya terhadap persalinan
adalah perlu dilakukannya tindakan operatif seksio sesaria, dapat
menjadi trauma persalinan karena distosia bahu yang menimbulkan
kematian bayi, atau trauma jalan lahir ibu (Manuaba. 2008).

9. Penatalaksanaan Persalinan Postdate


Saifudin (2006) mengemukakan penatalaksanaan kehamilan postdate sebagai
berikut :
a. Bila sudah dipastikan umur kehamilan 41 minggu, pengelolaan tergantung
dari tingkat derajat kematangan serviks.
b. Bila serviks matang (skor bishop >6)
1) Dilakukan induksi persalinan asal tidak ada janin besar, jika janin >
4000 gram dilakukan seksio sesaria,
2) Pemantauan intra partum dengan menggunakan CTG dan kehadiran
dokter spesialis anak apalagi ditemukan mekonium mutlak diperlukan.

c. Pada serviks belum matang (skor bishop < 6) kita perlu menilai keadaan
janin lebih lanjut lagi apabila kehamilan tidak dilahirkan.

1) NST dan penilaian volume kantong amnion. Bila keduanya normal,


kehamilan dibiarkan berlanjut dan penilaian janin dilanjutkan
seminggu 2 kali.
2) Bila ditemukkan oligohidramnion atau dijumpai deselerasi variabel
pada NST, maka dilakukkan induksi persalinan.
3) Bila volume amnion normal dan NST nonreaktif, tes dengan kontraksi
(CST) harus dilakukan. Hasil CST positif janin perlu dilahirkan, bila
CST negatif kehamilan dibiarkan berlangsung dan penilaian janin
dilakukan lagi 3 hari kemudian

4) Keadaan serviks (skor bishop) harus dinilai ulang setiap kunjungan


pasien dan kehamilan harus diakhiri bila serviks matang.
d. Kehamilan > 41 minggu diupayakan diakhiri
Pasien datang dengan kehamilan lewat waktu dengan komplikasi seperti
DM, Preeklampsia, penyakit jantung kehamilannya harus diakhiri tanpa
memandang keadaan serviks. Tentu saja kehamilan degan risiko ini tidak
boleh dibiarkan melewati kehamilan lewat waktu.
(Saifudin, 2006).
Tindakan operasi Sectio Cesarea dapat dipertimbangkan pada insufisiensi
plasenta dengan keadaan serviks belum matang, pembukaan belum lengkap,
persalinan lama, terjadi Gawat janin, primigravida tua, kematian janin dalam
kandungan, pre-eklamsia, hipertensi menahun, infertilisasi, kesalahan letak janin
(Nugroho,T, 2010).
2.3.1 Konsep Teori KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum
persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu
maka disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur (Sarwono, 2008).
Menurut Manuaba (2008) Ketuban pecah dini atau premature rupture of
the membranes (PROM) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum adanya tanda-
tanda persalinan. Sebagian besar ketuban pecah dini terjadi diatas 37 minggu
kehamilan, sedangkan dibawah 36 minggu tidak terlalu banyak.
Ketuban pacah dini atau sponkaneous/ early/ premature rupture of the
membrane (PROM) adalah pecahnya ketuban sebelum partu : yaitu bila
pembukaan pada primigravida kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 3
cm dan pada multipara kurang dari 5 cm (Mochtar, 2011)
KPD ( Ketuban Pecah Dini ) adalah pecah nya ketuban sebelum terdapat
tanda persalinan mulai dan di tunggu satu jam belum terjadi inpartu sebagian
besar KPD adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan dibawah 36 minggu
tidak terlalu banyak ( Ida Bagus, 2001 )
Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban secara spontan satu
jam atau lebih sebelum terjadi tanda-tanda persalinan. (Arief Mansjoer, 1999 :
310).
1. Etiologi KPD(Ketuban Pecah Dini)
Meskipun banyak publikasi tentang ketuban pecah dini (KPD), namun
penyebabnya secara langsung masih belum diketahui dan tidak dapat
ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang
berhubungan erat dengan ketuban pecah dini, namun faktor-faktor yang lebih
berperan sulit diketahui (Sualman, 2009). Faktor-faktor predisposisi itu antara
lain adalah:
a. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis).
Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion,
amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis
merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat
berlanjut menjadi sepsis (Sarwono, 2008).
Membran khorioamnionitik terdiri dari jaringan viskoelastik.
Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan
akan menipis dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas
enzim kolagenolitik (Sualman, 2009).
Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan
amnionitis. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan
Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering ditemukan
pada cairan ketuban pada kehamilan preterm. Bakteri-bakteri tersebut
dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan kontraksi
uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan serviks,
dan pecahnya selaput ketuban (Sualman, 2009).
Jika terdiagnosis korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya
untuk melahirkan janin sebaiknya pervaginam. Sayangnya, satu-satunya
indikator yang andal untuk menegakkan diagnosis ini hanyalah demam;
suhu tubuh 38ºC atau lebih, air ketuban yang keruh dan berbau yang
menyertai pecah ketuban yang menandakan infeksi (Cunningham, 2006).
b. Infeksi genitalia.
Meskipun chlamydia trachomatis adalah patogen bakteri paling
umum yang ditularkan lewat hubungan seksual, tetapi kemungkinan
pengaruh infeksi serviks oleh organisme ini pada ketuban pecah dini dan
kelahiran preterm belum jelas. Pada wanita yang mengalami infeksi ini
banyak mengalami keputihan saat hamil juga mengalami ketuban pecah
dini kurang dari satu jam sebelum persalinan dan mengakibatkan berat
badan lahir rendah (Cunningham, 2006).
Seorang wanita lebih rentan mengalami keputihan pada saat hamil
karena pada saat hamil terjadi perubahan hormonal yang salah satu
dampaknya adalah peningkatan jumlah produksi cairan dan penurunan
keasaman vagina serta terjadi pula perubahan pada kondisi pencernaan.
Keputihan dalam kehamilan sering dianggap sebagai hal yang biasa dan
sering luput dari perhatian ibu maupun petugas kesehatan yang
melakukan pemeriksaan kehamilan. Meskipun tidak semua keputihan
disebabkan oleh infeksi, beberapa keputihan dalam kehamilan dapat
berbahaya karena dapat menyebabkan persalinan kurang bulan
(prematuritas), ketuban pecah sebelum waktunya atau bayi lahir dengan
berat badan rendah (< 2500 gram). Sebagian wanita hamil tidak
mengeluhkan keputihannya karena tidak merasa terganggu padahal
keputihanya dapat membahayakan kehamilannya, sementara wanita hamil
lain mengeluhkan gejala gatal yang sangat, cairan berbau namun tidak
berbahaya bagi hasil persalinannya. Dari berbagai macam keputihan yang
dapat terjadi selama kehamilan, yang paling sering adalah kandidiosis
vaginalis, vaginosisbakterial dan trikomoniasi. (Sualman, 2009).
Dari NICHD Maternal-fetal Medicine Units network Preterm
prediction Study melaporkan bahwa infeksi klamidia genitourinaria pada
usia gestasi 24 minggu yang dideteksi berkaitan dengan peningkatan
kejadian ketuban pecah dini dan kelahiran preterm spontan sebesar dua
kali lipat setelah terinfeksi bakteri ini (Cunningham, 2006).
Infeksi akut yang sering menyerang daerah genital ini termasuk
herpes simpleks dan infeksi saluran kemih (ISK) yang merupakan infeksi
paling umum yang mengenai ibu hamil dan sering menjadi faktor
penyebab pada kelahiran preterm dan bayi berat badan rendah. Pecah
ketuban sebelum persalinan pada preterm dapat berhubungan dengan
infeksi maternal. Sekitar 30% persalinan preterm disebabkan oleh infeksi
dan mendapat komplikasi dari infeksi tersebut (Chapman, 2006).
Pada kehamilan akan terjadi peningkatan pengeluaran cairan
vagina dari pada biasanya yang disebabkan adanya perubahan hormonal,
maupun reaksi alergi terhadap zat tertentu seperti karet kondom, sabun,
cairan pembersih vagina dan bahan pakaian dalam. Keputihan pada
kehamilan juga dapat terjadi akibat adanya pertumbuhan berlebihan sel-
sel jamur yang dapat menimbulkan infeksi didaerah genital. Keputihan
akibat infeksi yang terjadi pada masa kehamilan akan meningkatkan
resiko persalinan prematur dan ketuban pecah dan janinnya juga
mengalami infeksi (Ocviyanti, 2010).
c. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia).
Didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk
mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan
kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat
berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan
bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada
serviks pada konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi
berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik
(Sarwono, 2008).
Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis
dan membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal
trimester ketiga kehamilan. Umumnya, wanita datang kepelayanan
kesehatan dengan keluhan perdarahan pervaginam, tekanan pada panggul,
atau ketuban pecah dan ketika diperiksa serviksnya sudah mengalami
pembukaan. Bagi wanita dengan inkompetensi serviks, rangkaian
peristiwa ini akan berulang pada kehamilan berikutnya, berapa pun jarak
kehamilannya. Secara tradisi, diagnosis inkompetensia serviks ditegakkan
berdasarkan peristiwa yang sebelumnya terjadi, yakni minimal dua kali
keguguran pada pertengahan trimester tanpa disertai awitan persalinan
dan pelahiran (Verney, 2006).
Faktor resiko inkompetensi serviks meliputi riwayat keguguran
pada usia kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya riwayat laserasi
serviks menyusul pelahiran pervaginam atau melalui operasi sesar,
adanya pembukaan serviks berlebihan disertai kala dua yang memanjang
pada kehamilan sebelumnya, ibu berulang kali mengalami abortus elektif
pada trimester pertama atau kedua, atau sebelumnya ibu mengalami eksisi
sejumlah besar jaringan serviks (conization) (Verney, 2006).
Apabila seorang wanita mempunyai riwayat keguguran pada
trimester kedua atau pada awal trimester ketiga, konsultasi dengan dokter
mutlak diperlukan. Jika seorang wanita datang ketika sudah terjadi
penipisan serviks, pembukaan, tekanan panggul, atau perdarahan
pervaginam yang sebabnya tidak diketahui, maka ia perlu segera
mendapat penatalaksanaan medis.
d. Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban pecah dini.
Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual saat hamil baik
dari frekuensi yang lebih dari 3 kali seminggu, posisi koitus yaitu suami
diatas dan penetrasi penis yang sangat dalam sebesar 37,50% memicu
terjadinya ketuban pecah dini, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis
dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini karena biasanya
disertai infeksi. Kelainan letak janin misalnya letak lintang, sehingga
tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang
dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah (Sualman,
2009).
Frekuensi koitus pada trimester ketiga kehamilan yang lebih dari
tiga kali seminggu diyakini berperan pada terjadinya ketuban pecah dini,
hal ini berkaitan dengan kondisi orgasme yang memicu kontraksi rahim,
namun kontraksi ini berbeda dengan kontraksi yang dirasakan menjelang
persalinan. Selain itu, paparan terhadaap hormon prostaglandin didalam
semen (cairan sperma) juga memicu kontraksi yang walaupun tidak
berbahaya bagi kehamilan normal, tetapi harus tetap diwaspadai jika
memiliki resiko melahirkan prematur. Oleh sebab itu, Seno, (2008)
menjelaskan bahwa pada kehamilan tua untuk mengurangi resiko
kelahiran preterm maupun ketuban pecah adalah dengan mengurangi
frekwensi hubungan seksual atau dalam keadaan betul-betul diperlukan
wanita tidak orgasme meski menyiksa. Tapi jika tetap memilih koitus,
keluarkanlah sperma diluar dan hindari penetrasi penis yang terlalu dalam
serta pilihlah posisi berhubungan yang aman agar tidak menimbulkan
penekanan pada perut ataupun dinding rahim.
Mengurangi frekwensi koitus yang sejalan dengan meminimalkan
orgasme selain dapat mengurangi terjadinya ketuban pecah dini, dapat
pula mengurangi penekanan pembuluh darah tali pusat yang membawa
oksigen untuk janin, sebab penekanan yang berkepanjangan oleh karena
kontraksi pada pembuluh darah uri dapat menyebabkan gawat janin
akibat kurangnya supply oksigen ke janin.
e. Faktor paritas, terbagi menjadi primipara dan multipara.
Primipara adalah wanita yang pernah hamil sekali dengan janin
mencapai titik mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang mengalami
ketuban pecah dini berkaitan dengan kondisi psikologis, mencakup sakit
saat hamil, gangguan fisiologis seperti emosi dan termasuk kecemasan
akan kehamilan (Cunninghan, 2006).
Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan mengalami
ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang
terlampau dekat, diyakini lebih beresiko akan mengalami ketuban pecah
dini pada kehamilan berikutnya (Cunningham,2006).
Meski bukan faktor tunggal penyebab ketuban pecah dini namun
faktor ini juga diyakini berpengaruh terhadap terjadinya ketuban pecah
dini. Yang didukung satu dan lain hal pada wanita hamil tersebut, seperti
keputihan, stress (beban psikologis) saat hamil dan hal lain yang
memperberat kondisi ibu dan menyebabkan ketuban pecah dini
(Cunningham,2006).
f. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami
ketuban pecah dini kembali.
Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah
akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga
memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm
terutama pada pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami ketuban
pecah dini pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada
kehamilan berikutnya wanita yang telah mengalami ketuban pecah dini
akan lebih beresiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada
wanita yang tidak mengalami ketuban pecah dini sebelumnya, karena
komposisi membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen
yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya (Cunningham, 2006).
g. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi
uterus) misalnya hidramnion dan gemeli.
Pada kelahiran kembar sebelum 37 minggu sering terjadi pelahiran
preterm, sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering mengalami
ketuban pecah dini (Cunningham, 2006).
Wanita dengan kehamilan kembar beresiko tinggi mengalami
ketuban pecah dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya disebabkan oleh
peningkatan massa plasenta dan produksi hormon. Oleh karena itu, akan
sangat membantu jika ibu dan keluarga dilibatkan dalam mengamati
gejala yang berhubungan dengan preeklamsi dan tanda-tanda ketuban
pecah (Varney, 2006).
h. Usia ibu yang ≤ 20 tahun.
Termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan uterus yang
kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalami ketuban
pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia ≥ 35 tahun tergolong usia yang
terlalu tua untuk melahirkan khususnya pada ibu primi (tua) dan beresiko
tinggi mengalami ketuban pecah dini.
Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh terhadap proses
kehamilan pertama, pada kesehatan janin dan proses persalinan. World
Health Organisation (WHO) memberikan rekomendasi sebagaimana
disampaikan Seno (2008) seorang ahli kebidanan dan kandungan dari
RSUPN Cipto Mangunkusumo, Sampai sekarang, rekomendasi WHO
untuk usia yang dianggap paling aman menjalani kehamilan dan
persalinan adalah 20 hingga 30 tahun. Kehamilan di usia kurang dari 20
tahun dapat menimbulkan masalah karena kondisi fisik belum 100% siap.
2. Patofisiologi
Menurut Mochtar (1998), mekanisme terjadinya ketuban pecah dapat
berlangsung sebagai berikut :
a. Ketuban tidak kuat sebagai akibat kurangnya jaringan ikat dan
vaskularisasi sehingga dapat menyebabkan ketegangan rahim
b. Bila terjadi serviks inkompeten, maka selaput ketuban sangat lemah dan
mudah pecah dan mengeluarkan air ketuban
c. Infeksi yang menyebabkan terjadinya proses biomekanik pada selaput
ketuban dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah
d. Kelainan bawaan selaput ketuban dimana selaput ketuban terlalu tipis
sehingga mudah pecah
Patofisiologi KPD menurut Wiknjosastro (2000) yaitu KPD terjadi karena
adanya kelainan pada amnion dan juga bisa pada selaput janin. Kelainan pada
hidramnion jumlahnya bisa mencapai 2000 cc atau lebih. Karena volume
berlebihan maka tekanan akan lebih besar. Hal ini akan lebih memudahkan
selaput janin mengalami kerusakan akibat dari selaput janin yang jelek.

Gambar. 2.5 Mekanisme multifaktorial menyebabkan ketuban pecah dini


3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang selalu ada ketika terjadi ketuban pecah dini adalah
keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina, cairan vagina berbau amis
dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau
menetes, disertai dengan demam/menggigil, juga nyeri pada perut, keadaan
seperti ini dicurigai mengalami amnionitis (Saifuddin, 2002). Cairan ini tidak
akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi
bila ibu duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah
biasanya “mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara
(Ayurai, 2010).
Ada pula tanda dan gejala yang tidak selalu ada (kadang-kadang) timbul
pada ketuban pecah dini seperti ketuban pecah secara tiba-tiba, kemudian
cairan tampak diintroitus dan tidak adanya his dalam satu jam. Keadaan lain
seperti nyeri uterus, denyut jantung janin yang semakin cepat serta perdarahan
pervaginam sedikit tidak selalu dialami ibu dengan kasus ketuban pecah dini.
Namun, harus tetap diwaspadai untuk mengurangi terjadinya komplikasi pada
ibu maupun janin (Saifuddin, 2002).
Kadang – kadang agak sulit atau meragukan kita apakah ketuban benar
sudah pecah atau belum apabila pembukaan kanalis servikalis belum ada atau
kecil. Menurut Mochtar (1998) cara menentukannya sebagai berikut :
a. Adanya cairan berisi mekonium, verniks caseosa, rambut lanugoAdanya
cairan ketuban dari vagina
b. Perubahan warna kertas lakmus dari merah menjadi biru
c. Cairan berbau khas, tidak seperti bau urin
4. Diagnosis KPD(Ketuban Pecah Dini)
Menegakkan diagnosis KPD secara tepat sangat penting, karena diagnosis
yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu
awal atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya.
Sebaliknya diagnosis yang negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan
janin mempunyai resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin, ibu
atau keduanya. Oleh karena itu, diperlukan diagnosis yang cepat dan tepat.
Diagnosis KPD ditegakkan dengan cara :
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesa pasien dengan KPD merasa basah pada vagina atau
mengeluarkan cairan yang banyak berwarna putih jernih, keruh, hijau, atau
kecoklatan sedikit-sedikit atau sekaligus banyak, secara tiba-tiba dari jalan
lahir. Keluhan tersebut dapat disertai dengan demam jika sudah ada
infeksi. Pasien tidak sedang dalam masa persalinan, tidak ada nyeri
maupun kontraksi uterus. Riwayat umur kehamilan pasien lebih dari 20
minggu.
Pada pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan uterus lunak dan
tidak adanya nyeri tekan. Tinggi fundus harus diukur dan dibandingkan
dengan tinggi yang diharapkan menurut hari pertama haid terakhir. Palpasi
abdomen memberikan perkiraan ukuran janin dan presentasi.
b. Pemeriksaan dengan spekulum
Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD untuk mengambil sampel cairan
ketuban di forniks posterior dan mengambil sampel cairan untuk kultur
dan pemeriksaan bakteriologis.
Tiga tanda penting yang berkaitan dengan ketuban pecah dini adalah :
1) Pooling : Kumpulan cairan amnion pada fornix posterior.
2) Nitrazine Test : Kertas nitrazin merah akan jadi biru.
3) Ferning : Cairan dari fornix posterior di tempatkan pada objek
glass dan didiamkan dan cairan amnion tersebut akan memberikan
gambaran seperti daun pakis.
Pemeriksaan spekulum pertama kali dilakukan untuk memeriksa
adanya cairan amnion dalam vagina. Perhatikan apakah memang air
ketuban keluar dari ostium uteri eksternum apakah ada bagian selaput
ketuban yang sudah pecah. Gunakan kertas lakmus. Bila menjadi biru
(basa) adalah air ketuban, bila merah adalah urin. Karena cairan alkali
amnion mengubah pH asam normal vagina. Kertas nitrazine menjadi biru
bila terdapat cairan alkali amnion. Bila diagnosa tidak pasti, adanya lanugo
atau bentuk kristal daun pakis cairan amnion kering (ferning) dapat
membantu. Bila kehamilan belum cukup bulan penentuan rasio lesitin-
sfingomielin dan fosfatidilgliserol membantu dalam evaluasi kematangan
paru janin. Bila kecurigaan infeksi, apusan diambil dari kanalis servikalis
untuk pemeriksaan kultur serviks terhadap Streptokokus beta group B,
Clamidia trachomatis dan Neisseria gonorea.

c. Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan dalam dilakukan untuk menentukan penipisan dan
dilatasi serviks. Pemeriksaan vagina juga mengindentifikasikan bagian
presentasi janin dan menyingkirkan kemungkinan prolaps tali pusat.
Periksa dalam harus dihindari kecuali jika pasien jelas berada dalam masa
persalinan atau telah ada keputusan untuk melahirkan.
d. Pemeriksaan penunjang
1) Dengan tes lakmus, cairan amnion akan mengubah kertas lakmus
merah menjadi biru.
2) Pemeriksaan leukosit darah, bila meningkat > 15.000 /mm3
kemungkinan ada infeksi.
3) USG untuk menentukan indeks cairan amnion, usia kehamilan, letak
janin, letak plasenta, gradasi plasenta serta jumlah air ketuban.
4) Kardiotokografi untuk menentukan ada tidaknya kegawatan janin
secara dini atau memantau kesejahteraan janin. Jika ada infeksi
intrauterin atau peningkatan suhu, denyut jantung janin akan
meningkat.
5) Amniosintesis digunakan untuk mengetahui rasio lesitin - sfingomielin
dan fosfatidilsterol yang berguna untuk mengevaluasi kematangan paru
janin. ( Arief Monsjoer, dkk, 2001 : 313 )
5. Komplikasi KPD(Ketuban Pecah Dini)
Ada tiga komplikasi utama yang terjadi pada ketuban pecah dini adalah
peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatal oleh karena prematuritas,
komplikasi selama persalinan dan kelahiran yaitu resiko resusitasi, dan yang
ketiga adanya risiko infeksi baik pada ibu maupun janin. Risiko infeksi karena
ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya
penyebab infeksi (Sarwono, 2008).
Sekitar tiga puluh persen kejadian mortalitas pada bayi preterm dengan ibu
yang mengalami ketuban pecah dini adalah akibat infeksi, biasanya infeksi
saluran pernafasan (asfiksia). Selain itu, akan terjadi prematuritas. Sedangkan,
prolaps tali pusat dan malpresentrasi akan lebih memperburuk kondisi bayi
preterm dan prematuritas (Depkes RI, 2007).
Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada ketuban pecah dini,
flora vagina normal yang ada bisa menjadi patogen yang bisa membahayakan
baik pada ibu maupun pada janinnya. Morbiditas dan mortalitas neonatal
meningkat dengan makin rendahnya umur kehamilan.
Komplikasi pada ibu adalah terjadinya risiko infeksi dikenal dengan
korioamnionitis akibat jalan lahir telah terbuka, apalagi bila terlalu sering
dilakukan pemeriksaan dalam. Dari studi pemeriksaan histologis cairan
ketuban 50% wanita yang melahirkan prematur, didapatkan korioamnionitis
(infeksi saluran ketuban), akan tetapi sang ibu tidak mempunyai keluhan
klinis. Infeksi janin dapat terjadi septikemia, pneumonia, infeksi traktus
urinarius dan infeksi lokal misalnya konjungtivitis (Sualman, 2009).
Selain itu juga dapat dijumpai perdarahan postpartum, infeksi puerpuralis
(nifas), peritonitis, atonia uteri dan septikemia, serta dry-labor. Ibu akan
merasa lelah karena berbaring di tempat tidur, partus akan menjadi lama, maka
suhu badan naik, nadi cepat dan tampaklah gejala-gejala infeksi (Manuaba,
2008).
6. Penatalaksanaan KPD(Ketuban Pecah Dini)
Konservatif
 Rawat di rumah sakit.
 Berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau erit\romisin bila tidak tahan
dengan ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari).
 Jika umur kehamilan < 32 – 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih
keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
 Jika umur kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes
busa negatif : beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi dan
kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
 Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah in partu, tidak ada infeksi,
berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam.
 Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan
induksi.
 Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin).
 Pada usia kehamilan 32-34 minggu, berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan
spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal
selama 2 hari, deksametason i.m 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.
(Saifudin A.B. 2006. Ketuban Pecah Dini, Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Hal : 218-220)
Aktif
 Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal pikirkan
seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50µg intravaginal tiap 6
jam maksimal 4 kali.
 Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan
diakhiri jika :
a. Bila skor pelvik < 5, lakukanlah pematangan serviks, kemudian
induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea.
b. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.
(Sarwono P,. 2009).
Table 2.1 Skor Bishop
Skor
Faktor
0 1 2

Pembukaan serviks
0 1-2 3-4
(cm)

Penipisan serviks 0-30% 40-50% 60-70%


Penurunan kepala Hodge I Hodge II Hodge III
Medial ( ke arah
Posterior (ke Anterior ( ke
Posisi serviks sumbu jalan
belakang) depan )
lahir)
Konsistensi serviks Keras Sedang Lunak

Tabel. 2.2 Penatalaksanaan ketuban pecah dini.


Gambar. 2.6 Alur penatalaksanaan ketuban pecah dini.
2.4 Konsep Dasar Hepatitis B

2.4.1 Definisi dan Etiologi

Hepatitis B merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang
disebabkan oleh virus hepatitis B. Virus hepatitis B merupakan jenis virus DNA
untai ganda, famili hepadnavirus dengan ukuran sekitar 42 nm yang terdiri dari 7
nm lapisan luar yang tipis dan 27 nm inti di dalamnya. Masa inkubasi virus ini
antara 30-180 hari rata-rata 70 hari. Virus hepatitis B dapat tetap infektif ketika
disimpan pada 30-32°C selama paling sedikit 6 bulan dan ketika dibekukan pada
suhu -15°C dalam 15 tahun (WHO, 2002).

Virus ini memiliki tiga antigen spesifik, yaitu antigen surface, envelope, dan
core. Hepatitis B surface antigen (HBsAg) merupakan kompleks antigen yang
ditemukan pada permukaan VHB, dahulu disebut dengan Australia (Au) antigen
atau hepatitis associated antigen (HAA). Adanya antigen ini menunjukkan infeksi
akut atau karier kronis yaitu lebih dari 6 bulan. Hepatitis B core antigen (HbcAg)
merupakan antigen spesifik yang berhubungan dengan 27 nm inti pada VHB
(WHO, 2002). Antigen ini tidak terdeteksi secara rutin dalam serum penderita
infeksi VHB karena hanya berada di hepatosit.

Hepatitis B envelope antigen (HBeAg) merupakan antigen yang lebih dekat


hubungannya dengan nukleokapsid VHB. Antigen ini bersirkulasi sebagai protein
yang larut di serum. Antigen ini timbul bersamaan atau segera setelah HBsAg,
dan hilang bebebrapa minggu sebelum HBsAg hilang (Price & Wilson, 2005).
Antigen ini ditemukan pada infeksi akut dan pada beberapa karier kronis (Mandal
& Wilkins, 2006).

2.4.3 Patogenesis

Masa inkubasi infeksi HB bervariasi, yaitu sekitar 45-120 hari, dengan rerata
60-90 hari. Variasi tersebut tergantung jumlah virus yang menginfeksi, cara
penularan, dan faktor host (WHO, 2002). Sel hati manusia merupakan target
organ bagi virus hepatitis B. Virus ini mula-mula melekat pada reseptor spesifik di
membran sel hati kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hati.
Dalam sitoplasma, VHB melepaskan mantelnya sehingga melepaskan
nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus dinding sel hati
(Mustofa & Kurniawaty, 2013).

Kemudian DNA VHB ditransport ke nukleus sel pejamu. Di nukleus, DNA


membentuk covalently closed circular (ccc) yang 15 disajikan sebagai bahan
untuk transkripsi (Lee, 2012). Hasil transkripsi dan translasi virus di dalam
hepatosit akan memproduksi protein-protein virus seperti protein surface, core,
polimerase, dan protein X. Protein tersebut akan dibungkus oleh retikulum
endoplasma dan dikeluarkan dari hepatosit sebagai antigen, salah satunya yaitu
HBsAg (Ganem et al., 2004). Gambar 4. Patogenesis infeksi virus hepatitis B
(Sumber: Dienstag, 2008).

HBsAg tidak hanya diproduksi dari cccDNA, tetapi juga berasal dari
rentetan DNA VHB pada antigen permukaan open-reading frame (ORF) yang
berintegrasi dengan genome hepatosit. HBsAg diproduksi dalam jumlah banyak
dan bersirkulasi di serum pada individu yang terinfksi VHB (Hadziyannis, 2013).
Secara teori, cccDNA merupakan indikator terbaik dalam aktivitas transkripsi
VHB di hepatosit. Level HBsAg berhubungan dengan level cccDNA (Lee, 2012).

16 Antigen VHB diekspresikan pada permukaan hepatosit dan melalui


antigen presenting cell (APC) akan dipresentasikan kepada sel T helper. Sel T
helper yang teraktivasi akan meningkatkan pembentukan sel B yang distimulasi
antigen menjadi sel plasma penghasil antibodi dan meningkatkan aktivasi sel T
sitotoksik. Sel T sitotoksik bersifat menghancurkan secara langsung hepatosit
yang terinfeksi. Hal ini yang diperkirakan menjadi penyebab utama kerusakan
hepatosit. Sel T sitotoksik juga dapat menghasilkan interferon-γ dan tumor
necrosis factor alfa (TNF-α) yang memiliki efek antivirus tanpa menghancurkan
sel target (Ganem et al., 2004)

Apabila seseorang terinfeksi virus hepatitis B akut maka tubuh akan


memberikan tanggapan kekebalan. Ada tiga kemungkinan tanggapan kekebalan
yang diberikan oleh tubuh terhadap virus hepatitis B pasca periode akut.
Kemungkinan pertama, jika tanggapan kekebalan tubuh adekuat maka akan terjadi
pembersihan virus, pasien 17 sembuh. Kedua, jika tanggapan kekebalan tubuh
lemah maka pasien tersebut akan menjadi karier inaktif. Ketiga, jika tanggapan
tubuh bersifat intermediate maka penyakit terus berkembang menjadi hepatitis B
kronis (Hazim, 2010).

Pada hepatitis B kronik, HBsAg menetap selama lebih dari 6 bulan tanpa
pembentukan antibodi anti-HBs ialah karena respon imun terutama sel T
sitotoksik terhadap virus lemah sehingga produksi HBsAg ke sirkulasi berlebihan
dan anti-HBs tidak terdeteksi (Ganem et al., 2004).

2.4.4 Manifestasi Klinis

Infeksi VHB memiliki manifestasi klinik yang berbeda-beda bergantung


pada usia pasien saat terinfeksi, status imun, dan derajat penyakit. Fase inkubasi
yang terjadi selama 6-24 minggu, gejala yang timbul pada pasien dapat merasa
tidak baik atau dengan mungkin mual, muntah, diare, anoreksia, dan sakit kepala.
Pasien dapat menjadi kekuningan, demam ringan, dan hilang nafsu makan.
Terkadang infeksi VHB tidak ada kekuningan dan gejala yang nyata yang dapat
diidentifikasi dengan deteksi biokimia atau serologi virus spesifik pada darah
penderita (WHO, 2002).

Perjalanan penyakit hepatitis B dapat berkembang menjadi hepatitis akut


maupun hepatitis kronis. Hepatitis B akut terjadi jika perjalanan penyakit kurang
dari 6 bulan sedangkan hepatitis B kronis bila penyakit menentap, tidak
menyembuh secara klinis atau laboratorium, atau pada gambaran patologi anatomi
selama 6 bulan. Hepatitis B akut memiliki onset yang perlahan yaitu ditandai
dengan gejala hilang nafsu makan, diare dan muntah, letih (malaise), rasa sakit
pada otot, tulang 18 sendi, demam ringan, dan rasa tidak nyaman pada perut
bagian atas (Mustofa & Kurniawaty, 2013).

Setelah 2-6 hari urin menjadi gelap, tinja menjadi lebih pucat, dan timbul
ikterus. Sindrom demam, atralgia, artritis, dan ruam urtikaria atau makulopapular
terjadi pada 10% pasien sebelum onset ikterus. Pada anak-anak, sindrom ini
mungkin lebih jelas dan disebut akrodermatitis papular (sindrom Gianotti). Biasa
terjadi hepatomegali yang nyeri tekan dan licin serta splenomegali pada 15%
kasus. Penyakit yang akut lebih sering terjadi pada orang dewasa (Mandal &
Wilkins, 2006).

Banyak pasien dewasa pulih secara komplit dari infeksi VHB, namun 5-10%
akan tidak total bersih dari virus akibat gagal memberikan tanggapan imun yang
adekuat sehingga terjadi infeksi hepatitis B perisiten, dapat bersifat karier inaktif
atau hepatitis kronis yang tidak menunjukkan gejala, tapi infeksi ini tetap menjadi
sangat serius dan dapat mengakibatkan kerusakan hati atau sirosis, kanker hati dan
kematian (WHO, 2002; Hazim, 2010).

Banyaknya jumlah virus yang menginfeksi dan usia pasien yang terinfeksi
merupakan faktor penting yang menentukan hepatitis B akut atau kronis. Hanya
sedikit proporsi infeksi VHB akut yang terlihat secara klinis. Kurang dari 10%
anak dan 30-50% dewasa dengan infeksi VHB akut yang mengalami penyakit
ikterik. Banyak kasus hepatitis B akut yang subklinik, dan 250 IU/ml secara
manual diencerkan pada 1:500-1:2.000 agar dapat dibaca dalam 27 jarak kalibrasi.
Sedangkan jika sampel dengan level HBsAg90%, hepatitis kronis aktif.

2.5 Konsep Distosia Bahu

2.5.1 Definisi
Distosia bahu adalah suatu keadaan dimana setelah kepala dilahirkan, bahu
anterior tidak dapat lewat di bawah simfisis pubis. Kondisi ini merupakan
kegawatdaruratan obstetri karena bayi dapat meninggal jika tidak segera
dilahirkan (WHO,2013).

2.5.2 Diagnosis
Tanda distosia bahu yang harus diamati penolong persalinan adalah:

a. Kesulitan melahirkan wajah dan dagu 


b. Kepala bayi tetap melekat erat di vulva atau bahkan tertarik kembali 
 (turtle

sign)


c. Kegagalan paksi luar kepala bayi


d. Kegagalan turunnya bahu
2.5.3 Faktor Predisposisi
• Riwayat distosia bahu sebelumnya
• Makrosomia >4500 g

• Diabetes melitus


• IMT >30 kg/m2


• Induksi persalinan
• Kala I persalinan memanjang

• Secondary arrest


• Kala II persalinan memanjang


• Augmentasi oksitosin

2.5.4 Alogaritma Penanganan Distosia Bahu


2.6 Konsep Manual Plasenta
2.6.1 Definisi
Manual plasenta adalah prosedur pelepasan plasenta dari tempat
implantasinya pada dinding uterus dan mengeluarkannya dari kavum uteri secara
manual yaitu dengan melakukan tindakan invasi dan manipulasi tangan penolong
persalinan yang dimasukkan langsung kedalam kavum uteri (Prawirohardjo,
2014). Manual plasenta merupakan tindakan operasi kebidanan untuk melahirkan
retensio plasenta. Teknik operasi plasenta manual tidaklah sukar, tetapi harus
diperkirakan bagaimana persiapkan agar tindakan tersebut dapat menyelamatkan
jiwa penderita.
Manual plasenta dilakukan jika terjadi retensio plasenta. Retensio plasenta
adalah plasenta tidak lahir setelah 30 menit bayi lahir dan telah dilakukan
manajemen aktif kala III (WHO, 2013).

2.7 KONSEP DASAR MANAJEMEN ASUHAN KEBIDANAN PATOLOGIS

2.7.1 PENGKAJIAN
Tanggal/jam pengkajian : Tempat :
Tanggal/jam :
No register :
1. Data Subjektif
a. Biodata
Umur : Wanita hamil yang berusia di bawah 20 tahun atau di atas 35
tahun memiliki resiko yang lebih besar mengalami penyakit dalam
kehamilan (Prawirohardjo, Sarwono 2010).
Pekerjaan : menentukan status ekonomi dan pola aktifitas
pasien. Secara epidemiologi status ekonomi rendah, cenderung
menjadi faktor predisposisi masalah komplikasi kebidanan (Roberts
et al., 2003).
b. Keluhan utama : Keluhan utama yang dapat terjadi pada ibu dengan
pre eklamsia, dengan gangguan berat (PEB) adalah: bengkak pada
tungkai dan/atau wajah, pandangan kabur, nyeri ulu hati, nyeri
kepala hebat, mual muntah berlebihan(Prawirohardjo
Sarwono,2010).
Pada persalinan dengan kehamilan postdate dapat ditemukan
ialah gerakan janin yang jarang, yaitu secara subyektif <10-12 kali
dalam 12 jam (Sujiyatini, 2009), USG di temukan AFI ≤ 8cm.
Ibu menjadi cemas bilamana kehamilan terus berlangsung
melewati taksiran persalinan akan menambah frustasi ibu dan juga
akan mempengaruhi janin (Prawirohardjo, 2008).
Pada pasien yang memiliki diagnose KPD memiliki kelihan
Keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina, Cairan vagina
berbau amis(tidak seperti bau amoniak), Demam ata menggigil, nyeri
pada perut dicurigai amnionitis (Saifuddin, 2002).
c. Riwayat menstruasi
HPHT : untuk menentukan usia kehamilan. Pre eklamsia, umumnya
terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu (Phyllis August, 2015).
Kenaikan tekanan darah sebelum usia kehamilan dengan disertai
tanda pre eklamsia disebut superimposed pre eklamsia. Menstruasi
terakhir juga untuk mengakomodir postdate
e. Riwayat obstetris : Resiko PE, KPD, dan postdate meningkat pada
pasien nulipara (Stehman Breen, 2002).
f. Riwayat hamil ini : Riwayat kehamilan ini seperti riwayat mual
muntah hebat, kehamilan kembar, atau hamil dengan in vitro
fertilizationkhususnya IVF dengan sperma atau sel telur donor
meningkatkan resiko pre eklamsia, KPD dan postdate (ACOG,
2013).
g. Riwayat KB : Riwayat penggunaan KB hormonal kombinasi
meningkatkan resiko terjadinya peningkatan tekanan darah, penyakit
jantung, tromboemboli vena, serta stroke (Chrisandra L. Shufelt,
2009)
h. Riwayat kesehatan : Menderita tekanan darah tinggi sebelum hamil,
Diabetes Mellitus, dan adanya penyakit atau gangguan pada ginjal
meningkatkan resiko terjadinya pre eklampsia (Chesley dalam
Cunningham, 2007). Pre eklamsia dalam kehamilan dapat
memperberat penyakit yang telah ada sebelumnya karena tekanan
darah yang sangat tinggi mempengaruhi fungsi organ.
i. Riwayat kesehatan keluarga : Ibu, ayah atau keluarga menderita
tekanan darah tinggi, saudara kandung yang pernah pre eklamsia /
eklamsia pada kehamilan, persalinan atau nifas meningkatkan resiko
terjadinya pre eklamsia berat (Bezzera P.C, 2010).
j. Riwayat Psikososial, sosial dan budaya
Perkawinan :Pernikahan ke dua cenderung pre eklamsia/eklamsia,
resiko sering timbul pada wanita multipara dengan suami baru, hal
ini disebabkan oleh maladaptasi imun tubuh. pendampingan keluarga
terhadap kehamilan ibu akan mempengaruhi kondisi psikis dan
berakibat pada kehamilan (Tubbergen, 1999).
Psikologi : Keadaan psikologis ditanyakan untuk mengetahui apakah
kehamilan ibu diharapkan atau tidak dan apakah keluarga
mendukung kehamilan ibu saat ini atau tidak (Saifudin, 2010). Jika
kehamilan tidak diharapakan dan keluarga tidak mendukung maka
ibu cenderung akan mengalami stress dan stress merupakan salah
satu factor predisposisi dari hipertensi (Indriyani, 2013). Psikologi
yang buruk akan berpengaruh pada tekanan darah ibu.
k. Pola fungsional, Kebutuhan dasar manusia
l. Nutrisi:defisiensi nutrisi, terutama kalsium, folat, dan seng dapat
meningkatkan resiko preeklamsia, KPD, post dan penyakit
kehamilan lainnya
m. Eliminasi : Penurunan jumlah output urine < 500 cc/24 jam
merupakan salah satu gejala klinis preeklamsia dengan gangguan
berat (Prawirohardjo Sarwono, 2010).
n. Aktivitas dan istirahat : Aktifitas kerja yang padat dengan beban
kerja tinggi, bekerja lebih dari 6 jam sehari, shift malam, atau bekerja
lebih ari lima hari kerja berturut – turut dalam seminggu, serta
bekerja berat dan lebih banyak berdiri meningkatkan resiko
terjadinya pre eklamsia (Haelterman et al., 2007).
2. Data Obyektif
d. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : lemah – baik
Kesadaran : compos mentis – penurunan kesadaran.
TD :Tekanan darah sistolik 140 – 160 mmHg atau
diastolik 90 – 100 mmHg (Pre eklampsia) systole ≥160
atau diastole ≥110 mmHg (Pre eklampsia Berat)
(Prawirohardjo, 2010)
Pernapasan : < 16 x/menit, 16 – 24 x/menit
BB : kenaikan >11 – 13 kg. Peningkatan berat badan yang pesat
dapat diakibatkan oleh oedema berat yang terjadi pada muka
dan/atau tungkai. Obesitas meningkatkan resiko pre eklamsia
(Roberts et al., 2013)
e. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi dan palpasi
1) Muka : dapat terjadi pembengkakan pada muka (Sofian, 2011).
2) Mata : identifikasi sklera, konjungtiva bisa merah muda/pucat
dan pandangan pada kasus preeklampsia berat biasa terjadi
gangguan visus. Skotomata, penglihatan kabur, atau diplopia
merupakan gejala yang lazim didapatkan pada preeklamsia berat
dan eklamsia.(cunningham, 2010).
f. Perut :
Leopold I : TFU bisa sesuai UK bisa > besar atau bisa lebih kecil.
Bagian yang terdapat di fundus bisa kepala, bokong atau kosong.
Kehamilan kembar dapat meingkatkan resiko pre eklamsia karena
pada kehamilan kembar ukuran plasenta umumnya lebih besar
daripada kehamilan tunggal (Bdolah, 2007). Pre eklamsia berat dapat
menyebabkan IUGR karena perfusi plasenta yang tidak optimal
(Roberts et al., 2013).
Leopold II : bisa teraba bagian kepala, bokong atau punggung
ataupun bagian kecil janin.
Leopold III : bisa teraba bokong, kepala atau kosong. Bisa
digoyangkan ataupun tidak bisa digoyangkan
Leopold IV : bisa konvergen / divergen
g. Ekstremitas atas dan bawah : dapat terjadi oedema pada kaki dan jari
tangan (Sofian, Amru. 2011)
- Auskultasi : Normal (120 –
160x/detik), takikardi atau bradikardi. Tekanan darah tinggi
pada ibu dapat mempengaruhi perfusi plasenta yang juga
mempengaruhi denyut jantung janin.
- Perkusi : Reflek patella bisa (+)
atau (-). Umumyapada pasien preeklamsia terjadi hiperrefleks.
Jika refleks patella (-) pasien tidak dapat diberikan MgSO4
sebagai antikejang. Pertimbangkan pemberian antikejang lain
seperti diazepam dan fenitoin (Prawirohardjo, 2010).
h. Pemeriksaan penunjang di puskesmas
Proteinuria kualitatif +2 (Pre eklampsia Ringan)
Proteinuria kualitatif > +3 (Pre eklampsia Berat)
ROT ≥ 20 mmHg = positif
MAP ≥ 90 mmHg = positif
Hasil pemeriksaan HBsAg = R/NR
i. Pemeriksaan penunjang di rumah sakit
j. Pemeriksaan darah lengkap. Mengetahui platelet, kreatinin serum,
albumin, HBsAg dan lain-lain
k. Fungsi Hati (SGOT/SGPT). Peningkatan enzim hati meningkat pada
pasien pre eklamsia dengan HELLP syndrome.
l. Fungsi ginjal (BUN/SC). Tekanan darah tinggi dalam waktu yang
panjang dapat mempengaruhi fungsi ginjal.
m. Protein urine kuantitatif (esbach). Pemeriksaan protein urine
kuantitatif dilakukan untuk mengetahui nilai absolute protein yang
dikeluarkan dalam 24 jam. Pemeriksaan ini penting untuk menilai
adanya perburukan kondisi atau evaluasi terapi yang telah diberikan.
n. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)dan NST dilakukan untuk
mengetahui kesejahteraan janin. Pemeriksaan USG yang dicurigai
mengalami IUGR, janin memiliki ukuran yang lebih kecil dibanding
usia kehamilannya. Sedangkan, pemeriksaan NST menunjukkan
kecenderungan fetal distress. Untuk mengetahui apakah terjadi
insufiensi plasenta akut atau kronis, perlu dilakukan USG dan NST
bila curiga terjadinya fetal growth restriction (Prawirohardjo, 2010).
2.7.2 Intrepretasi data dasar
Setelah didapatkan data subjektif dan data objektif, maka dapat
diidentifikasikan diagnosis, masalah, diagnosis/masalah potensial, dan
kebutuhannya berdasarkan hasil analisis yang sesuai sebagai berikut:
1. Diagnosa kebidanan
G... P... / UK > 20 minggu / tunggal atau gemelli / hidup atau IUFD /
intrauterin/ presentasi kepala, Presentasi bokong, atau letak lintang /
kesan jalan lahir normal / CPD, KU ibu dan janin baik sampai lemas
dengan PEB + HBsAg positif + postdate + KPD
Atau jika bayi sudah lahir
Papah postpartum……. jam dengan riwayat PEB + HBsAg positif +
postdate + KPD
2. Masalah : Masalah adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman
klien yang ditemukan dari hasil pengkajian atau yang menyertai
diagnosis. Menurut Sarwono (2010) keluhan yang sering dirasakan
saat pemeriksaan yang berhubungan dengan penderitapreeklampsia
adalah pusing, nyeri kepala, lemas, gangguan penglihatan / visus atau
nyeri epigastrium
3. Masalah : yang dapat terjadi pada ibu bersalin dengan preeklasmpsia
berat biasanya ketidaknyamanan akibat penyakitnya seperti mual.
Pada pasien dengan KPD dan HBsAg positif memunculkan masalah
ketidak nyamanan terutama kondisi suhu tubuh, nyeri karena ketuban
yang sudah keluar lebih dulu
4. Kebutuhan disesuaikan dengan masalah dan diagnosa.
Hal tersebut harus didukung oleh data dasar (subjektif ataupun
objektif). Tindakan atau asuhan apa yang akan diberikan kepada ibu
bersalin dengan preeklampsia berat, KPD, post date dan HBsAg positif
sesuai dengan wewenang bidan
2.7.3 Diagnosa dan masalah potensial
Mengidentifikasi diagnosa dan masalah potensial sesuai dengan diagnosa
dan masalah yang sudah diidentifikasi.
1. Diagnosa potensial: Merupakan hal-hal yang berkaitan dengan
pengalaman pasien yang ditemukan dari hasil pengkajian yang
menyertai diagnosa (Varney, 2007).
Dengan timbulnya preeklampia atau eklampsia, prognosis bagi ibu
dan janinnya buruk, sehingga frekuensi retardasi pertumbuhan janin
dan partus prematurus meningkat secara bermakna karena awitan
penyakit yang relatif dini pada kehamilan serta keparahan proses itu
sendiri. (Cunningham, 2010).
2. Masalah : Masalah adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman
klien yang ditemukan dari hasil pengkajian atau yang menyertai
diagnosis. Menurut Sarwono (2010) keluhan yang sering dirasakan
saat pemeriksaan yang berhubungan dengan penderitapreeklampsia
adalah pusing, nyeri kepala, lemas, gangguan penglihatan / visus atau
nyeri epigastrium
2.7.4 Identifikasi kebutuhan tindakan segera
Identifikasi Tindakan Segera Kolaborasi/Rujukan: Tindakan yang
dilakukan berdasarkan data baru yang diperoleh secara terus menerus dan
dievaluasi supaya bidan dapat melakukan tindakan segera dengan tujuan
agar dapat mengantisipasi masalah yang mungkin muncul sehubungan
dengan keadaan yang dialami ibu (Varney, 2004). Identifikasi tindakan
segera untuk mencegah kejang, perdarahan intrakranial, sesak nafas,
mencegah gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan bayi sehat
(Prawirohardjo, 2010).

2.7.5 Perencanaan asuhan yang menyeluruh


Pada langkah ini direncanakan asuahan yang menyeluruh ditentukan
oleh langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan kelanjutan
manajemen terhadap diagnosa atau masalah yang telah diidentifikasi atau
diantisipasi, pada langkah ini informasi/ data dasar yang tidak lengkap
dapat dilengkapi. Rencana asuhan yang menyeluruh tidak hanya meliputi
apa yang sudah teridentifikasi dari kondisi klien atau dari setiap masalah
yang berkaitan tetapi juga dari kerangka pedoman antisipasi terhadap
wanita tersebut seperti apa yang diperkirakan akan terjadi berikutnya
apakah diberikan penyuluhan, konseling, dan apakah merujuk klien bila
ada masalah-masalah yang berkaitan dengan sosial ekonomi,kultur atau
masalah psikologis. Semua keputusan yang dikembangkan dalam asuhan
menyeluruh ini harus rasional dan benar- benar valid berdasarkan
pengetahuan dan teori yg up to date serta sesuai dengan asumsi tentang
apa yang akan atau tidak akan dilakukan oleh klien.
1. Preeklampsia
a. Jelaskan hasil pemeriksaan pada ibu dan keluarga tentang keadaan
pasien
R/: Ibu dan keluarga berhak mengetahui hasil pemeriksaan,
dengan mengerti tentang hasil pemeriksaan, diharapkan ibu dan
keluarga dapat bersikap kooperatif.
b. Anjurkan untuk banyak istirahat yaitu dengan berbaring/tidur
miring kiri.
R/: Pada umur kehamilan di atas 20 minggu, tirah baring dengan
posisi miring menghilangkan tekanan rahim pada vena cava
inferior, sehingga meningkatkan aliran darah balik dan menambah
curah jantung. Hal ini berarti pula pula meningkatkan aliran darah
ke organ-organ vital. Peningkatan curah jantung akan
meningkatkan pula aliran darah rahim, menambah oksigenasi
plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim
(Prawirohardjo, 2010).
c. Anjurkan diet makanan tinggi protein (telur, tempe, tahu, kacang-
kacangan), tinggi karbohidrat (nasi, kentang, ketela), cukup
vitamin (buah-buahan dan sayur-sayuran), rendah lemak (
gorengan, minyak), rendah garam.
R/:Peroxida lemak sebagai oksidant/radikal bebas yang sangat
toksis ini, akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah, dan
akan merusak membrane sel endothel serta dengan pemakaian
garam yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan tekanan
darah. Garam juga mengandung natrium yang sifatnya mengikat
air. Jika terlalu banyak natrium dalam tubuh, semakin banyak
cairan dalam tubuh yang menumpuk sehingga bisa menyebabkan
oedem (Prawirohardjo, 2010).
d. Melakukan rujukan ke Rumah Sakit atau ke Dokter Spesialis
Obtetri Gynekology
R/: Ibu mendapatkan penangan yang tepat sehingga mencegah
terjadinya preeklamsia dengan gangguan berat, karena setiap
preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat
mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara
signifikan dalam waktu singkat (PNPK, 2016).
2. Preeklampsia berat
Ibu hamil dengan preeklamsia harus dirujuk ke rumah sakit.
a. Pencegahan dan tatalaksana kejang
2) Bila terjadi kejang perhatikan jalan napas, pernapasan
(oksigen) dan sirkulasi (cairan intravena).
3) MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan
eklamsia (sebagai tatalaksana kejang) dan preeklmsia berat
(sebagai pencegahan kejang)
4) Pada kondisi dimana MgSO4 tidak dapat diberikan
seluruhnya, berikan dosis awal (loading dose) lalu rujuk ibu
segera ke fasilitas kesehatan yang memadai
5) Lakukan intubasi jika terjadi kejang berulang dan segera
kirim ibu ke ruang ICU (bila tersedia ) yang sudah siap dengan
fasilitas ventilator tekanan positif (VTP)
b. Cara pemberian MgSO4
1) Berikan dosis awal 4gram MgSO4 sesuai prosedur untuk
mencegah kejang atau kejang berulang.
2) Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 gram
MgSO4 dalam 6 jam sesuai prosedur
c. Cara pemberian dosis awal
1) Ambil 4 gram larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%)
dan larutkan dengan 10 ml akuades
2) Berikan larutan tersebut secara perlahan IV selama 20 menit
3) Jika akses intravena sulit, berikan masing- masing MgSO4
(12,5 ml larutan MgSO4 40% IM di bokong kiri dan kanan)
d. Cara pemberian dosis rumatan
1) Ambil 6 gram MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dan lrutan
dalam 500 ml larutan ringer laktat/ asam asetat, lalu berikan
secara IV dengan kecepatan 28 tetes/ menit selama 6 jam dan
diulang 24 jam setelah persakinan atau kejang berakhir (bila
eklamsia)
e. Tatalaksana lanjutan
1) Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, reflex patella dan jumlah
urin
2) Bila frekunsi pernapasan <16x/menit dan atau tidak
didapatkan refleks tendon patella, dan taua terdapat oliguria
(produksi urin <0,5 ml/kgBB/jam), segera hentikan oemberian
MgSO4
3) Jika terjadi depresi napas, berikan Caglukonas 1g IV (10ml
lrutan 10%) bolus dalam 10 menit
4) Selama ibu preeklamsia dan eklamsia dirujuk, pantau dan nilai
adanya perburukan preeklamsia. Apabila terjadi eklamsia,
lakukan oenilaian awal dan tatalaksana kegawatdaruratan.
Berikan kembali MgSO4 2 gram IV perlahan (15-20 menit).
bila setelah pemberian ulangan MgSO4 masih terdapat kejang,
dapat dipertimbangkan oemberian diazepam 10mg IV selama
2 menit.
f. Pemberian antihipertensi
1) Ibu dengan hipertensi berat selama kehamilan perlu mendapat
terapi antihipertensi .
2) Pilihan aantihipertensi didasarkan terutama pada pengalaman
dokter dan ketersediaan obat. Beberapa jenis antihipertensi
yang dapat digunakan misalnya:
Tabel 2.2 Contoh obat antihipertensi
Nama obat Dosis Keterangan
Nifedipin 4x10-30 mg peroral (short Dapat menyebabkan
acting) hipoperfusi pada ibu
1x20-30 mg peoral (long dan janin bila
acting/ adalat OROS@ diberikan sublingual

Nikardipin 5mg/jam dapat dititrasi


2,5mg/jam tiap 5 menit
hingga maksimum
10mg/jam
Metildopa 2x250-500mg peroral dosis
(maksimum 2000mg/hari)

3) Ibu yang mendapat terapi antihipertensi di masa antenatal


dianjurkan untuk melanjutkan terapi antihipertensi hingga
persalinan
4) Terapi antihipertensi dianjurkan untuk hipertensi pascasalin
berat
g. Pemeriksaan penunjang tambahan
1) Hitung darah perifer lengkap (DPL)
2) Golongan darah ABO, RH dan pencocokan silang
3) Fungsi hati (LDH, SGOP, SGPT)
4) Fungsi ginjal (ureum, kretinin serum)
5) Profil koagulasi (PT, APTT, fibrinogen)
6) OSG terutama jika ada indikasi gawat janin atau pertumbuhan
janin terhambat
h. Pertimbangan persalinan / terminasi kehamilan
1) Pada ibu eklamsia bayi harus segera dilahirkan dalam 12 jam
sejak terjadinya kejang
2) Induksi persalinan dianjurkan bagi ibu dengan PEB dengan
janin yang belum viable atai tidak akan viable dalam 1-2
minggu
3) Pada ibu dengan PEB, dimana janin sudah vible namun usia
kehamilan belum mencapai 34 minggu, menemjemen
ekspektan dianjurkan, asalkan tidak terdapat hipertensi yang
tidak terkontrol, disfungsi organ ibu dan gawat janin. Lakukan
pengawasan ketat.
4) Pada ibu dengan preklamsia berat yang kehamilannya sudah
aterm persalinan dini dianjurkan
5) Pada ibu dengan preeklamsia ringan atau hipertensi
gestasional ringan yang sudah aterm, induksi persalinan
dianjurkan
3. Ketuban pecah dini
a. Jelaskan hasil pemeriksaan dan informed consent kepada ibu dan
keluarga
R/ informed consent berupa penjelasan mengenai pemeriksaan
fisik,dan pemantauan kemajuan persalinan adalah hak klien
(Varney, 2007)
b. Jelaskan pada ibu bahwa janinnya harus segera dilahirkan
R/ mengurangi kecemasan ibu dan menginformasikan tindakan
yang akan dilakukan
c. KIE ibu untuk miring ke kiri
R/ Berbaring miring kiri dapat mengurangi tekanan pada vena
cava inferior yang dapat menyebabkan hipoksia pada janin dan
dapat membantu mempercepat penurunan bagi terendah janin
(Varney, 2007).
d. KIE ibu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan
R/ makan dan cairan yang cukup dapat member energy (Varney,
2007).
e. KIE ibu untuk mengosongkan kandung kemihnya.
R/ kandung kemih yang penuh berpotensi untuk memperlambat
proses persalinan (Varney, 2007).
f. Kolaborasi dengan dr. Sp.OG dalam penatalaksanaan KP D :
R/ agar penanganan pada pasien sesuai dengan kondisinya.
Penatalaksanaan pada kasus KPD dengan usia kehamilan > 37
minggu yaitu penatalaksanaan aktif. Bila ada tanda-tanda infeksi,
berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan diakhiri jika :
g. Bila skor pelvik < 5, lakukanlah pematangan
serviks(menggunakan misoprostol 50µg intravaginal tiap 6 jam
maksimal 4 kali, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri
persalinan dengan seksio sesarea.
Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.
(Sarwono P,. 2009).
h. Observasi KU, kesejahteraan janin, kemajuan persalinan sesuai
partograf.
R/ partograf merupakan alat ukur kemajuan persalinan (Varney,
2007)
i. Observasi suhu rektal tiap 3 jam
R/ mengetahui keadaan klien

2.7.6 Melaksanaan perencanaan


Pada langkah keenam ini rencana asuhan menyeluruh seperti yang
telah diuraikan pada langkah ke 5 dilaksanakan secara efisien dan aman.
Perencanaan ini bisa dilakukan oleh bidan atau sebagian dilakukan oleh
bidan dan sebagian lagi oleh klien, atau anggota tim kesehatan yang lain.
Jika bidan tidak melakukanya sendiri ia tetap memikul tanggung jawab
untuk mengarahkan pelaksanaanya. Manajemen yang efisien akan
menyingkat waktu dan biaya serta meningkatkan mutu dari asuhan klien.
2.7.7 Evaluasi
Pada langkah ke-7 ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan
yang sudah diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah
benar-benar telah terpenuhi sesuai dengan sebagaimana telah diidentifikasi
didalam masalah dan diagnosa. Rencana tersebut dapat dianggap efektif
jika memang benar efektif dalam pelaksananya. Ada kemungkinan bahwa
sebagian rencana tersebut telah efektif sedang sebagian belum efektif.
BAB 3

TINJAUAN KASUS

Tanggal masuk VK : 18-09-2019,Jam 13.30 WIB

Pengkajian : 18-09-2019, Jam 13.30 WIB

Tempat : VK RSUD Dr. M. Soewandhie

A. DATA SUBYEKTIF
1. Identitas Pasien
Nama Ibu : Ny. T Nama Suami : Tn. A

Umur : 34 tahun Umur : 36 tahun

Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia

Agama : Islam Agama : Islam

Pendidikan : SMA Pendidikan : SMK

Pekerjaan : swasta Pekerjaan : Swasta

Alamat : Petemon, Surabaya

2. Alasan kunjungan :
Datang dari Poli risti dengan diagnose KPP > 12 jam + PE + Postdate.

3. Keluhan utama :
Sedikit pusing, Keluar air sejak pagi jam 02.30 (18/09)

4. Riwayat Menstruasi
HPHT : 8-12-2018
HPL : 15-09-2019

Siklus : teratur, 30 hari

Lama : 5-7 hari

Nyeri haid : tidak


5. Riwayat Obstetri
kehamilan Persalinan Anak nifas
N K
Pen Temp Peny Se Hidu mat laktas pen
o UK Jenis Pnlg BB/TB .
y. at . x p i i y
1 H A M I L I N I

6. Riwayat kehamilan sekarang


Selama kehamilan ibu memeriksakan 10 kali di PKM “S” dan 5 kali di RS
“S”. ibu dirujuk dari puskesmas S dengan skor puji rohyati 6 (HBsAg +)
pada tanggal 30/07/2019. Selama kehamilan tensi ibu cenderung berada
pada batas normal. BB ibu mengalami peningkatan BB sebanyak 23Kg.

7. Riwayat Penggunaan KB
Ibu tidak pernah menggunakan kontrasepsi.

8. Riwayat kesehatan
Ibu tidak menderita penyakit HT, TBC, HIV, DM, Jantung. Ibu memiliki
infeksi hepatitis.

9. Riwayat kesehatan keluarga


Keluarga ibu dan suami tidak menderita penyakit apapun dan tidak sedang
menderita penyakit menular (TBC, HIV, hepatitis) dan ibu pasien menderita
penyakit DM dan hipertensi.

10. Data fungsional kesehatan


a. Nutrisi : Selama kehamilan ibu mengalami peningkatan nafsu makan.
Makan terakhir jam 07.00 WIB (18/09) 1 porsi dengan komposisi nasi
sayur dan lauk. Minum terakhir jam 12.30 (18/09) segelas air putih.
b. Eliminasi : BAB terakhir jam 17.00 WIB tgl 17-09-2019 dan BAK
terakhir jam 11.00 WIB
c. Pola seksual: terakhir berhubungan 2 minggu yang lalu. Selama hamil
takut melakukan hubungan seksual.
11. Riwayat Psikososial Budaya
Ini merupakan pernikahan pertama dengan lama menikah 1 tahun.
Kehamilan ini direncanakan. Saat hamil ibu tidak memiliki kebiasaan pijat
perut, minum jamu maupun merokok.

B. DATA OBYEKTIF
1. Pemeriksaan UmumKesadaran : composmentis
TD : 145/80 mmHg

Nadi : 78 x/menit

Suhu : 37 oC

RR : 20 x/mnt

IMT saat ini : 32,9 kg/m2

BB saat ini : 78 kg

Tinggi Badan :154cm

2. Pemeriksaan Fisik
a. Muka : konjungtiva merah muda, sklera putih,
b. Leher : tidak ada pembesaran vena jugularis, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid, tiak ada pembesaran kelenjar limfe
c. Dada : puting susu menonjol dan bersih, colustrum belum keluar.
d. Abdomen : tidak terdapat luka bekas operasi
- Leopold I : Teraba bulat, lunak, dan tidak melenting, TFU 2 jari bawah
px.
- Leopold II : Teraba keras, memanjang seperti papan di sebelah kanan
perut ibu dan teraba bagian-bagian kecil janin di sebelah kiri perut ibu.
- Leopold III : teraba bagian janin bulat, keras, melenting, dapat
digoyangkan di bagian bawah uterus
- Leopold IV: Divergen
- Penurunan kepala : 2/5
- TFU: 35 cm
- TBJ : (35-11) x 155 = 3720 gram
- DJJ : 148 x/menit
- His: 1x15” / 10 menit
e. Ekstremitas : atas tidak ada oedem, bawah tidak ada oedem dan varices
f. Genetalia : vulva dan vagina tidak ada varices, tidak ada oedema,
tidak ada kondiloma lata dan kondiloma akuminata.
g. Pemeriksaan dalam (VT) oleh bidan pukul 13.30 WIB didapatkan Ø 1
cm, eff 25%, selaput ketuban positif merembes jernih, presentasi kepala,
denominator sutura sagitalis arah melintang, Hodge I.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan lab 18/09/2019
- HB 12,4 g/dL
- Protein : Negatif
- Albumin : 2,1 (L)
- PITC : NR
- HBsAg : R
- Sifilis : NR
-
C. ANALISIS
GIP0000 UK 40-41 minggu Tunggal, Hidup intrauterine, prsentase kepala, KPP
<12 jam + PE + postdate + HBsAg positif + obes grade 1

D. PENATALAKSANAAN
Jam Penatalaksanaan Oleh
18/09 - Memberitahu ibu hasil pemeriksaan Wulan dan
13.30 - Melakukan pemasangan NST bidan jaga
- Melakukan pemasangan infus + pengambilan
sampel darah untuk cek laborat.
- pro lapor DPJP

14.00 - timbang terima dengan bidan jaga pagi


15.00 - Melakukan observasi TTV (TD: 120/70, N: 73, S:
36,7, His: 1x15”/10 menit, Djj: 148) Aulia dan
15.00 ­ Menyampaikan hasil observasi Bidan jaga
16.00 - Melaporkan ke dokter, koloborasi dengan
dokter untuk pemberian caftriaxon
- Pemberian ceftriaxon drip + oplos RL 100ml
habis dalam 30 menit

- Periksa DJJ, hasil 160x/menit


16.30 - Kolborasi dokter untuk tindakan NST
- Memfasilitas ibu untuk miring kiri,
kesejahteraan janin
- Memfasilitasi ibu untuk pemenuhan nutrisi
18.15
- Evaluasi kemajuan persalinan
- Dilakukan pemeriksaan dalam (VT) hasil
19.30 pembukaan 4cm, eff 50% konsistensi lunak, HI ,
ketuban jernih

Wulan,
19/09 - Timbang terima Krisma dan
- Membantu Px makan
07.00 bidan jaga

CATATAN PERKEMBANGAN

Tanggal : 19-09-2019, Jam :08.00 WIB

S : kenceng-kenceng

O : KU baik, anemis(-), terpasang infus


TD: 150/80 mmHg
N: 88 x/menit
S: 36,5
His: 2x20”/ 10 menit
Djj: 140 x/menit
VT Ø 3 cm, eff 50%, serviks lunak, selaput ketuban positif merembes

A : GIP0000 UK 40-41 minggu Tunggal, Hidup intrauterine, prsentase kepala,


inpartu kala 1 laten dengan KPP <12 jam + PE + postdate + HBsAg positif
+ obes grade 1

P:

Jam Penatalaksanaan Oleh


19/09 Wulan dan
10.15 - Melakukan perekaman NST bidan jaga
11.20 - Memberikan infus RDS drip oksitosin 5IU
11.30 - OD mulai 8tpm His :2x25” Djj: 138
11.45 - OD mulai 12tpm His :2x25” Djj: 140
12.00 - OD mulai 16tpm His :2x25” Djj: 139
12.30 - OD mulai 20tpm His :2x25” Djj: 142
13.00 - Pasien makan ½ porsi
13.15 - OD 24 tpm His :2x25” Djj: 139
13.30 - OD 28 tpm His :2x25” Djj: 140
13.45 - OD 32 tpm His :2x25” Djj: 143
14.00 - OD 36 tpm His :2x25” Djj: 142

14.30 Observasi TTV Aulia dan


TD: 148/89mmHg, N: 89 x/menit, suhu 36,3ᵒC, RR: bidan jaga
24/menit
His 2x25”, DJJ: 148x/ menit
16.00 Observasi his 3x35” DJJ 148x/menit
17.00 Memfasilitasi pemberian diit -> pasien makan
18.00 Observasi his 3x45” DJJ 149x/menit
19.00 Observasi his 3x45” DJJ: 142x/menit
20.00 OD Kolf ke 1 habis
Melakukan NST
20.15 Lanjut OD Kolf kedua 40 tpm
21.00 Observasi his 3x45” DJJ: 148x/menit
CATATAN PERKEMBANGAN

KALA II

Tanggal : 19-09-2019, Jam :22.10 WIB

S : kenceng-kenceng hebat semakin sering, ibu ingin meneran

O : KU baik, anemis(-), terpasang infus

DJJ: 150x/menit, His: 4x40" dalam 10 menit

VT :  lengkap, eff= 100%, presentasi kepala, UUK kiri depan, Hodge


II, ketuban(-) mekoneal
A : G1P0000 UK 40-41 minggu, presentasi kepala, inpartu kala II+HbSAg (+)
+distosia bahu+postdate + PE + Nyeri

P : Menjelaskan hasil pemeriksaan

Memotivasi pasien untuk miring ke kiri dan mengajari teknik relaksasi

Kolaborasi dengan dokter

Jam Penatalaksanaan Oleh

22.30 WIB -Menginformasikan hasil pemeriksaan, ibu sekarang Bidan


masuk ke fase persalinan
-Memposisikan ibu dengan posisi yang nyaman, ibu DM
memilih posisi litotomi
-Mengajari pasien cara meneran Yuriske
-Menganjurkan ibu meneran jika ada kontraksi, ibu
meneran dengan benar
-Memberikan support mental untuk tetap tenang dalam
menghadapi persalinan
-Memfasilitasi pendamping persalinan, persalinan
ditemani oleh suami
- Melakukan pertolongan persalinan
Memimpin ibu meneran saat ada kontraksi dan
istirahat ketika tidak ada kontraksi
Melakukan episiotomi
Melakukan tahanan perineum saat kepala bayi
crowning
Mengecek lilitan tali pusat, tidak terdapat lilitan di
leher
Melahirkan bayi dengan biparietal, bahu belum lahir
Melakukan teknik Mc. Robert, bahu lahir
22.40 WIB Bayi lahir spontan laki-laki berat 3510 gr, panjang 51 Bidan
cm, AS 7-8. Meletakkan bayi diatas perut ibu, hisap Neo
lendir dan mengeringkan dengan handuk

Kala III

Tanggal : 19-09-2019, Jam : 22.45 WIB

S : merasa lega dan senang sudah melahirkan

O :

TTV : TD = 130/70 mmHg Suhu = 36,70C

Nadi = 75 x/menit RR = 20 x/menit

TFU 2 jari diatas pusat, kontraksi uterus lembek, tidak teraba janin kedua,
kandung kemih teraba

A: P1001 inpartu kala III + HbSAg (+) + PE

P:

Jam Penatalaksanaan Oleh


22.45 WIB 1. Menginformasikan pada ibu bahwa akan dilakukan DM
tindakan pertolongan untuk melahirkan plasenta; ibu
memahami Yuriske
2. Menginformasikan ibu bahwa akan dilakukan injeksi
oksitosin, ibu bersedia
3. Memberikan injeksi oksitosin 10 IU; oksitosin sudah
diinjeksikan secara IM di paha kanan, tidak ada reaksi
alergi
4. Memasang kateter, urin keluar
5. Melakukan peregangan tali pusat terkendali, tidak
terdapat tanda pelepasan plasenta
6. Memberikan oksitosin 10 IU kedua, oksitosin sudah
22.55 WIB diinjeksikan secara IM di paha kiri, plasenta belum lahir
7. Melakukan manual plasenta, plasenta lahir pukul 23.20
23.15 WIB WIB plasenta lengkap, kotiledon dan selaput plasenta
kesan lengkap, tali pusat insersi sentralis. Perdarahan
±200cc. Plasenta lahir lengkap dan kontraksi uterus keras.
8. Melakukan masase uterus, UC keras.

Kala IV

Tanggal 19-09-2019 pukul 23.25

S : merasa mules

O : KU Ibu baik

TTV :

TD = 135/75 mmHg Suhu = 36,50C

Nadi = 74 x/menit RR = 18/menit

TFU setinggi pusat, kontraksi uterus baik, kandung kemih tidak teraba
A : P1001 kala IV + HbSAg (+) + PE + laserasi perineum grade 2

P :

Jam Penatalaksanaan Oleh

23.25 WIB 1. Mengecek laserasi episiotomi, laserasi perineum grade 2. Bidan


2. Melakukan hecting jelujur dan subcutis dengan benang sufil DM
quick Yuriske
3. Mengecek jumlah perdarahan, perdarahan ±200cc
4. Memberikan KIE kepada ibu mengenai, masase uterus,
mengganti pembalut sesering mungkin jika basah, memenuhi
kebutuhan nutrisi ibu dengan tidak ada pantangan makanan
kecuali alergi, menyarankan segera BAB dan BAK tanpa
harus takut dan menunda, ibu mengerti
5. Mencuci semua peralatan bekas pakai.
6. Membersihkan ibu dari sisa cairan ketuban, lendir dan darah,
mengganti pakaian yang bersih dan kering, ibu merasa
nyaman
7. Memfasilitasi pemenuhan kebutuhan nutrisi, dan
menganjurkan ibu untuk makan dan minum untuk
memulihkan tenaga. Ibu minum air mineral.
8. Mengobservasi kondisi ibu postpartum yaitu meliputi tekanan
darah, nadi, kontraksi, tfu, perdarahan dan kandung kemih ibu
setiap 15 menit 1 jam pertama, 30 menit 1 jam kedua.
9. Mendiskusikan mengenai tanda bahaya nifas, kebersihan diri
khususnya cara membersihakan vagina dari depan ke
belakang, menganjurkan melakukan mobilisasi bertahap.
10. Mendiskusikan kontrasepsi yang akan ibu gunakan, ibu
memilih kontrasepsi suntik 3 bulan.
11. Menganjurkan ibu untuk istirahat.

CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal : 20-09-2019, Jam : 01.30 WIB

S : nyeri luka perineum, mules

O :

TTV

TD: 123/80 mmHg Nadi: 69x/menit Suhu: 36,50C RR: 20x/mnt

Pemeriksaan Fisik

Wajah: tidak pucat, conjugtiva merah muda

Payudara: bersih, puting susu menonjol, ASI sudah keluar

Abdomen: TFU 2 jari bawah pusat

Genitalia: Perdarahan 50 cc

A : P1001 postpartum spontan B 2 jam + HbSAg (+) + PE

P :

Jam Penatalaksanaan Oleh

01.30 WIB 1. Menginformasikan hasil pemeriksaan meliputi DM


tekanan darah, nadi, uc dan tinggi fundus Yuriske
2. Menginformasikan bahwa mules yang ibu
rasakan akibat adanya kontraksi yang akan
membantu agar tidak terjadi perdarahan.
3. Mengingatkan ibu jika kepala pusing dan
banyak mengeluarkan darah untuk cepat
memanggil bidan serta mengajarkan ibu
merasakan kontraksi yang baik yaitu terasa
keras. Apabila terasa lembek, agar segera
menghubungi bidan, serta mengingatkan untuk
tidak menahan BAK karena dapat menggangu
kontraksi
4. Memberikan HE untuk mobilisasi bertahap, ibu
miring kanan kiri, dan duduk.
5. Memberikan HE mengenai personal hygiene
yaitu setelah BAB dan BAK melakukan cebok
dari depan ke belakang, kemudian keringkan
dengan tisu atau handuk bersih, tidak perlu
takut dengan luka jahitan. Ibu mengerti dan
dapat mengulangi penjelasan bidan.
6. Mendiskusikan pemberian ASI eksklusif, ibu
bersedia memberikan ASI eksklusif.
06.30 WIB 7. Memindahkan ibu ke ruang nifas
BAB 4

PEMBAHASAN

Ny. T dengan status primipara. Wanita yang pernah hamil sekali dengan
janin mencapai titik mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang mengalami
ketuban pecah dini berkaitan dengan kondisi psikologis, mencakup sakit saat
hamil, gangguan fisiologis seperti emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan
(Cunninghan, 2006). Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat
ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga
memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama
pada pasien risiko tinggi. Adapun factor risiko terjadinya ketuban pecah dini
yaitu; perdarahan vagina yang tidak diketahui penyebabnya, abrubsio plasenta,
inkompentensi serviks, infeksi vagina dan intraamnion, merokok, kehamilan
ganda, polihidramnion, pengobatan steroid kronis, status sosial ekonomi yang
rendah, anemia, dan perempuan single (Norwitz E, 2001).
Ny. T dengan status primipara juga memiliki risiko lebih besar preeklamsi
(7 sampai 10%) jika dibandingkan dengan multipara (levono, 2009). Kejadian
preeklamsia lebih tinggi pada kehamilan pertama sebagai akibat dari reaksi imun
maternal terhadap agen paternal yang diekspresikan plasenta dan reaksi ini
kemungkinan menyebabkan gangguan invasi trofoblas dan disfungsi plasenta
lainnya (S. Hernandez-Diaz et al., 2009). Kehamilan pertama dengan pasangan
baru meningkatkan resiko mengalami preeklamsia yang terkait dengan respon
imun ibu terhadap gen ayah janin yang diekspresikan oleh plasenta dalam
kehamilan (Karen Melchiorre et al., 2014). Pada ibu primipara maka
kemungkinan terjadinya kelainan dan komplikasi cukup besar baik pada kekuatan
his (power), jalan lahir (passage), dan kondisi janin (passager) yang bisa
menyebabkan terjadinya kehamilan postdate.
Faktor risiko lainnya yang dimiliki oleh Ny. T adalah usia, Ny.T dengan
usia 34 tahun, berdasarkan teori usia ibu yang lebih tua dari 30 tahun dan obesitas
(Wang, et al , 2014). Dibandingkan dengan wanita berat badan normal, risiko dari
kehamilan postdate pada wanita dengan obesitas hampir dua kali lipatnya. Pada
fisiologi persalinan, produksi progesteron mengalami penurunan sehingga otot
rahim lebih sensitif terhadap oksigen. Akibatnya, otot rahim mulai berkontraksi
setelah tercapai tingkat penurunan progesteron tertentu. Perubahan keseimbangan
estrogen dan progesteron dapat mengubah sensitivitas otot rahim sehingga sering
terjadi kontraksi Braxton Hicks. Menurunnya konsentrasi progesteron akibat
tuanya usia kehamilan menyebabkan oksitosin meningkatkan aktivitas sehingga
persalinan dimulai. Namun pada obesitas, lemak berlebih dalam tubuh akan
diubah menjadi progesteron dan esterogen yang akan mempengaruhi peningkatan
kadar dalam tubuh, sedangkan, seharusnya otot rahim mulai berkontraksi setelah
tercapai tingkat penurunan progesteron tertentu (Mochtar, 2009).

Berdasarkan hasil pemeriksaan subjektif dan objektif Ny. T didiagnosis


obesitas grade 1, hal ini berhubungan dengan KPD, Postdate dan PE yang
didiagnosis pada Ny. T saat ini. Dibandingkan dengan wanita berat badan normal,
risiko dari kehamilan postdate pada wanita dengan obesitas hampir dua kali
lipatnya. Risiko sectio caesarea maupun induksi persalinan pada kehamilan ini,
meningkat bersaman dengan umur ibu dan BMI serta lebih dari dua kali lipatnya
pada wanita berumur ≥35 tahun. Risiko lima kali lipat terlihat pada wanita
primigravida. Dengan kata lain nuliparitas, peningkatan umur ibu dan obesitas
merupakan faktor risiko terkuat untuk kehamilan postdate dan sectio caesarea
maupun induksi persalinan (Roos, et al, 2010).

Saat persalinan Ny.T, ketuban mekoneal, bayi Ny. T tidak menangis


spontan, tonus otot lunglai, kebiruan, Apgar score 7-8. Bayi telah dilakukan isap
lendir dan rangsang taktil. Bayi Ny. T memiliki Ballard score 40, dimana score ini
menunjukkan jika bayi berusia 40 minggu. Terlihat kondisi bayi lanugo tanpa
rambut, garis lipatan telapak kaki sampai 2/3 anterior, testis sudah turun. Serta
tulang telinga kaku, areola terangkat dan penonjolan 3-4 mm. Sesuai dengan
ballard score yang didapatkan bayi Ny.U berusia 40 minggu yang mana artinya
merupakan bayi postdate. Pada persalinan dengan kehamilan postdate dapat
ditemukan ialah gerakan janin yang jarang, yaitu secara subyektif <10-12 kali
dalam 12 jam (Sujiyatini, 2009), USG di temukan AFI ≤ 8cm. Permasalahan
kehamilan lewat waktu terjadi perubahan metabolisme janin, jumlah air ketuban
berkurang dan makin kental. Kurangnya cairan ketuban akibat dari cairan yang
makin mengental pada kehamilan dengan postdate sehingga resiko terjadinya
asfiksia dan abnormal pada jantung janin. Air ketuban berkurang dan makin
kental, akibat kurangnya pasokan oksigen ke janin, janin bisa buang air besar di
dalam rahim yang menyebabkan cairan ketuban berwarna hijau pekat. Cairan
ketuban ini dapat terhisap masuk ke dalam pernafasan bayi, sehingga harus
sergera dihisap kelar agar bayi tidak mengalami gangguan pernafasan (Sumiyati,
2015).
Penyulit selama persalinan Ny. T adalah terjadi kegawatdaruratan yaitu
distosia bahu. Distosia bahu adalah suatu keadaan dimana setelah kepala
dilahirkan, bahu anterior tidak dapat lewat di bawah simfisis pubis. Kondisi ini
merupakan kegawatdaruratan obstetri karena bayi dapat meninggal jika tidak
segera dilahirkan (WHO, 2013). Tatalaksana yang telah dilakukan adalah minta
tolong dan posisikan ibu, sudah dilakukan episiotomi sebelum janin lahir,
melakukan mauver Mc Robert yaitu dengan menekuk kedua kaki secara fleksi ke
arah ibu. Bahu depan bayi dapat lahir. Hal ini sudah sesuai dengan tatalaksana
dari WHO.
Plasenta Ny. T yang tidak dapat lahir secara spontan selama 30 menit dan
telah disertai manajemen aktif kala III, disebut retensio plasenta. Tatalaksana yang
dilakukan adalah dengan melakukan manual plasenta. Manual plasenta adalah
prosedur pelepasan plasenta dari tempat implantasinya pada dinding uterus dan
mengeluarkannya dari kavum uteri secara manual yaitu dengan melakukan
tindakan invasi dan manipulasi tangan penolong persalinan yang dimasukkan
langsung kedalam kavum uteri. Hal ini sudah seuai dengan tatalaksana menurut
WHO yaitu melakukan manual plasenta apabila telah, plasenta tidak lahir setelah
30 menit bayi lahir dan telah dilakukan manajemen aktif kala III (WHO, 2013).
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Komplikasi yang dialami oleh ibu merupakan kumpulan dari berbagai
masalah kebidanan yang terjadi pada ibu saat ini
2. Pada setiap persalinan patologis pertama-tama harus selalu dipikirkan bahwa
hal itu bersumber pada kelainan plasenta, yang bisa membahayakan bagi ibu
dan bayi.
3. Dari kasus pada Ny. “T” dengan PE, KPP, postdate, distosia bahu, retensio
plasenta dan manual plasenta maka dapat disimpulkan bahwa
penatalaksanaan kasus ini sesuai dengan teori sehingga dapat mempercepat
pasien keluar dari rumah sakit.
4. Asuhan kebidanan yang diberikan meliputi pengkajian data subjektif dan
objektif, penegakan diagnosis serta penatalaksanaan yang telah dilaksakan
sesuai dengan konsep dasar asuhan kebidanan.
5.2 Saran
5.2.1 Untuk Petugas
Petugas harus senantiasa melaksanakan tindakan yang sesuai dengan
protap (prosedur tetap) dalam menatalaksana suatu kondisi pada pasien.
Pada kasus ini, protap telah dilakukan dan hal ini harus tetap dipertahankan
agar bisa menatalaksana masalah pasien dengan hasil yang optimal.
5.2.2 Untuk Klien dan Keluarga
Diharapkan ibu dan keluarga lebih kooperatif dalam melaksankan
anjuran yang diberikan oleh dokter/bidan/perawat agar dapat mendukung
asuhan yang diberikan, sehingga masalah ibu dapat segera teratasi dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA

Akhtar, Selina, Selina Begum, dan Sultana Ferdousi, 2011, Calcium and Zinc
Deficiency in Preeclamptic Women, Bangladesh Soc Physiol Ed. 6
halaman 94-99
Angsar, M. Dikman, 2010, “Hipertensi dalam Kehamilan” dalam Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo editor Abdul Bari Saifuddin, Jakarta:
YBPSP
APH Guideliness. 2015. Antepartum haemorrhage (excluding placenta praevia).
Women’s Health Service. Christchurch Women’s Hospital.
Bezerra et al., 2010, Family history of hypertension as an important risk factor for
the development of severe preeclampsia, diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20423274pada tanggal 13
September 2016
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL et al. 2007. Williams Obstetri 21nd.
Jakarta: EGC.
Cunningham, Garry. 2013. Williams Obstetrics, 23rd Ed. Alih bahasa Brahm dkk.
Obstetri Williams, Ed. 23, Vol. 2. Jakarta: EGC
Cunningham, F. G., Et all. 2005. Williams Obstetrics. USA : McGRAW HILL
Cunningham. 2006. Obstetri William. Edisi 21. Jakarta : EGC
Cynthia,D.White, Preeklampsia-Selfcare diakses dari
https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/patientinstructions/000606.htm
pada tanggal 12 September 2016
Depkes RI. 2009. Pedoman Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi dengan Stiker. Jakarta: Depkes RI.
Depkes, RI. 2009. Pedoman program perencanaan persalinan dan pencegahan
komplikasi dengan stiker. Depkes RI. Jakarta.
Doenges, Marilynn E, dan Moorhouse, Mary Frances. 2001. Rencana
Perawatan Maternal/Bayi. Jakarta : EGC
Fraser, Diane M and Cooper,Margaret A. 2009. Myles Buku Ajar Bidan Myles
Buku Ajar Bidan ed.14 alih bahasa Sri Rahayu, Jakarta: EGC
Gilbert, Jeffrey S, Michael J. Ryan, Babbette B. LaMarca, Mona Sedeek, Sydney
R. Murphy, Joey P. Granger, 2008, Pathophysiology of Hypertension
during Preeclampsia: Linking Placental Ischaemia with Endotelial
Dysfungction, American Journal of Physiology - Heart and Circulatory
Physiology Dipublikasi pada 1 Februari 2008 Vol.294 no. 2, Diakses dari
http://ajpheart.physiology.org/content/294/2/H541.long pada tanggal 13
September 2016
Haelterman et al., 2007, Population-based study on occupational risk factors for
preeclampsia and gestational hypertension, diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17717623, pada tanggal 12
September 2016
Indri Maharani. 2012. Hubungan kadar hemoglobin pada perdarahan antepartum
dengan skor apgar. Karya Tulis Ilmiah. Jurnal Media Medika Muda. UNDIP.
Semarang.
Institute of Obstetricians and Gynaecologists, Royal College of Physicians of
Ireland dan Clinical Strategy and Programmes Directorate, Health Service
Executive, 2013, The Diagnosis and Management of Pre-Eclampsia and
Eclampsia Clinical Practice Guideline, diakses dari
http://www.hse.ie/eng/about/Who/clinical/natclinprog/obsandgynaeprogram
me/guideeclamspsia.pdfhttp://www.hse.ie/eng/about/Who/clinical/natclinpro
g/obsandgynaeprogramme/guideeclamspsia.pdf
Kemenkes RI. 2013. Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
Rujukan . Jakarta
Leveno KJ, Cunningham FG, Bloom SL et al. 2009. Obstetri Williams Panduan
Ringkas. Jakarta: EGC.
Londok THM, Lengkong RA, Suparman. 2013. Karakteristik perdarahan
antepartum dan perdarahan postpartum. Jurnal e-Biomedik.
Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. 2010. Pengantar Kuliah Obstetri.
Jakarta: EGC
Manuaba, Ida Bagus Gde. 2007. Pengantar kuliah obstetric. EGC. Jakarta.
Marmin, dkk. 2011. Asuhan Kebidanan Patologi. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Matsuo et al., 2007, Late postpartum eclampsia: report of two cases managed by
uterine curettage and review of the literature. Am J Perinatol. 2007;24:257–266
Norwitz dan Schorge. 2007. Obstetric Gynekologi At A Glance. Alih bahasa Diba
Artisyanti. At A Glance Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Erlangga
Norwitz, Errol. R, dkk. 2007. At Glance Obstetri dan Ginekologi edisi kedua.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Nugroho, Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika
Nurasiah, A; Ani, R; Dewi, L.B. 2012. Asuhan Persalinan Normal Bagi Bidan.
Bandung: PT. Refika Aditama
Oxorn, H dan Forte, W. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi & Fisiologi Persalinan.
Yogyakarta: C.V Andi Offset
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Diagnosis dan Tata laksana
Preeklampsia. 2016. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Himpunan Kedokteran Feto Maternal.
Pertiwi Wara. 2014. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu Untuk
Mendukung Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu. Jakarta:Kemenkes RI.
Petchey, Louisa, 2011, IVF increases risk of Preeclampsia by 40 percent, diakses
dari http://www.bionews.org.uk/page_110221.asp pada tanggal 13
September 2016
Powe, Camile et al, 2011, Preeclampsia, a Disease of the Maternal Endothelium,
diakses dari CrossRefMedlineGoogle
Scholarhttp://circ.ahajournals.org/content/123/24/2856.full pada tanggal 13
September 2016
Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta :s PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Roberts et al., 2003, Nutrient involvement in preeclampsia, diakses dari
http://jn.nutrition.org/content/133/5/1684S.full pada tanggal 12 September
2016
Roberts, James, Cuningham, Marshal Lindheimer, 2009, Chesley's Hypertensive
Disorders in Pregnancy: Edition 3, San Diego: Academic Press
RS Dr Soetomo, 2008, “Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya.
Saifuddin. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Sibai, B.M. et al, 2014, Risk factors associated with preeclampsia in healthy
nulliparous women diakses dari
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0002937897700048 pada
tanggal 14 September 2016
Sofian, Amru. 2011, Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi, Ed. 3, Jilid 1., Jakarta
:EGC
Sondakh, Jenny. 2013. Asuhan Kebidanan Persalinan & Bayi Baru Lahir. Jakarta:
Erlangga
Steehman-Breen, 2002, Increased risk of preeclampsia among nulliparous
pregnant women with idiopathic hematuria diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12237651Am J Obstet Gynecol.pada
tanggal 13 September 2016
Sujiyatini; Mufdillah; Asri, H. 2009. Asuhan Patologi Kebidanan. Yogyakarta:
Nuha Medika
Sunarsih, Priska. 2015. Hubungan usia dan paritas ibu hamil dengan kejadian
perdarahan antepartum di RSUD Abdoel Moeloek Bandar Lampung tahun
2013. Jurnal Kebidanan.
Tanneta, Dione dan Ian Sargent, 2013, Placental Disease and the Maternal
Syndrome of Preeclampsia: Missing Links?, diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3838579/ pada tanggal
14September 2016
Tubbergen et al., 1999, Change in paternity: a risk factor for preeclampsia in
multiparous women? Diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10660264 pada tanggal 14
September 2016
Varney, H. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC
Varney, Helen, et al. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan volume 2. Jakarta : EGC
Wardana G A. 2007. Faktor Resiko Plasenta Previa.
Wiknjosastro, Hanifa. 2010. Ilmu kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai