Anda di halaman 1dari 5

NAMA : NYOMAN KINANDARA ANGGARITA

NIM : 1704551133

MATA KULIAH : ANTROPOLOGI HUKUM

KELAS : C

RINGKASAN TENTANG BAB II DAN BAB V BUKU AJAR

“MEMAHAMI HUKUM DAN KEBUDAYAAN”

BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN/TEORI-TEORI TENTANG HUBUNGAN HUKUM


DAN KEBUDAYAAN.

1. Mazhab Sejarah dan Kebudayaan


Mazhab sejarah dan kebudayaan, menekankan bahwa hukum hanya dapat dimengerti
dengan menelaah kerangka sejarah dan kebudayaan di mana hukum tersebut timbul.
Tokoh yang terkemuka dari mazhab ini adalah Friederich Karl Von Savigny (1779-
1861) yang dianggap sebagai pencipta ilmu sejarah hukum. Von Savigny berpendapat
bahwa semua hukum berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bahkan tidak
berasal dari pembentuk undang-undang. Beliau melihat yang dimaksud hukum itu
ditentukan dan bukan dibuat, ia ditentukan dalam kehidupan sosial, ia lahir
berkembang dalam masyarakat secara dinamis. Konsep Von Savigny tentang hukum
dalam kehidupan sosial, barangkali akan mendapat pemahaman dalam mempelajari
hukum adat di Indonesia. Kelemahan pokok teori Von Savigny terletak pada
konsepnya mengenai kesadaran hukum. Apakah kesadaran hukum benar-benar ada,
dan kalau ada sampai sejauh manakah pentingnya dalam membentuk hukum?
Kemudian timbul pula pertanyaan apakah hukum hanya merupakan pencerminan
daripada kesadaran yang berlaku umum, atau apakah justru hukumlah yang
membentuk kedasaran tersebut? Walaupun mengandung beberapa kelemahan, tetapi
teori Von Savigny dapat dianggap sebagai langkah utama ke arah pengembangan
konsep-konsep sosial mengenai sistem hukum.
2. Aliran Sociological Jurisprudence
Pelopor dari aliran ini yaitu Seorang ahli hukum dari Austria yaitu Eugen Ehrlich di
tahun 1862-1922. Konsep tentang “the living law” untuk pertama kali dikemukakan
oleh Ehrlich pada Tahun 1913 sebagai reaksi atas pandangan dalam ilmu hukum yang
bersifat legalitas yang terlalu mengutamakan peraturan hukum yang termuat dalam
peraturan perundang-undangan tetapi terlalu mengabaikan gejala-gejala hukum yang
tumbuh dalam masyarakat. Teori Ehrlich pada umumnya berguna sebagai bantuan
untuk lebih memahami hukum, akan tetapi sulitnya adalah untuk menentukan ukuran-
ukuran apakah yang dapat dipakai untuk menentukan bahwa suatu kaedah hukum
benar-benar merupakan hukum yang hidup. Konsep Ehrlich dapat dimanfaatkan
dalam pendekatan hukum terhadap negara-negara yang mengalami dua dimensi
hukum yang bisa memberi perwadahan untuk masyarakat tertentu termasuk Indonesia.
Hukum adat sebagai “the living law” merupakan pola hidup kemasyarakatan tempat
di mana hukum itu berproses dan sekaligus merupakan hasil daripada proses
kemasyarakatan yang merupakan sumber dan dasar dari hukum tersebut. Persamaan
antara metode pendekatan Ehrlich dengan Savigny terletak pada ditekankannya
“hukum yang hidup dalam masyarakat” yang didasarkan pada tindak tanduk dalam
kehidupan sosial, lebih daripada norma didasarkan pada norma negara yang bersifat
memaksa, norma-norma yang ditaati masyarakat, baik mengenai kebiasaan yang
bersifat keagamaan, kehidupan berumah tangga maupun hubungan perniagaan,
hukum waris, adalah hukum walaupun tidak dirumuskan oleh norma negara.
3. Teori Hukum Pembangunan
Teori hukum pembangunan ini dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Mochtar
Kusumaatmadja menyatakan bahwa “Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara
ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah
konservatif, artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah
tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat
yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasilhasil yang harus dipelihara,
dilindungi, dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang
dalam difinisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup
memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan
masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi
pemeliharaan ketertiban dalam arti statis dan menekankan sifat konservatif dari
hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang
berarti dalam proses pembaharuan” Oleh karena itu, Mochtar Kusumaatmadja
mengemukakan tujuan pokok hukum adalah ketertiban dan tercapainya keadilan yang
berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya. Lebih lanjut
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa hukum diharapkan agar berfungsi lebih
daripada itu yakni sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” atau “law as a tool of
social engeneering” atau “sarana pembangunan”.
4. Teori Sistem Hukum
Teori Sistem Hukum dari Lawrence M Friedman memandang bahwa sistem hukum
terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu:
a. Struktur hukum (legal structure) : Struktur hukum adalah kerangka, bagian yang
tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap
keseluruhan instansi-instansi penegak hukum.
b. Substansi hukum (legal substance) : Substansi hukum adalah aturan-aturan,
norma-norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu
termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum
itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka
susun.
c. Budaya hukum (legal culture) : Budaya Hukum adalah sikap - sikap dan nilai-
nilai yang ada hubungannya dengan hukum atau sistem hukum, berikut sikap-
sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh kepada tingkah laku yang
berkaitan dengan hukum dan institusi hukum, positif maupun negative.
5. Teori Hukum Responsif
Teori hukum responsif adalah model atau teori yang digagas Nonet-Selznick. Teori
ini berupaya untuk menemukan jalan menuju perubahan agar hukum dapat mengatasi
persoalan-persoalan berkaitan dengan hukum dan masyarakat. Teori Hukum
Responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum.
Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui
subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang
terdapat dalam peraturan dan kebijakan. maka melalui hukum responsif,
menempatkan hukum sebagai sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan
aspirasi publik sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum responsif ini
mengedepankan akomodasi untuk menerima perubaan-perubahan sosial demi
mencapai keberhasilan dan emansipasi publik.
6. Teori Hukum Progresif
Teori Hukum Progresif, tidak lepas dari gagasan Profesor Satjipto Rahardjo. Teori
Hukum Progresif menurut pemikiran Satjipto Rahardjo menempatkan manusia
sebagai dasar penentu dan titik orientasi hukum atau pemikiran hukum dikembalikan
pada filosofi dasarnya yaitu hukum untuk manusia. Oleh karena hukum itu bertugas
untuk melayani manusia dan bukan sebaliknya. Hukum progresif menempatkan etika
atau moral dan akal yang berhati nurani sebagai unsur perilaku (behavior) manusia
untuk membangun hukum, terutama para aparat penegak hukum.

BAB V BUDAYA HUKUM SEBAGAI UNSUR DALAM SISTEM HUKUM.

1. Pengertian Budaya Hukum


Budaya hukum ini oleh Friedman disebut dengan “bensinnya motor keadilan” yang
selanjutnya dirumuskan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan
pengaruh positif dan negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum.
Demikian juga kesenangan dan ketidak senangan berperkara adalah bagian dari
budaya hukum. Dengan demikian mengacu dari pendapat Friedman apa yang
dimaksud dengan budaya hukum adalah: keseluruhan sikap masyarakat dan sistem
nilai yang ada pada masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum
itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Atau keseluruhan faktorfaktor yang
menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat
diterima di dalam kerangka budaya masyarakat. Dengan demikian budaya hukum
akan berfungsi sebagai “jiwa” yang akan menghidupkan seluruh mekanisme hukum,
akan tetapi juga dapat “mematikan” seluruh mekanisme pelaksanaan hukum yang
ditetapkan untuk berlaku dalam masyarakat. Selain itu melalui budaya hukum kita
akan dapat melakukan monitoring terhadap tingkat pelaksanaan atau penegakkan
hukum dalam masyarakat, apakah hukum itu efektif atau tidak. Dengan melihat
komponen-komponen dalam sistem hukum yang saling mempengaruhi, maka akan
dapat dikaji bagaimana beroperasinya hukum dalam praktek sehari-hari. Hukum
adalah bagian dari kebudayaan dan masyarakat, oleh karenanya kita tidak mungkin
mengkaji hukum secara terisolasi tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan sosial
yang ada dalam masyarakat. Secara khusus budaya hukum adalah bagian dari
kekuatan-kekuatan sosial tersebut, yang dapat memberi masukan, menjadi penggerak,
dan selanjutnya memberi out put kepada sistem hukum.
2. Tipe Budaya Hukum
Masyarakat majemuk seperti masyarakat kita, yang terdiri dari berbagai suku, budaya
dan agama, tentu akan memiliki budaya hukum yang beraneka ragam. Semuanya itu
akan memperkaya khasanah budaya dalam menyikapi hukum yang berlaku, baik di
lingkungan kelompok masyarakatnya maupun berpengaruh secara nasional. secara
umum budaya hukum dapat dikelompokkan dalam tiga wujud perilaku manusia dalam
kehidupan masyarakat yaitu:
Hilman Hadikusuma mengemukakan 3 (tiga) tipe budaya hukum sebagai berikut:
a. Budaya Parokial/Picik (parochial culture);
Pada masyarakat parokial (picik), cara berpikir para anggota masyarakatnya masih
terbatas, tanggapannya terhadap hukum hanya terbatas dalam lingkungannya
sendiri. Masyarakat demikian masih bertahan pada tradisi hukumnya sendiri,
kaidah-kaidah hokum yang telah digariskan leluhur merupakan azimat yang
pantang diubah. Jika ada yang berperilaku menyimpang, akan mendapat kutukan.
b. Budaya Subjek (takluk);
Dalam masyarakat budaya subjek (takluk), cara berpikir anggota masyarakat
sudah ada perhatian, sudah timbul kesadaran hukum yang umum terhadap
keluaran dari penguasa yang lebih tinggi. Masukan dari masyarakat masih sangat
kecil atau belum ada sama sekali. Ini disebabkan pengetahuan, pengalaman dan
pergaulan anggota masyarakat masih terbatas dan ada rasa takut pada ancaman-
ancaman tersembunyi dari penguasa. Tipe masyarakat yang bersifat menaklukkan
diri ini, menganggap dirinya tidak berdaya mempengaruhi, apalagi berusaha
mengubah sistem hukum, norma hukum yang dihadapinya, walaupun apa yang
dirasakan bertentangan dengan kepentingan pribadi dan masyarakatnya
c. Budaya Partisipan (berperan serta).
ada masyarakat budaya partisipan (berperan serta), cara berpikir dan berperilaku
anggota masyarakatnya berbeda-beda. Ada yang masih berbudaya takluk, namun
sudah banyak yang merasa berhak dan berkewajiban berperan serta karena ia
merasa sebagai bagian dari kehidupan hukum yang umum. Disini masyarakat
sudah merasa mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam
hukum dan pemerintahan. Ia tidak mau dikucilkan dari kegiatan tanggapan
terhadap masukan dan keluaran hukum, ikut menilai setiap peristiwa hukum dan
peradilan, merasa terlibat dalam kehidupan hukum baik yang menyangkut
kepentingan umum maupun kepentingan keluarga dan dirinya sendiri. Biasanya
dalam masyarakat demikian, pengetahuan dan pengalaman anggotanya sudah luas,
sudah ada perkumpulan organisasi, baik yang susunannya berdiri sendiri maupun
yang mempunyai hubungan dengan daerah lain dan dari atas ke bawah.
3. Kesadaran Hukum bagian dari Budaya Hukum
Menurut Profesor Soerjono Soekanto faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum, yaitu: hukum itu sendiri, penegak hukum, sarana atau fasilitas, masyarakat,
dan kebudayaan. Masyarakat dan kebudayaan tak lain adalah dwitunggal dalam
elemen budaya hukum yang memiliki pengaruh amat penting dalam bekerjanya
sebuah sistem besar, bernama sistem hukum. Maka tak heran jika ahli-ahli hukum
tersohor, seperti Krabbe dan Kranenburg, mengatakan jika budaya dan kesadaran
hukum adalah satu-satunya sumber dan kekuatan mengikat dari hukum. Hukum yang
dibuat pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai,
pandangan serta sikap dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum
diabaikan, maka dapat dipastikan akan terjadi kegagalan dari sistem hukum modern
yang ditandai dengan munculnya berbagai gejala seperti : Kekeliruan informasi
mengenai isi peraturan hukum yang ingin disampaikan kepada masyarakat, Muncul
perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh undang-undang dengan praktek yang
dijalankan oleh masyarakat, Masyarakat lebih memilih untuk tetap bertingkah laku
sesuai dengan apa yang telah menjadi nilai-nilai dan pandangan dalam kehidupan
mereka. Lebih lanjut Syamsudin berdasarkan pendapat Soekanto dan Taneko
menunjukkan indikator-indikator kesadaran hukum tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pengetahuan orang tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness);
b. Pengetahuan orang tentang isi peraturan hukum (law acquaintance);
c. Sikap orang terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude);
d. Pola perilaku hukum (legal behavior).

Jadi untuk mengetahui sekaligus mengukur kesadaran hukum orang (masyarakat)


yang mengindikasikan pula tingkat budaya hukum masyarakat dapat diketahui lewat
empat indikator tersebut.

Anda mungkin juga menyukai