BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN/TEORI-TEORI TENTANG HUBUNGAN HUKUM
DAN KEBUDAYAAN.
1. Mazhab Sejarah dan Kebudayaan
Mazhab sejarah dan kebudayaan, menekankan bahwa hukum hanya dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah dan kebudayaan di mana hukum tersebut timbul. Tokoh yang terkemuka dari mazhab ini adalah Friederich Karl Von Savigny (1779- 1861) yang dianggap sebagai pencipta ilmu sejarah hukum. Von Savigny berpendapat bahwa semua hukum berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bahkan tidak berasal dari pembentuk undang-undang. Beliau melihat yang dimaksud hukum itu ditentukan dan bukan dibuat, ia ditentukan dalam kehidupan sosial, ia lahir berkembang dalam masyarakat secara dinamis. Konsep Von Savigny tentang hukum dalam kehidupan sosial, barangkali akan mendapat pemahaman dalam mempelajari hukum adat di Indonesia. Kelemahan pokok teori Von Savigny terletak pada konsepnya mengenai kesadaran hukum. Apakah kesadaran hukum benar-benar ada, dan kalau ada sampai sejauh manakah pentingnya dalam membentuk hukum? Kemudian timbul pula pertanyaan apakah hukum hanya merupakan pencerminan daripada kesadaran yang berlaku umum, atau apakah justru hukumlah yang membentuk kedasaran tersebut? Walaupun mengandung beberapa kelemahan, tetapi teori Von Savigny dapat dianggap sebagai langkah utama ke arah pengembangan konsep-konsep sosial mengenai sistem hukum. 2. Aliran Sociological Jurisprudence Pelopor dari aliran ini yaitu Seorang ahli hukum dari Austria yaitu Eugen Ehrlich di tahun 1862-1922. Konsep tentang “the living law” untuk pertama kali dikemukakan oleh Ehrlich pada Tahun 1913 sebagai reaksi atas pandangan dalam ilmu hukum yang bersifat legalitas yang terlalu mengutamakan peraturan hukum yang termuat dalam peraturan perundang-undangan tetapi terlalu mengabaikan gejala-gejala hukum yang tumbuh dalam masyarakat. Teori Ehrlich pada umumnya berguna sebagai bantuan untuk lebih memahami hukum, akan tetapi sulitnya adalah untuk menentukan ukuran- ukuran apakah yang dapat dipakai untuk menentukan bahwa suatu kaedah hukum benar-benar merupakan hukum yang hidup. Konsep Ehrlich dapat dimanfaatkan dalam pendekatan hukum terhadap negara-negara yang mengalami dua dimensi hukum yang bisa memberi perwadahan untuk masyarakat tertentu termasuk Indonesia. Hukum adat sebagai “the living law” merupakan pola hidup kemasyarakatan tempat di mana hukum itu berproses dan sekaligus merupakan hasil daripada proses kemasyarakatan yang merupakan sumber dan dasar dari hukum tersebut. Persamaan antara metode pendekatan Ehrlich dengan Savigny terletak pada ditekankannya “hukum yang hidup dalam masyarakat” yang didasarkan pada tindak tanduk dalam kehidupan sosial, lebih daripada norma didasarkan pada norma negara yang bersifat memaksa, norma-norma yang ditaati masyarakat, baik mengenai kebiasaan yang bersifat keagamaan, kehidupan berumah tangga maupun hubungan perniagaan, hukum waris, adalah hukum walaupun tidak dirumuskan oleh norma negara. 3. Teori Hukum Pembangunan Teori hukum pembangunan ini dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa “Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif, artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasilhasil yang harus dipelihara, dilindungi, dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam difinisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan” Oleh karena itu, Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan tujuan pokok hukum adalah ketertiban dan tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya. Lebih lanjut Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa hukum diharapkan agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” atau “law as a tool of social engeneering” atau “sarana pembangunan”. 4. Teori Sistem Hukum Teori Sistem Hukum dari Lawrence M Friedman memandang bahwa sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu: a. Struktur hukum (legal structure) : Struktur hukum adalah kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. b. Substansi hukum (legal substance) : Substansi hukum adalah aturan-aturan, norma-norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun. c. Budaya hukum (legal culture) : Budaya Hukum adalah sikap - sikap dan nilai- nilai yang ada hubungannya dengan hukum atau sistem hukum, berikut sikap- sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum dan institusi hukum, positif maupun negative. 5. Teori Hukum Responsif Teori hukum responsif adalah model atau teori yang digagas Nonet-Selznick. Teori ini berupaya untuk menemukan jalan menuju perubahan agar hukum dapat mengatasi persoalan-persoalan berkaitan dengan hukum dan masyarakat. Teori Hukum Responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. maka melalui hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum responsif ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubaan-perubahan sosial demi mencapai keberhasilan dan emansipasi publik. 6. Teori Hukum Progresif Teori Hukum Progresif, tidak lepas dari gagasan Profesor Satjipto Rahardjo. Teori Hukum Progresif menurut pemikiran Satjipto Rahardjo menempatkan manusia sebagai dasar penentu dan titik orientasi hukum atau pemikiran hukum dikembalikan pada filosofi dasarnya yaitu hukum untuk manusia. Oleh karena hukum itu bertugas untuk melayani manusia dan bukan sebaliknya. Hukum progresif menempatkan etika atau moral dan akal yang berhati nurani sebagai unsur perilaku (behavior) manusia untuk membangun hukum, terutama para aparat penegak hukum.
BAB V BUDAYA HUKUM SEBAGAI UNSUR DALAM SISTEM HUKUM.
1. Pengertian Budaya Hukum
Budaya hukum ini oleh Friedman disebut dengan “bensinnya motor keadilan” yang selanjutnya dirumuskan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh positif dan negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Demikian juga kesenangan dan ketidak senangan berperkara adalah bagian dari budaya hukum. Dengan demikian mengacu dari pendapat Friedman apa yang dimaksud dengan budaya hukum adalah: keseluruhan sikap masyarakat dan sistem nilai yang ada pada masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Atau keseluruhan faktorfaktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima di dalam kerangka budaya masyarakat. Dengan demikian budaya hukum akan berfungsi sebagai “jiwa” yang akan menghidupkan seluruh mekanisme hukum, akan tetapi juga dapat “mematikan” seluruh mekanisme pelaksanaan hukum yang ditetapkan untuk berlaku dalam masyarakat. Selain itu melalui budaya hukum kita akan dapat melakukan monitoring terhadap tingkat pelaksanaan atau penegakkan hukum dalam masyarakat, apakah hukum itu efektif atau tidak. Dengan melihat komponen-komponen dalam sistem hukum yang saling mempengaruhi, maka akan dapat dikaji bagaimana beroperasinya hukum dalam praktek sehari-hari. Hukum adalah bagian dari kebudayaan dan masyarakat, oleh karenanya kita tidak mungkin mengkaji hukum secara terisolasi tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Secara khusus budaya hukum adalah bagian dari kekuatan-kekuatan sosial tersebut, yang dapat memberi masukan, menjadi penggerak, dan selanjutnya memberi out put kepada sistem hukum. 2. Tipe Budaya Hukum Masyarakat majemuk seperti masyarakat kita, yang terdiri dari berbagai suku, budaya dan agama, tentu akan memiliki budaya hukum yang beraneka ragam. Semuanya itu akan memperkaya khasanah budaya dalam menyikapi hukum yang berlaku, baik di lingkungan kelompok masyarakatnya maupun berpengaruh secara nasional. secara umum budaya hukum dapat dikelompokkan dalam tiga wujud perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat yaitu: Hilman Hadikusuma mengemukakan 3 (tiga) tipe budaya hukum sebagai berikut: a. Budaya Parokial/Picik (parochial culture); Pada masyarakat parokial (picik), cara berpikir para anggota masyarakatnya masih terbatas, tanggapannya terhadap hukum hanya terbatas dalam lingkungannya sendiri. Masyarakat demikian masih bertahan pada tradisi hukumnya sendiri, kaidah-kaidah hokum yang telah digariskan leluhur merupakan azimat yang pantang diubah. Jika ada yang berperilaku menyimpang, akan mendapat kutukan. b. Budaya Subjek (takluk); Dalam masyarakat budaya subjek (takluk), cara berpikir anggota masyarakat sudah ada perhatian, sudah timbul kesadaran hukum yang umum terhadap keluaran dari penguasa yang lebih tinggi. Masukan dari masyarakat masih sangat kecil atau belum ada sama sekali. Ini disebabkan pengetahuan, pengalaman dan pergaulan anggota masyarakat masih terbatas dan ada rasa takut pada ancaman- ancaman tersembunyi dari penguasa. Tipe masyarakat yang bersifat menaklukkan diri ini, menganggap dirinya tidak berdaya mempengaruhi, apalagi berusaha mengubah sistem hukum, norma hukum yang dihadapinya, walaupun apa yang dirasakan bertentangan dengan kepentingan pribadi dan masyarakatnya c. Budaya Partisipan (berperan serta). ada masyarakat budaya partisipan (berperan serta), cara berpikir dan berperilaku anggota masyarakatnya berbeda-beda. Ada yang masih berbudaya takluk, namun sudah banyak yang merasa berhak dan berkewajiban berperan serta karena ia merasa sebagai bagian dari kehidupan hukum yang umum. Disini masyarakat sudah merasa mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Ia tidak mau dikucilkan dari kegiatan tanggapan terhadap masukan dan keluaran hukum, ikut menilai setiap peristiwa hukum dan peradilan, merasa terlibat dalam kehidupan hukum baik yang menyangkut kepentingan umum maupun kepentingan keluarga dan dirinya sendiri. Biasanya dalam masyarakat demikian, pengetahuan dan pengalaman anggotanya sudah luas, sudah ada perkumpulan organisasi, baik yang susunannya berdiri sendiri maupun yang mempunyai hubungan dengan daerah lain dan dari atas ke bawah. 3. Kesadaran Hukum bagian dari Budaya Hukum Menurut Profesor Soerjono Soekanto faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu: hukum itu sendiri, penegak hukum, sarana atau fasilitas, masyarakat, dan kebudayaan. Masyarakat dan kebudayaan tak lain adalah dwitunggal dalam elemen budaya hukum yang memiliki pengaruh amat penting dalam bekerjanya sebuah sistem besar, bernama sistem hukum. Maka tak heran jika ahli-ahli hukum tersohor, seperti Krabbe dan Kranenburg, mengatakan jika budaya dan kesadaran hukum adalah satu-satunya sumber dan kekuatan mengikat dari hukum. Hukum yang dibuat pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai, pandangan serta sikap dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum diabaikan, maka dapat dipastikan akan terjadi kegagalan dari sistem hukum modern yang ditandai dengan munculnya berbagai gejala seperti : Kekeliruan informasi mengenai isi peraturan hukum yang ingin disampaikan kepada masyarakat, Muncul perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh undang-undang dengan praktek yang dijalankan oleh masyarakat, Masyarakat lebih memilih untuk tetap bertingkah laku sesuai dengan apa yang telah menjadi nilai-nilai dan pandangan dalam kehidupan mereka. Lebih lanjut Syamsudin berdasarkan pendapat Soekanto dan Taneko menunjukkan indikator-indikator kesadaran hukum tersebut adalah sebagai berikut : a. Pengetahuan orang tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness); b. Pengetahuan orang tentang isi peraturan hukum (law acquaintance); c. Sikap orang terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude); d. Pola perilaku hukum (legal behavior).
Jadi untuk mengetahui sekaligus mengukur kesadaran hukum orang (masyarakat)
yang mengindikasikan pula tingkat budaya hukum masyarakat dapat diketahui lewat empat indikator tersebut.