Anda di halaman 1dari 35

Kerajaan Gowa adalah salah satu kerajaan yang pernah ada di Indonesia (Nusantara)

yang perna peran penting dikawasan timur nusantara. Kerajaan ini tidak hanya terkenal
sebagai kerajaan yang berorientasi sektor pertanian, melainkan juga memanfaatkan laut
sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan perekonomian di kawasan
timur. Atau dalam bahasa lain Kerajaan Gowa memanfaatkan darat dan laut. Bahkan
munculnya pelabuhan Somba Opu sebagai bandar transito memberikan satu efek yang
luar biasa bagi perkembangan ekonomi Kerajaan Gowa. Hal ini dilihat dari; pertama,
letak strategis Kerajaan Gowa yang berada di antara jalur pelayaran dan perdagangan
Malaka dan Maluku. Kedua, hasil bumi Kerajaan Gowa seperti padi (beras), kapas, pala,
ikan, teripang dan kulit penyu.Beberapa hasil bumi Kerajaan Gowa juga ditukarkan
dengan rempah-rempah di Maluku.Ketiga, politik pintu terbuka yang dijalankan Kerajaan
Gowa. Di mana semua pedagang dari Melayu, Arab, India, China, Belanda, Spanyol,
Portugis, Denmark dan Inggris diberikan kesempatan yang sama dalam berdagang.
Sebenarnya,kemunculan Kerajaan Gowa sebagai negara niaga, paling tidak sudah
nampak sejak dekade pertama abad XVI yang untuk sebagian besarnya adalah efek dari
kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511.Dimana saat Malaka takluk,
banyak pedagang dari Malaka ke tempat-tempat lain termasuk Kerajaan Gowa, dalam hal
ini pelabuhan Somba Opu. (Abd. Kadir Ahmad, 2004 : 45).
Beberapa peneliti memperkirakan awal kemunculannya dalam dunia perdagangan
pada masa pemerintahan Raja Gowa ke IX, Karaeng Tumaparisi Kallonna.Dugaan itu
didasarkan atas tiga faktor. Pertama, sebelum masa pemerintahannya istana raja dan
pusat pemerintahan berada di Tamalatea (wilayah Sungguminasa) yang terletak jauh dari
wilayah pantai sekitar enam kilometer. Hal ini dipandang sebagai faktor yang
menunjukkan bahwa kerajaan itu beriorentasi ke dunia agraris. Kedua, raja ini mengawali
pemindahan istana dan pusat pemerintahan istana dan pusat pemerintah ke Benteng
Somba Opu yang dibangun di pesisir dekat muara Sungai Jeneberang. Wilayah Somba
Opu ini yang dijadikan Bandar niaga kerajaan, sehingga dipandang sebagai awal kerajaan
itu terlibat dalam dunia niaga. Ketiga pada masa pemerintahaanya diciptakan satu jabatan
baru yang dikenal sebagaiSyahbandar yang bertugas mengatur lalu lintas niaga dan pajak
perdagangangan di pelabuhan.(H.D. Mangemba, 1972 : 1; Abd. Razak Daeng Patunru,
1993 : 11-12).
Apa yang mendorong raja ini mengalihkan perhatiannya pada dunia niaga tidak
diketahui dengan pasti. Akan tetapi bila memperhatikan latar belakang perkembangan
niaga di wilayah ini, usaha yang dilakukannya dapat diperkirakan terdorong oleh
besarnya keuntungan ekonomi dalam dunia niaga. Latar belakang keluarga Karaeng
Tumaparisi Kallonna memiliki pertalian darah dengan keluarga pedagang ibunya, I
Rerasi, adalah putri pedagang kapur dari daerah utara yang mengunjungi kerajaan
tersebut pada masa pemerintahan Raja Gowa ke XVII, Batara Gowa. Dalam hubungan ini
ia tentunya di pengaruhi oleh jiwa dagang yang diwarisnya dan keadaan kegiatan
keluarganya.
Langkah awal yang ditempuh Kerajaan Gowa dalam mengembangkan pengaruh
kekuasaannya, yaitu menaklukan kerajaan saudara dan tetangganya yaitu Tallo dan
sekutu-sekutunya seperti Maros dan Polombangkeng yang telah lama bergiat dalam dunia
niaga. Kemudian kerajaan Gowa memperluas pengaruh kekuasaannya dengan
menaklukan kerajaan-kerajaan lainnya seperti Garassi, Katingang, Parigi, Siang, Suppa,
Sidenreng, Lembangang, Bulukumba, dan Selayar. Sementara bekas sekutu Tallo (Maros
dan Polombangkeng) dan beberapa kerajaan yang kuat seperti Salumeko, Bone dan Luwu
dijalin perjanjian persahabatan. Politik perluasan kekuasaan itu terkandung harapan
bahwa kerajaan-kerajaan itu nantinya akan mengalihkan kegiatan perniagaan mereka ke
Bandar niaga Kerajaan Gowa. (Abd. Razak Daeng Patunru, 1993 : 13).
Pada dasarnya kerajaan itu melakukan hubungan niaga dengan Gowa, akan tetapi
mereka tetap bergiat mengembangkan bandar niaga mereka masing-masing keadaan itu
dipandang meghambat usaha untuk mengembangkan dan memajukan perniagaan,
sehingga ketika Tunipallagga menduduki tahta dilaksanakan penaklukan terhadap
kerajaan-kerajaan di wilayah pesisir seperti; Siang, Bacukiki, Suppa, Sidenreng, Bajeng,
Langkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, Lamatti, Wajo, Panaikang, Duri,
Bulukumba, berbagai kerajaan kecil disekitar Bone, dan kerajaan lainnya. Berbeda
dengan pendahulunya, raja ini dinyatakan memaksakan kerajaan-kerajaan yang
ditaklukan untuk mengangkut penduduk dan harta bendanya ke Gowa.Penduduk wilayah
taklukan yang diangkut itu ditempatkan di sekitar Pelabuhan Tallo dan Pelabuhan Somba
Opu. Kehadiran mereka itu bukan hanya meningkatkan jumlah penduduk tetapi yang
terpenting adalah untuk memanfaatkan keahlian mereka, terutama yang telah
berpengalaman dan bergiat pada pusat-pusat perdagangan asal mereka, untuk memajukan
Bandar niaga Kerajaan Gowa. Kebijaksanaan itu berarti bukan semata-mata dutujukan
untuk mengeksploitasi tenaga dan barang tetapi juga berusaha memanfaatkan serta
mengalihkan kemampuan dan teknologi dari kerajaan-kerajaan taklukan. Itulah sebabnya
pada periode pemerintahannya terjadi perubahn dalam bidang organisasi politik, ekonomi
dan sosial. Daerah-daerah yang ditaklukkan tersebut disamping penduduknya bergiat
dalam bidang niaga juga dikenal sebagaidaerah yang kaya akan produksi pertanian,
peternakan, dan perikanan. Seperti diungkapkan Manoel Pinto ketika mengunjungi
Sidenreng pada tahun 1548:
“Menurut saya negri ini yang paling baik yang pernah saya lihat di dunia, karena
daerahnya berupa daratan dimana padi, ternak, ikan dan buah-buahan berlimpah-
ruah. Kotanya terletak di tepi danau dan dimana perahu-perahu besar dan kecil,
berlayar simpang siur. Di sekeliling danau itu terdapat pula kota-kota yang makmur.
Demikian juga dengan kerajaan lainnya, seperti Pangkajene (Siang) dan Suppa.
Bahkan penduduk Kerajaan yang ditaklukkan dimanfaatkan sebagai tenga kerja kasar
ataupun dijual sebagai budak. Budak merupakan salah satu komoditi perdagangan yang
tidak kalah pentingnya pada waktu itu, baik untuk digunakan sebagai tenaga pendayung,
pengangkutbeban ataupun kegiatan kerja lainnya. Hal ini pula merupakan salah satu
faktor yang menempatkan daerah Makassar pada masa itu sebagai pusat perdagangan
budak, disampingorang-orang curian serta pengeksporan kembali budak-budak yang
berasal dari Kalimantan, Timor, Manggarai, Solor, Alor, dan Tanimbar. (Christian
Pelras, 1983 : 60-61).
Politik perluasan kekuasaan dan besarnya perhatian yang dilandasi oleh sikap terbuka
dari penguasa Gowa terhadap kehidupan perniagaan akhirnya berhasil menempatkan
Makassar sebagai satu-satunya pusat perdagangan dan pangkalan kegiatan maritim di
wilayah itu. Disamping itu tidak dapat diabaikan begitu saja para pedagang dan pelaut
yang melakukan aktifitas niaga disana, yang telah berhasil menjadikan Makassar sebagai
Bandar niaga tempat pemasaran produksi perdagangan. Karena itu pelabuhan Makassar
tampil sebagai bandar utama mereka dalam hubungan dengan bandar niaga lain.
Kemajuan yang dicapai itu ternyata tidak memberikan kepuasan bagi pedagang
Belanda. Ini disebabkan karena pihak Belanda tidak menginginkan keberadaan pedagang
Eropa dalam perdagangan rempah-rempah di Makassar. Bagi pihak Belanda yang telah
menanamkan kekuasaannya setelah mengusir Portugis dan Spanyol melakukan gangguan
terhadap perahu dagang Makassar diperairan Maluku untuk dapat memonopoli
perdagangan rempah-rempah.
Pertentangan antara VOC dengan Makassar pada dasarnya merupakan pertarungan
pemikiran antara kebijaksanaan VOC “berdagang sendiri” (allehandel) atau lazim disebut
monopoli versus perdagangan bebas yang diterapakan Kerajaa Gowa. Karena itu Kerjaan
Gowa bergiat membangun benteng-benteng pertahanan diawali dengan Benteng Tallo di
bagian utara dan benteng Panakukang di bagian selatan , Benteng ujung Tanah, Ujung
Pandang, Baroboso, Mariso, Garasi, dan Barombong, untuk melindungi kedudukan
mereka dari ancaman kompeni: juga diprsiapkan pembuatan jenis perahu gorab atas
perintah Karaeng Matoaya atau Raja Tallo yang berkuasa saat itu. Usaha pembangunan
kapal dalam hal ini konstruksi serta gaya arsitekturnya itu merupakan bantuan orang-
orang Portugis, Melayu, dan Arab.(C. Nooteboom, 1951 : 1)
1. Posisi Makasaar dalam Jaringan Perdagangan dan Sistem Perdagangan
Kennet R. Hall menyakini sekitar abad XV hingga abad XVII, terdapat lima
jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan Teluk
Bengal yang meliputi pesisir Koromandel di India selatan, Seilon, Bima, serta pesisir
utara dan barat Sumatra; kedua, jaringan perdagangan Selat Makassar; ketiga,
jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand dan
Vietnam selatan (sebut saja dengan jaringan perdagangan Laut Cina selatan);
keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, meliputi pesisir barat barat Luzon,
mindoro, Cebu, Mindanao dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam); kelima;
jaringan Laut Jawa yang meliputi Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku,
pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatra. Pada dasarnya setiap
jaringan perdagangan itu memiliki pola perkembangan pertukaran internalnya akan
tetapi berlangsung pula hubungan perdagangan antara jaringan perdagangan itu.(H.A.
Sutherland, Power, Trade and Islam in the EastenArchipelago, 1700-1850, dalam
Philip Quarles van Ufford and Mattew Schofferless, ed., Religion Development:
Toward An Intergrated Approach. (Ammsterdam, 1988 : 145-146).
Transaksi dagang pada waktu itu umumnya dilakukan secara barter. Beras dan
barang lainnya yang dibeli di pelabuhan bagian barat oleh pedagangan Bugis
Makassar, kemudian dijual secara barter dengan rempah-rempah. Penukaran secara
barter ini didasarkan pada perbandingan kesatuan yang telah ditetapkan oleh kedua
belah pihak.
Sistem penukaran seperti ini berlaku juga bagi barang dagangan yang berasal dari
negeri asing, misalnya pertukaran antara kain buatan India dalam kesatuan potong
dengan rempah-rempah dalam kesatuan bahar. Bahar digunakan sebagai kesatuan
berat dan berbeda ukurannyaa disetiap, seprti bahar Maluku =600 pond, sedangkan
bahar Malaka=500 pond.(J.CC.Van Leur,1960 : 111).
Di bandar Somba Opu orang Portugis sering membawa tunai berupa mata uang
timah Cina untuk kemudian diserahkan kepada pedagang Bugis – Makassar.Uang
timah itu dianggap sebagai uang muka dan diberlakukan jaminan secara tertulis. Surat
tanda terima ini di tulis dalam bahasa Melayu.(B.O. Schrieke, 1995:20-21).
Sistem barter yang dipergunakan oleh para pedagan antara pedagang asing lokal,
berupa tukar menukar barang dagangan yang diperlukan. Seperti pakaian,senjata, dan
dibawah pedagang dari Cina, Gujarat dan Portugis. Kemudian ditukar ke pedagang
Bugis Makassar untuk seanjutnya barang tersebut di bawah ke pelosok Sulawesi,
Kalimantan, Maluku dan Nusa Tenggara untuk ditukar dengan rempah- rempah,
kemudian dijual lagi pedagang asing.
Adapun alat tukar uang di bandar Somba Opu sekitar abad XVII, yaitu telah
dibuat mata uang dari emas disebut dinarayang berbentuk besar dan kupa yang
berbentuk kecil, semua menggunakan tulisan Arab. Mata uang dari timah disebut
benggolo. Pada masa Karaeng Matoaya telah didirikan percetakan uang yang sangat
menunjang bagi kelancaran perdagangan di bandar Somba Opu. Atas anjurannya mata
uang emas dan perak dicetak, walaupun pada akhir tahun 1650 terjadi devaluasi emas
yang semula masih bertahan nilainya sebesar 4 shilling atau 0,8 real Spanyol.
Salah satu penghasilan terpenting bagi kerajaan yaitu perdagangan dan pemberian
dalam bentuk barang maupun uang. Para bangsawan bertindak sebagai pedagang dan
memberikan saham kepada pedagang yang membutuhkan dengan syarat-syarat
tertentu. Sesuai yang termuat dalam Kitab Amanna Gappa, yaitu pemberi saham
seringkali menjadi pembeli barang yang dimodalinya atau menjadi calo dengan hak
komisi, jual total penjualan kemudian dibagi tiga, sepertiga pertama dan sepertiga
kedua masing-masing untuk pemilik modal, sisanya digunakan untuk mengembalikan
perongkosan peralatan awak kapal.
Para bangsawan dan orang kaya bukanlah saudagar dalam arti sebenarnya. Mereka
“berdagang” dalam bentuk Commenda, yaitu menyerahkan barang dagangan kepada
orang lain untuk diperdagangkan. Misalnya hartawan yang menyerahkan
dagangannya berupa rempah-rempah dan kain tenunan kepada saudagar dengan
perjanjian bagi laba menurut ketentuan yang berlaku (persentasi laba dibagikan bisa
berbeda) juga dalam pelayaran, apabila pemilik kapal adalah raja sistem bagi laba
juga dipakai menurut ketentuan yang berlaku.
Adapun aturan yang berlaku dalam kerajaan Gowa tentang tata cara berdagang
maupun berlayar, dan daftar sewa bagi orang yang berlayar, adalah sebagai berikut:
“ Apabila orang naik di perahu, di daerah Makassar, di daerah Bugis, di
Paser, di Sumbawa, di Kaili, pergi ke Aceh, ke Kedah, ke Kamboja, sewanya tujuh
rial dari tiap-tiap seratus. Apabila orang naik di perahu di Makassar pergi ke
Selayar, sewanya dua setengah dari tiap-tiap seratus. Apabila orang naik di
perahu di Paser atau Sumbawa dan pergi ke daerah Buton, ke daerah Bugis, ke
Timor, sewanya empat rial dari tiap seratus”.
Sedangkan aturan tata cara berjualan, diungkapkan dalam pasal 7, bahwa ada lima
jenis cara berjualan:
1. Berkongsi sama banyak;
2. Samatula;
3. Utang tanpa bunga;
4. Utang kembali;
5. Kalula
Adapun berkongsi sama banyak yaitu cara berdagang dengan menanggung resiko
sama-sama, memikul bersama keuntungan dan kerugian. Tetapi kerugian yang dipikul
bersama hanya terbatas pada tiga hal, yaitu apabila barangnya rusak di lautan,
kebakaran atau pencurian. Sedangkan yang tidak dipikul bersama (ditanggung oleh
pelaksana perdagangan), yaitu:
1. Dijudikan
2. Dipelacurkan
3. Dipergunakan beristri
4. Diboroskan
5. Dipinjamkan
6. Diamdatkan
7. Diberikan untuk makan kepada (yang menjadi) tanggungannya.
Adapun yang disebut samatula, adalah yang empunya barang jualan yang
memikul segala kerusakannya. Labanya dibagi tiga , dua bagian diambil oleh yang
empunya dagangan, sebagian diambil oleh si pembawa.
Mengerti utang tanpa bunga, si pemberi utang yang menagih saja, jikalau telah
sampai janjinya. Perjanjian dengan utang yang bisa kembali, terlebih dahulu
ditetapkan sesuai harga barang. Kalau laku atau rusak, maka membayarlah yang
berutang. Kalau tidak laku atau tidak berganti rupa, maka berang boleh dikembalikan.
Perihal utang disamakan dengan perihal jual beli, yakni harus bercermin pada adat,
segala hal telah ditetapkan menurut peraturan-peraturan tertentu.
Dalam pasal 9, disebutkan bahwa semua penjual tidak tunggu menunggu
kekeliruan, misalnya (dalam hal) bayar membayar. Jikalau setelah diterima, barulah
diketahui tidak cukup pembayarannya, atau robek bagi barang yang berlembar,
dicukupkanlah yang robek. Sebab tidak boleh mengembalikan barang yang telah
diputuskan harganya, kalau ternyata dengan sesama pedagang.
Kalula atau yang disebut juga anak guru, merupakan orang yang dipercayakan
menjual barang dagangan. Kalula tidak mungkin bercerai dengan pemilik barang yang
sudah dianggap sebagai atasannya. Sehingga dalam membuat perjanjian tidak
memberatkan keluarganya, jika barang rusak karena kesalahan sendiri Kalula sendiri
yang menanggung keluarganya tidak ikut menanggung resiko.
2. Era Perdagangan dan Hubungan dengan Bangsa Lain
Corak baru perdagangan Kerajaan Gowa muncul setelah dalam abad XVII
Mataram mengadakan penghancuran atas kota-kota komersial Jawa Timur. Pusat
perdagangan remapah-rempah secara simultan pindah ke Makassar; jalur lintas
perdagangan tidak lagi dari Maluku via Gresik, selanjutnya menyusuri selat Malaka,
tetapi dari Maluku melalui Makassar dan Selatan Borneo ke selat Malaka atau Batam.
Perubahan rute perdagangan itu bukan tidak mempunyai pengaruhatas simpati politik
orang-orang Maluku.Apabila dalam era Portugis dan bahkan pada dekade pertama
abad XVII mereka (orang-orang Maluku) banyak yang berlindung kepada penguasa-
pengusa di Jawa, maka sekarang mereka tempatkan diri mereka dibawah proteksi
Kerajaan Gowa. Masa inilah Kerajaan Gowa memasuki zaman keemasannya. Para
kaum bangsawan mulai memegang kendali perdangan rempah-rempah, bahkan raja
sudah menjadi pembeli utama barang-barang yang masuk di daerahnya. Scrihrieke
mengatakan bahwa:
Pada awal abad XVII, mula-mula orang asinglah yang membawa perdagangan
dari Makassar, sementara penduduk aslinya bersawah. Hal yang sama dilakukan
oleh orang-orang Bugis Bone. Kita telah melihat permulaan pertama dari proses
perkembangan yang mengikutunya. Pada waktu kedatangan Portugis pada awal abad
XVI, ketika orang-orang Jawa, mengontrol perdagangan rempah-rempah. Makassar
belum memainkan peranan yang penting di Nusantara. Sebagai akibat perjanjian
yang mereka alami di Malaka, banyak yang menjadi dasar pelayarannya ke
Maluku.(Schrieke, 1960 : 66-67).
Perubahan baru dimulai setelah Portugis menduduki Malaka pada tahun 1511,
kota pelabuhan Melayu yang menjadi pusat dagang utama di Barat. Salah satu akibat
yang tidak terduga adalah pedagang Malaka sebagian pindah ke kota-kota dagang
lain, diantaranya Makassar. Keruntuhan Majapahit selama abad XV mengakhiri
kontrol Jawa atas laut Jawa dan mematahkan dominasi Majapahit atas perdagangan
rempah-rempah. Para pedagang utama di Sulawesi Selatan kini tidak lagi berasal dari
Jawa tetapi juga dari Sumatra. Mereka adalah orang-orang Melayu Islam dan mencari
pelabuhan alternatif untuk mrnghindari Malaka yang jatuh ke tangan Portugis. (J.
Nooduyn, 1670 : 97).
Orang Melayu baru mempunyai kedudukan resmi dalam Kerajaan Gowa kira-kira
pada tahun 1561, yaitu pada saat pemerintah Raja Gowa X Tunipallangga (1546-
1565), namun dapat dikatkan setengah abad sebelum itu memang telah banyak orang
Melayu(terdiri dari orang Campa,Minangkabau, Pahang, Patani, dan Johor)
berdatangan, maka mereka mengutus seorang diantara mereka untuk menghadap pada
raja Gowa agar supaya mereka itu dapat diberi tempat kediaman untuk menetap dan
diberikan jaminan, maka diutuslah Nahkoda Bonang. (Anthony Reid, 1999 : 137-
138).
Untuk lebih menyakinkan raja Gowa dan agar supaya mereka dapat diberi tempat
kediaman menetap, maka ketika menghadap, mereka membawa beberapa beberapa
persembahan yang terdiri dari sepucuk bedil yang bernama “Kamaleti”, 80 perangkat
pinacu, satu kodi kain sekalat, satu kodi beludru, dan setengah kodi kain cindal (sutra
berbunga). Permohonan mereka diperkenankan oleh raja Gowa dengan resmi, bahkan
mereka mendapat empat jamina dari Raja Tunipalangga.
Jadi sebelum pertengahan abad XVIIpara pedagang Melayu tinggal di pelabuhan-
pelabuhan pantai barat Sulawesi. Disinilah awal munculnya koloni dengan orang
Melayu yang berasal dari sebagian daerah di semenanjung Malaka,yang sangat
penting bagi perkembangan budaya dan ekonomi di tempat ini. Hubungan yang
dibangun orang-orang Melayu turut membantu memperbaiki peraturan-peraturan di
dalam Istana, di antaranya mengatur tata cara berpesta, mengajarkan kepada para
pemuda Makassar kesenian Melayu, perminan pencak silat, lenggo, dan lain-lain.
(Abd. Rahman Daeng Pallo, “Memperkenalkan dalam Kebudayaan Orang Bugis-
Makassar di Sulawesi-Selatan,” dalam A.A. Navis. Hal. 130-131).
Sampai dengan masa pertumbuhan abad XVII, sebagian besar perdagangan dan
perkapalan Makassar ikut terlibat. Para raja dan bangsawannya tampil sebagai
penyandang dana dan melancarkan ekspedisi dagang sendiri. Bersama orang Melayu
pemekaran sayap kekuasaan dan perdagangan luar daerah Makassar berkembang
pesat hingga ke mancanegara, ke barat hingga pantai Coramandel (India), ke utara
hingga Vietnam, Philipina, Cina, Jepang, ke timur hingga pantai-pantai Irian, bahkan
sampai ke pantai-pantai utara, Barat Australia. Selain pedagang-pedagang Melayu
yang menetap di Makassar juga terdapat bangsa-bangsa asing diantaranya bangsa
Portugis.
Pada masa pemerintahan Karaeng Tunipalangga (1546-1565), di sampinraja
memberi ijin orang Portugis mendirikan secara resmi perwakilan dagangnya di
Makassar yang banyak memberi keuntungan baginya,juga sebaliknya banyak
bangsawan Gowa mempelajari peradaban dan bahasa mreka. Selain itu dengan
kedatangan Porugis, pihak gowa memperoleh keuntungan dalam peningkatan sarana-
sarana fisik bagi perkembangan dalam berbagai bidang keahlian, seperti membangun
benteng pertahanan dan rumah-rumah dalam lingkungan istana raja. (Keberadaan Loji
Potugis di Makassar juga disebutkaan dalam ANRI: Bundel Makassar No. 153).
Dengan adanya hubungan itu pula bandar Somba Opu menjadi semakain ramai dan
besar seperti yang terlihat pada abad XVII. (Mattulada, 1982:29).
Dalam perdagangan, Portugis sebagian besar membawa barang-brang, yakni
berupa kain-kain dari daerah pantai dan Benggali, bahan mentah sutera, sejumlah
besar kain dijual di Makassar, dan kain dibawa oleh orang-orang Melayu dan oleh
penduduk dari sana dibawa ke seluruh daerah-daerah sekitarnya, serta beberapa
daerah kepulauan. Di Makassar, Porugis membeli barang-barang dari Maluku,
Ambon, berupa sandelwood (sandal kayu), lililn kulit penyu, dan batu benzoar dari
Kalimantan, bersama-sama dengan jenis barang dagangan lainnya. (B. Schrieke,
Indonesian sociological Studies, part one 1960. Hal.69).
Bangsa asing selain Portugis yang kemudian juga mengadakan hubungan dagang
dengan kerajaan Gowa adalah orang Belanda. Perseroan Amsterdam mengirim
armada kapal dagangnya yang pertama ke Indonesia tahun 1595, terdiri dari empat
kapal, dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Menyusul kemudian angkatan kedua
tahun 1598 dibawah pimpinan van Nade, van Heemskerk, dan van warwijk. Selain
dari Amterdam,juga datang beberapa kapal dari berbagai kota Belanda. Angkatan
ketiga berangkat tahun 1599 dibawah pimpinan van Neck. (Badri Yatim, 2000: 234-
235).
Melihat hasil yang diperoleh Perseroan Amsterdam itu, banyak perseroan lain
berdiri yang juga ingin berdagang, dan berayar ke Indonesia. Pada bulan Maret 1602
perseroan-perseroan itu bergabung dan disahkan oleh Staten_General Republik
dengan satu piagam yang memberi hak khusus kepada perseroan gabungan tersebut
untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung
Harapan, dan Kepulauan Salomon, termasuk kepulauan Nusantara. Perseroan itu
bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Dalam perjalanan pertama
mereka ke kepulauan Nusantara, orang-orang Belanda hanya menyinggahi Jawa
(Banten, Tuban, dan Gresik), serta Maluku; Sulawesi mereka tinggalkan, baik dalam
arti sebenarnya, maupun perintah dari atas. Baru setelah beberapa tahun kemudian,
sesudah mereka mempelajari arti penting Makassar sebagai tempat persinggahan bagi
kapal, dan sebagai pusat perdagang rempah-rempah, barulah mereka tertarik dengan
Makassar.
Perhatian orang Belanda ke Makassar untuk berdagang dimulai sejak tahun 1603,
yakni ditandai oleh ketika orang Belanda mengirimkan sebuah surat dari Banda
kepada raja Gowa untuk berdagang di Makassar, permohonan ini dikabulkan dengan
senang hati, tetapi satu syarat, yakni “ hanya untuk berdagang”, karena mereka
mengetahui bahwa Belanda adalah musuh besar bagi orang Portugis, dan mereka tidak
menghendaki Makassar dijadikan sebagai tempat pertahanan kedua bangsa itu,
Kemudian berturut-turut orang-orang asing yang datang ke Makassar dan mendirikan
perwakilan dagangnya secara resmi adalah orang Inggris, Denmark, Cina, dan lain-
lain. (Anwar Thosibo, “Peranan Suku Bugis-Makassar dalam Aktivitas Perdagangan
di KerajaanGowa-Tallo Abad XVII”, dalam SSNI sub tema: Dinamika Pertumbuhan
Ekonomi Bangsa Indonesia,
3. Alat Transpotasi Perdagangan
Berbicara tentang pelayaran niga perlu dikemukakan di sini bahwa pada zaman itu
agak sukar dibeda-bedakan antara kapal perahu kerajaan dan milik pribadi. Biasanya
pejabat kerajaan seperti Bendahara Temenggung, malahan Sultan pun, memiliki kapal
atau perahu yang dipergunakan untuk berniaga.
Adapun alat transpotasi yang digunakan dalam pelayaran dan perdagangan antara
lain:
a. Pedagang pribumi menggunakan perahu tradisional seperti:
1) Lepa-lepa, yaitu jenis perahu yang digunakan di daerah-daerah teluk yang
tenang, Dimana laut tidak bergelombang, di sekitar pantai atau di air payau,
untuk menyebrangkan penumpang atau menangkap ikan. Disamping itu
perahu yang dibuat dari batang kayu pohon yang lurus itu, juga dapat
difungskan sebagai pada kapal-kapal atau perahu-perahu yang besar.
Besarnya perahu tersebut sangat tergantung pada besarnya pohon. Namun
umumnya panjang sebuah lepa-lepa itu sekitar 3-4 meter dengan lebar 0,5
meter serta dalamnya sekitar 0,4 meter. (F.W. Stapel, Geshiediens van
Naderlandsch Indie III, (Amsterdam: NV. Joost van den Vondel,
1939:192).
2) Soppe, Perahu ini merupakan jenis perahu nelayan yang berukuran kecil.
Bentuk dan ukurannya bervariasi, seperti panjangnya antara 5-7 meter,
lebarnya 0,80-1,5 meter dan di dalamnya 0,70-0,90 meter. Perahu ini
dijalankan dengan dayung oleh dua orang nelayan yang dilengapi jala atau pun
pancing bila pergi menangkap ikan.
3) Biseang pajala, ini merupakan salah satu jenis perahu nelayan, yang
digunakan ntuk mencari ikan di perairan lepas pantai. Perahu tersebut terbuat
dari papan jenis kayu biti-biji atau jati, yang disusun rapi. Perahu pejala ini,
sedikit lebih besr dari perhu lepa-lepa maupunperahu soppe dan daya angkut
bisa sampe 100 ton. Perahu tersebut memggunakn alat yang disebut sombala.
Di atas geladaknya terdapat bangunan rumah-rumah yang sekaligus di
gunakan sebagai dapur.
4) Pattorni dan Padewakan, jenis perahu pataroni ini digunakan untik menangkap
ikan terbang (tuing-tuing) di perairan Selat Makassar, sedangkan perahu
Padewakang merupakan perahu nelayan yang dipakai untuk menangkap
taripang jauh ke tengah laut.
5) Lette, jenis perahu ini digunakan sebagai alat angkutan niaga jarak jauh antar
pulau, bahkan antar benua. Panjang perahu berukuran antara 10-15 meter,
lebar dan dalamnya masing-masing 5 meter dan 1,5-2 meter. Bentuk balok
tiangnya besar dan tebal serta menonjol pada haluan dan buritannya.
6) Lambo, peerahu jenis ini juga dipergunakan sebagai alat angkutan, perahu
niaga jarak jauh. Perahu ini memeiliki ukuran panjang antara 15-20 meter.
Disamping itu perahu tersebut juga memeiliki tenaga (awak perahu) sebanyak
7-12 0rang, dan diperlengkapi dengan 2 buah kemudi yang letaknya dibagian
buritan.
b. Perahu Pedagang Melayu dan Jawa
Kelompok pedagang ini menggunakan perahu yang jauh lebih besar yang
dapat mengaangkut macam-macam muatan. Jumlah awak perahu ini 10 sampai 20
orang, bahkan ada yang hanya 5-6 orang, perahu tersebut mempunyai bentuk yang
bermacam-macam dengan namanya sendiri antara lain: “Contigh”, “tingangh”,
“Gorap”, “Galjot”, Gallioen” dan lainnya
c. Perahu Pedagang Asing
1) Perahu Pedagang Cina
Pedagang Cina ini mempergunakan Jung untuk berdagang. Jung Cina
yang besar sangat menarik perhatian. Tinggi haluan dan buritannya tidak
sama, sedangkan bagian tengahnya sangat rendah. Di atas buritan terdapat
sejumlah rumah-rumah kecil dan cukup menyolok pula umbul- umbul nya
yang berwarna-warni coreng-moreng, sedang ke dua layarnya yang lebar
dibuat tebal dan lebar dari sejenis daun rumput yang di anyam.
2) Perahu Pedagang Kompeni VOC (Belanda)
Kompeni ini mempergunakan kapal dagang yang besar dan sesuai
standar keamanan pelayaran perdagangan dalam arti sesuai dengan standar
kesaelamatan pelayaran.
3) Perahu Pedagang Spanyol dan Portugis
Menggunakan kapal-kapal dagangnya yang lebih besar dari perhu-
perahu pribumi, hanya saja berbeda dengan kapal dagang yang digunakan oleh
VOC, kapal dagang yang dipergunakan oleh Spanyol dan Portugis biasanya
tidak sesuai dengan standar keselamatan pelayaran perdagangan dan tidak di
lengkapi dengan standar keselamatan kapal.
4) Perahu Pedagang Inggris, Vietnam, dan Thailand.
Inggris, Vietnam, dan Thailand menggunakan kapal-kapal dagang
yang dapat memuat berjenis-jenis barang dagangan yang dapat
diperdagangkan di tempat tujuan.
1. Jatuhnya bandar Malaka sebagai bandar Internasional ke tangan Portugis
pada tahun 1511.
2. Adanya peperangan yang berlangsung tahun 1600-1625, antara Kerajaan
Mataram (Jawa Tengah) dan Kerajaan di Jawa Timur (bekas taklukan
Majapahit).
3. Faktor geografis sangat menunjang bandar Somba Opu sebagai pangkalan
kegiatan Maritim.
4. Karakter penduduk Kerajaan Gowa yang nota bene suku Bugis Makassar
yang terkenal sebagai pelaut yang ulung dalam mengarungi lautan untuk
berlayar dan berdagang.
5. Politik pintu terbuka yang diterapkan oleh Raja Gowa sangat menunjang
ramainya bandar Somba Opu dalam menjalin hubungan dagang dengan
berbagai suku bangsa.

B. Letak Bandar Somba Opu


Dalam Peta Makassar tahun 1638, jelas digambarkan letak bandar Somba Opu.
Walaupun bangunan bandar secara permanen belum ada, tetapi fungsi sebagai bandar
yang dapat disinggahi dan dan digunakan sebagai labuhan kapal telah berjalan seiring
dengan berdirinya kota Somba Opu. Letak bandar Somba Opu di barat daya pulau
Sulawesi Selatan, tepat di tengah-tengah jalur perdagangan antara Malaka ke arah Barat
dan Maluku ke arah Timur.(Martinus Nijhoff, 1670:103-104)
Bandar tersebut berhadapan dengan benteng Somba Opu yang merupakan istana
Kerajaan Gowa. Benteng Somba Opu didirikan bersamaan dengan bandar Somba Opu
oleh Raja Gowa ke-9, bernama Karaeng Tumapa,risi Kallonna. Dialah yang berjasa
merintis berdirinya bandar Somba Opu sebagai bandar utama bagi Kerajaan Gowa pada
masa pemerintahannya pada tahun 1510 sampai tahun 1546. (Mattulada, 1982:26).
Adapun Letak dari pada benteng Somba Opu sebagai benteng utama Kerajaan Gowa,
sebagai berikut:

Benteng Somba Opu terletak ditepi pantai (Selat Makassar) pada garis 504 lintang
selatan (het fort Somba Opu op Macassar, gelegen dicht den strant op 5 graden en 4
minuten suider breedt).
Sedangkan lokasi yang tepat dari benteng Somba Opu, sampai saat ini masih
dalam penelitian arkeologi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa bekas benteng
Somba Opu berada di desa Sapiria. Desa ini adalah sebuah desa lama yang termasuk
kelurahan Barombong, kecamatan Pangga, kabupaten Gowa.
Sesuai dengan pendapat Erkelens, bahwa dalam perjanjian antara Raja Gowa ke-19,
Sultan Abdul Hadi dengan Belanda, tanggal 16 Oktober 1781, pasal 2, yaitu:
Het rijk Gowa door Compagnie veroverd, wordt aan den koning lerung gegven.
Het rijk van Tallo benevens de landschappen Sodijang en Sapiria of Somba Opu als
door de wepenen veroverd behoudt de compagnie voor zich. (Erkelens, 1897:21).
(Kerajaan Gowa yang telah direbut oleh kompeni Belanda-VOC dikembalikan lagi
kepada Raja Gowa. Akan tetapi Kerajaan Tallo, demikian pula daerah Sodijang dan
Sapiria atau Somba Opu yang telah direbut oleh kompeni dengan kekuatan senjata, tetapi
berada dalam tangan Kompeni Belanda).
Adapun daerah Sapiria atau Somba Opu, jaraknya kurang lebih 8 km ke arah Selatan
kota Ujung Pandang.
1. Fungsi Bandar Somba Opu
a. Ibu kota Kerajaan Gowa
Somba Opu adalah ibukota Kerajaan Gowa yang mempunyai tata kota sebagai
berikut: Di dalam benteng yang dikelilingi sebuah tembok terdapat istana yang
menjadi tempat kediaman Raja Gowa. Selain itu dibangun pula didalamnya
rumah-rumah tempat kediaman keluarga raja. Juga dilengkapi dengan ruang
pertemuan, tempat menyimpan perlengkapan kerajaan (gudang). (Peta Makassar,
1638:103-104).
Kota Somba Opu merupakan pusat pemerintahan kerajaan Gowa dimana
aparat kerajaan melaksanakan berbagai kegiatan baik politik maupun ekonomi.
Sebagai ibukota kerajaan Gowa. Somba Opu dibangun kembali oleh Raja Gowa
ke-10, yang bernama Karaeng Tunipalangga (1546-1565). Perubahan ini
dimaksud untuk memperkokoh kerajaa yaitu mmengganti bangunan dari tanah liat
dengan batu merah. (Abdul Rahim, 1975:1).
Di sekitar benteng Somba Opu terdapat rumah-rumah penduduk setempat
maupun rumah-rumah pendatang dari berbagai suku bangsa. Juga dibagun pasar
di sekitar pelabuhan untuk keperluan perdagangan. Di sebelah utara benteng
Soomba Opu terdapat bangunan perwakilan dagang bangsa Portugis, Inggris,
Denmark, Spanyol dan Belanda. (Peta Makassar, 1638:103-104).
Di sebelah timur bangsa Melayu menempati kampung Mangalekanna, sedang
pedagang Bugis Makassar serta para petani yang mengerjakan sawah milik
kerajaan menempati kampung Bontoala. (Mattulada, 1982: 30).
Mengenai luas wilayah kota Somba Opu pada abad XVII, tidak ada
keterangan secara terperinci. Diperkirakan wktu itu kota Somba Opu terdiri dari
sejumlah perkampungan yang terpencar-pencar di sepanjang pantai dengan latar
belakang daerah pedalaman. Perkampungan ini meluas dari daerah Tallo di
sebelah utara sampai ke daerah Barombong di sebelah selatan. Perkampungan dan
perumahan tersebut didirikan dari bahan yang tidak permanen serta perencanaan
jalan yang tidak teratur.(W. Donald, M.C,. Taggart, 1976:74).
Di sepanjang pantai tersebar serangkaian benteng pertahanan yang berjumlah
kurang lebih 20 buah. Benteng tersebut merupakan tempat tinggal kaum
bangsawan, yang dibangun dengan gaya yang lebih kokoh dan permanen di
daerah pantai selain dibangun gaya yang lebih kokoh dan permanen di daerah
pantai selain dibangun pasar, juga wilayah perikanan, sebaliknya daerah yang jauh
dari pantai merupakan wilayah pertanian. Sebelum Somba Opu dikuasai Belanda
dibangun perumahan untuk saudagar asing.
b. Kota Pelabuhan dan Kegiatan Pelayaran
Somba Opu selain berfungsi sebagai ibu kota kerajaan Gowa, juga bergungsi
sebagai kota pelabuhan dan kegiatan pelayaran untuk tujuan perdagangan.
Pelabuhan bukan saja tempat berlabuh bagi kapal-kapal yang masuk, tapi juga
menyediakan berbagai fasilitas seperti pasar, gudang untukbmenampung barang
dagangan dan perbekalan kapal berupa bahan makanan dan air minum. Untuk
memudahkan pengawasan terhadap kapal-kapal dagang yang berlabuh, maka raja
Gowa ke-9 Karaeng Tumapa’risi Kallonna (1510-1546), mengangkat Daeng
Pamatte sebagai syahbandar yang bertugas menarik pajak dan menangani urusan
perdagangan.(Mattulada, 1982:24).
Sebagai kota pelabuhan banyak pedagang asing yang datang di bandar Somba
Opu, selain transit untuk sementara, juga banyak yang menetap. Atas
kebijaksanaan penguasa setempat, pedagang asing diperbolehkan mendirikan
peerwakilan dagang yang tetap di sebelah utara benteng Somba Opu, yaitu
Belanda tahun 1607, Inggris tahun 1613, Denmark tahun 1618, semangat
pedagang Spanyol dan Cina berturut-turut muncul pada tahun 1615-1619.
(Anthony Reid, 1983:10).
Di kota Somba Opu juga teerdapat kampung Cina, kampung ini menurut
Skinner, terletak di sebelah utara benteng Soma Opu. Sedangkan pedagang
Portugis dan Melayu, jauh sebelum bangsa tersebut diatas menetap di Somba Opu,
mereka telah mengadakan hubungan dagang dengan kerajaan Gowa. Kontak
pertam bangsa Portugis pada tahun 1538, selain berdagang jugs menyebarkan
agama Nasarani di daerah Suppa dan Siang (Pangkaje’ne). (Mattulada, 1982:27).
Pada kunjungan bangsa Porugis tahun 1540, di beritakan bahwa di bandar
Somba Opu telah menetap bangsa Melayu dari Johor, Patani, dan Pahang. Mereka
berdagang sejak 50 tahun yang lalu, pedagang Muslim Melayu ini mungkin
dulunya dari Malaka, sebelum Malaka ditaklukan oleh Potugis pada tahun 1511.
Dengan mengikuti rute yang dipelopori orang Bajoe menuju ke Makassar,
nampaknya rute perjalanan tidak menuju Maluku seperti pedagang dari Jawa yang
singgah di tempat-tempat sebelah selatan dan tenggara, tetapi mereka hanya
mengumpulkan beras, budak dan kulit penyu. (Anthony Reid, 1983:137).
Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-10, Karaeng Tunipallangga Ulaweng
(1546-1565), datanglah sekelompok pedagang Muslim dari Jawa dan Melayu di
bawah pimpinan Anakoda Bonang, sebagai berikut:
Pada dialah juga meminta tempat kediaman orang jawa yang disebut
Anakonda Bonang. Kata Anakoda Bonang kepada raja Tunipallangga
Ulaweng: Empat macam kami harapkan dari tuanku”; maka menyahutlah
raja itu “Apa”? Menjawablah ia; “kami meminta supaya jangan dimasuki
pekarangan kami (dengan begitu saja), jangan dimasuki rumah kami (dengan
begitu saja), jangan kami dikenakan peraturan nigajang bila ada anak kami
dan janganlah kami dikenakan peraturan nirapung bila ada kesalahan kami.
Maka diperkenankanlah (permintaan itu) oleh raja, dan berkatalah raja:
“sedangkan kerbauku bila lelah kuturunkan (ia) ke dalam air, bila bebannya
berat, saya turunkan sebahagian, apalagi engkau sesama manusia, akan
tetapi janganlah engkau melakukan pembunuhan dalam kerajaanku di luar
pengetahuanku.
Berkatalah pula raja: “Berapa jenis (orang) yang kau masukkan ke dalam
permintaan mu itu?
Berkatalah Anakoda Bonang:”Semua kami yang bersarung ialah (orang)
Pahang, Patani, Campa, Minangkabau dan Johor.(Abdul Latif Abubakar,
1984:8).
Bandar Somba Opu juga berfungsi untuk kegiatan pelayaran, hal ini ditunjang
oleh posisi yang strategis, tepat di jalur perdagangan laut dari barat (Malaka)
sebagai ppintu gerbang Nusantara dan ke Timur (Maluku) sebagai pusat penghasil
rempah-rempah. Umumnya rute pelayaran menysuri pantai selatan Kalaimantan,
menyebrangi laut Jawa ke Gresik dan Surabaya, kemudian singgah di Somba Opu
dan terus ke Maluku. (Hall,D.G.E, 1986:213-216).
Peranan angin sangat mempengaruhi pelayaran yang bertiup dari arah barat ke
timur. Angin barat yang berhembus antara bulan Nopember sampai Maret
digunakan oleh pelaut, berlayar ke timur Nusantara seperti, Maluku, pulau
Nusatenggara, Buton, Mindanao, Makassar, pulau Kei dan Aru. Sebaliknya jika
berhembus angin timur antara bulan juni sampai September pelayaran diarahkan
ke barat seperti Malaka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Patani, dan pelabuhan Siam.
(Van Leur, J.C, 1960:99). Berita tahun 1636, mengenai kegiatan pelayaran di
bandar Somba Opu, menyatakan bahwa para pedangang Melayu setelah berdiam
di Somba Opu untuk beberapa waktu, yaitu bulan Desember, Januari, Pebruari,
berangkat berlayar menuju Ambon melalui Buton. Di Ambon pedagang tersebut
menunggu perdagangan cengkeh sampai bulan Juni, Juli, Agustus dan September,
setelah itu kembali ke Somba Opu.
Sedangkan pedagang Portugis, telah mengenal beberapa rute pelayaran
menuju Maluku, seperti jalur melalui Kalimantan Utara tahun 1527.Menurut
catatan Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental (1512-1515), bahwa Portugis
telah mengenal jalur perdagangan ke Maluku sejak tahun 1500, yaitu dari Malaka
melalui Singapura, pantai selatan Kalimantan, Sulawesi Selatan, Buton dan ke
Maluku. Kapal-kapal Portugis hendak menghindari dari kota-kota pesisir Jawa
yang menunjukkan sikap permusuhan. Setelah Portugis menduduki Malaka tahun
1511, para pedagang yang biasanya transit di Malaka, mengalihkan rute
menyusuri pantai barat Sumatra , Selat Sunda, pantai utara Jawa untuk selanjutnya
ke arah timur Nusantara. (Uka Tjandrasasmita, 1984:125-126).
Adapun pelayaran orang-orang Belanda pada awal kedatangannya ke
Indonesia, tidak menaruh minat terhadap Kerajaan Gowa. Pelayaran mereka
biasanya setelah meninggalkan pelabuhan Jawa bagian utara langsung menuju
Maluku. Pentingnya kerajaan Gowa baru diketahui setelah berhasil merampas
sebuah kapal milik Portugis di dekat perairan Malaka. Di dalamnya terdapat
terdapat seorang awak Makassar yang menceritakan kepada Belanda mengenai
keadaan pelabuhan kerajaan Gowa, merupakan bandar transito bagi kapal-kapal
yang belayar dari Malaka ke Maluku atau sebaliknya. (Stapel, F.W, 1922:3).
Maka sejak itu orang-orang Belanda mengadakan rute pelayaran ke bandar Somba
Opu untuk selanjutnya ke Maluku.
Pentingnya jalur pelayaran di bandar Somba Opu tercermin dari catatan
Belanda tertanggal 27 Oktober 1625, yang mengeluh atas persaingan orang-orang
Denmark dan Inggris, dan orang-orang Portugis dan Spanyol melakukan
perdagangan yang ramai dari Sao Tone, Negapatnam, Makao, Manila dan
kepulauan Maluku dengan Makassar, selanjutnya itu mengatukan:
Sejak kita (Belanda) berlayar di perairan sekitar Maluku, kota Makassar telah
berkembang pesat. Dan mengenai perdagangan di wilyah timur ini, seperti
Kalimantan, Jawa, Solor Timor, Ambon, kepulauan Maluku dari tempat-
tempat lain, lokasi Makassar jauh lebih dari Malaka. (Lapian.A.B,
1984:182).
Meningkatnya rute pelayaran ke laut Sulawesi, sejak akhir abad XVI,
merupakan akibat langsung dari pentingnya bandar Somba Opu sebagai pusat
perdagangan di Nusantara bagian timur.
Rute pelayaran melalui utara Sulawesi merupakan pilihan lain ke Maluku jika
angin musim selatan berhembus, karena pada musim tersebut pelayaran melalui
laut Flores dan laut Banda berbahaya. Apalagi sejak Belanda mendirikan kubu
pertahanan pada tahun 1607, di Buton, Banda dan Ambon, maka jalur utara
Sulawesi merupakan jalur yang aman dilalui. Adanya hubungan dagang diperairan
utara Sulawesi, maka terjadi kontak dengan Filipina selatan (Mindanao dan Sulu),
juga pantai timur laut Kalimantan.

a. Menyebarkan Agama Islam untuk memperluas pengaruh


Sejak abad XVI, di bandar Somba Opu telah didatangi pedagang muslim dari
Malaka, Jawa dan Sumatra. Pada awalnya kontak antar pedagang muslim
dengan masyarakat setempat untuk mengetahui kepercayaan yang dianut oleh
pedagang muslim. Karena selama terjalinnya kekerabatan tersebut, pedagang
muslim selalu menampakan sikap bersahabat dan dengan suka rela
mengajarkan termasuk berdagang yang baik. (Abdul Latif Abubakar, 1984:8-
9).
Untuk meningkatkan hubungan dagang dengan pedagang muslim, maka Raja
Gowa X, Karaeng Tunipallangga (1546-1565) menyediakan tempat tinggal di
kampung Mangalekanna dekat bandar Somba Opu. Bahkan dilengkapi fasilitas
tempat ibadah, walaupun kerajaan Gowa menganut agama Islam. Namun usaha
mengajak Raja Gowa menganut agama Islam telah dilakukan, seperti yang
dilakukan oleh Sultan Babullah dari Ternate, pada tahun 1580 mengunjungi
kerajaan Gowa, selain untuk meningkatkan hubungan
daagang juga mengajak Raja Gowa XII Karaeng Tunijallo menganut agama
Islam, namun ajakan tersebut belum berhasil. (Stapel, F.W, 1922:3).
Agama Islam baru diterima sebagai agama resmi kerajaan Gowa pada masa
pemerintahan Raja Gowa XIV, Sultan Alauddin (1593-1639). Yang berjasa
mengislamkan kerajaan Gowa yaitu Chatib Tunggal Abdul Makmur dengan
gelar Dato ri Bandang. Mangkubumi kerajaan Gowa Karaeng Matoaya adalah
orang pertama yang menganut agama Islam, dengan mengucapakan dua kalimat
shahadat pada malam Jum’at Jumadil awal 1040 II, tanggal 22 September 1605.
(Noorduyn. J, 1972:7). Sebagai tanda orang yang pertama di Islamkan, maka
Karaeng Matoaya diberi gelar Sultan Abdullah Awalul Islam.
Jejak Karaeng Matoaya ini, diikuti oleh Raja Gowa XVI, Mangorangi Daeng
Manrabiah, dengan gelar Sultan Awaluddin. Dua tahun kemudian seluruh
rakyat Gowa Tallo sudah di Islamkan, ditandai dengan sebahyang Jum’at
bersama di Tallo pada tanggal 9 Nopember 1607. Proses Islamisasi di
laksanakan oleh para ulama Melayu dengan pendekatan pada kalangan atas,
setelah mengislamkan Rajanya maka dengan mudah mengislamkan rakyatnya.
Setelah agama Islam diterima sebagai agama resmi Kerajaan Gowa, maka
mulai saat itu kerajaan Gowa menjadi pusat penyebaran agama Islam terhadap
kerajaan-kerajaan disekitarnya. Penyebaran agama Islam merupakan alat yang
tepat untuk memperluas pengaruhnya, terutama kerajaan-kerajaan kecil di
pedalaman agar menunjang kelancaran perdagangan di bandar Somba Opu.
Oleh karena itu, sewaktu kerajaan Gowa hendak mengajak kerajaan Bugis yang
tergabung dalam Tellu Puccoe, (tiga persekutuan kerajaan Bugis yaitu, Bone,
Wajo, dan Soppeng), masuk agama Islam, maka dengan tegas ajakan tersebut
ditolak. Karena dianggap hanyalah kedok belaka dalam melaksanakan pengaruh
nya. (Mattulada, 1982:33).
Sehingga Kerajaan Gowa melakukan cara kekerasan dalam menyebarkan
agama Islam, perang Islam berlangsung selama empat tahun, dikenal dalam
sejarah Bugis sebagai Musu’Selienge (perang Islam). Perang tersebut berakhir
dengan kemenangan Kerajaan Gowa, dan berhasil mengislamkan Sidenreng dan
Soppeng tahun 1609, Wajo tahun 1610 dan Bone tahun 1611. (Andaya, L.Y,
1981:33).
b. Benteng Pertahanan Kerajaan Gowa
Kedudukan bandar Somba Opu sebagai bandar transito, serta bandar
Internasional pada abad XVII, menyebabkan terjadinya kontak dagang berbagai
suku bangsa. Keberhasilan bandar Somba Opu menarik berbagai pedagang,
tidak lepas dari ancaman, baik datang dari dalam maupun dari luar. Apalagi
Kerajaan Gowa telah memperluas pengaruhnya ke wilayah sekitarnya, tentu
sewaktu-waktu akan mendapat serangan balasan. Selain itu dalam perdagangan
rempah-rempah kerajaan Gowa merupakan saingan utama Belanda.
Oleh karena itu, sejakpemerintahan raja Gowa X, Karaeng Tunipallangga
Ulaweng (1546-1565), benteng Somba Opu diperkokoh dengan bangunan dari
atas batu karanng dan batu bata merah. Panjang sisinya 1 atau 1,5 km, tinggi
tembok nya 7 atau 8m, tebal temboknya 12 kaki (3,5 m), sehingga pengawal
istana dengan mudah dapat berkeliling diatas tembok. Di dalam benteng
terdapat alat-alat persenjataan seperti meriam. Bedil serta alat pertahanan
llainnya. (Sagium, M.D, 1975:275-276).
Adapun pendapat Krucq tentang bentuk pertahanan Somba Opu, sebagai
berikut:
Het kastel Somba Opu was vierkant; het westfront (het zeefront) en het
Noortfront waren zwaar verhsterkit, het Zuid-en Oostfront minder; aan de
westzidje lagen het Noordwest of Groot bolwerk; op dit laatste bolwerk was
kanon Anak Macassar. (Kruch, K.C., op.cit., 76-77).
(Benteng Somba Opu berbentuk segi empat; sisi barat (ke arah laut) dan sisi
utara sangat diperkuat; sisi selatan dan sisi timur kurang diperkuat; pada sisi
bagian barat terletak baluwara barat daya atau, baluwara tengah dan baluwara
barat laut atau baluwara agung ; pada baluwara yang terakhir ini ditempatkan
meriam Anak Makassar).
Selain itu benteng Somba Opu dilindungi oleh serangkain benteng pengawal
yang dibangun di sepanjang tepi pantai kota Somba Opu. Di sebelah selatan
benteng Somba Opu terdapat benteng Barombong, Panna’kukang dan Garassi,
sedang di sebelah utara terdapat benteng Mariso, Baro’boso, Ujung Pandang,
Ujung Tana dan benteng Tallo. (Andaya, L.Y, 1981:108).

c. Sebagai Pangkalan Kegiatan Maritim


Kerajaan Gowa merupakan salah satu dari kerajaan yang berorientasi
maritim dan berhasil memperoleh keuntungan dari perdagangan. Potensi
sebagai kerajaan maritim, ditunjang oleh berbagai hal, seperti letak
geografisnya yang strategis, tepat dipersimpangan jalan laut yaitu, selat
Makassar, laut Jawa, Laut Flores, dan laut Banda. Faktor-faktor lainnya yang
menunjang yaitu karakter penduduknya, berani dalam mengarungi lautan untuk
berlayar dan berdagang, demikian pula dengan lembaga pemerintahan Kerajaan
Gowa sangat menunjang kegiatan maritim.
Menurut Alfred T. Mahan dalam teorinya yang dicetuskan pada abad ke-19,
bahwa ada enam faktor yang menentukan suatu wilayag berkembang menjadi
suatu kegiatan maritim, yaitu:
1. Kedudukan geografis
2. Bentuk tanah dan pantainya
3. Luas wilayahnya
4. Jumlah penduduknya
5. Karakter penduduk
6. Sifat pemerintahan termasuk lembaga nasionalnya.\
Faktor-faktor tersebut merupakan potensi yang dimiliki oleh kerajaan Gowa,
sehingga berhasil sebagai pangkalan kegiatan maritim pada abad XVII. Jadi
jauh sebelum teori Mahan dicetuskan, kerajaan Gowa telah menerapakn untuk
kepentingan perdagangan.
Faktor-faktor tersebut dimiliki oleh bandar Somba Opu, seperti bentuk tanah
dan pantainya merupakan daerah beerpasir, sehingga sebahagian besar
penduduk nya mencari nafkah di laut. (Laside, 1970:3).
Demikian pula karakter penduduknya, sejak dahulu kala terkenal sebagai
pelaut yang ulung untuk berlayar dan berdagang. Sifat petualang masyarakat
Bugis-Makassar yaitu dengan menggunakan perahu-perahu layar mengarungi
seluruh perairan Nusantara bahkan sampai ke Manila dan Australia. Adapun
luas wilyahya tidak ada keterangan yang pasti, namun panjang garis pantai
meliputi seluruh jazirah selatan pulau Sulawesi.
Mengenai jumlah penduduk yang menetap di kota Somba Opu, tidak ada
keterangan secara terperinci, kepadatan penduduk hanya bisa dilihat dari
keramaian bandar Somba Opu dikunjungi oleh para pedagang lokal dan asing.
Terbukti adanya perkampungan orang Melayu dan perkampungan orang Eropa
di sebelah utara benteng Somba Opu, seperti Portugis, Inggris, Denmark dan
Belanda. Aturan yang berlaku dalam kerajaan Gowa, sangat menunjang
perdagangan, seperti diterapkan sisitem perdagangan terbuka berdasarkan Teori
Mare Liberium (teori laut bebas). (Kartodirjo. S, 1988:91). Teori ini
diterapkan oleh Raja Gowa XIV, Sultan Alauddin (1593-1639), untuk
memperoleh keuntungan dari berbagai suku bangsa yang berdagang di bandar
Somba Opu. Semua pedagang mendapat jaminan keamanan dari Kerajaan
Gowa.
Selain perdagangan bebas dan jaminan keamanan, berbagai kebijaksanaan di
keluarkan untuk menunjang keberhasilan Kerajaan Gowa. Yaitu kebijakan dari
mangkubumi Karaeng Matoaya (1573-1637) dan Karaeng Patingalloang (1600-
1654), yakni: (1) Menbangun kekuatan miiter dan ekonomi dengan mengambil
segala tekhnik baru dari pendatang (Melayu, Porugis, Belanda, Cina), (2)
Menarik perdagangan dengan jujur dan terbuka terhadap segala bangsa, asal
keamanan tidak terganggu, (3) Menghormati daerah-daerah takluknya dan
pembagian tugas dalam negri utamanya Gowa dan Tallo. (Anthony Reid,
1983:1).
Untuk menunjang peran bandar Somba Opu sebagai tempat jual beli
komoditi perdagangan, maka Karaeng Matoaya meningkatkan produksi beras
yang banyak diminati oleh pedagang untuk di perdagangkan ke Malaka dan
Maluku. Demikian pula pada masa Kareng Patingalloang, telah diterapkan
tekhnik baru dengan menganjurkan penterjemahan karangan asing dalam
bidang tekhnik serta menyusun buku harian negara dan penggunaan peta dalam
pelayaran. Keberhasilan Bandar Somba Opu, sebagai pangkalan kegiatan
maritim bagi para pedagang, menimbulkan pertentangan dari pihak Belanda
yang ingin menguasai wilayh perdagangan, utamanya rempah-rempah. Sisitem
monopoli perdagaangan bebas yang dianut oleh Raja Gowa. Menurut Sultan
Alauddin pelayaran kemanapun di Nusantara harus terbuka buat setiap kapal
dan tak ada perjanjian apapun yang melarang perahu Makassar melayari
periaran ini. Sultan Alauddin menegaskan bahwa:
Tuhan telah memciptakan bumi dan lautan, telah membagi-bagi daratan
diantara umat manusia, tetapi mengaruniakan laut untuk semua, tak pernah
kedengaran larangan buat siapapun untuk mengarungi. Selanjutnya dikatakan
“Apakah Tuan berpendapat Tuhan telah menciptakan pulau yang begitu jauh
dari tanah air tuan, semata-mata tempat Tuan berdagang sendiri. (Stafel,
F.W., 1922:14).
C. Sumber Pendapatan Kerajaan Gowa
a) Kegiatan Masyarakat Pedagang
Suku Bugis Makassar terkenal sebagai pelaut yang ulung degan menggunakan
perhu-perhu layar phinisi dan lambo mengarungi perairan Nusantara. Mereka berlayar
sejak abad XV ke Jawa, Sumatra, Kalimantan, Malaka, bahkan sampai ke Manila.
Perkampungan suku Bugis Makassar terdapat di daerah yang pernah dikunjungi. Ada
juga yang menetap sementara sambil menunggu angin musim barat maupun angi
musim timur yang berhembus membawa perahu layar ketempat tujuan. (Mattulada,
1982:6-8).
Pelayaran suku Bugis Makassar yang sampai ke pantai utara Australia,
diperkirakan telah berlangsung sebelum orang Belanda menetap di Somba Opu,
sekitar abad XVII. (Cense, A.A.,dan Heeren, H.J, 1972:14). Mereka berlayar untuk
mencari tripang yang sangat laku dalam perdagangan dengan orang Cina. Rute
pelayaran yang dilalui, yaitu dari bandar Somba Opu menyusuri pilau Selayar, Wetar,
Leti, Moa dan selanjutnya ke selatan tenggara pelabuhan Darwin.
Menurut Stapel dalam bukunya Het Bongaaisch Verdragh mengatakan bahwa:
Dit wetboek is door Mahmoed Syah, die van 1424 tot 1445 of 1450 als soeverein
over Malaka heersto, op geschreven uit de mond vand oude Makassarse
zeelieden, welke toen de havens van zijn rijk bezochten. Uit enkele bepaligen en
de bijgevodgde lijst van tarieven o.m. geregeld voeren op Java (Semarang),
Soembawa (Bima), Timor, Bengkoelan, Atjeh, Perak, Malaka, Djohor,
Palembang, Bandjarmasin en Manila. (Stafel, F.W., 1922:1).
(Sultan Mahmud Syah yang bertahta di Malaka dari tahun 1424 sampai 1445 atau
1450, telah mencatat dari mulut nachoda tua orang Makassar yang mengunjungi
bandar-bandar dalam kerajaanyanya, sebuah undang-undang pelaut Kerajaan
Makassar dan Bugis. Bahwa dari beberapa ketentuan dan dari tarip tambang yang
terlampir ternyata, bahwa dikala itu orang-orang Makassar dan Bugis antara lain
telahh tetap berlayar ke Djawa (Semarang), Soembawa (Bima), Timor, Bengkulu,
Atjeh, Perak, malaka,Johor, Palembang, Banjarmasin dan Manila.
Dalam catatan I Lagaligo juga disebutkan ekspedisi Sawerigading seorang tokoh
legendaris dari Luwu, menaklukan daerah timur laut Sulawesi dan menaklukan
pelayaran sampai ke negri Cina. Kontak dengan semenanjung Melayu juga dilakukan,
dikatakan bahwa Mangkubumi Raja Gowa, Karaeng Tunipasuru (1500-1547) ke
Malaka dan Johor, untuk membayar piutangnya. (Abdul Rahman Al-Ahmadi,
1987:1).
Peranan pedagang Bugis wajo yang tinggal di Somba Opu, berhasil
mengembangkan sistem perdagangan dan pelayaran abad XVII. (Mattulada, 1982:8).
Sorang pemimpin Wajo bernama Amnna Gappa diangkat untuk memimpin pedagang
Bugis. Ketika itu ada tiga jenis masyarakat pedagang, yaitu:
1. Saudagar atau pedagang besar
2. Pedagang yang menetap di toko dan kedai
3. Pedagang yang berjalan yang menunjukkan dagangnya secara berkeliling
Sudagarlah yang menandatangani barang-barang dagangan dari luar seperti
Eropa, Cina, pedagang yang menetap menerima barang-barang itu dan menyalurkan
ke pedagang kelontong.
Adapun karya Amanna Gappa yang sampai saat ini masih dipergunakan pelaut
dan pedagang Bugis Makassar adalah Hukum pelaut dan Perdagangan yang berisikan
21 pasal. Merupakan hasil rumusan dari perantauannya di Nusantara dan pengaruh
dari pedagang Melayu, sesuai ajaran Islam yang berlandaskan persaudaraan dan
kejujuran.Dalam karya Amanna Gappa dikenal pula sistem pembagian kerja untuk
kelancaran bagi pedagang, yang melakukan pelayaran dan perdagangan, seperti
tercantum dalam pasal 6 dimana para pemilik modal akan memberikan kepercayaan
kepada nahkoda, jika memenuhi lima belas syarat, yaitu:
1. Bila ada senjatanya berat dan rincian dengan peluru, dengan kata kata lain perahu
dilengkapi senjata.
2. Bila perahunya kuat, berarti mutu perahunya baik.
3. Bila ada modalnya untuk berdagang, jadi para nahkoda disamping cakap
mengemudi kapal, juga dilengkapi fasilitas perdagangan serta modal.
4. Bila rajin dan teliti dalam pelayaran.
5. Dapat mengawasi kelasinya, yaitu anak buah kapal.
6. Dapat membela kelasinya didalam kebenaran.
7. Bila ia sudi menerima nsihat nasihat orang lain .
8. Bila ia jujur terhadap kelasinya dan juga kepada orang lain dan terhadap tuhan.
9. Bahwa ia harus memandang kelasinya sebagai anak sendiri.
10. Ia tidak jemu memberi pelajaran mengenai alat-alat pelayaran .
11. Ia harus penuh kesabaran.
12. Ia harus disegani.
13. Bila ia rela bersusah payah mengurus dagangan kelasinya.
14. Bila ia rela mengongkosi perahunya.
15. Bila ia mengetahui benar-benar jalan pelayaran, jikalau ia tidak mengetahui jalan
pelayaran, dicarinyalah seorang penunjuk jalan, yang mengetahui benar-benar
jalan pelayaran itu, Diupayakanlah ia (sipenunjuk jalan), atau menolongkah ia
secara percuma, tergantung dari persetujuan mereka. Apa-apa saja yang mereka
sukai, itulah yang menjadikan (supaya terlaksana). (Tobing, P.O.L., 1977:85).
Jadi jelas tugas seorang nakhoda yang mengepalai semua urusan yang
berhubungan dengan barang dan muatan. Untuk kelancaran dalam pelayaran dan
perdagangan, maka setiap kapal mempunyai awak kapal yang bertugas tergantung
kaehliannya. Terdapat pula awak kapal yang tidak punya keahlian, terdiri dari
orang merdeka dan budak. Masyarakat Bugis Makassar mengenal pula pola
organisasi usaha, baik dalam bidang pertanian pallaonruma, perdagangan dan
pelayaran pasompe atau nelayan pakkaja. Menurut Mattulada, pola kerja yang ada
tercermin dalam hubungan kerja punggawa-sawi, tata kerja punggawa sawi telah
diterapkan sejak abad XV, dimana suku Bugis Makassar telah melakukan
pelayaran dan perdagangan. Sisitem tersebut menguraikan hubungan tata kerja
antara penggawa sebagai pemimpin dan sawi sebagai anak buah.
Punggawa berarti pemimpin atas sejumlah orang yang disebut sawi, untuk
sesuatu kerja tertentu, baik yang berlangsung lama maupun dalam waktu singkat
untuk terselenggaranya sesuatu kegiatan kerja. Dalam hubungan kegiatan kerja,
punggawalah yang memiliki modal untuk membiayai kegiatan kerja. Punggawa
terdiri dari punggawa lompo (punggawa besar) sebagai pengawas dan punggawa
caddi (punggawa kecil) sebagai tehnis yang memiliki keahlian.(Mattulada,
1986:3). Tata kerja punggawa-sawi dalam usaha nelayan, yaitu punggawa pakkaja
(pemimpin nelayan) sebagai pemilik modal mempercayakan kepada pemimpin
tekhnis atau punggaw kecil dan para sawi sebagai anak buah yang bekerja sesuai
kemampuannya. Ada yang mengatur layar, mendayung, mengatur tali-temali.
Demikian halnyadalm perdagangan, punggawa besar besar sebagai pemilik modal
serta memiliki fasilitas berupa gudang untuk menyimpan komoditi perdagangan.
Para sawi yang bekerja mengumpulkan dan membeli langsung hasil pertanian ke
pedalaman utamanya beras, kemudian ditampung di gudang beras untuk
selajutnya disalurkan ke pasar atau kedai.
Untuk mengisi kas Kerajaan Gowa, para bangsawan banyak yang terlibat
dalam perdagangan. Ketika bandar Somba Opu mulai ramai dikunjungi oleh para
pedagang, mereka ikut aktif dalam perdagangan beras dan rempah-rempah.
Menurut Admiral van der Hagen tahun 1607, Mangkubumi Raja Gowa, Karaeng
Matoaya (1573-1637), telah melakukan usaha perdagangan rempah-rempah
dengan mendirikan perwakilan dagang di Banda yang setiap tahunnya dikirimi
beras dan pakaian. (Van Leur, J.C., 1960:110), (Schrieke, B.J.O:1960:68).
b) Sistem Perdagangan
Transaksi dagang pada waktu itu umunya dilakukan secara barter. Beras dan
barang lainnya yang dibeli di pelabuhan bagian barat oleh pedagang Bugis Makassar,
kemudian dijual secara barter dengan rempah-rempah. Penukaran secara barter
didasarkan pada perbandingan kesatuan yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak.
Sistem penukaran seperti ini berlaku juga untuk barang dagangan yang berasal
dari negara asing, misalnya pertukaran antara kain buatan India dalam kesatuan
potong dengan rempah-rempah dalam kesatuan bahar. Bahar digunakan sebagai
kesatuan berat dan sering berbeda ukurannya disetiap tempat, seperti bahar Maluku=
600 pond, sedangkan bahar Malaka= 550 pond.(Van Leur, J.C,1974:111).
Di Bandar Somba Opu orang Portugis sering membawa tunai berupa mata uang
timah Cina untuk diserahkan kepada pedagang Bugis Makassar yang akan pergi ke
Maluku untuk membeli rempah-rempah. Para pedagang Bugis Makassar yang
menerima semacam uang memberikan jaminan secara tertulis. Surat tanda terima ini
ditulis dalam bahasa Melayu. (Schrieke,1960: 20-21).
Sistem barter yang digunakan para pedagang antara pedagang asing dan lokal,
berupa tukar menukar barang dagangan yang diperlukan. Seperti pakaian, senjata, dan
porselen dibawa oleh para pedagang dari Cina, Gujarat dan Portugis. Kemudian
ditukar ke pedagang Bugis Makassar untuk selanjutnya barang tersebut dibawa ke
pelosok Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Nusatenggara untuk ditukar dengan
rempah-rempah, kayu cendana dan kayu sapan, kemudian dijual lagi ke pedagang
asing. (La Side,1970:14).
Adapun alat tukar uang di Bandar Somba Opu sekitar abad XVII, yaitu telah
dibuat mata uang dari emas atau timah disebut dinara yang berbentuk kecil, semua
menggunakan tulisan Arab. Mata uang dari timah disebut banggala. Pada masa
Karaeng Matoaya telah didirikan percetakan uang yang sangat menunjang bagi
kelancaran perdagangan di Bandar Somba Opu. Atas anjurannya mata uang emas dan
perak dicetak, walaupun pada akhir tahun 1850 terjadi devaluasi emas yang semua
masih bertahan nilainya sebesar 4 shilling Inggris atau 0,8 real Spanyol. (Anthony
Reid,1981:12).
Salah satu penghasilan terpenting bagi Kerajaan yaitu hasil perdagangan dan
pemberian dalam bentuk barang maupun uang. Para bangsawan bertindak pula
sebagai pedagang dan memberikan saham kepada pedagang yang dimodalinya atau
menjadi calo dengan hak komisi, jual total penjualan kemudian dibagi tiga, sepertiga
pertama dan sepertiga kedua masing-masing untuk pemilik modal, sisanya digunakan
untuk mengembalikan pengongkosan peralatan dan awak kapal.
Para bangsawan dan orang kaya bukanlah saudagar dalam arti yang sebenarnya.
Mereka “berdagang” dalam bentuk Commenda, yakni menyerahkan barang dagangan
kepada orang lain untuk diperdagangkan, ataupun hanya memberi uang sebagai
modal. (VanLeur,1960:229-328). Misalnya hartawan yang menyerahkan
dagangannya berupa rempah-rempah dan kain tenunan kepada saudagar dalam
perjanjian bagi laba menurut ketentuan yang berlaku (persentasi laba dibagikan bisa
berbeda) juga dalam pelayaran, apabila pemilik kapal adalah raja sistem laba juga
dipakai menurut ketentuan yang berlaku.
Adapun aturan yang berlaku dalam Kerajaan Gowa tentang cara berdagang
maupun berlayar, sesuai hukum Amana Gappa, seperti dalam pasal 1 ditetapkan dafta
sewa bagi yang berlayar, antara lain:
Apabila orang naik diperahu di daerah Makassar, di daerah Bugis, di Paser, di
Sumbawa, di Kaili, pergi ke Aceh, ke Kedah, ke Kamboja, sewanya tujuh rial dari
tiap-tiap seratus. Apabila orang naik di perahu di Makassar ke Selayar, sewanya dua
setengah dari tiap-tiap seratus. (Tobing,1977:49).
Sedangkan aturan tentang cara berjualan, diungkapkan dalam pasal 7, bahwa ada
5 jenis cara berjualan:
1. Berkongsi sama banyak
2. Samatula
3. Hutang tanpa bunga
4. Hutang kembali
5. Kalula
Adapun berkongsi sama banyak yaitu cara berdagang dengan menanggung resiko
sama-sama, memikul bersama keuntungan dan kerugian. Tetapi kerugian yang dipikul
bersama hanya terbatas pada tiga hal, yaitu apabila barangnya rusak dilautan, dimakan
api atau kecurian.

Sedangkan yang tidak dipikul besama (ditanggungoleh pelaksana perdagangan),


yaitu:
1. Dijudikan
2. Dipelacurkan
3. Digunakan untuk beristri
4. Diboroskan
5. Dipinjamkan
6. Dimadatkan
7. Diberikan untuk makan kepada (yang menjadi) tanggungannya
Adapun yang disebut samatula adalah empunya barang yang dualan yang
memikul segala kerusakannya. Jika bukan cara berjualan yang dilakukannya sehingga
rusak, maka penjualah yang menanggungnya. Labanya dibagi tiga, dua bagian
diambil oleh empunya dagangan dan sebagian diambil oleh si
pembawa.(Tobing,1977:58).
Mengenai utang tanpa bunga, si pemberi utang hanya menagih saja jika sudah
sampai janjinya. Perjanjian dengan utang yang bisa kembali, terlebih dahulu
ditetapkan sesuai harga barang. Kalau laku atau rusak, maka membayarlah yang
berhutang. Kalau tidak laku atau tidak beganti rupa, maka barang boleh dikembalikan.
Perihal utang disamakan dengan perihal jual beli, yakni harus bercermin adat, segala
hal telah ditetapkan menurut peraturan-peraturan tertentu.
Dalam pasal 9, disebutkan bahwa sesama penjual tidak tunggu menungg
kekeliruan, misalnya dalam hal bayar membayar. Setelah diterima, barulah diketahui
tidak cukup pembayarannya atau atau ada robek bagi barang yang berlembar. Sebab
tidak boleh mengembalikan barang yang telah diputuskan harganya, kalau ternyata
sama dengan pedagang. (Tobing,1977:58-65).
Kalula atau disebut juga anak guru, merupakan orang yang dipercayakan menjual
barang dagangan. Kalula tidak mungkin bercerai dari pemilik barang yang sudah
dianggap sebagai atasannya. Sehingga dalam membuat perjanjian tidak memberatkan
keluarganya, jika barang rusak karena kesalahan sendiri, kalula sendiri yang
menanggung, keluarganya tidak ikut menanggung resiko. (pasal 18)
Mengenai bayar membayar utang piutang termasuk membayar laba, dinyatakan
dalam pasal 17, jika dipinjamkan barang jualan, maka haruslah dibayar dalam bentuk
barang jualan juga. Jika barang jualan dipinjam dan dibayar dengan uang, maka
tergantung pada persetujuan mereka.(Tobing,1977:84).
Asama Gappa juga menyatakan dalam pasal 21, mengenai utang bagi laba, yaitu:
Jangan mengambil uang bagi laba pada orang yang lebih berpengaruh
daripada engkau dan juga jangan beri dia berutang bagi laba. Adapun
keburukannyasering dia tidak mau mengikuti peraturan bea perdagangan. Jika
berutang bagi laba, sesuaikanlah dengan harga miliknya beserta (harta) golongan
keluarga yang dekat.
Disarankan bahwa yang meminjamkan barang itu berkeras kepala menuntut
bayaran, hendaklah ditaati peraturan yang sudah ditetapkan itu.
(Tobing,1977:67).
Jika berutang yang membayar dan masih belum mencukupi pembayarannya,
maka ditaksirkan harga segala barang miliknya sendiri. Juka telah habis harga
miliknya dibayarkan dan belum mencukupi pembayarannya, maka lunaslah utangnya.
Tidak boleh lagi dibayarkan atau ditagih, meskipun ada rezeki dikaruniakan oleh
Allah Ta’ala sesudah dibayarkan harta miliknya. Tidak boleh (pula) ditagih lagi, oleh
karena dia sebagai orang yang merdeka seperti kita, tidak boleh dari lingkungannya.
Berarti orang yang berutang dianggap telah melunasi utangnya (meskipun masih
kurang daripada utang sebenarnya). Dianjurkan para majikan memberi pekerjaan,
yaitu berdagang kembali. Jika kelak memperoleh rezeki, dapat melunasi segala
utangnya.
c) Komoditi Perdagangan
Para pedagang datang ke Bandar Somba Opudari berbagai suku dan masing-
masing membawa komoditi perdagangan. Pedagang Asia seperti dari Melayu, Cina,
India, dan Arab membawa kain tenun, kain sutra, porselen, barang pecah belah dan
perhiasan, sedangkan Portugis membawa pakaian. Menurut memorandum Belanda
tentang perdagangan di kepulauan Indonesia tahun 1603, bahwa tiap-tiap tahun kapal
Portugis ke Somba Opu membeli pala, bunga pala dan budak. Semua pembelian
tersebut ditukarkan dengan pakaian. (M.A.P, Melink Roelofs,1962: 163).
Selain itu orang-orang Portugis yang berdagang di Somba Opu mendapatkan
suplai beras sebagai produksi dalam negeri, juga terdapat kulit penyu dalam jumlah
besar. Orang-orang Jawa membeli kulit penyu dalam jumlah besar untuk selanjutnya
dijual ke Malaka. Jika pasaran rempah-rempah sedang sepi di Bandar Somba Opu,
maka pedagang Portugis mengganti muatannya dengan memuat beras untuk dibawa
ke Malaka. (Melink,1962:163-164).
Berbagai macam komoditi perdagangan didatangkan ke Bnadar Somba Opu,
seperti rempah-rempah dari Maluku, kayu garahu dan lilin dari Timor dan Solor, intan
dan batu bezoar dari Kalimantan. Pakaian dalam jumlah besar dibawa oleh pedagang
Melayu, kemudian dijual ke pedagang Bugis Makassar, untuk selanjutnya di
perdagangkan ke pelosok daerah Sulawesi Selatan, Kalimantan, Mindanau, Maluku,
Ambon, Seram, Kei, Tanimbar, Solor, Ende, Bima, Bali, dan Jawa. (Schrieke,
:68).Sekembalinya dari daerah-daerah tersebut pedagang Bugis Makassar akan
memuat kapalnya dengan komoditi perdagangan dari daerah yang dikunjungi.
Komoditi budak ternyata dibutuhkan oleh pedagang asing untuk dipekerjakan
sebagai tenaga kasar dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan. Diberitahukan
bahwa pernah kapal Belanda menangkap kapal Portugis yang berlayar dari Somba
Opu, dengan muatan 150 bahar pala, cengkeh, serta sejumlah budak laki-laki dan
budak perempuan. (Melink Roelofsz,1962:163).
Hasil utama yang diperdagangkan di Bandar Somba Opu adalah produksi beras
dari daerah pedalaman. Maros dan Takalar adalah daerah pedalaman yang subur
sebagai produksi beras, sedangkan Bantaeng adalah lumbung beras kerajaan Gowa.
(Mattulada, 81). Demikian pula dengan kerajaan Bugis seperti Bone, Wajo, Sengkang
dan Soppeng merupakan kerajaan agraris yang menghasilkan beras. Menurut Anthony
Reid, bahwa beras yang terdapat di bendar Somba Opu adalah kiriman dari daerah
Maros. Sekitar tahun 1610 daerah Maros menghasilkan beras tidak kurang dari 1000
ton tiap tahun, cukup untuk memberi makan sejumlah 6000 orang. Namun surplus ini
lenyap sejak tahun 1620, sehingga untuk kelangsungan perdagangan beras dan untuk
memenuhi kebutuhan dalam negri, maka Kerajaan Gowa mendatangkan beras dari
daerah takluknya seperti Bima. Diperkirakan tiap-tiap tahun sekitar 40 perahu Bugis
Makassar mengambil muatan beras ke Bima. (Anthony Reid, 1626:90).

Di sekitar Kerajaan Gowa, juga diusahakan memproduksi beras, menurut catatan


lontara menyebutkan bahwa rakyat dikerahkan untuk menanam padi di daerah
karebosi (dekat benteng Ujung Pandang), pelaksananya mulai berlangsung pada
tanggal 24 Desember 1636. (Lontara Bilang Gowa Tallo, 1985-1986:94). Sedangkan
untuk menampung beras yang datang dari daerah pedalaman atau darah takluk
kerajaan Gowa dan Dri daerah lainnya, maka dibuat lumbung padi di depan Maccini
daggang.
Lumbung padi atau gudang beras yang dibuat oleh kerajaan Gowa, maksudnya
untuk menampung dan tidak diperjual belikan hingga panen, menjaga pada wkatu
musim paceklik Kerajaan Gowa tidak kekurangan beras. Raja sebagai pembeli utama
perdagangan beras, beras dalam jumlah besar hanya boleh dibeli oleh raja, terutama
yang berhubungan dengan pedagang asing. (Burger, D.H., 1956:64). Dengan
demikian pendapatan kerajaan Gowa banyak diperoleh dari perdagangan beras
dengan pedagang asing, disamping rempah-rempah dan komoditi lainnya.
Walaupun bandar Somba Opu bukan daerah penghasil rempah-rempah, namun
rempah-rempah dalam jumlah yang besar diperdagangkan di bandar Soma Opu.
Pedagang asing lebih aman membeli rempah-rempah di bandar Somba Opu dari pada
Maluku, apalagi sejak basis perdagangan direbut Belanda pada tahun 1607. (Anhony
Reid, 1983:9). Somba Opu merupakan alternatif untuk membeli rempah-rempah.
Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh pedagang Bugis Makassar dengan melakukan
perdagangan selundupan ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Bahkan
pedagang Bugis Makassar mengatur sedemikian rupa sehingga harga rempah-rempah
lebih murah di bandar Somba Opu dari pada Maluku. (Stapel, F.W., 1922:9).
Komoditi lainnya didatangkan dari daerah Selayar, yaitu pulau yang terletak
diseberang arah selatan bandar Somba. Pulau ini menghasilkan produksi laut seperti
tripang, agar-agar dan kulit penyu, komoditi ini sangat diminati pedagang Cina.
Selain itu hasil hutan juga diperdagangkan, yaitu kayu hitam dari Palopo, pembuatan
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.
Mengenai perdagangan kayu hitam telah berlangsung sejak abad XVI, terbukti
bahwa bangsa Portugis yang pertama kali ke Somba Opu tahun 1538, selain
menyebarkan agama Nasrani juga berdagang. Kapal-kapal Portugis meninggalkan
bandar Somba Opu dengan membawa muatan, terdiri dari kayu hitam, emas dan
senjata api, kemudian melanjutkan perjalanan ke Maluku. Pada tahun 1543 Gubernur
Portugis di Maluku mengirim kapal Portugis untuk berdagang kayu hitam di
bandarSomba Opu. (Mattulada, 1986:27). Sejak saat itu pedagang-pedagang
Portugis secara rutin melakukan perdagangan kayu hitam.
Komoditi yang memerlukan ruang yang luas seperti kayu hitam, rupanya menarik
minat para pedagang. Tidak hanya barang yang tidak memerlukan ruang yang luas,
seperti sutra atau barang lux lainnya yang diperdagangkan. Hal ini ditegaskan
Amanna Gappa dalam pasal 1, bahwa:
Disebutkan jenis dagangan yang membutuhkan ruangan luas yakni beras, garam,
kapas, tembakau bakala (untuk dipakai makan sirih), gambir, agar-agar, dan
kayu. Barang tersebut dikenakan bayaran sima biring, yakni 1/11 bagian dari
jumlah modal. Barang yang tidak mengambil ruangan luas tetapi berharga tinggi
seperti mata uang, emas, batu permata, kain sutra, kemenyan, bayarannya
seperdua dari sewa balu reppi. (Tobing, P.O.L., 1977:49).
Diberitakan pula dalam catatan harian Belanda mengenai pelayaran dan
perdagangan kapal-kapal dagang ke berbagai daerah penghasil komoditi perdagangan.
Antara lain menyebutkan bahwa, pada tanggal 2 januari 1641, sebuah lamboe,(jenis
perahu layar) berangkat ke Somba Opu dengan muatan pakaian, porselen, besi tua dan
asam jawa dari Batavia. (Chijs, J.A. Van Der., 1640-1641). Sedangkan pedagang-
pedagang dari kapal-kapal Bugis Makassar pada tahun 1641 membawa muatan
berupa, cengkeh sejumlah 50 bahar seharga 100 ringgit, dan kulit penyu. Pada tanggal
3 Agustus, kapal Spanyol mengadakan pelyaran ke Bangkok, berangkat dari bandar
Somba Opu dengan muatan 160 pikul kayu cendana, 90 pikul cengkeh, dan sejumlah
serabut untuk tali, 800 ikat rotan.
Adapun kontak antara kerajaan –kerajaan yang ada di Nusantara, antara lain
disebutkan bahwa Raja Gowa pernah mengutus seorang duta ke Aceh. Utusan
tersebut berangkat dari Somba Opu pada tanggal 16 Nopember 1641 dengan
membawa muatan berupa hadiah dari raja Gowa, terdiri dari 1 kantong kesumba (zat
pewarna), 1 potong pakaian yang halus dengan 3 keris, beberapa burung cendrawasih.
Duta tersebut disambut dengan barisan gajah, 10 pembawa bendera, 10 orang meniup
suling dan pemukul tambur. Sedangkan pedagang Bugis Makassar dalam melakukuan
memuat barang dagabgan ke Malaka, mereka memuat barang dagangan berupa
sejumlah pakaian dari Gujarat, Bengal, dan Coromandel srta sejumlah besar
kemenyan dan dupa. (Melink Roelofsz, 1962:86). Selain pakaian, kapal dagang
tersebut tersebut mengisi muatan berupa sutra dari Macao, dan barang pecah belah
dari Cina. (Schrieke, B.J.O.,1960:68).
Adapun daerah-daerah penghasil komoditi perdagangan, serta tujuan
perdagangannya, disebutkan dalam catatan Cornelis Speelman, sebagai berikut:
Noorduyun,.J., 1670:119-120).
Demikian daftar nama-nama barang dagangan, dan daerah-daerah yang
memproduksi barang dagangan serta daerah tujuan untuk diperdagangkan, dimana
perwakilan dagang (agen) didirikan. Daerah-daerah tersebut, merupakan rute-rute
perdagangan masyarakat Bugis Makassar.
d) Pajak Perdagangan
Sumber pendapat ekonomi Kerajaan Gowa sebagai negara maritim, banyak
diperoleh dari hasil pungutan cukai perdagangan ataupun pajak yang ditarik terhadap
pedagangpedagang asing yang transitatau berdagang di bandar Somba Opu. Namun
terlebih dahulu para pedagang tersebut, menyerahkan persembahan untuk kerajaan
Gowa. Adapun pemberian berupa upeti, secara rutin diperoleh dari daerah takluk
yaitu daerah vasal kerajaan Gowa.
Untuk kelancaran kegiatan perdagangan dan untuk mengawasi keluar masuknya
kapal dagang di bandar Somba Opu. Maka sejak pemerintahan Karaeng Tumapa’risi
Kallonna, dianjurkan membuat timbangan, anak timbangan, dan membuat takaran,
serta mengangkat seoorang syahbandar. (Mattulada, 1982:24). Kekuasaan dan
kewibawaan syahbandar dalam mengelola sistem perdagangan merupakan faktor
yang sangat membantu berhasilnya kerajaan Gowa memperoleh sumber pendapatan
ekonomi.
Dalam karya Amanna Gappa, disebutkan tugas-tugas syahbandar, yaitu:
Adapun engkau syahbandar berkewajiban menyuruh mengawasi pedagang yang
baru tiba di pelabuhan negrimu agar banyak bea (diperoleh) negrimu. Oleh
karena engkaulah, syahbandar, diserahi tugas memasukkan hasil negrimu ke
dalam perbendaharaan raja. Engakau jugalah pengganti diri raja, menjaga baik
buruknya pedagang. Maka dalam hal itu wajiblah engkau berhati-hati, bagaikan
ibu bapak pada pedagang. Ladenilah anakmu dengan kejujuran menurut hukum
pelayaran dan perdagangan, dibawah angin, yang bernama Amanna Gappa,
Matoa orang Wajo beserta dengan matoa Paser yang bersepakat di Makassar
menetapkan undang-undang pelayaran, duduk bersepakat di kampung Wajo.
(Tobing, P.O.L:1977:45)
Selain tugas memungut pajak dari pedagang, syahbandar juga ditugaskan sebagai
perantara, bagi setiap suku bangsa yang ingin memberi persembahan sebagai tanda
persahabatan terhadap kerajaan Gowa. Antara lain diplomasi dagang Portugis
dipimpin oleh Fransisco Vieira, datang ke Somba Opu membawa persembahan untuk
raja Gowa, berupa gajah-gajah Kamboja. Catatan harian kota Makassar mentebutkan
bahwa pada tanggal 16 Mei 1642, gajah itu diterima oleh raja, selanjutnya Veiera
membuat jaringan perdagangan utama dengan basisnya di bandar Somba Opu.
(Anhony Reid, 1983:140).
Pada masa pemerintahan Karaeng Pattingallong (1600-1637), dipersembahkan
hadiah istimewa berupa kuda, kijang, gajah, dan senjata. (Stapel, F.W., 1922:40-41).
Demikian pula dengan para pedagang dari Melayu dan Jawa, mempersembahkan
sepucuk kamaleti, delapan puluh junjungan bolo, sekaju sekelat, dan setengah kodi
cinde ilau, kepada raja Gowa X (1546-1585). (Abdul Latif Abubakar, 1984:8)
Mengenai jumlah persen yang dikenakan pada setiap kapal yang transit maupun
yang berdagang di bandar Somba Opu, sekitar antara 5% sampai 10%. Menurut
Erdamans, bahwa pungutan cukai atau pajak di Somba Opu, sebesar 5% samapai
10%, yang bertugas memungut cukai pasar adalah jannanga pasar (bawahan dari
syahbandar). (A.J.AF. Erdamans, 1897:27).
Adapun pajak pelabuhan yang dipungut oleh syahbandar terhadap kapal dagang,
sebesar 10% seperti halnya yang diungkapakan Melink Roelofs, bahwa pada
pertengahan abad-17, bandar Somba Opu berhasil memperoleh sumber pendapatan
bagi kerajaan Gowa. Dengan meningkatnya arus barang dagangan dari berbagai negri,
seperti sutra dan barang dagangan dikenakan bea cukai sebesar 10%, namun para
pedagang secara teratur mengirim kapalnya ke bandar Somba Opu. (Meilink Roelofz,
1962:164).
Jumlah presentase pendapatan bandar Somba Opu dalam mengadakan transaksi
dagang dengan pedagang lokal maupun pedagang asing, tidak ada keterangan pasti.
Ukuran presentase pendapatan dari pedagang dapat diukur dari jumlah kapal yang
berlabuh di bandar Somba Opu. Kapal-kapal dagang dari berbagai negri setiap tahun
datang ke bandar Somba Opu, diperkirakan kapal-kapal jenis jung-jung, pelampung
tingans, perahu-perahu tersebut berjumlah antara 25, 30, dan 40 tiap tahun berlabuh di
bandar Somba Opu pedagang tersebut menetap di Somba Opu. Pedagang tersebut
menetap di Somba Opu sambil menunggu musim perdagangan rempah-rempah antara
bulan Juni, Juli, Agustus, dan September. Mereka membeli 1000 bahar dari bandar
Somba Opu setiap musim. (Schrieke, B.J.O., 1960:66).
Menurut laporan sudagar Belanda tahun 1621, bahwa lebih 11 perahu Portugis
dikirim ke bandar Somba tiap tahunnyaa. Tambahan pula kapal-kapal datang dari
Maluku singgag di bandar Somba Opu untuk menimbun rempah-rempah. Pedagang
Portugis membeli rempah-rempah dari pedagang Melayu, Jawa dan Bugis Makassar
yang secara rutin berlayar ke Maluku untuk membeli rempah-rempah.
Pada tahun 1624, kurang lebih 600 orang pedagang Melayu dan pedagang asing,
berangkat dari Somba Opu menju Ambon dengan menggunakan sejumlah perahu
kecil. Dengan modal besar mereka membawa beras, uang tunai untuk ditukarkan atau
untuk membeli rempah-rempah. (Van Leur,1960:159). Bangsa Portugis merupakan
pedangang asing yang member keuntungan bagi pedagang di Bandar Somba Opu,
diperkirakan sekitar 10 sampai 20 kapal dagang Portugis yang berdagang di Bandar
Somba Opu setiap tahun. Kurang lebih 500 orang Portugis yang menetap, dan
bertambah lagi sebanyak 3000 orang , setelah basis perdagangan Portugis di Malaka
direbut Belanda tahun 1841. (Anthony Reid,1992:16).
Banayaknya kapal dagang yang datang ke Bandar Somba Opu tiap tahun
menunjukkan keramaian lalu lintas perdagangan. Dengan demikian pemasukan pajak
perdagangan. Dengan demikian pemasukan pajak perdagangn di Bandar Somba Opu,
merupakan sumber utama dalam menunjang kekuatan ekonomi kerajaan Gowa.

Anda mungkin juga menyukai